Anda di halaman 1dari 64

LAPORAN FIELDTRIP GEOTEKNIK PERTAMBANGAN

ANALISIS STABILITAS LERENG DENGAN METODE JANBU DI


DESA MAMAMPANG KECAMATAN TOMBOLO PAO
KABUPATEN GOWA

OLEH
NURUL LATIFAH (D62114010)
DARMAWATI M. (D62114014)
MUH. IKHSAN NASRULLAH (D62114015)
AFIF FAUZAN MUSLIM (D62114016)
M. KHAIRIL A’MAL (D62114301)
ILHAM HIDAYATUL R. L. (D62114316)

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN

GOWA

2017
HALAMAN PENGESAHAN

NURUL LATIFAH (D62114010)


DARMAWATI M. (D62114014)
MUH. IKHSAN NASRULLAH (D62114015)
AFIF FAUZAN MUSLIM (D62114016)
M. KHAIRIL A’MAL (D62114301)
ILHAM HIDAYATUL R. L. (D62114316)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Kelulusan Mata Kuliah Geoteknik

Pertambangan pada Program Studi Teknik Pertambangan Jurusan Teknik Geologi

Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin

Disetujui Oleh,

Dosen Mata Kuliah Kordinator Asisten

Ir. H. Djamaluddin, MT. Arafah D Patahuddin


NIP. 19560412 199703 1 001 NIM. D62112256

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan laporan
tentang analisis kestabilan lereng dengan metode di Desa Mamampang Kecamatan
Tombolo Pao Kabupaten Gowa
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai bidang geoteknik khususnya stabilitas
suatu lereng. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam laporan ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya.. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari
Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................2
1.3 Tujuan.......................................................................................................2
1.4 Manfaat.....................................................................................................2
1.5 Kesampaian Daerah....................................................................................3
BAB II DASAR-DASAR ANALISIS GEOTEKNIK LERENG.................................5
2.1 Geologi Regional........................................................................................5
2.2 Faktor-Faktor Kelongsoran..........................................................................7
2.3 Standar Faktor Keamanan.........................................................................11
2.4 Kriteria Mohr & Coulomb...........................................................................16
2.5 Kriteria Hoek & Brown...............................................................................18
2.6 Geological Strength Index (GSI)................................................................19
2.7 Geomekanika Diskontinuitas......................................................................22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................................36
3.1 Pengambilan Data.....................................................................................36
3.2 Pengolahan Data......................................................................................41
3.3 Analisis Data.............................................................................................44
BAB IV ANALISIS STABILITAS LERENG MENGGUNAKAN METODE JANBU
DAN ANALISIS KINEMATIK................................................................52
4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian...............................................................52
4.2 Kesetabilan Lereng daerah Penelitian.........................................................52
BAB V PENUTUP..........................................................................................57
5.1 KESIMPULAN........................................................................................57
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Suatu kelongsoran adalah keruntuhan dari massa tanah yang terletak di

bawah sebuah lereng. Dalam peristiwa tersebut terjadi pergerakan massa tanah pada

arah ke bawah dan pada arah keluar. Hal tersebut dapat terjadi melalui beberapa

cara yaitu secara perlahan-lahan, secara mendadak, dan dengan atau tanpa

penyebab yang terlihat (Terzagi et al., 1987).

Ketidakstabilan merupakan permasalahan utama dalam ilmu rekayasa lereng

dan menjadi tantangan besar untuk para ahli dan peneliti. Gaya-gaya gravitasi dan

rembesan (seepage) cenderung menyebabkan ketidakstabilan ( instability) pada

lereng alami (natural slope), pada lereng yang dibentuk dengan cara penggalian, dan

pada lereng tanggul serta bendungan tanah (Craig, 1987). Kondisi tersebut juga

dapat diakibatkan curah hujan yang tinggi, kenaikan muka air tanah dan perubahan

dalam aktifitas geologi seperti patahan, rekahan dan liniasi. Demikian pula, lereng

alami yang telah stabil selama bertahun-tahun tiba-tiba mungkin longsor karena

perubahan geometri, kekuatan eksternal dan kehilangan kekuatan geser. Dalam hal

ini, stabilitas jangka panjang berkaitan erat dengan pelapukan dan pengaruh kimia

yang dapat menurunkan kekuatan geser dan mengakibatkan shear strength tension

cracks (Abramson, 2002). Oleh sebab itu evaluasi kondisi stabilitas lereng menjadi

cukup penting. Saat massa tanah memiliki permukaan miring, potensi lereng untuk

tergelincir dari tingkat yang lebih tinggi ke tingkat yang lebih rendah selalu ada.

Kelongsoran akan terjadi jika tegangan geser terjadi di tanah melebihi kekuatan geser

1
tanah yang sesuai. Namun pertimbangan praktis tertentu membuat analisis stabilitas

lereng yang tepat sulit dalam prakteknya.

Field trip ini merupakan bahan pembelajaran bagi mahasiswa dalam

melakukan pengukuran-pengukuran dan mengambil data di lapangan yang mana

data tersebut bisa menjadi bahan pembelajaran selanjutnya untuk menganalisis

kestabilan suatu lereng.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan dikaji dalam kegiatan field trip ini adalah mengenai

ketidakstabilan pada lereng yang berada pada Desa Mamampang, Kecamatan

Tombolo Pao, Kabupaten Gowa. Metode analisis stabilitas lereng yang digunakan

yaitu metode Janbu dengan menggunakan bantuan program komputer Rocscience

Slide 6.0 dan Dips. Nilai faktor keamanan yang dihasilkan dari metode tersebut akan

menjadi penentu rancangan geometri lereng yang baru sehingga sesuai dengan

standar nilai faktor keamanan. Selain nilai faktor keamanan juga dilihat besarnya

distribusi pergeseran total ( total displacement), tegangan rata-rata (mean stress) dan

regangan maksimum (maximum shear strain) yang terjadi pada lereng.

1.3 Tujuan

Tujuan dari field trip ini adalah:

1. Mengetahui besarnya stabilitis lereng dengan menggunakan metode Janbu.

2. Mengananalisis pembebanan maksimal pada lereng yang berada di lereng

jalan.

1.4 Manfaat

2
Manfaat penelitian ini adalah menerapkan metode Janbu pada analisis

stabilitas lereng sehingga kedepannya dapat digunakan metode lain yang lebih andal

sebagai pembanding. Dengan memperhatikan faktor keamanan minimum yang

diperoleh maka akan dilakukan rancangan ulang geometri lereng sehingga diperoleh

nilai faktor keamanan minimum sesuai standar. Rancangan geometri ini menjadi

rekomendasi dalam pembuatan geometri yang baru di lapangan sehingga mengurangi

sifat ketidakstabilan dari lereng yang dapat menimbulkan kerugian bagi warga Desa

Mamampang, Kec. Tombolo Pao, Kab. Gowa.

1.5 Kesampaian Daerah

Secara administrasi lokasi field trip terletak pada Desa Mamampang,

Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Daerah dapat

dijangkau menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua. Akses menuju

lokasi mudah dijangkau dengan jalan yang cukup bagus. Waktu perjalanan yang di

butuhkan untuk sampai lokasi field trip berkisar 3-4 jam dari Makassar, ibukota

provinsi Sulawesi Selatan.

Field trip ini dilaksanakan pada tanggal 13 hingga 14 Mei 2017. Dimulai

dengan berkumpulnya peserta field trip di kampus Fakultas Teknik Unhas, Gedung

Jurusan Geologi, Kabupaten Gowa pada pukul 8 pagi waktu setempat. Praktikan dan

asisten serta dosen memberikan pengarahan sebelum melakukan perjalanan ke lokasi

field trip. Rombongan field trip menggunakan kendaraan roda empat sebanyak 5

buah untuk seluruh peserta kuliah lapangan ini. Waktu tempuh yang digunakan

selama perjalanan yaitu kurang lebih 4 jam. Rombongan kuliah lapangan sampai ke

lokasi penginapan (rumah pribadi Sekertaris Desa Mamampang) pada siang hari dan

langsung di sambut dengan baik oleh sekdes setempat.

3
4
BAB II

DASAR-DASAR ANALISIS GEOTEKNIK LERENG

2.1 Geologi Regional

Penamaan satuan bentangalam daerah penelitian didasarkan pada pendekatan

morfogenesa dengan memperhatikan bentuk topografi di lapangan. Berdasarkan kedua

pendekatan tersebut maka daerah penelitian dapat dibagi menjadi tiga satuan

bentangalam yaitu Satuan Perbukitan Aliran Lava, Satuan Perbukitan Piroklastik dan

Satuan Pegunungan Aliran Lava (Lapatau, 2014).

Satuan bentangalam perbukitan aliran lava menempati sekitar ± 19,89 % dari

seluruh daerah penelitian dengan luas ± 8,17 km2. Arah penyebaran dari satuan

bentangalam ini relatif dari Utara ke Selatan meliputi Bulu Karopo’ dan Bulu Malenteng.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, satuan bentangalam ini memiliki beda nilai

ketinggian yaitu 1050 – 1354 meter di atas permukaan laut, yang disusun oleh batuan

berupa basal (Lapatau, 2014).

Proses pelapukan yang bekerja pada satuan bentangalam ini adalah proses

pelapukan fisika dan biologi dan tingkat pelapukan yang terjadi pada satuan

bentangalam ini yaitu sedang–tinggi. Jenis erosi permukaan yang terjadi di daerah

penelitian berupa gully erosion (erosi parit) dan tipe gerakan tanah ( mass movement)

berupa debris fall (Lapatau, 2014).

Tutupan lahan relatif sedang – tinggi dengan vegetasi sedang – lebat. Secara

umum tata guna lahan pada satuan ini terdiri dari perkebunan. Berdasarkan dari

karakteristik yaitu pengamatan langsung di lapangan dan analisis data yang meliputi

aspek-aspek geomorfologi maka bentangalam ini dimasukkan kedalam satuan

5
bentangalam perbukitan aliran lava dengan stadia muda menjelang dewasa (Lapatau,

2014).

Satuan bentang alam perbukitan piroklastik menempati sekitar ± 25,56 % dari

seluruh daerah penelitian dengan luas ± 10,50 km2. Arah penyebaran dari satuan

bentangalam ini relatif dari timur ke barat meliputi Bulu Lehelopu dan daerah dusun

Malenteng. Berdasarkan pengamatan di lapangan, satuan bentangalam ini memiliki

beda nilai ketinggian yaitu 1150 – 1405 meter di atas permukaan laut, yang disusun

oleh batuan berupa tufa. Proses pelapukan yang bekerja pada satuan bentangalam ini

adalah proses pelapukan fisika, kimia dan biologi dan tingkat pelapukan yang terjadi

pada satuan bentangalam ini yaitu sedang–tinggi (Lapatau, 2014).

Jenis erosi permukaan yang terjadi pada satuan bentangalam ini yaitu rill

erosion (erosi alur) yang memiliki lebar ±40 cm dengan kedalaman < 10 cm. Adapun

tipe gerakan tanah (mass movement) yang terjadi pada satuan bentangalam ini

berupa debris fall (Lapatau, 2014).

Tutupan lahan relatif rendah–sedang dengan vegetasi berupa alang-alang dan

pohon pinus. Secara umum tata guna lahan pada satuan ini terdiri dari perkebunan,

persawahan dan pemukiman. Berdasarkan dari karakteristik yaitu pengamatan

langsung di lapangan dan analisis data yang meliputi aspek-aspek geomorfologi maka

bentangalam ini dimasukkan kedalam satuan bentangalam perbukitan piroklastik

dengan stadia muda menjelang dewasa (Lapatau, 2014).

Satuan bentangalam pegunungan aliran lava menempati sekitar ±54,55 % dari

seluruh daerah penelitian dengan luas ± 22,4 km . Arah penyebaran dari satuan
2

bentangalam ini relatif dari selatan ke utara meliputi Bulu Batumenteng, Bulu

Diharelaju, Bonto Rupulumuwe, Bonto Kajenorang dan Bonto Langilagiri. Berdasarkan

pengamatan di lapangan, satuan bentangalam ini memiliki beda nilai ketinggian yaitu

975–1622 meter di atas permukaan laut, yang disusun oleh batuan berupa basal

6
amygdaloidal (Lapatau, 2014).

Proses pelapukan yang bekerja pada satuan bentangalam ini adalah proses

pelapukan fisika, kimia dan biologi dan tingkat pelapukan yang terjadi pada satuan

bentangalam ini yaitu sedang–tinggi. Jenis erosi permukaan yang terjadi pada satuan

bentangalam ini yaitu rill erosion berupa alur cekungan yang memiliki lebar sekitar 30

cm dan kedalaman < 10 cm (Lapatau, 2014).

Adapun tipe gerakan tanah ( mass movement) yang terjadi pada satuan

bentangalam ini berupa debris slide. Tutupan lahan relatif sedang–tinggi dengan

vegetasi berupa rotan, pohon pinus dan tumbuhan hutan lainnya. Secara umum tata

guna lahan pada satuan ini yaitu kawasan hutan lindung. Berdasarkan dari

karakteristik yaitu pengamatan langsung di lapangan dan analisis data yang meliputi

aspek-aspek geomorfologi maka bentangalam ini dimasukkan kedalam satuan

bentangalam pegunungan aliran lava dengan stadia muda menjelang dewasa

(Lapatau, 2014).

2.2 Faktor-Faktor Kelongsoran

Gerakan tanah atau lebih dikenal dengan istilah tanah longsor adalah suatu

produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya

massa tanah dan batuan ke tempat yang lebih rendah. Gaya yang menahan massa

tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik tanah, dan sudut dalam

tahanan geser tanah yang bekerja di sepanjang lereng. Perubahan gaya-gaya tersebut

ditimbulkan oleh pengaruh perubahan alam maupun tindakan manusia. Perubahan

kondisi alam dapat diakibatkan oleh gempa bumi, erosi, kelembaban lere ng karena

penyerapan air hujan dan perubahan aliran permukaan. Pengaruh manusia terhadap

perubahan gaya-gaya antara lain adalah penambahan beban pada lereng dan tepi

7
lereng, penggalian tanah di tepi lereng dan penajaman sudut lereng. Tekanan jumlah

penduduk yang banyak menempati tanah -tanah berlereng sangat berpengaruh

terhadap peningkatan resiko longsor. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

gerakan tanah antara lain: tingkat kelerengan, karakteristik tanah, keadaan geologi,

keadaan vegetasi, curah hujan/hidrologi dan aktivitas manusia di wilayah tersebut

(Sutikno dalam Subhan, 2006).

Terdapat beberapa ciri/karakteristik daerah rawan akan gerakan tanah, yaitu

(Darsoatmodjo dan Soedrajat dalam Subhan 2006):

a. Adanya gunung api yang menghasilkan endapan batuan volkanik yang

umumnya belum padu dan dengan proses fisik dan kimiawi maka batuan akan

melapuk, berupa lempung pasiran atau pasir lempungan yang bersifat sarang,

gembur dan mudah meresapkan air.

b. Adanya bidang luncur (diskontinuitas) antara batuan dasar dengan tanah

pelapukan, bidang luncuran tersebut merupakan bidang lemah yang licin dapat

berupa batuan lempung yang kedap air atau batuan breksi yang kompak dan

bidang luncuran tersebut miring kearah lereng yang terjal.

c. Pada daerah pegunungan dan perbukitan terdapat lereng yang terjal, pada

daerah jalur patahan /sesar juga dapat membuat lereng menjadi terjal dan

dengan adanya pengaruh struktur geologi dapat menimbulkan zona retakan

sehingga dapat memperlemah kekuatan batuan setempat.

d. Pada daerah aliran sungai tua yang bermeander dapat mengakibatkan lereng

menjadi terjal, akibat pengikisan air sungai ke arah lateral, bila daerah tersebut

disusun oleh batuan yang kurang kuat dan tanah pelapukan yang bersifat

lembek dan tebal maka mudah untuk longsor.

8
e. Faktor air juga berpengaruh terhadap terjadinya tanah Iongsor, yaitu bila di

lereng bagian atas terdapat adanya saluran air tanpa bertembok, persawahan,

kolam ikan (genangan air), bila saluran tersebut jebol atau bila turun hujan air

permukaan tersebut meresap ke dalam tanah akan mengakibatkan kandungan

air dalam massa tanah akan lewat jenuh, berat massa tanah bertambah dan

tahanan geser tanah menurun serta daya ikat tanah menurun sehingga gaya

pendorong pada lereng bertambah yang dapat mengakibatkan lereng tersebut

goyah dan bergerak menjadi longsor.

Kelerengan menjadi faktor yang sangat penting dalam proses terjadinya tanah

longsor. Pembagian zona kerentanan sangat terkait dengan kondisi kemiringan lereng.

Kondisi kemiringan lereng lebih 15° perlu mendapat perhatian terhadap kemungkinan

bencana tanah longsor dan tentunya dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain

yang mendukung. Pada dasarnya sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan

daerah perbukitan atau pegunungan yang membentuk lahan miring. Namun tidak

selalu lereng atau lahan yang miring berbakat atau berpotensi longsor. Potensi

terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan tanah

penyusun lerengnya, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup dan penggunaan

lahan pada lereng tersebut (Karnawati dalam Subhan, 2006)

Lebih jauh Karnawati (2001), menyebutkan terdapat 3 tipologi lereng yang

rentan untuk bergerak/ longsor, yaitu:

a. Lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah gembur dialasi oleh batuan atau

tanah yang lebih kompak.

b. Lereng yang tersusun oleh pelapisan batuan miring searah lereng.

c. Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan.

Kemantapan suatu lereng tergantung kepada gaya penggerak dan gaya

9
penahan yang ada pada lereng tersebut. Gaya penggerak adalah gaya-gaya yang

berusahan untuk membuat lereng longsor, sedangkan gaya penahan adalah gaya-gaya

yang mempertahankan kemantapan lereng tersebut. Jika gaya penahan ini lebih besar

dari pada gaya penggerak, maka lereng tersebut tidak akan mengalami gangguan atau

berarti lereng tersebut mantap (Das, 1993; Notosiswojo dan Projosumarto, 1984,

dalam Mustafril, 2003).

Faktor-faktor yang menyebabkan longsor secara umum diklasifikasikan sebagai

berikut (Notosiswojo dan Projosumarto, 1984 dalam Mustafril, 2003):

1. Faktor-faktor yang menyebabkan naiknya tegangan geser, yaitu : naiknya berat

unit tanah karena pembasahan, adanya tambahan beban eksternal seperti

bangunan, bertambahnya kecuraman lereng karena erosi alami atau karena

penggalian, dan bekerjanya beban goncangan.

2. Faktor-faktor yang menyebabkan turunnya kekuatan geser, yaitu : adanya

absorbsi air, kenaikan tekanan pori, beban goncangan atau beban berulang,

Pengaruh pembekuan dan pencairan, hilangnya sementasi material, proses

pelapukan, dan hilangnya kekuatan karena regangan berlebihan pada lempung

sensitif.

Faktor geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah struktur

geologi, sifat bawaan batuan, hilangnya perekat tanah karena proses alami

(pelarutan), dan gempa. Struktur geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan

tanah adalah kontak batuan dasar dengan pelapukan batuan, retakan/rekahan,

perlapisan batuan, dan patahan. Zona patahan merupakan zona lemah yang

mengakibatkan kekuatan batuan berkurang sehingga menimbulkan banyak retakan

yang memudahkan air meresap (Surono dalam Subhan, 2006).

Gempa bumi adalah getaran pada kulit bumi yang disebabkan oleh pelepasan

energi akibat aktivitas lempeng -lempeng kerak bumi ataupun kegiatan patahan di

10
darat atau dasar laut. Dampak dari gempa bumi dapat berupa goncangan permukaan

tanah (ground shaking), pergeseran permukaan tanah (ground faulting) dan tsunami.

Goncangan permukaan tanah dapat mengakibatkan : tanah longsor/gerakan tanah dan

penurunan muka tanah.

Lebih jauh Surono (2003), menyebutkan bahwa gerakan tanah terjadi apabila

gaya -gaya yang menahan (resisting forces) massa tanah di lereng lebih kecil daripada

gaya yang mendorong atau meluncurkan tanah sepanjang lereng. Gaya yang menahan

massa tanah di sepanjang lereng dipengaruhi kedudukan muka air tanah, sifat

fisik/mekanisme tanah terutama daya ikat tanah dan sudut dalam tahanan geser tanah

yang bekerja di sepanjang bidang luncuran. Gaya pendorong tersebut dipengaruhi

diantaranya oleh kandungan air, beban bangunan, dan berat massa tanah.

2.3 Standar Faktor Keamanan

Proses menghitung dan membandingkan tegangan geser yang terbentuk

sepanjang permukaan longsor yang paling mungkin dengan kekuatan geser dari tanah

yang bersangkutan dinamakan dengan Analisis Stabilitas Lereng ( Slope Stability

Analysis). Untuk analisis stabilitas lereng diperlukan parameter tanah/batuan (Hidayah,

S., 2007) :

1. Kuat geser

Kuat geser terdiri dari kohesi (c) dan sudut geser dalam (φ). Untuk analisis

stabilitas lereng untuk jangka panjang digunakan harga kuat geser efektif

maksimum (c’ , φ’). Untuk lereng yang sudah mengalami gerakan atau

material pembentuk lereng yang mempunyai diskontinuitas tinggi

digunakan harga kuat geser sisa (cr = 0; φr).

2. Berat Isi

11
Berat isi diperlukan untuk perhitungan beban guna analisis stabilitas lereng.

Berat isi dibedakan menjadi berat isi asli, berat isi jenuh, dan berat isi terendam air

yang penggunaannya tergantung kondisi lapangan. Salah satu penerapan pengetahuan

mengenai kekuatan geser tanah/batuan adalah untuk analisis stabilitas lereng.

Keruntuhan geser pada tanah atau batuan terjadi akibat gerak relatif antar butirnya.

Oleh sebab itu kekuatannya tergantung pada gaya yang bekerja antarbutirnya. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa kekuatan geser terdiri atas (Hidayah, S., 2007):

1. Bagian yang bersifat kohesif, tergantung pada macam tanah/batuan dan ikatan

butirnya.

2. Bagian yang bersifat gesekan, yang sebanding dengan tegangan efektif yang

bekerja pada bidang geser.

Kekuatan geser tanah dapat dinyatakan dengan rumus :

S = C’ + ( τ - μ ) tan φ (2.1)

dimana : S = kekuatan geser

τ = tegangan total pada bidang geser

μ = tegangan air pori

C’= kohesi efektif

φ = sudut geser dalam efektif

Gambar 2.1 Grafik Kuat Geser Tanah/Batuan

12
Analisis stabilitas lereng pada dasarnya dapat ditinjau sebagai mekanisme

gerak suatu benda yang terletak pada bidang miring. Benda akan tetap pada posisinya

jika gaya penahan R yang terbentuk oleh gaya geser antara benda dan permukaan

lereng lebih besar dibandingkan dengan gaya gelincir T dari benda akibat gaya

gravitasi. Sebaliknya benda akan tergelincir jika gaya penahan R lebih kecil dibanding

dengan gaya gelincir T. Secara skematik terlihat pada Gambar (2.2). Secara matematis

stabilitas lereng dapat diformulasikan sebagai (Hidayah, S., 2007):

FK = R/T (2.2)

dimana FK = faktor keamanan

R = gaya penahan

T = gaya yang menyebabkan gelincir

Jika,

FK < 1 benda akan bergerak

FK = 1 benda dalam keadaan seimbang

FK > 1 benda akan diam

Gambar 2.2 Kesetimbangan Benda pada Bidang Miring

Mengingat lereng terbentuk oleh banyaknya variabel dan banyaknya factor

ketidakpastian antara lain parameter-parameter tanah seperti kuat geser tanah, kondisi

tekanan air pori maka dalam menganalisis selalu dilakukan penyederhanaan dengan

13
berbagai asumsi. Secara teoritis massa yang bergerak dapat dihentikan dengan

meningkatkan kekuatan gesernya (Hidayah, S., 2007).

Hal yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan kriteria factor keamanan

adalah resiko yang dihadapi, kondisi beban dan parameter yang digunakan dalam

melakukan analisis stabilitas lereng. Resiko yang dihadapi dibagi menjadi tiga yaitu :

tinggi, menengah dan rendah. Tugas seorang engineer meneliti stabilitas lereng untuk

menentukan faktor keamanannya. Secara umum, faktor keamanan dapat dijelaskan

sebagai berikut (Hidayah, S., 2007):

τf
FK = (2.3)
τd

dimana

FK = angka keamanan terhadap kekuatan tanah.

τf = kekuatan geser rata-rata dari tanah.

τd = tegangan geser rata-rata yang bekerja sepanjang bidang longsor.

Kekuatan geser suatu lahan terdiri dari dua komponen, friksi dan kohesi, dan

dapat ditulis,

τ f = c + σ tan φ (2.4)

dimana,

c = kohesi tanah penahan

φ = sudut geser penahan

σ = tegangan normal rata-rata pada permukaan bidang longsor.

Atau dapat ditulis,

τ d = cd + σ tan φ d (2.5)

Dimana cd adalah kohesi dan φd sudut geser yang bekerja sepanjang bidang longsor.

Dengan mensubstitusi persamaan (2.4) dan persamaan (2.5) ke dalam persamaan

(2.3) sehingga kita mendapat persamaan yang baru,

14
c+ σ tan φ
FK = (2.6)
c d + σ tan φd

Sekarang kita dapat mengetahui beberapa parameter lain yang mempengaruhi angka

keamanan tadi, yaitu angka keamanan terhadap kohesi, Fc, dan angka keamanan

terhadap sudut geser Fφ. Dengan demikian Fc dan Fφ dapat kita definisikan sebagai :

c
F c= (2.7)
cd

dan

tan φ
F d= (2.8)
tan φd

Bilamana persamaan (2.6), (2.7), dan (2.8) dibandingkan adalah wajar bila Fc menjadi

sama dengan Fφ, harga tersebut memberikan angka keamanan terhadap kekuatan

tanah. Atau, jika

c tan φ
=
c d tan φ d

Kita dapat menuliskan

FK = Fc = Fφ (2.9)

FK sama dengan 1 maka lereng dalam keadaan akan longsor. Biasanya, 1.5 untuk

angka keamanan terhadap kekuatan geser yang dapat diterima untuk merencanakan

suatu stabilitas lereng (SKBI-2.3.06, 1987).

Parameter yang digunakan menyangkut hasil pengujian dengan harga batas

atau sisa dengan mempertimbangkan ketelitiannya. Tabel 2.1 memperlihatkan faktor

keamanan terendah berdasar hal-hal tersebut di atas.

Tabel 2.1 Faktor Keamanan Minimum Stabilitas Lereng


Parameter Kekuatan Geser
Maksimum Sisa
Risiko Kondisi Beban
Kuran Teli Kuran
Teliti
g Teliti ti g Teliti

Tinggi Dengan Gempa 1,5 1,75 1,35 1,5

15
Tanpa Gempa 1,8 2 1,6 1,8

Dengan Gempa 1,3 1,6 1,2 1,4


Menengah
Tanpa Gempa 1,5 1,8 1,35 1,5

Dengan Gempa 1,1 1,25 1 1,1


Rendah
Tanpa Gempa 1,25 1,4 1,1 1,2

Resiko tinggi jika ada konsekuensi terhadap manusia cukup besar (ada

pemukiman), dan atau bangunan sangat mahal, dan atau sangat penting. Resiko

menengah bila ada konsekuensi terhadap manusia tetapi sedikit (bukan pemukiman),

dan atau bangunan tidak begitu mahal dan atau tidak begitu penting.Resiko rendah

bila tidak ada konsekuensi terhadap manusia dan terhadap bangunan (sangat murah)

(SKBI-2.3.06, 1987).

Kekuatan geser maksimum adalah harga puncak dan dipakai apabila massa

tanah/batuan yang potensial longsor tidak mempunyai bidang diskontinuitas

(perlapisan, rekahan, sesar dan sebagainya) dan belum pernah mengalami

gerakan.Kekuatan residual dipakai apabila : (i) massa tanah/batuan yang potensial

bergerak mempunyai bidang diskontinuitas, dan atau (ii) pernah bergerak (walaupun

tidak mempunyai bidang diskontinuitas) (SKBI-2.3.06, 1987).

2.4 Kriteria Mohr & Coulomb

Kuat geser tanah adalah kemampuan tanah melawan tegangan geser

yang terjadi pada saat terbebani. Mohr (1910) menyajikan sebuah teori tentang

hubungan antara tegangan normal (σ) dan geser ( τ) pada sebuah bidang

keruntuhan yang dinyatakan dalam bentuk:

τ =f (σ ).................................................................................................(Pers. 1)

16
Coloumb (1776), mendefinisikan f(σ) dengan persamaan :

τ =c +σ t g..............................................................................................(Pers. 2)

Dengan;

τ : kekuatan geser tanah

c : kohesi

φ : sudut geser dalam efektif

σ: tegangan normal

Persamaan (II.2) disebut kriteria keruntuhan MohrCoulomb, dimana garis

selubung kegagalan dari persamaan tersebut dilukiskan dalam bentuk garis lurus

pada Gambar II.1.

