Anda di halaman 1dari 61

Pengertian Jaminan Secara Umum

A menceritakan bahwa Perusahaannya sudah mulai punya nama, punya


beberapa proyek untuk membuat system design multimedia complex untuk
perusahaan–perusahaan besar berskala nasional dan internasional, perlu
pendanaan dari bank.

Karena ini proyek besar, butuh suntikan dana untuk pengerjaannya. Untuk
menggaji banyak programmer andal.”
Bank itu sebenarnya butuh kepastian untuk mengembalikan pinjaman yang
diberikan kepada debitur atau nasabahnya.
Sehingga Bank selalu menghendaki setiap kredit dengan jaminan.
Kecuali Kredit Tanpa Agunan (KTA) yang semarak ditawarkan oleh banyak bank,
baik bank asing maupun bank dalam negeri, atau Kredit Usaha Rakyat (KUR),
Kredit Usaha Kecil, dan sejenisnya. Tapi, selain bunganya lebih tinggi dari kredit
regular, biasanya KTA juga diberikan untuk jumlah terbatas, maksimum 100-200
juta. Kebanyakan juga digunakan untuk kredit yang bersifat konsumtif atau
multiguna. Sedangkan KUR atau KUK dan sejenisnya, memang diberikan untuk
pengembangan ekonomi usaha kecil, jadi nggak perlu pakai jaminan.

Mengapa Bank minta jaminan berupa tanah dan bangunan?


Memang proyek system design yang dikerjakan ini, bisa dijadikan jaminan buat
kredit i?

Pada dasarnya jaminan dapat berupa benda apa saja sepanjang ia berupa salah
satu bentuk aset tertentu.
“Jadi seluruh harta benda orang yang berutang merupakan jaminan atas
pelunasan utang ke Bank tersebut, walaupun tidak ada jaminan yang secara
khusus ditetapkan dalam perjanjian penjaminannya.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPer.

Tapi, kalau kita berbicara mengenai hukum jaminan atau perikatan atas suatu
jaminan, pada dasarnya jaminan tersebut terbagi dalam dua kategori, yaitu:
1. Jaminan pereorangan atau dalam istilah hukum disebut persoonlijke
zekerheid
Jaminan perseorangan menimbulkan hak-hak perseorangan sehingga
terdapat hubungan hukum secara khusus antara krediur dan orang yang
menjamin pelunasan utang debitur (penjamin).
Jadi, misalkan A pinjaman ke bank sebasar Rp. 100 juta dan B yang bertindak
selaku penjaminnya.
Artinya B memberikan jaminan jika A tidak bisa bayar dan B yang akan
melunasi semua utang A. Dari sinilah timbul istilah:
• Jaminan perseorangan/borgtocht/personal guarantee (dalam hal
penjaminnya adalah perseorangan).
• Jaminan perusahaan/company guarantee (dalam hal penjaminnya adalah
perusahaan).
• Bank garansi (dalam hal penjaminnya adalah bank).
2. Jaminan kebendaan atau dalam istilah hukum disebut zakelijke zekerheid
Jaminan ini merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu berupa bagian
dari harta kekayaan debitur atau penjamin, sehingga memberikan
kedudukan preference (diutamakan) kepada kreditur daripada kreditur
lainnya atas benda tersebut.
Jadi jika debitur wanprestasi (kredit macet), ada benda yang secara khusus
untuk dijual kepada kreditur agar dapat melunasi utang debitur tersebut.
Demikian juga ketika terjadi kepailitan, benda tersebut yang akan dijual
untuk memenuhi utang debitur. Untuk menetapkan suatu bentuk pengikatan
atas jaminan tertentu, bergantung pada jenis bendanya, jaminan kebendaan
terdiri dari:
a. Benda tetap (tidak bergerak).
Contohnya: tanah dan benda-benda lainnya yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut, seperti bangunan, mesin-mesin, atau
tanaman yang ditanam di atas tanah dan tidak mudah dipindah-
pindahkan.
Jenis benda tersebut akan dibebani dengan Hak Tanggungan sesuai
dengan UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan beserta benda-
benda lain yang terdapat di atasnya.
b. Benda bergerak.
Contohnya: mobil, motor, mesin-mesin, piutang dagang (tagihan atas hasil
usaha pekerjaan), saham-saham, atau bahkan hak-hak atas kenikmatan
suatu barang tertentu, seperti hak sewa, tagihan (piutang) terhadap
proyek-proyek yang sedang dikerjakan, dan sebagainya. Benda-benda
tersebut biasanya dibebani dengan tiga jenis jaminan yaitu:
• Fidusia berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999
• Gadai atas saham-saham
• Cessie atas tagihan

Sebenarnya, gadai dan cessie sudah dihapuskan sejak berlakunya


Undang-Undang No. 16/2001 tentang Fidusia. Namun, masih ada
beberapa bentuk jaminan yang tidak bisa dibebani dengan jaminan
fidusia, tapi dibebani dengan gadai/cessie.
Dalam praktiknya, gadai maupun cessie tersebut masih tetap digunakan,
walaupun belum ada mekanisme pendaftarannya sebagaimana halnya
jaminan fidusia.

c. Benda bergerak tetapi ukuran bersihnya melebihi 20 m3, seperti kapal laut,
kapal motor, tongkang, dan kapal sejenis dengan berat lebih dari 20 m3.
Benda tersebut akan dibebani hipotek sesuai BW.

d. Benda yang didirikan di atas alas hak milik pihak lain, seperti bangunan
yang didirikan di atas tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan, yang
pemilik tanah dan pemilik bangunan merupakan subjek yang berbeda.
Sebenarnya, jika tanah yang digunakan untuk mendirikan bangunan
tersebut merupakan tanah berstatus dapat dibebani Hak Tanggungan,
keduanya dapat dibebani sekaligus dengan Hak Tanggungan.
Namun, jika tanah tersebut berstatus Tanah Hak Pakai yang tidak dapat
dibebani Hak Tanggungan atau bisa juga pemilik tanah menolak untuk
memberikan jaminan berupa Hak Tanggungan atas tanahnya, bangunan
tersebut dapat dibebani jaminan fidusia (atas bangunan).
e. Hak Jaminan atas resi gudang.
Bank akan minta jaminan yang paling mantap bagi mereka, mudah
dieksekusi atau “diambil alih” oleh bank, seandainya peminjam tidak bisa
mengembalikan pinjaman.

Berarti tidak semua benda bisa dibebani Hak Tanggungan, fidusia, atau
gadai.

C ada rencana ambil kredit untuk beli ruko buat rencana tempat praktik
dokter. Kalua akan mengambil kredit di Bank, biasanya Bank akan minta
jaminan tertentu yang paling mantap bagi mereka. Artinya, jaminan
tersebut harus mudah untuk dieksekusi atau dalam bahasa awam “diambil
alih” oleh Bank, seandainya tidak bisa mengembalikan pinjaman dari Bank
tersebut.”
Bank akan meminta jaminan yang mudah dieksekusi atau diambil alih oleh
bank

Jenis-Jenis Fasilitas Kredit yang Disalurkan oleh Perbankan secara Umum

Sebelum membahas jaminan yang akan dijadikan sebagai kewajiban


pelunasan fasilitas kredit yang diterima oleh debitur, perlu diketahui
menjelaskan sepintas jenis-jenis fasilitas kredit yang diberikan oleh bank
dan/atau lembaga keuangan lainnya.
Karena konsep pemberian fasilitas kredit antara Bank Konvensional dan
Bank Syariah agak sedikit berbeda, penjelasan fasilitas kredit yang
diberikan akan dibagi menjadi dua kategori berdasarkan jenis Bank
pemberian pinjaman, yaitu Bank Konvensional dan Bank Syariah.

BANK KONVENSIONAL
Dalam praktik perbankan konvensional yang berlaku saat ini, terdapat bermacam
istilah perjanjian kredit yang disalurkan dan/atau diberikan kepada debitur atau
nasabah bank. Namun, pada intinya, di antara bermacam istilah perjanjian kredit
tersebut, semuanya dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori besar, yaitu:
-Pinjaman Rekening Koran
-Pinjaman/Revolving Loan (R/L)/Kredit Modal Kerja Transaksional (berupa Post
Date Cheque atau pembukuan cek dengan tanggal jatuh tempo berdasarkan
tanggal angsuran)
-Fixed Loan (Pinjaman Tetap), yang dijabarkan dalam berbagai jenis fasilitas
kredit lainnya, yaitu:
▪ Kredit Investasi (KI)
▪ Kredit Installment
▪ Pinjaman Jangka Panjang (PJP)
▪ Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
▪ Kredit Angsuran Berjangka
▪ Kredit Konsumsi, yang terdiri dari:
• Kredit Konsumsi Lainnya
• Kredit Multiguna
• Kredit Kendaraan Bermotor (Car Loan)
• Kredit Tanpa Agunan (KTA)
-Bank Garansi
-Letter of Credit (L/C) dan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN)

Pinjaman Rekening Koran


Pinjaman Rekening Koran dalam suatu bank kadang disebut PRK, KRK, RK, atau
dengan sebutan lain yang sejenis.
Pinjaman Rekening Koran biasanya diberikan untuk modal kerja dengan jangka
waktu yang terbatas, hanya selama 1 tahun (12 bulan). Jika bank merasa debitur
tersebut punya perputaran usaha yang baik dan layak untuk diperpanjang, jangka
waktu pinjaman tersebut dapat diperpanjang lagi untuk 12 bulan selanjutnya.
Kemudian, rekening giro kredit debitur tersebut diberi plafon (batas pinjaman)
sesuai besarnya fasilitas kredit, misalnya Rp 100 juta.
Dalam hal demikian, debitur berhak atau boleh mengambil uang secara bertahap
sesuai kebutuhan saja, sepanjang tidak melampaui batas plafond kredit yang
diberikan oleh Bank kepada debitur tersebut sebagaimana tercantum dalam
perjanjian kreditnya.
Jadi, misalkan untuk keperluan usahanya, seorang debitur membutuhkan dana
sebesar Rp 50 juta untuk jangka waktu selama 1 minggu, maka debitur tersebut
tinggal mengambil dan menggunakan dana tersebut dari rekening giro kreditnya.

Media penarikan menggunakan cek atau bilyet giro. Jika debitur tersebut sudah
tidak membutuhkan dana yang dipinjamnya atau sudah mendapatkan
pembayaran dari pihak ketiga, dia dapat menyetorkan kembali dana tersebut ke
rekening giro kreditnya sehingga total plafon tetap terisi dan sewaktu-waktu
dapat digunakan. Sepanjang tidak melebihi batas plafond yang disediakan oleh
Bank. Pengenaan bunga dari Bank hanyalah sebesar dana yang digunakan dan
untuk jangka waktu selama penggunaan sejumlah uang tersebut. Begitu
seterusnya, plafond kredit dapat ditarik berulang-ulang oleh debitur selama
jangka waktu kredit yang telah ditetapkan.

Saat menggunakan fasilitas kredit dalam bentuk Pinjaman Rekening Koran,


debitur hanya diwajibkan untuk membayar bunga atas jumlah dana yang
digunakan. Kewajiban pembayaran bunga tersebut sudah ditentukan pada
tanggal-tanggal tertentu setiap bulannya, bergantung ada ketentuan Bank.
Misalnya, suatu Bank ditetapkan setiap akhir bulan atau setiap tanggal 26, tetapi
di Bank lain ditetapkan setiap akhir bulan atau setiap tanggal 25. Jika terlambat
membayar kewajiban pembayaran bunga tersebut, debitur akan dikenai denda
sebesar 4% sampai 5% per bulan dari jumlah bunga yang seharusnya dia bayar
pada saat itu.
Jenis fasilitas kredit dalam bentuk Pinjaman Rekening Koran ini biasanya
sewaktu-waktu boleh dilunasi oleh debitur. Namun, ada juga bank-bank yang
mengenakan penalti sebesar 1% dari plafond kredit untuk pelunasan fasilitas
kredit tersebut, sebelum jangka waktu yang ditetapkan.

Pinjaman Revolving Reguler (Pinjaman atas Permintaan yang Dilakukan secara


Berulang)
Fasilitas kredit dalam bentuk revolving ini praktiknya kadang disebut dengan
bermacam istilah: Revolving Loan (RL), Demand Loan (DL), Revolving Reguler
(RP), Kredit atas Permintaan (KAP), Deman Loan Transaksional (DLT), atau istilah
lain yang sejenis, yang menggambarkan bahwa jenis kredit ini diberikan dalam
bentuk plafond dan dicairkan secara bertahap sesuai dengan permintaan
debitur. Permintaan pencairan fasilitas kredit oleh debitur tersebut dilakukan
dengan menggunakan media penarikan berupa surat promes atau surat aksep.

Berbeda dengan fasilitas kredit dalam bentuk Pinjaman Rekening Koran, pada
pinjaman ini debitur harus melapor terlebih dahulu kepada bank jika akan
menarik dananya dan setiap kali akan melakukan penarikan menggunakan surat
promes atau aksep—surat sanggup bayar, minimal dalam jangka waktu 1 hari
sebelumnya.
Setelah menerima laporan dari debitur (konfirmasi) bahwa dia akan
menggunakan dana dalam jumlah tertentu, bank akan menurunkan kredit sesuai
dengan permohonan yang disebutkan dalam surat promes (surat aksep)
tersebut.
Jangka waktu pemakaian surat promes bermacam-macam, tetapi biasanya
selama 3 (tiga) bulan, dana yang telah diturunkan tersebut harus dikembalikan
lagi kepada bank. Jika debitur masih ingin memperpanjang jangka waktu
penggunaan dana tersebut, debitur harus melapor kepada Bank bahwa surat
promesnya diperpanjang.

A, seorang pengusaha di bidang perkapalan, menerima fasilitas kredit dalam


bentuk Revolving Loandalam jangka waktu 3 tahun dari Bank ABC dengan
plafond sebesar Rp 10 miliar untuk menjalankan usahanya.
Suatu ketika, A membutuhkan dana sebesar Rp. 5 miliar untuk melakukan
perbaikan atas salah satu kapalnya sehingga A dapat menarik dana dari plafon
kredit yang telah diterimanya, dengan cara menerbitkan surat promes hanya
sebesar Rp 5 miliar.
Sebelum melakukan penarikan atas dana tersebut, terlebih dahulu A harus
memberitahukan kepada bank ABC bahwa A akan menerbitkan promes dengan
jumlah Rp 5 miliar untuk jangka waktu selama 3 bulan. Untuk penarikan dana
tersebut A hanya dikenai bunga atas dana sebesar Rp 5 miliar yang ditariknya
tersebut untuk jangka waktu selama 3 bulan.
Dalam hal A akan menggunakan dana tersebut lebih lama dari jangka
waktu yang ditetapkan dalam surat promes tersebut di awal, A harus
memberitahukan kepada Bank ABC. Nanti, jika suatu waktu A
membutuhkan dana lagi, A dapat menerbitkan surat promes lagi untuk
jumlah yang diperlukam sesuai dengan permintaan (demand).
Penarikan pinjamannya tersebut dapat dilakukan secara berulang-ulang
(revolging).

Pembayaran bunga atas fasilitas kredit dalam bentuk Revolving Loan dilakukan
pada tanggal-tangal tertentu, misalnya setiap tanggal 25, tanggal 1, atau
terkadang ditetapkan pada tanggal penandatanganan akta pemberian fasilitas
kredit yang berkenaan.
Dalam hal debitur terlambat membayar kewajiban pembayaran bunga tersebut
akan dikenai penalti atau denda keterlambatan sebesar 4%-5% per bulan dari
jumlah bunga yang harus dibayar pada saat itu.

Fasilitas kredit dalam bentuk Revolving Loan tersebut biasanya diberikan dalam
jangka waktu 1 tahun atau lebih.
Namun, bisa juga sesuai dengan disposisi Bank, misalkan 6 bulan saja. Atas
jangka waktu tersebut, umumnya debitur dapat melakukan pelunasan dipercepat
sebelum jangka waktu yang telah ditetapkan.
Namun, ada beberapa bank yang mengenakan penalti atas pelunasan
dipercepat tersebut sebesar 1% dari plafon kredit yang diberikan.

Fasilitas kredit dalam bentuk Revolving Loan, pada bank tertentu biasanya
menggunakan jaminan berupa PDC (Post Date Cheque). Artinya, surat promes
baru boleh dicairkan atau diterbitkan oleh debitur apabila sebelumnya telah
menyerahkan jaminan kepada bank berupa Bank Garansi senilai minimal 120%
dari surat aksep (promes) yang dibuka.
Jika surat aksep (promes) tersebut disetujui oleh pihak Bank, dana tersebut akan
diturunkan oleh Bank ke dalam rekening debitur yang ada pada bank tersebut
dalam rekening koran, dengan menggunakan cek atau bilyet seperti biasa.

Pinjaman Revolving Reguler adalah pinjaman atas permintaan yang dilakukan


secara berulang.
Fixed Loan atau Pinjaman Tetap
Fasilitas kredit dalam bentuk Fix Loan praktiknya terkadang disebut juga dengan
istilah: Pinjaman Jangka Panjang (PJP), Kredit Investasi (KI), Kredit Angsuran
Berjangka (KAB). Kredit Berjangka (KB), atau dengan istilah sejenis lainnya.
Kredit jenis ini juga sering digunakan dalam pemberian kredit multiguna, seperti:
Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), dan Kredit
Tanpa Agunan (KTA).
Jenis kredit ini biasanya digunakan untuk keperluan investasi atau keperluan
konsumsi bagi debitur, misalnya untuk renovasi rumah, membeli rumah,
menikahkan anak, membeli mesin, dan investasi atau perluasan usaha.
Berbeda dengan Pinjaman Rekening Koran yang diberikan dalam jangka waktu
pendek.
Jenis kredit Fix Loan ini biasanya diberikan untuk jangka waktu yang cukup
panjang, bergantung pada pertimbangan bank. Jangka waktu yang diberikan bisa
1 tahun hingga 15 tahun. Provisi atas fasilitas kredit Fix Loan ini biasanya
dikenakan dengan istilah one shot deal (flat). Jadi, dikenakan hanya sekali pada
awal fasilitas kredit efektif untuk digunakan oleh debitur.
Contohnya, provisi yang dikenal adalah 1% dari plafon kredit sebesar Rp 100 juta
yang ditarik di muka untuk penggunaan fasilitas kredit dalam jangka waktu 5
tahun.

Berbeda dengan fasilitas kredit dalam bentuk Rekening Koran maupun Revolving
Loan ini dicairkan sekaligus sesuai dengan plafon kredit dan tidak dapat ditarik
secara berulang.
Perhitungan bunga didasarkan langsung pada total jumlah fasilitas kredit yang
telah dicairkan oleh bank ke rekening debitur.
Selanjutnya, debitur harus mengangsur pengembalian utang pokok dan
bunganya selama jangka waktu yang telah ditentukan, pada tanggal-tanggal
yang telah ditetapkan. Tanggal angsuran biasanya sama dengan tanggal
pencairan fasilitas kredit tersebut. Namun, oleh Bank dapat juga ditetapkan
pada tanggal tertentu selain tanggal pencairan tersebut.
Sama halnya dengan bentuk rekening Koran dan Revolving Loan, apabila
terlambat membayar angsuran pokok dan bunga pada tanggal-tanggal tersebut,
debitur akan dikenai penalti sebesar 4%-5% per bulan atau 60% per tahun dari
jumlah pokok dan bunga yang harus dibayar pada saat itu.
Selanjutnya, keterlambatan pembayaran penalti tersebut biasanya dihitung
harian, yang dihitung pada hari keterlambatan pada setiap hari keterlambatan
hingga hari dilakukannya pembayaran.

Penting untuk diketahui, ada dua macam penghitungan bunga yang digunakan
oleh bank, yaitu: sistem flat (prorata) dan sistem anuitas (efektif) yang bersifat
mengambang.
Jika yang digunakan adalah sistem bunga flat (tetap), berapapun suku bunga
yang berlaku di perbankan (naik atau turun), bunga yang dikenakan terhadap
fasilitas kredit yang diterima oleh debitur akan selalu tetap, sesuai dengan angka
yang dipatok pada saat penandatanganan akta perjanjian kredit.

A memperoleh fasilias kredit sebesar Rp 1 miliar dalam bentuk Kredit Investasi


untuk membeli mesin-mesin produksi pembuatan mur dan baut di
perusahaannya.
Atas fasilitas kredit tersebut, dia dikenai bunga flat sebesar 11% per tahun.
Artinya, pengembalian fasilitas kredit yang diterima A dihitung dengan metode
penghitungan sebagai berikut:
Bunga x utang x jangka waktu
(berlaku tetap sampai jangka waktu pembayaran berakhir)

Pada saat sisa utang pokok A hanya tinggal Rp 100 juta, cicilan yang di bayarkan
tetap dan sama dengan jumlah cicilan pada saat utang pokoknya masih sebesar
Rp 1 miliar. Kelihatannya bunga yang dibayarkan A memang rendah. Namun, jika
dihitung secara efektif dengan menggunakan metode anuitas, sebenarnya bunga
efektif yang harus dibayarkan A sekitar 21% per tahun.

Skrenario yang berbeda akan dialami A, jika atas fasilitas kredit tersebut A
dikenai bunga sebesar 15% per tahun efektif.
Untuk bunga yang bersifat efektif atau anuitet tersebut, bunga akan dihitung dari
utang pokok setelah dikurangi angsuran bulanan. Dengan demikian, besarnya
bunga setiap bulan akan menurun dan cicilan utang pokok akan meningkat.
Untuk perhitungan bunga efektif, ada juga pengecualian terhadap sistem
penghitungan bunga pada KPR/Car Loan, yakni (cicilan pokok + bunga) sejak
awal hingga akhir besarnya Bank sama dan menggunakan perhitungan khusus.

Bank Garansi
Fasilitas Bank Garansi punya kareakteristik yang unik dan berbeda dengan tiga
jenis fasilitas lainnya yang telah dibahas sebelumnya.
Fasilitas kredit dalam bentuk Bank Garansi ini sebenarnya termasuk salah satu
bentuk Jaminan Perserorangan, yakni bank memberikan jaminan kepada pihak
ketiga bahwa debitur akan dapat melaksanakan kewajiban.
Fasilitas Bank Garansi ini belum dianggap sebagai fasilitas kredit selama debitur
belum melakukan wanprestasi sehingga bank harus mencairkan garansi yang
telah diberikannya. Bank Garansi biasanya hanyalah merupakan fasilitas yang
menyatakan bahwa debitur punya sejumlah uang tertentu pada bank tersebut
untuk menjamin pelaksanaan pengerjaan suatu proyek (performance bond) atau
jaminan penawaran (bi bond).

Dalam hal ternyata debitur bisa menyelesaikan atau membayar sendiri


kewajibannya kepada bouwheer (pemberi kerja), fasilitas kredit dalam bentuk
Bank Garansi ini benar-benar hanya berstatus sebagai jaminan.
Namun, pada saat debitur wanprestasi terhadap kewajibannya kepada
bouwheer, bouwheer dapat menuntut bank yang menerbitjan Bank Garansi
tersebut agar sejumlah dana yang dinyatakan dalam Bank Garansi dapat
dicairkan. Dengan dicairkannya Bank Garansi yang dimaksud langsung menjadi
kredit efektif dan tunduk pada ketentuan Perjanjian Kredit yang berlaku pada
bank.
Untuk dapat menerbitkan Bank Garansi, bank biasanya menghendaki debitur
menyerahkan sejumlah dana tertentu ke dalam rekening debitur sebelum Bank
Garansi diterbitkan. Dana ini disebut sebagai Jaminan Uang Muka ( Margin
Deposit) dengan jumlah sekitar 10% dari besarnya Bank Garansi yang diterbitkan
dan kemudian diblokir oleh bank. Untuk fasilitas Bank Garansi ini, provisi
dikenakan pada setiap kali pembukaan atau penerbitan Bank Garansi.
Pemberian Jaminan dalam Perjanjian Kredit
Pemberian jaminan dalam perjanjian kredit diharuskan dalam dunia perbankan
konvensional karena pada dasarnya, sumber dana yang disalurkan berasal dari
masyarakat atau tabungan masyarakat.
Dengan demikian, dana kredit yang disalurkan harus dilakukan secara hati-hati
(prudent).
Meskipun Kedit Tanpa Agunan (KTA), Kredit Usaha Rakyat (KUR), atau kredit
mikro lainnya yang diberikan kepada debitur tanpa adanya syarat agunan,
pemberian kredit jenis tersebut dilakukan sangat selektif. Biasanya diberikan
dengan limit (batas) yang tidak terlalu besar atau hanya khusus ditujukan untuk
menolong masyarakat ekonomi lemah.
Untuk melunasi kewajiban debitur, tidak semua jaminan diterima oleh Bank.
Oleh karena itu, sering timbul pertanyaan dari calon debitur Bank.
Calon debitur punya pekerjaan dan proyek yang jelas dan punya kemampuan
untuk mengembalikan utang. Namun, karena tidak punya aset yang dapat
dijaminkan selain piutang dagang dan proyek tersebut.
Mengapa permohonan kredit ditolak?”
Ingat, bahwa dalam menyalurkan kredit kepada seseorang atau badan hukum,

Ada lima kriteria yang ditetapkan oleh bank dan harus dipenuhi oleh calon
debiturnya, yaitu:
• Character (Watak)
Seseorang yang punya uang banyak dan kemampuan untuk mengembalikan
utang-utangnya, tetapi tidak memliki watak yang baik, tidak dapat dikatakan
sebagai calon debitur yang baik. Tipe debitur seperti ini biasanya suka
ngemplang. Tidak berlaku bahwa semua orang yang punya kemampuan
membayar, juga punya itikad baik untuk mengembalikan seluruh utangnya.
Oleh karena itu, biasanya Bank melakukan pengecekan debitur melalui Sistem
Informasi Debitur (SID) yang disediakan oleh Bank Indonesia.

• Capacity (Kemampuan Debitur)


Sebaliknya dari kriteria pertama, bank tidak akan memberikan kredit kepada
seseorang calon debitur yang dinilai tidak punya kemampuan untuk
mengembalikan utangnya walaupun calon debitur tersebut mempunyai watak
yang baik.

• Capital (Modal)
Bank juga melakukan penilaian terhadap kekuatan keuangan calon debitur.
Untuk itu biasanya bank meminta debitur untuk membuat laporan mengenai
aktiva dan pasiva calon debitur selama tiga bulan terakhir.

• Collateral (Jaminan)
Dalam menerima suatu jaminan, kredit, ada pertimbangan yang dilakukan
oleh Bank sebagai kriteria jaminan tersebut, yaitu:
▪ Marketable
Artinya, pada saat dieksekusi, jaminan tersebut mudah dijual atau
diuangkan untuk melunasi seluruh utang debitur.
▪ Secured
Artinya, benda jaminan kredit dapat diikat secara yuridis formal, sesuai
dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan. Jika kemudian hari
terjadi wanprestasi, Bank punya kekuatan secara yuridis formal, sesuai
dengan ketetuan hukum dan perundang-undangan. Jika kemudian hari
terjadi wanprestasi, bank punya kekuatan secara yuridis untuk melakukan
tindakan eksekusi.

A selaku debitur Bank, A menyerahkan rumah yang terletak di Menteng


sebagai jaminan pelunansan utangnya. Langkah awal yang dilakukan oleh
Bank adalah menentukan nilai pasar rumah tersebut. Untuk itulah, rumah A
dikunjungi dan dinilai oleh seorang penilai yang melakukan appraisal
sebagai utusan dari Bank A.
Setelah ditetapkan bahwa jaminan tersebut punya nilai tertentu, maka
pertimbangan Bank A selanjutnya adalah menentukan: apakah jaminan
tersebut aman (secured) dan dapat diikat dengan suatu bentuk perjanjian
jaminan tertentu atau tidak. Untuk itu, oleh Bank A dilakukan pengecekan
sertifikat melalui Notaris rekanannya, yang meliputi:
• Apakah sertifikat rumah tersebut tidak sedang diblokir?
• Apakah sertifikat rumah tersebut sedang dijaminkan ditempat lain atau
tidak?
• Apakah ternyata belum bersertifikat atau sertifikat masih dalam proses
pemecahan, bentuk jaminan apa yang bisa dilakukan?

Tujuan pengecekan tersebut adalah, jika suatu saat, A wanprestasi, dalam


arti kreditnya macet, maka Bank A dapat mengeksekusi jaminan tersebut
sewaktu-waktu, lalu menjualnya untuk melunasi utang A.

Jaminan harus memenuhi kriteria:


1. Marketable (mudah dijual kembali)
2. Secured (aman)

• Condition of Economy (Kondisi Ekonomi Debitur)


Untuk mengetahui kondisi ekonomi calon debitur, biasanya bank melihat
kondisi internal dan eksternal calon debitur yang dapat memengaruhinya saat
mengembalikan kewajiban kredit kepada bank.
Bank akan melakukan kunjungan ke kantor calon nasabah (debitur) dan/atau
ke lokasi-lokasi yang dianggap penting serta terkait langsung dengan calon
debitur, terutama dari segala kepemilikan, sehubungan dengan permohonan
yang diajukan oleh calon debitur tersebut.
Jika bank telah dapat “membaca” keadaan calon debitur, langsung
selanjutnya adalah memberikan alternatif jenis atau tipe pinjaman yang akan
ditawarkan kepada calon debitur.
Untuk itu bank berhak mengetahui tujuan pinjaman. Hal ini dapat membantu
bank dalam menilai tipe produk pinjaman, risiko pinjaman, dan menentukan
cara untuk mengantisipasi risiko tersebut.
Untuk itu, Bank menetapkan kriteria bahwa penyaluran kredit tersebut harus
dilakukan dengan tujuan:
▪ Untuk pembiayaan suatu usaha yang jelas dan bukan usaha yang terlarang
secara hukum.
▪ Usaha tersebut sesuai dengan izin usaha yang dimiliki oleh debitur.
▪ Tidak menyimpang dari perjanjian (side streaming).
5 C Kriteria calon debitur:
1. Character (watak)
2. Capacity (kemampuan)
3. Capital (modal)
4. Collateral (jaminan)
5. Condition of Economy (kondisi keuangan)

Pengaturan jaminan dalam suatu perjanjian kredit Bank konvensional selalu


ditempatkan dalam pasal khusus.
Jaminan biasanya ditetapkan dengan mengutamakan kekuatan eksekusi paling
tinggi, yaitu yang berbentuk fixed asset (dalam hal ini rumah dan/atau tanah) dan
dapat dibebani Hak Tanggungan.
Alasannya, baru Hak Tanggungan saja yang punya “aturan main” sangat jelas
dengan prosedur eksekusi lebih mudah, di antara berbagai jenis jaminan yang
ada dan diterapkan di Indonesia.
Adapun pengikatan jaminan dalam suatu pemberian kredit biasanya dilakukan
secara terpisah dari Perjanjian Kredit yang dilakukan dalam bentuk Akta Notaris
(khususnya untuk fidusia, cessie, gadai, hipotik kapat, SKMHT, dan berbagai
jenis akta jaminan lainnya) atau akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (khusus untuk SKMHT dan APHT).

