Anda di halaman 1dari 7

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi


Kabupaten Semarang adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.
Ibukotanya adalah Kota Ungaran. Kabupaten ini berbatasan dengan Kota Semarang di
utara; Kabupaten Demak dan Kabupaten Grobogan di timur; Kabupaten Boyolali di
timur dan selatan; serta Kabupaten Magelang, Kabupaten Temanggung, dan
Kabupaten Kendal di barat. Luas keseluruhan wilayah Kabupaten Semarang adalah
95.020,674 Ha atau sekitar 2,92% dari luas Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten
Semarang memiliki 35 SLTA dengan jumlah siswa 7.236.

B. Gambaran Umum Sampel


Distribusi umur sampel
Banyak masalah kesehatan dan gizi yang prevalensi maupun keparahannya
dipengaruhi oleh umur. Salah satu golongan umur yang rentan terhadap masalah gizi
adalah remaja. Remaja merupakan periode rentan gizi salah satunya yaitu obesitas.
Banyak yang mempengaruhi seorang remaja mengalami obesitas. Salah satunya
perilaku mengkonsumsi makanan siap saji dan aktivitas yang kurang. Remaja yang
rentan yaitu usia 16-18 tahunyang berada pada bangku SMA.

C. Pembahasan
Hasil Analisis Univariat
a. Distribusi Frekuensi Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Semarang
Tahun 2016
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Menurut Jenis Kelamin
di Kabupaten Semarang Tahun 2016

Jenis kelamin n %
Perempuan 123 58,6
Laki-laki 87 41,4
Total 210 100

Jenis kelamin merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi status gizi.
Berdasarkan tabel 1 diatas, diketahui bahwa distribusi frekuensi menurut jenis
kelamin siswa di Kabupaten Semarang Tahun 2016 yaitu siswa dengan jenis
kelamin perempuan lebih banyak yaitu 123 siswa (58,6%) dibandingkan dengan
siswa laki-laki dengan jumlah 87 siswa (41,4).

b. Distribusi Frekuensi Status Gizi di Kabupaten Semarang Tahun 2016


Tabel 2. Distribusi Frekuensi Menurut Status Gizi Siswa
di Kabupaten Semarang Tahun 2016
Status gizi n %
Tidak obesitas 130 61,9
Obesitas 80 38,1
Total 210 100

Berdasarkan tabel 2 diatas, diketahui bahwa status gizi siswa di


Kabupaten Semarang Tahun 2016 yang tidak obesitas lebih banyak yaitu 130
siswa (61,9 %) dibandingkan dengan siswa yang obesitas 80 siswa (38,1 %).
Secara umum dapat dikatakan bahwa obesitas adalah dampak dari konsumsi
energi yang berlebihan, dimana energi tersebut akan disimpan dalam tubuh
sebagai lemak (Muchtadi, 2001). Menurut Soedjiningsih 2007 beberapa
komplikasi yang ditimbulkan oleh obesitas pada remaja adalah gangguan
pernafasan, hipertensi, diabetes melitus, jantung koroner, dan gangguan
psikologi.

c. Distribusi Frekuensi Aktivitas Fisik Gizi di Kabupaten Semarang Tahun


2016
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Menurut Aktivitas Fisik Siswa
di Kabupaten Semarang Tahun 2016
Aktivitas Fisik N %
Tinggi 128 61,0
Rendah 82 39,0
Total 210 100

Berdasarkan tabel 3 diatas, diketahui bahwa di Kabupaten Semarang


Tahun 2016 terdapat siswa dengan aktivitas fisik yang tinggi sejumlah 128
siswa (61%) sedangkan siswa dengan aktivitas fisik rendah sejumlah 82 siswa
(39%). Aktivitas fisik merupakan faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan
energi, sehingga apabila aktivitas fisik rendah maka kemungkinan terjadinya
obesitas akan meningkat. Misalnya seperti semakin maraknya hiburan dalam
bentuk game elektronik (Nugraha, 2009). Kurangnya aktivitas fisik inilah
yang menjadi penyebab obesitas karena kurangnya pembakaran lemak dan
sedikitnya energy yang digunakan (Mustofa, 2010).

d. Distribusi Frekuensi Fast Food Di Kabupaten Semarang Tahun 2016


Tabel 4. Distribusi Frekuensi Menurut Konsumsi Fast Food Siswa
di Kabupaten Semarang Tahun 2016
Konsumsi fast food N %
Jarang 112 53,3
Sering 98 46,7
Total 210 100

