Karena ini proyek besar, butuh suntikan dana untuk pengerjaannya. Untuk
menggaji banyak programmer andal.”
Bank itu sebenarnya butuh kepastian untuk mengembalikan pinjaman yang
diberikan kepada debitur atau nasabahnya.
Sehingga Bank selalu menghendaki setiap kredit dengan jaminan.
Kecuali Kredit Tanpa Agunan (KTA) yang semarak ditawarkan oleh banyak bank,
baik bank asing maupun bank dalam negeri, atau Kredit Usaha Rakyat (KUR),
Kredit Usaha Kecil, dan sejenisnya. Tapi, selain bunganya lebih tinggi dari kredit
regular, biasanya KTA juga diberikan untuk jumlah terbatas, maksimum 100-200
juta. Kebanyakan juga digunakan untuk kredit yang bersifat konsumtif atau
multiguna. Sedangkan KUR atau KUK dan sejenisnya, memang diberikan untuk
pengembangan ekonomi usaha kecil, jadi nggak perlu pakai jaminan.
Pada dasarnya jaminan dapat berupa benda apa saja sepanjang ia berupa salah
satu bentuk aset tertentu.
“Jadi seluruh harta benda orang yang berutang merupakan jaminan atas
pelunasan utang ke Bank tersebut, walaupun tidak ada jaminan yang secara
khusus ditetapkan dalam perjanjian penjaminannya.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPer.
Tapi, kalau kita berbicara mengenai hukum jaminan atau perikatan atas suatu
jaminan, pada dasarnya jaminan tersebut terbagi dalam dua kategori, yaitu:
1. Jaminan pereorangan atau dalam istilah hukum disebut persoonlijke
zekerheid
Jaminan perseorangan menimbulkan hak-hak perseorangan sehingga
terdapat hubungan hukum secara khusus antara krediur dan orang yang
menjamin pelunasan utang debitur (penjamin).
Jadi, misalkan A pinjaman ke bank sebasar Rp. 100 juta dan B yang bertindak
selaku penjaminnya.
Artinya B memberikan jaminan jika A tidak bisa bayar dan B yang akan
melunasi semua utang A. Dari sinilah timbul istilah:
• Jaminan perseorangan/borgtocht/personal guarantee (dalam hal
penjaminnya adalah perseorangan).
• Jaminan perusahaan/company guarantee (dalam hal penjaminnya adalah
perusahaan).
• Bank garansi (dalam hal penjaminnya adalah bank).
2. Jaminan kebendaan atau dalam istilah hukum disebut zakelijke zekerheid
Jaminan ini merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu berupa bagian
dari harta kekayaan debitur atau penjamin, sehingga memberikan
kedudukan preference (diutamakan) kepada kreditur daripada kreditur
lainnya atas benda tersebut.
Jadi jika debitur wanprestasi (kredit macet), ada benda yang secara khusus
untuk dijual kepada kreditur agar dapat melunasi utang debitur tersebut.
Demikian juga ketika terjadi kepailitan, benda tersebut yang akan dijual
untuk memenuhi utang debitur. Untuk menetapkan suatu bentuk pengikatan
atas jaminan tertentu, bergantung pada jenis bendanya, jaminan kebendaan
terdiri dari:
a. Benda tetap (tidak bergerak).
Contohnya: tanah dan benda-benda lainnya yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut, seperti bangunan, mesin-mesin, atau
tanaman yang ditanam di atas tanah dan tidak mudah dipindah-
pindahkan.
Jenis benda tersebut akan dibebani dengan Hak Tanggungan sesuai
dengan UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan beserta benda-
benda lain yang terdapat di atasnya.
b. Benda bergerak.
Contohnya: mobil, motor, mesin-mesin, piutang dagang (tagihan atas hasil
usaha pekerjaan), saham-saham, atau bahkan hak-hak atas kenikmatan
suatu barang tertentu, seperti hak sewa, tagihan (piutang) terhadap
proyek-proyek yang sedang dikerjakan, dan sebagainya. Benda-benda
tersebut biasanya dibebani dengan tiga jenis jaminan yaitu:
• Fidusia berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999
• Gadai atas saham-saham
• Cessie atas tagihan
c. Benda bergerak tetapi ukuran bersihnya melebihi 20 m3, seperti kapal laut,
kapal motor, tongkang, dan kapal sejenis dengan berat lebih dari 20 m3.
Benda tersebut akan dibebani hipotek sesuai BW.
d. Benda yang didirikan di atas alas hak milik pihak lain, seperti bangunan
yang didirikan di atas tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan, yang
pemilik tanah dan pemilik bangunan merupakan subjek yang berbeda.
Sebenarnya, jika tanah yang digunakan untuk mendirikan bangunan
tersebut merupakan tanah berstatus dapat dibebani Hak Tanggungan,
keduanya dapat dibebani sekaligus dengan Hak Tanggungan.
Namun, jika tanah tersebut berstatus Tanah Hak Pakai yang tidak dapat
dibebani Hak Tanggungan atau bisa juga pemilik tanah menolak untuk
memberikan jaminan berupa Hak Tanggungan atas tanahnya, bangunan
tersebut dapat dibebani jaminan fidusia (atas bangunan).
e. Hak Jaminan atas resi gudang.
Bank akan minta jaminan yang paling mantap bagi mereka, mudah
dieksekusi atau “diambil alih” oleh bank, seandainya peminjam tidak bisa
mengembalikan pinjaman.
Berarti tidak semua benda bisa dibebani Hak Tanggungan, fidusia, atau
gadai.
C ada rencana ambil kredit untuk beli ruko buat rencana tempat praktik
dokter. Kalua akan mengambil kredit di Bank, biasanya Bank akan minta
jaminan tertentu yang paling mantap bagi mereka. Artinya, jaminan
tersebut harus mudah untuk dieksekusi atau dalam bahasa awam “diambil
alih” oleh Bank, seandainya tidak bisa mengembalikan pinjaman dari Bank
tersebut.”
Bank akan meminta jaminan yang mudah dieksekusi atau diambil alih oleh
bank
BANK KONVENSIONAL
Dalam praktik perbankan konvensional yang berlaku saat ini, terdapat bermacam
istilah perjanjian kredit yang disalurkan dan/atau diberikan kepada debitur atau
nasabah bank. Namun, pada intinya, di antara bermacam istilah perjanjian kredit
tersebut, semuanya dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori besar, yaitu:
-Pinjaman Rekening Koran
-Pinjaman/Revolving Loan (R/L)/Kredit Modal Kerja Transaksional (berupa Post
Date Cheque atau pembukuan cek dengan tanggal jatuh tempo berdasarkan
tanggal angsuran)
-Fixed Loan (Pinjaman Tetap), yang dijabarkan dalam berbagai jenis fasilitas
kredit lainnya, yaitu:
▪ Kredit Investasi (KI)
▪ Kredit Installment
▪ Pinjaman Jangka Panjang (PJP)
▪ Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
▪ Kredit Angsuran Berjangka
▪ Kredit Konsumsi, yang terdiri dari:
• Kredit Konsumsi Lainnya
• Kredit Multiguna
• Kredit Kendaraan Bermotor (Car Loan)
• Kredit Tanpa Agunan (KTA)
-Bank Garansi
-Letter of Credit (L/C) dan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN)
Media penarikan menggunakan cek atau bilyet giro. Jika debitur tersebut sudah
tidak membutuhkan dana yang dipinjamnya atau sudah mendapatkan
pembayaran dari pihak ketiga, dia dapat menyetorkan kembali dana tersebut ke
rekening giro kreditnya sehingga total plafon tetap terisi dan sewaktu-waktu
dapat digunakan. Sepanjang tidak melebihi batas plafond yang disediakan oleh
Bank. Pengenaan bunga dari Bank hanyalah sebesar dana yang digunakan dan
untuk jangka waktu selama penggunaan sejumlah uang tersebut. Begitu
seterusnya, plafond kredit dapat ditarik berulang-ulang oleh debitur selama
jangka waktu kredit yang telah ditetapkan.