BANK SYARIAH
Dalam kegiatan perbankan syariah, khususnya tentang konsep penyaluran dana
(funding) dan konsep jasa (fee based income), penyaluran dana dari bank
dilakukan melalui konsep yang berbeda dengan perbankan konvensional

Berbagai Jenis Jaminan dan Alternatif Jaminan (Financing)


Dana yang terdapat di bank dapat disalurkan kembali oleh bank kepada
masyarakat dengan menggunakan empat prinsip pokok, yaitu:
Prinsip Jual Beli, akadnya bisa berbentuk:
▪ Murabahah, yaitu pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh
bank selaku shahib al-amal dengan pihak yang membutuhkan melalui
transaksi jual beli.
Dengan catatan bahwa di antara harga pengadaan barang dan harga jual
bank terhadap debitur terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau
laba bagi shahib al-mal. Pengembalian kredit dapat dilakukan secara tunai
atau secara angsuran.

*Istishna, yaitu jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakatai antara pihak pemesan dari
pihak penjual.
Biasanya, istishna digunakan untuk membiayai manufaktur, seperti
pemesanan mobil pada dealer (distributor), dan pemesanan pembelian
rumah pada developer (pengembang).

*Salam, yaitu jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli dengan
pembayaran dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang. Biasanya,
salam digunakan dalam jual beli dengan objek di bidang agrobisnis, seperti
padi, gandum, tebu, dan semacamnya.

*Prinsip Bagi Hasil, akadnya bisa berbentuk:


▪ Mudharabah, yaitu bentuk kerja sama antara pemilik dan atau penanam
modal dan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan
pembagian keuntungan berdasarkan nisbah. Dalam skema mudharabah
yang berkaitan dengan pembiayaan biasanya seluruh modal berasal dari
bank.

▪ Musyarakah, yaitu bentuk kerja sama dengan modal ditanggung bersama


antara pelaksana dan pemilik modal. Jadi jika ada keuntungan ataupun
kerugian, untung rugi tersebut dibagi dua dengan bagian yang sama besar.
Berbeda dengan mudharabah, musyarakah ini bank tidak semata-mata
menjadi pemilik modal, tetapi juga bertindak sebagai pelaksana kegiatan
atao usaha.
*Prinsip Sewa (Ijarah), yaitu sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan
pembayaran. Ijarah dalam pengertian sewa atas suatu barang ini terbagi atas
dua bentuk, yaitu:
▪ Sewa-menyewa murni (Ijarah murni)
Konsep Ijarah ini sama dengan perjanjian sewa-menyewa biasa. Namun,
pada konsepo syariah, objek yang disewa tidak hanya barang, bisa juga
berupa jasa. Contohnya, Ijarah atas jasa tenaga kerja.
▪ Sewa-menyewa dengan hak untuk membeli pada akhir masa sewa (ijarah
wal iqtina atau ijarah muntahiyah bi al-tamlik atau dikenal juga dengan
singkatan IMBT). Bentuk IMBT ini sangat mirip dengan konsep sewa beli
(leasing) pada hukum positif.
*Qardh, yaitu pinjam-meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban
bahwa pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus
atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.

Penyaluran Dana di Bank Syariah:


1. Jual beli
2. Bagi hasil
3. Sewa
4. Qardh

1. Akad/Perjanjian Murabahah
Bank Syariah Nasabah
Pembayaran

Proses Jual Beli Proses Pengiriman Barang


beserta kelengkapan
dokumennya

Produsen/Dealer
Fee Based Service (Service atau Ujrah)
Fasilitas ini merupakan bentuk pembiayaan multijasa yang berlandaskan pada
imbal jasa/fee (ujrah) dengan menggunakan akad ijarah atau akad kafalah, atau
gabungan dari keduanya. Bentuk pembiayaan multijasa tersebut antara lain:
▪ Hawalah, merupakan konsep yangdigunakan untuk pelaksanaan take over
pembiayaan (factoring).
▪ Rahn , (gadai), yaitu penguasaan barang milik peminjam sebagai jaminan oleh
pemberi pinjaman.
▪ Letter of Credit (L/C) impor syariah, merupakan surat pernyataan yang
diterbitkan oleh bank syariah (issuing bank) yang menyatakan kesanggupan
importir (debitur atau nasabah) untuk membayar barang yang diimpornya dari
eksportir. L/C Impor ini diterbitkan bank syariah atas permintaan importir
dengan pemenuhan syarat tertentu (Uniform Customs and Practice for
Documentary Credits atau UCP).
▪ Bank Garasi Syariah dengan Prinsip Kafalah, yaitu jaminan atau garansi yang
diberikan oleh Bank Syariah kepada debiturnya asal dapat memenuhi
kewajiban kepada pihak ketiga sebagai pemberian pinjaman.
Disini, Bank Syariah berperan sebagai penjamin kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban debitur sebagai pihak kedua (peminjam).
Dalam hukum positif, garansi ini dikenal sebagai pemberian jaminan
perseorangan atau perusahaan (personal guarantee atau company guarantee),
performance bond, dan bank garansi.

Pemberian Jaminan dalam Akad Pembiayaan Syariah


Pada dasarnya, pemberian jaminan dalam konsep Syariah tidaklah wajib.
Namun, agar nasabah memenuhi kewajibannya, pihak Bank sSariah dapat
meminta untuk ditetapkan suatu jaminan tertentu dalam akad pembiayaan.
Jaminan tersebut kemudian akan digunakan dalam kegiatan berikut ini:
❖ Skema Jual Beli (Murabahah, Salam, dan Istishna)
Jaminan yang digunakan dalam skema jual beli ditujukan agar nasabah
melakukan pembayaran secara tertib sesuai dengan jadwal yang telah
disepakati.
Hal ini sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasionl No. 4 Tahun 2000, yang
menganjurkan agar nasabah serius dengan pesanannya. Adapun sesuatu yang
digunakan sebagai jaminan dapat berupa barang dan aset yang
diperjualbelikan itu sendiri atau barang lain yang dapat diikat berdasarkan
hukum jaminan serta diatur dalam hukum positif, antara lain hak tanggungan
fidusia, dan gadai.

❖ Skema Kerja Sama (Mudharabah ataupun Musyarakah)


Dalam skema kerja sama, penetapan jaminan tidak bertujuan untuk menjamin
modal yang dimasukkan oleh bank karena penjamin harta modal tidak
diperbolehkan. Penempatan jaminan di sini dimaksudkan untuk menjamin
kemungkinan tejadinya kerugian di masa depan karena kesalahan ataupun
kelalaian si pengelola dana (debitur).
Jaminan tersebut dicairkan atau dieksekusi apabila mudharib terbukti
melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama
dalam akad. Hal ini sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 6 Tahun
2000.

Dalam suatu pembiayaan dengan menggunakan skema Syariah, khusus untuk


perjanjian jaminan masih tetap tunduk dan menggunakan seluruh ketentuan
hukum jaminan yang diatur dalam hukum positif di Indonesia.
Oleh karena itu, seluruh ketentuan jaminan yang digunakan dalam penyaluran
kredit secara konvensional, juga berlaku bagi pembiayaan dengan
menggunakan skema Syariah dalam perbankan Syariah.

EKSEKUSI JAMINAN PADA PEMBERIAN KREDIT


Menurut Pasal 1 Butir 2 Kep. Men. Keu. No. 293/KMK09/1993, disebutkan
bahwa:
“Piutang macet adalah piutang yang sampai dengan suatu saat sejak piutang
tersebut jatuh tempo, tidak dilunasi oleh pemegang utang sebagaimana
mestinya sesuai dengan perjanjian, peraturan, atau sebab apapun yang
menimbulkan piutang tersebut.
Jika, piutang macet adalah piutang negara termasuk tagihan Bank Pemerintah,
penyelesaian piutang tersebut dilakukan melalui Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara (BUPLN). Dan, jika piutang tersebut milik Bank Swasta atau
perserogangan termasuk badan hukum bidang swasta, penyelesaian melalui
Pengadilan Negeri.

Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa untuk menerima suatu jaminan kredit, bank
akan menilai apakah jaminan kepada bank memenuhi kriteria marketable dan
secured atau tidak.
Pada saat debitur macet, Bank akan mengambil alih jaminan yang diberikan oleh
debitur. Jaminan yang diambil alih tersebut juga tidak boleh dimiliki terlalu lama
oleh Bank yang bersangkutan dan harus dapat segera dijual untuk melunasi
utang debitur kepada Bank.
Hal ini dilakukan karena akan berpengaruh terhadap penilaian kualitas aktiva
bank tersebut.
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 yang mengatur
Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, penilaian terhadap suatu jaminan yang
diambil alih berdasarkan Pasal 36 ayat 1 dikategorikan dalam empat kriteria,
yaitu:
1. Lancar, apabila dimiliki sampai dengan 1 tahun.
2. Kurang lancar, apabila dimiliki lebih dari 1 tahun denan 3 tahun.
3. Diragukan, apabila dimiliki lebih dari 3 tahun sampai 5 tahun.
4. Macet, apabila dimiliki dari 5 tahun.

Ketentuan tersebut diberikan sebagai batasan bagi sebuah bank untuk


memegang jaminannya yang diambil alih dan juga memotivasi bank untuk segera
menjual jaminan yang diambil alihnya.

LARANGAN ATAU PEMBATASAN PEMBERIAN KREDIT KEPADA WARGA NEGARA


ASING (WNA)

W baru saja menikah dengan P yang berkewarganegaraan Australia. Pasangan ini


bermaksud membuka usaha restoran di Bali.
Rencananya, P akan mengajukan kredit pada sebuah bank di Jakarta dengan
jaminan sebidang tanah seluas 5 hektare di Bali. Ternyata, pengajuan P ditolak
oleh pihak Bank dengan alasan P adalah Warga Negara Asing. P yang kurang
mengerti pada peraturan tersebut tidak habis pikir dengan alasan penolakan itu.
Keadaan yang dialami pasangan P sering terjadi dalam praktik perbankan
Indonesia.
Apakah WNA boleh menjadi Debitur Bank di Indonesia?”
Flora Dianti, S.H., M.H.: “sehubungan dengan boleh tidaknya memberikan kredit
kepada orang asing atau yang memiliki suami WNA. “

❖ Apa dasar aturan larangan tersebut?


Awalnya, yang menjadi dasar aturannya adalah Peraturan BI No. 3/3/PBI
2001 yang mengatur transaksi rupiah antara bank dengan Warga Negara
Asing, badan hukum asing atau badan asing lainnya, Warga Negara Indonesia
yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan
tidak berdomisili di Indonesia dan kantor bank atau badan hukum Indonesia di
luar negeri, serta pengaturan pemberian kredit valuta asing oleh bank kepada
pihak-pihak tersebut.
Tujuannya: melindungi integritas dan stabilitas sistem keuangan Indonesia.
Namun sejak 14 Juli 2005, Peraturan bi No. 3/3/PBI/2001 dinyatakan tiak
berlaku lagi, digantikan oleh perubahan kedua (PBI No. 16/9/PBI/2014)
hanya mengubah Pasal 12 Peraturan BI No. 7/14/PBI 2005 tentang
pembatasan transaksi rupiah dan pemerian kredit valuta asing oleh bank.
❖ Siapa saja yang dimaksud dengan pihak asing di dalam Peraturan BI
tersebut?
Dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud
sebagai “pihak asing” meliputi:
▪ Warga Negara Asing termasuk yang punya izin menetap atau izin tinggal di
Indonesia.
▪ Badan hukum asing atau lembaga asing lainnya, tetapi tidak termasuk
kantor cabang asing. PMA, dan Badan Hukum/lembaga asing yang
kegiatannya bersifat nirlaba.
▪ Warga Negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent
resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia.
▪ Kantor bank di luar negeri dengan kantor pusati di Indonesia.
▪ Kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan yang berbadan hukum di
Indonesia.

❖ Transaksi apa saja yang dilarang untuk dilakukan oleh bank dengan pihak
asing?
Transaksi yang dilarang meliputi:
▪ Pembelian kredit dalam rupiah dan/atau valuta asing .
▪ Penempatan dalam rupiah.
▪ Pembelian surat berharga dalam rupiah yang diterbitkan oleh pihak asing.
▪ Tagihan antar kantor dalam rupiah.
▪ Tagihan antar kantor dalam valuta asing sebagai pemberian kredit di luar
negeri.
▪ Penyertaan modal dalam rupiah.
▪ Transfer rupiah ke rekening yang dimiliki pihak asing dan/atau yang dimiliki
secara gabungan (joint account) antara pihak asing bukan pihak asing pada
bank di luar negeri.
▪ Transfer rupiah kepada bukan pihak asing di luar negeri. Larangan ini juga
berlaku terhadap transaksi sejenis berdasarkan prinsip syariah.

❖ Transkasi apa saja yang dibatasi dilakukan oleh bank dengan pihak asing?

Transaksi tersebut antara lain:


• Transaksi derivatif jual valuta asing terhadap rupiah meliputi transaksi
outright forward jual, transkasi swap jual, tansaksi jual call option, transkasi
beli put option, dan transkasi lain yang dapat dipersamakan dengan
transaksi tersebut.

• Transaksi derivatif beli valuta asing meliput: transaksi outright forward beli,
transaksi swap beli, transaksi beli call option, transaksi jual put option, dan
transaksi derivatif lain yang dapat dipersamakan dengan transaksi di atas.
Bank hanya dapat melakukan transaksi derivatif valuta asing terhadap
rupiah dengan pihak asing sampai batas nominal USD 1.000.000 (Satu juta
dolar Amerika) atau ekuivalen dari nilai dimaksud baik untuk setiap transkasi
individual maupun posisi (outstanding) masing-masing transaksi derivatif
jual dan transaksi derivatif beli per bank.
Namun, dalam Peraturan BI No. 3/3/PBI/3023 termasuk larangan tehadap
pemberian kredit tidak berlaku terhadap:
▪ Kredit dalam bentuk sindikasi yang memenuhi persyaratan
mengikutsertakan prime bank sebagai lead bank, diberikan untuk
pembiayaan poryek di sektor rill untuk usaha produktif yang berada di
wilayah Indonesia, serta kontribusi bank asing sebagai anggota
sindikasi lebih besar dibandingkan dengan kontribusi bank dalam
negeri.
▪ Kartu kredit.
▪ Kredit konsumsi yang digunakan di dalam negeri. Cerukan intra rupiah
dan valuta asing, yang didukung oleh dokumen bersifat authenticated,
serta menunjukkan konfirmasi akan adanya dana masuk ke rekening
bersangkutan pada hari yang sama dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
▪ Cerukan dalam rupiah dan valuta asing karena pembebanan biaya
administrasi.
▪ Pengambilalihan tagihan dari badan yang ditunjuk pemerintah untuk
mengelola aset-aset bank dalam rangka restrukturisasi perbankan
Indonesia oleh pihak asing, yang pembayarannya dijamin oleh prime
bank.

Lalu, bagaimana dengan masalah yang dialami P ?


Sesuai dengan peraturan tersebut P memang tidak bisa mengajukan kredit
kepada Bank di Indonesia.
Jika demikian, bagaimana halnya untuk seorang suami/isteri WNI yang
menikah (tanpa menggunakan perjanjian pra –nikah) dengan seorang
WNA, lalu dia ingin membeli rumah dengan menggunakan kredit dari
bank?
Jawabannya, kembali lagi kepada Undang-Undang Pokok Agraria khususnya
yang mengatur kepemilikan hak atas tanah yang berada di Indonesia.
Dalam hal tanah tersebut Hak Milik (Pasal 21 Ayat 1), Hak Guna Bangunan (Pasal
36 Ayat 1), dan Hak Guna Usaha (Pasal 30 Ayat 1), WNA atau orang yang
sebagian hartanya berstatus asing karena terjadi percampuran harta
sehubungan dengan dengan pernikahan WNI dan WNA tanpa melakukan pisah
harta, maka tanah tersebut dalam waktu 1 (satu) tahun harus dialihkan ke pihak
lain yang memenuhi syarat atau hak atas tanah tersebut hapus dan jatuh ke
negara (Pasal 21 Ayat 3, 30 Ayat 3, dan 36 Ayat 3 UUPA).
Oleh karenanya, jika sebuah lembaga perbankan membiayai kredit pemilikan
rumah dalam kondisi demikian, status pemasangan Hak Tanggungan atasnya
akan terancam gugur karena hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan
tersebut akan menjadi hapus bersamaan dengan hapusnya hak atas tanah
dimaksud.

PERBANDINGAN JENIS-JENIS KREDIT

Jenis Tujuan Sifat Jangka Metode Metode Pembayaran


Fasilitas Waktu Penarikan
Kredit
Rekening Koran Modal kerja • Dapt ditarik berulang Pendek (maksimal Cek dan Bilyet Giro Dapat setiap saat dibayarkan.
• Pengenaan bunga hanya 12 bulan dan dapat Pembayaran bunga pada
sebesar pemakaian dan diperpanjang tanggal tertentu
selama jangka waktu
pemakaian.
Revolving Loan, Modal kerja • Dapat ditarik berulang Pendek sampai Surat promes atau Pembayaran pada masa
Revolving Reguler, • Pengenaan bunga hanya dengan menengah. aksep tenggang sesuai yang
Deman Loan sebesar pemakaian dan tercantum dalam promes.
selama jangka waktu Bunga dibayar reguler.
pemakaian.
Fixed Loan, Kredit Investasi/mul Dicairkan sekaligus ke rekening Menengah sampai Karena sekaligus Dibayarkan setiap ulang bulan,
Angsuran tiguna debitur, dan dikenal bunga panjang dicairkan, jadi dapat berupa pokok + bunga
Berjangka, Kredit langsung dari plafon kredit yang ditarik setiap saat pada
Pemilik rumah, telah dicairkan. rekening debitur
Kredit Multiguna,
dan Lain-lain

Bentuk-Bentuk Jaminan

Hak Tanggungan
Tanah yang akan dibebani Hak Tanggungan unuk menjamin pelunasan fasilitas
kredit yang di terima,..” Suatu hari, seorang Notaris, yang sedang melaksanakan
proses penandatanganan akad kredit menjelaskan pemberian fasilitas kredit
dari sebuah bank kepada A (50 tahun) salah seorang kliennya.
Hak Tanggungan itu, apa
Apakah kalau rumah saya dibebani dengan Hak Tanggungan yang disampaikan,
saya masih bisa tinggal di rumah tersebut?”

Hak Tanggungan adalah bentuk hak jaminan atas tanah berikut benda lainnya
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut.
“Hak Tanggungan ini memberikan hak preferece kepada kreditur tersebut .
Artinya, kredit ini punya keutamaan untuk mengeksekusi jaminan dimaksud
terlebih dahulu daripada kreditur lainnya, jika suatu saat debitur wanprestasi.
Sebelum adanya UU No. 4 Tahun 1996 dalam KUHPerdata, Hak Tanggungan
disebut Hipotek.
“Misalkan, A menerima fasilitas kredit dari Bank BRI sebesar Rp 100 juta.
Agar bank yakin bahwa A akan melunasi fasilitas kredit yang diterima
tersebut, maka sekarang A harus menyerahkan jaminan berupa rumah
yang didirikan di atas tanah Hak Milik atas nama A sendiri.
“Kemudian, A menandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
tersebut lalu mendaftarkan pada kantor pertanahan setempat.
Kemudian pengesahan tersebut akan tercantum pula di dalam sertifikat
asli A. Selanjutnya, sertifikat asli ini akan disimpan oleh Bank.
“Dengan demikian, apabila suatu saat kredit A macet, Bank tinggal
melakukan penjualan secara lelang atas tanah dan bangunan dumaksud
serta mengambil sebagian pelunasan atas sisa utang A yang masih ada
pada bank. Jika bersisa, sisa uang tersebut akan dikembalikan kepada A
sebagai pemilik sertifikat.
Jadi, misalnya rumah dan tanah A dilelang dan laku dengan harga Rp 500
juta, sedangkan sisa utang A hanya Rp 100 juta, maka bank akan
mengambil sebesar Rp 100 juta saja. Sisanya dikembalikan kepada A.
Dengan dibebaninya rumah dan tanah A oleh jaminan berupa Hak
Tanggungan, walaupun masih bisa menempati rumah dan tanah tersebut,
tetapi bersama-sama dengan bank.
Artinya jika suatu saat A akan: menyewakan tanah tersebut, mengubah
stuktur bangunan yang intinya mengurangi nilai rumah tersebut, atau
bahkan hendak menjual rumah dan tanah tersebut, maka harus mendapat
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari bank.
Selama utang A belum lunas, A harus mengasuransikan rumah dan tanah
tersebut dari bencana kebakaran, bahkan dari bencana gempa bumi,
banjir ataupun longsor, jika diperlukan.”

“Mengapa harus saya asuransikan?”


“Sekarang kan rumah dan tanah A sudah dijadikan jaminan utang kepada
bank. Jika suatu saat nanti, misalnya, terjadi kebakaran atas rumah dan
tanah tersebut, atau tiba-tiba ada gempa bumi yang mengakibatkan
rumah dan tanah tersebut tertimbun longsor atau hancur, maka pihak
asuransilah yang akan mengganti kerugian atas kejadian tersebut.
Selanjutnya, uang klaim asuransi tersebut akan diberikan kepada bank
untuk melunasi fasilitas kredit yang diterima.
Jika tidak diasuransikan, seandainya terjadi bencana kebakaran, gempa
bumi, atau bencana alam lainnya, di satu sisi rumah A hancur, di sisi
lainnya bank juga tidak bisa mendapatkan jaminan pelunasan utang A
kepada bank tersebut.”

Demikianlah, pengertian Hak Tanggungan yang dijelaskan secara praktis


kepada nasabah atau debitur yang akan memperoleh fasilitas kredit dari
bank atau lembaga keuangan lainnya.
Jadi, Hak Tanggungan adalah bentuk hak jaminan atas tanah berikut benda
lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, yang
digunakan kreditur (biasanya bank) untuk memperoleh jaminan atas
pelunasan utang dari debiturnya.

Sejak Undang-Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 yang


diberlakukan, terjadi perubahan besar-besaran terhadap sistem dan
metode penjaminan atas suatu utang. Sebelum berlakunya Undang-
Undang No. 4 Tahun 1996 tersebut, berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Barat, Bank yang memberikan fasilitas kredit hanya
mewajibkan debiturnya untuk menandatangani Akta Surat Kuasa
Memasang Hipotek yang dibuat di depan Notaris agar dapat menjamin
pelunasan utang dan/atau Kewajiban debitur tersebut.
Jadi, dalam hal si debitur mulai “batuk-batuk” atau dengan kata lain bank
sudah melihat gelagat bahwa debitur tersebut mulai macet atau kondisi
keuangan nya sudah tidak memungkinkan untuk mengembalikan fasilitas
kredit yang diterimanya, maka bank akan “memasang” atau dengan kata
lain mendaftarkan Akta Hipotek tersebut ke kantor pertanahan setempat.
Setelah terdaftar, bank dapat menjual lelang rumah dan/atau tanah
tersebut untuk melunasi kewajiban debitur dimaksud.
Sejak berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan tahun1996 tentang
tanah beserta benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah (selanjutnya
untuk memudahkan, undang-undangan ini akan disebut dengan “UUHT”),
istilah Hipotek menjadi Hak Tanggungan.
Pada saat itu, seluruh Akta Surat Kuasa Memasang Hipotek yang sudah
ada harus ditindaklanjuti menjadi Hak Tanggungan dan didaftarkan
langsung ke kantor pertanahan, walaupun debitur yang bersangkutan
masih dalam kondisi baik dan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan
perjanjian kredit yang berlaku.
Setelah UUHT diberlakukan, setiap debitur yang menjaminkan tanah
dan/atau bangunanya kepada kreditor (baik bank maupun bukan
bank) sebagai jaminan pelunasan fasilitas kredit yang diterimanya
diwajibkan untuk menandatangani Akta Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan (SKMHT) atau Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), yang
akan dilanjutkan dengan pendaftaran Hak Tanggungan tersebut pada
kantor pertanahan tempat tanah tersebut didaftarkan.

Hak Tangungan hanya dapat dibebankan pada tanah-tanah primer:


• Hak Milik,
• Hak Guna Bangunan,
• Hak guna Usaha,
• Hak Pakai yang punya nilai ekonomis, dan
• Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

Dalam UUHT diuraikan bahwa tidak semua hak atas tanah dapat dibebani
dengan Hak Tanggungan, Hak-hak atas tanah yangdapat dibebani dengan Hak
Tanggungan hanyalah hak-hak primer.

Hak atas tanah yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan hanyalah hak atas
tanah yang berstatus:
1. Hak Milik
2. Hak Guna Bangunan
3. Hak Guna Usaha
4. Hak Pakai atas Tanah Negara, menurut ketentuan yang berlaku, hak atas tanah
ini wajib didaftarkan dan dapat dipindahtangankan.
Adapun Hak Pakai yang dimaksud di sini adalah jenis Hak Pakai yang dimiliki
oleh masyarakat umum dan dapat diperjualbelikan.
Biasanya, Hak Pakai yang demikian memiliki jangka waktu tertentu.
Jadi, tentunya berbeda dengan Hak Pakai atas tanah-tanah yang digunakan
oleh instansi pemerintah, kedutaan besar atau konsultan asing, serta lembaga
lembaga asing lainnya.
Hak Pakai yang demikian, jangka waktunya tidak ditetapkan dan dapat berlaku
sepanjang masih diperlukan, serta tidak dapat dipindahtangankan kepada
orang/pihaklain. Oleh karena itu, Hak Pakai tersebut tidak dapat dibebani Hak
Tanggungan.

5. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, yang didirikan di atas tanah dengan suatu
hak tertentu (Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atau di atas tanah Hak
Pengelolaan Lahan (HPL).
Ciri dan Sifat Hak Tanggungan
Sebagai jaminan pemenuhan kewajiban debitur kepada bank, Hak Tanggungan
punya ciri dan sifat khusus.
1. Hak Tanggungan bersifat memberikan Hak Preference (droit de preference)
atau kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu daripada kreditor
lainnya.
Misalnya :
A berutang sebesar Rp 1 miliar kepada Bank ABC. Sebagai jaminan atas
pelunasan fasilitas kredit yang diterimanya, A menjaminkan rumah tinggalnya
kepada Bank ABC, rumahnya dibebani dengan Hak Tanggungan senilai Rp 1,5
milyar. Di samping berutang kepada Bank ABC, A juga punya utang kepada B, C,
dan D, masing-masing sebesar Rp 500 juta.
Suatu saat, kredit A macet dan tidak dapat lagi membayar utang-utangnya
kepada krediturnya (Bank ABC, B, C, dan D). Bank ABC punya kedudukan
diutamakan karena memegang Hak Tanggungan atas rumah A sehingga Bank
ABC disebut sebagai kreditur preference. B, C dan D berkedudukan sebagai
kreditur konkuren. Artinya, mereka punya kedudukan setara. Jadi, pada saat
diwajibkan untuk membayar kembali kewajibannya dan terpaksa menjual rumah
tinggalnya, maka Bank ABC mendapat bagian secara utuh dari rumah tinggal A
tersebut, yaitu sebesar sisa utang A kepada Bank ABC.
Misalnya, setelah dijual, rumah tersebut laku seharga Rp 1,5 miliar, sedangkan
sisa utang A pada Bank ABC tinggal Rp 900 juta, sehingga dari hasil penjualan
Rp 1,5 miliar tersebut diambil sebesar Rp 900 juta. Baru sisanya sebesar Rp 600
juta dibagi secara proporsional kepada B. C, dan D, dan masing-masing tidak
memperoleh pengembalian secara utuh atas piutang-piutang mereka. Itulah
hebatnya Hak Tanggungan.

2. Hak Tanggungan mengikuti tempat benda berada (droit de suite).


Ini merupakan salah satu kekuatan lain Hak Tanggungan. Jadi walaupun tanah
yang dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut dialihkan kepada pihak atau
orang lain (dalam hal ini misalnya dijual), Hak Tanggungan tersebut tetap
melekat pada tanah tersebut, sepanjang belum dihapuskan (dalam praktiknya
dikenal dengan istilah “Dilakukan Roya”) oleh pemegang Hak Tanggungan
dimaksud. Peralihan Hak Tanggungan bisa terjadi melalui proses hukum
merger (penggabungan perusahaan), akuisisi (pengambilalihan perusahaan),
cessie, hibah, maupun pewarisan.
Misalnya:
A memiliki utang kepada Bank ABC sebesar Rp 100 juta. Sebagai jaminan atas
pelunasan fasilitas kredit yang diterimanya. A menjaminkan rumah yang
selanjutnya dibebani dengan Hak Tanggungan sebesar Rp 150 juta. Tiba-tiba,
A terkena serangan jantung dan meninggal dunia sehingga kredit tersebut
berhenti, tetapi tetap harus segera dilunasi. Walaupun A sebagai pemilik tanah
sudah meninggal dunia. Hak Tanggungan yang dibebankan atas tanah miliknya
tidak serta merta hapus. Hak Tanggungan tersebut tetap melekat sepanjang
ahli waris A, yaitu B dan C belum membayar lunas utang-utangnya kepada Bank
ABC. Setelah lunas, baru Bank ABC akan memberikan surat lunas dan surat
permohonan penghapusan Hak Tanggungan tersebut (surat roya).

3. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, kecuali telah diperjanjikan


sebelumnya.
Hak Tanggungan yang melekat pada suatu jaminan berupa tanah dan/atau
bangunan, tidak dapat ditetapkan hanya melekat di sebagian bidang tanah
atau sebagian bidang rumah, tetapi melekat ke seluruh bagian tanah atau
rumah tersebut. Namun, dapat pula diperjanjikan bahwa Hak Tanggungan yang
membebani beberapa bidang tanah, dapat dihapuskan secara sebagian-
sebagian, sesuai dengan proporsi pelunasan fasilitas kredit yang dilakukan
oleh debitur.
Pada saat A memperoleh fasilitas kredit dari Bank ABC, A lalu menjaminkan 5
(lima) bidang tanahnya yang terletak dalam satu kecamatan, oleh Bank ABC
tanah-tanah tersebut dibebani dengan satu Hak Tanggungan senilai Rp 5
miliar. Namun, dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang
diterbitkan hanya dimasukkan klausul yang memperjanjikan bahwa debitur
diperbolehkan untuk melakukan penghapusan (roya) secara bertahap
(sebagian demi sebagian) untuk setiap nilai tertentu.
Dalam praktiknya, hal ini disebut juga Roya Parsial.
Atau contoh lain:
sebidang tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan induk, dapat
diperjanjikan bahwa jika dipecah nantinya akan membebani hasil pecahan
dari tanah tersebut.

