Anda di halaman 1dari 16

Inilah 10 Cara Praktis dan Akurat untuk Menghitung Harga Pokok

Penjualan (HPP)

By Wadiyo*

Harga pokok penjualan (HPP) adalah jumlah semua pengeluaran-pengeluaran


langsung atau tidak langsung yang berhubungan dengan perolehan, penyiapan dan
penempatan barang agar dapat dijual. Atau harga yang harus dibayar untuk
memperoleh suatu barang.

Dalam prakteknya harga pokok penjualan terdiri dari harga faktur ditambah biaya
angkut, sedangkan biaya-biaya yang lain diperlakukan sebagai biaya waktu (period
cost) yang dibebankan pada periode yang bersangkutan.

Harga pokok penjualan (HPP) dapat dihitung dengan menggunakan 10 cara berikut
ini, yaitu :

Cara #1. Identifikasi Khusus

Cara identifikasi khusus didasarkan pada anggapan bahwa arus barang harus sama
dengann arus biaya.

Untuk itu perlu dipisahkan tiap-tiap jenis barang berdasarkan pada harga pokoknya
dan untuk tiap-tiap kelompok dibuatkan kartu persediaan sendiri, sehingga masing-
masing harga pokok bisa diketahui.

Harga pokok penjualan terdiri dari harga pokok barang-barang yang dijual dan
sisanya merupakan persediaan akhir.

Cara ini dapat digunakan untuk perusahaan-perusahaan yang menggunakan


prosedur pencatatan persediaan dengan metode fisik maupun perpetual.
Kekurangan dari cara identifikasi khusus adalah menimbulkan banyak pekerjaan
tambahan dan gudang yang luas. Sehingga cara ini jarang digunakan oleh
perusahaan.

Cara #2. Masuk Pertama Keluar Pertama (FIFO)

Ada 3 cara menghitung harga pokok penjualan (HPP) yang dasarnya adalah arus
biaya, di mana arus barang tidak harus sama dengan arus biayanya yaitu FIFO, LIFO
(Masuk Terakhir Keluar Pertama dan rata-rata tertimbang.

Untuk menjelaskan penggunaan 3 cara tersebut digunakan contoh data sebagai


berikut :

Bila menggunakan cara Masuk Pertama Keluar Pertama (FIFO) harga pokok
persediaan akan dibebankan sesuai dengan urutan terjadinya.

Apabila ada penjualan atau pemakaian barang-barang maka harga pokok yang
dibebankan adalah harga pokok yang paling terdahulu, disusul dengan yang masuk
berikutnya.

Persediaan akhir dibebani harga pokok terakhir.

Bila menggunakan contoh data di atas, persediaan akhir dan harga pokok penjualan
(HPP) dapat dihitung dengan cara FIFO adalah sebagai berikut :
Metode fisik :
Misalnya perhitungan fisik atas barang-barang dalam gudang pada tanggal 28
Februari 2015 menunjukkan jumlah 300 kg, terdiri dari :

Pembelian 24 Februari 100 kg @Rp. 126 = Rp. 12.600


Pembelian 15 Februari 200 kg @Rp. 116 = Rp. 23.200
_____ _________
Jumlah 300 kg Rp. 35.800
===== =========

Sesudah diketahui jumlah persediaan akhir maka harga pokok penjualan dapat
dihitung sebagai berikut :

Rp. 112.000 – Rp. 35.800 = Rp 76.200


=========

Metode Perpetual (buku) :

Apabila digunakan metode perpetual maka setiap jenis persediaan akan dibuatkan
kartu persediaan yang terdiri dari beberapa kolom yang digunakan untuk mencatat
mutasi persediaan. Dengan menggunakan contoh data di atas, kartu piutang bisa
dibuat seperti berikut ini :

Kartu barang
Dari kartu barang di atas dapat dilihat bahwa jumlah persediaan barang tanggal
28 Februari 2015 sebesar 300 kg dengan harga pokok sebesar Rp. 35.800.

Jumlah persediaan yang dihitung dengan cara FIFO dengan metode fisik akan
menunjukkan hasil yang sama dengan metode perpetual (buku).

Cara #3. Rata-rata Tertimbang (Weighted Average)


Perhitungan dengan cara rata-rata tertimbang ini barang-barang yang dipakai untuk
produksi atau dijual akan dibebani harga pokok rata-rata. Perhitungan harga pokok
rata-rata dilakukan dengan cara membagi jumlah harga perolehan dengan
kuantitasnya.

Untuk lebih jelasnya, perhitungan untuk persediaan akhir dan harga pokok
penjualan (HPP) adalah sebagai berikut :

Metode Fisik :

Misalnya barang-barang yang ada di gudang pada tanggal 28 Februari 2015 dihitung
berjumlah 300 kg. Persediaan akhir dihitung sebagai berikut :

Februari 1 Pembelian 200 kg @Rp. 100 = Rp. 20.000


9 Pembelian 300 kg @Rp. 110 = Rp. 33.200
15 Pembelian 400 kg @Rp. 116 = Rp. 46.400
24 Pembelian 100 kg @Rp. 126 = Rp. 12.600
_______ __________
Jumlah 1.000 kg Rp. 112.000
======= ==========

Harga Pokok Rata-rata tertimbang : Rp. 12.000 = Rp. 112 per kg


1.000

Persediaan barang tanggal 28 Februari 2015 :


300 kg @ Rp. 112 = Rp. 33.600
Harga Pokok Penjualan :

Rp 112.000 – Rp. 33.600 = Rp. 78.400

Metode Perpetual :

Barang-barang yang dikeluarkan akan dibebani harga pokok pada akhir periode,
karena harga pokok rata-rata baru dihitung pada akhir periode akibatnya jurnal
untuk mencatat berkurangnya persediaan barang juga dibuat pada akhir periode.

Apabila harga pokok rata-rata dicatat setiap ada pengeluaran barang maka
diperlukan untuk menghitung harga pokok rata-rata setiap kali terjadi pembelian
barang.

Sehingga dalam satu periode akan terdapat beberapa beberapa harga pokok rata-
rata.
Cara seperti ini disebut rata-rata bergerak (moving average).

Bila menggunakan cara perhitungan rata-rata bergerak kartu piutang-nya akan


nampak seperti berikut ini :

Harga pokok rata-rata per kg yang baru akan dihitung setiap kali ada pembelian
barang. Pengeluaran barang berikutnya dihitung dengan harga pokok rata-rata
tersebut sampai ada pembelian lagi.
Pada contoh di atas, pada tanggal 9 Februari 2015 harga pokok rata-rata dihitung
sebagaii berikut :

Rp 53.000 : 500 kg = Rp. 106.000

Harga pokok rata-rata ini digunakan untuk menghitung harga pokok pengeluara
barang pada tanggal 10 Februari 2015. Kemudian pada tanggal 15 Februari 2015 ada
pembelian barang sejumlah 400 kg dengan harga Rp 116 per kg.

Harga pokok rata-rata yang baru adalah Rp 57.000 : 500 kg = Rp. 114.

Dan begitu seterusnya...

Apabila terjadi pengembalian barang yang dijual maka tidak ada masalah dalam
mencatat barang-barang yang dikembalikan itu karena harga pokok rata-rata yang
digunakan masih sama.

Tapi jika barang-barang yang diterima kembali itu terjadi sesudah adanya pembelian
baru maka harga pokok rata-ratanya sudah berbeda. Sehingga perlu dihitung harga
pokok rata-rata yang baru.

Masalah lain timbul bila barang yang dibeli dikembalikan pada penjual. Dalam hal
ini harga pokok rata-rata tidak sama dengan harga beli barang-barang yang
dikembalikan. Oleh karena itu selisihnya dibebankan pada rekening Selisih
Persediaan.

Cara #4. Masuk Terakhir Keluar Pertama (LIFO)

Barang-barang yang dikeluarkan dari gudang akan dibebani dengan harga pokok
pembelian yang terakhir disusul dengan yang masuk sebelumnya.

Persediaan akhir dihargai dengan harga pokok pembelian yang pertama dan
berikutnya.
Penggunaan cara LIFO atau Masuk Terakhir Keluar Pertama akan lebih jelas jika
dilihat dalam perhitungan berikut yang datanya masih diambil dari contoh di atas.

Metode Fisik :

Misalnya pada tanggal 28 Februari 2015 diadakan perhitungan fisik terhadap


barang-barang dalam gudang yang hasilnya adalah jumlah persediaan sebanyak 300
kg
Harga pokok persediaan barang sebanyak 300 kg itu dihitung sebagai berikut :

Pembelian 01 Februari 200 kg @Rp. 100 = Rp. 20.000


Pembelian 09 Februari 100 kg @Rp. 110 = Rp. 11.000
_____ _________
Jumlah 300 kg Rp. 31.000
===== =========

Harga Pokok Penjualan :

Rp. 112.000 – Rp. 31.000 = Rp. 81.000

Metode Perpetual (buku) :

Dengan cara ini barang-barang yang dikeluarkan dapat dikreditkan dalam rekening
persediaan dengan harga pokoknya pada waktu :

1. Akhir Periode
Setiap ada pengeluaran barang yang dicatat dalam kolom pengeluaran hanya
kuantitasnya sedang harga pokoknya baru dicatat pada akhir periode
sekaligus.
Cara ini akan memberikan hasil perhitungan persediaan akhir dan harga
pokok penjualan yang sama besar dengan metode fisik.
2. Setiap kali ada barang yang dikeluarkan
Jika harga pokok barang-barang yang dikeluarkan dicatat dalam kartu
persediaan pada saat barang-barang tersebut dikeluarkan, maka perhitungan
harga pokok persediaan dan harga pokok penjualan sebagai berikut :

Persediaan akhir bisa dilihat pada baris terakhir sebesar :

100 kg @Rp. 100 = Rp. 10.000


100 kg @Rp. 116 = Rp. 11.600
100 kg @Rp. 126 = Rp. 12.600
______ __________
Jumlah 300 kg Rp. 34.200
====== ==========

Harga pokok penjualan dapat dilihat dalam rekening harga pokok penjualan
yaitu sebesar :

Tgl 18 Februari 2015

Rp. 33.000 + Rp 10.000 + Rp 34.800 = Rp. 77.800


Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa . Selisih harga pokok persediaan kedua
metode tersebut sebesar Rp. 3.200.

Selisih sebesar itu disebabkan karena perbedaan harga pokok per kg dari barang
yang dikeluarkan tanggal 10 dan 18 Februari 2015. Perhitungan selisihnya adalah
sebagai berikut:

Bila terjadi adanya pengembalian terhadap barang-barang baik pembeli maupun


kepada penjual maka barang-barang yang dikembalikan akan dicatat dengan harga
pokok yang terakhir. Selisih dengan harga belinya dicatat dalam rekening selisih
persediaan.

Salah satu kekurangan dari cara perhitungan dengan LIFO adalah bila perusahaan
memiliki banyak jenis persediaan maka akan memakan waktu yang lama.
Cara #5. Persediaan Besi / Minimum

Cara ini menganggap bahwa perusahaan memerlukan suatu jumlah persediaan


minimum untuk menjaga kontinuitas usahanya.

Persediaan minimum ini dianggap sebagai suatu elemen yang harus selalu tetap
sehingga dinilai dengan harga pokok yang tetap. Harga pokok untuk persediaan
minimum biasanya diambil dari pengalaman yang lalu di mana harga pokok itu
nilainya rendah.

Pada akhir periode jumlah barang yang ada dalam gudang dihitung. Jumlah
persediaan minimum dinilai dengan harga pokok yang tetap sedangkan selisih
antara jumlah barang yang ada dengan jumlah persediaan minimum dinilai dengan
harga pada saat tersebut.

Cara perhitungan dengan persediaan minimum dipakai anggapan bahwa jumlah


persediaan minimum itu selalu tetap sehingga harga pokok penjualan akan
terdiri dari pembelian-pembelian baru.
Oleh karena itu hasil perhitungan nilai persediaan dengan cara ini akan mendekati
jumlah persediaan yang dihitung dengan cara LIFO (Masuk Terakhir Keluar
Pertama).

Cara #6. Biaya Standar (Standard Cost)

Di Perusahaan manufaktur yang menggunakan sistem biaya standar, persediaan


barang dinilai dengan biaya standar, yaitu biaya-biaya yang seharusnya terjadi.

Biaya standar ini ditentukan di muka, yaitu sebelu proses produksi dimulai, untuk
bahan baku, upah langsung dan biaya produksi tidak langsung.

Apabila terdapat perbedaan antara biaya-biaya yang sesungguhnya terjadi dengan


biaya standarnya maka perbedaan-perbedaan itu akan dicatat sebagai selisih.
Karena persediaan barang dinilai dengan biaya standar maka dalam harga pokok
penjualan tidak termasuk kerugian-kerugian yang timbul karena
pemborosan-pemborosan dan hal-hal yang tidak biasa.

Biaya standar yang ditetapkan akan terus digunakan apabila tidak ada perubahan
harga maupun metode produksi. Apabila ternyata ada perubahan maka biaya
standar harus direvisi dan disesuaikan dengan keadaan yang baru.

Cara #7. Harga Pokok Rata-rata Sederhana (Simple Average)

Harga pokok persediaan dalam perhitungan dengan cara ini ditentukan dengan
menghitung rata-ratanya tanpa memperhatikan jumlah barangnya.

Contohya seperti ini :

Februari 1 Persediaan awal 100 unit @Rp. 100


9 Pembelian 300 unit @Rp. 110
15 Pembelian 400 unit @Rp. 116
24 Pembelian 100 unit @Rp. 126

Harga pokok rata-rata/unit =

Rp. 100 + Rp 110 + Rp 116 + Rp 126


= _____________________________
4
= Rp. 113

Apabila jumlah barang yang dibeli berbeda-beda maka metode ini tidak
menghasilkan harga pokok yang dapat mewakili seluruh persediaan.
Cara #8. Harga Beli Terakhir (Latest Purchase Price)

Cara menghitung dengan cara ini persediaan barang yang ada pada akhir periode
dinilai dengan harga pokok pembelian terakhir tanpa mempertimbangkan apakah
jumlah persediaan yang ada melebihi jumlah yang dibeli terakhir.

Misalnya :
Pembelian terakhir terjadi pada tanggal 24 Februari 2015 sebanyak 100 unit dengan
harga Rp 126 per unit. Persediaan barang pada tanggal 31 Desember 2015 sebanyak
300 unit. Nilai persediaan pada tanggal 28 Februari 2015 dihitung sebagai berikut :

300 x Rp 126 = Rp. 37.800

Cara #9. Nilai Penjualan Relatif

Cara ini digunakan untuk mengalokasikan biaya bersama (joint costs) untuk masing-
masing produk yang dihasilkan/dibeli. Masalah alokasi ini dapat timbul dalam usaha
dagang maupun perusahaan manufaktur.

Di perusahaan dagang apabila dibeli beberapa barang yang harganya menjadi satu,
timbul masalah berapakah harga pokok masing-masing barang tersebut. Pembagian
biaya bersama ini dilakukan berdasar nilai penjualan relatif dari masing-masing
barang tersebut.

Contoh :
Di beberapa perusahaan manufaktur suatu proses produksi akan menghasilkan
beberapa produk sekaligus. Hasil produksi seperti ini disebut produk bersama.

Biaya-biaya produksi untuk menghasilkan produk disebut biaya bersama (joint


costs) dan dapat dialokasikan untuk masing-masing produk dengan menggunakan
metode nilai penjualan relatif.
Misalnya PT ABC menghasilkan 2 macam produk dari proses produksinya yaitu
produk A dan B. Data yang berhubungan dengan produksi dan penjualan untuk
bulan Agustus 2015 sebagai berikut :

Biaya Jumlah
_________________ ____________
Bahan baku Rp 3.800.000
Upah langsung Rp. 2.900.000
Biaya produksi tidak
Langsung Rp. 2.300.000
___________
Jumlah Rp. 9.000.000
___________

Produk yang dihasilkan Produk yang dijual

Produk A 1.000 unit 900 unit @Rp 7.500


Produk B 500 unit 250 unit @Rp 10.000

Pembagian biaya bersama untuk produk A dan B dilakukan sebagai


berikut :

Nilai penjualan produk yang Jumlah %


dihasilkan

Produk A = 1.000 unit @Rp 7.500 Rp. 7.500.000 60%


Produk B = 500 unit @Rp 10.000 Rp. 5.000.000 40%
____________ ____
Jumlah Rp. 12.500.000 100%
============ ====
__________________________________________________________
Alokasi biaya produksi Jumlah Unit Harga
pokok
Bersama /unit
__________________________________________________________

Produk A =
60% x Rp 9.000.000 Rp. 5.400.000 1000 Rp. 5.400.000
Produk B =
40% x Rp 9.000.000 Rp. 3.600.000 500 Rp. 7.200.000
__________________________________________________________

Sesudah harga pokok per unit diketahui maka persediaan akhir dan harga pokok
penjualan bisa dihitung sebagai berikut :

Persediaan akhir :

Produk A (1.000 - 900) x Rp. 5.400.000 Rp. 540.000

Produk B (500 – 250) x Rp 7.200 Rp. 1.800.000

____________

Jumlah Rp. 2.340.000

============
Harga pokok penjualan :

Produk A 900 x Rp 5.400 Rp. 4.860.000


Produk B 250 x Rp 7.200 Rp. 1.800.000
____________
Jumlah Rp. 6.660.000
============
Cara #10. Biaya Variabel (Direct Costing)

Dengan cara ini, harga pokok produksi dari produk yang dihasilkan oleh perusahaan
hanya dibebani dengan biaya produksi yang variabel yaitu bahan baku, upah
langsung dan biaya produksi tidak langsung yang variabel.

Biaya produksi tidak langsung yang tetap akan dibebankan sebagai biaya dalam
periode yang bersangkutan dan tidak ditunda dalam persediaan.

Cara ini berguna bagi pimpinan perusahaan untuk merencanakan dan mengawasi
biaya-biaya-nya. Agar cara ini bisa digunakan dengan baik maka rekening-rekening
biaya harus dipisahkan menjadi biaya variabel dan tetap.

Karena yang dimasukkan dalam perhitungan harga pokok produksi hanya biaya-
biaya yang variabel maka cara ini tidak diterima sebagai prinsip ekonomi yang lazim.

Oleh karena itu jika digunakan cara biaya variabel maka pada akhir periode harus
diadakan penyesuaian terhadap persediaan dan harga pokok penjualan (HPP).

***
Tentang Penulis:

Praktisi finance & Accounting di berbagai industri seperti baja,


IT Consultant, konstruksi dan distribusi selama lebih dari 14
tahun.

Pengelola blog http://manajemenkeuangan.net/


Blog Referensi Terlengkap Manajemen Keuangan + Akuntansi.

***

Anda mungkin juga menyukai