Berbeda dengan fasilitas kredit dalam bentuk Pinjaman Rekening Koran, pada
pinjaman ini debitur harus melapor terlebih dahulu kepada bank jika akan
menarik dananya dan setiap kali akan melakukan penarikan menggunakan surat
promes atau aksep—surat sanggup bayar, minimal dalam jangka waktu 1 hari
sebelumnya.
Setelah menerima laporan dari debitur (konfirmasi) bahwa dia akan
menggunakan dana dalam jumlah tertentu, bank akan menurunkan kredit sesuai
dengan permohonan yang disebutkan dalam surat promes (surat aksep)
tersebut.
Jangka waktu pemakaian surat promes bermacam-macam, tetapi biasanya
selama 3 (tiga) bulan, dana yang telah diturunkan tersebut harus dikembalikan
lagi kepada bank. Jika debitur masih ingin memperpanjang jangka waktu
penggunaan dana tersebut, debitur harus melapor kepada Bank bahwa surat
promesnya diperpanjang.
Pembayaran bunga atas fasilitas kredit dalam bentuk Revolving Loan dilakukan
pada tanggal-tangal tertentu, misalnya setiap tanggal 25, tanggal 1, atau
terkadang ditetapkan pada tanggal penandatanganan akta pemberian fasilitas
kredit yang berkenaan.
Dalam hal debitur terlambat membayar kewajiban pembayaran bunga tersebut
akan dikenai penalti atau denda keterlambatan sebesar 4%-5% per bulan dari
jumlah bunga yang harus dibayar pada saat itu.
Fasilitas kredit dalam bentuk Revolving Loan tersebut biasanya diberikan dalam
jangka waktu 1 tahun atau lebih.
Namun, bisa juga sesuai dengan disposisi Bank, misalkan 6 bulan saja. Atas
jangka waktu tersebut, umumnya debitur dapat melakukan pelunasan dipercepat
sebelum jangka waktu yang telah ditetapkan.
Namun, ada beberapa bank yang mengenakan penalti atas pelunasan
dipercepat tersebut sebesar 1% dari plafon kredit yang diberikan.
Fasilitas kredit dalam bentuk Revolving Loan, pada bank tertentu biasanya
menggunakan jaminan berupa PDC (Post Date Cheque). Artinya, surat promes
baru boleh dicairkan atau diterbitkan oleh debitur apabila sebelumnya telah
menyerahkan jaminan kepada bank berupa Bank Garansi senilai minimal 120%
dari surat aksep (promes) yang dibuka.
Jika surat aksep (promes) tersebut disetujui oleh pihak Bank, dana tersebut akan
diturunkan oleh Bank ke dalam rekening debitur yang ada pada bank tersebut
dalam rekening koran, dengan menggunakan cek atau bilyet seperti biasa.
Berbeda dengan fasilitas kredit dalam bentuk Rekening Koran maupun Revolving
Loan ini dicairkan sekaligus sesuai dengan plafon kredit dan tidak dapat ditarik
secara berulang.
Perhitungan bunga didasarkan langsung pada total jumlah fasilitas kredit yang
telah dicairkan oleh bank ke rekening debitur.
Selanjutnya, debitur harus mengangsur pengembalian utang pokok dan
bunganya selama jangka waktu yang telah ditentukan, pada tanggal-tanggal
yang telah ditetapkan. Tanggal angsuran biasanya sama dengan tanggal
pencairan fasilitas kredit tersebut. Namun, oleh Bank dapat juga ditetapkan
pada tanggal tertentu selain tanggal pencairan tersebut.
Sama halnya dengan bentuk rekening Koran dan Revolving Loan, apabila
terlambat membayar angsuran pokok dan bunga pada tanggal-tanggal tersebut,
debitur akan dikenai penalti sebesar 4%-5% per bulan atau 60% per tahun dari
jumlah pokok dan bunga yang harus dibayar pada saat itu.
Selanjutnya, keterlambatan pembayaran penalti tersebut biasanya dihitung
harian, yang dihitung pada hari keterlambatan pada setiap hari keterlambatan
hingga hari dilakukannya pembayaran.
Penting untuk diketahui, ada dua macam penghitungan bunga yang digunakan
oleh bank, yaitu: sistem flat (prorata) dan sistem anuitas (efektif) yang bersifat
mengambang.
Jika yang digunakan adalah sistem bunga flat (tetap), berapapun suku bunga
yang berlaku di perbankan (naik atau turun), bunga yang dikenakan terhadap
fasilitas kredit yang diterima oleh debitur akan selalu tetap, sesuai dengan angka
yang dipatok pada saat penandatanganan akta perjanjian kredit.
Pada saat sisa utang pokok A hanya tinggal Rp 100 juta, cicilan yang di bayarkan
tetap dan sama dengan jumlah cicilan pada saat utang pokoknya masih sebesar
Rp 1 miliar. Kelihatannya bunga yang dibayarkan A memang rendah. Namun, jika
dihitung secara efektif dengan menggunakan metode anuitas, sebenarnya bunga
efektif yang harus dibayarkan A sekitar 21% per tahun.
Skrenario yang berbeda akan dialami A, jika atas fasilitas kredit tersebut A
dikenai bunga sebesar 15% per tahun efektif.
Untuk bunga yang bersifat efektif atau anuitet tersebut, bunga akan dihitung dari
utang pokok setelah dikurangi angsuran bulanan. Dengan demikian, besarnya
bunga setiap bulan akan menurun dan cicilan utang pokok akan meningkat.
Untuk perhitungan bunga efektif, ada juga pengecualian terhadap sistem
penghitungan bunga pada KPR/Car Loan, yakni (cicilan pokok + bunga) sejak
awal hingga akhir besarnya Bank sama dan menggunakan perhitungan khusus.
Bank Garansi
Fasilitas Bank Garansi punya kareakteristik yang unik dan berbeda dengan tiga
jenis fasilitas lainnya yang telah dibahas sebelumnya.
Fasilitas kredit dalam bentuk Bank Garansi ini sebenarnya termasuk salah satu
bentuk Jaminan Perserorangan, yakni bank memberikan jaminan kepada pihak
ketiga bahwa debitur akan dapat melaksanakan kewajiban.
Fasilitas Bank Garansi ini belum dianggap sebagai fasilitas kredit selama debitur
belum melakukan wanprestasi sehingga bank harus mencairkan garansi yang
telah diberikannya. Bank Garansi biasanya hanyalah merupakan fasilitas yang
menyatakan bahwa debitur punya sejumlah uang tertentu pada bank tersebut
untuk menjamin pelaksanaan pengerjaan suatu proyek (performance bond) atau
jaminan penawaran (bi bond).