Berdasarkan tabel 4 diatas, diketahui bahwa di Kabupaten Semarang


Tahun 2016 siswa yang jarang mengonsumsi fast food sejumlah 112 orang
(53,3%) lebih banyak dibandingkan dengan siswa yang sering mengonsumsi
fast food yaitu sejumlah 98 orang (46,7%). Saat ini fast food atau makanan
cepat saji sangat mudah diteumukan di berbagai tempat. Menjamurnya
restoran fast food ini mengubah pola makan remaja menjadi lebih gemar
mengkonsumsi makanan cepat saji padahal dari segi gizi, fast food tinggi
energi, tinggi lemak, tinggi garam, serta rendah serat.

e. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Gizi Di Kabupaten Semarang Tahun


2016
Tabel 5.
Distribusi Frekuensi Menurut Pengetahuan Gizi Siswa
di Kabupaten Semarang Tahun 2016
Pengetahuan N %
Baik 60 28,6
Kurang 150 71,4
Total 210 100

Berdasarkan tabel 4 diatas, diketahui bahwa terdapat 60 siswa (28,6%)


dengan tingkat pengetahuan gizi baik sedangkan 150 siswa (71,4%) dengan
tingkat pengetahuan yang kurang. Pengetahuan tentang obesitas merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang dalam
memilih bahan makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pengetahuan gizi
seseorang, maka akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan
yang dipilih untuk dikonsumsi. Pengetahuan gizi memegang peranan penting
dalam menggunakan pangan dengan baik sehingga dapat mencapai keadaan
gizi yang cukup.

1. Hasil Analisis Bivariat


a. Hubungan Frekuensi Fast Food dengan Status Gizi
Hubungan frekuensi konsumsi makanan siap saji modern (fast food)

dengan kejadian kelebihan berat badan pada siswa SMA di Kabupaten

Semarang Tahun 2016.

Tabel. 6
Distribusi Frekuensi Konsumsi (fast food) dengan Status Gizi Siswa SMA
Di Kabupaten Semarang Tahun 2016
Status Gizi
Frekuensi P
Tidak Total
Konsumsi Obesitas
Obesitas
fast food
N % n % N %
45, 0,000
Jarang 95 17 8,1 112 53,3
2
16,
Sering 35 63 30 98 46,7
7
61,
Total 130 80 38,1 210 100
9

Berdasarkan tabel 6, dapat dilihat bahwa yang sering mengkonsumsi fast food

lebih besar beresiko mengalami obesitas yaitu sebanyak 63 siswa (30%),

dibandingkan dengan siswa yang tidak obesitas yaitu 17 siswa (8,1%). Hasil uji

statistik didapatkan nilai p= 0.000 (p < 0.05) berarti ada hubungan yang bermakna

antara frekuensi onsumsi fast food dengan kejadian obesitas pada siswa SMA di

Kabupaten Semarang tahun 2016. Hasil tersebut kemungkinan disebabkan karena

siswa dengan frekuensi fast food sering memiliki kecenderungan pertambahan

energy yang berasal dari makanan cepat saji. Hal ini sesuai dengan penelitian

Nasseem & Colagiuri (1995) yang menunjukkan bahwa konsumsi fast food 2 kali

seminggu dapat menimbulkan peningkatan rata-rata energi harian sebesar

750kJoule, yang rata-rata setahun dapat menambah berat badan sebesar 8,8kg.
Hipotesis Taylor juga membuktikan bahwa sedentary life style yang berinteraksi

dengan kelebihan konsumsi dapat menyebabkan obesitas (Jacobs, 2006).

b. Hubungan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi


Hubungan aktifitas fisik dengan status gizi pada siswa SMA di

Kabupaten Semarang Tahun 2016.

