Judul buku PENDENGARAN PINTU KEBAIKAN Tahun terbit Shafar-Rabiul awal 1443 H/Oktober 2021 Penerbit Ar-risalah.net Edisi 242 Vol.XXII/No.04 Kesimpulan Pendengaran adalah nikmat besar. Pendengaran lebih siaga setiap saat dibanding penglihatan. la mampu menangkap suara dari segala arah, bahkan meski bersekat dan tak terlihat mata, pendengaran bisa menginderanya. la juga senantiasa dalam kondisi siaga, meski saat mata terpejam, manusia sedang dalam keadaan tidur, telinga tak sepenuhnya tidur. Suara alarm, atau dipanggil, telinga masih bisa menangkapnya. Pendengaran menjadi sarana menangkap informasi suara, yang jika dioptimalkan untuk mendengar perkara yang baik, niscaya membuahkan pengetahuan yang baik pula, dan pengetahuan akan menghasilkan amal perbuatan. Memanfaatkan pendengaran untuk menangkap sumber- sumber ilmu dan hal-hal yang berfaedah, juga menjauhkannya dari suara-suara yang sia-sia dan mengandung dosa adalah bukti syukur kita kepada Penciptanya. Allah mengancam orang yang tidak menggunakan telinganya untuk mendengarkan kebaikan dengan neraka jahannam. “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata tidak dipergunakannya untuk melihat , dan mereka mempunyai telinga tidak dipergunakannya untuk mendengar . Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. Karenanya, para penghuni neraka kelak akan menyesal lantaran dahulu mereka tidak mau mendengarkan kebenaran. Mereka menafikan jalan petunjuk dari diri mereka sendiri yaitu tidak mau mendengarkan apa yang diturunkan Allah dan dibawa oleh para rasul. Mereka juga tidak berpikir dengan akal yang seharusnya bisa membawa manfaat bagi mereka, mengakui berbagai kebenaran, lebih mengedepankan kebaikan serta menjauhi berbagai hal yang berakibat tercela. Mendengar kebaikan adalah nutrisi akal dan asas bagi iman yang lurus. Semakin optimal penggunaan akal, semakin tinggi derajat iman seseorang. Sebaliknya, semakin minim seseorang menggunakn telinganya semakin jauh ia dari kebenaran dan semakin rusak akalnya.
Judul buku Syajaratul Iman
Penulis Dr.Ahmad Farid Penerbit Pustaka Arafah,2008 Halaman 158 Hal Kesimpulan Menurut tinjauan bahasa, iman berarti tashdiq, membenarkan. Menurut tinjauan syara', iman berarti membenarkan Rasul & berkenaan dengan semua yang disampaikannya dari Rabb-nya, pembenaran yang mengandung unsur qabúl , mahabbah , dan 'amal . Di dalam Lisanul 'Arab termaktub, âmanasy syay' a: shaddaga . Ketika mendefinisikan iman, Az-zajjaj berkata, "Iman adalah menampakkan ketundukan dan penerimaan terhadap syariat dan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, serta meyakini dan membenarkannya dengan hati. Siapa saja memiliki sifat-sifat ini, maka dia adalah seorang mukmin dan muslim yang tidak dihinggapi keraguan. Dia adalah seseorang yang berpandangan, menunaikan kewajiban adalah suatu kewajiban. Pandangan yang tidak diringi keraguan. Di dalam Al-Qur' an ada ayat yang berbunyi, "Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami". Mu'min pada ayat di atas berarti mushaddiq, membenarkan adau percaya. Jadi, iman adalah tashdiq, membenarkan. Para pakar bahasa dan ulama telah sepakat bahwa iman berarti tashdiq, membenarkan. Al-Hafizh Ibnu Hajar menulis, "Secara bahasa, iman berarti tashdiq. Sedangkan secara syar'i, iman adalah membenarkan semua yang dibawa oleh Rasul dari Rabb-nya. Ini adalah kadar yang disepakati . Selebihnya, terjadi perbedaan pendapat, apakah disyaratkan menampakkan pembenaran ini dengan lisan yang mengungkapkan isi hati, karena tashdiq termasuk amalan hati. Terjadi pula perbedaan, apakah disyaratkan mengimplementasikan isi hati dengan amal perbuatan, berupa melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan". Menurut Murji'ah, iman adalah keyakinan dan ucapan saja. Menurut Karamiyah, iman adalah ucapan saja. Dan menurut Mu'tazilah, iman adalah amal, ucapan, dan keyakinan. Perbedaan antara Mu'tazilah dengan para ulama salaf adalah, Mu'tazilah menganggap amal sebagai syarat sah iman, sedangkan ulama salaf menganggapnya sebagai syarat kesempurnaan iman. Seperti yang telah kami sampaikan, ini semua menyangkut penilaian di sisi Allah SWT. Sedangkan menyangkut penilaian di mata manusia, iman adalah ikrar. Ikrar saja. Siapa saja yang berikrar, dia dihukumi sebagai seorang mukmin di dunia, dan tidak dihukumi sebagai seorang kafir kecuali jika ada indikasi yang menunjukkan kekafirannya, seperti sujud kepada berhala. Jika seseorang melakukan perbuatan yang tidak mengindikasikan kekafiran, tetapi mengindikasikan kefasikan, maka mereka yang menjadikan ikrar sebagai dasar penyebutan iman, tetap mengkategorikannya sebagai seorang mukmin. Sedangkan mereka yang menjadikan kesempurnaan sebagai dasar penyebutan iman, maka mereka menggugurkan iman dari diri orang itu. Mereka yang menyebutnya sebagai orang kafir, lantaran memandang perbuatannya sebagai perbuatan kufur. Dan mereka yang menafikannya, lantaran memandang hakikatnya. Mu'tazilah menyatakan pendapat yang moderat. Mereka mengatakan, orang yang fasik tidak beriman, tetapi juga tidak kafir.