Ada lima kriteria yang ditetapkan oleh bank dan harus dipenuhi oleh calon
debiturnya, yaitu:
• Character (Watak)
Seseorang yang punya uang banyak dan kemampuan untuk mengembalikan
utang-utangnya, tetapi tidak memliki watak yang baik, tidak dapat dikatakan
sebagai calon debitur yang baik. Tipe debitur seperti ini biasanya suka
ngemplang. Tidak berlaku bahwa semua orang yang punya kemampuan
membayar, juga punya itikad baik untuk mengembalikan seluruh utangnya.
Oleh karena itu, biasanya Bank melakukan pengecekan debitur melalui Sistem
Informasi Debitur (SID) yang disediakan oleh Bank Indonesia.
• Capital (Modal)
Bank juga melakukan penilaian terhadap kekuatan keuangan calon debitur.
Untuk itu biasanya bank meminta debitur untuk membuat laporan mengenai
aktiva dan pasiva calon debitur selama tiga bulan terakhir.
• Collateral (Jaminan)
Dalam menerima suatu jaminan, kredit, ada pertimbangan yang dilakukan
oleh Bank sebagai kriteria jaminan tersebut, yaitu:
▪ Marketable
Artinya, pada saat dieksekusi, jaminan tersebut mudah dijual atau
diuangkan untuk melunasi seluruh utang debitur.
▪ Secured
Artinya, benda jaminan kredit dapat diikat secara yuridis formal, sesuai
dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan. Jika kemudian hari
terjadi wanprestasi, Bank punya kekuatan secara yuridis formal, sesuai
dengan ketetuan hukum dan perundang-undangan. Jika kemudian hari
terjadi wanprestasi, bank punya kekuatan secara yuridis untuk melakukan
tindakan eksekusi.
BANK SYARIAH
Dalam kegiatan perbankan syariah, khususnya tentang konsep penyaluran dana
(funding) dan konsep jasa (fee based income), penyaluran dana dari bank
dilakukan melalui konsep yang berbeda dengan perbankan konvensional
*Istishna, yaitu jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakatai antara pihak pemesan dari
pihak penjual.
Biasanya, istishna digunakan untuk membiayai manufaktur, seperti
pemesanan mobil pada dealer (distributor), dan pemesanan pembelian
rumah pada developer (pengembang).
*Salam, yaitu jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli dengan
pembayaran dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang. Biasanya,
salam digunakan dalam jual beli dengan objek di bidang agrobisnis, seperti
padi, gandum, tebu, dan semacamnya.
1. Akad/Perjanjian Murabahah
Bank Syariah Nasabah
Pembayaran
Produsen/Dealer
Fee Based Service (Service atau Ujrah)
Fasilitas ini merupakan bentuk pembiayaan multijasa yang berlandaskan pada
imbal jasa/fee (ujrah) dengan menggunakan akad ijarah atau akad kafalah, atau
gabungan dari keduanya. Bentuk pembiayaan multijasa tersebut antara lain:
▪ Hawalah, merupakan konsep yangdigunakan untuk pelaksanaan take over
pembiayaan (factoring).
▪ Rahn , (gadai), yaitu penguasaan barang milik peminjam sebagai jaminan oleh
pemberi pinjaman.
▪ Letter of Credit (L/C) impor syariah, merupakan surat pernyataan yang
diterbitkan oleh bank syariah (issuing bank) yang menyatakan kesanggupan
importir (debitur atau nasabah) untuk membayar barang yang diimpornya dari
eksportir. L/C Impor ini diterbitkan bank syariah atas permintaan importir
dengan pemenuhan syarat tertentu (Uniform Customs and Practice for
Documentary Credits atau UCP).
▪ Bank Garasi Syariah dengan Prinsip Kafalah, yaitu jaminan atau garansi yang
diberikan oleh Bank Syariah kepada debiturnya asal dapat memenuhi
kewajiban kepada pihak ketiga sebagai pemberian pinjaman.
Disini, Bank Syariah berperan sebagai penjamin kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban debitur sebagai pihak kedua (peminjam).
Dalam hukum positif, garansi ini dikenal sebagai pemberian jaminan
perseorangan atau perusahaan (personal guarantee atau company guarantee),
performance bond, dan bank garansi.
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa untuk menerima suatu jaminan kredit, bank
akan menilai apakah jaminan kepada bank memenuhi kriteria marketable dan
secured atau tidak.
Pada saat debitur macet, Bank akan mengambil alih jaminan yang diberikan oleh
debitur. Jaminan yang diambil alih tersebut juga tidak boleh dimiliki terlalu lama
oleh Bank yang bersangkutan dan harus dapat segera dijual untuk melunasi
utang debitur kepada Bank.
Hal ini dilakukan karena akan berpengaruh terhadap penilaian kualitas aktiva
bank tersebut.
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 yang mengatur
Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, penilaian terhadap suatu jaminan yang
diambil alih berdasarkan Pasal 36 ayat 1 dikategorikan dalam empat kriteria,
yaitu:
1. Lancar, apabila dimiliki sampai dengan 1 tahun.
2. Kurang lancar, apabila dimiliki lebih dari 1 tahun denan 3 tahun.
3. Diragukan, apabila dimiliki lebih dari 3 tahun sampai 5 tahun.
4. Macet, apabila dimiliki dari 5 tahun.
❖ Transaksi apa saja yang dilarang untuk dilakukan oleh bank dengan pihak
asing?
Transaksi yang dilarang meliputi:
▪ Pembelian kredit dalam rupiah dan/atau valuta asing .
▪ Penempatan dalam rupiah.
▪ Pembelian surat berharga dalam rupiah yang diterbitkan oleh pihak asing.
▪ Tagihan antar kantor dalam rupiah.
▪ Tagihan antar kantor dalam valuta asing sebagai pemberian kredit di luar
negeri.
▪ Penyertaan modal dalam rupiah.
▪ Transfer rupiah ke rekening yang dimiliki pihak asing dan/atau yang dimiliki
secara gabungan (joint account) antara pihak asing bukan pihak asing pada
bank di luar negeri.
▪ Transfer rupiah kepada bukan pihak asing di luar negeri. Larangan ini juga
berlaku terhadap transaksi sejenis berdasarkan prinsip syariah.
❖ Transkasi apa saja yang dibatasi dilakukan oleh bank dengan pihak asing?
• Transaksi derivatif beli valuta asing meliput: transaksi outright forward beli,
transaksi swap beli, transaksi beli call option, transaksi jual put option, dan
transaksi derivatif lain yang dapat dipersamakan dengan transaksi di atas.
Bank hanya dapat melakukan transaksi derivatif valuta asing terhadap
rupiah dengan pihak asing sampai batas nominal USD 1.000.000 (Satu juta
dolar Amerika) atau ekuivalen dari nilai dimaksud baik untuk setiap transkasi
individual maupun posisi (outstanding) masing-masing transaksi derivatif
jual dan transaksi derivatif beli per bank.
Namun, dalam Peraturan BI No. 3/3/PBI/3023 termasuk larangan tehadap
pemberian kredit tidak berlaku terhadap:
▪ Kredit dalam bentuk sindikasi yang memenuhi persyaratan
mengikutsertakan prime bank sebagai lead bank, diberikan untuk
pembiayaan poryek di sektor rill untuk usaha produktif yang berada di
wilayah Indonesia, serta kontribusi bank asing sebagai anggota
sindikasi lebih besar dibandingkan dengan kontribusi bank dalam
negeri.
▪ Kartu kredit.
▪ Kredit konsumsi yang digunakan di dalam negeri. Cerukan intra rupiah
dan valuta asing, yang didukung oleh dokumen bersifat authenticated,
serta menunjukkan konfirmasi akan adanya dana masuk ke rekening
bersangkutan pada hari yang sama dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
▪ Cerukan dalam rupiah dan valuta asing karena pembebanan biaya
administrasi.
▪ Pengambilalihan tagihan dari badan yang ditunjuk pemerintah untuk
mengelola aset-aset bank dalam rangka restrukturisasi perbankan
Indonesia oleh pihak asing, yang pembayarannya dijamin oleh prime
bank.
Bentuk-Bentuk Jaminan
Hak Tanggungan
Tanah yang akan dibebani Hak Tanggungan unuk menjamin pelunasan fasilitas
kredit yang di terima,..” Suatu hari, seorang Notaris, yang sedang melaksanakan
proses penandatanganan akad kredit menjelaskan pemberian fasilitas kredit
dari sebuah bank kepada A (50 tahun) salah seorang kliennya.
Hak Tanggungan itu, apa
Apakah kalau rumah saya dibebani dengan Hak Tanggungan yang disampaikan,
saya masih bisa tinggal di rumah tersebut?”
Hak Tanggungan adalah bentuk hak jaminan atas tanah berikut benda lainnya
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut.
“Hak Tanggungan ini memberikan hak preferece kepada kreditur tersebut .
Artinya, kredit ini punya keutamaan untuk mengeksekusi jaminan dimaksud
terlebih dahulu daripada kreditur lainnya, jika suatu saat debitur wanprestasi.
Sebelum adanya UU No. 4 Tahun 1996 dalam KUHPerdata, Hak Tanggungan
disebut Hipotek.
“Misalkan, A menerima fasilitas kredit dari Bank BRI sebesar Rp 100 juta.
Agar bank yakin bahwa A akan melunasi fasilitas kredit yang diterima
tersebut, maka sekarang A harus menyerahkan jaminan berupa rumah
yang didirikan di atas tanah Hak Milik atas nama A sendiri.
“Kemudian, A menandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
tersebut lalu mendaftarkan pada kantor pertanahan setempat.
Kemudian pengesahan tersebut akan tercantum pula di dalam sertifikat
asli A. Selanjutnya, sertifikat asli ini akan disimpan oleh Bank.
“Dengan demikian, apabila suatu saat kredit A macet, Bank tinggal
melakukan penjualan secara lelang atas tanah dan bangunan dumaksud
serta mengambil sebagian pelunasan atas sisa utang A yang masih ada
pada bank. Jika bersisa, sisa uang tersebut akan dikembalikan kepada A
sebagai pemilik sertifikat.
Jadi, misalnya rumah dan tanah A dilelang dan laku dengan harga Rp 500
juta, sedangkan sisa utang A hanya Rp 100 juta, maka bank akan
mengambil sebesar Rp 100 juta saja. Sisanya dikembalikan kepada A.
Dengan dibebaninya rumah dan tanah A oleh jaminan berupa Hak
Tanggungan, walaupun masih bisa menempati rumah dan tanah tersebut,
tetapi bersama-sama dengan bank.
Artinya jika suatu saat A akan: menyewakan tanah tersebut, mengubah
stuktur bangunan yang intinya mengurangi nilai rumah tersebut, atau
bahkan hendak menjual rumah dan tanah tersebut, maka harus mendapat
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari bank.
Selama utang A belum lunas, A harus mengasuransikan rumah dan tanah
tersebut dari bencana kebakaran, bahkan dari bencana gempa bumi,
banjir ataupun longsor, jika diperlukan.”
Dalam UUHT diuraikan bahwa tidak semua hak atas tanah dapat dibebani
dengan Hak Tanggungan, Hak-hak atas tanah yangdapat dibebani dengan Hak
Tanggungan hanyalah hak-hak primer.
Hak atas tanah yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan hanyalah hak atas
tanah yang berstatus:
1. Hak Milik
2. Hak Guna Bangunan
3. Hak Guna Usaha
4. Hak Pakai atas Tanah Negara, menurut ketentuan yang berlaku, hak atas tanah
ini wajib didaftarkan dan dapat dipindahtangankan.
Adapun Hak Pakai yang dimaksud di sini adalah jenis Hak Pakai yang dimiliki
oleh masyarakat umum dan dapat diperjualbelikan.
Biasanya, Hak Pakai yang demikian memiliki jangka waktu tertentu.
Jadi, tentunya berbeda dengan Hak Pakai atas tanah-tanah yang digunakan
oleh instansi pemerintah, kedutaan besar atau konsultan asing, serta lembaga
lembaga asing lainnya.
Hak Pakai yang demikian, jangka waktunya tidak ditetapkan dan dapat berlaku
sepanjang masih diperlukan, serta tidak dapat dipindahtangankan kepada
orang/pihaklain. Oleh karena itu, Hak Pakai tersebut tidak dapat dibebani Hak
Tanggungan.
5. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, yang didirikan di atas tanah dengan suatu
hak tertentu (Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atau di atas tanah Hak
Pengelolaan Lahan (HPL).
Ciri dan Sifat Hak Tanggungan
Sebagai jaminan pemenuhan kewajiban debitur kepada bank, Hak Tanggungan
punya ciri dan sifat khusus.
1. Hak Tanggungan bersifat memberikan Hak Preference (droit de preference)
atau kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu daripada kreditor
lainnya.
Misalnya :
A berutang sebesar Rp 1 miliar kepada Bank ABC. Sebagai jaminan atas
pelunasan fasilitas kredit yang diterimanya, A menjaminkan rumah tinggalnya
kepada Bank ABC, rumahnya dibebani dengan Hak Tanggungan senilai Rp 1,5
milyar. Di samping berutang kepada Bank ABC, A juga punya utang kepada B, C,
dan D, masing-masing sebesar Rp 500 juta.
Suatu saat, kredit A macet dan tidak dapat lagi membayar utang-utangnya
kepada krediturnya (Bank ABC, B, C, dan D). Bank ABC punya kedudukan
diutamakan karena memegang Hak Tanggungan atas rumah A sehingga Bank
ABC disebut sebagai kreditur preference. B, C dan D berkedudukan sebagai
kreditur konkuren. Artinya, mereka punya kedudukan setara. Jadi, pada saat
diwajibkan untuk membayar kembali kewajibannya dan terpaksa menjual rumah
tinggalnya, maka Bank ABC mendapat bagian secara utuh dari rumah tinggal A
tersebut, yaitu sebesar sisa utang A kepada Bank ABC.
Misalnya, setelah dijual, rumah tersebut laku seharga Rp 1,5 miliar, sedangkan
sisa utang A pada Bank ABC tinggal Rp 900 juta, sehingga dari hasil penjualan
Rp 1,5 miliar tersebut diambil sebesar Rp 900 juta. Baru sisanya sebesar Rp 600
juta dibagi secara proporsional kepada B. C, dan D, dan masing-masing tidak
memperoleh pengembalian secara utuh atas piutang-piutang mereka. Itulah
hebatnya Hak Tanggungan.
4. Hak Tanggungan dapat digunakan untuk menjamin utang yang sudah ada atau
yang akan ada.
Jika utang yang sudah ada, tentunya sudah jelas. Tapi untuk utang yang akan
ada itu adalah utang yang pada saat dibuat dan ditandatangani Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) tersebut belum ditetapkan jumlah ataupun
bentuknya. Dalam setiap Akta Pemberian Hak Tanggungan disebutkan bahwa
debitur punya sejumlah uang tertentu yang dituliskan….”Misalnya, pada saat
akta tersebut dibuat, jumlah utang masih sebesar Rp 1 miliar. Kemudian,
karena nilai Hak Tanggungan yang dipasang masih cukup untuk penambahan
plafond kredit, pada saat debitur memperoleh tambahan kredit sebesar Rp
500 juta, A tidak dibebani Hak Tanggungan baru.
Hanya cukup menunjuk kepada jaminan yang sudah pernah diberikan oleh
debitur, dengan nilai utang yang dijaminnya bertambah menjadi Rp 1,5 miliar.
Kemungkinan lain untuk menjamin fasilitas kredit yang akan ada dengan
menggunakan jaminan berupa Bank Garansi.
Masih ingat bukan bahwa Bank Garansi merupakan jaminan bank kepada
debitur dan belum merupakan utang jika debitur belum wanprestasi. Artinya,
pada saat perjanjian fasilitas Bank Garansi ditandatangani belum timbul suatu
utang tertentu. Namun, bisa jadi, pada saat penandatanganan tersebut,
debitur sudah menyerahkan jaminan berupa sebidang tanah yang dapat
dibebani dengan Hak Tanggungan.
Jadi, pada saat Akta Pemberian Hak Tanggungan ditandatangani, utang yang
timbul dari fasilitas Bank Garansi tersebut belum ada. Selanjutnya, pada saat
debitur wanprestasi, maka fasilitas Bank Garansi tersebut berubah menjadi
utang yang wajib dibayar oleh debitur kepada bank. Lalu, jika debitur tidak juga
dapat membayar kewajibannya, bank berhak mengeksekusi jaminan
dimaksud.
Jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja untuk APHT dan 30 (tiga puluh) hari kalender
untuk SKMHT tersebut tidak berlaku bagi kredit-kredit usaha kecil, seperti
Koperasi Unit Desa, Kredit Usaha Tani, atau kredit kepada Koperasi Primer
untuk anggotanya. Sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas
Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk
Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu juncto Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia No 26/24/KEP/Dir tanggal 29 Mei 1993, jangka waktu
berakhirnya SKMHT yang diberi oleh pemilik tanah atau bangunan yang
memperoleh fasilitas kredit dimaksud adalah selama jangka waktu perjanjian
pokoknya.
Selain kredit-kredit usaha kecil tadi, jenis kredit yang tergolong dalam
peraturan tersebut adalah Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang diberikan untuk
pengadaan perumahan, dengan kriteria rumah yang dibiayai:
1. Perumahan inti, rumah sederhana, atau rumah susun dengan luas tanah
maksimum 200 m2 dan luas bangunan tidak lebih dari 70 m2.
2. Pemilikan kavling siap bangun dengan luas tanah 54,72 m2 dan kredit untuk
membiayai bangunanya.
3. Kredit renovasi untuk rumah yang masuk kriteria dalam poin pertama dan
kedua.
Selain itu, yang juga termasuk dalam kriteria tersebut adalah jenis kredit
produktif lain yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
dengan plafon maksimal Rp 50 juta, diantaranya: KRedit Umum Pedesaan yang
dibiayai oleh BRI dan Kredit Kelayakan Usaha (yang disalurkan oleh pemerintah).
Untuk kredit-kredit jenis tersebut, jangka waktu SKMHT berlaku sepanjang masa
kredit dimaksud.
Misalkan, jangka wkatu yang diberikan adalah 10 tahun, maka SKMHT akan
berlaku selama 10 tahun tersebut. Jika debitur macet pada tahun ke-5, bank
tetap akan menindaklanjuti SKMHT dimaksud dengan APHT dan selanjutnya
mendaftarkan APHT tersebut ke kantor pertanahan setempat. Setelah APHT
didaftarkan apabila dinginkan, bank juga dapat melaksanakan eksekusi atas
Hak Tanggungan yang berkenaan.
❖ Setelah ada kepastian bahwa rumah atau tanah tersebut dapat “ditebus”
dengan suatu nilai tertentu, Notaris dengan melibatkan pihak bank akan
melakukan pengecekan, sebaiknya akta yang disiapkan adalah Akta
Pengikatan Jual Beli secara Notariil (disahkan di depan Notaris) dengan
pembayaran yang dilakukan secara bertahap. Pembayaran pertama
hanyalah sejumlah tertentu, sampai dengan rumah atau tanah tersebut
dapat “ditebus” dari bank, sedangkan sisanya dibayarkan setelah
pengecekan sertifikat tersebut selesai dilakukan. Dalam akta tersebut juga
harus dicantumkan klausul yang menyatakan: “Apabila setelah
dilakukannya pengecekan terhadap keabsahan sertifikat yang berkenaan
ternyata sertifikat tersebut bermasalah (diblokir, palsu, atau sebab lainnya)
sehingga tidak tidak dapat dilanjutkan dengan pembuatan Akta Jual Beli
dan Balik Nama, maka pengikatan jual beli tersebut menjadi batal dan para
pihak kembali ke keadaan semila. “Artinya, dalam kondisi demikian, pemilik
tanah (selaku penjual) harus mengembalikan seluruh jumlah uang yang
telah diterimanya.
Yang agak repot, jika pemilik tanah yang meninggal dunia tersebut juga
sekaligus debitur dari bank yang berkenaan karena setiap perjanjian utang
yang dijamin dengan Hak Tanggungan menganut Asas Kepribadian seperti
dimaksud dalam Pasal 1340 KUHPer.
Dengan demikian pada saat debitur yang masih punya utang meninggal dunia,
otomatis perjanjian kreditnya gugur, sedangkan utangnya seketika dapat
ditagih oleh kreditur untuk dilunasi.
Hal ini biasanya dicantumkan dalam Perjanjian Kredit sehingga dalam
praktiknya, ada pula bank yang menuntut persyaratan agar pemberian fasilitas
kredit juga dijamin dengan asuransi jiwa kredit.
Hal ini untuk mengantisipasi suatu kondisi jika debitur meninggal dunia, maka
perjanjian utang-piutang antara debitur dan bank menjadi berakhir, dan
selanjutnya asuransi akan melunasi seluruh utang debitur yang masih tersisa.
Seorang praktisi perbankan yang punya tugas mengikat suatu jaminan kredit
berupa tanah dan bangunan yang akan dibebani oleh Hak Tanggungan; atau
seorang praktisi perbankan yang sedang menilai kelayakan suatu tanah
dan/atau bangunan dapat dibebani Hak Tanggungan, langkah-langkah
apakah yang harus diperhatikan sebelum menyiapkan suatu jaminan berupa
tanah dan bangunan tersebut?
Rambu-rambu hukum yang harus diperhatikan sebelum para praktisi
perbankan menentukan kelayakan suatu tanah dan/atau bangunan dapat
dibebani Hak Tanggungan. Untuk itu, berikut ini adalah kriteria sebagai alat
ukurnya.
Pertama:
Ketahui dulu status kepemilikan hak tanah yang akan dijaminkan.
Ingat, tidak semua hak atas tanah bisa dibebani oleh Hak Tanggungan. Yang
dapat dibebani Hak Tanggungan hanyalah tanah dengan hak primer, seperti
yang sudah pernah diuraikan sebelumnya, yaitu tanah: Hak Milik, Hak Guna
Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai yang dapat
dipindahtangankan (bukan Hak Pakai atas Tanah yang diberikan kepada
instansi tertentu/kedutaan), dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
(HMSRS).
Kedua:
Apakah tanah tersebut merupakan tanah hak murni ataukah berdiri di atas hak
tanah lainnya?
Maksudnya, tidak semua tanah Hak Guna Bangunan, tanah Hak Guna Usaha,
ataupun tanah Hak Pakai dapat diberikan langsung di atas Tanah Negara.
Terkadang, hak tanah tersebut diberikandi atas tanah Hak Pengelolaan Lahan
(HPL), tanah kawasan industry, Kawasan Berikat Nasional (KBN), atau tanah
dengan otoritas tertentu (misalnya Otorita Batam). Untuk itu, pada bagian
penunjuk di halaman kedua dalam sertifikat hak, dapat diketahui apakah
untuk pengalihan dan/atau pembebanan Hak Tanggungan di atas tanah
tersebut memerlukan izin dari pemegang hak yang akan dibawahnya atau
tidak. Atau, dapat ditentukan apakah hak tanah tersebut dapat dijaminkan
atau tidak. Biasanya, hak tanah yang diberikan di atas tanah Hak Pengelolaan
sampai pemegang hak pengelolaan memperoleh izin dan membayar sejumlah
retribusi tertentu yang diwajibkan kepadanya.
Ketiga:
Apakah jangka waktu hak atas tanah yang dimiliki belum berakhir atau akan
segera berakhir?
Hal ini terutama untuk hak atas tanah dengan jangka waktu tertentu, yaitu
untuk tanah HGB, HGU, Hak Pakai dan HMSRS, juga untuk tanah yang didirikan
di atas hak tanah tertentu yang hak atas tanah di bawahnya ternyata memiliki
jangka waktu yang hamper berakhir. Contohnyaadalah Hak Milik atas Satuan
Rumah Susun yang didirikan di atas Hak Guna Bangunan (HGB) yang akan
berakhir jangka waktunya.
Penting untuk diperhatikan oleh para praktisi perbankan bahwa perpanjangan
dan pembaharuan HGB, HGU, dan Hak Pakai sebagaimana diamanatkan
dalam Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 harus dilakukan dalam jangka
waktu minimal 2 (dua) tahun sebelum jangka waktu hak atas tanah tersebut
berakhir. Dengan demikian tentunya akan lebih aman jika perpanjangan
jangka waktu hak atas tanah yang hampir berakhir tersebut dilakukan sebelum
jangka waktunya berakhir. Hal ini juga berlaku bagi pemberian jaminan atas
perjanjian kredit yang berlaku untuk jangka waktu yang cukup lama. Apabila
dalam jangka waktu kredit tersebut ternyata hak atas tanah yang dibebani
dengan Hak Tanggungan berakhir, bank terpaksa harus melakukan monitor
secara ketat, agar jangan sampai hak atas tanahnya berakhir sedangkan
kredit belum lunas. Hal ini akan melemahkan kedudukan bank karena dengan
berakhirnya hak atas tanah tersebut, gugur pulalah Hak Tanggungan yang
membebaninya.
Misalnya diperkirakan serorang debitur akan memperoleh fasilitas kredit untuk
jangka waktu selama 7 (tujuh) tahun, sedangkan jangka waktu hak atas tanah
yang dijaminkan oleh debitur yang bersangkutan akan berakhir 3 (tiga) tahun
lagi, sebaiknya sebelum dilakukan pembebanan Hak Tanggungan, sekaligus
pula dilakukan perpanjangan hak atas tanah dimaksud.
Dengan demikian, pihak tidak perlu report-repot memonitor ataupun tidak
perlu ada kejadian bahwa jangka waktu hak atas tanah dimaksud.
Dengan demikian, pihak bank tidak perlu repot-repot memonitor ataupun
tidak perlu ada kejadian bahwa jangka waktu hak atas tanah yang dimiliki
sudah lewat, tapi kredit belum lunas. Alasannya, tidak semua debitur akan
bersikap kooperatif dengan memperpanjang hak atas tanah dimaksud dalam
jangka waktu kredit yang bersesuaian. Demikian pula, tidak semua debitur
akan lancar dalam pengembalian sisa utang-utangnya. Bisa saja, bersamaan
dengan hak atas tanahnya berakhir, debitur tersebut juga macet, sehingga
bank tidak dapat mengeksekusi jaminanya karena Hak Tanggungannya sudah
berakhir. Akibatnya?
Keempat:
Nama yang tercantum dalam sertifikat (pemberi Hak Tanggungan).
Sebelum memutuskan bahwa tanah dan/atau bangunan akan dibebani oleh
suatu Hak Tanggungan, perlu diketahui kriteria berikut ini:
▪Semua ahli waris yang tertera dalam surat keterangan waris harus setuju
dan menandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atau
minimal Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Jika
ada satu orang ahli waris saja yang tidak setuju untuk menandatangani
akta tersebut, pengikatan jaminan tidak dapat dilakukan
▪Dalam hal ada ahli waris ternyata masih di bawah umur (di bawah usia 18
tahun atau belum menikah sebagaimana ditetapkan dalam Undang-
Undang Jabatan Notaris atau Undang-Undang Perlindungan Anak), maka
untuk menjaminkan tanah dan/atau bangunan tersebut harus
memperoleh persetujuan dan Pengadilan Negeri setempat, yang isinya
menyatakan telah memberikan persetujuan untuk menjaminkan harta
anak dibawah umur tersebut, sekaligus melakukan pengangkatan seorang
wali.
2. Jika pasangan (suami atau isteri) orang yang namanya tercantum dalam
sertifikat tersebut masih hidup?
Walaupun nama yang tercantum dalam sertifikat masih hidup dan dapat
menandatangani SKMHT/APHT, apabila pasangan suami atau isteri
penjamin tersebut ternyata sudah meninggal dunia, tetapi harus dibuatkan
surat keterangan waris. Dengan demikian, untuk melakukan perbuatan
hukum berupa penandatanganan SKMHT/APHT tersebut tetap harus
mendapatkan persetujuan dari anak-anaknya selaku ahli waris yang lain.
Hal tersebut harus dilakukan, kecuali berlaku dua kondisi berikut ini, yaitu:
•Sebelum perkawinan dibuatkan perjanjian pisah harta (Perjanjian Pra-
nikah).
•Tanah dan/atau bangunan tersebut diperoleh setelah pasangan (suami
atau isteri) dimaksud meninggal dunia.
Mengapa demikian?
Pada prinsipnya, Indonesia menganut hukum percampuran harta
perkawinan. Dengan demikian, pada saat perkawinan dilangsungkan, demi
hukum, semua harta suami dan semua harta isteri bercampur dalam satu
kesatuan.
