Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang akan meningkat
jumlahnya dimasa mendatang. Diabetes merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan
umat manusia abad 21. WHO membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap
diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun
kemudian, pada tahun 2025 jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang (Suyono,
2006). Diabetes mellitus tipe II merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
penderitanya dibandingkan Diabetes Mellitus tipe I. Penderita diabetes mellitus tipe II mencapai
90-95 % dari keseluruhan populasi penderita DM (Anonim, 2005).
Laksmanan (1986) memberitahukan alasan masuk rumah sakit yang disebabkan oleh
penyakit iatogrenik (akibat dari pengobatan) dimana sebanyak 47 kejadian iatogrenik yang
muncul, ditemukan 35 kasus drug related illness. Kasuskasus tersebut diantaranya terjadi pada
antihipertensi 8 kasus, antikonvulsan 4 kasus, pengobatan jantung 2 kasus, antibiotik 2 kasus dan
miscellaneous 1 kasus (Cipolle et al., 1998).
Orang lanjut usia mengalami kemunduran dalam sistem fisiologisnya seperti kulit yang
keriput, turunnya tinggi badan, berat badan, kekuatan otot, daya lihat, daya dengar, kemampuan
berbagai rasa (senses), dan penurunan fungsi berbagai organ termasuk apa yang terjadi terhadap
fungsi homeostatis glukosa, sehingga penyakit degeneratif seperti DM akan lebih mudah terjadi
(Rochmah, 2006). Umur secara kronologis hanya merupakan suatu determinan dari perubahan
yang berhubungan dengan penerapan terapi obat secara tepat pada orang lanjut usia. Terjadi
perubahan penting pada respon terhadap beberapa obat yang terjadi seiring dengan
bertambahnya umur pada sejumlah besar individu (Katzung, 2004).
Diabetes Mellitus (DM) pada geriatri terjadi karena timbulnya resistensi insulin pada usia
lanjut yang disebabkan oleh 4 faktor : pertama adanya perubahan komposisi tubuh, komposisi
tubuh berubah menjadi air 53%, sel solid 12%, lemak 30%, sedangkan tulang dan mineral
menurun 1% sehingga tinggal 5%. Faktor yang kedua adalah turunnya aktivitas fisik yang akan
mengakibatkan penurunan jumlah reseptor insulin yang siap berikatan dengan insulin sehingga
kecepatan transkolasi GLUT-4 (glucosetransporter-4) juga menurun. Faktor ketiga adalah
perubahan pola makan pada usia lanjut yang disebabkan oleh berkurangnya gigi geligi sehingga
prosentase bahan makanan karbohidrat akan meningkat. Faktor 3 keempat adalah perubahan
neurohormonal, khususnya Insulin Like Growth Factor-1 (IGF-1) dan dehydroepandrosteron
(DHtAS) plasma (Rochmah, 2006). Prevalensi DM pada lanjut usia (geriatri) cenderung
meningkat, hal ini dikarenakan DM pada lanjut usia bersifat muktifaktorial yang dipengaruhi
faktor intrinsik dan ekstrinsik. Umur ternyata merupakan salah satu faktor yang bersifat mandiri
dalam pengaruhnya terhadap perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa. Dari jumlah tersebut
dikatakan 50% adalah pasien berumur > 60 tahun (Gustaviani, 2006).
Rumusan masalah
1. Definisi diabetes militus pada geriatri
2. Apa saja gejala diabetes militus pada geriatri
3. Bagaimana cara pencegahan diabetes militus pada geriatri
Tujuan
 Untuk mengetahui definisi diabetes militus pada geriatri
 Untuk mengetahui penyebab diabetes militus pada geriatri
 Untuk mengetahui cara pencegahan diabetes militus pada geriatri
BAB II
PEMBAHASAN

Definisi

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya kenaikan
kadar gula darah (hiperglikemia) kronik. Keadaan hiperglikemia kronik tersebut dapat mengenai
banyak orang pada semua lapisan masyarakat di seluruh dunia (Waspadji, 1995). Diabetes
Mellitus ditandai oleh hiperglikemia serta gangguan-gangguan metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein yang bertalian dengan defisiensi absolut atau relativ aktivitas dan atau sekresi
insulin. Karena itu meskipun diabetes asalnya merupakan endokrin, manifestasi pokoknya adalah
penyakit metabolik (Anonim, 2000).