Kriteria keruntuhan/kegagalan Mohr - Coulomb digambarkan dalam bentuk

garis lurus. Jika kedudukan tegangan baru mencapai titik A, keruntuhan tidak akan

terjadi. Pada titik B terjadi keruntuhan karena titik tersebut terletak tepat pada

garis kegagalan. Titik C tidak akan pernah dicapai, karena sebelum mencapai titik

C sudah terjadi keruntuhan.

Gambar 2.3 Kriteria keruntuhan Mohr dan Coulomb


(Braja M.Das, 2007)
Berdasarkan konsep (Terzaghi, 1993), tegangan geser pada suatu tanah

hanya dapat ditahan oleh tegangan partikel-partikel padatnya. Karena itu

17
Terzaghi, mengubah rumus kekuatan geser Mohr - Coulomb dalam bentuk fungsi

tegangan normal efektif dengan memasukkan unsur tekanan air pori sebagai

berikut :

τ =c '+(σ−µ)tgϕ ' .................................................................................(Pers. 3)

Karena '=σ – µ , maka persamaan menjadi ;

τ =c '+σ ' tg ϕ ' ......................................................................................(Pers. 4)

dengan ;

τ = tegangan geser (kN/m2)

σ' = tegangan normal efektif (kN/m2)

c ’ = kohesi tanah efektif (kN/m2)

µ = tekanan air pori(kN/m2)

ϕ ' = sudut gesek dalam tanah efektif (derajat)

2.5 Kriteria Hoek & Brown

Kriteria Runtuhan Hoek-Brown, seperti pada Persamaan 5 (Hoek et al.,

2002). Besar nilai kekuatan batuan dapat diketahui seperti compressive strength

dan tensile strength (Persamaan 6 dan 7).

[ ]
a
σ '3
σ ' 1=σ ' 3 + σ ci mb + S ........................................................................(Pers. 5)
σ ci

Besar nilai uniaxial compressive strength (σ c) diperoleh saat σ ' 3=0, maka :

a
Compressive strength :σ ' c =σ ci . S ..........................................................(Pers. 6)

−S . σ ci
Tensile strength : σ ' c = ..............................................................(Pers. 7)
mb

Dimana mb merupakan penurunan konstanta material mi dengan besar :

mb=mi exp ( GSI


28−14 D )
−100
...........................................................................(Pers. 8)

18
S dan a adalah konstanta massa batuan yang berhubungan dengan besar nilai

GSI dan D, sebagaimana dijabarkan Persamaan 9 dan 10 (Hoek,2002).

S=exp ( GSI−100
9−3 D )
................................................................................(Pers. 9)

( )............................................................................(Pers. 10)
−GSI −GSI
1 1 15 3
a= + e −e
2 6

2.6 Geological Strength Index (GSI)

Kekuatan massa batuan terkekarkan tergantung kepada sifat/kekuatan

batuan utuh dan juga kepada bebas tidaknya blok-blok batuan yang menyusun

massa batuan untuk meluncur dan berotasi dibawah kondisi tegangan yang

berbeda. Hal tersebut dikontrol oleh bentuk geometri dari blok-blok batuan

penyusun massa batuan maupun kondisi permukaan bidang pemisah antar

blok-blok batuan tersebut. Suatu blok batuan yang menyudut dengan bidang

permukaan kasar akan mempunyai kekuatan massa batuan yang lebih besar

dibandingkan dengan dengan blok batuan yang membundar dan bidang

permukaanya terlapukan (Lesma, 2008).

Geological Strength Index (GSI) diperkenalkan oleh Hoek (1995) dan

Hoek, Kaiser, dan Bawden (1995) ditujukan untuk memperkirakan

berkurangnya kekuatan suatu massa batuan yang disebabkan oleh kondisi

geologi yang berbeda. Sistem GSI ini dapat dilihat pada gambar di bawah

(Lesma, 2008).

Setelah nilai GSI diperoleh, parameter-parameter yang menggambarkan

karakteritik kekuatan massa batuan dapat dihitung dengan persamaan di

bawah:

.................................................................... (2.1)

19
.................................................................... (2.2)

.................................................................... (2.3)

Gambar 2.4 Analisis GSI

2.6 Analisis Kinematik

Analisis kinematik adalah analisis tentang pergerakan benda tanpa

mempertimbangkan gaya-gaya yang menyebabkannya. Pertimbangan utama dalam

analisis ini yaitu kemungkinan terjadinya keruntuhan translasional yang disebabkan

oleh adanya formasi bidang planar atau baji. Metode ini hanya berdasarkan pada

evaluasi detail mengenai struktur massa batuan dan geometri dari bidang-bidang

lemah yang dapat memberikan kontribusi terhadap ketidakstabilan lereng. Analisis

kinematik dapat dilakukan menggunakan stereonet plot manual atau dengan program

komputer (Arief,2008).

20
Hal penting yang harus diperhatikan yaitu analisis kinematik hanya

mempertimbangkan kemungkinan terjadinya gelinciran yang disebabkan oleh sebuah

bidang lemah saja atau perpotongan dari beberapa bidang lemah. Analisis tipe ini tidak

mempertimbangkan keruntuhan yang melibatkan multiple joints atau joint sets serta

terjadinya deformasi dan rekahan pada blok batuan. Gambar di bawah adalah konsep

dari analisis kinematik untuk bidang runtuh planar, baji dan gulingan (Arief, 2008).

Gambar 2.5 Analisis kinematik untuk


longsoran dengan bidang
runtuh planar

21
Gambar 2.6 Analisis kinematik untuk
longsoran dengan bidang
runtuh baji

Gambar 2.7 Analisis kinematik untuk


keruntuhan gulingan

2.7 Geomekanika Diskontinuitas

Diskontinuitas dalam mekanika batuan, merupakan istilah umum yang

digunakan sebagai istilah untuk batuan yang mengalami kerusakan (Giani, 1992).

Istilah diskontinuitas secara umum dapat berbentuk diskontinuitas stratigrafi, seismik

dan struktur geologi. Hudson dan Harrison (1997) satu dari banyaknya aspek

fundamental kehadiran diskontinuitas adalah nilai rata-rata dan distribusi spasi antara

diskontinuitas, indeks asosiasi frekuensi diskontinuitas dan Rock Quality Designation

(RQD) (Bates, 1987).

Penerapan analisis mekanika batuan membutuhkan model dan data geologi

22
berdasarkan definisi tipe-tipe batuan, struktur diskontinuitas dan sifat material. Wyllie

dan Mah (2004) pengumpulan data diskontinuitas melalui investigasi geologi dengan

melakukan pengkategorian diskontinuitas, termasuk proses terbentuknya. Wyllie dan

Mah (2004) parameter-parameter yang perlu dicatat dalam investigasi geologi

diskontinuitas seperti tipe batuannya, tipe diskontinuitas, skala, orientasi, spasi,

persistence, kekasaran, kekuatan (wall strength), aperture, pengisi, seepage, jumlah

set kekar, bentuk dan ukuran blok, serta tingkat pelapukan tersaji pada gambar 2.2.

Palmstrom (1995) secara umum berkaitan dengan investigasi geologi dari semua hal

yang berkaitan dengan mekanika batuan, rekayasa batuan dan desain adalah kualitas

geo-data yang menjadi dasar perhitungan dan estimasi yang dibuat (Hoek, 2006).

Gambar 2.8 Sketsa parameter-parameter untuk


mendeskripsikan massa batuan
(Wyllie dan Mah, 2004)
2.6.1 Tipe Diskontinuitas

Tipe diskontinuitas mulai dari kekar tarik yang terbatas panjangnya, sampai

patahan dengan beberapa meter ketebalan lempung, gauge, dan panjang dalam

kilometer (Wyllie dan Mah, 2004), dan menurut Hoek (2006) semua massa batuan

23
mengandung diskontinuitas. Berbagai tipe diskontinuitas menurut Bieniawski (1989)

dan Hoek (2006) seperti patahan, bidang perlapisan, foliasi, kekar, belahan dan

schistositas. Lebih lanjut Giani (1992) menggolongkan bidang perlapisan, belahan dan

schitositas sebagai contoh kerusakan kemas ( fabric defact), sedangkan lipatan,

patahan dan kekar sebagai kerusakan struktural (structural defact).

2.6.2 Skala Diskontinuitas

Duncan dan Goodman (1968) dalam Giani (1992) membuat klasifikasi

diskontinuitas berdasarkan pada skalanya. Demikian juga Wyllie dan Mah (2004) serta

Hoek (2006) membuat ilustrasi skematik transisi skala berdasarkan peningkatan

ukuran percontoh, mulai dari batuan padu sebagai skala terkecil sampai sebagai massa

batuan yang terkekarkan kuat pada skala terbesar. Hoek (2006) analisis sifat mekanika

batuan dilakukan pada setiap skala memiliki formulasi tertentu yang tepat untuk

menganalisa permasalahan diskontinuitas. Sifat batuan atau sifat material diukur

melalui percontoh kecil di laboratorium, sedangkan sifat massa batuan ditentukan dari

keseluruhan sifat volume yang besar melalui pengukuran di lapangan (West, 2010).

Tabel 2.1 Deskripsi karakteristik diskontinuitas berdasarkan skala observasi (Duncan


dan Goodman, 1968 dalam Giani, 1992)

Skala
Nama Obs. Skala Spasi Asal/Genesa

Retakan Makro dan Percontohan s < 0,25 Alterasi dan


Mikro laboratorium cm retakan tarikan
Blok batuan
0,25 cm < Rekahan
Belahan Bidang in situ
s < 5 cm tarikan
observasi
Rekahan dari
Kekar (A) Penggalian 5 cm < s <
tarikan dan
Dike (B) eksplorasi 6m
tegasan geser
Zona Hancuran
Penggalian 6m<s< Rekahan dari

24
kompleks 60 m tegasan geser

Minor, zona
rekahan, diakibatkan
Cincin s > 60 m Rekahan dari
oleh tegasan shear
pegunungan tegasan geser
sesar utama

Duncan dan Goodman (1968) dalam Giani (1992) membuat ilustrasi yang

cukup detail dalam pengklasifikasian berbagai karakteristik diskontinuitas berdasarkan

skala observasinya, baik jenis, spasi dan genesa diskontinuitas. Diskontinuitas terkecil

berupa retakan mikro dan makro diamati melalui percontoh laboratorium. Adapun

observasi diskontinuitas berupa bidang perlapisan, kekar, dike, zona hancuran, zona

rekahan dan patahan termasuk patahan utama dilakukan melalui observasi secara in

situ di lapangan.

2.6.3 Orientasi Diskontinuitas

Mekanisme pada formasi batuan menyebabkan diskontinuitas tidak terbentuk

seluruhnya berorientasi acak (Hudson dan Harrison, 1997). Orientasi merefleksikan

siknifikansi variasi set diskontinuitas pada massa batuan (Bieniawski, 1989). Bidang

diskontinuitas memiliki strike dan dip, Giani (1992) menyatakan strike sebagai azimuth,

yang diukur searah jarum jam (Wyllie dan Mah, 2004) antara sudut utara dan irisan

bidang diskontinuitas terhadap bidang referensi horizontal. Sedangkan dip menurut

Hudson dan Harrison (1997) merupakan sudut tercuram diskontinuitas terhadap

horizontal.

25
Gambar 2.9 Contoh proyeksi stereografis bidang (N–S, 408W)) dan
kutup dari bidang: a) pandangan menyamping, b)
proyeksi sama luas bawah hemisfer
Giani (1992) analisis orientasi diskontinuitas dapat dilakukan melalui proyeksi

sperikal, yaitu metode yang menggunakan analisis hubungan tiga dimensi antara

bidang dan garis pada digram dua dimensi. Kelemahan proyeksi ini adalah kemudahan

bergerak dipermukaan, tetapi tidak mampu diputar. Goodman (1989) dan Wyllie dan

Mah (2004) diskontinuitas bisa juga dianalisis menggunkan metode proyeksi

stereografi (gambar 2.3), termasuk analisis kinematikanya (Goodman, 1989 dan Wyllie

dan Mah, 2004).

2.6.4 Spasi Diskontinuitas

Bieniawski (1989) dan Giani (1992), spasi merupakan jarak antara

diskontinuitas terdekat yang diukur secara tegak lurus. Diskontinuitas memiliki

frekuensi kemunculan, frekuensi diskontinuitas menunjukkan jumlah jarak setiap unit

berbanding terbalik terhadap spasi. Wyllie dan Mah (2004) spasi dipetakan dari

permukaan batuan dan core bor, dan spasi sebenarnya dihitung dari spasi semu untuk

diskontinuitas yang miring terhadap permukaan (Gambar 2.4). Pengukuran spasi set

kekar memberikan ukuran dan bentuk blok. Hasilnya berupa model stabilitas dan

kekuatan massa batuan (Wyllie dan Mah, 2004).

26
Gambar 2.10 Hubungan antara spasi semu dan spasi sebenarnya (S)
dalam satu set diskontinuitas (Wyllie dan Mah, 2004)
2.6.5 Rongga (Apature)

Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan besarnya rongga diskontinuitas diperoleh

dari pengukuran jarak tegak lurus antara dinding batuan berdekatan dari bidang

diskontinuitas yang di dalamnya terisi udara atau air. Dimana kehadiran rongga pada

diskontinuitas akan mempengaruhi nilai kuat massa batuan dan besarnya hidraulic

conductivity air tanah, sehingga berguna untuk memprediksi perilaku massa batuan.

Giani (1992) rongga dibedakan berdasarkan besarnya bukaan diskontinuitas,

seperti pada Gambar 2.9. Secara umum rongga-rongga massa batuan di bawah

permukaan adalah kecil, mungkin kurang dari setengah milimeter. Menurut Wyllie dan

Mah (2004) rongga dengan bukaan (> 1 m) sebagai kategori yang besar dan jika (<

0,1 mm) dikategorikan sangat rapat. Secara lengkap pembangian kategori rongga

dilakukan oleh Barton (1973) lihat tabel 2.3. Giani (1992) asal mula terbentuknya

rongga dapat merupakan hasil shear displacement diskontinuitas dengan kekasaran

dan gelombangan cukup besar dari bukaan tarikan, pencucian ( outwash), pelarutan

dan dari tarikan diskontinuitas vertikal oleh erosi lembah atau proses glasiasi.

27
Gambar 2.11 Blok-blok batuan dengan diskontinuitas di
dalamnya (Giani, 1992) : a) tertutup, b) terbuka
(rongga), c) terisi

Table 2.2 Deskripsi keadaan rongga pada permukaan


diskontinuitas (Barton, 1973)

Deskripsi Lebar rongga

Sangat rapat < 0,1 mm


Tertutup Rapat 0,1 – 0,25 mm
Sedikit terbuka 0,25 – 0,5 mm
Terbuka 0,5 – 2,5 mm

Celah Lebar menengah 2,5 – 10 mm


(gap)

Lebar > 10 mm
Sangat lebar 10 – 100 mm
Terbuka Lebar sekali 100 – 1000 mm
Besar >1m

2.6.6 Pengisi (Filling)

Wyllie dan Mah (2004) mendefinisikan pengisi sebagai material yang

memisahkan dinding batuan yang berdekatan pada suatu diskontinuitas. Giani (1992)

28
pengisi ini biasanya lebih lemah kekuatannya dari batuan induk. Tipe pengisi bisa

berupa pasir, lanau, lempung, breksi, gauge dan mylonit. Adapun untuk mineral

pengisi seperti kalsit, kuarsa dan pirit memiliki kekuatan yang tinggi. Sehingga secara

mekanika material pengisi ini mempengaruhi kuat geser diskontinuitas. Lebih lanjut

menurut Wyllie dan Mah (2004) material pengisi dapat dipergunakan untuk

memprediksi perilaku diskontinuitas batuan.

Berdasarkan pola pengisi, akan dijumpai dua tipe utama pengisi pada

diskontinuitas, yang sekaligus dapat dipergunakan untuk memprediksi arah bukaan

rekahan dan kecepatannya terbentuk dapat dilihat pada gambar 2.10 (Pluijm dan

Marshak, 2004). Pada pekerjaan survey geologi terhadap singkapan batuan menurut

Giani (1992) serta Wyllie dan Mah (2004) berbagai sifat fisik diskontinuitas berikut

harus dicatat seperti : meneralogi, tingkatan dan ukuran partikel, kandungan air dan

permeabilitas, perpindahan geser sebelumnya ( offset), kekasaran dinding, lebar,

rekahan dan hancuran dinding batuan dan rasio over-cosolidation.

Gambar 2.12 Tipe urat pengisi (Pluijm dan Marshak, 2004) : (a) blocky
vein (b) fibrous vein, (c) dan (d) arah bukaan diskontinuitas
sama dengan sumbu fiber.

Sehingga berdasarkan parameter deskripsi tersebut di atas dipergunakan untuk

memenuhi berbagai hal berikut ini (Giani, 1992):

1) Geometri : Lebar, kekasaran dinding, sketsa lapangan

29
2) Tipe pengisi : Mineralogi, ukuran partikel, tingkat pelapukan, parameter indeks

batuan dan tanah, potensi pengembangan.

3) Kekuatan pengisi : Indeks manual kekuatan dan kekerasan batuan dan tanah

ditentukan oleh penetrasi, penghancuran, penggoresan material menggunakan tangan,

pisau atau palu geologi, kuat geser, rasio over-consolidation untuk dinding yang

bergeser atau yang masih tetap.

4) Seepage : Estimasi kandungan air dan permeabilitas menggunakan uji cepat

secara in situ

2.9 Limit Equilibrium Method

Limit Equilibrium Methode (LEM) adalah metode yang menggunakan prinsip

kesetimbangan gaya. Metoda analisis ini pertama-tama mengasumsikan bidang

kelongsoran yang dapat terjadi. Terdapat dua asumsi bidang kelongsoran yaitu: bidang

kelongsoran berbentuk circular dan bidang kelongsoran yang diasumsikan berbentuk

non-circular (bisa juga planar).

Gaya yang bekerja pada bidang irisan Perhitungan dilakukan dengan

membagibagi tanah yang berada dalam bidang longsor dalam irisan-irisan

sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 1 hingga Gambar 3, karena itu metoda ini

dikenal juga dengan nama metoda irisan (method of slice). Gambar 3 yang

menggambarkan massa tanah dan gaya-gaya yang bekerja pada irisan. Berbagai solusi

yang berbeda untuk metode irisan ini telah dikembangkan selama bertahun-tahun,

dimulai dari Fellenius, Taylor, Bishop, Morgenstern-Price hingga Sarma dan lainnya.

Arah-arah gaya yang bekerja pada setiap irisan selanjutnya diasumsikan. Asumsi inilah

yang membedakan satu metode dengan metode lainnya. Selain itu, metode ini

memerlukan pendefinisian permukaan longsor yang digunakan untuk perhitungan

faktor keamanan minimum. Perbedaan antara cara yang satu dengan yang lain

30
tergantung pada persamaan kesetimbangan batas dan asumsi gaya kekuatan antar

irisan (interslice force) yang diperhitungkan.

Fellenius merupakan orang pertama yang mempublikasikan metoda irisan ini

dan merupakan cara yang paling sederhana. Pada cara Fellenius semua gaya antar

irisan diabaikan dan hanya memperhitungkan kesetimbangan momen. Bishop

kemudian mengembangkan cara yang lebih kompleks dengan memasukkan gaya yang

bekerja di sekitar bidang irisan, namun tetap melakukan perhitungan dengan

kesetimbangan momen. Bishop juga mengeluarkan cara yang dikenal dengan nama

Metode Bishop Sederhana (Simplified Bishop Method) dimana gaya normal antar irisan

diperhitungkan tetapi gaya geser antar irisan diabaikan. Janbu mengembangkan

metoda yang mirip dengan metoda sederhana Bishop. Perbedaannya adalah metoda

Janbu diturunkan dari kesetimbangan gaya horisontal. Tabel 1 dan 2 menunjukkan

perbedaan antar metoda yang dikenal dalam LEM.

Tabel 2.3 Kesetimbangan yang Diperhitungkan pada


masing-masing metode
Kesetimbang Kesetimbang
Cara an an
Momen Gaya
Ordinary /
Fellinius Ya Tidak
Bishop’s
Simplified Ya Tidak
Janbu’s
Simplified Tidak Ya
Morgenstern
Price Ya Ya
Spencer Ya Ya
Sarma Ya Ya

Tabel 2.4 Gaya Antar Irisan yang Bekerja masing-masing Cara

31
Gaya Normal Gaya Gesek Kemiringan resultant
Method Antar Irisan Antar Irisan X/E dan hubungan
(E) (E) antar X-E
Ordinary / Tidak ada gaya antar
Fellinius Tidak Tidak irisan
Bishop’s Ya Tidak Horisontal
Janbu’s Ya Tidak Horisontal
Morgenster Variable user
n Price Ya Ya Function
Spencer Ya Ya konstan
Sarma Ya Ya X = c + E tan φ

Faktor keamanan, SF, ada prinsipnya dihitung dari perbandingan antara kuat

geser tanah, f, dengan gaya dorong,, atau perbandingan antara momen tahan, RM,

terhadap momen dorong, DM, sebagaimana ditunjukkan dalam persamaan (1) di

bawah ini:

a. Analisis Longsoran Busur

Metode Bishop Simplified menggunakan prinsip metode irisan dalam

menguraikan massa tanah untuk menentukan faktor keamanan. Metode ini

mengabaikan gaya geser antar irisan dan kemudian mengasumsikan bahwa gaya

normal atau horizontal cukup untuk mendefinisikan gaya- gaya antar irisan. Gaya

normal di dasar tiap irisan ditentukan dengan menjumlahkan gaya- gaya dalam arah

vertikal.

Besarnya P (gaya normal pada dasar irisan) diperoleh dengan menguraikan

gaya-gaya yang bekerja pada irisan dalam arah gaya berat (W) atau semua resultan

gaya pada batas vertikal irisan bekerja dalam arah horizontal, untuk menghitung

besarnya faktor keamanan

32
Gambar 2.13 Gaya-gaya yang bekerja pada irisisan dengan Bishop
Simplified
Keterangan:

S:

kekuatan geser efektif F : Faktor keamanan

s : kekuatan geser yang ada l : panjang dasar irisan

c’ : kohesi efektif w : berat irisan

P’ : gaya normal efektif pada b : lebar irisan

dasar irisan R : radius lingkaran bidang

φ' : sudut geser dalam efektif gelincir

μ’ : tegangan air pori

Xn,Xn+1 : gaya-gaya vertikal pada batas irisan

En,En+1 : gaya-gaya horisontal pada batas irisan

Faktor keamanan dihitung dengan perhitungan di bawah ini:

'
c l sin α
[W −μl cos α − ]tan φ '
1 F
F= ∑ c ' l+
∑ W .sin α cos α [1+
tan φ' . tanα
]
F

b. Longsoran Bidang

33
Longsoran bidang bila dibandingkan dengan jenis longsoran yang lain

merupakan longsoran yang relatif jarang terjadi. Namun bila kondisi yang menunjang

terjadinya longsoran bidang ada, maka longsoran yang terjadi mungkin akan lebih

besar secara volume daripada longsoran lainnya.

Longsoran bidang akan terjadi bila seluruh kondisi di bawah ini terpenuhi:

1. Bidang gelincir mempunyai arah jurus (strike) sejajar atau hampir sejajar

dengan arah jurus muka lereng dengan perbedaan maksimal 20 o.

2. Kemiringan bidang gelincir harus lebih kecil daripada kemiringan muka lereng

(ψp < ψf)

3. Kemiringan bidang gelincir harus lebih besar daripada sudut geser dalam (ψp >

φ).

4. Harus terdapat bidang bebas (release) yang menjadi pembatas di kiri dan

kanan blok yang menggelincir.

Analisis kestabilan lereng, menggunakan analisis 2 dimensi dimana

dipertimbangkan unit ketebalan yang arahnya tegak lurus dengan garis muka lereng.

Bidang gelincir direpresentasikan sebagai garis dengan kemiringan tertentu dan blok

yang menggelincir dapat direpresentasikan dengan suatu luasan pada penampang

vertikal yang tegak lurus dengan arah jurus lereng.

34
Gambar 2.14 Kondisi umum longsoran bidang
(Hoek dan Bray, 1980)

Analisis longsoran bidang perlu diperhatikan posisi rekahan tarik, apakah di

belakang crest lereng atau di muka lereng (Gambar 3.4). Sedangkan asumsi-asumsi

yang digunakan dalam analisis ini adalah:

1. Bidang gelincir dan rekahan tarik mempunyai arah jurus sejajar dengan arah

jurus lereng.

2. Rekahan tarik adalah bidang vertikal dan terisi air sedalam zw.

35
3. Air membasahi bidang gelincir melewati bagian bawah bidang rekahan Tarik

dan merembes sampai di jejaknya pada muka lereng.

4. Gaya W (berat blok yang menggelincir), U (gaya angkat air), dan V (gaya tekan

air di dalam rekahan tarik) bekerja di titik pusat blok, sehingga diasumsikan

tidak ada momen penyebab rotasi.

5. Kuat geser (τ) dari bidang gelincir adalah τ = c + σ tanφ, dimana c=kohesi,

φ=sudut geser dalam, dan σ=tegangan normal.

6. Terdapat bidang release di kiri dan kanan blok sehingga tidak ada hambatan

pada blok yang menggelincir.

Persamaan untuk menghitung faktor keamanan pada longsoran bidang:

36
BAB III

PENDAHULUAN

3.1 Pengambilan Data

Pengambilan data lereng dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada lereng yang

ada di pinggir jalan raya, dimana lereng pertama berada di belakang gedung SMP dan

lereng kedua berada di depan rumah warga.

3.1.1 Pengambilan data pada lereng pertama (belakang gedung SMP)

1. Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam pengambilan data

lapangan.

2. Memasang patok pada toe dan crest dengan arah yang sama (penentuan arah

menggunakan bantuan kompas agar arahnya sama) untuk jenjang pertama.

Gambar 3.1 Pemasangan patok

3. Mencatat koordinat patok yang dipasang di crest dengan menggunakan

aplikasi GPS yang ada di smartphone.

37
Gambar 3.2 Pengukuran koordinat

4. Mengukur lebar jenjang pertama dengan cara mengukur lebar toe ke crest

menggunakan meteran.

Gambar 3.3 Pengukuran lebar jenjang

5. Mengukur tinggi jenjang dengan cara memasang patok tambahan di toe pada

38
jenjang berikutnya (jenjang 2) kemudian mengukur tinggi dari unjung bawah

(dasar) patok toe jenjang berikutnya sampai dengan ketinggian yang sama

dengan ujung bawah patok crest jenjang pertama. Hal ini dilakukan karena

jenjang tersebut memiliki kemiringan.

6. Mengukur kemiringan jenjang dengan cara memasang meteran dari patok crest

jenjang pertama pada ketingian 10 cm ke patok toe jenjang berikutnya pada

ketinggian yang sama yaitu 10 cm kemudian mengukur kemiringan jenjang

dengan menggunakan aplikasi kompas yang ada di Handphone yang

ditempelkan di meteran dan mencatat kemiringan jenjang.

Gambar 3.4 Pengukuran kemiringan jenjang

7. Melakukan prosedur yang sama (langkah 2-6) untuk jenjang 2 sampai jenjang

berikutnya .

8. Mengambil sampel tanah pada lereng tersebut sebanyak 1 bagian sampel

kemudian disimpan di kantong sampel.

39
Gambar 3.5 Pengambilan sampel

3.1.2 Pengambilan data scanline pada lereng kedua (lereng yang berada di depan

rumah warga)

1. Mengukur kordinat lokasi dengan menggunakan aplikasi GPS yang ada di dalam

smartphone.

2. Mengukur tinggi dan lebar lereng dengan menggunakan meteran.

Gambar 3.16 Pengukuran tinggi dan lebar lerang

3. Mengukur kemiringan lereng dengan cara memasang meteran dari puncak

lereng ke dasar lereng kemudian menghitung kemiringan lereng dengan

menempelkan kompas (aplikasi kompas yang ada di dalam smartphone)

kemudian mencatat kemiringan lereng.

40
4. Membentangkan meteran pada lereng secara horizontal sepanjang 6 meter

kemudian menancapkan paku pada meteran setiap jarak 1 meter.

Gambar 3.7 Pemasangan garis pengukuran

5. Mengukur strike dan dip bidang diskuntinuitas yang terdapat di sepanjang

meteran yang terpasang di dinding lereng menggunakan kompas (aplikasi

kompas yang ada di dalam smartphone) dan papan pengalas dengan cara

menyelipkan/memasang papan pengalas di bidang diskontinuitas kemudian

menempelkan kompas (aplikasi kompas yang ada di dalam smartphone) ke

papan pengalas untuk mengukur kemiringan papan pengalas untuk

mendapatkan dip dan juga strike dari bidang diskontinuitas.