4. Hak Tanggungan dapat digunakan untuk menjamin utang yang sudah ada atau
yang akan ada.
Jika utang yang sudah ada, tentunya sudah jelas. Tapi untuk utang yang akan
ada itu adalah utang yang pada saat dibuat dan ditandatangani Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) tersebut belum ditetapkan jumlah ataupun
bentuknya. Dalam setiap Akta Pemberian Hak Tanggungan disebutkan bahwa
debitur punya sejumlah uang tertentu yang dituliskan….”Misalnya, pada saat
akta tersebut dibuat, jumlah utang masih sebesar Rp 1 miliar. Kemudian,
karena nilai Hak Tanggungan yang dipasang masih cukup untuk penambahan
plafond kredit, pada saat debitur memperoleh tambahan kredit sebesar Rp
500 juta, A tidak dibebani Hak Tanggungan baru.
Hanya cukup menunjuk kepada jaminan yang sudah pernah diberikan oleh
debitur, dengan nilai utang yang dijaminnya bertambah menjadi Rp 1,5 miliar.
Kemungkinan lain untuk menjamin fasilitas kredit yang akan ada dengan
menggunakan jaminan berupa Bank Garansi.
Masih ingat bukan bahwa Bank Garansi merupakan jaminan bank kepada
debitur dan belum merupakan utang jika debitur belum wanprestasi. Artinya,
pada saat perjanjian fasilitas Bank Garansi ditandatangani belum timbul suatu
utang tertentu. Namun, bisa jadi, pada saat penandatanganan tersebut,
debitur sudah menyerahkan jaminan berupa sebidang tanah yang dapat
dibebani dengan Hak Tanggungan.
Jadi, pada saat Akta Pemberian Hak Tanggungan ditandatangani, utang yang
timbul dari fasilitas Bank Garansi tersebut belum ada. Selanjutnya, pada saat
debitur wanprestasi, maka fasilitas Bank Garansi tersebut berubah menjadi
utang yang wajib dibayar oleh debitur kepada bank. Lalu, jika debitur tidak juga
dapat membayar kewajibannya, bank berhak mengeksekusi jaminan
dimaksud.

5. Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial


Sertifikat Hak Tanggungan punya kekuatan eksekusi tanpa melalui putusan
pengadilan melalui penjualan di muka umum. Namun demikian, hal yang
menarik dalam praktiknya adalah pada saat pemilik jaminan melakukan
perlawanan atas upaya kreditur untuk melelang tanah dan bangunan yang
dijaminkan, kreditur masih tetap membuthkan bantuan pengadilan untuk
mengeksekusi jaminan yang sudah dibebani Hak Tanggungan tersebut.

6. Hak Tanggungan memiliki sifat spesialitas dan publisitas.


Sifat spesialitas dan publisitas yang menyebabkan timbulnya hak preference
kreditur. Dalam hal terjadi peristiwa kepailitan debitur, hak preference kreditur
tersebut tidak hilang dan dia menjadi separatis.
Artinya, kreditur punya hak terpisah atas objek yang dibebani Hak Tanggungan
tersebut. Oleh karena itu, kreditur berhak mendapatkan pelunasan utang
terlebih dahulu dari hasil penjualan tanah, pihak ketiga (siapapun) bisa
mengecek status tanah melalui kantor pertanahan setempat.
Tujuannya, menghindari terjadinya suatu transaksi peralihan ha katas tanah
dimaksud tanpa persetujuan dari kreditur selaku pemegang Hak Tanggungan.

RAMBU-RAMBU YANG HARUS DIPERHATIKAN


OLEH PARA PRAKTISI HUKUM

1. Jangka waktu berlakunya Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan


dan Akta Pemberian Hak Tanggungan dan Akta Pemberian Hak Tanggungan
Untuk membebani kepemilikan tanah dengan Hak Tanggungan, pemilik tanah
harus membuat dan menandatangani Akta Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan (SKMHT) atau Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
Kemudian, mendaftarkan Hak Tanggungan pada kantor pertanahan tempat
sertifikat hak atas tanah tersebut didaftarkan.
Perlu dipahami bahwa Akta SKMHT dan APHT tersebut punya jangka waktu
tertentu. Jangka waktu berlaku Akta SKMHT hanya 30 (tiga puluh) hari kalender
sejak akta tersebut ditandatangani dan segera harus ditingkatkan menjadi
APHT. Sedangkan APHT sendiri juga harus didaftarkan dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak akta tersebut
ditandatangani.
Jika jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja tersebut sudah dilewati, dalam arti APHT
masih belum didaftarkan pada kantor pertanahan setempat. APHT tersebut
menjadi gugur dan tidak dapat didaftarkan kembali kepada kantor pertanahan
dimaksud.
Hal ini sangat penting untuk diperhatikan bagi para praktisi hukum karena
persoalan jangka waktu tersebut dapat menimbulkan risiko pada kredit yang
bersangkutan.
Dengan gugurnya Hak Tanggungan dimaksud, kreditur yang sudah terlanjur
memberikan fasilitas kredit sudah tidak punya jaminan lagi untuk pelunasan
piutangnya. Kreditor terpaksa harus meminta tanda tangan ulang atas Akta
Pemberian Hak Tanggungan dimaksud.
Jika kebetulan berurusan dengan debitur”nakal”, bisa saja pada saat debitur
mengetahui APHT tersebut gugur dan tidak dapat didaftarkan, dia lalu menolak
menandatangani ulang APHT dimaksud sehingga bank tidak punya jaminan
yang dapat dieksekusi.

Jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja untuk APHT dan 30 (tiga puluh) hari kalender
untuk SKMHT tersebut tidak berlaku bagi kredit-kredit usaha kecil, seperti
Koperasi Unit Desa, Kredit Usaha Tani, atau kredit kepada Koperasi Primer
untuk anggotanya. Sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas
Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk
Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu juncto Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia No 26/24/KEP/Dir tanggal 29 Mei 1993, jangka waktu
berakhirnya SKMHT yang diberi oleh pemilik tanah atau bangunan yang
memperoleh fasilitas kredit dimaksud adalah selama jangka waktu perjanjian
pokoknya.

Selain kredit-kredit usaha kecil tadi, jenis kredit yang tergolong dalam
peraturan tersebut adalah Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang diberikan untuk
pengadaan perumahan, dengan kriteria rumah yang dibiayai:
1. Perumahan inti, rumah sederhana, atau rumah susun dengan luas tanah
maksimum 200 m2 dan luas bangunan tidak lebih dari 70 m2.
2. Pemilikan kavling siap bangun dengan luas tanah 54,72 m2 dan kredit untuk
membiayai bangunanya.
3. Kredit renovasi untuk rumah yang masuk kriteria dalam poin pertama dan
kedua.

Selain itu, yang juga termasuk dalam kriteria tersebut adalah jenis kredit
produktif lain yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
dengan plafon maksimal Rp 50 juta, diantaranya: KRedit Umum Pedesaan yang
dibiayai oleh BRI dan Kredit Kelayakan Usaha (yang disalurkan oleh pemerintah).
Untuk kredit-kredit jenis tersebut, jangka waktu SKMHT berlaku sepanjang masa
kredit dimaksud.
Misalkan, jangka wkatu yang diberikan adalah 10 tahun, maka SKMHT akan
berlaku selama 10 tahun tersebut. Jika debitur macet pada tahun ke-5, bank
tetap akan menindaklanjuti SKMHT dimaksud dengan APHT dan selanjutnya
mendaftarkan APHT tersebut ke kantor pertanahan setempat. Setelah APHT
didaftarkan apabila dinginkan, bank juga dapat melaksanakan eksekusi atas
Hak Tanggungan yang berkenaan.

2. Sertifikat yang jangka waktunya akan berakhir, padahal sertifikat tersebut


sedang atau akan dibebani dengan Hak Tanggungan
Dalam pasal 18 UUHT disebutkan bahwa salah satu penyebab berakhirnya Hak
Tanggungan adalah “Berakhirnya ha katas tanah yang dibebani Hak
Tanggungan”. Maksudnya, selain tanah yang berstatus Hak Milik, setiap hak
atas lainnya punya jangka waktu tertentu, seperti Hak Guna Bangunan dengan
jangka waktu selama 20-30 tahun. Jika jangka waktu hak atas tanah tersebut
juga otomatis gugur pada saat yang sama dengan berakhirnya hak atas tanah
dimaksud.
Bagaimana caranya supaya kreditur tidak dirugikan karena hak atas tanah
tersebut berakhir, sedangkan utang yang dijamin dengan tanah tersebut masih
berlangsung atau belum dilunasi?
Jika hak atas tanah yang sedang dibebani Hak Tanggungan tersebut kurang
beberapa bulan lagi akan jatuh tempo, jangka waktu hak atas tanah tersebut
dapat diperpanjang.
Caranya dengan melampirkan surat permohonan perpanjangan hak atas
tanah, dengan Hak Tanggungan masih melekat padanya. Apakah itu bisa?
Tentu saja bisa, selama pemilik hak atas tanah dimaksud masih bisa bekerja
sama dengan baik, lalu dia mengajukan permohonan perpanjangan hak.
Akan tetapi, ada kesulitan jika pemilik hak atas tanah dimaksud ada kesulitan
jika pemilik jaminan (pemilik tanah) tersebut sudah tidak mau lagi bekerja
sama atau utang debitur yang bersangkutan sudah macet dan dia pun tidak
bersedia lagi mengajukan permohonan perpanjangan hak sehingga pada
waktu debitur macet, jaminan tidak bisa dieksekusi.
Untuk mencegah hal tersebut, sebelum menerima sebidang tanah yang akan
dibebani Hak Tanggungan, sebaiknya kreditur atau Notaris yang akan
melaksanakan pengikatan jaminan memeriksa terlebih dahulu apakah jangka
waktu hak atas tanah yang hendak dibebani Hak Tanggungan masih sesuai
dengan jangka waktu kredit yang diberikan?
Misalnya, Hak Guna Bangunan sebidang tanah akan berakhir sekitar dua
tahun lagi, sedangkan kredit yang dijamin dengan Hak Tanggungan atas tanah
tersebut diberikan untuk jangka waktu selama tiga tahun. Jika memang
keadaannya demikian, sebaiknya Hak Guna Bangunan atas sebidang tanah
tersebut diperpanjang terlebih dahulu sebelum dibebani Hak Tanggungan.
Jika sudah masuk dalam custodian bank-bank pengaman aset keuangan suatu
perusahaan ataupun perseorangan dan terlewat dalam pantauan evaluasi
administrasi arsip jaminan, bisa-bisa atas tanah tersebut gugur sebelum
jangka waktu kreditnya berakhir.

3. Mekanisme penjualan tanah dan bangunan yang masih dibebani Hak


Tanggungan
Suatu saat, dapat saja pemilik tanah berkeinginan untuk menjual rumah atau
tanah yang sedang dibebani Hak Tanggungan. Kemudian, uang hasil tanah
atau rumah tersebut akan digunakan untuk melunasi kredit kepada bank yang
memegang Hak Tanggungan. Konteks penjualan tersebut mirip dengan
penjualan di bawah tangan secara sukarela ketika terjadi proses eksekusi atas
jaminan karena macetnya utang yang dijamin oleh Hak Tanggungan tersebut.
Dalam keadaan demikian, pemilik tanah dapat menempuh langkah-langkah
sebagai berikut:
❖ Debitur dapat mengajukan permohonan mengenai keterangan sisa
(outstanding) kreditnya kepada bank, sekaligus meminta kepastian bahwa
dengan dibayarkannya sejumlah uang tertentu, sesuai dengan sisa
utangnya, maka rumah atau tanah tersebut dapat dilepaskan sebagai
jaminan dari bank yang berkenaan. Pihak calon pembeli tentunya juga harus
memastikan bahwa rumah atau tanah tersebut tidak disangkutpautkan
dengan utang debitur lainnya, yang dalam istilahnya disebut paripasu.

❖ Setelah ada kepastian bahwa rumah atau tanah tersebut dapat “ditebus”
dengan suatu nilai tertentu, Notaris dengan melibatkan pihak bank akan
melakukan pengecekan, sebaiknya akta yang disiapkan adalah Akta
Pengikatan Jual Beli secara Notariil (disahkan di depan Notaris) dengan
pembayaran yang dilakukan secara bertahap. Pembayaran pertama
hanyalah sejumlah tertentu, sampai dengan rumah atau tanah tersebut
dapat “ditebus” dari bank, sedangkan sisanya dibayarkan setelah
pengecekan sertifikat tersebut selesai dilakukan. Dalam akta tersebut juga
harus dicantumkan klausul yang menyatakan: “Apabila setelah
dilakukannya pengecekan terhadap keabsahan sertifikat yang berkenaan
ternyata sertifikat tersebut bermasalah (diblokir, palsu, atau sebab lainnya)
sehingga tidak tidak dapat dilanjutkan dengan pembuatan Akta Jual Beli
dan Balik Nama, maka pengikatan jual beli tersebut menjadi batal dan para
pihak kembali ke keadaan semila. “Artinya, dalam kondisi demikian, pemilik
tanah (selaku penjual) harus mengembalikan seluruh jumlah uang yang
telah diterimanya.

❖ Setelah semua pajak yang menjadi kewajiban para pihak dipenuhi,


transaksi jual beli dapat dilakukan. Jika memungkinkan, jual beli tersebut
melibatkan pihak bank dan dilaksanakan di kantor bank yang berkenaan.
Dengan demikian, begitu pembayaran harga jual beli dilaksanakan pihak
bank juga langsung menyerahkan sertifikat asli hak atas tanah, sertifikat asli
Hak Tanggungan, serta menerbitkan surat bukti lunas dan surat
permohonan penghapusan Hak Tanggungan (surat roya).
Selanjutnya, pihak Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
bersangkutan dapat melanjutkan dengan pelaksanaan pengecekan (jika
memang belum dilakukan pengecekan); atau roya dan balik nama atas
sertifikat yang berkenaan (jika akta jual beli sudah dibuat). Sekaligus
mendaftarkan jual beli tersebut ke kantor pertanahan setempat.

4. Bagaimana jika nama dalam sertifikat yang dibebani Hak Tanggungan


meninggal dunia?
Satu hak yang kadang terjadi dalam pemberian kredit adalah debitur atau
pemilik jaminan yang sedang dibebani Hak Tanggungan meninggal dunia. Jika
pemilik hak atas tanah yang sedang dibebani Hak Tanggungan meninggal
dunia, Hak Tanggungan tersebut tidak gugur, tetapi seluruh ahli waris pemilik
tanah yang sudah meninggal dunia tersebut harus taat dan memenuhi
ketentuan tentang pemberian jaminan yang dimaksud.

Yang agak repot, jika pemilik tanah yang meninggal dunia tersebut juga
sekaligus debitur dari bank yang berkenaan karena setiap perjanjian utang
yang dijamin dengan Hak Tanggungan menganut Asas Kepribadian seperti
dimaksud dalam Pasal 1340 KUHPer.
Dengan demikian pada saat debitur yang masih punya utang meninggal dunia,
otomatis perjanjian kreditnya gugur, sedangkan utangnya seketika dapat
ditagih oleh kreditur untuk dilunasi.
Hal ini biasanya dicantumkan dalam Perjanjian Kredit sehingga dalam
praktiknya, ada pula bank yang menuntut persyaratan agar pemberian fasilitas
kredit juga dijamin dengan asuransi jiwa kredit.
Hal ini untuk mengantisipasi suatu kondisi jika debitur meninggal dunia, maka
perjanjian utang-piutang antara debitur dan bank menjadi berakhir, dan
selanjutnya asuransi akan melunasi seluruh utang debitur yang masih tersisa.

Bagaimana dengan Hak Tanggungannya?


Perjanjian jaminan pada prinsipnya bersifat accesoir (mengikuti) terhadap
perjanjian induknya, yaitu perjanjian kredit.
Dalam hal perjanjian utang-piutang berakhir karena sebab apa pun, maka
perjanjian jaminannya juga menjadi berakhir.
Bagaimana jika ternyata debitur yang meninggal dunia tersebut tidak dijamin
dengan asuransi kredit?
Jika hal tersebut terjadi, dalam praktiknya bank biasa memberikan pilihan
kepada ahli waris debitur dimaksud, yaitu beberapa hal berikut ini:
 Meminta mereka untuk melunasi sisa utang debitur dari sumber yang lain.
 Menjual rumah atau tanah yang dibebani Hak Tanggungan, dengan hasil
penjualannya dapat digunakan untuk melunasi sisa utang debitur kepada
bank.
 Memberikan kesempatan kepada ahli waris debitur yang dianggap punya
kemampuan untuk melanjutkan kewajiban debitur yang meninggal dunia
dengan cara merestrukturisasi kredit yang sudah ada atau melalui cara
novasi (pembaharuan utang) penggantian debitur.
Dalam hal demikian, maka Hak Tanggungan atas rumah atau tanah tersebut
harus dihapuskan (dilakukan roya) dari Hak Tanggungan yang sudah ada,
kemudian dibebani dengan Hak Tanggungan baru untuk kepentingan
debitur baru (ahli waris yang ditunjuk).

“Siapa yang bertindak menandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan


tersebut?” Tentu saja adalah seluruh ahli waris debitur atau pemilik tanah
yang meninggal dunia.

5. Dapatkah tanah yang sudah berakhir haknya dibebani Hak Tanggungan?


Kembali kepada konsep awal dan pembebanan Hak Tanggungan, yakni Hak
Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah tertentu yang masih
berlangsung. Kecuali Hak Milik, seluruh jenis hak atas tanah yang lain punya
jangka waktu yang terbatas; baik itu Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha,
Hak Pakai, dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Pada saat jangka waktu
terjadi kondisi hak atas tanah tersebut berakhir, maka tanah tersebut menjadi
berstatus Tanah Negara.
Oleh karena itu, kita harus melakukan permohonan perpanjangan atau
pembaharuan hak terlebih dahulu terhadap hak atas tanah yang berakhir
jangka waktunya. Setelah haknya muncul kembali barulah pada tanah hak
yang diperpanjang atau diperbarui tersebut dapat dibebani Hak Tanggungan.
PROSES PERSIAPAN SERTA PENANDATANGANAN AKTA SURAT KUASA
MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) DAN AKTA PEMBERIAN HAK
TANGGUNGAN (APHT) BAGI PRAKTISI

Seorang praktisi perbankan yang punya tugas mengikat suatu jaminan kredit
berupa tanah dan bangunan yang akan dibebani oleh Hak Tanggungan; atau
seorang praktisi perbankan yang sedang menilai kelayakan suatu tanah
dan/atau bangunan dapat dibebani Hak Tanggungan, langkah-langkah
apakah yang harus diperhatikan sebelum menyiapkan suatu jaminan berupa
tanah dan bangunan tersebut?
Rambu-rambu hukum yang harus diperhatikan sebelum para praktisi
perbankan menentukan kelayakan suatu tanah dan/atau bangunan dapat
dibebani Hak Tanggungan. Untuk itu, berikut ini adalah kriteria sebagai alat
ukurnya.

Pertama:
Ketahui dulu status kepemilikan hak tanah yang akan dijaminkan.
Ingat, tidak semua hak atas tanah bisa dibebani oleh Hak Tanggungan. Yang
dapat dibebani Hak Tanggungan hanyalah tanah dengan hak primer, seperti
yang sudah pernah diuraikan sebelumnya, yaitu tanah: Hak Milik, Hak Guna
Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai yang dapat
dipindahtangankan (bukan Hak Pakai atas Tanah yang diberikan kepada
instansi tertentu/kedutaan), dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
(HMSRS).

Kedua:
Apakah tanah tersebut merupakan tanah hak murni ataukah berdiri di atas hak
tanah lainnya?
Maksudnya, tidak semua tanah Hak Guna Bangunan, tanah Hak Guna Usaha,
ataupun tanah Hak Pakai dapat diberikan langsung di atas Tanah Negara.
Terkadang, hak tanah tersebut diberikandi atas tanah Hak Pengelolaan Lahan
(HPL), tanah kawasan industry, Kawasan Berikat Nasional (KBN), atau tanah
dengan otoritas tertentu (misalnya Otorita Batam). Untuk itu, pada bagian
penunjuk di halaman kedua dalam sertifikat hak, dapat diketahui apakah
untuk pengalihan dan/atau pembebanan Hak Tanggungan di atas tanah
tersebut memerlukan izin dari pemegang hak yang akan dibawahnya atau
tidak. Atau, dapat ditentukan apakah hak tanah tersebut dapat dijaminkan
atau tidak. Biasanya, hak tanah yang diberikan di atas tanah Hak Pengelolaan
sampai pemegang hak pengelolaan memperoleh izin dan membayar sejumlah
retribusi tertentu yang diwajibkan kepadanya.

Ketiga:
Apakah jangka waktu hak atas tanah yang dimiliki belum berakhir atau akan
segera berakhir?
Hal ini terutama untuk hak atas tanah dengan jangka waktu tertentu, yaitu
untuk tanah HGB, HGU, Hak Pakai dan HMSRS, juga untuk tanah yang didirikan
di atas hak tanah tertentu yang hak atas tanah di bawahnya ternyata memiliki
jangka waktu yang hamper berakhir. Contohnyaadalah Hak Milik atas Satuan
Rumah Susun yang didirikan di atas Hak Guna Bangunan (HGB) yang akan
berakhir jangka waktunya.
Penting untuk diperhatikan oleh para praktisi perbankan bahwa perpanjangan
dan pembaharuan HGB, HGU, dan Hak Pakai sebagaimana diamanatkan
dalam Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 harus dilakukan dalam jangka
waktu minimal 2 (dua) tahun sebelum jangka waktu hak atas tanah tersebut
berakhir. Dengan demikian tentunya akan lebih aman jika perpanjangan
jangka waktu hak atas tanah yang hampir berakhir tersebut dilakukan sebelum
jangka waktunya berakhir. Hal ini juga berlaku bagi pemberian jaminan atas
perjanjian kredit yang berlaku untuk jangka waktu yang cukup lama. Apabila
dalam jangka waktu kredit tersebut ternyata hak atas tanah yang dibebani
dengan Hak Tanggungan berakhir, bank terpaksa harus melakukan monitor
secara ketat, agar jangan sampai hak atas tanahnya berakhir sedangkan
kredit belum lunas. Hal ini akan melemahkan kedudukan bank karena dengan
berakhirnya hak atas tanah tersebut, gugur pulalah Hak Tanggungan yang
membebaninya.
Misalnya diperkirakan serorang debitur akan memperoleh fasilitas kredit untuk
jangka waktu selama 7 (tujuh) tahun, sedangkan jangka waktu hak atas tanah
yang dijaminkan oleh debitur yang bersangkutan akan berakhir 3 (tiga) tahun
lagi, sebaiknya sebelum dilakukan pembebanan Hak Tanggungan, sekaligus
pula dilakukan perpanjangan hak atas tanah dimaksud.
Dengan demikian, pihak tidak perlu report-repot memonitor ataupun tidak
perlu ada kejadian bahwa jangka waktu hak atas tanah dimaksud.
Dengan demikian, pihak bank tidak perlu repot-repot memonitor ataupun
tidak perlu ada kejadian bahwa jangka waktu hak atas tanah yang dimiliki
sudah lewat, tapi kredit belum lunas. Alasannya, tidak semua debitur akan
bersikap kooperatif dengan memperpanjang hak atas tanah dimaksud dalam
jangka waktu kredit yang bersesuaian. Demikian pula, tidak semua debitur
akan lancar dalam pengembalian sisa utang-utangnya. Bisa saja, bersamaan
dengan hak atas tanahnya berakhir, debitur tersebut juga macet, sehingga
bank tidak dapat mengeksekusi jaminanya karena Hak Tanggungannya sudah
berakhir. Akibatnya?

Keempat:
Nama yang tercantum dalam sertifikat (pemberi Hak Tanggungan).
Sebelum memutuskan bahwa tanah dan/atau bangunan akan dibebani oleh
suatu Hak Tanggungan, perlu diketahui kriteria berikut ini:

1. Apakah orang yang namanya tercantum dalam sertifikat tersebut masih


hidup?
Jika ternyata orang yang namanya tercantum dalam sertifikat sudah
meninggal dunia, yang bertindak sebagai penjamin atau pihak yang
memberikan Hak Tanggungan atas tanah dan/atau bangunan tersebut
adalah ahli warisnya.
Dalam hal pemberian Hak Tanggungan adalah para ahli waris, terdapat
beberapa indikator atau persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh pemberi
jaminan, yaitu:
▪Harus dibuat Surat Keterangan Waris terlebih dahulu.
Jika ada salah satu ahli waris yang juga telah meninggal dunia, Surat
Keterangan Waris harus dibuat atas nama ahli warisnya pula.
Demikian pula berlaku, jika ternyata ada ahli waris lainnya yang telah
meninggal dunia.
▪BPHTB (Bukti Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan)
warisnya dibayarkan dan selanjutnya dilakukan balik nama ke atas nama
ahli warisnya.

▪Semua ahli waris yang tertera dalam surat keterangan waris harus setuju
dan menandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atau
minimal Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Jika
ada satu orang ahli waris saja yang tidak setuju untuk menandatangani
akta tersebut, pengikatan jaminan tidak dapat dilakukan

▪Dalam hal ada ahli waris ternyata masih di bawah umur (di bawah usia 18
tahun atau belum menikah sebagaimana ditetapkan dalam Undang-
Undang Jabatan Notaris atau Undang-Undang Perlindungan Anak), maka
untuk menjaminkan tanah dan/atau bangunan tersebut harus
memperoleh persetujuan dan Pengadilan Negeri setempat, yang isinya
menyatakan telah memberikan persetujuan untuk menjaminkan harta
anak dibawah umur tersebut, sekaligus melakukan pengangkatan seorang
wali.

2. Jika pasangan (suami atau isteri) orang yang namanya tercantum dalam
sertifikat tersebut masih hidup?
Walaupun nama yang tercantum dalam sertifikat masih hidup dan dapat
menandatangani SKMHT/APHT, apabila pasangan suami atau isteri
penjamin tersebut ternyata sudah meninggal dunia, tetapi harus dibuatkan
surat keterangan waris. Dengan demikian, untuk melakukan perbuatan
hukum berupa penandatanganan SKMHT/APHT tersebut tetap harus
mendapatkan persetujuan dari anak-anaknya selaku ahli waris yang lain.
Hal tersebut harus dilakukan, kecuali berlaku dua kondisi berikut ini, yaitu:
•Sebelum perkawinan dibuatkan perjanjian pisah harta (Perjanjian Pra-
nikah).
•Tanah dan/atau bangunan tersebut diperoleh setelah pasangan (suami
atau isteri) dimaksud meninggal dunia.

Mengapa demikian?
Pada prinsipnya, Indonesia menganut hukum percampuran harta
perkawinan. Dengan demikian, pada saat perkawinan dilangsungkan, demi
hukum, semua harta suami dan semua harta isteri bercampur dalam satu
kesatuan.
Selanjutnya pada saat pasangan meninggal dunia (misalnya sang suami),
maka sebagian dari harta terdaftar atas nama isteri (yang masih hidup) pada
dasarnya juga merupakan harta suami yang meninggal dunia tersebut
sehingga termasuk dalam harta warisan. Dan atas bagian suami yang sudah
meninggal dunia tersebut, juga terdapat hak para ahli waris lainnya
(misalnya anak-anak)

Ada satu kasus menarik dalam praktik, saat seorang debitur, Ny. A, yang
juga pemilik jaminan, memberikan Hak Tanggungan senilai Rp 12,5 miliar
atas tanah dan bangunan tertentu. Ny. A adalah seorang janda karena
suaminya sudah meninggal dunia pada 2010 dan memiliki dua orang anak.
Oleh karena dalam sertifikat tanah yang dijaminkan tertera nama Ny. A,
maka pihak bank dan kantor pertanahan menganggap tidak perlu ada
persetujuan siapapun lagi. Suatu saat, Ny. A macet sehingga jaminan
tersebut harus dieksekusi.
Putra-putri Ny. A melakukan bantahan karena merasa tidak pernah
memberikan persetujuan kepada Ny. A untuk menjaminkan hak atau bagian
mereka sebagai ahli waris dari almarhum suami Ny. A atas tanah dan
bangunan tadi.
Akibatnya, bank hanya dapat mengeksekusi: ½ bagian dari harta bersama
Ny. A dengan almarhum suaminya ditambah dengan ½ x ½ bagian lagi
sisanya.
Hikmah yang dapat diambil dari kasus tersebut: apabila suami atau isteri
pemberian Hak Tanggungan sudah meninggal dunia, persetujuan atas nama
seseorang yang masih hidup.

Atau berlaku kondisi lainnya: orang yang tercantum namanya dalam


sertifikat hak atas tanah tersebut ternyata telah bercerai dari suami atau
isterinya.
Jika berlaku kondisi demikian, perlu dimintakan surat cerai dari orang yang
bersangkutan, lalu harus ada penetapan dari Pengadilan Negeri yang
menyatakan pembagian harta gono gini atas suami atau isteri tersebut.
Atau, setidak-tidaknya sudah dibuatkan akta kesepakatan bersama yang
mengatur pembagian harta benda dalam perkawinan, saat perkawinan
mereka berakhir. Jika tidak ada pembagian yang jelas mengenai harta
benda dalam perkawainan, maka untuk menjaminkan tanah dan/atau
bangunan tersebut kepada bank, harus tetap mendapat persetujuan dari
mantan suami atau isteri, walaupun mereka sudah resmi bercerai.

Kelima:
Pengecekan terhadap keaslian dan kondisi sertifikat yang akan dijaminkan
merupakan hal mutlak yang tidak boleh dilewati oleh para praktisi hukum,
terutama para Notaris dan/atau PPAT sebelum melakukan pengikatan
jaminan atas suatu tanah dan/atau bangunan. Pada saat itulah dapat
diketahui kondisi sertifikat yang berkenaan antara lain:
• Apakah tanah tersebut tidak sedang dalam sengketa yang
mengakibatkannya diblokir oleh pihak-pihak yang bersengketa?
• Apakah sertifikat hak atas tanah tersebut asli dan tidak pernah
digandakan secara tidak sah?
• Apakah hak atas tanah yang sudah memiliki Putusan Perkara
Pengadilan sudah sampai pada tahap “inkrah” (memiliki kekuatan
hukum yang tetap).
• Apakah sertifikat hak atas tanah tersebut asli dan tidak pernah
digandakan secara tidak sah?
• Apakah sertifikat tersebut tidak sedang dijaminkan kepada bank lain
untuk menjamin suatu utang tertentu?
Dalam hal demikian, asalkan pada saat pembebanan Hak Tanggungan
berikutnya dapat diperbolehkan surat bukti lunas dan surat roya dari bank
yang sebelumnya memegang Hak Tanggungan atas tanah dan/atau
bangunan tersebut, maka hal itu tidak akan menjadi masalah.
CARA PENDAFTARKAN HAK TANGGUNGAN
Pendaftaran Hak Tanggungan dilaksanakan pada kantor pertanahan setempat,
tempat letak tanah yang tercantum dalam sertifikat tanah dimaksud. Adapun
pendaftaran dilakukan dengan cara melampirkan:
1. Sertifikat asli yang akan dibebani Hak Tanggungan.
2. Salinan berkas (fotokopi) identitas pemberi dan penerima Hak Tanggungan
adalah badan hukum, harus dilampirkan seluruh anggaran dasar hingga akta
perubahan yang terakhir, berikut Surat Persetujuan dan/atau surat
Penerimaan Pemberitahuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
3. Salinan berkas (fotokopi) perjanjian kredit atau perjanjian lainnya yang
dijadikan dasar untuk pemberian Hak Tanggungan.
4. Surat Kuasa asli untuk mendaftarkan Hak Tanggungan.
5. Untuk pendaftaran Hak Tanggungan di wilayah DKI Jakarta, surat kuasa untuk
pendaftaran Hak Tanggungan ini diminta untuk dilegalisasi atau warmerking
oleh notaris yang melaksanakan pendaftaran Hak Tanggungan tersebut.
6. Bukti pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk pendaftaran
Hak Tanggungan, besarnya ditetapkan berdasarkan rentang nilai
pertanggungannya, sebagaimana dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor
13 Tahun 2010.

Eksekusi Hak Tanggungan


Dalam praktik Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui
penjualan di bawah tangan dan melalui proses lelang. Untuk itu, marilah kita
bahas satu demi satu proses eksekusi Hak Tanggungan tersebut.

Penjualan di Bawah Tangan


Yang dimaksud dengan penjualan di bawah tangan adalah penjualan atas tanah
yang dijadikan sebagai jaminan dan dibebani dengan Hak Tanggungan oleh
kreditur sendiri secara langsung kepada orang atau pihak lain yang berminat,
tetapi dibantu juga oleh pemilik tanah dan bangunan dimaksud.
Namun, hati-hati, pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan ini harus
didahului dengan pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan diumumkan
dalam 2 (dua) surat kabar yang terbit di daerah tempat lokasi tanah dan
bangunan berada.
Hal ini dilakukan minimal 1 (satu) bulan sebelum penjualan dilakukan serta tidak
ada sanggahan dari pihak manapun.
Apabila tidak dilakukan, penjualan dapat dikatakan batal demi hukum sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 20 UUHT.

Biasanya, pelaksanaan penjualan di bawah tangan ini dapat dilakukan ketika


pemilik tanah yang dibebani Hak Tanggungan masih kooperatif.
Dia bersedia pula untuk hadir lagi guna membuat dan menandatangani akta-
akta atau dokumen-dokumen berkaitan dengan penjualan tanah yang dijadikan
objek Hak Tanggungan.
Adapun alternatif lainnya adalah:
1. Pemilik jaminan melaksanakan jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah yang berwenang. Pemilik jaminan tersebut akan langsung berhadapan
dengan calon pembeli dan langsung menandatangani akta jual beli atas
tanah yang berkenaan. Dalam kondisi demikian, biasanya pemilik jaminan
sendiri yang mencari pembeli untuk mendapatkan harga tertinggi, sehingga
dia masih tetap memperoleh sisa dari harga penjualan jaminan dimaksud
setelah sebagian dipotong kreditur membayar atau melunasi utang-
utangnya.
2. Pemilik jaminan hadir guna membuat dan menandatangani Akta Penyerahan
Jaminan sekaligus Akta Kuasa Menjual kepada orang yang ditunjuk oleh
kreditur. Ketika sewaktu-waktu kreditor menemukan pembeli atas jaminan
yang berkenaan, dia dapat melaksanakan Akta Jual Beli dengan
menggunakan Akta Kuasa Menjual tersebut.

Misalnya:
A memperoleh fasilitas kredit dari Bank ABC sebesar Rp 1 miliar. Sebagai
jaminan pelunasan kewajiban tersebut. A menjaminkan tanah yang terletak di
Ciputat agar dapat melunasi utang kepada Bank ABC. Oleh Bank ABC tanah
tersebut dibebani dengan Hak Tanggungan peringkat I senilai Rp 1,3 miliar.
Suatu saat, utang A pada Bank ABC macet. Pada saat terjadi kredit macet, Bank
ABC memberikan kesempatan kepada A untuk dapat melunasi utang pokok
berikut dendanya dengan mencari pembeli tanah tersebut.
Sebenarnya, nilai pasar tanah tersebut sebesar Rp 2 miliar, sedangkan sisa utang
pokok berikut bunga dan denda yang wajib diselesaikan A kepada Bank ABC
hanya tinggal Rp 700 juta.
ika dalam jangka waktu tertentu A mendapatkan pembeli yang bersedia membeli
tanah tersebut di harga Rp 1,9 miliar, maka A bertindak sebagai penjual langsung
dengan menandatangani Akta Jual Beli atas tanahnya tersebut, dan sebesar Rp
700 juta dapat langsung dibayarkan kepada Bank ABC untuk melunasi seluruh
sisanya sebesar Rp 1,2 miliar dapat diterima oleh A.
Jika sampai batas waktu tertentu A tidak juga memperoleh pembelian atas tanah,
sedangkan bank khawatir A akan berubah pikiran atau ingkar janji, maka bank
akan membuatkan Akta Penyerahan Jaminan dan Akta Kuasa Menjual atas tanah
tersebut kepada orang yang ditunjuk oleh bank.

Bagaimana dengan sisa hasil penjualan setelah dikurangi dengan utang pokok,
bunga, dan denda yang harus dibayar oleh A?
Secara teori, seharusnya sisa hasil penjualan dikembalikan kepada A, sama
halnya seperti pada penjualan langsung yang dilakukan oleh A.

Penjualan Jaminan melalui Proses Lelang


Dalam pelaksanaannya, lelang dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Lelang terbuka
Lelang yang dilaksanakan dengan cara penawaran langsung oleh peserta
lelang dengan sistem harga naik-naik, yakni penawaran pertama dilemparkan
oleh juru lelang dengan standar harga terbatas dan pemenangnya adalah
penawar tertinggi. Biasanya yang umum diketahui oleh masyarakat awam
adalah lelang yang dilaksanakan dengan cara seperti ini.

2. Lelang tertutup
Lelang yang dilaksanakna dengan cara penwaran para peserta lelang
dimasukkan ke dalam amplop tertutup dan diserahkan langsung kepada juru
lelang pada saat lelang berlansung. Setelah semua penawaran disetorkan,
juru lelang akan membuka amplop tersebut satu per satu di hadapan para
peserta lelang dan langsung membacakan. Pemenangnya adalah penawar
harga tertinggi.

Ada pengecualian khusus mengenai harga yang dipilih. Untuk lelang terhadap
tender pelaksanaan suatu proyek atau pengadaan suatu barang (biasanya
pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah atau BUMN), pemenang
lelang adalah peserta dengan penawaran harga terendah terhadap spesifikasi
barang atau jasa yang telah ditentukan.
Adapun untuk proses lelang itu sendiri, pelaksanaannya dapat dilakukan
melalui dua cara.
 Proses lelang secara langsung melalui balai lelang.
Proses lelang langsung ini hanya dapat dilaksanakan jika tidak ada
kemungkinan bantahan dari pemilik aset (bisa rumah atau barang lainnya)
dan barang yang akan dilelang tersebut sudah dikuasai oleh pemohon
lelang (tidak perlu ada pengosongan lagi). Dengan kata lain, kondisi
demikian termasuk ke dalam kategori lelang secara sukarela. Untuk proses
lelang tersebut, pemohon lelang dapat mengajukan permohonan lelang
kepada balai lelang swasta dan pemerintah. Namun, jika melalui balai
lelang swasta, harus mendapat bantuan dari Kantor Lelang Negara selaku
pelaksana (juru lelang). Jadi, balai lelang swasta tersebut hanya membantu
untuk menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan.

Pada permohonan lelang, pihak pemohon harus melampirkan:


▪ Surat permohonan lelang.
▪ Surat-surat somasi yang dilaksanakan secara pribadi sebanyak 3 kali
berturut-turut.
▪ Akta Pengakuan Utang dan/atau Perjanjian Kredit dan PEngikatan
Jaminan. Bentuknya berupa Akta Pemberian Hak Tanggungan dan
Sertifikat Hak Tanggungan atau SHT. Apabila tidak ada SHT, lelang tidak
boleh dilakukan dan harus melalui gugatan terlebih dahulu.
▪ Data jaminan atau barang yang akan dilelang. Misalnya, salinan berkas
sertifikat PBB selama lima tahun berakhir, dan Akta Nikah.
▪ Surat Pernyataan dari pemohon lelang (kreditor) yang menyatakan
bahwa kredit melepaskan pihak kantor lelang timbul di kemudian hari.
Setelah seluruh data tersebut lengkap, akan dimintakan jadwal lelang dan
pengumuman lelang di sruat kabar selama 2x (dua kali) dalam jangka waktu
masing-masing 15 (lima belas) hari (terhitung dari tanggal pengumuman
pertama hingga hari pelaksanaan lelang. Setelah proses pengumuman
dilaksanakan, lelang dapat dilangsungkan. PEmenang lelang akan mendapat
Akta Risalah Lelang setelah membayarkan harga jaminan atau barang yang
dilelang serta pembayaran harga jaminan atau barang yang dilelang serta
pembayaran atas pajak penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB).

❖ Proses lelang melalui penetapan pengadilan.


Proses lelang melalui pengadilan dilakukan apabila jaminan atau barang yang
akan dilelang dalam kondisi:
• Masih dikuasai oleh pemilik jaminan atau pemilik barang (belum
dikosongkan).
• Adanya indikasi perlawanan dari pemilik jaminan atau pemilik barang.

Proses pelaksanaan lelang melalui pengadilan dapat dilakukan melalui tahap-


tahap sebagai berikut:
 Kreditor selaku pemohon lelang mengajukan permohonan lelang kepada
Ketua Pengadilan Negeri di wilayah kedudukan kreditor atau di tempat yang
sudah ditentukan di dalam Akta PErjanjian Kredit atau Akta Pengakuan
Utang. Jika permohonan lelang disetujui, keluarlah Penetapan Pengadilan.

 Setelah keluar Penetapan Lelang dilanjutkan dengan permohonan Sita


Jaminan untuk benda (jaminan) yang akan dilelang tersebut. Jika penetapan
Sita sudah keluar, dilanjutkan dengan penyitaan Sita sudah keluar,
dilanjutkan dengan penyitaan objek lelang lalu pendaftaran di kantor Badan
Pertanahan Nasional. Setelah itu, Pengadilan Negeri mengajukan
permohonan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT).
 Setelah SKPT tersebut keluar, Pengadilan Negeri mengajukan permohonan
agar taksasi (taksiran harga) dapat dilaksanakan. Proses taksasi ini
dilakukan oleh pihak kelurahan dan pihak dari Dinas Pekerjaan Umum (PU)
sehingga dapat ditetapkannya nilai atau harga wajar atas jaminan atau
barang yang akan dilelang tersebut.

 Setelah harga limit ditetapkan, Pengadilan Negeri mengajukan permohonan


untuk penjadwalan lelang pada Kantor Lelang Negara.

 Setelah mendapatkan jadwal lelang, barulah dilaksanakan pengumuman


untuk pelaksanaan lelang melalui iklan di surat kabar nasional selama 2
(dua) kali dengan jarak masing-masing 15 (lima belas) hari sampai hari
pelaksanaan lelang.

 Proses lelang
Dalam pelaksanaan pembelian secara lelang, calon pembeli harus menaruh
deposito sejumlah uang yang disyaratkan minimal 1 (satu) hari sebelum
pelaksanaan lelang. Kemudian pembeli melakukan penawaran. Calon
pembeli yang melakukan penawaran tertinggi akan dinyatakan sebagai
pemenang lelang serta berhak memiliki tanah dan bangunan tersebut
sesuai harga yang telah ditentukan. Setelah jaminan atau barang dibayar
dengan harga yang ditetapkan diikuti dengan pembayaran Pajak
Penghasilan (PPh) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), maka pembeli tersebut akan memperoleh Akta Risalah Lelang,,
yang dibuat oleh Pejabat Lelang. Akta Risalah Lelang ini sama fungsinya
dengan Akta Jual Beli yang biasa dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) pada proses jual beli tanah biasa.

 Setelah ada pemenang lelang atas objek lelang, maka pemenang lelang
atau pembeli tersebut dapat mengajukan permohonan pengosongan
kepada Ketua Pengadilan Negeri. Lalu dilanjutkan dengan proses
pengosongan atas jaminan atau barang dimaksud sesuai dengan perintah
dari pengadilan.
HAK TANGGUNGAN VS TAGIHAN PIUTANG PAJAK
Dalam hal terjadi suatu keadaan saat pemberi Hak Tanggungan yang macet
kreditnya, ternyata juga menunggak pajak yang cukup besar. Akibatnya, aparat
pajak harus memblokir harga kekayaan pemilik jaminan, yang salah satunya
berupa tanah dan bangunan yang sudah dibebani Hak Tanggungan.
PT XYZ adalah pemilik sebidang tanah HGB No. 123456 yang terletak di
Kelurahan Bintaro dan memiliki fasilitas kredit kepada PT ABC sebesar RP 10
miliar, yang dijamin dengan pemberian Hak Tanggungan senilai Rp 12 miliar
atas HGB No 123456 tersebut. Utang PT XYZ suatu ketika macet dan ternyata
PT XYZ ini digugat pailit oleh kreditur-krediturnya. Masalahnya, PT XYZ punya
utang pajak yang cukup besar, mencapai Rp 10 miliar.
Untuk memenuhi utang tersebut, aparat pajak mengajukan permohonan blokir
atas harta benda milik PT XYZ ke kantor pertanahan, termasuk tanah dan
bangunan yang dibebani Hak Tanggungan

Keadaan demikian cukup sulit karena kriteria, Negara termasuk ke dalam daftar
piutang yang didahulukan pemenuhan pembayarannya. Di sisi lain, pemegang
Hak Tanggungan adalah pemegang Hak preference yang sangat kuat atas HGB
No. 123456 tersebut.
Mana yang lebih diutamakan? Negara atau pemegang Hak Tanggungan?
Jika memang terjadi kepailitan atas PT XYZ tersebut, Bank ABC menjadi kreditur
separatis yang tetap dapat melaksanakan haknya setelah masa tunggu selama
90 hari dan setelah insolvensi. Bank ABC sebagai kreditur separatis tetap punya
hak istimewa terhadap HGB No. 123456 yang telah dibebani oleh Hak
Tanggungan tersebut dengan dijamin oleh Pasal 21 UUHT.
Adapun pemenuhan pelunasan kewajiban pajak kepada Negara menduduki
peringkat teratas untuk aset-aset PT XYZ lainnya.
Kantor Pajak tidak berhak memblokir karena pada saat terjadi kepailitan, seluruh
aset PT XYZ berada dalam kondisi sita umum.
Setelah Bank ABC mendapatkan pemenuhan atas piutangnya, barulah sisanya
dibuatkan urutan pemenuhan kewajiban kepada para kreditur konkuren lainnya
secara proporsional.
Dalam hal sisa aset yang tidak dibebani Hak Tanggungan ternyata tidak
mencukupi, tagihan pajak tidak dapat dipenuhi seluruhnya karena harus dibagi
dengan karyawan dari kurator.

HAPUSNYA HAK TANGGUNGAN


Hak Tanggungan yang membebani tanah dan/atau bangunan dapat hapus
sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUHT, apabila terjadi hal-hal sebagai
berikut:
❖ Utang yang dijamin sudah lunas
Dalam hal utang yang sudah lunas, debitur dan/atau pemilik jaminan berhak
meminta seluruh dokumen jaminan yang disimpan oleh kreditur adar dapat
dilakukan pencoretan (roya) terhadap Hak Tanggungan yang berkenaan.
Pencoretan (roya) atas Hak Tanggungan yang berkenaan dapat dilakukan
sendiri oleh pemilik jaminan atau melalui kuasanya (terkadang dikuasakan
kepada Notaris) dengan melampirkan:
 Sertifikat asli tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
 Sertifikat asli Hak Tanggungan.
 Surat permohonan asli penghapusan pendaftaran Hak Tanggungan (surat
roya) dari kreditor berkenaan, dengan melampirkan salinan berkas
(fotokopi) sebagai bukti lunas (surat lunas).
 Salinan berkas (fotokopi) KTP pemilik tanah.
 Setelah didaftarkan pencoretan pendaftaran Hak Tanggungan pada kantor
pertanahan setempat, sertifikat asli Hak Tanggungan serta buku tanah Hak
Tanggungan akan ditarik. Selanjutnya, pada sertifikat tanah asli yang
berkenaan akan dilakukan pencoretan serta disebutkan dasar pencoretan
tersebut.
❖Hak Tanggungan tersebut dilepaskan secara sukarela oleh pemegangnya.
❖Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penghapusan penetapan
peringkat yang telah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri.
❖Hapusnya hak atas tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan.
Roya Parsial
“Roya parsial merupakan kegiatan penghapusan sebagai status Hak Tanggungan
yang tercatat dalam Buku Tanah, Sertifikat Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak
atas Tanah, sebagai akibat dari pelunasan utang debitur yang dilakukan secara
bertahap.
Namun demikian, pelunasan bertahap tidak serta merta dapat diikuti dengan
Roya Parsial, kecuali jika telah diperjanjikan sebelumnya antara debitur dan
Bank. Hal ini karena salah satu sifat dasar Hak Tanggungan adalah tidak dapat
dibagi-bagi kecuali diperjanjikan sebelumnya.
Jadi, jika memang ada rencana akan dilakukan Roya Parsial, maka pada saat
penandatanganan Perjanjian Kredit dan Akta Pemberian Hak Tanggungan, hal
tersebut harus disepakati di awal”.
Misalnya :
A menerima fasilitas kredit dari bank sebesar Rp 1 miliar. Sebagai jaminan atas
pelunasan fasilitas kredit tersebut, A menjaminkan 3 bidang tanah yang terletak
di Depok, Kecamatan Lenteng Agung.
Oleh karena ketiga sertifikat tersebut terletak dalam 1 kecamatan, maka atas
sertifikat tersebut dibebani oleh 1 Hak Tanggungan.
Pembebanan Hak Tanggungan atas ketiga sertifikat tersebut diberikan
berdasarkan nilai tanah tersebut. Misalnya pembagian Hak Tanggungan
terhadap ketiga bidang tanah tersebut adalah sebagai berikut:
▪ Pertama, untuk tanah seluas 300 m2 dibebani Hak Tanggungan sebesar
Rp 250 juta
▪ Kedua, untuk tanah seluas 400 m2 dibebani Hak Tanggungan sebesar
Rp 300 juta
▪ Ketiga, untuk tanah seluas 750 m2 dibebani Hak Tanggungan sebesar
Rp 900 juta

▪ Jika dalam Hak Tanggungan diperjanjikan bahwa A diperbolehkan


“menebus” sertifikat tersebut untuk tiap pembayaran dengan nilai yang
mencukupi Hak Tanggungan tersebut, dia bisa menebus sertifikat
tanahnya secara bertahap.
Contohnya :
Dengan pembayaran kredit sebesar Rp 300 juta, maka A boleh
“menebus” sertifikat untuk tanah yang seluas 300 m2. Atas sertifikat
tersebut, bank akan menerbitkan roya parsial sehingga selanjutnya akan
dilakukan pencoretan atau penghapusan Hak Tanggungan khusus
terhadap sertifikat berkenaan. Begitu seterusnya, sampai sertifikat
tersebut dapat ditebus seluruhnya oleh A.

Kantor Pajak tidak berhak memblokir wajib pajak yang menjadi pailit saat seluruh
aset wajib pajak berada dalam kondisi sita umum. Tagihan pajak bisa tidak
dipenuhi seluruhnya jika sisa aset yang tidak dibebani Hak Tanggungan tidak
mencukupi.
Dalam praktik di lapangan, terkadang roya parsial sulit dilakukan karena kantor
pertanahan tertentu tidak mau menerima pencoretan Hak Tanggungan secara
parsial tersebut.
Oleh karena itu, untuk memastikan dapat tidaknya dilakukan roya parsial di suatu
wilayah kantor pertanahan tertentu, ada baiknya hal ini dikomunikasikan terlebih
dahulu dengan kantor pertanahan setempat, khususnya di bagian Hak
Tanggungan dna Pendaftaran Tanah.

APARTEMEN KONDOMINIUM/ KONDOTEL SEBAGAI JAMINAN UTANG


BERDASARKAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG RUMAH SUSUN

Harga tanah yang semakin mahal menyebabkan pembangunan hunian secara


vertikal (yang secara awam disebut apartemen, kondominium, maupun kondotel)
semakin marak.
Pada konsumen, terutama keluarga muda yang ingin tinggal di perkotaan,
dengan pertimbangan jarak yang lebih dekat ke kantor dan memperoleh quality
time dengan keluarga, lebih banyak yang memilih tinggal di apartemen
dibandingkan tinggal di lokasi yang sangat jauh dari tempat kerja sehari-hari.
Hal ini menyebabkan maraknya pertumbuhan dan perkembangan pembangunan
apartemen, mulai dari tipe sederhana seperti rumah susun hunian milik
(rusunami) untuk menjangkau kalangan menengah ke bawah sampai dengan
apartemen yang super mewah dengan fasilitas hotel bintang lima.
Pesatnya pertumbuhan pembangunan apartemen tersebut menyebabkan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun dianggap sudah
tidak dapat mengakomodasi kepentingan penegakan hukum dilapangan,
perkembangan hukum, kebutuhan masyarakat dan kebutuhan setiap orang,
serta partisipasi masyarakat.
Oleh karena itu, saat ini sedang digodok RUU rumah susun yang baru dan
diharapkan dapat lebih mengantisipasi pengaturan dan penegakan hukum di
masyarakat.

Apa yang Dibahas di dalam RUU Tersebut?


Sebagaimana haknya UU Rumah Susun No. 20/2011, di dalam RUU ini dibahas
kriteria rumah susun.
Namun, lebih terperinci lagi mengenai jenis rumah susun dan yang termasuk
dalam rumah susun adalah:
1. Rumah Susun Umum adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk
memenuhi kebutuhan bagi masyarakat berpenghasilan menengah bawah
dan berpenghasilan rendah yang pembangunannya mendapatkan
kemudahan serta bantuan pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

2. Rumah Susun Khusus adalah rumah susun yang diselenggarakan oleh Negara
atau swasta untuk memenuhi kebutuhan sosial.

3. Rumah susun Negara adalah rumah susun yang dimiliki serta dikelola Negara
dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian.

4. Rumah susun Dinas adalah rumah susun Negara yang dimiliki Negara dan
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian untuk menunjang pelaksanaan
tugas pejabat dan/atau pegawai negeri beserta keluarganya.

5. Rumah Susun Komersial adalah rumah susun yang diperuntukkan bagi


masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi dan dapat diperjualbelikan
sesuai dengan mekanisme pasar.
Pembangunan rumah susun umum, rumah susun khusus, rumah susun
Negara, dan rumah susun dinas merupakan tanggung jawab pemerintah
dan/atau pemerintah daerah. Lalu, bagaimana dengan pembangunan rumah
susun komersial? Pembangunan rumah susun komersial, sebagaimana
disebut pada Pasal 12 ayat (1), dapat dilaksanakan oleh setiap orang. Dalam
pasal tersebut, pelaku pembangunan rumah susun komersial wajib
menyediakan sarusun (sarana rumah susun) umum sekurang-kurangnya 20%
dari jumlah sarusun komersial yang dibangun. Kewajiban sebagimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan di luar lokasi kawasan rumah susun
komersial pada kabupaten/kota yang sama.

Dimana Pembangunan Rumah Susun Bisa Dilakukan?


Pembangunan rumah susun dilakukan di atas tanah:
• Hak Milik.
• Hak Guna Bangunan.
• Hak Pakai.
• Hak Pengelolaan.
• Hak Sewa.

Pembangunan rumah susun di atas tanah dapat dilakukan melalui peralihan hak
dan/tau konsolidasi tanah.
Dalam hal pembangunan rumah susun dilakukan di atas tanah yang dikuasai
dengan Hak Pengelolaan sehingga dapat memberikan status yang kuat terhadap
Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan tersebut sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum menjual sarusun
yang bersangkutan.

Bagaimana Ketentuan Pembangunan Rumah Susun Yang Dilakukan di Atas


Tanah Hak Sewa?
Pembangunan rumah susun di atas tanah Hak Sewa harus dilakukan dengan
perjanjian sewa secara tertulis yang dibuat dengan akta autentik di hadapan
pejabat yang berwenang.
Perjanjian tertulis itu harus memenuhi persyaratan:
• Hak dan kewajiban penyewa dan pemilik tanah.
• Jangka waktu sewa paling singkat 1 (satu) kali umur teknis bangunan rumah
susun.
• Akibat-akibat hukum dari perjanjian sewa terhadap rumah susun.

Perjanjian tertulis tersebut lalu didaftarkan kepada kantor Badan Pertanahan


Nasional sebagai dasar penerbitan sertifikat sewa tanah untuk bangunan rumah
susun. Adapun tanah Hak Sewa tersebut meliputi tanah milik Negara atau tanah
milik daerah, dengan ketentuan diatur di dalam peraturan pemerintah.

Rumah Susun sebagai Jaminan Utang


Berbeda dengan zaman orangtua dahulu, yang baru bisa memiliki rumah setelah
dana mereka terkumpul banyak, dengan adanya berbagai terobosan hukum dan
upaya dari pengembang (developer) serta dukungan pemerintah untuk
memberikan subsidi dan berbagai kemudahan bagi masyarakat untuk dapat
membeli rumah dengan cara mencicil, maka anak-anak muda zaman sekarang
sudah bisa memiliki rumah susun di lokasi yang cukup mentereng. T
entu saja pembelian rumah susun tersebut dilakukan dengan cara mencicil
melalui fasilitas Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) yang marak disediakan oleh
berbagai bank, baik swasta maupun asing.
Proses pembeliannya seperti pembelian rumah biasa, tetapi pembayarannya
sebagian dibiayai oleh bank. Atau, dengan cara mencicil kepada developer
secara langsung.
Dengan demikian, apartemen yang baru dibeli tersbut dijadikan jaminan atas
pelunasan kembali utang konsumen pembelian apartemen yang dibiayai oleh
bank tersebut.

Apakah Rumah Susun Dapat Dijadikan Jaminan Utang?


Sebagaimana tercantum dalam UU No. 20/2011, atas suatu unit satuan rumah
susun yang dibangun beserta tanahnya bisa dijadikan jaminan utang dan
dibebani Hak Tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Namun, tidak semua rusun tersebut dapat dijadikan jaminan utang,
tetapi hanyalah rumah susun yang dibangun di atas tanah Hak Guna Bangunan
atau Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan, dapat dibebani Hak Tanggungan
setelah mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan tanpa dipungut
biaya.
Satu hal yang menarik di sini adalah dalam rancangan UU tentang rumah susun
tersebut dinyatakan bahwa bangunan rumah susun yang berdiri di atas tanah
berdasarkan perjanjian sewa dan mendapatkan sertifikat Hak Sewa Tanah untuk
bangunan bisa dijadikan jaminan utang.

Hal yang menjadi masalah disini:


Dalam Pasal 16 RUU Rumah Susun tadi dinyatakan bahwa rumah susun yang
didirikan di atas tanah Hak Sewa Milik Negara atau Hak Sewa Milik Pemerintah
Daerah akan dapat diterbitkan Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
Tapi, yang menjadi pertanyaan:
Apakah bentuk Jaminan Utang yang diperbolehkan dengan kondisi demikian?
Hal tersebut merupakan hal baru yang belum pernah diatur sebelumnya.
Walaupun yang dimaksud adalah Hak Sewa Atas Tanah Milik Negara dan atau
Hak Sewa Atas Tanah Milik Pemerintah Daerah, tanah-tanah tersebut harus
ditunjuk secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Undang-Undang Pokok
Agraria Nomor 5 Tahun 1960, yang dimaksud dengan Hak Sewa atas suatu tanah
hak, termasuk dalam jenis Hak Sekunder.
(Lihat pembahasan tentang Jenis-Jenis Hak Atas Tanah).

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan beserta


benda-benda lain yang berada di atasnya, Hak Sewa tidak termasuk dalam salah
satu hak yang dapat dibebani Hak Tanggungan.
Dalam hal sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun di atas tanah. Hak Guna
Bangunan dapat diterbitkan, maka yang dibebani Hak Tanggungan.
Dalam hal sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun di atas tanah Hak Guna
Bangunan dapat diterbitkan, maka yang dibebani Hak Tanggungan.
Dalam hal sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun di atas tanah Hak Guna
Bangunan dapat diterbitkan, maka yang dibebani Hak Tanggungan adalah hak
atas tanah bersama (HGB) tersebut.
Oleh karena itu, Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang didirikan di atas tanah
Hak Sewa milik Negara atau Hak Sewa atas tanah milik Pemerintah Daerah,
otomatis tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan walaupun sertifikat hak
milik atas satuan rumah susun tersebut sudah terbit.
Dalam hal demikian bentuk jaminan yang dapat dibebankan atas rumah susun
yang didirikan di atas tanah Hak Sewa milik Negera atau Hak Sewa atas tanah
Pemerintah Daerah adalah Jaminan Fidusia atas bangunan (lihat pembahasan
tentang Fidusia atas Bangunan).
Meskipun RUU ini tinggal menunggu untuk disahkan, pembahasan mengenai
RUU ini cukup alot.
Namun, akhirnya antara pemerintah dan DPR sudah ada kesepakatan,
khususnya mengenai pembentukan Badan Pelaksanaan Rumah Susun sehingga
pasal tersebut tidak akan dimasukkan ke dalam RUU Rusun.
Alasannya, urusan rumah susun bukanlah suatu pekerjaan yang permanen dan
kontinuy bagi pemerintah.
Kemudian, undang-undang terkait pengaturan rumah susun sudah tercantum
dan termuat dalam UU Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP).
Namun demikian, kita tunggu saja kapan RUU Rusun ini disahkan. Semoga saja
dalam praktiknya nanti bisa memberi kemudahan dan manfaat bagi pemilik
sarusun dan pengelolanya.

RINGKASAN

Sifat atau ciri khas Hak Tanggungan:


▪ Droit de suite dan droit de preference.
▪ Tidak dapat dibagi-bagi kecuali telah diperjanjikan sebelumnya.
▪ Dapat digunakan untuk menjamin utang yang sudah ada ataupun yang akan
ada.
▪ Memiliki kekuatan eksekutorial.
▪ Memiliki asas spesialitas dan publisitas.

Rambu-rambu yang harus diperhatikan oleh para praktisi hukum atau praktisi
perbankan:
 Jangka waktu Akta Pemberian Hak Tanggungan terbatas.
 Hak Tanggungan hanya dapat diberikan pada tanah dengan jangka waktu yang
masih berlangsung.
 Jika jangka hak atas tanah akan berakhir dalam waktu dekat, sebaiknya
diperpanjang terlebih dahulu sebelum dibebani Hak Tanggungan.
 Penjualan rumah atau tanah yang sedang dibebani Hak Tanggungan harus
mendapatkan persetujuan dari Bank.
 Jika pemilik rumah atau tanah yedang dibebani Hak Tanggungan harus
mendapatkan persetujuan dari Bank.
 Jika pemilik rumah atau tanah yang dibebani Hak Tanggungan meninggal
dunia, sedangkan utangnya belum dilunasi, utang harus dilanjutkan oleh para
ahli warisnya.

Proses Pembebanan Hak Tanggungan:


o Ketahui dahulu jenis hak atas tanah yang akan dibebani Hak Tanggungan.
Apakah tanah tersebut berstatus hak atas tanah murni berasal dari tanah
Negara atau hak atas tanah yang dibebankan di atas tanah hak lainnya?
o Pastikan, apakah jangka waktu hak atas tanah sudah berakhir ataukah akan
segera berakhir?
o Orang yang namanya tercantum pada sertifikat:
▪ Apakah masih hidup?
▪ Apakah pasangannya (suami/isteri) masih hidup?
▪ Apakah dia telah bercerai dari suami/isterinya? Jika “ya”, apakah dia sudah
menikah kembali/belum?
o Pengecekan keabsahan sertifikat pada kantor pertanahan setempat.

Eksekusi Hak Tanggungan:


1. Secara sukarela melalui penjualan di bawah tangan.
2. Penjualan melalui lelang.

Anda mungkin juga menyukai