Diabetes mellitus seperti juga penyakit menular lainnya akan berkembang sebagai suatu
penyebab utama kesakitan dan kematian di Indonesia. Penyakit ini akan merupakan beban yang
besar bagi pelayanan kesehatan dan perekonomian di Indonesia baik secara langsung maupun
tidak langsung melalui komplikasi-komplikasinya.

Definisi lain menyebutkan diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit


metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung
dan pembuluh darah. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa
DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam suatu jawaban yang jelas dan singkat
tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi
akibat dari sejumlah faktor dimana dapat defisiensi insulin absolut atau relativ dan gangguan
fungsi insulin (Gustaviani, 2006).
Gejala Diabetes Militus
Gejala klasik diabetes adalah rasa haus yang berlebihan, sering kencing terutama malam
hari dan berat badan yang turun dengan cepat. Disamping itu kadang-kadang ada keluhan lemah,
kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, gairah seks
menurun, luka sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi dengan berat badan diatas
4 kg (Anonim, 2000).
Diabetes dapat pula bermanifestasi sebagai satu atau lebih penyulit yang bertalian. Diabetes
mellitus terutama NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus), bisa tanpa gejala,
sehingga sering didiagnosis berdasarkan ketidaknormalan hasil pemeriksaan darah rutin atau uji
glukosa dalam urin.
Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai
terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan
mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi. Faktor resiko yang berubah secara
epidemiologi diperkirakan adalah bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas,
distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini
berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2
(Gustaviani, 2006).
Berbagai perubahan karena proses menua dapat mempengaruhi penampilan klinis DM
pada lanjut usia. Gejalanya dapat sangat tidak khas dan menyelinap. Dikatakan paling sedikit
separuh dari populasi lanjut usia tidak tahu bahwa mereka terkena DM. Keluhan tradisional dari
hiperglikemia seperti polidipsi dan poliuria sering tidak jelas, karena penurunan respon haus dan
peningkatan nilai ambang ginjal untuk pengeluaran glukosa urin. Penurunan berat badan,
kelelahan dan kencing malam hari dianggap hal yang biasa pada lanjut usia, berakibat
tertundanya deteksi adanya DM. Penampilan klinis seperti dehidrasi, konfusio, inkontinentia dan
komplikasi-komplikasi yang berkaitan DM merupakan gejala-gejala yang tampak.
Komplikasi mikrovaskuler seperti neuropati dapat berupa kesulitan untuk bangkit dari
kursi atau menaiki tangga. Pandangan yang kabur atau diplopia juga dapat dikeluhkan, akibat
mononeuropati yang mengenai syaraf kranialis yang mengatur okulomotorik. Proteinuria tanpa
adanya infeksi, harus dicari kemungkinan adanya DM (Martono dkk, 2007).
Infeksi khusus yang sering berkaitan dengan DM, lebih banyak dijumpai pada lanjut usia
antara lain otitis eksterna maligna dan kandidiasis urogenital. Sebaliknya adanya penyakit-
penyakit akut seperti bronkopneumoni, infark miokard atau stroke dapat meningkatkan kadar
glukosa sehingga berakibat tercapainya kriteria diagnosis DM, pada mereka yang telah ada
peningkatan kadar intoleransi glukosa. Beberapa gejala unik yang dapat terjadi pada penderita
lanjut usia antara lain adalah: neuropati diabetika dengan kaheksia, neuropati diabetic akut,
amiotropi, otitis eksterna maligna, nekrosis papilaris dari ginjal dan osteoporosis.
Bila terlambat diketahui adanya penyakit diabetes pada lanjut usia, penderita mungkin
sudah dalam keadaan status dekompensasi dari sistem metabolik seperti hiperglikemi,
hiperosmolaritas, sindroma non ketotik atau ketoasidosis diabetik. Penderita juga dapat dijumpai
gejala-helaja hipoglikemi, yang biasanya disebabkan oleh obat-obat antidiabetik. Penampilan
klinis hipoglikemia yang khas tampak sebagai perubahan status mental dan status neurologi
seperti penurunan fungsi kognitif, konfusio, kjang, diaphoresis dan bradikadi.
Keadaan yang menyertai hiperglikemi seperti hiponatremia (pseudohiponatremi), kondisi
dehidrasi dan hipomagnesia (akibat diuresis osmotik) dapat juga terjadi. Profil lipid pada
umunya menunjukkan peningkatan trigliserid, penurunan HDL sedangkan LDL kolesterol tidak
selalu meningkat tetapi terisi oleh small dense LDL yang lebih banyaj, yang lebih aterogenik.

Cara mencegah diabetes militus

Langkah I: Menentukan tujuan pelaksanaan, yaitu:

1. Mempertahankan kesehatan badan dan kualitas hidup

2. Meniadakan hiperglikemi dan gejalanya

3. Mengkaji dan menerapi penyakit komorbid seperti hipertensi, penyakit kardiovaskuler,


Alhzeimer, dan lain-lain

4. Meniadakan efek samping obat terutama hipoglikemi

5. Membuat berat badan menjadi ideal

6. Mencegah kalau mungkin dan menerapi komplikasi

7. Mengenali disabilitas dan mengurangi hendaya sosial yang terjadi


Langkah II : Melakukan assesement untuk mengetahui kapasitas penderita baik fisik, psikologis,
fungsional, lingkungan, sosial dan ekonomi. Pemeriksaan mulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, psikologis, fungsional, pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan oleh suatu tim
multidisiplin yang bekerja secara interdisiplin dan terpadu.

Langkah III : Melakukan terapi dan rehabilitas pada penderita DM geriatri. Target yang ingin
dicapai tetap sama dengan usia dewasa muda yaitu HbA1c <7% dan ini sangat sulit pada geriatri
karena terdapat berbagai macam kendala :

- Adanya berbagai penurunan fungsi organ karena proses menua

- Adanya penyakit komorbid

- Penuruan kapasitas fungsional yang menyebabkan penurunan aktifitas fisik

- Penurunan fungsi kognitif penderita, meningkatnya resiko hipoglikemi

- Adanya polifarmasi , meningkatkan efek samping dan interaksi obat lain dengan obat-obat
antihiperglikemik.

Pilihan utama terapi diabetes pada lansia adalah terapi tanpa ibat atau sering disebut sebagai
perubahan gaya hidup yang meliputi :

Diet

Diberikan diet dengan jumlah kalori sesuai BMI, dengan pembatasan sesuai penyakit
komorbid atau faktor resiko atherosklerosis lain yang ada. Komposisi normal biasanya 60-65%
karbohidrat komplek, 20% protein dan 15-20% lemak. Disamping itu juga diberikan suplemen
dan vitamin A, C, B komplek, E, Ca, selenium, zinc dan besi. Untuk hasil yang baik pada terapi
diet ini perlu perhatian khusus pemberian makanan pada lansia dengan diabetes:

Akses terhadap makanan:

- Disabilitas fungsional
o Keterampilan menyapkan makanan yang kurang/jelek

o Dukungan formal maupun informal yang buruk untuk mendapatkan makanan

- Sumber daya keuangan yang terbatas

- Asupan makanan:

o Apresiasi terhadap bau dan rasa yang menurun

o Gigi yang buruk dan atau xerostomia

- Kebiasaan makan yang sudah berakar

- Kesukaan atas makanan masa lalu atau masakan tradisional

Fungsi kognitif yang menurun

Olahraga

Disesuaikan dengan kapasitas fungsionalnya. Bila masih bisa berjalan disuruh berjalan,
bila hanya bisa duduk olahraga dengan duduk. Apabila tidak dapat, bisa dilakukan dengan
gerakan atau latihan pasif di tempat tidur. Prinsip terapi olahraga adalah dengan memperbaiki
aktifitas fisik, menurunkan kadar gula darah, mencegah terjadinya imobilitas yang mempercepat
munculnya kompliasi makrovaskuler diabetes. Apabila dengan terapi tanpa obat di atas gula
darah atau HbA1c belum turun atau terkendali, sesuai dengan target makan diberikan terapi
dengan obat antihiperglikemik.

Obat

Terutama obat untuk menurunkan gula darah harus dipilih yang bekerja pendek,
mempertimbangkan kapasitas ginjal, hepar dan saluran cerna agar tidak terjadi efek samping.
Patut juga diperhatikan status sosial ekonomi penderita dalam memilih obat mengingat obat ini
biasanya dipakai dalam jangka waktu lama bahkan dapat seumur hidup. Obat yang dipilih
apakah obat anti diabetik oral atau insulin disesuaikan dengan klisifikasi DMnya dan keadaan
klinisnya seperti penyakit komorbid atau BMI nya.

Untuk penderita diabetes lansia gemuk, obat hiperglikemik oral yang dipilih adalah
inhibitor alfa Glukosidase (acarbose), biguanide atau thiazolidinedione, karena obat-obat ini
selain menurunkan kadar gula darah juga dapat menuurnkan berat badan, tetapi bila terdapat
ganguan fungsi hati atau ginjal baik biguanide atau thiazolodinedione tidak boleh dipakai.
Sebaliknya penderita yang kurus sebaiknya dipilih terapi dengan insulin karena dapat
menungkatkan berat badan. Sulfoniuria dan non sulfoniuria insulin secretagoue
(repaglinide/nateglinide) lebih tepat dipilih untuk penderita dengan berat badan normal.
Indikasi penggunaan insulin pada penderita diabetes antara lain: DM tipe 1, DM tipe 2
yang tidak bisa dikontol dengan obat oral, DM tipe 2 dengan penyakit akut berulang dan
berhubungan dengan hiperglikemi, DM tipe 2 dengan penyakit komorbid yang merupakan
kontraindikasi OHO, DM tipe 2 dengan operasi yang lama (pre/pascaoperatif), DM tipe 2 dengan
malnutrisi/kurus dan malaise berat, koma diabetik (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
nonketotik dan asidosis laktat) dan perempuan hamil. (Martono dkk, 2007; Darmono, 1991;
Sidartawan, 2002).

Penatalaksanaan DM pada lanjut usia tidak akan berhasil bila tidak melakukan langkah
beriuktnya setelah diet, olahraga dan obat, yaitu melakukan edukasi, evaluasi dan rehabilitasi
pada penderita.

Edukasi: memberikan penjelasan mengania DM dan komplikasi yang akan terjadi sampai
kepada apa yang mesti dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh penderita dan
keluarganya. Pada edukasi perlu dibuat komitmen antara dokter, penderita dan keluarganya
mengenai tujuan akhir terapi yang diberikan, bukan hanya sekedar mengontrol gula darah tetapi
juga mencegah komplikasi dengan mengeliminir semua faktor resiko atherosclerosis yang
dimiliki oleh penderita dan sekaligus menerapi komorbid yang ada.

Evaluasi: evaluasi harus dilakukan secara berkesinambungan terutama untuk: evaluasi


status fungsional penderita, harapan hidup, support social dan financial serta hasrat/ kemauan
lansia itu sendiri untuk berobat. Bila tidak memperhatikan hal-hal tersebut biasanya akan terjadi
kegagalan terapi atau kebosanan penderita diabetes untuk terus berobat.

Rehabilitasi: sangat penting dilakukan dengan program individual untuk tiap penderita,
tergantung kepada kapasitas fungsional penderita, komplikasi DM dan penyakit komorbid yang
diderita. Pada prinsipnya rehabilitasi harus dilakukan secepatnya tidak perlu menunggu kondisi
pasien stabil, tetapi harus sesuai dengan keadaan penderita saat itu.

Pencegahan Diabetes Militus


1. Pencegahan
Sasaran pencegahan :
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor
risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan
kelompok intoleransi glukosa.
2. Faktor risiko diabetes Faktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk intoleransi
glukosa yaitu :
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :
 Ras dan etnik
 Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes)
 Umur.Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.
 Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi>4000 gram atau riwayat pernah
menderita DM gestasional (DMG).
 Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg Bayi yang lahir dengan
BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan
BB normal.
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :
 Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).
 Kurangnya aktivitas fisik.
 Hipertensi (> 140/90 mmHg).
 Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)
 Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan
meningkatkan risiko menderita prediabetes/intoleransi glukosa dan DM tipe 2.
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :
 Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait
dengan resistensi insulin
 Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT)
atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit
kardiovaskular, seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases).
Intoleransi Glukosa
 Intoleransi glukosa merupakan suatu keadaan yang mendahului timbulnya diabetes.
Angka kejadian intoleransi glukosa dilaporkan terus mengalami peningkatan.
 Istilah ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 2002 oleh Department of Health and
Human Services (DHHS) dan The American Diabetes Association (ADA).
Sebelumnya istilah untuk menggambarkan keadaan intoleransi glukosa adalah TGT
dan GDPT. Setiap tahun 4-9% orang dengan intoleransi glukosa akan menjadi
diabetes.
 Intoleransi glukosa mempunyai risiko timbulnya gangguan kardiovaskular sebesar
satu setengah kali lebih tinggi dibandingkan orang normal.
 Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan dengan pemeriksaan TTGO setelah puasa 8
jam.
 Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan apabila hasil tes glukosa darah
menunjukkan salah satu dari tersebut di bawah ini :
 Glukosa darah puasa antara 100–125 mg/dL
 Glukosa darah 2 jam setelah muatan glukosa (TTGO) antara 140-199 mg/dL.
 Pada pasien dengan intoleransi glukosa anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
dilakukan ditujukan untuk mencari faktor risiko yang dapat dimodifikasi.
Pencegahan
Materi pencegahan primer terdiri dari tindakan penyuluhan dan pengeloaan yang ditujukan
untuk kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi dan intoleransi glukosa.
Penyuluhan ditujukan kepada:
A. Kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi danintoleransi glukosa
Materi penyuluhan meliputi antara lain:
1. Program penurunan berat badan.
Pada seseorang yang mempunyai risiko diabetes dan mempunyai berat badan lebih,
penurunan berat badan merupakan cara utama untuk menurunkan risiko terkena DM tipe 2
atau intoleransi glukosa. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan berat badan 5-10%
dapat mencegah atau memperlambat munculnya DM tipe 2.
2. Diet sehat.
Dianjurkan diberikan pada setiap orang yang mempunyai risiko.Jumlah asupan kalori
ditujukan untuk mencapai berat badan ideal. Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan
diberikan secara terbagi dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak (peak) glukosa
darah yang tinggi setelah makan. Mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat larut.
3. Latihan jasmani.
Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah, mempertahankan atau
menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL. Diabetes melitus
pada usia lanjut
Latihan jasmani yang dianjurkan:
Dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu dengan latihan aerobik sedang (mencapai
50-70% denyut jantung maksimal), atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobik berat
(mencapai denyutjantung>70% maksimal). Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 x
aktivitas/minggu.
4. Menghentikan merokok.
Merokok merupakan salah satu risiko timbulnya gangguan kardiovaskular. Meskipun
merokok tidak berkaitan langsung dengan timbulnya intoleransi glukosa, tetapi merokok
dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari intoleransi glukosa dan DM tipe2.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Diabetes mellitus merupakan suatu gangguan kronis yang ditandai dengan metabolisme
karbohidrat dan lemak yang diakibatkan oleh kekurangan insulin atau secara relatif kekurangan
insulin.
Klasifikasi diabetes mellitus yang utama adalah tipe I : Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(IDDM) dan tipe II : Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
Faktor yang berkaitan dengan penyebab diabetes mellitus pada lansia adalah Umur yang
berkaitan dengan penurunan fungsi sel pankreas dan sekresi insulin, Umur yang berkaitan
dengan resistensi insulin akibat kurangnya massa otot dan perubahan vaskuler, Obesitas, banyak
makan, Aktivitas fisik yang kurang, Penggunaan obat yang bermacam-macam, Keturunan,
Keberadaan penyakit lain, sering menderita stress.
Pada DM lansia tidak terjadi poliuria, polidipsia, akan tetapi keluhan yang sering muncul
adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Prinsip
penatalaksanaan DM lansia adalah Menilai penyakitnya secara menyeluruh dan memberikan
pendidikan kepada pasien dan keluarganya, Menghilangkan gejala-gejala akibat
hiperglikemia,Lebih bersifat konservatif, Mengendalikan glukosa darah dan berat badan.
DAFTAR PUSTAKA

Martono H, Pranaka K, Rahayu RA, Joni B, Huda IS, Murti Y. Diabetes melitus pada lanjut
usia. Dalam : Darmono, Suhartono T, dkk (editor). Naskah lengkap diabetes melitus. Semarang :
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007 : 301-16

Gustaviani R. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B,
dkk (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta : Balai Penerbit FKUI,
2006: 1879-1885

Rochmah W. Diabetes melitus pada usia lanjut. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, dkk
(editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2006:
1937-9

Darmono. Seri kuliah endokrinologi-metabolik. Semarang: Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam


FK UNDIP, 1991. Foster DW.

Sidartawan, Pradana, Imam Subekti, dkk. Petunjuk praktis pengelolaan diabetes mellitus tipe 2.
Jakarta : PB Perkeni, 2002.
TUGAS AKM

DIABETES MILITUS PADA GERIATRI

DISUSUN OLEH:

Nama : Wahyu Adi Prasetya

Npm : 15700117

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2018/2019

Anda mungkin juga menyukai