Anda di halaman 1dari 10

HANDOUT

METODE PENILAIAN PERSEDIAAN

Terdapat beberapa macam metode penilaian persediaan yang dapat digunakan baik dalam
pencatatan sistem fisik (Phisical System) atau yang dikenal dengan sistem periodik maupun dalam
pencatatan perpetual (Perpetual System). Berikut dibahas beberapa metode penilaian persediaan
yang diterapkan dalam sistem pencatatan fisik dan dalam pencatatan sistem perpetual.
A. Penilaian Persediaan dalam Pencatatan Sistem Fisik
Nilai persediaan barang dagang dalam pencatatan sistem fisik diketa hui setelah kuantitas
barang yang tersisa pada akhir periode dihitung secara fisik, kemudian dikalikan dengan harga
satuannya. Hal tersebut dikarenakan harga per satuan barang yang dibeli bermacam -macam,
sehingga dapat menggunakan salah satu metode nilai persediaan untuk menentukan harga mana
yang dijadikan sebagai dasar untuk menentukan nilai persediaan.
Contoh ilustrasi penerapan untuk setiap metode penilaian, misalnya saja data persediaan
suatu perusahaan selama bulan Maret 2020, sebagai berikut:
Maret, 1 persediaan 6.000kg @ Rp1.000,00 = Rp 6.000.000,00
5 pembelian 6.000kg @ Rp1.100,00 = Rp 6.600.000,00
10 pembelian 5.000kg @ Rp1.200,00 = Rp 6.000.000,00
15 pembelian 8.000kg @ Rp1.300,00 = Rp10.400.000,00
20 pembelian 4.000kg @ Rp1.400,00 = Rp 5.600.000,00
25 pembelian 6.000kg @ Rp1.500,00 = Rp 9.000.000,00
30 pembelian 5.000kg @ Rp1.400,00 = Rp 7.000.000,00
Barang yang tersedia untuk dijual
bulan Maret 2020 sebesar 40.000kg Rp 50.600.000,00

Apabila pada tanggal 31 Maret 2020 diadakan pemeriksaan terhadap sisa persediaan barang
yang masih ada di gudang, setelah ditimbang ternyata kuantitas barang yang tersisa sebanyak
8.000kg. Penentuan harga pokok barang tersebut tergantung metode penilaian yang diterapkan.

1
1. Metode Masuk Pertama Keluar Pertama/First In First Out (FIFO)
Metode FIFO menerapkan bahwa barang yang lebih dulu masuk (dibeli) dianggap yang lebih
dulu keluar (dijual). Metode ini seringkali sejalan dengan aliran barang yang sesungguhnya dijual
dan hal ini juaga merupakan praktik bisnis yang baik dengan mendahulukan untuk menjual barang
atas pembelian yang terjadi lebih awal. perlu diingat bahwa hal ini bukan berarti unit barang yang
dibeli terlebih dahulu benar-benar telah dijual lebih dahulu, melainkan biaya perolehan barang
yang dibeli diakui lebih dahulu.
Pada contoh sebelumnya, barang yang lebih dulu masuk adalah persediaan pada tanggal 1
Maret 2020, sehingga barang inilah yang dianggap lebih dulu dijual. Setelah barang tersebut habis
terjual, maka diperbolehkan menjual barang yang masuk berikutnya. Demikian seterusnya,
persediaan barang pada akhir periode menjadi persediaan yang akan dijual paling akhir setelah
persediaan-persediaan sebelumnya telah habis terjual pada periode bersangkutan. Perusahaan yang
menggunakan metode ini akan menetapkan biaya perolehan persediaan akhir dengan mengambil
harga-harga yang paling akhir, kemudian bergerak mundur sampai semua unit terjual dan
menyisakan unit persediaan akhir sehingga dapat ditetapkan harga perolehannya.
Persediaan barang per 31 Maret 2020 pada contoh sebelumnya sebanyak 8.000kg.
Berdasarkan metode FIFO, barang tersebut terdiri dari 5.000kg yang masuk pada tanggal 30 Maret
2020, dan selebihnya sebanyak 3.000kg dari barang yang masuk tanggal 25 Maret 2020.
Perhitungan nilai persediaan pada 31 Maret 2020 sebagai berikut:
5.000kg @ Rp1.400,00 = Rp 7.000.000,00
3.000kg @ Rp1.500,00 = Rp 4.500.000,00
Jumlah Rp 11.500.000,00

2. Metode Masuk Terakhir Keluar Pertama/Last In First Out (LIFO)


Metode LIFO menerapkan bahwa barang yang terakhir masuk (dibeli) dianggap yang lebih
dulu keluar (dijual). Pada metode ini, perusahaan akan menetapkan biaya perolehan persediaan
dengan mengambil biaya perolehan per unit yang berasal dari barang yang lebih dahulu terse dia
untuk dijual dan selanjutnya digunakan biaya perolehan berikutnya sampai semua unit dalam
persediaan ditetapkan biaya perolehannya.
Melihat dari contoh sebelumnya, barang yang dianggap lebih dulu dijual adalah barang yang
masuk pada tanggal 30 Maret 2020. Setelah barang tersebut habis terjual, maka menjual barang

2
yang masuk sebelumnya yaitu pada tanggal 25 Maret 2020. Demikian seterusnya, sehingga sisa
persediaan pada akhir periode diperoleh dari seluruh atau sebagian dari barang yang paling dulu
masuk pada periode bersangkutan.
Persediaan barang pada 31 Maret 2020 pada contoh sebelumnya sebanyak 8.000kg.
Berdasarkan metode LIFO, persediaan yang tersisa terdiri atas 6.000kg barang dari persediaan
awal, dan selebihnya sebanyak 2.000 dari barang yang masuk berikutnya yaitu pembelian tanggal
5 Maret 2020. Perhitungan nilai persediaan pada 31 Maret 2020 sebagai berikut:
6.000kg @ Rp1.000,00 = Rp 6.000.000,00
2.000kg @ Rp1.100,00 = Rp 2.200.000,00
Jumlah Rp 8.200.000,00

3. Metode Rata-Rata/Average
a) Metode Rata-Rata Sederhana
Berdasarkan metode rata-rata sederhana ini, harga rata-rata per satuan barang dihitung
dengan cara menjumlahkan harga per satuan setiap transaksi pembelian termasuk persediaan awal
periode dibagi dengan jumlah transaksi pembelian (termasuk persediaan awal periode). Harga rata-
rata tiap kg dari contoh sebelumnya dihitung sebagai berikut:
Rp(1.000+1.100+1.200+1.300+1.400+1.500+1.400) = Rp8.900 = Rp1.271,43
7 7

Nilai persediaan pada 31 Maret 2020, dengan metode rata-rata sederhana adalah sebagai
berikut: 8.000kg × Rp1.271,43 = Rp10.171,44

Kelemahan metode LIFO akan terasa pada periode ketika harga-harga sedang naik. Situasi
tersebut akan mengakibatkan biaya perolehan yang dialokasikan ke persediaan akhir akan terlihat
kurang saji (understated) secara signifikan dalam laporan posisi keuangan (neraca).

b) Metode Rata-Rata Tertimbang


Metode biaya perolehan rata-rata mengalokasikan biaya perolehan barang yang siap dijual
atas dasar biaya perolehan rata-rata tertimbang per unit yang terjadi. Berdasarkan metode rata-rata
tertimbang ini, rata-rata harga per satuan barang dihitung dengan cara membagi jumlah harga
3
pembelian barang yang disediakan untuk dijual dengan jumlah kuantitasnya. Metode ini berasumsi
bahwa semua barang dagang adalah serupa.