Selanjutnya pada saat pasangan meninggal dunia (misalnya sang suami),
maka sebagian dari harta terdaftar atas nama isteri (yang masih hidup) pada
dasarnya juga merupakan harta suami yang meninggal dunia tersebut
sehingga termasuk dalam harta warisan. Dan atas bagian suami yang sudah
meninggal dunia tersebut, juga terdapat hak para ahli waris lainnya
(misalnya anak-anak)
Ada satu kasus menarik dalam praktik, saat seorang debitur, Ny. A, yang
juga pemilik jaminan, memberikan Hak Tanggungan senilai Rp 12,5 miliar
atas tanah dan bangunan tertentu. Ny. A adalah seorang janda karena
suaminya sudah meninggal dunia pada 2010 dan memiliki dua orang anak.
Oleh karena dalam sertifikat tanah yang dijaminkan tertera nama Ny. A,
maka pihak bank dan kantor pertanahan menganggap tidak perlu ada
persetujuan siapapun lagi. Suatu saat, Ny. A macet sehingga jaminan
tersebut harus dieksekusi.
Putra-putri Ny. A melakukan bantahan karena merasa tidak pernah
memberikan persetujuan kepada Ny. A untuk menjaminkan hak atau bagian
mereka sebagai ahli waris dari almarhum suami Ny. A atas tanah dan
bangunan tadi.
Akibatnya, bank hanya dapat mengeksekusi: ½ bagian dari harta bersama
Ny. A dengan almarhum suaminya ditambah dengan ½ x ½ bagian lagi
sisanya.
Hikmah yang dapat diambil dari kasus tersebut: apabila suami atau isteri
pemberian Hak Tanggungan sudah meninggal dunia, persetujuan atas nama
seseorang yang masih hidup.
Kelima:
Pengecekan terhadap keaslian dan kondisi sertifikat yang akan dijaminkan
merupakan hal mutlak yang tidak boleh dilewati oleh para praktisi hukum,
terutama para Notaris dan/atau PPAT sebelum melakukan pengikatan
jaminan atas suatu tanah dan/atau bangunan. Pada saat itulah dapat
diketahui kondisi sertifikat yang berkenaan antara lain:
• Apakah tanah tersebut tidak sedang dalam sengketa yang
mengakibatkannya diblokir oleh pihak-pihak yang bersengketa?
• Apakah sertifikat hak atas tanah tersebut asli dan tidak pernah
digandakan secara tidak sah?
• Apakah hak atas tanah yang sudah memiliki Putusan Perkara
Pengadilan sudah sampai pada tahap “inkrah” (memiliki kekuatan
hukum yang tetap).
• Apakah sertifikat hak atas tanah tersebut asli dan tidak pernah
digandakan secara tidak sah?
• Apakah sertifikat tersebut tidak sedang dijaminkan kepada bank lain
untuk menjamin suatu utang tertentu?
Dalam hal demikian, asalkan pada saat pembebanan Hak Tanggungan
berikutnya dapat diperbolehkan surat bukti lunas dan surat roya dari bank
yang sebelumnya memegang Hak Tanggungan atas tanah dan/atau
bangunan tersebut, maka hal itu tidak akan menjadi masalah.
CARA PENDAFTARKAN HAK TANGGUNGAN
Pendaftaran Hak Tanggungan dilaksanakan pada kantor pertanahan setempat,
tempat letak tanah yang tercantum dalam sertifikat tanah dimaksud. Adapun
pendaftaran dilakukan dengan cara melampirkan:
1. Sertifikat asli yang akan dibebani Hak Tanggungan.
2. Salinan berkas (fotokopi) identitas pemberi dan penerima Hak Tanggungan
adalah badan hukum, harus dilampirkan seluruh anggaran dasar hingga akta
perubahan yang terakhir, berikut Surat Persetujuan dan/atau surat
Penerimaan Pemberitahuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
3. Salinan berkas (fotokopi) perjanjian kredit atau perjanjian lainnya yang
dijadikan dasar untuk pemberian Hak Tanggungan.
4. Surat Kuasa asli untuk mendaftarkan Hak Tanggungan.
5. Untuk pendaftaran Hak Tanggungan di wilayah DKI Jakarta, surat kuasa untuk
pendaftaran Hak Tanggungan ini diminta untuk dilegalisasi atau warmerking
oleh notaris yang melaksanakan pendaftaran Hak Tanggungan tersebut.
6. Bukti pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk pendaftaran
Hak Tanggungan, besarnya ditetapkan berdasarkan rentang nilai
pertanggungannya, sebagaimana dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor
13 Tahun 2010.
Misalnya:
A memperoleh fasilitas kredit dari Bank ABC sebesar Rp 1 miliar. Sebagai
jaminan pelunasan kewajiban tersebut. A menjaminkan tanah yang terletak di
Ciputat agar dapat melunasi utang kepada Bank ABC. Oleh Bank ABC tanah
tersebut dibebani dengan Hak Tanggungan peringkat I senilai Rp 1,3 miliar.
Suatu saat, utang A pada Bank ABC macet. Pada saat terjadi kredit macet, Bank
ABC memberikan kesempatan kepada A untuk dapat melunasi utang pokok
berikut dendanya dengan mencari pembeli tanah tersebut.
Sebenarnya, nilai pasar tanah tersebut sebesar Rp 2 miliar, sedangkan sisa utang
pokok berikut bunga dan denda yang wajib diselesaikan A kepada Bank ABC
hanya tinggal Rp 700 juta.
ika dalam jangka waktu tertentu A mendapatkan pembeli yang bersedia membeli
tanah tersebut di harga Rp 1,9 miliar, maka A bertindak sebagai penjual langsung
dengan menandatangani Akta Jual Beli atas tanahnya tersebut, dan sebesar Rp
700 juta dapat langsung dibayarkan kepada Bank ABC untuk melunasi seluruh
sisanya sebesar Rp 1,2 miliar dapat diterima oleh A.
Jika sampai batas waktu tertentu A tidak juga memperoleh pembelian atas tanah,
sedangkan bank khawatir A akan berubah pikiran atau ingkar janji, maka bank
akan membuatkan Akta Penyerahan Jaminan dan Akta Kuasa Menjual atas tanah
tersebut kepada orang yang ditunjuk oleh bank.
Bagaimana dengan sisa hasil penjualan setelah dikurangi dengan utang pokok,
bunga, dan denda yang harus dibayar oleh A?
Secara teori, seharusnya sisa hasil penjualan dikembalikan kepada A, sama
halnya seperti pada penjualan langsung yang dilakukan oleh A.
2. Lelang tertutup
Lelang yang dilaksanakna dengan cara penwaran para peserta lelang
dimasukkan ke dalam amplop tertutup dan diserahkan langsung kepada juru
lelang pada saat lelang berlansung. Setelah semua penawaran disetorkan,
juru lelang akan membuka amplop tersebut satu per satu di hadapan para
peserta lelang dan langsung membacakan. Pemenangnya adalah penawar
harga tertinggi.
Ada pengecualian khusus mengenai harga yang dipilih. Untuk lelang terhadap
tender pelaksanaan suatu proyek atau pengadaan suatu barang (biasanya
pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah atau BUMN), pemenang
lelang adalah peserta dengan penawaran harga terendah terhadap spesifikasi
barang atau jasa yang telah ditentukan.
Adapun untuk proses lelang itu sendiri, pelaksanaannya dapat dilakukan
melalui dua cara.
Proses lelang secara langsung melalui balai lelang.
