Anda di halaman 1dari 6

Ziarah ke Pusara Hemingway

Seusai nyekar1 di hadapan nisan marmer abu-abu itu, perlahan senyap termakan olehku
karena sepanjang Ketchum Cemetery hanya ada sekumpulan: rumput, pinus, dan pusara.
Tentu itu bunga plastik yang telah kupersiapkan supaya tak perlu repot ketika sampai di
Idaho, Amerika Serikat.
Novela yang nyaman digenggam kurapalkan judulnya, The Old Man and The Sea. Buku
pemberian Paman José ketika kami di atas jukung2 sewaktu berburu ikan di laut Lampung. Di
dalam pusara itu bermukim sang penulis peraih Nobel Sastra. Aku bahagia. Ransel milikku
terhentak mengikuti seruan histeria punggung. Lengan kuluruskan beserta kepalan tinju ke
langit. Barangkali inilah ziarah paling membahagiakan. Ziarah hari ini sedang berbahagia
dengan segenap keharfiahan makna. Di halaman awal novela yang bertanda tangan dengan
tinta hitam pudar, senyumku mengembang.
Tentu pusara milik Ernest Hemingway lebih mewah ketimbang milik ibu yang sekadar
ditancap papan cokelat. Seperti kata ayah, kematian melahirkan kebahagiaan.
Kebahagiaanku kembali senyap. Jarakku memang tidak jutaan kilometer terhadap sebuah
rumah papan ringkih di pelosok pesisir Lampung, tetapi rindu tak dapat ditawar. Aku pemuda
pesisir dekil berwajah sekadarnya, belum pernah rasa kangen dan bahagia menjadi padu
seperti ini.
“Cita-cita telah kutunaikan, Paman José,” pada untaian angin pusara kuucapkan pelan.
Hari itu, kenangan bertahun-tahun lalu merekah kembali dengan bentuk yang membikin aku
kangen.
*
Pagi itu, bendera setengah tiang dikibarkan oleh sekolahku: SMA Pesisir Barat. Kutanyakan
perihal itu kepada Osa, kawan sebangku yang kulitnya begitu halom3 akibat kode genetika
dan dukungan mineral lautan beserta terik matahari tropis. Beginilah kalau terlalu menghayati
diri sebagai anak pesisir kampung.
“Macetkah tali-temali tiang itu? Kenapa hanya setengah-” kuucapkan dengan tidak
tuntas karena lelaki pesisir ini mendampratku.
“Bocah tengik!” dihunuskanlah cercaan itu, “dari sekian banyak hobi, bolos sekolah
yang kamu pilih! Orang miskin harus sekolah, tek!”

1
Menaburi makam dengan bebunga, berasal dari kata sekar yang artinya bunga/kembang.
2
Perahu tradisional bercadik kayu.
3
Hitam
Sembari menghitung uang hasil tangkapan ikan di bawah meja kelas, perkataan Osa
kupersilakan meluncur sampai khatam. “Bendera itu? Artinya, ada orang penting di negeri ini
yang telah wafat,” lagi-lagi terus diberondongnya aku, “begitu juga orang seperti kita ini,
tamat riwayatnya kalau tidak sekolah! Wafat!”
Kami berada di penghujung masa sekolah. Sebentar lagi akan tamat. Dan hal yang paling
kukesalkan adalah semangat bersekolah laki-laki—yang juga—miskin itu terhadap dunia
yang dia tahu sendiri bukan milik orang-orang seperti kami ini.
Kalau diperhatikan, sepatu yang dikenakan Osa adalah yang terakhir kali dikenakannya
ketika SMP. Aku takjub dengan kemampuan dirinya untuk menekan laju pertumbuhan kaki-
kakinya. Atau mungkin, kaki-kaki tersebut sudah mafhum kepada majikannya yang miskin,
sehingga tahu diri untuk tidak terus tumbuh. Lihatlah bagaimana kondisi sosial seseorang
dapat memengaruhi kondisi biologisnya.
“Ikutlah aku ke pasar sepulang sekolah ini, Sa. Kita beli sepatu baru!” Osa terdiam
cukup lama dengan seberkas kekosongan gerak yang aku tak tahu maksudnya.
“Jurus yang cukup jitu untuk menyogokku,” ucap Osa dengan suara lebih rendah
daripada tadi, “terima kasih, tek, tetapi pastikan terlebih dahulu keluargamu yang mungkin
lebih butuh.”
Keluargamu, katanya. Osa dapat saja untuk bilang ayahmu: karena akan sama saja. Di
dalam rumah papan ringkih itu, cuma ditinggali oleh keberadaan ayah dan aku sendiri. Maka
dapatlah sebenarnya aku mengibarkan bendera setengah tiang sepanjang hayat atas wafatnya
ibuku. Namun, itu menjadi begitu aneh karena belum pernah kutatap wajah ibu seumur-umur.
Menerkanya saja sulit. Mungkin saja, karena gizi yang tak cukup, mengakibatkan wafatnya
ibu ketika melahirkanku. Mungkin saja. Membicarakan perihal ibu adalah tabu kepada ayah.
Dan juga, aku tak pernah ingin membuka luka lama yang mungkin, mungkin saja, masih
belum kering sampai saat ini.
*
Sepulang sekolah, aku dan Osa menyusuri jalan bersama beberapa kawan. Ada ketidakpuasan
hati yang berangsur-angsur dicicil oleh wajah Osa. Muka seperti ini, adalah kegusaran dan
kemurungan yang hanya terpancar dari seseorang yang seumur-umur hidup dalam situasi
prasejahtera. Maka dari itu, sebagai rekan sepenanggungan, dari sejumlah kawan, hanya aku
saja yang menangkap kegusarannya.
“Selepas kelulusan, akan jadi apa orang-orang seperti kita ini, Ziarah?” ditanyakan
olehnya kepada orang yang tak tepat. Pertanyaan kurang tahu waktu itu dilontarkan ketika
sejumlah siswa-siswi masih bertaut dekat dengan kami berdua. Belum saja kujawab, seorang
laki-laki berkendara motor bebek dengan rompi hijau muda melewati kami berdua dengan tak
acuh. Jalanan ini tidak begitu luas, muskil untuknya tidak menyadari siapa yang berjalan.
“Bukannya itu bapakmu?” tanyaku kepada Osa.
“Iya,” ucap Osa menerawang kejauhan bapaknya itu lalu melanjutkan, “sudah kuberitahu
kalau ingin menyapa, ya menyapa saja, tidak perlu merasa tidak enak hati oleh anaknya
sendiri.”
“Maksudmu?”
“Bapakku takut…” katanya dan dilanjutkan dengan, “takut kalau membikin aku malu di
hadapan teman-teman karena bapakku seorang ojek,” raut muka itu diguyur dengan rasa
murung yang seperti ditinggal bapaknya sendirian.
Aku terpental oleh kata-kata itu. Perih seperti terciprat minyak mendidih. Lalu
menanyakan hal yang tidak sepatutnya dipertanyakan, “benarkah ada rasa malu?”
“Demi apa pun di permukaan bumi ini, tidak,” diucapkannya cukup tegas.
Kami berjalan cukup lama ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah, ayah
termenung bersama dirinya di depan bangku kayu. Lelaki itu menatap kosong bebunga di
halaman. Mengapa semua orang begitu lesu hari ini, ungkapku dalam benak. Padahal, sudah
kupersiapkan dampratan kedua oleh ayah karena kebolosanku. Telah kupersiapkan mental
yang tebal untuk menghadapi hardikan ayah, tetapi malah kelesuan sikap yang kuterima.
“Kita baru saja kedatangan angin barat,” kata ayah, “beberapa hari ke depan
kemungkinan besar tidak melaut.”
Meski dalam keadaan perut yang kosong keberadaan lauk pauk, aku disergap kelegaan
karena ayah tidak menyambutku dengan omelan.
“Ayah baru dapat kabar dari sekolahmu,” katanya sebelum aku sempat meletakkan tas,
mati kutu aku. “Kamu bolos beberapa hari ini? Paman José bilang, kamu ikut menumpang di
jukung miliknya?”
Aku hanya tercekat dan hanya mampu mengeluarkan suara anggukan.
“Bagaimana uang hasil tangkapannya?” tanya ayahku, “apa masih ada sisa untuk makan
kita berdua beberapa hari ke depan? Nanti uangnya ayah ganti kalau sudah melaut lagi.”
*
Bertahun-tahun lamanya sebelum bendera setengah tiang dikibarkan, saat pertama kali
kutemukan seorang lelaki bernama José Martiez. Sebatang kara dari Jerman yang fasih
berbahasa Indonesia. Osa sekali waktu iseng menanyakan kesehatannya: “how are you
mister?” dan dijawabnya dengan pertanyaan: “kalian lihat sapi warna cokelat lewat, tidak?”
Itu adalah seumur-umur dalam hidupku menemukan bule menggembala sapi di bibir
pantai dengan sandal jepit berwarna hijau yang kita semua tahu bermerek apa. Dahulu,
Paman José bergerombol dengan kawan-kawannya di pesisir Lampung ini untuk tujuan
berselancar, dan terpaksa menetap lama akibat tak memiliki ongkos pulang. Ketika uang telah
hadir dan menyadari bahwa tidak ada apa pun yang menunggunya di tanah kelahirannya itu,
dia memilih menetap sebagai warga lokal.
Kami semakin akrab karena suatu hari Paman José memiliki sebuah jukung, dan aku
kadang diajaknya mencari ikan di laut. Sekali waktu itulah aku bolos sekolah karena jukung
melipir kesiangan ke bibir pantai.
Sebelum merapatkan jukung kecilnya, beberapa kali buku kecil itu digenggam oleh
Paman José, The Old Man and The Sea oleh pengarang Ernest Hemingway.
“Yang kusukai dari negerimu ini, adalah keberadaanku yang tidak akan pernah menjadi
soliter. Hidup yang begitu guyub alangkah cocoknya dengan diriku ini. Aku dapat kembali
merakit kehidupanku di sini tanpa perlu menjalani kehidupan seperti Santiago4,” kata Paman
José. Telah kuketahui darinya, bahwa tiga dekade kehidupan lelaki itu dihabiskan untuk
sebuah kesia-siaan.
“Kamu tahu, Ziarah? Tokoh seperti Santiago di novela ini, hanyalah satu saja dari sekian
banyak nelayan-nelayan tua miskin di negerimu…” ucap Paman José. “Seperti kata pepatah
kuli meksiko yang telah patah arang: ‘bermimpilah, agar Tuhan bisa tertawa’5. Namun,
Ziarah, aku tidak ingin pemuda sepertimu menyerah dalam kehidupan tanpa mencobanya
terlebih dahulu, setidaknya, kamu dapat menghibur Tuhan. Jangan pernah melakukan
kekonyolan yang pernah kuperbuat. Sesal lebih sakit ketimbang gagal. Jangan pernah
menyesal karena kamu belum pernah mencoba bermimpi dan memperjuangkannya.”
Kuperhatikan novela itu sejenak lalu bertanya, “Paman, dari mana mendapatkan buku ini?
Tentu cukup langka karena bertanda tangan penulisnya?”
“Itu aku sendiri yang berinisiatif.”
*
Angin barat telah reda. Ayah mengajakku berlaut dengan jukung kecil. Malam itu, lautan ini
menjelma menjadi kanvas-kavas gelap yang diisi oleh kunang-kunang di sepanjang lautan
lepas. Kunang-kunang itu adalah lampu minyak beserta senter dari kami dan sejumlah
nelayan lainnya. Jala-jala telah dipasangkan. Ayah duduk takzim dengan sandaran tiang kapal.
Ada sebuah kisah yang dituntaskannya malam itu.
4
Santiago, salah satu tokoh dalam The Old Man and The Sea, karya Ernest Hemingway.
5
Salah satu kutipan dalam novel Sang Pemimpi, karya Andrea Hirata.
“Ayah tak pernah sedih hidup miskin. Ayah hanya sekali masa pernah mencerca
kehidupan, dan itu ketika berpulangnya ibumu. Selama berbulan-bulan, ayah yang hanya
sibuk mengunjungi makam ibumu, sampai melupakan bahwa kamu belumlah diberi nama.
Ibumu begitu yakin kalau yang lahir adalah seorang perempuan, karena ibumu menyukai
bunga-bunga, maka dinamailah kamu Sekar,” dengan tertawa ringan ayah menambahkan,
“tanpa berpikir nama cadangan kalau-kalau anaknya laki-laki. Itulah asal namamu: Ziarah,”
kata ayah.
“Kematian melahirkan kebahagiaan,” ucap ayah lagi, “oh ya, boleh ayah mengangsur
utang tempo hari karena sepertinya hasil tangkapan hari ini sedikit?”
*
“Aku akan mengembara, Sa,” ucapku kepada lelaki halom itu, “dan mengunjungi
makam-makam tokoh dunia.”
“Hanya karena namamu Ziarah?” tanya Osa beserta senyum tipis.
Sesaat aku menengok bendera sekolah yang sudah tidak setengah tiang itu.
“Entahlah, setidaknya sekarang punyalah aku tujuan hidup selepas kelulusan.”
“Baiklah, bagaimana caramu sampai ke sana-sana itu?” bertanya kembali dia.
“Bekerja, mengumpulkan uang, sembari berkelana.”
“Kawanku, berapa kira-kira uang yang dapat kamu hasilkan dari kemampuan otakmu
yang sekarang?”
“Jangan bilang kalau aku perlu melanjutkan sekolah kembali.”
“Apa lagi yang dapat orang seperti kita ini lakukan,” ucapannya itu bernada pertanyaan.
“Ilmu bukan hanya melulu di sekolah, wahai kawanku Osa,” balasku sengit.
“Ilmu memang bukan hanya di sekolah, tapi dapatkah kamu mengumpulkan beragam
ilmu yang berserakan di luar sana sendirian tanpa arahan jelas?”
Bayangan kehidupan ayah, Paman José, dan Santiago merebak dalam kediaman
pikiranku. Mengapa pula aku perlu bermimpi konyol begini. Hanya untuk mewujudkan doa
dari sebuah nama. Namun, kalau menangkap omongan Osa, rasa-rasanya impian ini masihlah
terjangkau ketimbang mendirikan sebuah negara baru. Aku menyetujui rencana Osa.
“Semoga Tuhan memeluk mimpi-mimpi kita6,” ucap Osa, “dan kalau tidak, pun memang
sejak awal kita tidak memiliki apa-apa untuk merasa kehilangan.”

6
Ibid.
Identitas Penulis

Nama Lengkap : Mizzart Al Fatih

ID Instagram : Mizzartaf

Nomor WhatsApp : 081369918495

E-mail : Mizzart.al@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai