Anda di halaman 1dari 21

KONFLIK INDUSTRI DALAM HUBUNGAN BURUH

DAN PENGUSAHA

(Studi Kasus Mekanisme Konflik Industri dalam Hubungan


Buruh dan Pengusaha di Perusahaan “X”, Malang)

JURNAL ILMIAH

Disusun Oleh :
AINUN SARTIKA KINAR
105721120320

A.ADI SUDARMAN
105721126920

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONIMI DAN BISNIS

[Type here]
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
BAB I
LATAR BELAKANG
Studi ini membahas tentang konflik yang terjadi antara buruh dan pengusaha Perusahaan “X”,
Malang. Konflik disebabkan oleh kontrol yang dilakukan oleh pihak perusahaan (pengusaha beserta
manajemen) terhadap buruh yang dinilai terlalu memberatkan buruh. Penelitian ini membahas
bagaimana mekanisme konflik yang diawali dengan distribusi wewenang dan kekuasaan hingga
terbentuknya kelompok kepentingan antara pihak buruh dan pihak Perusahaan “X”, Malang.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa mekanisme konflik terbentuk dari keterkaitan unsur yang
muncul akibat distribusi wewenang dan kekuasaan. Implikasi tersebut menjadikan beberapa unsur
saling terkait dan bekerja semenjak prakonflik hingga pasca konflik. Unsur yang muncul diantaranya
hubungan kekuasaan antara pengusaha dan buruh kerah biru, dominasi yang digambarkan dengan
perintah dan sanksi, keterpaksaan yang dialami oleh buruh kerah biru, bentuk kepentingan yang
secara teoritis terdiri dari kepentingan manifes dan laten. Dalam mekanisme konflik, peneliti
menemukan bahwa kepentingan manifes tidak hanya terbentuk melalui penyadaran, namun terbentuk
pada saat buruh dengan kapasitasnya tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri sebagai
kelompok tertindas. Penyelesian konflik dilakukan melalui compromise oleh pihak buruh dan pihak
perusahaan.
Pihak perusahaan diwakilkan oleh cucu dari pemilik perusahaan dan tidak memiliki posisi
struktural dalam perusahaan. Hal ini dilakukan karena wakil perusahaan memiliki pandangan yang
berbeda dengan pihak struktur perusahaan mengenai mekanisme penyelesaian konflik industri.
Perbedaan pandangan ini ditunjukan dengan mekanisme penyelesaian konflik yang telah dilakukan.
Pihak perusahaan menghendaki penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industri, sedangkan wakil
perusahaan menginginkan penyelesaian konflik secara bipartit sehingga konflik dapat segera
terselesaikan.

Kata Kunci: konflik industri, buruh, pihak perusahaan, mekanisme konflik.


BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Pengertian Buruh dan Pengusaha
Buruh
Buruh, pekerja, pegawai, tenaga kerja atau karyawan pada dasarnya adalah manusia yang
menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa
uang maupun bentuk lainnya kepada Pemberi Kerja atau pengusaha atau majikan.[1]
Pada dasarnya, buruh, pekerja, tenaga kerja, maupun karyawan adalah sama. Namun dalam kultur
Indonesia, "Buruh" berkonotasi sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran, dan sebagainya. [butuh
rujukan]
 sedangkan pekerja, tenaga kerja, dan karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi, dan
diberikan cenderung kepada buruh yang tidak memakai otot tetapi otak dalam melakukan kerja. [butuh rujukan] Akan
tetapi, pada intinya sebenarnya keempat kata ini sama mempunyai arti satu yaitu pekerja. Hal ini terutama
merujuk pada Undang-undang Ketenagakerjaan, yang berlaku umum untuk seluruh pekerja maupun
pengusaha di Indonesia.
Buruh dibagi atas 2 klasifikasi besar:

 Buruh profesional - biasa disebut buruh kerah putih, menggunakan tenaga otak dalam bekerja
 Buruh kasar - biasa disebut buruh kerah biru, menggunakan tenaga otot dalam bekerja

Pengusaha
Pengusaha merupakan satu dari sekian banyak profesi dalam bidang kerja. Pengusaha
adalah seseorang, kelompok, ataupun lembaga yang melakukan kegiatan jual, beli, atau sewa
sesuatu. Banyak hal yang bisa dikategorikan dalam pengusaha, contohnya seperti produsen
sepatu, perternakan ayam, eksport-import bahan baku atau sebuah produk, menjual jasa, dan
lain-lain sebagainya. Menurut KBBI pengusaha diartikan sebagai orang yang berusaha dalam
bidang perdagangan.

Untuk menjadi sebuah pengusaha, seeorang harus memiliki ide brilian, passion bisnis, serta
rahasia sukses yang dapat Grameds temukan pada buku Rahasia Pengusaha Zaman Now:
The Millenial Millionaire II.
PEMBAHASAN
A. Perselisihan Hubungan Industri
Keberadaan industri yang dalam porses produksinya diiringi oleh semangat kapitalisme
justru menimbulkan masalah yang semakin memperlemah keadaan buruh. Kegiatan produksi
barang atau jasa yang hanya berorentasi pada keuntungan justru akan menimbulkan
perselisihan yang memperburuk kualitas hubungan antara buruh dan pengusaha. Sejatinya,
sifat hubungan yang terjalin adalah hubungan yang saling membutuhkan. Namun, perselisihan
terjadi disebabkan oleh kepentingan yang bertentangan antara pengusaha dan buruh.
Konflik yang terjadi antara buruh dan pengusaha merupakan cerminan dari dua pihak
yang memiliki perbedaan kepentingan. Keperbedaan tersebut timbul keinginan saling
menghilangkan satu sama lain. Buruh memiliki keinginan untuk menghilangkan pengusaha
yang terkesan eksplotatif sedangkan pengusaha mempunyai keinginan untuk menghilangkan
buruh yang selalu protes atas kebijakan yang diturunkan dari pihak elit perusahaan sebagai
bentuk kekuasaan.
Fenomena demonstrasi atau advokasi yang seringkali kita lihat dan dengar merupakan
gambaran dari perlawanan buruh terhadap kekuasaan pengusaha. Upaya yang dilakukan buruh
ialah semata-mata untuk memperjuangkan hak yang seharusnya dimiliki oleh setiap buruh.
Buruh melakukan perlawanan karena dalam proses kerja, buruh selalu mendapatkan
timbalbalik yang tidak diharapkan, baik secara tindakan yang bersifat eksploitatif seperti
pembatasan cuti, jaminan sosial yang tidak diberikan secara optimal dan minimnya upah.
Lemahnya kekuatan buruh dan tidak terorganisirnya kelompok buruh justru
membuahkan hasil perjuangan yang tidak maksimal. Namun, pada saat ini upaya yang
dilakukan oleh buruh lebih terorganisir dengan adanya serikat buruh. Terbentuknya serikat
buruh dapat memberikan dampak yang baik dalam menunjang perjuangannya karena dapat
meningkatkan pengetahuan tentang ketenagakerjaan dan kemampuan dalam melakukan lobi
atau negosiasi dalam menyelesaikan permasalahan.
Pada sesungguhnya pembangunan industri merupakan salah satu jalur untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat di setiap daerah dalam arti memberikan kontribusi pada
tingkat hidup yang lebih maju dan bermutu. Namun pada kenyataannya hal tersebut tidak selalu
benar karena masih terdapat beberapa permasalahan industrial yang mewarnai keberadaan
industri di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Malang, Semarang dan
kota lainnya.
Kota Malang merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Kota Surabaya.
Meskipun tidak dijuluki sebagai kota industri, namun terdapat beberapa industri yang beroperasi
di kota tersebut. Berdasarkan laporan Dinas Industri dan Perdagangan Kota Malang tercatat
966 perusahaan yang beroperasi di Kota Malang (Laporan Dinas Industri dan Perdagangan
Kota Malang, Maret 2013). Selanjutnya diperjelas pula oleh pernyataan Kepala Bidang
Hubungan Industri Disnakertrans Kota Malang, Kasyiadi, dalam media elektronik lokal yang
menyatakan bahwa jumlah perusahaan yang beroperasi diantaranya terdapat 70 persen
perusahaan telah memenuhi hak normatif buruh, namun sisanya masih belum dapat memenuhi
hak normatif tersebut (Malang-post (Online), 30 Maret 2013). Berdasarkan data tersebut,
terdapat 30 persen perusahaan mendapat pengawasan dari Disnakertrans Kota Malang dan
melakukan himbauan agar menjaga stabilitas perindustrian dengan memenuhi target UMK yang
telah ditetapkan.
Upaya menciptakan kestabilan perusahaan dan buruh di Kota Malang akan terus
dilakukan oleh pihak yang berwenang. Namun hal tersebut bukan berarti kondisi industri di Kota
Malang luput dari permasalahan sosial yang berimplikasi pada gejolak antara buruh dan
pengusaha. Berdasarkan laporan Dinas Ketenagakerjaan Kota Malang, diketahui bahwa
terdapat 40 kasus perselisihan industrial yang terhitung sejak tahun 2012 hingga bulan Maret
tahun 2013 (Laporan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Malang, Maret 2013).
Secara keseluruhan permasalahan yang terjadi disebabkan oleh permasalahan pemenuhan
hak normatif buruh termasuk permasalahan kepentingan, PHK, dan hak yang sekiranya
menjadi bahan pokok yang harus dimiliki oleh buruh.

Table 1. Perselisihan Industri Tahun 2012-Maret 2013


Jenis Perselisihan Jumlah
(kasus)
Hak 7
Kepentingan 5
PHK 28
Antar serikat buruh dalam satu 0
perusahaan
Jumlah 40
Sumber: Data Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Malang.

Menanggapi berbagai bentuk pemasalahan hubungan industrial, pada sesungguhnya


pemerintah telah menyusun regulasi tentang penyelesaian permasalahan hubungan industri
yang termuat dalam Undang-Undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Industrial. Di dalam Undang-Undang tersebut menjelaskan beberapa mekanisme penyelesaian
permasalahan industrial seperti perundingan bipartit, tripartit, konsiliasi dan arbitrase. Melalui
beberapa mekanisme yang termuat dalam Undang-Undang, tentunya diharapkan mampu
menyelesaikan permasalahan industrial, namun pada kenyataannya saat ini masih banyak
perselisihan yang penyelesaiannya menjalani prosesi mekanisme tersebut justru tidak
mendapati keputusan yang dapat menyelesaikan perselisihan.
Penelitian ini dilakukan di perusahaan “X” (nama disamarkan). Perusahaan “X”
merupakan salah satu dari beberapa perusahaan di Kota Malang yang mengalami
permasalahan industrial. Permasalahan ini digambarkan dengan aksi mogok kerja yang
dilaksanakan oleh buruh pada awal bulan Februari tahun 2013. Disintegrasi antara pengusaha
dan buruh disebabkan oleh tindakan pengusaha yang melakukan pembatasan hak buruh dan
pelanggaran hak-hak normatif.
Penyebab permasalahan yang paling dominan dalam kasus ini ialah buruh menerima
gaji dalam waktu kerja selama seminggu yang memiliki nominal sangat jauh dengan UMK,
dimana jumlah UMK yang berlaku di Kota Malang pada tahun 2013 sebesar Rp.1.340.300.
Berdasarkan pada pembahasan sebelumnya, peneliti akan melakukan kajian secara
Sosiologis terhadap topik yang telah ditentukan. Penelitian ini mengambil judul “Konflik Industri
dalam hubungan Buruh dan Pengusaha” (Studi kasus mekanisme konflik industri dalam
hubungan buruh dan pengusaha di Perusahaan “X”, Malang)”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dan memahami bagaimana mekanisme konflik industri dalam hubungan antara
buruh dan pengusaha di Perusahaan “X”, Malang.
Penelitian ini menggunakan teori konflik yang dijelaskan oleh Ralf Dahrendorf . Teori
tersebut digunakan untuk menjelaskan bagaimana mekanisme konflik dalam masyarakat
industri yang didasari atas kekuasaan dan paksaan satu golongan terhadap golongan lain. Di
samping itu, metode peneilitan yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan studi kasus tunggal terjalin yang membahas lebih dari satu unit analisis.
B. Konflik dalam Masyarakat Industri
Pada perspektifnya dalam konflik, Dahrendorf melihat konflik sebagai suatu bentuk
adanya kepemilikan kekuasaan dan otoritas yang melahirkan pembagian kelas (R. Dahrendorf
dalam Margaret M. Poloma, 2004). Lahirnya kekuasaan dan otoritas menimbulkan adanya
pihak yang menguasai dan pihak yang dikuasai. Pada hubungan ini tercipta sebuah asosiasi
yang pelaksanaannya memiliki kontribusi dalam timbulnya konflik. Timbulnya konflik yang
dimaksud adalah berada dalam masyarakat yang berasal dari konsensus yang telah ada
sebelumnya. Konsensus tersebut berpotensi menimbulkan konflik yang didasari oleh berbagai
kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing pihak.
Dasar baru dalam pembentukan kelas merupakan hasil dari kepemilikan otoritas dan
kekuasaan. Struktur tersebut terdapat kelompok yang memegang kekuasaan dan kelompok
yang tidak berpartisipasi dalam proses penundukan. Dahrendorf berpendapat bahwa di dalam
setiap asosiasi yang ditandai oleh pertentangan terdapat ketegangan di antara mereka yang
ikut dalam struktur kekuasan dan tunduk pada struktur itu (Margaret M. Poloma, 2004, hlm
135). Pada pertentangan yang dimaksud sering kali disebabkan oleh adanya perbedaan
kepentingan dan mengakibatkan adanya kelompok pertentangan yang memperjuangkan
kepentingannya begitu juga dengan pihak sebaliknya.

C. Wewenang dan Kekuasaan


Pada teori pertentangan, mensyaratkan adanya bentuk paksaan untuk terciptanya
keteraturan dalam sebuah tata masyarakat yang diibaratkan sebagai bentuk organisasi sosial.
Penggunaan kekuasaan dilakukan oleh sejumlah anggota terhadap anggota lain, pernyataan ini
merupakan ungkapan yang berasal dari meta teori rasional yang menyatakan bahwa tidak ada
kerjasama secara sukarela tetapi pelaksanaan paksaanlah yang menyebabkan organisasi
sosial melekat satu sama lain (R. Dahrendorf, 1986, hlm 205).
Sejauh yang berhubungan dengan wewenang dan kekuasaan, Dahrendorf
menggunakan definisi yang didefinisikan oleh Weber. Menurut Weber kekuasaan adalah
“kemungkinan seorang aktor dalam antar hubungan sosial akan berada pada suatu posisi untuk
melaksanakan kehendaknya sendiri meskipun terdapat perlawanan, tanpa menghiraukan
landasan tempat meletakkan kemungkinan itu” (Ralf Dahrendorf, 1986, 202). Sedangkan
wewenang adalah “kemungkinan untuk memerintah yang mana dengan suatu kerelaan khusus
tertentu dipatuhi oleh sekelompok orang tertentu” (Ralf Dahrendorf, 1986, hlm 202).
Pada studi teori konflik, wewenang dan kekuasaan menjadi dua istilah yang menjadi
latar belakang terjadinya konflik kelas dalam masyarakat. Namun dalam hal ini, Dahrendorf
memusatkan perhatian pada wewenang di mana wewenang merupakan bagian dari timbulnya
sebuah peran yang ada. Asal usul struktur pertentangan kelompok demikian itu harus dilihat di
dalam susunan peranan-peranan sosial yang didukung oleh harapan-harapan dominasi dan
penundukan. Oleh karena itu, keberadaan wewenang menjadi hal yang penting guna
mengidentifikasi analisa konflik. Seperti apa yang dikatakan Dahrendorf bahwa “tugas pertama
analisa konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam sebuah masyarakat”
(G. Ritzer & Douglas J. Goodman, 2004, hlm 154). Keberadaan hubungan wewenang
dimungkinkan untuk melacak sistematis asal-usul pertentangan kelompok dari sebuah
organisasi atau masyarakat dan perserikatan-perserikatan yang ada. Selain itu karena
keberadaaan wewenang merupakan kepemilikan yang syah sehingga apabila terjadi adanya
ketiadaan tunduk pada suatu perintah akan dikenakan sanksi tertentu.

D. Kepentingan Laten dan Kepentingan Manifest


Dahrendorf berpendapat bahwa di dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh pertentangan di
antara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan tunduk pada struktur itu. Sebagaimana
dikatakan Dahrendorf
Secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah dianalisa bila dilihat sebagai
pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan. Dalam setiap asosiasi,
kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai-nilai yang merupakan ideologi keabsahan
kekuasaannya, sementara kepentingan-kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman
bagi ideologi ini serta hubungan-hubungan sosial yang terkandung di dalamnya (R. Dahrendorf,
1986, hlm 216)
Pertentangan didasari oleh adanya kepentingan yang saling bertolakbelakang antar pihak satu
dengan pihak yang lain. Dahrendorf membedakan kepentingan menjadi dua, yaitu kepentingan
manifest dan laten. Kepentingan laten adalah tingkah laku potensil (“undercurrents behavior”) yang
telah ditentukan bagi seseorang karena dia menduduki peranan tertentu tetapi masih belum disadari.
Di samping itu apa yang dimaksud dengan kepentingan manifest ialah ketika kepentingan-kepentingan
yang pada awalnya tidak disadari atau laten tampil ke permukaan dalam bentuk tujuan-tujuan yang
disadari (R. Dahrendorf dalam Margaret M. Poloma,1979, hlm 136). Seperti sebuah perusahaan,
mereka yang berada pada posisi subordinat atau sebagai the ruled class menyadari ketertindasan
mereka (Novri Susan, 2009, hlm 57). Namun dengan kondisi ini mereka belum memiliki kepentingan
untuk merubah posisinya sebagai kelompok subordinat, pada dasarnya mereka hanya memiliki
kepentingan semu atau kepentingan laten yang ditentukan oleh posisi dalam struktur sosial.
Kepentingan semu tersebar kepada mereka yang merasa tertindas sebagai kelompok subordinasi
sehingga menciptakan kelompok semu. Kepentingan semu dalam kelompok semu ini tatkala akan
berubah menjadi kepentingan nyata atau manifest. Kepentingan manifest merupakan kepentingan
yang pada awalnya tidak disadari namun karena terdapat faktor lain, seperti penyadaran, kepentingan-
kepentingan itu mulai muncul atau disadari. Terdapat adanya proses penyadaran yang dilakukan oleh
pihak yang terlebih dahulu mengerti kepentingan yang harus diperjuangkan. Pada fase ini terbentuk
kelompok kepentingan atau kelompok yang terorganisasi yang siap melakukan perlawanan.