Tabel. 7
Distribusi Frekuensi Aktivitas Fisik dengan Status Gizi Siswa SMA Di
Kabupaten Semarang Tahun 2016

Status Gizi
Aktivitas Tidak Total P
Obesitas
Fisik Obesitas
n % n % N %
33, 0,007
Tinggi 70 58 27,6 128 61,0
3
28,
Rendah 60 22 10,5 82 39
6
61,
Total 130 80 38,1 210 100
9

Berdasarkan tabel 7, dapat dilihat bahwa siswa yang aktivitas fisiknya

beresiko dan mengalami obesitas yaitu sebanyak 10,5 % dan siswa yang tidak

obesitas yaitu 27,6%. Hasil uji statistik didapatkan nilai p= 0.007 (p < 0.05)

berarti ada hubungan yang bermakna antara frekuensi aktivitas fisik dengan

kejadian Obesitas pada siswa SMA di Kabupaten Semarang tahun 2016. Hal ini

berlawanan dengan teori (Moehyi, 1992) yang mengatakan bahwa obesitas terjadi

bukan karena makan berlebihan, namun karena aktifitas fisik berkurang sehingga

terjadi kelebihan energy. Kemungkinan lain yang berhubungan dengan hasil

penelitian dikarenakan siswa dengan aktifitas fisik yang tinggi namum asupan

makanannya tetap berlebihan maka dapat menyebabkan siswa mengalami

obesitas.
c. Hubungan Uang Saku dengan Status Gizi
Hubungan uang saku dengan status gizi pada siswa SMA di Kabupaten

Semarang Tahun 2016.

Tabel. 8
Distribusi Frekuensi Uang Saku dengan Status Gizi Siswa SMA
di Kabupaten Semarang Tahun 2016

Status Gizi
Uang Tidak Total P
Obesitas
Saku Obesitas
n % N % n %
Tinggi 18 8.6% 75 35.7% 93 44.3% 0,000
11
Rendah 53.3% 5 2.4% 117 55.7%
2
13
Total 61,9 80 38,1 210 100
0

Berdasarkan tabel 8, dapat dilihat bahwa siswa yang memiliki uang


saku tinggi mengalami obesitas sebanyak 75 siswa (35,7%).dan siswa yang
uang sakunya rendah mengalami obesitas sebanyak 5 siswa (2,4%). Hasil uji
statistik didapatkan nilai p= 0.000 (p < 0.05) berarti ada hubungan yang
bermakna antara frekuensi uang saku dengan kejadian Obesitas pada siswa
SMA di Kabupaten Semarang tahun 2016. Besarnya uang saku akan
menentukan jenis dan frekuensi jajanan yang akan dipilih. Penelitian yang
dilakukan Bipasha dan Goon (2013) juga menunjukkan bahwa hampir dari
setengah total uang saku perbulan, mahasiswa Bangladesh dihabiskan untuk
membeli makanan fast food. Pada penelitian yang dilakukan oleh Imtihani dan
Noer (2013) mengenai hubungan uang saku dengan frekuensi konsumsi fast
food menunjukkan bahwa terdapat hubungan. Hal ini terjadi karena siswa yang
mendapatkan uang saku yang cukup digunakan untuk membelli makanan cepat
saji.
d. Hubungan Pengetahuan dengan Status Gizi
Hubungan pengetahuan dengan status gizi pada siswa SMA di

Kabupaten Semarang Tahun 2016.

Tabel. 9
Distribusi Frekuensi Pengetahuan dengan Status Gizi Siswa SMA
di Kabupaten Semarang Tahun 2016

Status Gizi
Tidak Total P
Pengetahuan Obesitas
Obesitas
n % n % N %
Baik 33 15.7% 27 12.9% 60 28.6% 0,194
Kurang 97 46.2% 53 25.2% 150 71.4%
Total 130 61,9 80 38,1 210 100

Berdasarkan tabel 9, dapat dilihat bahwa siswa yang memiliki


pengethauan baik dan mengalami obesitas yaitu sebanyak 27 siswa (12,9 %) dan
siswa yang memiliki pengetahuan kurang dan mengalami obesitas sejumlah 53
siswa (25,2%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p= 0.194 (p > 0.05) berarti tidak
ada hubungan yang bermakna antara frekuensi pengetahuan dengan kejadian
Obesitas pada siswa SMA di Kabupaten Semarang tahun 2016. Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Amaliah (2005) dan Sari (2005)
yang tidak membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan
gizi dengan kejadian obesitas. Kemungkinan hal ini terjadi karena dengan
pengetahuan gizi yang tinggi saja tidak cukup untuk mengubah kebiasaan
makannya. Selain itu menurut Khomsan (2000) menyatakan bahwa pengetahuan
gizi yang dimiliki seseorang belum berarti seseorang mau mengubah kebiasaan
makannya, dimana mereka mungkin memahami tentang protein, karbohidrat,
vitamin, dan zat gizi lain yang diperlukan untuk keseimbangan tubuh, tapi tidak
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai