9
PENILAIAN PERSEDIAAN
(Menerapkan metode persediaan (FIFO, LIFO, Average, dan identifikasi khusus)
Pada akhir periode akuntansi perusahaan melakukan penilaian atas persediaan barang
dagangannya untuk mengetahui besarnya biaya perolehan barang yang terjual sebagai harga pokok
penjualan dan biaya perolehan barang yang belum terjual sebagai nilai persediaan akhir. Apabila
perusahaan pada saat melakukan pembelian dengan harga yang sama maka dengan mudah
perusahaan menilai persediaan atau pun harga pokok penjualannya tetapi dalam prakteknva itu
jarang terjadi. Banyaknya variasi harga pembelian dalam perusahaan menimbulkan banyak
persoalan didalam menentukan harga pokok barang yang nantinya akan berpengaruh pada laporan
L/R perusahaan dan Laporan Posisi keuangan (Neraca).
Ada beberapa metode yang digunakan dengan menggunakan metode biaya perolehan untuk
menetapkan besarnya persediaan pada akhir periode Akuntansi, antara lain:
Dalam aliran fisik persediaan barang yang dibeli oleh perusahaan diberi tanda khusus
mengenai harga barang dan jumlahnya. sehingga apabila melakukan transaksi penjualan akan
lebih mudah dalam menentukan nilai biaya perolehan atau harga pokok penjualan. Kasus ini
berlaku untuk perusahaan yang jenis barang dagangan relatif sedikit dan harga perolehan
barang yang tidak bervariasi dan mempunyai harga yang tinggi. Metode ini sering disebut
dengan metode identifikasi khusus. Menurut SAK ETAP 2019 11.14 perhitungan menggunakan
aliran fisik diperuntukan untuk Jenis persediaan yang normalnya tidak dapat dipertukarkan, dan
barang (jasa) yang dihasilkan dan dipisahkan untuk proyek tertentu dan penerapnnya adalah
untuk persediaan secara individual bukan kelompok atau total. Aktifitas tersebut dilakukan oleh
perusahaan - perusahaan seperti Dealer Mobl, toko Emas dan lain lain.
Cara ini merupakan perlakuan yang sesuai bagi barang yang dipisahkan untuk proyek khusus
baik yang dibeli maupun yang dihasilkan. Jika setiap barang yang dibeli dapat diberi label
tanggal pembelian dan harga Pokoknya maka toko dengan mudah dapat mengidentifikasi dan
menentukan biaya barang yang telah dijual. Jika Perusahaan menerapkan metode tersebut
untuk setiap persediaan yang dibeli maka perusahaan menerapkan metode identifikasi khusus.
Jadi setiap barang mempunyai identitas harga pokoknya sesuai dengan tanggal pembeliannya.
Dengan metode ini, setiap barang yang masuk (dibeli) diberi tanda pengenal yang
menunjukkan harga satuan sesuai faktur yang diterima. Barang X yang masuk (dibeli) diberi
tanda pengenal khusus sesuai kelompoknyamasing-masing (berdasarkan tanggal pembelian).