Harga rata-rata per kg dari contoh sebelumnya dihitung sebagai berikut:


Harga rata-rata per kg = Rp50.600.000,00 = Rp1.265,00
40.000kg

Nilai persediaan pada tanggal 31 Maret 2020 menurut metode rata-rata tertimbang adalah
sebagai berikut: 8.000kg × Rp 1.265,00 = Rp10.120.000,00

4. Metode Identifikasi Khusus


Pada metode ini, setiap barang yang masuk (dibeli) diberi tanda pengenal atau identitas yang
menunjukkan harga per satuan yang sesuai dengan faktur yang diterima. Metode identifikasi
khusus dapat digunakan apabila perusahaan menyelenggarakan catatan tentang biaya perolehan
untuk masing-masing barang. Metode ini biasa digunakan oleh perusahaan yang menjual barang
yang tidak banyak jenisnya dan harga jual per satuannya relative mahal, sehingga dapat
diidentifikasi secara jelas sejak barang dibeli hingga dijual kembali.
Berdasarkan contoh sebelumnya, pada tanggal 31 Maret 2020 persediaan barang yang tersisa
sebanyak 8.000kg yang terdiri atas 80 karung @100 kg(neto). Identifikasi khusus yang ada pada
setiap karung terdiri atas :
40 karung dengan tanda pengenal Rp1.400,00 per kg
30 karung dengan tanda pengenal Rp 1.300,00 per kg
10 karung dengan tanda pengenal Rp 1.200,00 per kg
Berdasarkan data di atas, nilai persediaan pada tanggal 31 Maret 2020 dihitung sebagai
berikut:

40 × 100 kg = 4.000 kg @ Rp 1.400,00 = Rp 5.600.000,00


30 × 100 kg = 3.000 kg @ Rp 1.300,00 = Rp 3.900.000,00
10 × 100 kg = 1.000 kg @ Rp 1.200,00 = Rp 1.200.000,00
Jumlah Rp 10.700.000,00

4
Saat ini telah berkembang penggunaan bar coding, electronic product codes, dan radio
frequency identification, secara teknis metode identifikasi khusus dapat diterapkan pada hampir
semua jenis barang. Namun, dalam praktik metode ini jarang diterapkan. Penerapan biaya
perolehan untuk setiap barang tertentu dianggap merepotkan, terlebih jika harga barang tersebut
sering berubah.

B. Penilaian Persediaan dalam Pencatatan Sistem Perpetual


Pada pencatatan sistem perpetual, setiap terjadi transaksi penjualan barang, harga pokok
barang yang dijual harus dihitung dan dicatat dengan cara mendebit akun “Harga Pokok
Penjualan”. Oleh karena itu, penerapan metode penilaian persediaan dilakukan pada saat terjadi
transaksi penjualan barang, yaitu untuk menghitung harga pokok barang yang keluar (dijual). Jadi,
bukan menghitung harga pokok barang yang masih ada (tersisa) seperti dalam pencatatan sistem
fisik.
Perhatikan ilustrasi untuk memperjelas penjelasan penerapan setiap metode penilaian
persediaan dalam pencatatan sistem perpetual tersebut berikut, misalnya PD PUTRA menjual
barang jenis C1, C2, dan C3. Data mengenai persediaan barang jenis C1 selama bulan Maret 2020,
sebagai berikut:
Maret 2 Persediaan 120 unit @ Rp27.000,00 = Rp3.240.000,00
5 Pembelian 180 unit @ Rp30.000,00 = Rp5.400.000,00
10 Penjualan 200 unit
16 Pembelian 200 unit @ Rp31.500,00 = Rp6.300.000,00
20 Pembelian 120 unit @ Rp32.000,00 = Rp3.840.000,00
26 Penjualan 280 unit

1. Penerapan Metode Masuk Pertama Keluar Pertama/First In First Out


(FIFO)
Pada metode FIFO, harga pokok barang yang dijual dihitung dengan anggapan bahwa barang
yang pertama masuk merupakan barang yang pertama dijual. Apabila terjadi kekurangan, maka
diambil dari barang yang masuk berikutnya. Barang yang sudah dijual pada bulan bersangkutan
yaitu bulan Maret dari data persediaan diatas diketahui sebanyak 200 unit penjualan pada tanggal

5
10 Maret 2020 dan 280 unit penjualan pada tanggal 26 Januari 2020. Harga pokok barang tersebut
dihitung sebagai berikut:
a. Harga pokok barang yang dijual tanggal 10 Maret 2020 sebanyak 200 unit terdiri atas:
120 unit dari persediaan awal. Barang ini merupakan barang yang tersedia
paling awal dan menjadi yang paling awal untuk dijual saat terjadi
penjualan.
Harga pokok barang: 120 × Rp27.000,00 =Rp3.240.000,00
Terdapat kekurangan sebanyak 80 unit, maka diambil dari barang yang
dibeli pada tanggal 5 Maret.
Harga pokok barang: 80 × Rp30.000,00 =Rp2.400.000,00
Jumlah Rp5.640.000,00

b. Harga pokok barang yang dijual tanggal 26 Maret 2020 sebanyak 280 unit, terdiri atas:
100 unit dari sisa barang yang dibeli tanggal 5 Maret
Harga pokok barang: 100 × Rp30.000,00 =Rp3.000.000,00
180 unit dari barang yang dibeli tanggal 16 Maret
Harga pokok barang: 180 × Rp31.500,00 =Rp5.670.000,00
Jumlah Rp8.670.000,00
Berdasarkan perhitungan di atas, jumlah harga pokok barang yang dijual pada bulan Maret
2020 adalah:
Rp5.640.000,00 + Rp8.670.000,00 = Rp14.310.000,00
Mutasi barang C1 selama bulan Maret 2020 dengan metode FIFO akan tampak dalam Kartu
Persediaan sebagai berikut:

6
Barang : C1
PD "PUTRA" KARTU PERSEDIAAN Satuan : Unit
BANDUNG Metode : FIFO

DITERIMA DIKELUARKAN SALDO


Tanggal
Unit Harga Jumlah Unit Harga Jumlah Unit Harga Jumlah
2020
Mar 2 120 Rp 27.000 Rp 3.240.000
5 180 Rp 30.000 Rp 5.400.000 120 Rp 27.000 Rp 3.240.000
180 Rp 30.000 Rp 5.400.000
10 120 Rp 27.000 Rp 3.240.000 100 Rp 30.000 Rp 3.000.000
80 Rp 30.000 Rp 2.400.000
16 200 Rp 31.500 Rp 6.300.000 100 Rp 30.000 Rp 3.000.000
200 Rp 31.500 Rp 6.300.000
20 120 Rp 32.000 Rp 3.840.000 100 Rp 30.000 Rp 3.000.000
200 Rp 31.500 Rp 6.300.000
120 Rp 32.000 Rp 3.840.000
26 100 Rp 30.000 Rp 3.000.000 20 Rp 31.500 Rp 630.000
180 Rp 31.500 Rp 5.670.000 120 Rp 32.000 Rp 3.840.000
Jumlah
Mar 31 500 Rp 15.540.000 480 Rp 14.310.000 140 Rp 4.470.000

Kartu persediaan di atas menunjukkan harga pokok penjualan pada bulan Maret 2020
berjumlah Rp14.310.000,00 yang tampak pada kolom jumlah penjualan akhir bulan, sedan gkan
nilai persediaan pada 31 Maret 2020 sebesar Rp4.470.000,00 yang terdiri dari 20 unit @
Rp31.500,00 dan 120 unit @ Rp32.000,00.

2. Penerapan Metode Masuk Terakhir Keluar Pertama/Last In First Out


(LIFO)
Pada metode LIFO, harga pokok barang yang keluar (d ijual) dihitung dengan anggapan
bahwa barang yang terakhir masuk (dibeli) akan dijual lebih awal. Oleh karena itu, harga pokok
barang yang dijual pada bulan Maret 2020 pada contoh ilustrasi di atas, dihitung sebagai berikut:

a. Harga pokok barang yang dijual tanggal 10 Maret 2020 sebanyak 200 unit terdiri atas:
180 unit dari barang yang terakhir masuk sebelum terjadi transaksi
penjualan yaitu barang pada tanggal 5 Maret
Harga pokok barang: 180 × Rp30.000,00 =Rp5.400.000,00
Terdapat kekurangan sebanyak 20 unit, maka diambil dari barang masuk
sebelumnya yaitu persediaan awal.
Harga pokok barang: 20 × Rp27.000,00 =Rp 540.000,00
Jumlah Rp5.940.000,00

7
b. Harga pokok barang yang dijual tanggal 26 Maret 2020 sebanyak 280 unit, terdiri atas:
120 unit dari barang yang dibeli sebelum tanggal 26 Maret, yaitu barang
pada tanggal 20 Maret
Harga pokok barang: 120 × Rp32.000,00 =Rp3.840.000,00
Terdapat kekurangan sebanyak 160 unit, maka diambil dari barang masuk
sebelumnya yaitu tanggal 16 Maret
Harga pokok barang: 180 × Rp31.500,00 =Rp5.040.000,00
Jumlah Rp8.880.000,00
Berdasarkan perhitungan di atas, jumlah harga pokok barang yang dijual pada bulan Maret
2020 adalah:
Rp5.940.000,00 + Rp8.880.000,00 = Rp14.820.000,00

Mutasi barang C1 selama bulan Maret 2020 dengan metode LIFO akan tampak dalam Kartu
Persediaan sebagai berikut:
Barang : C1
PD "PUTRA" KARTU PERSEDIAAN Satuan : Unit
BANDUNG Metode : LIFO

DITERIMA DIKELUARKAN SALDO


Tanggal
Unit Harga Jumlah Unit Harga Jumlah Unit Harga Jumlah
2020
Mar 2 120 Rp 27.000 Rp 3.240.000
5 180 Rp 30.000 Rp 5.400.000 120 Rp 27.000 Rp 3.240.000
180 Rp 30.000 Rp 5.400.000
10 180 Rp 30.000 Rp 5.400.000 100 Rp 27.000 Rp 2.700.000
20 Rp 27.000 Rp 540.000
16 200 Rp 31.500 Rp 6.300.000 100 Rp 27.000 Rp 2.700.000
200 Rp 31.500 Rp 6.300.000
20 120 Rp 32.000 Rp 3.840.000 100 Rp 27.000 Rp 2.700.000
200 Rp 31.500 Rp 6.300.000
120 Rp 32.000 Rp 3.840.000
26 120 Rp 32.000 Rp 3.840.000 100 Rp 27.000 Rp 2.700.000
160 Rp 31.500 Rp 5.040.000 40 Rp 31.500 Rp 1.260.000
Jumlah
Mar 31 500 Rp 15.540.000 480 Rp 14.820.000 140 Rp 3.960.000

Kartu persediaan di atas menunjukkan harga pokok penjualan pada bulan Maret 2020
berjumlah Rp14.820.000,00 yang tampak pada kolom jumlah penjualan akhir bulan, sedangkan
nilai persediaan pada 31 Maret 2020 sebesar Rp3.960.000,00 yang terdiri dari 100 unit @
Rp27.000,00 dan 40 unit @ Rp31.500,00.
8
3. Penerapan Metode Rata-rata Bergerak (Moving Average)
Disebut metode rata-rata bergerak karena dalam metode ini, harga beli rata-rata per satuan
harus dihitung pada setiap terjadi transaksi pembelian barang. Oleh karena itu, harga rata -rata per
satuan akan berubah setiap terjadi transaksi pembelian.
Harga rata-rata per satuan barang yang dijual adalah harga rata-rata per satuan yang berlaku
pada saat terjadi transaksi penjualan. Data pada contoh di atas, harga pokok barang yang dijual
pada tanggal 10 Maret 2020 dihitung sebagai berikut:
Maret 2 Persediaan 120 unit @ Rp27.000,00 = Rp 3.240.000,00
5 Pembelian 180 unit @ Rp30.000,00 = Rp 5.400.000,00
Jumlah 300 unit Rp 8.640.000,00

Harga rata-rata per unit : Rp8.640.000,00 = Rp28.800,00


300
Jumlah tersebut merupakan harga rata-rata per satuan yang berlaku pada saat transaksi
penjualan tanggal 10 Maret 2020, sehingga harga pokok barang yang dijual tanggal 10 Maret
sebesar 200 × Rp28.800,00 = Rp5.760.000,00.
Mutasi persediaan barang C1 menggunakan metode rata-rata bergerak selama bulan Maret
2020 akan tampak dalam kartu persediaan sebagai berikut:
Barang : C1
PD "PUTRA" KARTU PERSEDIAAN Satuan : Unit
BANDUNG Metode Average

DITERIMA DIKELUARKAN SALDO


Tanggal
Unit Harga Jumlah Unit Harga Jumlah Unit Harga Jumlah
2020
Mar 2 120 Rp 27.000 Rp 3.240.000
5 180 Rp 30.000 Rp 5.400.000 300 Rp 28.800 Rp 8.640.000
10 200 Rp 28.800 Rp 5.760.000 100 Rp 28.800 Rp 2.880.000
16 200 Rp 31.500 Rp 6.300.000 300 Rp 30.600 Rp 9.180.000
20 120 Rp 32.000 Rp 3.840.000 420 Rp 31.000 Rp 13.020.000
26 280 Rp 31.000 Rp 8.680.000 140 Rp 31.000 Rp 4.340.000
Jumlah
Mar 31 500 Rp 15.540.000 480 Rp 14.440.000 140 Rp 4.340.000

9
Pada kartu persediaan di atas, tampak bahwa harga pokok rata-rata tiap unit yang berlaku
pada saat terjadi transaksi penjualan tanggal 10 Maret 2020 adalah Rp28.800,00, sedangkan harga
pokok rata-rata yang berlaku pada transaksi tanggal 26 Maret 2020 sebesar Rp31.000,00. Harga
pokok barang yang dijual pada bulan Maret 2020 diketahui berjumlah Rp14.440.000,00 yang
tampak pada kolom total penjualan. Persediaan barang C1 pada 31 Maret 2020 seb anyak 140
dengan harga rata-rata Rp31.000,00 per unit.

Hal yang perlu diketahui:


IFRS (International Financing Reporting Standards) tidak mengijinkan penggunaan metode
LIFO untuk tujuan pelaporan keuangan. Hal tersebut juga berlaku pula di Indonesia. Sejak
diberlakukannya Standar Akuntansi Keuangan untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK
ETAP) pada tahun 2009 yang lalu, metode LIFO tidak diperkenankan untuk diterapkan oleh
perusahaan (tertuang dalam SAK ETAP butir 11.15). Namun tidak semua negara men erapkan
aturan ini, di Amerika Serikat dan di sejumlah nergara lain masih memperkenankan penerapan
metode ini untuk tujuan pelaporan keuangan dan juga untuk pelaporan pajak. Salah satu
pertimbangan mengapa metode ini masih boleh digunakan di Amerika Serika t adalah karena
adanya penghematan pajak disebabkan pada periode ketika terjadi kenaikan harga, perusahaan
yang menggunakan penilaian persediaan metode LIFO akan membayar pajak lebih rendah
daripada perusahaan yang menerapkan metode lain.

10

Anda mungkin juga menyukai