Proses lelang langsung ini hanya dapat dilaksanakan jika tidak ada
kemungkinan bantahan dari pemilik aset (bisa rumah atau barang lainnya)
dan barang yang akan dilelang tersebut sudah dikuasai oleh pemohon
lelang (tidak perlu ada pengosongan lagi). Dengan kata lain, kondisi
demikian termasuk ke dalam kategori lelang secara sukarela. Untuk proses
lelang tersebut, pemohon lelang dapat mengajukan permohonan lelang
kepada balai lelang swasta dan pemerintah. Namun, jika melalui balai
lelang swasta, harus mendapat bantuan dari Kantor Lelang Negara selaku
pelaksana (juru lelang). Jadi, balai lelang swasta tersebut hanya membantu
untuk menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan.
Proses lelang
Dalam pelaksanaan pembelian secara lelang, calon pembeli harus menaruh
deposito sejumlah uang yang disyaratkan minimal 1 (satu) hari sebelum
pelaksanaan lelang. Kemudian pembeli melakukan penawaran. Calon
pembeli yang melakukan penawaran tertinggi akan dinyatakan sebagai
pemenang lelang serta berhak memiliki tanah dan bangunan tersebut
sesuai harga yang telah ditentukan. Setelah jaminan atau barang dibayar
dengan harga yang ditetapkan diikuti dengan pembayaran Pajak
Penghasilan (PPh) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), maka pembeli tersebut akan memperoleh Akta Risalah Lelang,,
yang dibuat oleh Pejabat Lelang. Akta Risalah Lelang ini sama fungsinya
dengan Akta Jual Beli yang biasa dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) pada proses jual beli tanah biasa.
Setelah ada pemenang lelang atas objek lelang, maka pemenang lelang
atau pembeli tersebut dapat mengajukan permohonan pengosongan
kepada Ketua Pengadilan Negeri. Lalu dilanjutkan dengan proses
pengosongan atas jaminan atau barang dimaksud sesuai dengan perintah
dari pengadilan.
HAK TANGGUNGAN VS TAGIHAN PIUTANG PAJAK
Dalam hal terjadi suatu keadaan saat pemberi Hak Tanggungan yang macet
kreditnya, ternyata juga menunggak pajak yang cukup besar. Akibatnya, aparat
pajak harus memblokir harga kekayaan pemilik jaminan, yang salah satunya
berupa tanah dan bangunan yang sudah dibebani Hak Tanggungan.
PT XYZ adalah pemilik sebidang tanah HGB No. 123456 yang terletak di
Kelurahan Bintaro dan memiliki fasilitas kredit kepada PT ABC sebesar RP 10
miliar, yang dijamin dengan pemberian Hak Tanggungan senilai Rp 12 miliar
atas HGB No 123456 tersebut. Utang PT XYZ suatu ketika macet dan ternyata
PT XYZ ini digugat pailit oleh kreditur-krediturnya. Masalahnya, PT XYZ punya
utang pajak yang cukup besar, mencapai Rp 10 miliar.
Untuk memenuhi utang tersebut, aparat pajak mengajukan permohonan blokir
atas harta benda milik PT XYZ ke kantor pertanahan, termasuk tanah dan
bangunan yang dibebani Hak Tanggungan
Keadaan demikian cukup sulit karena kriteria, Negara termasuk ke dalam daftar
piutang yang didahulukan pemenuhan pembayarannya. Di sisi lain, pemegang
Hak Tanggungan adalah pemegang Hak preference yang sangat kuat atas HGB
No. 123456 tersebut.
Mana yang lebih diutamakan? Negara atau pemegang Hak Tanggungan?
Jika memang terjadi kepailitan atas PT XYZ tersebut, Bank ABC menjadi kreditur
separatis yang tetap dapat melaksanakan haknya setelah masa tunggu selama
90 hari dan setelah insolvensi. Bank ABC sebagai kreditur separatis tetap punya
hak istimewa terhadap HGB No. 123456 yang telah dibebani oleh Hak
Tanggungan tersebut dengan dijamin oleh Pasal 21 UUHT.
Adapun pemenuhan pelunasan kewajiban pajak kepada Negara menduduki
peringkat teratas untuk aset-aset PT XYZ lainnya.
Kantor Pajak tidak berhak memblokir karena pada saat terjadi kepailitan, seluruh
aset PT XYZ berada dalam kondisi sita umum.
Setelah Bank ABC mendapatkan pemenuhan atas piutangnya, barulah sisanya
dibuatkan urutan pemenuhan kewajiban kepada para kreditur konkuren lainnya
secara proporsional.
Dalam hal sisa aset yang tidak dibebani Hak Tanggungan ternyata tidak
mencukupi, tagihan pajak tidak dapat dipenuhi seluruhnya karena harus dibagi
dengan karyawan dari kurator.
Kantor Pajak tidak berhak memblokir wajib pajak yang menjadi pailit saat seluruh
aset wajib pajak berada dalam kondisi sita umum. Tagihan pajak bisa tidak
dipenuhi seluruhnya jika sisa aset yang tidak dibebani Hak Tanggungan tidak
mencukupi.
Dalam praktik di lapangan, terkadang roya parsial sulit dilakukan karena kantor
pertanahan tertentu tidak mau menerima pencoretan Hak Tanggungan secara
parsial tersebut.
Oleh karena itu, untuk memastikan dapat tidaknya dilakukan roya parsial di suatu
wilayah kantor pertanahan tertentu, ada baiknya hal ini dikomunikasikan terlebih
dahulu dengan kantor pertanahan setempat, khususnya di bagian Hak
Tanggungan dna Pendaftaran Tanah.
2. Rumah Susun Khusus adalah rumah susun yang diselenggarakan oleh Negara
atau swasta untuk memenuhi kebutuhan sosial.
3. Rumah susun Negara adalah rumah susun yang dimiliki serta dikelola Negara
dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian.
4. Rumah susun Dinas adalah rumah susun Negara yang dimiliki Negara dan
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian untuk menunjang pelaksanaan
tugas pejabat dan/atau pegawai negeri beserta keluarganya.
Pembangunan rumah susun di atas tanah dapat dilakukan melalui peralihan hak
dan/tau konsolidasi tanah.
Dalam hal pembangunan rumah susun dilakukan di atas tanah yang dikuasai
dengan Hak Pengelolaan sehingga dapat memberikan status yang kuat terhadap
Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan tersebut sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum menjual sarusun
yang bersangkutan.
RINGKASAN
Rambu-rambu yang harus diperhatikan oleh para praktisi hukum atau praktisi
perbankan:
Jangka waktu Akta Pemberian Hak Tanggungan terbatas.
Hak Tanggungan hanya dapat diberikan pada tanah dengan jangka waktu yang
masih berlangsung.
Jika jangka hak atas tanah akan berakhir dalam waktu dekat, sebaiknya
diperpanjang terlebih dahulu sebelum dibebani Hak Tanggungan.
Penjualan rumah atau tanah yang sedang dibebani Hak Tanggungan harus
mendapatkan persetujuan dari Bank.
Jika pemilik rumah atau tanah yedang dibebani Hak Tanggungan harus
mendapatkan persetujuan dari Bank.
Jika pemilik rumah atau tanah yang dibebani Hak Tanggungan meninggal
dunia, sedangkan utangnya belum dilunasi, utang harus dilanjutkan oleh para
ahli warisnya.