Anda di halaman 1dari 12

CHAPTER

4
BIROKRASI DAN GOVERNANSI PUBLIK
Hal. 1 dari 12
CHAPTER 4
GOVERNANCE

CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang governance.

A. Devinisi dan Konsep Dasar Governance


Konsep governance berangkat dari istilah government. Government atau pemerintah
merupakan istilah yang digunakan pada organisasi atau lembaga yang menyelenggarakan
kekuasaan pemerintah pada suatu negara. Konsep government ini dapat dikatakan sebagai
konsep lama dalam penyelenggaraan pemerintahan karaena hanya menekankan pada
pemerintah (lembaga/institusi pemerintah) sebagai pengatur dan pelaksana tunggal
penyelenggaraan pemerintah. Oleh karena itu muncullah konsep governance yang
menggantikan konsep government dalam aspek maupun kajian pemerintahan. Selanjutnya
governance berasal dari kat “govern” dengan definisi yakni mengambil peran yang lebih
besar, yang terdiri dari semua proses, aturan dan lembaga yang memungkinkan pengelolaan
dan pengendalian masalahmasalah kolektif masyarakat. Dengan demikian secara luas,
governance termasuk totalitas dari semua lembaga dan unsur masyarakat, baik pemerintah
maupun nonpemerintah
Untuk lebih jelasnya dalam memahami pergeseran makna antara government dan
governance, Leach dan Percy Smith dalam Hetifah mengungkapkan perbedaan terkait dua
konsep tersebut sebagai berikut: bahwa goverment mengandung pengertian politisi dan
pemerintah yang mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan dan sementara sisa
dari elemen sebuah negara itu bersifat pasif. Sementara governance meleburkan makna
tersebut, dengan merenggangkan kekakuan antara pemerintah dan yang diperintah (bagian
negara yang pasif), sehingga bagian yang pasif tersebut memiliki peranan dan andil dari
bagian government.
Berdasarkan pembedaan antara konsep government dan governance diatas, dapat
dinyatakan bahwa konsep government secara makna atau pengertian lebih mengacu atau
mengarah kepada politisi atau lembaga pemerintah. Government mengarah kepada lembaga
pemerintah atau birokrasi itu sendiri yang bertugas memberikan pelayan kepada masyarakat.
Selain itu, pada government masyarakat hanya bersikap pasif atau hanya semata-mata
sebagai pihak yang menerima pelayanan begitu saja. Berbeda dengan government,

Hal. 2 dari 12
governance disebutkan lebih lunak, dalam artian tidak hanya lembaga pemerintahan/birokrasi
yang mememiliki peran dalam penyelenggaraan pemerintahan, akan tetapi juga memberikan
ruang dan andil dari masyarakat dan pihak lain non-pemerintah. Sebagai suatu konsep,
governance memiliki beragam pemaknaan.

Perbandingan Istilah Government dan Governance

Dwiyanto menekankan mengenai konsep governance adalah keterlibatan aktor-aktor di


luar pemerintah yang merespon masalah publik. Praktik governance ini, bertujuan dalam

Hal. 3 dari 12
rangka menyediakan pelayanan publik dengan melibatkan aktor dari unsur masyarakat dan
mekanisme pasar.Menurut Chema dalam Keban, governance merupakan suatu sistem nilai,
kebijakan, dan kelembagaan dimana urusan-urusan ekonomi, sosial, politik dikelola melalui
interaksi masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta.Pendapat lebih signifikan dikemukan
oleh Teguh Kurniawan yang menerangkan bahwa konsep governance merupakan sebuah
proses kebijakan yang dilaksanakan dengan melibatkan pemerintah, sektor private (swasta)
maupun masyarakat. Mengacu pada beberapa pendapat-pendapat diatas menunjukkan
bahwa governance merupakan model kepemerintahan yang sangat dinamis. Dengan kata
lain, governance membuka ruang untuk keterlibatan atau partisipasi sektor lain dalam
kepemerintahan. Pemerintah bukanlah aktor yang tunggal atau dominan dalam
kepemerintahan. Selain itu, pendapat tersebut menjelaskan bahwa terjadi pengurangan
terhadap otoritas pemerintah terkait dengan urusan publik. Pemaknaan tesebut dapat ditinjau
dari suaru kondisi yang terjadi ketika pemerintah dalam penyelenggaraan urusan-urusan
publik mengalami permasalahan di luar kemampuannya, sehingga dalam penangan
permasalahn tersebut perlu melibatkan pihak lain yang memiliki kapasitas atau kemampuan
lebih dan tentunya dapat membantu pemerintah. kondisi tersebut terjadi karena dipengaruhi
oleh keterbatasan kapabilitas pemerintah dalam hal sumberdaya dan finansial.

Rosidi dan Fajriani memetakan bahwa terdapat 3 aktor yang berpengaruh dalam proses
governance. Tiga aktor tersebut yakni pemerintah, swasta, dan masyarakat. ketiga aktor
tersebut saling berkolaborasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah tidak
lagi menjadi aktor tunggal yang memonopoli penyelenggaraan pemerintah. melainkan
memerlukan aktor lain karena karena keterbatasan kemampuan pemerintah. Swasta dengan
dukungan finansialnya harus mampu membantu pemerintah dalam penyelenggaraan

Hal. 4 dari 12
pemerintahan. Swasta dalam hal ini tidak diperbolehkan untuk mengurusi kepentingannya
sendiri yakni hanya semata-mata mencari keuntungan pribadi. Selain itu, masyarakat juga
harus berperan aktif. Masyarakat dan diberikan ruang. Akan percuma apabila sebenarnya
masyarakat memiliki niatan yang kuat untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan,
akan tetapi tidak diberikan ruang. Keterlibatan masyarakat ini mampu membuat masyarakat
yang mandiri dan meningkatkan kualitas masyarakat ke depannya.

B. Paradigma Governance
Paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah bergeser dari government ke
governance yang bercirikan “...adanya multi-aktor dalam penyelenggaraan pemerintahan,
aktor tersebut meliputi state, civil society dan privat. Keterlibatan para aktor ini mengakhiri
monopoli state dalam penyelenggaraan pemerintahan” (Prasojo, 2007; Muluk). Berdasarkan
terminologi umum, governance dipahami sebagai keterkaitan antar organisasi, pelibatan
lembaga publik dalam formulasi dan implementasi kebijakan, serta terhubungnya berbagai
organisasi untuk melaksanakan tujuan-tujuan publik (Keban, 2004). Perluasan makna tentang
governance juga dikemukakan Rhodes (2002), yaitu (1) governance sebagai corporate
governance, (2) governance sebagai new public management, (3) governance sebagai good
governance, (4) governance sebagai international interdependence, (5) governance sebagai
socio cybernetic system, (6) governance sebagai new political economy, dan (7) governance
sebagai network.
Governance sebagai networks juga memiliki beberapa makna yaitu (1) cara para
stakeholder berinteraksi untuk mempengaruhi kebijakan, (2) pola atau struktur yang muncul
dalam sistem sosial politik sebagai keluaran bersama dari seluruh aktor yang terlibat, (3)
koordinasi antar swasta dan publik baik secara formal maupun informal, (4) konsep atau teori
yang mencerminkan koordinasi suatu sistem sosial (Laffer, 2002; Pierre) Konsep networks
sebagai bentuk spesifik dari governance dalam menganalisis relasi antar aktor/ organisasi
diimplementasikan dalam berbagai bentuk (mode of governance) atau mode of governing.
Koiman mengemukakan beberapa mode of governing yaitu co-governing dan mixed
mode governing (Kooiman, 2000; Pierre). Co-governing dicirikan dengan dominasi hubungan
yang bersifat horizontal dan kesetaraan antar pihak yang berelasi. Pada co-governing, para
pihak bekerja sama, berkoordinasi, dan berkomunikasi tanpa terlalu didominasi oleh aktor
pengatur. Ada beberapa tipe dari modus co-governance, yaitu (1) public private partnership
yang menekankan cooperation ; (2) communicative governing, yaitu suatu proses belajar dan
penyesuaian pola perilaku dalam pengelolaan perubahan structural sebagai tanggung jawab

Hal. 5 dari 12
bersama; (3) responsive regulation, dimana institusi-institusi kunci dalam tatatan sosial
(masyarakat, negara, dan asosiasi) berpartisipasi secara langsung. Mixed mode governing
mencirikan berperannya masyarakat sipil, pasar, dan pemerintah secara mixed (bercampur).
Pada saat bersamaan peran sentral pemerintah secara langsung menurun, sehingga
bergeser menjadi mitra kerja dan fasilitator melalui bentuk pengaturan bersama (shared
governance). Argumentasi model ini didasarkan pada pemikiran bahwa masalah kolektif
bersifat kompleks dan dinamis yang dalam penanganannya memerlukan pembagian
tanggung jawab dan aransemen bersama.
Mengacu kepada makna governance sebagai network maka keterlibatan aktor non state
dalam pengelolaan sungai merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu, penerapan kriteria
pembagian urusan pemerintahan yang bertumpu pada tiga kriteria yang disebutkan terdahulu,
dipandang tidak cukup memadai. Sehubungan dengan itu, perlu ditambahkan setidaknya dua
kriteria tambahan yaitu aksesibilitas dan efektivitas. Kriteria aksesibilitas adalah pengelolaan
urusan dengan mempertimbangkan instansi atau organisasi apa yang (1) paling dekat dengan
lokasi, (2) paling mengetahui tata cara pengelolaan sesuai dengan nilainilai kearifan lokal
yang berlaku, serta (3) paling dekat dengan masyarakat yang terkena dampak suatu urusan
dijalankan.
Diskursus tentang definisi governance juga disunggung oleh Merilee S. Grindle (2007)
dalam topik yang lebih luas mengenai relasi konsep good governance dengan tumbuhnya
janji pembangunan dan pengurangan kemiskinan. Dalam mendefiniskan Governance, Grindle
membandingkan berbagai definisi yang diajukan oleh sebuah instansi resmi (Bank Dunia,
UNDP, IMF, DFID dan USAID) dan para sarjana (Hyden, Kaufmann dan Hewitt). Grindle
menyatakan ada penggunaan komponen yang sama dan perbedaan diantara berbagai
definisi tersebut tentang governance. Grindle menyatakan, komponen kesepakatan mereka
tentang governance terletak pada proses institusional (institutional process) dan aturan main
atas otoritas pembuatan kebijakan (authoritative decision-making), sedangkan perbedaannya
terletak pada istilah yang khusus dan normatifitas (term of institutional processes and
outcomes) (Grindle, 2017: 555).
Semisal DFID mendefinisikan governance sebagaimana “institusi, peraturan, sistem
negara (Eksekutif, legislatif, yudikatif dan militer) beroperasi dalam level nasional dan lokal
serta bagaimana negara berhubungan dengan individu warga negara, masyarakat sipil dan
sektor privat” (dalam Grindle, 2017: 556). Sedangkan Word Bank
mendefinisikan governance sebagai “proses dan institusi melalui keputusan yang dibuat dan
otoritas di dalam negara bekerja”

Hal. 6 dari 12
Baik DFID maupun Word Bank lebih memilih definisi governance relatif netral. Berbeda
dengan USAID yang mendefinisikan governance secara tegas normatif dengan
mendefinisikannya sebagai “kemampuan pemerintah untuk mengembangkan efisiensi,
efektifitas, dan akuntabilitas dalam proses manajemen kebijakan publik yang terbuka bagi
partisipasi warga negara dan memperkuat daripada memperlemah sebuah sistem
demokrasi government” (Ibid: 557). Kesamaan diantara mereka, baik DFID, USAID maupun
Word Bank dalam mendefinisikan governance adalah proses demokratis dalam pembuatan
kebijakan.
Dari berbagai pemaparan yang telah dikemukakan, baik Rhodes dengan self
organizing dan interorganizational network maupun Grindel dengan menekankan kesamaan
pada poin proses demokratis dalam pembuatan kebijakan serta sedikit menyinggung Peters &
Pierre dengan governing without govermentnya, dapat disimpulkan bahwa governance adalah
“proses demokratis dalam pembuatan kebijakan, yang melibatkan baik aktor negara
(pemerintah) maupun non-negara (baik masyarakat terutama lagi swasta) yang saling
memiliki ketergantungan untuk selalu bernegosiasi dan bersepakat dalam melakukan
pertukaran sumber daya dengan derajat yang sama-sama kuat untuk bekerjasama (meski
bersifat relative), serta mengandung implikasi melemahnya peran pemerintah sebagai aktor
sentral dalam berbagai keputusan kebijakan sebagai pembeda dari paradigma government”.

C. Pemangku Kepentingan
Dari aspek semantik, pemangku kepentingan didefinisikan sebagai perorangan,
organisasi, dan sejenisnya yang memiliki andil atau perhatian dalam bisnis atau industri
(Hornby 1995). Dalam implementasi program pembangunan, pemangku kepentingan memiliki
definisi dan pengertian yang beraneka ragam. Istilah pemangku kepentingan digunakan untuk
mendeskripsikan komunitas atau organisasi yang secara permanen menerima dampak dari
aktivitas atau kebijakan, di mana mereka berkepentingan terhadap hasil aktivitas atau
kebijakan tersebut. Hal ini perlu disadari, mengingat masyarakat tidak selalu menerima
dampak secara adil. Sebagian masyarakat mungkin menanggung biaya dan sebagian
masyarakat lainnya justru memperoleh manfaat dari suatu kegiatan atau kebijakan (Race dan
Millar 2006).
Gonsalves et al. (2005) mendeskripsikan pemangku kepentingan atas siapa yang
memberi dampak dan/atau siapa yang terkena dampak kebijakan, program, dan aktivitas
pembangunan. Mereka bisa laki-laki atau perempuan, komunitas, kelompok sosial ekonomi,
atau lembaga dalam berbagai dimensi pada setiap tingkat golongan masyarakat. Setiap
kelompok ini memiliki sumber daya dan kebutuhan masing-masing yang harus terwakili dalam

Hal. 7 dari 12
proses pengambilan keputusan dalam kegiatan pembangunan. Perlu dicatat bahwa
pengambilan keputusan tidak dapat dilaksanakan secara efektif oleh satu kelompok tertentu.
Pemangku kepentingan adalah perorangan dan kelompok yang secara aktif terlibat
dalam kegiatan, atau yang terkena dampak, baik positif maupun negatif, dari hasil
pelaksanaan kegiatan. Secara garis besar, pemangku kepentingan dapat dibedakan atas tiga
kelompok (Crosby 1992), yaitu:
1. Pemangku kepentingan utama, yakni yang menerima dampak positif atau negatif (di luar
kerelaan) dari suatu kegiatan.
2. Pemangku kepentingan penunjang, adalah yang menjadi perantara dalam membantu
proses penyampaian kegiatan. Mereka dapat digolongkan atas pihak penyandang dana,
pelaksana, pengawas, dan organisasi advokasi seperti organisasi pemerintahan, LSM,
dan pihak swasta. Dalam beberapa kegiatan, pemangku kepentingan penunjang dapat
merupakan perorangan atau kelompok kunci yang memiliki kepentingan baik formal
maupun informal.
3. Pemangku kepentingan kunci, yakni yang berpengaruh kuat atau penting terkait dengan
masalah, kebutuhan, dan perhatian terhadap kelancaran kegiatan
Sedangkan menurut Reed et al. (2009) menyatakan peran masing-masing pemangku
kepentingan adalah sebagai berikut:
1. Key players, adalah pemangku kepentingan yang aktif, mempunyai kepentingan dan
pengaruh yang tinggi terhadap kebijakan pembangunan.
2. Context setters, adalah pemangku kepentingan yang mempunyai pengaruh yang tinggi
namun rendah dalam hal kepentingan sehingga dapat menimbulkan risiko yang
signifikan.
3. Subjects, yaitu pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruh
yang rendah dan walaupun kelompok ini mendukung kegiatan namun kapasitasnya
terhadap dampak tergolong kecil.
4. Crowds, yaitu pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang
rendah terhadap hasil yang diinginkan dan kelompok ini dipertimbangkan untuk
diikutsertakan dalam pengambilan keputusan.
Pemangku kepentingan dapat dikategorikan sebagai pelaku, sedangkan partisipasi
merupakan media dalam mencapai tujuan pelaksanaan kegiatan. Melalui partisipasi,
pemangku kepentingan diharapkan mampu memformulasikan dan sekaligus
mengimplementasikan aksi bersama. Selener (1997) mengklasifikasikan partisipasi atas dua
tipe. Pertama, partisipasi teknis yang dapat mempengaruhi para pemegang kekuasaan untuk
mengakomodasikan kebutuhan mereka. Partisipasi tipe ini relatif tidak bermuara pada

Hal. 8 dari 12
pemberdayaan atau perubahan sosial masyarakat. Kedua, partisipasi politis yang memiliki
kemampuan dalam pengambilan langkah pengawasan terhadap suatu kondisi dan situasi
tertentu. Partisipasi tipe ini mampu meningkatkan aksi swadaya dalam pengembangan dan
penguatan kelembagaan.
Paling tidak ada empat alasan pentingnya partisipasi dalam menunjang keberhasilan
suatu program/kegiatan (Krishna dan Lovell 1985). Pertama, partisipasi diperlukan untuk
meningkatkan rencana pengembangan program/kegiatan secara umum dan kegiatan prioritas
secara khusus. Kedua, partisipasi dikehendaki agar implementasi kegiatan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Ketiga, partisipasi dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan
program/kegiatan. Keempat, partisipasi dapat meningkatkan kesetaraan dalam implementasi
kegiatan. Oleh karena itu, partisipasi merupakan suatu tatanan mekanisme bagi para
penerima manfaat dari suatu program/kegiatan. Pada umumnya para pemangku kepentingan
dalam implementasi program/ kegiatan terlibat secara semu (pasif). Petani, misalnya, hanya
difungsikan sebagai target dan mereka berpartisipasi berdasarkan informasi yang mereka
dapatkan mengenai apa yang terjadi di lingkungan mereka. Dengan kata lain, informasi dari
target diinterpretasikan oleh pihak luar (kaum profesional dan ahli).
Peran pemangku kepentingan biasanya berupa intervensi awal sebagai penggerak
masyarakat agar ikut berpartisipasi dalam upaya pengembangan komunitas membangun
ketahanannya. Intervensi dari luar komunitas dapat mendorong tumbuhnya perubahan dan
pembaharuan dalam pengembangan komunitas. Namun, intervensi dari pemangku
kepentingan juga dapat memberikan dampak negatif. Hal tersebut tergantung pada
bagaimana intervensi yang dilakukan dalam komunitas tersebut. Seperti yang dikatakan
Soetomo (2006:138) Intervensi dikatakan dapat menimbulkan ketergantungan apabila
masyarakat yang tadinya statis menjadi tergerak untuk melakukan perubahan dan
pembaharuan setelah memperoleh intervensi dari luar, tetapi kemudian kembali menjadi statis
setelah intervensi dihentikan. Peran pemangku kepentingan, seperti pemerintah dan swasta
hanya sebagai pendamping, pembina, dan pengawas berjalannya kegiatan dalam komunitas
tersebut. Batasan peran perlu ditegaskan sehingga masyarakat dalam suatu komunitas tidak
terusmenerus bergantung pada bantuan pemangku kepentingan lain. Peran pemangku
kepentingan diperlukan hingga terbentuk komunitas yang kokoh dan madani, dengan
demikian komunitas telah dapat mengaktualisasikan potensi yang dimiliki dan mempunyai
akses terhadap pembangunan. Dengan demikian, adanya peran serta pemangku kepentingan
tetap diperlukan dengan syarat peran atau intervensi tersebut dilakukan secara proporsional.

Hal. 9 dari 12
BAHAN REVIEW
Mahasiswa diharapkan melakukan review terkait modul chapter diatas!

Hal. 10 dari 12
Referensi

Dwiyanto, Agus. 2015. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif dan Kolaboratif.
Yogyakarta: UGM Press.

Gonsalves, J., T. Becker, A. Braun, D. Campilon, H. de Chaves, E. Fajber, M. Capiriri, J.R.


Caminade, and R. Vernooy. 2005. Participatory Research and Development for
Sustainable Agricultural and Natural Resource Management: A resource book (glossary).
International Potato Center-Users Perspective with Agricultural Research and
Development, Philippines.

Grindle, Merilee S. 2007. “Good Enough Governance Revisited”. Dalam Development Policy
Review, 25 (5), 2007, hal. 553-574.

Hetifah Sj. 2009. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia. Hal Dwiyanto, Agus. 2008. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan
Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hornby, A.S. 1995. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. C. Jonathan, K.
Kavanagh, and M. Ashby (Eds.). Oxford University Press, Oxford
Keban, Jeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan
Isu. Yogyakarta : Penerbit Gava Media.

Krishna, R. and C. Lovell. 1985. Rural and Development in Asia and the Pacific. The Synopsis
of ADB Regional Seminar on Rural Development in Asia and the Pacific, 15− 23 October
1984. Asian Development Bank, Manila.

Kurniawan, Teguh. 2007. Pergeseran, Paradigma Administrasi Publik; Dari Perilaku Model
Klasik Dan NPM Ke Good Governance. Jurnal Ilmu Administrasi Negara. No.
23A/Dikti/KEP/2004. ISSN. 141-948X, Vol. 7. Hal. 16-17

Peters, B. Guy dan John Pierre. 1998. “Governance without Government: Rethinking Public
Administration”. Dalam Journal of Public Administration Research and Theory: J-PART,
Vol. 8, No. 2, April 1998, hal. 223-243.

Hal. 11 dari 12
Rhodes, R.A.W. 1996. “The New Governance: Governing without Government”.
Dalam Political Studies, XLIV, 1996, hal. 652-667.

Selener, D. 1997. Participatory Action Research and Social Change. Cornell University,
Ithaca, New York

Hal. 12 dari 12

Anda mungkin juga menyukai