Contoh transaksi terkait Jenis Barang “AB” pada bulan Juni 2020
Juli 1 Persediaan awal 1.000 kg @ Rp. 20.000 = Rp. 20.000.000
Juli 5 Pembelian 2.000 kg @ Rp. 24.000 = Rp. 48.000.000
Juli 7 Pembelian 1.000 kg @ Rp. 22.000 = Rp. 22.000.000
Juli 12 Pembelian 3.000 kg @ Rp. 26.000 = Rp. 78.000.000
Juli 14 Pembelian 1.700 kg @ Rp. 30.000 = Rp. 51.000.000
Juli 15 Pembelian 800 Kg @ Rp. 32.000 = Rp. 25.600.000
Juli 26 Pembelian 2.000 kg @ Rp. 30.000 = Rp. 60.000.000
Juli 28 Pembelian 1.500 kg @ Rp. 34.000 = Rp. 51.000.000
Barang tersedia untuk dijual pada Juni 2020 13.000 kg = Rp.355.600.000
setelah dilakukan perhitungan fisik atas sisa barang tanggal 30 Juni 2020 di gudang masih
tersedia barang AB sebanyak 6.000 kg. Dengan tanda pengenal khusus diketahui sisa barang
sebanyak 6.000 kg berasal dari kelompok :
Persediaan awal bulan juli 2018 : 1.000 kg
Pembelian 5 juli : 2.000 kg
Pembelian 12 Juli : 3.000 kg
Berdasar data di atas maka nilai persediaan barang dagang AB pada akhir 30 Juni 2020 adalah
1.000 kg @ Rp. 20.000 = Rp. 20.000.000
2.000 kg @ Rp. 24.000 = Rp. 48.000.000
3.000 kg @ Rp. 26.000 = Rp. 78.000.000
6.000 kg = Rp.146.000.000
Untuk perusahaan yang menjual berbagai jenis barang dagang dan jumlahnya relatif banyak,
dan harga perolehan yang berbeda-beda sangat tidak cocok menggunakan aliran atau sistem
identifikasi khusus. Berdasarkan kondisi ini penentuan biaya perolehan atau harga pokok
penjualan lebih tepat dipakai aliran anggapan. Aliran anggapan adalah perusahaan mempunyai
anggapan harga perolehan barang mana saja yang telah terjual dan harga perolehan mana saja
yang masih ada di gudang sebagai persediaan.
Dalam sistem anggapan ada beberapa metode antara lain:
1. Masuk Pertama Keluar Pertama/ First In First Out/ FIFO
2. Metode rata-rata tertimbang/ Weight Average Methode
3. Masuk Terakhir keluar Pertama /Last In First Out /LIFO
Sesuai dengan SAK ETAP 2009, 11.5 metode MTKP/LIFO tidak digunakan lagi. Tetapi untuk
pembelajaran kita akan mempelajarinya.
Pemakaian metode tersebut dalam penilaian persediaan, tergantung dari sistem pencatatan
yang digunakan apakah fisik atau perpectual.
Pada pembelajaran sebelumnya kita sudah membahas mengenai pencatatan Sistem fisik
dimana pembelian barang dagangan dicatat sebesar biaya perolehan
atau harga beli sedangkan penjualan barang daganga dicatat sebesar nilai penjualannya. Dalam
menentukan nilai harga pokok penjualan pada akhir periode berdasarkan sistem fisik dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menghitung jumlah fisik barang tiap-tiap jenis barang
2. Menentukan biaya perolehan per unit berdasarkan metode
3. Menentukan nilai persediaan barang dengan cara mengalikan antara No 1 dan No 2
Untuk metode fisik ada beberapa metode penilaian persediaan barang dagang akhir yaitu :
1. Metode Rata-rata/ Average Methode
2. Metode FIFO
3. Metode LIFO
4. Metode persediaan dasar / Basic stock method
Untuk lebih jelasnya mengenai penilain persediaan barang dagang dengan sistem fisik,
perhatikan contoh berikut
Setelah dilakukan perhitungan fisik atas sisa barang tanggal 31 Juli 2020, di gudang masih
tersedia barag “A” sebanyak 6.000 Kg. Harga pokok (nilai) barang tersebut tergantung kepada
metode penilaian persediaan.
1. Metode rata-rata (Average Method)
Dengan metode ini harga rata-rata per satuan barang dihitung dengan cara membagi
total harga per satuan tiap transaksi pembelian dengan jumlah transaksi pembelian
termasuk persediaan awal periode.
Nilai persediaan barang diperoleh dari hasil kali harga rata-rata persatuan barang dengan
sisa barang.
Harga rata-rata per unit/kg :
= 218.000 = Rp 27.250
8
Maka nilai persediaan barang A tanggal 31 Juli 2020 adalah
6000 kg x 27.250 = Rp. 163.500.000
b. Metode rata-rata tertimbang / weight average methode
Dengan metode ini harga per satuan barang dihitung dengan cara membagi jumlah harga
pembelian barang yang tersedia untuk dijual, dengan jumlah satuan (kuantitas). Nilai
persediaan akhir periode adalah hasil kali kuantitas persediaan dengan harga rata-rata
per satuan
2. Metode Masuk Pertama Keluar Pertama (MPKP) / First In First Out (FIFO)
Menurut metode ini, harga perolehan per unit barang yang dibeli/masuk pertama
dianggap sebagai harga perolehan barang yang dijual /keluar pertama kali. Dengan
demikian nilai HPP didasarkan atas Harga perolehan per unit yang lebih awal dibeli /
masuk.
Harga perolehan persediaan akhir berasal dari harga perolehan barang dari
pembelian terakhir. Nilai persediaan akhir dihitung dengan cara mengalikan barang
yang masih ada dengan harga per satuan. Dari soal di atas nilai persediaan akhir
sebesar 6.000 kg dengan metode FIFO berasal dari persediaan sebagai berikut :
Berdasarkan data di atas, nilai persediaan akhir dengan metode FIFO adalah 6000 kg
terdiri dari :
1.500 kg pembelian tgl 28 juli = 1.500 x 34.000 = Rp. 51.000.000
2.000 kg pembelian tgl 26 Juli = 2.000 x 30.000 = Rp. 60.000.000
800 kg pembelian tgl 15 Juli = 800 x 32.000 = Rp. 25.600.000
1.700 kg pembelian tgl 14 Juli = 1.700 x 30.000 = Rp. 51.000.000
Nilai persediaan barang A tanggal 31 juli 2020 = Rp.187.600.000
3. Metode Masuk Terakhir Keluar pertama (MTKP) / last In First Out (LIFO)
Menurut metode ini, harga perolehan per unit barang yang dibeli/masuk terakhir
dianggap sebagai harga perolehan barang yang dijual/keluar pertama kali. Sehingga
nilai HPP berdasarkan atas harga perolehan per unit paling akhir dibeli, dan harga
perolehan persediaan akhir adalah harga perolehan barang dari pembelian pertama.
Menurut standar International Financial Reporting Standars (IFRS) yaitu standar
pelaporan keuangan internasional dan juga undang-undang perpajakan di Indonesia
metode MTKP sudah tidak boleh digunakan lagi.
Nilai persediaan akhir dihitung dengan cara mengalikan barang yang masih ada
dengan harga per satuan.
Berdasarkan data dia atas, mka nilai persediaan akhir dengan metode LIFO dihitung
sebagai berikut :
Nilai persediaan akhir 6.000 kg terdiri dari :
Persediaan awal 1.000 kg = 1.000 x 20.000 = Rp. 20.000.000
2.000 kg Pembelian 5 juli = 2.000 x 24.000 = Rp. 48.000.000
1.000 kg pembelian 7 juli = 1.000 x 22.000 = Rp. 22.000.000
2.000 kg pembelian 12 juli = 2.000 x 26.000 = Rp. 52.000.000
Nilai persediaan barang A tanggal 31 Juli 2018 = Rp. 142.000.000
Contoh
❖ Persediaan dasar barang X ditentukan sebanyak 20.000 unit @ Rp.2.500.
❖ Persediaan barang X pada tanggal 30 juli 2020 sebanyak 35.000 unit.
❖ Harga pasar yang berlaku pada tanggal 30 juli 2020 per unit barang X adalah
Rp. 3.500
Nilai persediaan akhir barang dagang X adalah sebagai berikut
Nilai persediaan dasar = 20.000 x 2.500 = Rp. 50.000.000
Harga dasar kelebihannya = 15.000 x 3.500 = Rp. 52.500.000
Harga pasar tanggal 30 Juli 2020 = Rp 102.500.000
Pada materi sebelumnya sudah dibahas mengenai sistem perpetual, dalam pecatatan
persediaan dengan sistem perpetual, setiap terjadi transaksi penjualan barang dagang
diadakan perhitungan dan pencatatan harga pokok penjualan. Pada sistem ini, mutasi
setiap harga perolehan barang per unit dan Jumlah barang untuk tiap-tiap unit jenis
barang selain dicatat dalam jurnal juga dicatat dalam kartu persediaan. Kartu
persediaan yang berfungsi sebagai buku pembantu persediaan, sehingga harga
perolehan atau HPP dan juga nilai persediaan akhir dapat langsung diketahui setiap
saat. Penilaian persediaan akhir dengan sistem perpetual dapat dilakukan dengan
1) Metode Masuk Pertama Keluar Pertama (First In First out)
Nilai persediaan akhir barang dagang dihitung dengan mengasumsikan barang yang
masuk pertama adalah barang yang dijual lebih dulu dan kekurangannya
mengambil barang yang masuk berikutnya.
2) Metode Masuk Terakhir Keluar Pertama (Last In First Out)
Nilai persediaan akhir barang dagang dihitung dengan anggapan barang yang
terakhir masuk yang lebih dulu dijual dan kekurangannya mengambil barang yang
sudah masuk sebelumnya.
3) Metode rata-rata bergerak / Moving Average
Dalam metode ini setiap terjadi transaksi pembelian harus dihitung harga beli rata-
rata per satuan, sehingga harga barang tiap satuan selalu berubah-ubah. Harga
Rata-rata tiap satuan sebagai dasar untuk menghitung nilai persediaan akhir barang
dagang.
Berikut ini adalah data persediaan barang dagang UD Aneka Jaya Desember 2020
1 Desember Persediaan awal 75 unit @ Rp. 66.000
5 Desember faktur No.14 Pembelian dari PT Indo Jaya 100 unit @ Rp. 68.000
14 Desember penjualan dengan Copy faktur No. 22 Toko Sumber Jaya 30 unit
barang @ Rp. 80.000
20 Desember faktur No. 31 dari PT Indo Sehat pembelian 75 unit @ Rp. 70.000
23 Desember copy faktur no 24 toko Laris 45 unit @ Rp. 78.000
26 Desember copy faktur no 26 toko Mitra 50 unit @ Rp. 76.000
29 Desember copy faktur No. 28 toko Sumber jaya 40 unit @ Rp. 78.000
Buatlah mutasi persediaan barang dari UD Aneka Jaya dalam kartu persediaan
dengan metode :
a. FIFO
b. LIFO
c. Moving Average
a. FIFO
No MASUK KELUAR SAL
Tanggal Bukti Keterangan Uni Harga Jumlah Unit Harga Jumlah Uni Harga
t Satuan Satuan t Satuan
Des 1 Persd awal 75 66.000
5 F.14 Pembelian 100 68.000 6.800.00 75 66.000
0 100 68.000
175
b. LIFO
No MASUK KELUAR SAL
Tanggal Bukti Keterangan Uni Harga Jumlah Unit Harga Jumlah Uni Harga
t Satuan Satuan t Satuan
Des 1 Persd awal 75 66.000
5 F.14 Pembelian 100 68.000 6.800.00 75 66.000
0 100 68.000
175
c. Moving Average
Harga pokok penjualan merupakan haga perolehan barang yang laku dijual. Metode
yang digunakan untuk menentukan nilai harga pokok penjualan sama seperti metode
yang digunakan dalam penilaian persediaan. Perbedaanya kalau persediaan merupakan
harga perolehan jumlah barang yang masih ada di gudang sedangkan harga pokok
penjualan merupakan harga pokok barang yang dijual.
Harga pokok penjualan digunakan untuk menentukan laba kotor penjualan
Untuk sistem fisik ada beberapa metode penilaian harga pokok penjualan
yaitu :
1) Metode rata-rata/average Method
2) Metode MPKP/FIFO
3) Metode MTKP/LIFO
Untuk lebih jelasnya mengenai penilaian Harga Pokok Penjualan dengan sistem
fisik, perhatikan contoh soal berikut :
1) Metode rata-rata
a. Metode rata-rata sederhana (Simple Average Method)
Dengan metode ini, harga rata-rata per satuan barang dihitung dengan cara
membagi total harga per satuan setiap transaksi pembelian dengan jumlah
transaksi pembelian termasuk persediaan awal periode.
Nilai persediaan barang, diperoleh dan hasil kali harga rata-rata persatuan
barnag dengan jumlah barang yang dijual.
Harga rata-rata per Kg barang A adalah =
= 218.000 = Rp 27.250
8
Maka HPP barang A adalah = 7.000 x 27.250 = Rp. 190.750.000
Maka laba kotor penjualan dapat dihitung sebagai berikut :
Penjualan = 7.000 x 35.000 = Rp. 245.000.000
HPP = (Rp.
190.750.000)
Laba kotor penjualan dengan metode rata-rata sederhana = Rp.
54.250.000
Maka laba kotor penjualan dengan metode FIFO dapat dihitung sebagai berikut
:
Penjualan = 7.000 x 35.000 Rp. 245.000.000
HPP (Rp. 172.000.000)
Laba kotor penjualan sebesar Rp. 73.000.000
Jadi Laba kotor penjualan dengan metode FIFO sebesar sebesar Rp.
73.000.000
Pada sistem perpetual setiap terjadi transaksi penjualan barang dagang diadakan
perhitungan dan pencatatan harga pokok penjualan. Pada sistem ini, mutasi tiap-
tiap
mutasi setiap harga perolehan barang per unit dan jumlah barang untuk tiap-tiap
unit jenis barang selain dicatat dalam jurnal juga dicatat dalam kartu persediaan.
Kartu persediaan yang berfungsi sebagai buku pembantu persediaan, sehingga
harga perolehan atau HPP dan juga nilai persediaan akhir dapat langsung diketahui
setiap saat. Penilaian persediaan akhir dengan sistem perpetual dapat dilakukan
dengan:
Metode Masuk Pertama Keluar Pertama (First In First Out)
1) Harga pokok penjualan barang dagang dihitung dengan mengasumsikan
barang yang masuk pertama adalah barang yang dijual lebih dulu dan
kekurangannya mengambil barang yang masuk berikutnya.
2) Metode Masuk Terakhir Keluar Pertama (Last In First Out)
Harga pokok penjualan barang dagang dihitung dengan anggapan barang yang
terakhir masuk yang lebih dulu dijual dan kekurangannya mengambil barang
yang sudah masuk sebelumnya.
3) Metode rata-rata bergerak (Moving average method)
Setiap terjadi transaksi pembeiian harus dihitung harga beli rata-rata tiap
satuan, sehingga harga barang dagang tiap satuan selalu berubah-ubah. Harga
rata-rata tiap satuan sebagai dasar untuk menghitung nilai persediaan akhir
barang dagang.
Contoh :
Berikut ini adalah data persediaan barang dagang UD Aneka Jaya Desember
2020
1 Desember Persediaan awal 75 unit @ Rp. 66.000
5 Desember faktur No.14 Pembelian dari PT Indo Jaya 100 unit @ Rp. 68.000
14 Desember penjualan dengan Copy faktur No. 22 Toko Sumber Jaya 30 unit
barang @ Rp. 80.000
20 Desember faktur No. 31 dari PT Indo Sehat pembelian 75 unit @ Rp. 70.000
23 Desember copy faktur no 24 toko Laris 45 unit @ Rp. 78.000
26 Desember copy faktur no 26 toko Mitra 50 unit @ Rp. 76.000
29 Desember copy faktur No. 28 toko Sumber jaya 40 unit @ Rp. 78.000
Buatlah mutasi persediaan barang dari UD Aneka Jaya dalam kartu persediaan
dengan metode :
a. FIFO
b. LIFO
c. Moving Average
a. FIFO
b.LIFO
Berdasarkan kartu persediaan metode MTKP / LIFO kita dapat menghitung HPP
sebagai berikut :
Penjualan tgl 14 Desember 2020 Rp. 2.040.000
Penjualan tgl 23 Desember Rp. 3.150.000
Penjualan tgl 26 Desember Rp. 3.460.000
Penjualan tgl 29 Desember Rp. 2.720.000
Total HPP Rp.11.370.000
Maka laba kotor dapat dihitung sebagai berikut : Total penjualan :
Penjualan tgl 14 Desember 2020 Rp. 2.400.000
Penjualan tgl 23 Desember Rp. 3.510.000
Penjualan tgl 26 Desember Rp. 3.800.000
Penjualan tgl 29 Desember Rp. 3.120.000
Total penjualan Rp. 12.830.000
Jadi besarnya laba kotor penjualan dengan metode FIFO adalah
Total penjualan Rp. 12.830.000
HPP (Rp. 11.370.000)
Laba kotor penjualan dengan metode LIFO / MTKP sebesar Rp. 1.448.630
c. Moving Average
Tangga No. Keteranga MASUK KELUAR
l Doc n Unit Harga Total Unit Harga Total Un
Des Saldo
1
F.14 Pembelian 100 68.000 6.800.000
5 1
1
14 CF.22 Penjualan 30 67.142,86 2.040.285,71 1
20 F.31 Pembelian 75 70.000 5.250.000 1
2
23 CF.24 Penjualan 45 68.116,89 3.065.259,8 1
26 CF.26 Penjualan 50 68.116,89 3.405.844,5 1
29 CF.28 Penjualan 40 68.116,86 2.724.675,6
Berdasarkan kartu persediaan metode Moving Average kita dapat menghitung HPP
sebagai berikut :
Penjualan tgl 14 Desember 2019 Rp. 2.014.285,71
Penjualan tgl 23 Desember Rp. 3.065.259,8
Penjualan tgl 26 Desember Rp. 3.405.844,5
Penjualan tgl 29 Desember Rp. 2.724.675,6
Total HPP Rp.11.210.065,6
Maka laba kotor dapat dihitung sebagai berikut : Total penjualan :
Penjualan tgl 14 Desember 2020 Rp. 2.400.000
Penjualan tgl 23 Desember Rp. 3.510.000
Penjualan tgl 26 Desember Rp. 3.800.000
Penjualan tgl 29 Desember Rp. 3.120.000
Total penjualan Rp. 12.830.000
Jadi besarnya laba kotor penjualan dengan metode FIFO adalah
Total penjualan Rp. 12.830.000
HPP (Rp.11.210.065,6)
Laba kotor penjualan dengan metode moving Average adalah
1.619.934,4
Dalam praktek akuntansi, perusahaan bebas memilih salah satu metode dan
perusahaan pasti mempunyai alasan yang kuat untuk memilihnya berdasarkan
kondisi pasar.
Berikut ini bisa kita lihat perbedaan secara detail diantara metode penilaian
persediaan apabila kondisi perekonomian cenderung berubah-ubah :
Persediaan barang merupakan unsur laporan keuangan yang sangant penting pada
perusahaan, karena memiliki peran ganda yaitu dilaporkan sebagai aset di neraca
dan dilaporkan sebagi unsur HPP di laporan rugi laba.
Kesalahan pencatatan persediaan akan berakibat pada kesalahan dalam menyajikan
harga pokok penjualan, laba kotor dan laba bersih dalam laporan laba rugi. Dalam
neraca dapat mengakibatkan salah saji dalam akun persediaan dan modal
perusahaan.
Jika terjadi kesalahan penilaian persediaan dinilai terlalu tinggi maka pengaruhnya di
neraca adalah nilai persediaan akhir, aset lancar dan modal pemilik terlalu tinggi
Jika terjadi kesalahan penilaian persediaan dinilai terlalu tinggi maka pengaruhnya di
laporan laba rugi adalah HPP terlalu rendah, laba kotor penjualan terlalu tinggi, laba
bersih terlalu tinggi
DAFTAR PUSTAKA
Hendy Soemantri Drs., 2004, Memahami Siklus Akuntansi, Perusahaan Jasa dan
Dagang, Armico, Bandung
Solichatun, Karmi ,2017. Akuntansi Keuangan untuk SMK kelas XI, Pustaka Mulia,
Jakarta
Harti Dwi, 2018, Akuntansi Keuangan untuk SMK/MAK Kelas XI, Erlangga, Jakarta
IAI. 2009. Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK
ETAP)