Gambar 3.8 Pengukuran bidang diskontinuitas

41
`3.2 Pengolahan Data

Penglahan data lapangan dilakukan dengan menginput data yang didapatkan

kedalam format yang telah disesuaikan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan analisis

data menggunakan software dips v.6 dan slide v.6.0. Pengolahan data dibedakan atas

pengolahan data tiap stasiun.

a. Stasiun 1

Stasiun 1 terdiri atas lereng tanah yang memiliki kemiringan geometeri curam

dan berpotensi longsor. Berikut merupakan data geometeri lereng pada stasiun

Tabel 3.1 Geometri Lereng Stasiun 1

Deskripsi Dimensi Deskripsi Dimens


NO
Crest-crest Crest-crest Bench i Bench
1 C1 - C2 350 Bench 1 71
2 C2 - C3 600 Bench 2 120
3 C3 - C4 817 Bench 3 30
4 C4 - C5 1096 Bench 4 80
5 C5 - C6 1740 Bench 5 20
6 C6 - C7 1950 Bench 6 10
7 C7 - C8 2196 Bench 7 50
8 C8 - C9 2485 Bench 8 70
9 C9 - C10 2617 Bench 9 40
10 C10 - C11 2922 Bench 10 50
11 C11 - C12 2985 Bench 11 Dasar
Overal Slope = 57o

Berdasarkan data pada tabel 3.1 maka dapat dibuat sebuah sketsa lereng

menggunakan aplikasi AutoCAD Land Desktop 2009. Sketsa hasil pengolahan

data dapat ditunjukan pada gambar 3.9. Lereng pada gambar 3.9 memiliki

kemiringan keseluruhan (overall slope) sebesar 57 o dan ketinggian lereng

sebesar 30 meter. Penampang lereng tersebut kemudian akan diberikan

parameter-parameter sifat fisik dan sifat mekanik tanah berdasarkan penelitian

42
terdahulu.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh intan, 2010 mengenai kestabilan

lereng di daerah mamapang menunjuka tanah di daerah tersebut memiliki

karakteristik fisik dan mekanik sebagai berikut.

Tabel 3.2 Hasil Uji Laboratorium (Intan, 2010)

Berat Isi Kohesi Sudut Geser Dalam


(γ) (c) (Φ)
20,336 kN/m3 4,089 kN/m2 34,314o

Hasil uji laboratorium tersebut akan dijadikaan sifat fisik dan mekanik pada

pemodelan hasil pengujian lereng di lapanngan.

Gambar 3.9 Sketsa geometeri lereng stasiun 1 menggunakan aplikasi AutoCAD


Land desktop 2009

b. Stasiun 2

Stasiun 2 terdiri atas lereng batuan andesit yang terlapukan intensif yang

memiliki kemiringan geometeri curam dan berpotensi longsor. Berikut

43
merupakan data geometeri lereng pada stasiun 1

Tabel 3.3 Data pengukuran geometeri lereng stasiun 02.

No No Arah Pengukuran Lebar Bench Jarak Miring Kemiringan


(m)

1 N 327oE 14.20 29.45 70

2 N 327oE 6.90 14.25 41

Berdasarkan data pada tabel 3.y maka dapat dibuat sebuah sketsa lereng

menggunakan aplikasi AutoCAD Land Desktop 2009. Sketsa hasil pengolahan

data dapat ditunjukan pada gambar 3.y. Berikut merupakan lereng pada stasiun

2:

Gambar 3.10 Geometeri lereng pada stasiun 02.

Lereng pada stasiun 2 memiliki tersusun atas batuan andesit lapuk dengan

intensitas lapuk sedang dan lapisan tanah pasir berlempung pada bagian bawah

44
jalan raya. Terdapat kenampakan struktur berupa kekar/joint yang terdapat

pada batuan andesit yang terlapukan. Berikut merupakan tabel hasil

pengukuran bidang diskontinuitas.

3.3 Analisis Data

Aanaslisi Data dilakukan dengan mengolah data hasil pengukuran geometeri

lereng, orientasi kekar, sifat fisik, dan sifat mekanik tanah serta batuan. Analisis data

dilakukan menggunakan analisis kinematik guna mengetahui orientasi longsoran dan

analisis numerik untuk mengetahui nilai kestabilan ( safety factor). Analisis kinematik

dilakukan dengan menggunakan bantuan software dips v.6, sedangkan analisis

numerik dilakukan dengan menggunakan software slide v.6.0

3.3.1 Analisis Kinematik Menggunakan DIPS V.6.0

Analisis Kinematik pada penelititan ini dilakukan dengan bantuan apliasi DIPS

V.6. Analisis kinematik digunakan pada tahap awal analisis kemantapan lereng. Analisis

ini bertujuan untuk mengetahui orientasi longsoran dan probability of failure (POF)

sebuah lereng. Metode analisis stereografis (stereonet) digunakan pada batuan yang

mempunyai bidang diskontinuitas berupa perlapisan, kekar, sesar, foliasi dan

sebagainya.

Probability of failure (PoF) yang dianalisis tidak lebih dari 15%. Kondisi lereng

yang nilai persentase terjadinya longsor diatas 15% dianggap tidak aman. Pemilihan

standar PoF mempertimbangkan kondisi cost and safety (tabel 3.4). Skala lereng yang

analisis inter-ramp dengan konsekuensi terhadap terjadinya longsor moderate-high

(Tabel 3.4). Dari hasil PoF yang diperoleh dapat dilakukan penangan awal pada lereng

(Table 3.5).

45
Tabel 3.4 Tigkatan Fos dan PoF terhadp daya dukung pada lereng
acceptance criteria
consequences
Slope scale FoS (min) FoS (min) PoF (max)
of failure
(static) (dynamic) P(FoS ≤1)
Bench Low-high 1.1 NA 25% - 50%

Inter-ramp low 1.15 - 1.2 1.0 25%


Moderate 1.2 1.0 20%
High 1.2 - 1.3 1.1 10%
Overall
low 1.2 - 1.3 1.0 15% - 20%
Moderate 1.3 1.05 10%
High 1.3 – 1.5 1.1 5%
Sumber: Buku Open Pit Slope Design, Halaman 235

Table 3.5 Nilai PoF terhadap bentuk kegiatan pada lereng


Aspects of natural
Design criteria
situation
PoF
(%) Minimum Frequency Frequency of
Serviceabl Public
surveillance of slope unstable
e life liability
required failures movements
50- None Public Serves no Slope Abundant
100 access purpose failures evidence of
forbidden generally creeping
evident valley sides
Very-very
20-50 short-term Public Continuous Significant Clear evidence
access monitoring number of of creeping
forcibly with intensive unstable valley sides
prevented sophisticated slopes
instruments
Very short-
10-20 term Continuous Significant Some
Public monitoring instability evidence of
access with evident slow creeping
actively sophisticated valley sides
Short-term prevented instruments
5-10 Odd
Continuous unstable Some
Public monitoring slope evidence of
Medium- access with simple evident very slow
1.5-5 term prevented instruments creeping
valley sides
Conscious No ready
Public superficial evidence of Extremely
Long-term access monitoring unstable slow creeping
0.5- Discourage slopes valley sides
1.5 d
Incidental No unstable

46
Very long- superficial slopes No unstable
term monitoring evident movements
<0.5 Public evidence
access No monitoring
allowed required Stable No
slopes movements

Public
access free
Sumber: Kirsten (1983) dalam Buku Open Pit Slope Design, Halaman 226

Tahapan dalam analisis data menggunakan software DIPS v.6 adalah sebagi

berikut

a. Memasukan (input) data

Proses awal yang dilakukan adalah input data dip/dip direction. Penginputan

data dip/dip direction dilakukan dengan pertama-tama mengatur project

setting sehingga input berupa data dip/dip direction.

Gambar 3.11 Data dip/dip direction hasil pengukuran lereng


stasiun 02

b. Proses interpretasi Stereografi

Proses interpretasi stereografi dilakukan dengan mengakses contour present

(Ctrl + T). Proses ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi kekar (bidang

47
diskontiuitas). Proses ini memungkinkan untuk mengetahui apakah bidang

diskontinuitas terdiri atas satu sistem ataupun lebih.

Gambar 3.12 Kontur hasil interpretasi data dip/dip direction

c. Analisis Kinematik

Analisis kinematik dilakuakn dengan menambahkan parameter berupa

kemiringan lereng (slope dip), orientasi kemiringan lereng (slope dip direction),

sudut geser dalam, dan batas lateral. Data sifat fisik dan mekanik batuan diolah

terlebih dahulu menggunakan software RockLab1.0. Hasil analisis data

menggunakan rock lab adalah sebagai berikut

Hoek-Brown Classification
Intact uniaxial Comp. Strenght (sigci) = 15 MPa
GSI =48 Mi = 25 Distrubance Factor (D) =
0
Modulus ratio (MR) = 400 MPa
Hoek-Brown Criterion
Mb = 3.903 s = 0.0031 a = 0.507
Mhor-Coloumb Fit
Cohesion = 0.301 MPa Friction Angle = 51.73o
Rock Mass Parameter
Tensile Strenght= -0.012 MPa

48
Uniaxial Compressive Strength = 0.803 MPa

Berdasarkan parameter diatas maka hasil analisis kinematik menggunakan

software DIPS v.6. digambarkan pada gambar 3.13

Gambar 3.13 Hasil analisis kinematik lereng stasiun 02.

3.3.2 Analisis Numerik Menggunakan SLIDE v.6.0

Analisis stabilitas pada penelitian ini dilakukan dengan menghitung nilai faktor

keamanan (FK) lereng. Nilai faktor keamanan diperoleh dengan memasukkan

parameter seperti geometri lereng dan sifat fisik serta mekanis tanah. Analisis stabilitas

lereng menghasilkan suatu keluaran berupa kondisi lereng stabil, kritis, atau tidak

stabil. Secara teoritis kondisi lereng stabil ditandai dengan nilai FK lebih besar daripada

1, kondisi kritis dengan nilai FK sama dengan 1 dan kondisi tidak stabil ditandai dengan

nilai FK kurang dari 1. Secara aktual di lapangan kondisi lereng stabil ditandai dengan

nilai FK lebih besar dari 1,25.

Tahapan analisis menggunakana software Slide v.6.0 dapat digambarkan

sebagi berikut:

a. Proses pemodelan dan input data

49
Proses awal yang dilakukan adalah pemodelan dan input data. Pemodelan data

awal berupa perancangan batas geometri lereng ( boundary). Pemodelan dapat

dilakukan dengan meng-import data dari AutoCAD. Proses selanjutnya adalah

memasukkan nilai parameter berupa massa jenis, kohesi, sudut geser dalam.

Gambar. 3.14 Penampang Lereng Stasiun 1


beserta material penyusunnya

Gambar 3.15 Penampang Lereng 2 Beserta material


penyusunnya

b. Proses Kalkulasi Data

Langkah berikutnya yaitu proses kalkulasi dengan jumlah iterasi maksimum

adalah 100 dan toleransi maksimum sebesar 0,005, proses tersebut dapat

50
dilihat pada Gambar 3.14

Gambar 3. 14 Proses Kalkulasi data

c. Proses Interpretasi Data

Proses interpretasi data dilakukan untuk melihat pola keruntuhan longsoran

pada lereng serta arah pergeseran material (Gambar 3.haha dan 3.wkwk).

Proses tersebut juga menghasilkan nilai faktor keamanan berdasarkan

perhitungan metode janbu. Tampak pada gambar 3.haha dan 3.wkwk terdapat

garis berbentuk busur yang merupakan kemungkinan bidang runtuh batuan.

Setiap busur longsoran terdiri atas beberapa irisan dimana nilai sigma dari

momen dan gaya tiap irisan akan mempengaruhi tingkat kestabilan lereng.

51
Gambar 3.15 Hasil interpretasi lereng stasiun 01.

Gambar 3.16 Hasil interpretasi lereng stasiun 02.

52
BAB IV

ANALISIS STABILITAS LERENG MENGGUNAKAN METODE

JANBU DAN ANALISIS KINEMATIK

4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian

Lokasi penelitian merupakan lereng yang terletak di ruas Jalan poros Malino–

Manipi KM 111, desa Mamampang, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa. Daerah

tersebut berupa perbukitan yang memiliki elevasi terendah 700 meter di atas

permukaan laut. Arah pengukuran sebaran lereng yang diteliti yaitu N155 oE (Stasiun

01) dan N57oE (Stasiun 02) dengan kemiringan lereng rata-rata adalah 70-90 o. Jenis

material penyusun lereng berupa tanah (soil) hasil pelapukan batuan induk dan batuan

vulkanik.

Curah hujan yang tinggi pada lokasi penelitian menyebabkan tanah atau soil

penyusun lereng berada pada keadaan jenuh. Lokasi penelitian disusun oleh batuan

lava vulkanik dan tufa bersifat andesitic. Tufa berwarna abu-abu dalam keadaan segar

dan berwarna abu-abu kecokelatan dalam keadaan lapuk. Komposisi memiliki berat

jenis (Gs) adalah 2,072.

4.2 Kesetabilan Lereng Daerah Penelitian

Berdasarkan hasil analisis kestabilan lereng menggunakan metode janbu

didapatkan nilai kestabilan lereng ( Safety Factor) pada tiap lereng (stasiun 01 dan

stasiun 02). Nilai tersebut mengindikasikan probabilitas/kemungkinan longsornya di

daerah/stasiun penelitian. Rendahnya nilai kestabilan mengindikasikan lereng tersebut

rawan akan longsor.

53
Lokasi dibagi kedalam dua stasiun penelitian. Analisis yang digunakan pada tiap

stasiun adalah menggunankan analisis kestabilan limit equilibrium method (LEM)

dengan menggunakan parameter keruntuhan Mohr-Coloumb. Terkhusus pada lereng

stasiun 02 perlu memadukan parameter keruntuhan menurut Hoek-Brown dan Mohr

Coloumb karena terdapat material yang tersusun atas tanah dan batuan.

4.2.1 Kestabilan Lereng Stasiun 01

Lereng stasiun satu tersusun atas material tanah yang berasal dari batuan tufa

yang terlapukan intensif. Hal ini menyebabkan penurunan nilai kohesi dan sudut geser

dalam. Penurunan kohesi menyebabkan material yang awalnya massif menjadi mudah

terberai dan meningkatkan kemungkinan longsor.

Berdasarkan pemodelan lereng menggunakan software slide v.6. menunjukan

lereng pada stasiun 01 berada pada kondisis tidak aman. Nilai FK terendah pada lereng

berada pada angka 0.42 (Jauh dibawah angka kritis (FK (kriitis) =1)).

Gambar 4.1 Hasil analisis lereng pada stasiun 01

Berdasarkan hasil analisis kestabilan lereng stasiun 01 menggunakan software

slide v.6.0 menunjukan hasil berupa FK = 0,435282; Resisting Horizontal Force (Gaya

54
Penahan Horizontal) =114,576 kN. Driving Horizontal Force (Gaya pembeban

horizontal=263,223 kN. Nilai factor keamanan merupakan perbandingan antara

resisting force terhadap driving force maka didapati nilai FK sebesar 0,435282. Hal ini

menunjukan lereng sangat berpotensi lonsor.

4.2.2 Kestabilan Lereng Stasiun 02

Lereng stasiun satu tersusun atas material batuan pada lereng bagian atas dan

tanah yang berasal dari batuan tufa yang terlapukan intensif pada bagian bawah.

Terakumulasinya tanah pada bagian bawah lereng kemunginan merupakan material

talus dari batuan lereng yang terlapukan dan di transportkan menuju bidang yang lebih

stabil. Pemodelan menganalisis kedua jenis lereng (batuan dan tanah) secara

bersamaan sehingga perlu dilakukan pemilihan satu parameter kelongsoran.

Pemodelan dilakukan secara single bench dan overall bench. Berdasarkan

pemodelan lereng menggunakan software slide v.6. menunjukan lereng pada stasiun

02 berada pada kondisis aman. Nilai FK pada lereng atas berada pada angka 3,18

(gambar 4.2) dan 2,61 (gambar 4.3). Nilai FK untuk overall slope berada pada nilai

2,48 (gambar 4.mad).

Gambar 4.2 Hasil Analisis lereng bagian atas stasiun 02

55
Gambar 4.3 Hasil Analisis lereng bagian bawah 02

Gambar 4.4 Hasil Analisis overall slope stasiun 02

Terdapat jalan raya pada lereng stasiun 02 sehingga terjadi pembebanan pada lereng

tersebut. Pembebanan terjadi pada lereng yang tersusun atas tanah. Kestabilan lereng

perlu dianalisis kembali untuk mengetahui pembebanan maksimum yang

diperbolehkan. Beikut merupakan hubungan antara besar pembebanan dan nilia FK.

56
Tabel 4.1 Hubungan Pembebanan di jalan terhadap nilai FK

No Pembebanan (kN/m2) FK
1 300 1,27
2 400 1,18
3 500 1,11
4 600 1,06
5 700 1,01
6 800 0,98

Gambar 4.5 Lereng menjadi tidak stabil jika pembebanan dijalan raya > 700kN/m2.

57
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dari pengolahan dan analisis data, dapat diketahui bahwa:

1. Nilai FK pada lereng di stasiun 01 berada pada angka 0,42. Hal ini

mengindikasikan bahwa lereng dalam kondisi tidak aman. Nilai FK pada lereng

atas berada pada angka 3,18 dan lereng bawah pada angka 2,61. Nilai FK

untuk overall slope berada pada nilai 2,48. Hal ini mengindikasikan bahwa

lereng dalam kondisi aman.

2. Pembebanan maksimum pada pada lereng di stasiun 02 yang masih aman

dengan acuan FK>1,1 adalah sebesar 500 kN/m2.

58
DAFTAR PUSTAKA

Das, Braja.M. 2007. Principles of Foundation Engineering , Seventh Edition . Global


Engineering.

Departemen Pekerjaan Umum, Petunjuk Perencanaan Penanggulangan Longsor (SKBI-


2.3.06. 1087 ), Yayasan Badan Penerbit PU, Jakarta, 1987.

Hidayah, S., dan Gratia, Y.R. 2007. Program Analisis Stabilitas Lereng Slope Stability
Analysis Program. Laporan Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sipil Universitas
Diponegoro, Semarang.

Hoek, E., Torres, C.,C., and Corkum, B., .2002. Hoek-Brown Failure Criterion.
Toronto, Canada: Rockscience Inc.

Karnawati, D. 2001. Bencana Alam Gerakan Tanah Indonesia Tahun 2000 (Evaluasi
dan rekomendasi). Jurusan Teknik Geologi. Fakultas Teknik. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.

Lapatau, Maxy S. 2014. GEOLOGI DAERAH MALENTENG KECAMATAN TOMBOLO PAO


KABUPATEN GOWA PROVINSI SULAWESI SELATAN. Jurnal Pemetaan Geologi

Lion, G.T.L and D. J. G. Herman. 2012. Analisa Stabilitas lereng Limit Equilibrium vs
finite Elwment Method. HATTI-PIT-XVI 2012, 4-5 Dec 2012, Hotel Borobudur:
Jakarta

Mustafril, 2003. Analisis Stabilitas Lereng Untuk Konservasi Tanah dan Air di
Kecamatan Banjarwangi Kabupaten Garut . Tesis. Program Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor.

Sagala, Putri Sumpeni Sunarti. 2014. STUDI PENGARUH PENAMBAHAN TANAH


LEMPUNG A-7 TERHADAP KUAT GESER TANAH PASIR SUNGAI , Teknik
Universitas Sriwijaya

Subhan. 2006. IDENTIFIKASI DAN PENENTUAN FAKTOR-FAKTOR UTAMA PENYEBAB


TANAH LONGSOR DI KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT. Tesis. Sekolah Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Surono, 2003. Potensi Bencana Geologi di Kabupaten Garut. Prosiding Semiloka


Mitigasi Bencana Longsor Di Kabupaten Garut. Pemerintah Kabupaten Garut.

Terdzaghi, Karl dan Ralph B.Peck .1993. Mekanika Tanah Dalam Praktek
Rekayasa, Edisi Kedua. Jakarta : Penerbit Erlangga.

59
60

Anda mungkin juga menyukai