Mekanisme Konflik
Mekanisme konflik dalam penelitian ini menjelaskan tentang kinerja keberlangsungan konflik.
Kinerja konflik menyajikan beberapa gejala tertentu yang bekerja dan memiliki hubungan keterkaitan
satu sama lain. Gejala yang dimaksud diantaranya distribusi wewenang dan kekuasaan, kondisi
kepentingan dan timbulnya kelompok kepentingan sebagai implikasi konflik.
Mekanisme hubungan antara buruh dan pengusaha yang akan dijelaskan dalam penelitian ini
berdasarkan pada teori konflik yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf tentang konflik dalam
masyarakat industri. Teori konflik yang digunakan dalam penelitian ini menjelaskan tentang adanya
distribusi wewenang dan kekuasaan sehingga berimplikasi pada hadirnya kelas sosial yang berbeda.
Segmentasi kelas yang dihasilkan, di dalamnya terdapat jenis kepentingan. Secara teoritis jenis yang
dimaksud adalah kepentingan laten dan kepentingan manifest. Kondisi kepentingan senantiasa akan
mengalami perubahan ke dalam jenis lainnya. Pada setiap jenisnya akan berimplikasi pada
pembentukan kelompok, yakni kelompok laten dan kelompok kepentingan.
Mekanisme yang didalamnya terdapat unit-unit yang secara prosedural saling terkait. Sehingga
dalam penelitian ini menjelaskan tentang mekanisme konflik, bagaimana unit-unit tersebut saling terkait
dan mempengaruhi selama timbul fenomena konflik.

Konflik Industri
Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik
bersifat inheren, artinya konflik akan senantiasa ada dalam ruang dan waktu, dimana saja dan kapan
saja (Elly M. Setiadi & Usman Kolip, 2011, hlm 345). Pada pengertian ini masyarakat dijadikan sebagai
arena keberlangsungan konflik yang secara alamiah selalu hadir dalam ruang dan waktu. Secara
Sosiologis masyarakat dipandang sebagai suatu sistem sosial yang terdiri dari bagian atau komponen
yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, dimana komponen yang satu berusaha untuk
menaklukan komponen yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memperoleh kepentingan yang
sebesar-besarnya (Bernard raho, 2007, hlm 71).
Berbagai perbedaan memang dijadikan sebagai pemicu terjadinya konflik sosial. Diketahui
bahwa dalam lingkungan masyarakat memang memiliki keberagaman yang kompleks, baik dari segi
kepentingan, pemikiran, prilaku dan dari segi yang lain. Keberlangsungan konflik tentu didahului
dengan hubungan atau konsensus antar pihak yang terlibat, dengan ini pertentangan mengenai
keperbedaan yang tidak dapat ditoleransi akan terlihat. Melalui keperbedaan ini keinginan atau
kepentingan seseorang akan merasa terhalangi ketika adanya keperbedaan kepentingan atau
keinginan yang dimiliki orang lain.
Pada penjelasan ini, peneliti melihat konflik antar kelompok yang berada dalam masyarakat
industri atau perusahaan. Sehingga, konflik kelompok merepresentasikan pada suatu bentuk
perselisihan yang terjadi pada buruh dengan pengusaha yang berada pada sebuah industri. Istilah
konflik industri mengacu pada hubungan konfliktual antara pemilik atau majikan dan manajemen di
satu pihak dengan para buruh di pihak lain (Susetiawan, 2000, hlm 216). Berdasarkan pada
pembahasan sebelumnya mengenai konflik secara umum, bahwa komponen yang merupakan bagian
dari sistem saling mempengaruhi dan menaklukan komponen lainnya. Begitu juga dengan pengusaha
dan buruh, konflik industri terjadi tatkala terdapat kepentingan yang berlawanan dan saling menaklukan
guna memenuhi kepentingan tersebut.

Hubungan Industri
Suwarto (dalam SMERU, 2002, hlm 8) mengartikan hubungan industri sebagai sistem
hubungan yang terbentuk antara para pelaku proses produksi barang dan/atau jasa. Terdapat suatu
hubungan timbal balik yang terjalin antar pengusaha atau pemilik perusahaan dengan pekerja atau
buruh. Sehingga terbentuk adanya kerjasama untuk dapat menghasilkan suatu barang atau jasa yang
menjadi orientasi perusahaan tersebut guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Pada
hubungan kerja dalam suatu industri berkaitan dengan semua pihak dalam suatu perusahaan tanpa
mempertimbangkan gender, keanggotaan dalam serikat buruh dan jenis pekerjaan.
Pihak yang terkait dengan hubungan industri ialah pekerja, pengusaha dan pemerintah. Pada
tingkat perusahaan, pelaku utama dalam sebuah hubungan industri ialah pekerja dengan pengusaha.
Sedangkan pemerintah hanya terlibat dalam permasalahan atau kepentingan tertentu seperti
penyusunan peraturan atau undang-undang yang mengatur tentang hubungan industri, pengawasan
serta penyelesaian perselisihan.
Tujuan akhir pengaturan hubungan industri adalah untuk meningkatkan produktivitas dan
kesejahteraan pekerja maupun pengusaha (SMERU,2002, hlm 9). Tujuan untuk meningkatkan
produktivitas dan kesejahteraan pekerja maupun pengusaha merupakan dua tujuan yang saling
berkaitan. Peningkatan produktivitas berawal dari kualitas yang baik dari kinerja para pekerja apabila
mereka memiliki harapan maupun kesejahteraan yang baik di masa saat ini maupun mendatang.
Sementara itu kesejahteraan pekerja hanya mungkin terpenuhi apabila produktivitas dalam bekerja
dapat mencapai target atau tingkat tertentu yang diinginkan oleh pengusaha. Sehingga, dapat dilihat
bahwa terdapat adanya hubungan timbal balik dan saling membutuhkan untuk mencapai harapan
suatu kesejahteraan oleh masing-masing pihak, sehingga menjaga dan menciptakan suatu hubungan
dan komunikasi yang baik antar pihak dalam perusahaan merupakan hal yang penting.
Dalam hubungan industri baik perusahaan maupun pekerja/buruh mempunyai hak yang sama
dan sah untuk melindungi hal-hal yang dianggap sebagai kepentingan masing-masing, juga untuk
mengamankan tujuan-tujuan mereka, termasuk hak untuk melakukan tekanan melalui kekuatan
bersama bila dipandang perlu (M. Salomon dalam SMERU, 2002, hlm 8). Di samping dari adanya hak
untuk melindungi hal yang dianggap kepentingan, pekerja dan pengusaha memiliki kepentingan yang
sama, yaitu kelangsungan hidup sejahtera dan kemajuan perusahaan. Berdasar dari hal tersebut, di
sisi lain hubungan antara pekerja atau buruh dengan majikan juga memiliki potensi konflik, terutama
apabila memiliki pemikiran yang tidak sama tentang kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing
pihak.

Pekerja
Pada lingkungan sekitar terdapat istilah yang sering digunakan mengenai tenaga kerja,
misalnya terdapat sebagian orang menyebutnya sebagai karyawan, pekerja dan buruh. Namun pada
sesungguhnya dapat dipahami, bahwa maksud dari semua istilah yang digunakan adalah sama
(Darwan Prinst, 1994, hlm 22). Berdasarkan Undang-Undang RI nomor 13 tahun 2003, pekerja atau
buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Beranjak dari pengertian tersebut menyebutkan bahwa setiap pekerja yang bekerja akan menerima
imbalan yang diberikan dari pemilik modal.
Menurut Susetiawan (dalam Nuri Rachma O. 2010, hlm 28) perbedaan karakteristik antar
pekerja tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua tipe pekerja, yaitu 1)Pekerja kelas atas atau
“pekerja kerah putih” adalah pekerja yang berada pada jajaran pekerja yang memiliki jabatan setingkat
supervisor, personalia, dan manajemen. Kelompok pekerja ini adalah pekerja yang berkooperasi
dengan atasan. Pekerja kerah putih ini lebih mementingkan kepentingn individual daripada kepentingan
kolega, 2)Pekerja kelas bawah atau “pekerja kerah biru” adalah pekerja yang berada dibawah pekerja
kerah putih. Kelompok pekerja kerah biru ini adalah pekerja yang non-kooperasi dengan atasannya.
Pekerja kelas bawah atau pekerja kerah biru yang non-kooperasi memiliki hubungan konfliktual dengan
majikan dan lebih menyampingkan kepentingan individu untuk kepentingan kolektif.
Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan pada pekerja kerah biru atau buruh yang berada
pada produksi garmen atau konveksi dan sekaligus sebagai anggota dari Serikat Buruh Sosialis
Indonesia (SBSI). Buruh tersebut memiliki keterlibatan langsung atas hubungan konflik dengan
pengusaha Perusahaan “X”. Selain itu peneliti melibatkan pekerja kerah putih yang memiliki hubungan
kooperasi dengan pengusaha, yakni pekerja yang berada pada devisi personalia dan Kepala Bagian
Keuangan yang dikategorikan sebagai “pihak perusahaan”. Sehingga pihak perusahaan
merepresentasikan pada pengusaha beserta menejemen yaitu personalia dan Kepala bagian
keuangan.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif
menekankan sifat realita yang dibangun secara sosial, hubungan yang intim antara peneliti dengan
yang dipelajari dan kendala situasional yang membentuk penyelidikan (Agus Salim, 2001, hlm 11).
Penelitian yang dilakukan terhadap konflik industri di Perusahaan “X” menggunakan pendekatan studi
kasus intrinsik karena studi yang dilakukan merupakan studi yang menarik dan peneliti berusaha
memahami secara lebih mendalam dan kekhususan dari suatu kasus.
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan desain studi kasus tunggal terjalin, sebuah desain
dari pendekatan dengan lebih dari satu unit analisis. Kasus yang terjadi di Perusahaan “X” merupakan
kasus tunggal, yakni kasus hubungan industri atau kasus ketenagakerjaan di Perusahaan “X”. Peneliti
melakukan analisis berdasarkan unit yang telah ditetapkan dalam kasus yang tunggal. Beberapa unit
analisis yang ditetapkan memiliki keterkaitan satu sama lain sebagai bentuk mekasnisme
keberlangsungan konflik dalam masyarakat industri.
Peneliti melihat beberapa unit analisis dan sekaligus menjadikan fokus dalam penelitian ini,
yaitu distribusi wewenang dan kekuasaan yang secara teoritis menjadikan faktor adanya pertentangan
sosial dalam masyarakat industri saat ini. Peneliti melihat bagaimana mekanisme keberlangsungan
konflik dimulai dari distribusi wewenang dan kekuasaan sehingga menyebabkan pertentangan antara
buruh dan pengusaha. Unit kedua dalam penelitian ini yaitu kepentingan laten yang dimiliki oleh buruh
dan berimplikasi pada pembentukan kelompok semu. Gejala ini merepresentasikan timbulnya benih-
benih konflik yang disebabkan oleh dominasi kelompok superordinat terhadap subordinat. Pada unit
selanjutnya ialah kepentingan manifest dan kelompok kepentingan sebagai tindaklanjut dari
kepentingan laten. Hal ini merepresentasikan kepentingan yang disadari oleh buruh yang menyadari
apa yang harus diperjuangkan.
Lokasi penelitian dilakukan di Perusahaan “X” Kota Malang. Lokasi tersebut dipilih karena
perusahaan tersebut merupakan salah satu perusahaan yang mengalami permasalahan terkait dengan
hubungan ketenagakerjaan. Permasalahan ini muncul semenjak beberapa tahun yang lalu dan mulai
mendapat perlawanan secara langsung dari buruh dengan melakukan aksi demo dan mogok kerja
pada pertengahan bulan Februari tahun 2013. Adapun penyebab dari permasalahan yang terjadi
dikarenakan upah buruh yang berada di bawah nominal UMK, buruh tidak diberikan pekerjaan, buruh
diliburkan namun tidak mendapatkan upah, buruh tidak diikutsertakan dalam program Jamsostek dan
segala hak cuti tidak diberikan. Penyebab permasalahan ini dapat dilihat sebagai bentuk eksploitasi
tenaga kerja yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Selain itu permasalahan hubungan industri
merupakan permasalahan yang vital terkait dengan keseimbangan ekonomi dan kondisi sosial pekerja.
Hal ini dapat ditunjukan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak yang ditujukan
kepada seluruh buruh sekaligus anggota Serikat Buruh Sosialis Indonesia (SBSI) yang ikut serta
dalam aksi demo dan mogok kerja. Penelitian ini dilakukan selama 11 bulan, yaitu bulan Maret 2013
hingga Februari 2014.
Penentuan Informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive, yakni teknik
penentuan informan dengan pertimbangan peneliti dalam memilih informan. Pemilihan informan
dilakukan dengan pertimbangan pengetahuan dan keterlibatan informan dalam kasus yang sedang
diteliti. Adapun beberapa informan dalam penelitian ini adalah beberapa mantan buruh anggota SBSI,
ketua umum presidium SBSI, pengacara Perusahaan “X”, Dinas Ketenagakerjaan kota Malang dan
mantan penasihat hukum Perusahaan “X”.
Penelitian ini menggunakan beberapa jenis data, yakni data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data yang diperoleh langsung dari informan penelitian seperti wawancara yang dilakukan
kepada beberapa mantan buruh. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui pihak lain terkait
dengan kasus yang sedang dikaji dalam penelitian ini seperti surat kabar yang meliput kasus konflik
industri di Perusahaan “X”.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik analisis data menurut
Taylor dan Renner. Taylor dan Renner memberikan lima langkah dalam menganalisis data kualitatif
(dalam H. Usman dan P. Setiady A., 2008, hlm 83), yakni 1) Siap memahami data, 2) Fokus analisis, 3)
Informasi kategori, 4) Identifikasi pola berupa hubungan antar kategori, 5) Interpretasi.

Situasi (setting) Perusahaan “X”


Perusahaan “X” merupakan salah satu perusahaan yang beroperasi di Jl. Bandulan, kota
Malang. Lokasi berdirinya perusahaan ini merupakan kawasan industri, terdapat beberapa industri
yang beroperasi termasuk Perusahaan “X”. Perusahaan “X” merupakan perusahaan yang beroperasi di
bidang produksi konveksi dan distributor tiner. Perusahaan ini memiliki beberapa pekerja yang terbagi
menjadi dua fokus kegiatan, yakni produksi konveksi atau garmen dan distributor tiner yang dikontrol
langsung oleh personalia dan Kepala Bagian Keuangan. Produksi garmen atau konveksi merupakan
aktivitas yang paling utama dalam kegiatan ekonomi di Perusahaan “X”, sedangkan dalam bidang lain,
perusahaan ini berperan sebagai distributor dari perusaan tiner di kota Semarang.
Diketahui bahwa Perusahaan “X” telah mengalami konflik semenjak diberlakukannya
manajemen baru pada tahun 2000. Pemilik perusahaan telah melibatkan pihak lain untuk melakukan
kontrol korektif terhadap kinerja buruh. Di samping itu terdapat penyebab lain yang menjadikan konflik
semakin memanas ialah kebijakan upah buruh yang diberikan memiliki nominal yang relatif kecil bagi
buruh. Minimnya upah yang diterima disebabkan oleh minimnya kuantitas pekerjaan dan harga untuk
setiap pekerjaan yang diberikan oleh buruh, sehingga buruh tidak hanya menerima pekerjaan yang
sedikit tetapi juga menerima harga dari pekerjaan yang relatif murah.
Konflik terlihat lebih konkrit yang ditandai dengan aksi buruh melakukan demontrasi di depan
perusahaan pada tanggal 13 Februari 2013. Demontrasi yang dilakukan sebagai bentuk perlawanan
buruh terhadap perilaku perusahaan yang dianggap merugikan buruh. Perilaku yang dilakukan oleh
perusahaan ditandai dengan adanya kontrol yang dilakukan oleh pemilik perusahaan maupun
manajemen terhadap buruh.
Awalmu kondisi konflik ditandai dengan tidak adanya kenaikan harga yang dianggap selalu ada
setiap tahunnya. Namun kondisi hubungan semakin memburuk semenjak hadirnya pihak lain sebagai
personalia dan mendampingi Kepala Bagian Keuangan di perusahaan. Kondisi hubungan yang
semakin memburuk ditandai dengan berkurangnya order yang diterima perusahaan sehingga
mempengaruhi upah yang diterima buruh. Selain itu, buruh merasa mereka tidak diperhatikan oleh
pihak perusahaan karena pihak yang dipercaya maupun pemilik perusahaan tidak lagi mendengar
aspirasi atau keluh kesah buruh selama bekerja.
Menanggapi berbagai kondisi sulit yang dialami, buruh memutuskan untuk mengikuti organisasi
buruh yang bernama SBSI. SBSI merupakan satu-satunya serikat buruh yang berdiri di Perusahaan “X”
dan memiliki anggota sebanyak 46 buruh. Seluruh anggota SBSI di Perusahaan “X” merupakan buruh
produksi konveksi namun mengalami PHK setelah melakukan aksi pada tanggal 13 Februari 2013.

Isu-Isu Konflik Industri Perusahaan “X”


Bedasarkan konteks penelitian ini, konflik yang terjadi antara pengusaha dan buruh di
Perusahaan “X” telah memiliki beberapa isu. 1) Isu tentang kontrol mengenai kebijakan upah.
Menurunnya order yang diterima perusahaan sehingga mempengaruhi kuantitas pekerjaan yang
diterima oleh buruh, begitu juga berpengaruh kepada jumlah upah yang diterima. 2) Bentuk kontrol
berupa tindakan korektif, ancaman PHK yang sering dilakukan oleh pemilik perusahaan kepada buruh.
Beberapa kali buruh menerima ancaman PHK yang dilakukan oleh pengusaha karena buruh
menentang atas perilaku dari pihak perusahaan yang bertindak semena-mena terhadap buruh. 3)
Tuduhan yang dilontarkan oleh pengusaha atas alasan pengusaha mengambil keputusan PHK kepada
46 buruh. Tuduhan tertulis dalam surat PHK yang diberikan oleh masing-masing buruh. 4) Perusahaan
“X” sebagai perusahaan memiliki sistem organisasi yang tidak sehat dan tidak serius dalam
menjalankan usahanya.1

Pihak yang Berpartisipasi pada Konflik Industri Perusahaan “X”


Pihak yang berkonflik adalah kelompok yang berpartisipasi dalam konflik baik pihak konflik
utama yang langsung berhubungan dengan kepentingan, pihak sekunder yang tidak secara langsung
berhubungan dengan kepentingan dan pihak tersier yang tidak berhubungan dengan kepentingan
konflik. Pihak konflik yang utama ialah buruh dengan pengusaha. Buruh dengan pengusaha memiliki
hubungan langsung dalam aktifitas produksi sehingga secara tidak langsung memiliki hubungan
langsung terhadap terjadinya konflik. Pihak sekunder atau pihak yang secara tidak langsung
berhubungan dengan kepentingan adalah SBSI, kuasa hukum perusahaan, personalia, Kepala Bagian
Keuangan dan cucu pemilik perusahaan.2 Pihak tersier dalam konflik industri dalam penelitian ini ialah
Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi kota Malang dan POLSEK Sukun, Kota Malang.

Mekanisme Konflik: Distribusi Wewenang dan Kekuasaan Perusahaan “X”


Secara sosiologis, buruh dan pengusaha merupakan dua peranan yang berada dalam sistem
kelas sosial yang berbeda. Perbedaan kelas sosial dalam masyarakat industri saat ini berdasarkan
pada kepemilikan wewenang dan kekuasaan. Hal ini telah diungkapkan oleh Dahrendorf sebagai kritik
sosiologis terhadap teori Karl Marx dalam upaya untuk menyesuaikan dengan konteks kehidupan
sosial pada saat ini. Dasar baru dalam pembentukan kelas yang diungkapkan oleh Dahrendorf sebagai
pengganti konsepsi kepemilikan sarana produksi Karl Marx.

1
Peryataan ini didasari oleh argumen Ketua Umum Presidium SBSI yang mengatakan bahwa Perusahaan “X” memiliki
organisasi yang tidak sehat dan tidak serius dalam menjalankan usahanya.
2
Cucu dari pengusaha Perusahaan “X” dan tidak memiliki posisi struktural dalam perusahaan. Keterlibatan dalam kasus ini
ialah melakukan negosiasi dengan pihak buruh dalam membahas nominal pesangon yang akan diterima buruh pada saat
pasca perundingan tripartit.
Kekuasaan dalam teori konflik yang dikemukakan Ralf Dahrendorf diartikan oleh Wallace dan
Wolf (dalam Novri Susan, 2009, hlm. 55) sebagai kekuasaan kontrol dan sanksi sehingga mereka
memungkinkan memiliki kekuasaan untuk memberikan perintah dan mendapatkan apa yang mereka
inginkan dari mereka yang tidak memiliki kekuasaan.
Sebagai sebuah perusahaan, Perusahaan “X” memiliki struktur organisasi yang terdiri dari
beberapa posisi yang diduduki oleh individu. Dalam setiap posisi dalam struktur perusahaan, memiliki
peran yang di dalamnya terdapat wewenang dan kuasa bagi yang menduduki posisi tersebut. Apabila
dilihat secara sosiologis, timbulnya peran yang berbeda dalam struktur sosial menimbulkan
kepemilikan wewenang dan kekuasaan yang berbeda pula. Sehingga, kondisi ini apa yang disebut oleh
Dahrendorf sebagai pembagian atau distribusi wewenang dan kekuasaan.
Perusahaan “X” dimiliki oleh seorang pengusaha. Sebagai seorang pengusaha memiliki tugas
dalam menjalankan fungsi kontrol secara langsung, baik kontrol dalam bentuk kebijakan dan korektif
terhadap tenaga kerja di perusahaan. Pendiri perusahaan memiliki tanggung jawab yang besar
terhadap kondisi perusahaan, baik dari segi ekonomi, pasar, tenaga kerja dan sebagainya. Kondisi ini
berjalan hingga dilibatkan pihak lain perusahaan yang menjadi Kepala Bagian Keuangan dan
personalia perusahaan. Pemilik perusahaan memberika tugas kontrol tenaga kerja kepada dua pihak
tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti, owner melibatkan pihak lain karena
kapasitasnya sudah tidak mampu untuk mengendalikan beberapa lini secara bersamaan.
Berdasarkan data yang telah diperoleh, Perusahaan “X” merupakan perusahaan yang
menggunakan sistem manajemen konvensional. Sistem manajemen ini lebih menekankan pada
kepercayaan kepada pihak lain untuk melakukan kontrol produksi dan ketenagakerjaan. Sistem
manajemen demikian merupakan sistem tradisional digunakan pada industri sehingga tidak banyak
memiliki struktur kerja dalam perusahaan dan mengakibatkan overlapping.
Distribusi wewenang dan kekuasaan menjelaskan bahwa terdapat pembagian peran dalam
struktur masyarakat tertentu yang dalam hal ini Perusahaan “X”. Pengusaha memiliki kewenangan
berupa kontrol kebijakan seperti nominal upah, Jamsostek dan keputusan mengenai komoditas yang
menjadi usahanya. Sehingga apabila perusahaan menerima order, owner menentukan harga untuk
pekerjaan yang akan dikerjakan buruh, selanjutnya owner memberikan perintah kepada personalia
atau Kepala Bagian Keuangan untuk melakukan kontrol terhadap buruh untuk melaksanakan
pekerjaan. Sedangkan buruh bertugas menyelesaikan pekerjaan berdasarkan bagian yang diperankan
dan memberikan hasil pekerjaan kepada bagian lain sesuai dengan tahap atau alur produksi.
Berbicara mengenai distribusi wewenang dan kekuasaan, buruh memiliki kapasitas pada
pengetahuan atas obyek yang dikerjakan. Namun wewenang dan kekuasaan yang dimiliki oleh buruh
sangat kecil bila dibandingkan dengan kelompok superordinat seperti owner, personalia dan Kepala
Bagian Keuangan. Pihak perusahaan menempati posisi sebagai superordinat dalam struktur sosial
masyarakat industri. Selain antara buruh dan pengusaha, Personalia dan Kepala Bagian Keuangan
juga memiliki hubungan kekuasaan dengan buruh kerah biru. Pihak tersebut melakukan pekerjaan atas
kehendak dari pengusaha untuk mengendalikan beberapa lini atau bagian dari perusahaan. Sehingga
dalam hal ini peneliti tidak menemukan secara khusus bagaimana spesialisasi personalia dan Kepala
Bagian Keuangan untuk menjelasakan distribusi wewenang dan kekuasaan. Namun, kondisi
empirisnya dari kepemilikan wewenang dan kekuasaan yang lebih tinggi menghasilkan hubungan
kekuasaan, seperti pemberian hak kepada buruh dan perilaku dalam interaksi antara pihak perusahaan
sebagai superordinat dan buruh kerah biru sebagai subordinat.

Implikasi Distribusi Wewenang dan Kekuasaan Perusahaan “X”


Kapasitas kepemilikan yang berbeda dengan pihak lain, dalam hubungannya akan
menghasilkan hubungan otoritas. Berdasarkan konteks penelitian ini, hubungan kekuasaan
digambarkan dengan hubungan antara superordinat dengan subordinat dalam masyarakat industri
menurut Ralf Dahrendorf.
Pada pembahasan ini, hubungan kekuasaan tampak dalam bentuk upah maupun kebijakan lain
yang diberlakukan oleh pengusaha, dalam hubungannya dengan buruh. Peneliti melihat bahwa
kecilnya upah yang diberikan oleh pengusaha dipengaruhi oleh kondisi perekonomian perusahaan.
Berdasarkan kondisi pasar yang semakin bersaing, Perusahaan “X” mengalami penurunan dalam
menjalankan usahanya. Hal ini ditunjukan dengan menurunya kuantitas pekerjaan atau order yang
diterima perusahaan. Penurunan ini mempengaruhi penghasilan yang diterima oleh buruh. Hal ini
disebabkan oleh sistem gaji yang diberlakukan kepada buruh konveksi sebagai buruh borongan dan
harian. Sehingga buruh akan menerima gaji apabila buruh mendapatkan pekerjaan. Berdasarkan pada
situasi demikian, buruh menerima upah yang apabila diakumulasikan dalam satu bulan berada
dibawah UMK yang telah ditetapkan Pemerintah Provinsi maupun Kota pada tahun 2013.3 Berdasarkan
data yang telah diperoleh, penurunan order yang dialami oleh perusahaan disebabkan oleh kondisi
pasar dari perusahaan atas produk yang dipasarkan terlalu kecil dan perlu adanya penataan produksi.
Sedangkan menanggapi kondisi demikian pengusaha tidak mau atau tidak mampu untuk melakukan
improvisasi atau pembenahan atas kondisi perusahaannya.
Pada kasus ini, peneliti melihat bahwa permasalahan upah merupakan penyebab yang paling
dominan, di samping itu terdapat hal lain yang menjadi penyebab konflik di Perusahaan “X”, yaitu
kebijakan mengenai Jamsostek yang diberikan kepada buruh. Pengusaha belum secara optimal
memberikan Jamsostek kepada seluruh buruh, khususnya buruh konveksi atau garmen. Optimalisasi
Jamsostek didefiniskan dengan memberikan jaminan kepada tenaga kerja yang terdiri dari seluruh
unsur Jamsostek itu sendiri.
Pekerjaan yang relatif sulit dan dirasa tidak berbanding lurus dengan upah yang diperoleh oleh
buruh membuat hubungan antara buruh dengan pihak perusahaan mulai tidak kondusif. Kondisi ini
diperparah pula dengan sikap dan tindakan yang semena-mena dilakukan oleh pihak perusahaan.
Pengusaha melakukan ancaman PHK; ancaman PHK tidak hanya dilakukan oleh pengusaha, tetapi
juga dilakukan oleh personalia perusahaan yang ditujukan kepada buruh di saat buruh melakukan
protes atas harga pekerjaan.
Menanggapi hal tersebut, buruh melakukan mogok kerja sebagai upaya lain apabila negosiasi
tidak berhasil. Mogok kerja yang dilakukan buruh merupakan bentuk dimana pihak yang terkait tidak
memiliki kepentingan yang sama. Buruh melakukan mogok kerja karena pengusaha enggan untuk
menaikan harga, sedangkan upah yang diterima buruh dirasa tidak memenuhi kebutuhan buruh.
Mogok kerja merupakan bentuk konflik yang lebih nyata dimana buruh melakukan perlawanan ketika
kepentingan buruh merasa terhalangi oleh kekuasaan pengusaha.
Apabila menyimak pembahasan sebelumnya, konflik yang ditunjukan dengan aksi mogok kerja
dilatarbelakangi oleh hubungan kekuasaan kelompok superordinat dan subordinat. Kekuasaan dalam
teori konflik yang dijelaskan oleh Dahrendorf diartikan oleh Wallace dan Wolf (dalam Novri Susan,
2009, hlm. 55) sebagai kekuasaan kontrol dan sanksi sehingga mereka mumungkinkan memiliki
kekuasaan untuk memberikan perintah dan mendapatkan apa yang mereka inginkan dari mereka yang
tidak memiliki kekuasaan. Perintah yang diberikan merupakan bentuk kontrol terhadap beberapa buruh
untuk melakukan aktivitas produksi yang bersifat legal atau syah karena karena implementasi dari
wewenang yang dimiliki oleh pihak atau kelompok perusahaan.
Apabila menyimak kembali pada kondisi empirisnya, buruh menuntut kenaikan harga untuk
setiap pekerjaan karena tidak sesuai dengan kebutuhan rumah tangga. Selain itu buruh menuntut
adanya keseimbangan antara tingkat kerumitan pekerjaan dengan upah yang diberikan pihak
perusahaan. Terdapat keterpaksaan yang dialami oleh buruh untuk melaksanakan pekerjaan yang
diberikan. Paksaan dilakukan oleh pengusaha dengan memberikan ancaman berupa keputusan PHK
apabila buruh melakukan protes dan melakukan perlawanan seperti mogok kerja. Hal ini dapat
menggambarkan bahwa pihak perusahaan dan buruh merupakan bentuk hubungan yang dikarakteri
oleh hubungan kekuasaan dan paksaan yang dilakukan untuk menciptakan keseimbangan. Seperti apa
yang dikatakan oleh Dahrendorf dalam teori konflik mengatakan bahwa, tidak ada kerja sama secara

3
Nominal UMK yang telah ditetapkan pada tahun 2013 di Kota Malang senilai Rp. 1.340.300.
sukarela atau konsensus umum tetapi pelaksanaan paksanaanlah yang menyebabkan organisasi
sosial melekat satu sama lain (Dahrendorf, 1986, hlm.201).
Namun, apabila dilihat dari sudut pandang konflik, hubungan keterpaksaan merupakan unit
analisis sosiologi konflik. Hubungan keterpaksaan dalam konteks konflik buruh dengan pengusaha
Perusahaan “X” ialah buruh tetap menjalankan pekerjaan yang diberikan oleh pihak perusahaan
meskipun buruh mengetahui bahwa mereka tidak mendapatkan apa yang sepatutnya mereka
dapatkan, seperti optimalisasi program Jamsostek, nilai gaji atau upah yang layak dan hak yang
lainnya. Berdasarkan pada konteks penelitian ini, peneliti melihat bahwa hubungan keterpaksaan pada
akhirnya tetap akan menjadi penyebab dari ketidakseimbangan sistem apabila tidak diiringi dengan
dukungan keberadaan nilai-nilai umum diantara bagian-bagian dari sistem dan tidak dapat saling
memelihara keseimbangan kekuasaan. Meskipun nilai-nilai maupun konsensus merupakan sebuah
karakteristik dari aliran utopia, namun tidak dapat dipungkiri bahwa bagian dari sistem memiliki
kapasitas tertentu untuk dipaksakan. Tidak terbantahkan apabila distribusi wewenang dan kekuasaan
memang digunakan untuk menciptakan pembagian kerja, namun pengelolaan terhadap kepemilikan
kekuasaan harus dilakukan dengan baik. Tindakan ini dapat dilakukan seperti membuka ruang
komunikasi yang bersifat dua arah.

Kepentingan Laten
Penjelasan kepentingan laten pada penelitian ini berada pada kondisi buruh belum menyadari
atau memiliki kepentingan untuk melakukan perubahan. Dahrendorf menjelaskan kepentingan laten
atau kepentingan obyektif adalah peranan yang diinginkan dalam arti arah perilaku yang diharapkan
berhubungan dengan peranan wewenang dalam perserikatan yang dikoordinasikan secara memaksa
(Dahrendorf, 1986, hlm. 201). Kepentingan obyektif bersumber dari posisi yang dimiliki oleh individu
saat berada di dalam struktur social
Pada kondisi awal dalam suatu wilayah sosial, seperti sebuah perusahaan, mereka yang
berada pada posisi subordinat atau sebagai the ruled class menyadari ketertindasan mereka.4
Kepentingan laten ditentukan oleh peranan atau posisi yang dimana individu berada, namun hal ini
tidak berarti tidak memiliki kesadaran terhadap ketertindasan yang dialami. Pada kondisi ini kelompok
subordinat cenderung melakukan pertahanan dan tidak memiliki kepentingan untuk merubah posisi
subordinat.
Dalam konteks konflik buruh dengan perusahaan Perusahaan “X”, kepentingan laten dimiliki
oleh buruh merupakan kepentingan yang didasarkan atas posisi sebagai buruh, yakni dalam ruang
lingkup perusahaan. Buruh memiliki posisi sebagai pihak yang berhubungan langsung dengan faktor
produksi dan bekerja sesuai dengan jenis pekerjaan yang telah ditetapkan. Dalam konteks yang lebih
luas, buruh merupakan individu sekaligus anggota masyarakat maupun keluarga. Buruh melakukan
pekerjaan guna mendapatkan imbalan berupa upah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
individu maupun keluarga. Pada pembahasan yang sebelumnya, buruh tetap mempertahankan
pekerjaannya meskipun buruh menerima upah tidak sesuai dengan tingkat kebutuhan hidup
Pada dasarnya buruh memiliki kepentingan semu atau laten di mana buruh memiliki
kepentingan sesuai dengan posisi maupun peran yang dimiliki dalam struktur sosial. Buruh memiliki
kepentingan untuk mempertahankan pekerjaan agar tetap mendapatkan penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Buruh merasakan ketertindasan atau kekurangan hanya pada tingkat level indiuvidu
dan belum melakukan upaya untuk merubah posisi subordinat maupun aksi mogok kerja. Sehingga
pada tahap ini tidak tampak bila dibandingkan dengan kepentingan nyata yang dapat digambarkan
dengan bentuk perlawanan seperti mogok kerja.
Kepentingan semu tersebar ke beberapa buruh dan bagi mereka yang belum melakukan
pergerakan untuk menentang hubungan kekuasaan dengan subordinat. Dengan dipersatukan dengan
rasa kebersamaan yang secara potensial permanen, sifat khas bersama maka mereka yang
menempati posisi wewenang yang sama ini menjadi lebih dari sekedar masa atau kumpulan orang

4
Novri Susan. 2009. Hal 57
yang tidak saling berhubungan dan kacau (Dahrendorf. 1959. 220). Kelompok ini tidak terorganisir
dengan baik karena belum adanya bentuk struktur atau kelompok yang secara tidak langsung
terbentuk.5 Kelompok semu secara tidak langsung terbentuk dengan sendirinya yang disebabkan oleh
kepentingan semu yang tersebar pada mereka yang merasa tertindas sebagai kelompok subordinat.
Dalam teori pertentangan, kelompok semu diartikan sebagai kelas-kelas sosial; kesatuan-kesatuan ini
tanpa kelompok dan menjadi rekrut anggota baru bagi kelompok-kelompok. Kepentingan laten atau
obyektif yang dimiliki yakni buruh melakukan pekerjaan sesuai dengan posisi yang ditempati dengan
memproduksi baju dan menginginkan mendapatkan upah untuk memenuhi kubutuhan hidup. Dalam
teori pertentangan yang dikemukakan oleh Dahrendorf kelompok semu yang secara tidak langsung
terbentuk menjadi tempat dimana merekrut anggota dari kelompok yang lebih nyata.

Kepentingan Manifest
Pada teori pertentangan yang dikemukakan Ralf Dahrendorf, kelompok yang lebih nyata
disebut sebagai kelompok kepentingan atau kelompok manifest. Kelompok ini merupakan tahap lanjut
dari kelompok semu yang belum teorganisir, baik anggota maupun struktur kelompok. Kelompok
kepentingan merupakan perkumpulan dari individu yang memiliki kepentingan nyata atau manifest dan
terkoordinasi.
Dalam konteks konflik antara buruh dengan pengusaha Perusahaan “X”, buruh melakukan
perlawanan dengan melakukan aksi mogok kerja, sebelum menjadi anggota SBSI, merupakan tahap
dimana buruh mulai memiliki kepentingan manifest. Pada kelompok ini belum terorganisir karena hanya
memiliki kepentingan yang dimiliki oleh buruh untuk menunjukan kepada pengusaha bahwa buruh
menginginkan kenaikan harga, upaya ini ditandai dengan buruh hanya berkumpul dan tidak
melaksanakan pekerjaannya secara bersama-sama. Tindakan itu dilakukan karena buruh memiliki
keinginan untuk kenaikan harga dan mendapatkan upah yang layak dari pekerjaan yang diberikan oleh
pengusaha, mendapatkan hak normatif tenaga kerja dan melepaskan dari ketertindasan.
Kepentingan nyata yang dimiliki oleh buruh ditandai dengan aksi mogok yang dilakukan oleh
buruh bagian konveksi. Berdasarkan data yang telah diperoleh, buruh melakukan mogok kerja
disebabkan oleh harga pekerjaan yang diberikan tidak menunjukan peningkatan. Kepentingan nyata
pada buruh merupakan tahap dimana buruh telah menyadari akan kepentingannnya sebagai tenaga
kerja dan mencoba untuk melepaskan diri dari ketertindasan yang ditandai dengan upah yang minim.
Kepentingan manifest yang dimiliki oleh setiap buruh secara teoritis didahului dengan adanya
proses penyadaran. Proses penyadaran ini dilakukan oleh beberapa orang yang terlebih dahulu
mengerti kepentingan yang harus diperjuangkan (Novri Susan, 2007, hlm. 57). Hal ini merupakan
proses sosiologis dimana buruh satu dengan buruh yang lain melakukan komunikasi untuk membentuk
suatu pemikiran yang sama mengenai kondisi yang dialami. Dalam konflik buruh dengan pengusaha
Perusahaan “X”, terdapat salah satu buruh konveksi yang lebih mengerti terlebih dahulu kepentingan
yang harus diperjuangkan. Hal ini ditandai dengan mogok kerja yang dilakukan secara individu dalam
rangka menentang atau menuntut kenaikan harga. Melalui kapasitas pengetahuannya, buruh tersebut
juga memberikan respon kepada sesama buruh lainnya atas kondisi yang dialami termasuk
membimbing sesama buruh untuk menyadari status pekerjaan yang dikerjakan. Hal ini terus dilakukan
hingga pada akhirnya membentuk suatu perkumpulan dan melakukan rapat atau pertemuan sebagian
buruh konveksi Perusahaan “X” dan melakukan aksi mogok kerja.
Di samping itu terdapat beberapa buruh yang secara nyata melakukan perlawanan atas
kehendaknya sendiri. Buruh berhenti bekerja atas kemauan dirinya sendiri tanpa adanya provokasi dari
pihak lain karena buruh merasakan adanya kekurangan atas harga yang diberikan dan melakukan
penawaran dengan cara berhenti atau mogok kerja.

5
Secara konseptual kelompok semu merupakan bukan kelompok yang dalam arti yang sesungguhnya, karena Dahrendorf
mengatakan bahwa tidak semua kolektivitas atau kumpulan orang merupakan kelompok. Namun Dahrendorf mengikuti
Morris Ginsberg menegnai kelompok semu.
Secara teoritis aksi mogok kerja yang dilakukan oleh beberapa buruh bukan merupakan
kelompok kepentingan melainkan perkumpulan dari individu yang telah menyadari kepentingannya,
yakni melepaskan diri dari ketertindasan. Pada tahap ini buruh hanya menyadari kepentingan yang
harus diperjuangkan namun bukan dikategorikan sebagai kelompok kepentingan karena kondisi ini
berbentuk perkumpulan individu dan belum membentuk organisasi dan memiliki program maupun
tujuan (Dahrendorf, 1959, hlm 222). Guna menindaklanjuti kondisi hubungan kekuasaan antara buruh
dengan pengusaha, buruh bergabung sebagai anggota serikat buruh dengan tujuan ingin mendapatkan
perlindungan hukum sebagai upaya buruh untuk melawan dan melepaskan diri dari ketertindasan.
Sebagai serikat buruh yang memperjuangkan kesejahteraan buruh, SBSI memberikan
beberapa pelatihan maupun pendidikan tentang ketenagakerjaan maupun organisasi. Sehingga
dengan ini buruh memiliki pengetahuan yang cukup tentang ketenagakerjaan maupun pengalaman
dalam menangani permasalahan ketenagakerjaan. Berkaitan dengan kondisi ini, buruh pada
sebelumnya tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai dirinya sebagai tenaga kerja. Melalui
pelatihan yang dilakukan oleh serikat buruh, buruh mengetahui sedikit demi sedikit tentang hukum
ketenagakerjaan.
Berdasarkan permasalahan yang sedang dialami, SBSI mengirimkan surat peringatan dan
permohonan untuk berunding kepada perusahaan sebagai tindakan advokasi. Namun upaya tersebut
tidak menemukan jalan keluar atas permasalahan. Hingga pada akhirnya SBSI beserta buruh
melakukan demonstrasi di depan perusahaan dan ditanggapi dengan keputusan PHK kepada seluruh
46 buruh yang melakukan demo. Menanggapi keputusan perusahaan, pihak buruh tetap melakukan
beberapa tindakan advokasi. Pada akhirnya perusahaan melalui pengacara, menyatakan tidak mampu
untuk memenuhi tuntutan buruh mengenai hak normatif sehingga pengusaha melalui pengacara tetap
membawa permasalahan ini ke meja pengadilan karena menurut pihak pengusaha menganggap PHI
memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Perbedaan khas antara kelompok semu dan kelompok kepentingan yang kita bicarakan dalam
studi ini bersumber dari asal usul struktur wewenang perserikatan atau dari ciri formal kepentingan
yang melandasi kelompok itu (tersembunyi dan nyata) sebagai kepentingan yang berkaitan dengan
legitimasi hubungan dominasi dan penundukan (Dahrendorf, 1959, hlm. 222). Kondisi kepentingan
yang membedakan jenis kelompok dalam pertentangan sosial dimana dalam konflik buruh dengan
perusahaan “X” terdapat dua kelompok kepentingan, yakni kelompok pengusaha atau pihak
perusahaan dan kelompok buruh (SBSI). Kelompok pengusaha memiliki kepentingan untuk
mempertahankan keuangan dan keutuhan perusahaan, dimana kondisi perusahaan sedang
mengalami ketidakmampuan secara finansial dalam memenuhi hak normatif buruh dan membawa
permasalahan di Pengadilan Hubungan Industri (PHI) yang memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Sedangkan kelompok buruh (SBSI) memiliki kepentingan untuk melepasakan dari ketertidasan dari
hubungan kekuasaan pengusaha dengan memperjuangkan hak normatif sebagai buruh.
Dahrendorf menjelaskan bahwa kepentingan manifest merupakan emosi kehendak yang
diarahkan menuju satu tujuan tertentu; formulasi dari isu yeng menggerakan pertentagan kelompok.
Namun di samping itu Dahrendorf juga menjelaskan bahwa kepentingan nyata adalah program dari
kelompok yang terorganisasi. Apabila menyimak pernyataan demikian, program dari kelompok yang
terorganisasi, bahwa hal ini merupakan formulasi dari kelompok kepentingan yang telah ada. Dalam
hal ini peneliti melihat bahwa pengertian kepentingan nyata yang paling mendasar sangat relevan
dengan emosi, kemauan dan kehendak seseorang untuk satu tujuan. Dalam penelitian ini, peneliti
melihat bahwa kehendak, kemauan dan emosi buruh yakni menginginkan upah yang sesuai dengan
kebutuhan hidup dan buruh menyesalkan atas kontrol yang dilakukan oleh pihak perusahaan
sebagaimana dengan apa yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Berkaitan dengan kesadaran manifest buruh, Dahrendorf menjelaskan bahwa kepentingan
manifest melalui penyadaran dari pihak yang terlebih dahulu mengerti kepentingan yang harus
diperjuangkan. Pada penelitian ini, peneliti melihat terdapat upaya penyadaran yang dilakukan oleh
salah satu buruh terhadap buruh lain. Namun, seperti apa yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa
buruh menyadari akan kepentingannya tidak hanya melalui proses penyadaran, namun didasari atas
kemauan sendiri. Pada saat buruh menerima upah yang dirasa kurang memenuhi untuk kebutuhan
hidupnya, buruh menentang dan melakukan perlawanan. Seperti pada penjelasan sebelumnya, buruh
melakukan mogok kerja atas inisiatif sendiri. Berdasarkan hal tersebut buruh secara naluriah
merasakan atas kekurangannya sebagai buruh dalam mendapatkan upah yang sesuai dengan
kebutuhan hidup. Dengan kata lain bahwa buruh menginginkan melepaskan diri dari ketertindasan
yang dilakukan oleh pihak perusahaan yang menekan buruh dengan upah rendah.

Owner

Keuangan Personalia Melakukan pekerjaan


Komunikasi dan dengan tingkat kerumitan
hubungan kekuasaan
yang relatif tinggi dan upah
yang rendah.
Buruh
Perintah dan sanksi
PHK yang ditujukan kepada
Buruh tetap buruh apabila tidak
melaksanakan Keterpaksaan melaksanakan pekerjaan
pekerjaan meski
terdapat dominasi
pihak perusahaan
Konflik

Penyadaran oleh
Naluri atau
buruh yang Kelompok Semu
Kepentingan Latent inisiatif
terlebih dahulu
buruh untuk
mengerti
melawan
kepentingan yang
dominasi
harus
Kelompok pengusaha
diperjuangkan Kepentingan Manifest
Kepentingan

Keterangan : : Superordinat :Bentuk dominasi


: Subordinat
Apabila menyimak kembali mengenai mekanisme konflik berdasarkana pada kondisi
empirisnya, dapat dijelaskan bahwa mekanisme konflik diawali dari distribusi wewenang dan
kekuasaan. Distribusi terjadi pada saat kepemilikan posisi dan peran dalam struktur sosial, yakni
strukktur sosial dalam Perusahaan “X”. Posisi tertinggi dalam struktur di atas diperankan oleh owner
atau pemilik perusahaan. Sebagai pemilik perusahaan memiliki wewenang dan kekuasaan terhadap
posisi lain yang lebih rendah. Dalam menjalankan perusahaannya menerapkan sistem menejemen
konvensional dan menekankan kepercayaan kepada beberapa pihak, yakni personalia dan Kepala
Bagian Keuangan untuk melakukan kontrol atas aktivitas produksi dan ketenagakerjaan di perusahaan.
Melalui kontrol yang ditujukan kepada buruh dalam menjalankan aktivitas produksi, terdapat hubungan
kekuasaan yang ditimbulkan dari perbedaan posisi dan peran dalam struktur sosial sebuah industri.
Pada pembahasan sebelumnya, hubungan kekuasaan ditandai dengan adanya kekuasaan kontrol dan
sanksi sehingga memungkinkan adanya kekuasaan untuk memberikan perintah kepada mereka yang
tidak memiliki kekuasaan atau yang lebih rendah.
Berdasarkan perintah atau kontrol yang diberikan oleh pihak perusahaan kepada buruh
memberikan dampak negative terhadap buruh, dimana buruh merasa dirugikan dalam hubungan
tersebut. Dalam hal ini buruh bagian produksi konveksi merasa dirugikan dan terdapat adanya
keterpaksaan dari buruh untuk tetap menjalankan aktivitas produksi meskipun buruh menyadari akan
ketertindasan yang dialami. Secara teoritis, buruh hanya memiliki kepentingan latent atau semu.
Kepentingan semu berada di bawah sadar dan ditentukan oleh posisi sebagai buruh maupun anggota
keluarga atau masyarakat. Dalam penelitian ini kepentingan semu yang dialami oleh buruh ialah
adanya keinginan untuk tetap mendapatkan penghasilan guna memenuhi biaya hidup. Berdasarkan
kepentingan semu yang dialami oleh buruh secara tidak langsung akan menciptakan kelompok semu.
Kelompok semu merupakan kelompok yang terdiri dari individu yang memiliki kepentingan latent atau
semu.
Berawal dari kepentingan semu yang dimiliki oleh buruh akan berubah menjadi kepentingan
nyata apabila buruh telah menyadari akan kepentingannya sebagai buruh. Dalam konteks penelitian
ini, buruh menyadari atas dirinya sebagai kelompok yang tertindas dipengaruhi oleh faktor penyadaran
dan inisatif buruh untuk melakukan perlawanan dominasi pihak perusahaan. Perlawanan ditandai
dengan aksi mogok kerja, guna memperjuangkan hak, buruh memutuskan untuk bergabung dalam
Serikat buruh Sosialis Indonesia (SBSI). Menurut Dahrendorf, SBSI dikategorikan sebagai kelompok
kepentingan yang siap melakukan perlawanan terhadap kelompok superodinat sebagai kelompok
kepentingan lain yaitu kelompok perusahaan.
Dalam penelitian ini, lahirnya konflik disebabkan oleh perbedaan kepentingan yang dimiliki oleh
masing-masing kelompok. Kelompok perusahaan memiliki kepentingan untuk mempertahankan
keuangan dan keutuhan perusahaan, dimana kondisi perusahaan sedang mengalami ketidakmampuan
secara finansial dalam memenuhi hak normatif buruh dan membawa permasalahan di Pengadilan
Hubungan Industri (PHI) yang memiliki kekuatan hukum tetap. Sedangkan kelompok buruh (SBSI)
memiliki kepentingan untuk melepasakan dari ketertidasan dari hubungan kekuasaan pengusaha
dengan memperjuangkan hak normatif sebagai buruh.

Resolusi konflik
Resolusi konflik merupakan upaya transformasi hubungan yang berkaitan dengan mencari jalan
keluar dari suatu perilaku konfliktual sebagai suatu hal utama (Nuri Rachma O., 2010). Dalam proses
penyelesaian ditujukan pada tercapainya bentuk kesepakatan bersama antara pihak yang sedang
berkonflik.
Konflik yang melibatkan antara buruh dengan pengusaha beserta manajemen perusahaan telah
diakhiri dengan bentuk negosiasi atau perundingan bipartit. Perundingan dilakukan antara buruh
dengan pihak perusahaan yang diwakilkan oleh cucu dari pemilik perusahaan. Perundingan dilakukan
pada saat pasca perundingan tripartit yang difasilitasi oleh Disnakertrans Kota Malang sebagai
mediator.
Menyimak dari kasus yang telah dijelaskan sebelumnya, penyelesaian konflik dilakukan dengan
perundingan secara bipartit. Secara sosiologis perundingan bipartit merupakan karakteristik dari
Compromise (Nuri Rachma O., 2010). Compromise adalah salah satu bentuk akomodasi di mana
pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian konflik. Pada
kasus ini mekanisme yang telah dilakukan berlangsung efektif dalam penyelesaian konflik karena
masing-masing pihak saling merasakan dan memahami keadaan pihak lain. Faktor tersebut dapat
bersifat kontekstual, dalam arti pada kondisi tertentu masing-masing pihak menginginkan hubungan
konflik cepat diakhiri karena terdapat kepentingan di luar hubungan konflik itu sendiri.
Kesimpulan
Mekanisme konflik terbentuk dari keterkaitan unsur yang muncul akibat distribusi wewenang
dan kekuasaan. Implikasi tersebut menjadikan beberapa unsur saling terkait dan bekerja semenjak
prakonflik hingga pasca konflik. Unsur yang muncul diantaranya hubungan kekuasaan antara
pengusaha dan buruh kerah biru, dominasi yang digambarkan dengan perintah dan sanksi,
keterpaksaan yang dialami oleh buruh kerah biru, bentuk kepentingan yang secara teoritis terdiri dari
kepentingan manifes dan laten.
Keterhubungan antara unsur yang ditimbulkan menjelaskan bagaimana mekanisme konflik di
Perusahaan “X” berlangsung. Gejala ini dapat dilihat pula melalui sudut pandang pola hubungan antara
buruh dan pengusaha dimana pihak perusahaan melakukan eksploitasi tenaga kerja dan buruh
melakukan perlawanan melalui aksi mogok dan demonstrasi.
Dalam mekanisme konflik, peneliti menemukan bahwa kepentingan manifes tidak hanya
terbentuk melalui penyadaran, namun terbentuk pada saat buruh dengan kapasitasnya tidak memiliki
kemampuan untuk mempertahankan diri sebagai kelompok tertindas.
Penyelesian konflik dilakukan melalui compromise oleh pihak buruh dan pihak perusahaan.
Pihak perusahaan diwakilkan oleh cucu dari pengusaha dan tidak memiliki hubungan struktural dalam
perusahaan. Hal ini dilakukan karena memiliki pandangan yang berbeda dengan pihak struktur
perusahaan mengenai mekanisme penyelesaian konflik industri. Perbedaan pandangan ini ditunjukan
dengan mekanisme penyelesaian konflik yang dilakukan. Pihak perusahaan menghendaki
penyelesaian melalui PHI sedangkan cucu pemilik perusahaan menginginkan penyelesaian konflik
melalui bipartit sehingga konflik dapat segera terselesaikan.
Daftar Pustaka
Dahrendorf, Ralf. 1959. Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri. Jakarta: CV. Rajawali
Poloma, Margaret M. 2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali
Prints, Darwan. 1994. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Prestasi Pustaka: Jakarta; Hal. 71
Ritzer, George & Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.
Salim, Agus. 2005. Teori dan Paradigma Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Susan, Novri. 2009. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Prenada Media
Group
Susetiawan. 2006. Konflik Sosial: Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan dan Negara di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Usman, Husaini & Akbar, Purnomo S. 2008. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Oktaviani, Nuri Rachma. 2010. Konflik Pekerja dengan Pengusaha di PT. Krene-Gresik (Studi kasus tentang
pemetaan konflik, resolusi konflik dan solidaritas pekerja di PT. Krene-Gresik). Skripsi tidak
diterbitkan. Malang: Universitas Brawijaya
SMERU. 2002. Hubungan Industrial di Jabotabek, Bandung dan Surabaya pada Era Kebebasan Berserikat.
(Published). Diakses melalui world wide web
http://id.pdfsb.com/readonline/59464243657778355748783541587468-3857470. Diakses pada
tanggal 27 Maret 2013

Anda mungkin juga menyukai