Permukiman dapat diartikan sebagai tempat (ruang) atau suatu daerah dimana
mengikuti jalan, sungai, rel kereta api atau pantai. (b) Pola pemukiman terpusat
yang berelief kasar, dan terkadang daerahnya terisolir. (c) Pola pemukiman
tersebar yaitu terdapat di daerah dataran tinggi atau daerah gunung api dan
daerah-daerah yang kurang subur. Pada daerah ini penduduk akan mendirikan
pemukiman secara tersebar karena mencari daerah yang tidak terjal, morfologinya
pemukiman yang terjadi. Bila dilihat pada peta diatas, pola pemukiman yang
memanjang mengikuti jalan. Pemukiman penduduk berada pada sebelah kiri bahu
jalan.
Pada peta diatas kita dapat melihat persebaran suku Batak Toba dan Batak
daerah yang memiliki sumber air dan jaringan jalan yang baik. Misalnya akses
jalan yang strategis dan sumber air yang dekat. Di dekat akses jalan yang strategis
pola persebaran pemukiman yaitu air, kesuburan tanah, lokasi, kegiatan ekonomi,
Suku pertama yang mendiami desa Bangun adalah suku Batak Pakpak,
sehingga mereka tentunya mengambil lokasi pemukiman yang baik. Berada dekat
dengan akses jalan yang strategis dan sumber air yang dekat. Persebaran
penduduk suku Batak Pakpak berada dekat dengan sumber airpancur dan jalan
sendiri. Sama halnya dengan suku Batak Pakpak yang mengambil lokasi di dekat
yang lain. Sehingga pola pemukiman suku Batak Pakpak membentuk kelompok
Demikian halnya dengan suku Batak Toba sebagai suku pendatang, suku
Batak Toba mendapat lokasi pemukiman yang tersisa. Jauh dari sumber air dan
akses jalan yang tidak strategis. Sehingga lokasi pola pemukiman suku Batak
Toba berbeda dengan suku Batak Pakpak. Suku Batak Toba menempati daerah
yang masih kosong yaitu daerah yang berbukit dan miring. Banyak masyarakat
pendatang yang memiliki lokasi pemukiman di daerah yang miring dan berbukit,
sehingga tak jarang jalan menuju rumah penduduk memiliki tangga tanah dan
sumber air, jalan yang strategis, dan kultur penduduk. Sama halnya dengan suku
Batak Toba sebagai suku pendatang akan mengambil lokasi pemukiman yang
merupakan jalan lintas yang menghubungkan antara kota Dolok sanggul dengan
Sidikalang . Jalan lintas di desa ini berbentuk lurus memanjang dan rumah
penduduk berjejer di sepanjang pinggir jalan mengikuti alur jalan lintas. Apabila
kita melintasi desa ini menuju kota Dolok sanggul, sebagian besar rumah
penduduk berada di sebelah kiri bahu jalan. Hal ini karena desa Bangun
merupakan daerah pegunungan dan lahan di sebelah kiri bahu jalan lebih datar
dibandingkan lahan disebelah kanan bahu jalan. Lahan disebelah kanan bahu jalan
halangan.
jalan mengakibatkan lahan yang kosong disebelah kanan bahu jalan lebih banyak.
lebih luas seperti gereja, mesjid, sekolah, kantor, dan tugu berada di sebelah kanan
bahu jalan.
Pada peta diatas terlihat tiga simpang yang ada di desa Bangun. Salah
satunya adalah simpang Inpres. Ketika berjalan dari kota Sidikalang menuju desa
ini, hal yang pertama kita lihat adalah simpang Inpres. Simpang Inpres ini adalah
batas wilayah desa Bangun dengan desa lain. Sekitar 20 meter dari simpang
Masyarakat yang menganut Gereja Kristen Pakpak Dairi yang ada di desa ini
bukanlah masyarakat Batak Pakpak yang ada di desa tersebut. Tetapi masyarakat
yang datang dari desa lain. Tidak diketahui informasi yang memberi alasan
mengapa Gereja Kristen Pakpak Dairi tersebut dibangun di desa yang tidak
memiliki penganut dari desa tersebut tetapi penganutnya dari luar desa. Setelah itu
Puskesmas Pembantu yang tersedia di desa ini hanya satu yaitu berada di Dusun I
(Bangun Simartolu). Lokasi Puskesmas Pembantu ini cukup jauh dari lokasi
Dusun II (Bangun II) dan Dusun III (Barisan Tigor). Banyak masyarakat lebih
memilih ke luar desa yang berbatasan dengan Dusun II dan Dusun III karena
dengan persebaran penduduknya. Hal ini tentu memudahkan umat yang beragama
Islam untuk mengakses tempat beribadah. Sekitar dipertengahan jalan desa, ada
bangunan SMP N 1 Parbuluan. Sekolah ini cukup besar dan luas. Hampir semua
masyarakat desa bersekolah disini. Dan dari beberapa luar desa lainnya juga
sekolah disini. Bahkan tidak menutup kemungkinan peminat sekolah ini datang
dari kota Sidikalang. Tak jauh dari sekolah ini, kita akan melihat bangunan Gereja
Katolik Santo Yosef. Penganut agama Kristen Katolik adalah sebagian besar
berasal dari suku Batak Pakpak. Jumlah penduduk yang menganut agama Kristen
Katolik tidak terlalu banyak sehingga sarana gereja hanya satu dan tidak terlalu
besar.
besar berwarna putih dipadukan dengan beberapa bagian yang berwarna coklat.
generasi dari marga Capah. Tugu ini berada pada persebaran pemukiman
artinya jarak tugu ke pancur cukup dekat. Pancur tersebut merupakan sumber
mata air yang digunakan masyarakat sekitar untuk kebutuhan kehidupan sehari-
hari. Sumber air pancur tersebut berasal dari mata air dari desa lain. Sebelumnya
air pancur ini adalah salah satu sumber mata air yang digunakan oleh masyarakat
desa Bangun untuk kebutuhan sehari-harinya. Di desa Bangun hanya ada dua
menyalurkan air gunung dari desa lain melalui penanaman pipa-pipa di depan
rumah penduduk di sebelah kiri bahu jalan atau yang sering disebut dengan
dibawah jalan. Kemudian pemerintah juga memfasilitasi beberapa bak air untuk
masyarakat atau yang sering disebut dengan air pet. Tetapi jarak antara air pet
yang satu dengan yang lain masih sangat jauh. Akibat tingginya kebutuhan akan
air bersih apalagi pada saat musim kemarau, beberapa masyarakat membentuk
Pembangunan bak air ditujukan kepada masyarakat yang mau menanggung rata
semua biaya pembangunan bak air. Jadi hanya untuk beberapa kepala rumah
tangga yang mau dan tidak ada unsur paksaan. Dengan pembayaran pembangunan
bak air yang merata oleh beberapa kepala rumah tangga, memiliki hak dan
kewajiban yang sama untuk penggunaan dan perawatan bak air. Bagi masyarakat
yang tidak ikut membayar iuran tidak memiliki hak atas air tersebut. Masyarakat
diluar pemilik bak air boleh saja mengambil air dari bak air tersebut. Tetapi tidak
diharuskan untuk menginap dan membeli obat. Apabila terkena penyakit ringan
seperti influenza dan demam, sebagian besar masyarakat banyak yang meminta
obat kepada orang yang mengerti tentang kesehatan. Seperti tamatan kebidanan
atau pun keperawatan yang menyediakan obat di rumah. Biasanya itu tidak
Untuk pembangunan kantor kepala desa berada di Dusun II. Menurut salah
Untuk mendapatkan lahan yang kosong yang luas untuk pembangunan kantor
kepala desa sudah cukup sulit. Sebelumnya kantor kepala desa Bangun belum ada
dan semua aktivitas pemerintahan desa dilakukan dirumah kepala desa. Hal ini
karena sebelumnya desa Bangun dan desa Bangun I disatukan menjadi satu desa
dan satu pemerintahan. Dilihat pada tingkat perkembangan penduduk yang sudah
semakin bertambah pada tahun 2007 desa Bangun dimekarkan menjadi dua desa
kantor kepala desa untuk desa Bangun. Pembangunan kantor kepala desa
dilakukan sekitar kurang lebih 6 tahun yang lalu. Pekarangan kantor ini cukup
luas. Jalan menuju kantor ini mendaki karena terletak di daerah yang cukup
miring.
Kepala desa yaitu Japirin Sihotang dengan BPD yang diketuai oleh Ningot
Simartolu) yaitu Walden Sihotang. Kepala dusun II (Bangun II) yaitu Sergius
Simanjorang. Kepala dusun III (Barisan Tigor) yaitu Paris Simamora. Semua
Selain struktur pemerintahan desa, ada juga organisasi sosial yang lebih
sering disebut dengan STM (Serikat Tolong Menolong). Organisasi ini memiliki
peranan yang sangat penting pada kehidupan sosial masyarakat. Sesuai dengan
namanya, organisasi ini merupakan organisasi untuk saling tolong menolong antar
masyarakat baik dalam kehidupan suka cita maupun duka cita. Dan adanya rasa
senasib dan sepenanggungan antar sesama anggota STM. Tujuan STM ini
dengan kegiatan pertemuan rutin serta berperan aktif dalam kegiatan sosial dan
budaya serta memberi bantuan sebagai perwujudan rasa dan sifat sosial kepada
sesama anggota yang mendapat suka cita maupun duka cita dengan bantuan moral
maupun material. Pengurus STM dipilih dan disahkan oleh rapat anggota dengan
cara musyawarah dan mufakat serta dipercayakan untuk mengemban tugas dan
Pertama sekali, kepala desa Bangun adalah orang Toba yaitu Gersom
Sihotang. Beliau sudah menjadi kepala desa sejak desa Bangun dibentuk dan
belum berdiri. Kemudian setelah desa Bangun berdiri pada tahun 1961, desa
Bangun dipimpin oleh Kornelus Situmorang. Setelah itu digantikan oleh Sudin
memberikan hak kepemimpinan kepala desa kepada suku Batak Pakpak yaitu
dari masyarakat. Kepala desa dipilih langsung oleh penduduk desa dari calon yang
memenuhi syarat yang dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
pemilihan kepala desa dipilih oleh masyarakat dan berlangsung menurut Undang-
Undang.
Bila dilihat pada tabel diatas, posisi kepemimpinan kepala desa Bangun
mayoritas suku Batak Toba. Kepala desa dari suku Batak Pakpak hanya
berlangsung pada satu periode yaitu yang dipegang oleh M.H.Capah. Masa
berbeda dengan masa kepemimpinan suku Batak Toba yang hanya berlangsung
selama 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun atau pun 5 tahun. Setiap beberapa tahun masa
kepemimpinan suku Batak Toba selalu digantikan dengan suku Batak Toba yang
lainnya.
oleh suku Batak Toba. Dan untuk menghargai suku Batak Pakpak sebagai raja ni
huta, suku Batak Toba memberikan kesempatan kepada suku Batak Pakpak untuk
memimpin dan menjadi kepala desa. Sehingga M.H. Capah memimpin desa
selama 24 tahun. Hal ini karena suku Batak Toba sangat menghargai kedudukan
suku Batak Pakpak sebagai raja ni huta. Didukung lagi karena dari suku Batak
Pakpak tidak ada yang mampu menjadi kepala desa menggantikan posisi beliau.
Desa Bangun biasa juga disebut “Tanah Pakpak” sebab penduduk aslinya
adalah orang Pakpak. Suku Batak Toba sebagian besar mata pencahariannya
adalah bertani. Jadi mereka sangat tergantung pada tanah atau lahan pertanian
Pada dasarnya manusia tidak ingin hidup dengan kondisi kemiskinan dan
manusia tidak ada yang merasa puas terhadap apa yang didapat di dalam
hidupnya. Demikian halnya dengan orang Batak Toba yang selalu memegang
teguh filosofinya. Bagi mereka filosofi ini harus dapat di wujudkan bagi suku
Batak Toba dimana mereka berada. Adapun filosofi orang Batak Toba adalah
lahan pertanian dan tanah yang dimiliki. Tanah memiliki arti yang sangat penting
bagi suku Batak Toba. Dengan memiliki tanah yang banyak maka akan dipandang
banyak anak sebagai penerus keturunan. Keinginan ini harus dibarengi banyaknya
tanah yang dimiliki. Karena tanah memiliki fungsi ganda yaitu sebagai sumber
keluarga dan untuk mencapai kepemimpinan dalam arti di sini yaitu kehormatan
keluarga juga semakin bertambah. Hal ini tidak didukung dengan peningkatan
sudah mendarah daging dalam kehidupan setiap orang Batak Toba yang
berfungsi sebagai lahan pertanian maupun sebagai tanah warisan yang akan
diberikan kepada anak-anaknya jika dia sudah meninggal. Hal inilah yang
menjadi faktor pendorong bagi suku Batak Toba melakukan migrasi ke daerah-
daerah lain.
informasi yang diperoleh, suku Batak Toba yang melakukan migrasi berasal dari
daerah Tapanuli Tengah. Daerah Tapanuli merupakan daerah yang kurang subur,
dikonsumsi oleh keluarga dan kebutuhan hidup yang lain sehingga mereka
kelangsungan hidup suku Batak Toba melakukan migrasi ke desa Bangun dengan
alasan tanah di desa Bangun tersebut cukup subur dan mendukung untuk bercocok
tanam. Kesuburan daerah ini menjadi faktor penarik terhadap suku Batak Toba
yang lain. Sehingga perlahan-lahan suku Batak Toba mendiami hampir seluruh
berdomisili ke desa Bangun harus meminta ijin terlebih dahulu kepada raja tanah
yaitu suku Batak Pakpak. Dengan hasil perundingan dan ijin dari raja tanah,
pendatang baru bisa bergabung dan menetap di desa Bangun. Begitu juga halnya
pada acara pesta pernikahan, pesta kematian saur matua, memasuki rumah baru,
orang Batak Toba selalu memberi jambar atau bagianpada orang Batak Pakpak.
Seperti halnya juga dengan penjualan tanah, pembelian tanah, dan proses
pinjaman masyarakat ke Bank. Tanda tangan raja tanah yang diwakilkan oleh
yang diperlukan tidak ada, maka penjualan tanah dan pembelian tanah dianggap
tidak sah. Proses pinjaman masyarakat ke Bank dengan cara menggadaikan harta
seperti tanah dan rumah juga harus diketahui dan ditandatangani suku Batak
Pakpak. Setelah itu segala persyaratan dan proses pencairan dana bisa dilakukan.
Suku Batak Toba sebagai suku pendatang membawa budaya sendiri dan
menjalankan budayanya di derah yang bukan daerah dimana suku Batak Toba
berasal. Kebudayaan yang dibawa suku Bata Toba akan dipraktekkan ataupun
dilaksanakan di daerah migrasinya yaitu desa Bangun. Kuatnya suku Batak Toba
Jumlah penduduk suku Batak Toba yang lebih banyak daripada suku
Batak Pakpak menjadikan suku Batak Toba menjadi suku mayoritas di desa
agama, ekonomi, moral, politik dan sebagainya. Minoritas lebih mudah ditindas
dan lebih sering mengalami penderitaan karena tekanan oleh pihak mayoritas.
sosial yang ditandai oleh sikap subyektif berupa prasangka dan tingkah laku yang
tidak bersahabat.
asli adalah setiap orang yang lahir di suatu tempat, wilayah atau negara, dan
menetap di sana dengan status asli sebagai kelompok etnis yang diakui sebagai
suku bangsa bukan pendatang dari daerah lainnya. Telah dijelaskan sebelumnya
bahwa suku pertama yang mendiami desa Bangun yaitu marga Capah. Marga
Capah merupakan raja tanah dan pemilik hak ulayat di desa Bangun. Desa
Bangun merupakan wilayah kekuasaan yang diberikan nenek moyang suku Batak
Suku Batak Pakpak menerima kedatangan suku Batak Toba yang datang
Pakpak, tidak ada persyaratan tertentu yang diberikan oleh raja tanah kepada
masyarakat pendatang bisa masuk ke daerah dan tinggal menetap begitu saja.
memberitahukan kepada raja tanah Pakpak yang diwakilkan oleh penatua marga
Suku Batak Toba di tanah pakpak sudah memiliki tanah yang dibeli dari
suku. Walaupun demikian bukan berarti masyarakat pendatang baru tidak perlu
meminta ijin kepada suku Batak Pakpak karena tidak membeli tanah dari suku
Batak Pakpak. Sudah menjadi keharusan bagi suku pendatang harus meminta ijin
kepada suku Batak Pakpak sebagai raja tanah di desa Bangun. Baik membeli
tanah dari suku asli yaitu suku Batak Pakpak itu sendiri atau pun dari suku lain.
Hal ini dikarenakan suku Batak Pakpak sebagai raja tanah sekaligus sebagai raja
ni huta.
Suku Batak Pakpak adalah penguasa desa Bangun. Demikian suku Batak
datang. Suku Batak Pakpak juga memiliki hak untuk mengusir masyarakat yang
Seperti pada kasus yang pernah terjadi dengan keluarga Bapak Aritonang
(+) yang hampir diusir oleh masyarakat suku Batak Pakpak. Saat itu anak-anak
keluarga bapak Aritonang hampir tiap malam membuat keributan. Mereka saling
dari suku Batak Toba mengajukan kepada penatua-penatua dari suku Batak
Pakpak untuk segera mengusir mereka. Tetapi dengan kemurahan hati yang
bapak Aritonang.
Bangun diakui semua masyarakat. baik masyarakat Batak Toba yang jumlahnya
lebih banyak dibandingkan suku Batak Pakpak tetap sangat menghargai posisi
PAKPAK
manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah bukan hanya dalam kehidupannya,
untuk matipun manusia masih memerlukan tanah. Jumlah luas tanah yang dapat
dengan tanah semakin lama semakin bertambah. Penggunaan tanah juga sudah
memiliki aturan penggunaan, ada pemilik kekuasaan tanah atau yang sering
Hak ulayat merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam
hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah
suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama
para masyarakatnya.
Toba meminjam lahan milik suku Batak Pakpak. Kemudian membuka lahan
persawahan dan tentu lebih banyak yang membuka kebun kopi karena kondisi
daerah yang cocok untuk tanaman keras dan tanaman muda. Tanaman kopi
merupakan salah satu tanaman yang diperkenalkan suku Batak Toba dari Tapanuli
Tengah ke desa Bangun. Lahan yang digarap suku Batak Toba selalu memiliki
akhirnya perekonomian suku Batak Pakpak jauh tertinggal. Hal ini mendorong
banyak dari suku Batak Pakpak yang menjual tanahnya ke suku Batak Toba.
Di desa ini juga pernah dilakukan sistem pinjam lahan. Suku Batak Toba
meminjam lahan suku Batak Pakpak. Suku Batak Toba memberikan hasil panen
mereka kepada suku Batak Pakpak saat datang berkunjung kerumah suku Batak
Toba. Pemberian hasil panen tersebut dianggap sebagai ucapan terima kasih suku
Batak Toba terhadap suku Batak Pakpak karena telah diijinkan menggunakan
lahan pertaniannya. Suku Batak Toba membantu suku Batak Pakpak pada saat
suku Batak Pakpak mengalami kesulitan. Seperti yang diungkapkan salah seorang
informan, suku Batak Pakpak berkunjung ke rumah suku Batak Toba untuk
meminjam uang.
“Jolma parjolo dison halak Pakpak do, molo hami joma naro
do tuson. Molona huboto, ujui na ro do akka oppung na
parjolo ro tu huta on. Alana tano di huta on subur do, aha pe
neng sisuanon mangolu do. Uju i masa do dison maminjam
juma, molo panen ba ilean ma saotik hasil panen i tu halak
Pakpak. Baa halaki pe sae ro do martanddang tu jabu, ba
molo adong ikan rappak mangan halaki. Olo do muse ro
manjalo hepeng, ala porlu. Ba molo adong hepeng ni jolma i,
ilean do tu halak Pakpak i. Nianggap ma i hamuliateon niba.
Ala nga nipakke tano na.” (Ester Manullang)
Artinya :
“Desa ini bagian kami dari oppung kami. Dulu datang orang
Toba ke desa ini. Karena tanah di desa ini sangat subur.
Orang Toba ini dulu meminjam lahan ke orang Pakpak, kalau
orang itu panen dibagilah hasil panennya ke orang Pakpak.
Kalau datang orang Pakpak ke rumahnya dikasih makan,
dikasih beras. Lama lama, tanah yang digarap itu jadi lupa.
Jadi gak diingatnya lagi. Dan orang yang meminjam dan
meminjamkan udah meninggal. Tanah itu udah dikasih ke
anak-anaknya. Jadi tanah orang Toba lah tanah itu. Itu yang
membuat makanya jadi ada tanah orang Toba disini. Orang
Toba ini pun pintar, dibuat lah surat tanahnya.” (Soara
Capah)
Sistem pinjam lahan tersebut terus berlanjut. Suku Batak Toba masih tetap
menjadi hak kepemilikan suku Batak Toba. Akhirnya dalam waktu yang cukup
lama, sistem pinjam tanah tersebut dilupakan. Hal tersebut didukung oleh usia
yang menua antara pihak-pihak yang bersangkutan. Peminjam lahan dan yang
meminjamkan lahan sudah meninggal. Lahan tersebut sudah digarap oleh anak
anak suku Batak Toba. Sebelumnya kedua suku tersebut tidak memiliki perjanjian
tersebut sudah menjadi lahan mereka, karena mereka telah memberi makan dan
uang sebagai bayaran tanah tersebut kepada suku Batak Pakpak. Semua
Tetapi, tidak semua lahan yang dimiliki oleh suku Batak Toba merupakan
lahan yang dipinjam dari suku Batak Pakpak. Dari hasil wawancara yang penulis
temukan dilapangan, dulu pembelian tanah terjadi dengan sistem tulak cangkul
artinya sistem barter yang dilakukan oleh suku Batak Toba dan Batak Pakpak.
Suku Batak Pakpak yang membutuhkan uang atau beras menawarkan tanahnya
kepada suku Batak Toba. Apabila kedua belah pihak menyetujuinya, maka
Sistem kepemilikan tanah dalam pembelian tanah tidak ada yang namanya
surat resmi kepemilikan tanah yang diberikan suku Batak Pakpak, jika ada orang
yang membeli tanah hanya dengan kata deal atau tanda kata sepakat. Jadi tidak
ada bukti yang kuat apabila suatu saat terjadi konflik kepemilikan tanah antara
Ibu Simamora(+). Dimana setelah kurang lebih 25 tahun yang lalu pembelian
tanah diungkit kembali. Ibu Capah mengatakan bahwa tanah tersebut milik Ibu
Capah. Padahal selama ini secara nyata tanah tersebut milik Ibu Simamora dan
digarap oleh keluarganya. Pada tahun 2013 yang lalu, hal tersebut diungkit
kembali. Tidak ada bukti yang kuat yang mengatakan tanah tersebut milik marga
Ibu Simamora ataupun Ibu Capah. Karena Ibu Simamora belum membuat surat
tanahnya. Sebelumnya tanah itu dijual ke Ibu Simamora dengan meminta uang
sebanyak Rp.75000 untuk biaya ongkos Ibu Capah ke Medan. Karena tidak ada
surat perjanjian atau pun surat tanah yang dimiliki oleh Ibu Simamora, kasus
tersebut tidak bisa dimenangkannya. Ketika ingin melaporkan kepada pihak yang
berwajib, tidak ada bukti kuat yang dapat membantu kasus Ibu Simamora.
Akhirnya marga Capah (diwakilkan oleh Bapak Jabbang Capah) mengambil hak
milik tanah tersebut kembali menjadi hak milik marga Capah. Kemudian dengan
hasil perundingan suku Batak Pakpak membayar dispensasi untuk Ibu Simamora.
Dispensasi yang diberikan bukan merupakan uang untuk membeli tanah Ibu
Simamora. Untuk selang beberapa waktu sampai batas yang ditentukan oleh suku
Batak Pakpak, Ibu Simamora diijinkan untuk mengambil hasil panen yang ada di
lahan tersebut. Kemudian lahan tersebut menjadi hak milik suku Batak Pakpak
dan hasil panen yang ada di lahan tersebut dapat diambil oleh suku Batak Pakpak,
atau pun mengganti tanaman tersebut menjadi tanaman baru. Lahan pertanian
tersebut tidak diberikan kepada Ibu Capah ataupun Ibu Simamora. Tetapi siapa
marga Capah dan semua keputusan tentang tanah tersebut merupakan keputusan
banyak masyarakat Toba yang sudah mulai mengurus surat tanah atas nama diri
sendiri. Untuk menghindari masalah yang terjadi di masa mendatang dan hak
kebutuhan air, sumber air yang digunakan masyarakat desa Bangun berasal dari
air hujan, air pancur dan air gunung atau yang sering disebut dengan air pet.
dan mencuci. Suku Batak Pakpak memiliki hak kepemilikan atas air pancur.
Sedangkan suku Batak Toba menggunakan fasilitas air pet yang disediakan oleh
pemerintah. Sebelum air pet menggunakan pipa air yang difasilitasi oleh
Suku Batak Toba dan Batak Pakpak bekerja sama membersihkan, membangun,
dan memperbaiki jalannya air. Mereka selalu bergotong royong setiap bulan dan
Menurut salah satu informan suku Batak Toba mereka hanya menumpang
menggunakan air tersebut. Dan suku Batak Pakpak merupakan pemilik air pancur
bahwa :
“...dang dison aek nami, aek pet do aek nami. Molo pancur on
ni halak Pakpak on do on. Molo mate aek nami olo ma ro
hami tu pancur on. Halaki pe sering do ro mambuat aek tu
pet. Deba do jolma dohot margugu mambayar pembangunan
ni aek pet. Jadi dang sude jolma adong aek pet na.”
Artinya :
“...Gak disini air kami, air petnya air kami. Kalo pancur ini
punya orang Pakpaknya ini. Kalo air pet mati maulah kami
datang ke air pancur ini. Orang Pakpak juga sering datang
mengambil air ke pet. Sebagian orangnya yang mau ikut
membayar pembangunan air pet ini. Jadi gak semua orang
ada air pet nya.
iuran dan pembangunan bak air mengatakan bahwa air pet tersebut itu miliknya
dan merasa keberatan apabila masyarakat lain mengambil air dari pet tersebut.
Walaupun yang menggunakannya adalah sesama sukunya atau suku yang lain.
Salah satu informan yang berasal dari suku Batak Pakpak mengatakan
bahwa air pet tersebut adalah fasilitas yang diberikan pemerintah. Jadi dapat
digunakan oleh siapa pun. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis,
beliau mengatakan bahwa sering sekali terjadi keributan akibat dari penggunaan
air pet. Dimana masyarakat yang tidak ikut membayar iuran mencuci pakaiannya
di air pet tersebut. Sehingga masyarakat yang memiliki hak atas pancur tersebut
merasa terganggu ketika ingin mencuci pakaiannya. Dalam hal ini, kepentingan
berkurang. Sebelumnya masyarakat hanya memanfaatkan air pancur dan air hujan
untuk kebutuhan air. Tetapi setelah fasilitas pipa air pet diberikan pemerintah,
masyarakat banyak membuat bak air sendiri untuk kebutuhan beberapa pribadi.
Misalnya 5-10 keluarga membangun bak air untuk penggunaan pribadi mereka.
Jadi penduduk yang tidak ikut membayar iuran untuk pembangunan bak air tidak
diijinkan menggunakan air untuk mencuci. Kalau hanya untuk sekedar mengambil
air untuk kebutuhan minum, yang diisi dalam bentuk jeregen atau ember masih
bak air pribadi yang menggunakan bak air orang lain untuk mencuci. Sehingga
Sebagian besar suku Batak Pakpak masih tetap menggunakan air pancur.
Mereka hanya mengambil air dari air pet untuk pengunaan memasak. Selebihnya,
dan kaskus.
pemukiman yang memanjang dan berhadapan antar rumah yang satu dengan yang
rumah, MCK (mandi cuci kaskus), bahkan lapo tuak juga tersedia untuk mereka.
Jadi tidak banyak waktu mereka bersosialisasi dengan masyarakat lain. Aktivitas
bahasa daerah, yaitu bahasa Batak Toba. Keberadaan orang Batak Toba di desa
Bangun membawa pengaruh yang cukup besar baik dalam bidang bahasa,
desa Bangun, sehingga berbagai hal acara yang dilakukan oleh suku Batak Toba,
suku Batak Toba selalu mengikutsertakan suku Batak Pakpak. Dalam setiap acara,
suku Batak Pakpak mendapat jabbar (bagian) yang berupa daging. Misalnya
dalam pesta pernikahan, suku Batak Pakpak menjadi raja na nidapot yang
tanah dalam suatu acara dan pesta sangat penting. Kehadiran mereka menjadi
kepada raja na nidapot, diakui akan terjadi hal yang merusak dan mengganggu
jalannya acara pesta terebut. Seperti kasus salah seorang Jaksa marga Simbolon
yang mengadakan pesta tanpa meminta ijin kepada raja na nidapot. Pada saat
berlangsungnya acara, tenda pesta yang digunakan jatuh dan terbalik. Masyarakat
meminta ijin kepada raja na nidapot. Kemudian raja na nidapot akan mendoakan
Pada acara adat, suku Batak Pakpak tidak lagi mengunakan acara adat
Batak Pakpak. Misalnya pada acara pesta pernikahan salah satu dari suku Batak
Pakpak, suku Batak Pakpak tidak lagi menggunakan pakaian adat yang
Walaupun pengantin laki-laki dan perempuan berasal dari suku Batak Pakpak.
Atau salah satu dari pengantin berasal dari suku Batak Pakpak dan satu lagi dari
dan pakaian adat Batak Pakpak. Perubahan adat perkawinan ini disebabkan
masyarakat Batak Toba banyak yang tinggal dan bermukim di desa Bangun. Dan
yang menjadi faktor pendukung lainnya adalah karena perkawinan yang terjadi
4.4. Agama
Hubungan suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak juga terlihat pada
pembagian keagamaan. Dari hasil data lapangan yang ditemukan penulis, hampir
dengan siapa mereka berinteraksi. Di dalam gereja suku Batak Toba dan suku
Batak Pakpak bertemu dan berinteraksi dengan masyarakat yang memiliki suku
yang sama dengan mereka. Sehingga interaksi dengan suku lain hampir tidak ada
orang-orang sekitar. Misalnya dalam acara natal, tahun baru, kebaktian, ibadah,
Nenek moyang Batak Toba dan Batak Pakpak menganut agama Kristen
nenek moyang suku Batak Pakpak, sehingga keturunannya juga menganut agama
Kristen Katolik. Didaerah ini hampir tidak ada pengaruh agama Islam, sehingga
individu yang satu dengan yang lainnya karena tanpa adanya bahasa maka tidak
akan terjadi komunikasi. Maka dengan demikian interaksi antara pendatang dan
penduduk asli tidak akan bisa hidup berdampingan apabila setiap suku memakai
konflik yang terjadi akibat salah paham maka dalam suatu daerah yang majemuk
Proses adaptasi budaya yang terjadi pada setiap suku bangsa ada beberapa
model adaptasi yang dilakukan oleh pendatang terhadap penduduk asli, adaptasi
yang dilakukan penduduk asli terhadap pendatang dan adaptasi yang tidak
dilakukan oleh pihak manapun, dimana masing-masing etnik berdiam diri tanpa
melakukan adaptasi. Pada umumnya adaptasi yang sering terjadi adalah adaptasi
Model adaptasi yang terjadi di desa Bangun adalah adaptasi penduduk asli
terhadap pendatang atau adaptasi bahasa. Hal ini dapat diihat dari masyarakat
suku Batak Pakpak yang pada umumnya menguasai atau mampu berbahasa
yang digunakan antar suku Batak Pakpak adalah bahasa Toba. Mereka belajar dan
mahir menggunakan bahasa tersebut. Lain halnya dengan suku Batak Toba yang
menggunakan bahasa tersebut. Apabila dalam kelompok atau kumpulan kecil ada
suku Batak Pakpak dan Batak Toba, maka mereka menggunakan bahasa Batak
Toba. Walaupun dalam kelompok diskusi tersebut mayoritas suku Batak Pakpak.
Bahasa Batak Pakpak sangat jarang terdengar, karena sesama orang Batak Pakpak
dialog di dalam rumah suku Batak Pakpak atau keluarga kecilnya. Misalnya :
antara suami dan isteri yang sama-sama dari suku Batak Pakpak. Bahkan sudah
banyak anak yang tidak mengerti bahasa Pakpak. Karena orangtua tidak
mengajarkannya dan mata pelajaran Bahasa Pakpak atau Muatan Lokal tidak
masih dimasukkan ke dalam mata pelajaran muatan lokal di Sekolah Dasar. Buku-
buku lama yang bertulisan asli masih ada walaupun sangat jarang. Sekolah Dasar
belajar bahasa dan huruf batak Pakpak. Saat ini mata pelajaran muatan lokal telah
Saat ini anak laki-laki suku Batak Pakpak banyak yang menikah dengan
perempuan suku Batak Toba. Ketika anaknya lahir, tentunya si anak lebih banyak
menghabiskan waktu bersama ibunya. Karena si ibu berasal dari suku Batak Toba,
bahasa yang diketahui dan dipakainya adalah bahasa Batak Toba. Sehingga
seorang ibu akan mengajari anaknya menggunakan bahasa Batak Toba. Begitu
dengan si istri.
Demikian halnya dengan suku Batak Toba yang tidak mau tahu dengan
bahasa Pakpak. Sebagai daerah kekuasaan suku Batak Pakpak, seharusnya seluruh
Pergaulan sehari-hari anak juga sudah dibatasi oleh orang tua, dengan
siapa mereka bermain dan dengan suku apa. Persepsi orang tua yang demikian
mempengaruhi hubungan yang terjadi antara suku Batak Toba dan suku Batak
Pakpak. Hal ini tentu membatasi ruang dan gerak yang terjalin antara suku.
Khususnya antara anak-anak suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak.
berikut :
berdaya.
Konflik yang terjadi antara suku Toba dan suku Pakpak tidak mengacu
membuatnya tidak berdaya. Tetapi konflik yang terjadi adalah konflik batin.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konflik batin adalah konflik yang
disebabkan oleh adanya dua gagasan atau lebih atau keinginan yang saling
Suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak saling tidak menyukai. Ada rasa
benci yang muncul dihati masing-masing suku memandang suku lain. Menurut
suku Batak Toba, suku Batak Pakpak adalah suku yang tertinggal, tidak mau
maju, kolot, tidak berpendidikan. Dan menurut suku Batak Pakpak, suku Batak
kekuasaan mereka dan menjadi bagian dari masyarakat desa Bangun. Tetapi
karena keterbatasan dan ketidakberdayaan yang dimiliki oleh suku Batak Pakpak
akibat dosa nenek moyang mereka yang diwariskan kepada mereka, sehingga
Pakpak.
Pakpak mengatakan bahwa dahulu nenek moyang suku Batak Pakpak memakan
daging manusia atau yang sering disebut kanibal. Anak cucu dan keturunan suku
nenek moyang suku Batak Pakpak. Sehingga hal yang sulit bagi keturunan Batak
yang keempat setelah nenek moyang mereka memakan daging manusia. Tetapi
keturunan yang dimaksud adalah keturunan berlanjut, dimana setiap orang yang
memakan daging manusia akan mendapat dosa turunan selama empat keturunan.
Apabila hal tersebut masih terjadi setelah empat keturunan, maka dosa turunan
Dalam hal sekolah, suku Batak Pakpak tidak memiliki niat untuk kuliah
pergi merantau dan bersekolah juga tidak ada. Melihat hal ini, suku Batak Toba
suku Batak Toba yang bersekolah ke luar daerah lebih tinggi dibandingkan anak-
anak dari suku Batak Pakpak. Mereka juga melanjutkan perkuliahan ke perguruan
tinggi, bekerja di luar kota dan rata-rata menaikkan taraf kehidupan orang tuanya
di desa.
Jumlah anak-anak suku Batak Pakpak yang tinggal di kampung dan tidak
orangtuanya ke ladang. Berbeda dengan suku Batak Toba yang rata-rata anaknya
sekolah sampai ke Perguruan Tinggi. Banyak dari suku Batak Toba yang selalu
anak-anak suku Batak Pakpak juga banyak yang putus sekolah. Hal inilah yang
suku yang tertinggal, tidak berpendidikan, kolot, dan tidak mau maju.
”Hami nga hona dosa turunan sian oppung nami dang boi
hami berkembang. Oppung nami hian kanibal do mangallang
jagal ni jolma, jadi nga hona dosa. Maol do niat nami neng
sikkola dohot lao mangaratto. Molo lao pe mangaratto sek
maol asa jadi di pangarattoan ” (Dedy Capah)
Artinya :
“Kami udah kena dosa turunan dari nenek moyang kami gak
bisa kami berkembang. Nenek moyang kami dulu kanibal
memakan daging manusia, jadi kami udah kena dosa turunan.
Sangat sulit niat kami mau sekolah dan pergi merantau.
Kalaupun pergi merantau tidak akan jadi apa-apa nanti.”
(Dedy Capah)
Dari hasil data lapangan yang diperoleh penulis, suku Batak Pakpak
memiliki kesadaran tersendiri atas dosa warisan dari nenek moyang yang
ditanggung mereka, sehingga tidak ada kesempatan untuk berkembang dan maju.
Rasa ketidakberdayaan yang disadari suku Batak Pakpak membuat mereka untuk
diam tidak melakukan respon dan tindakan apa-apa. Sehingga mereka tersisihkan,
diminoritaskan suku Batak Toba yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan suku
Batak Pakpak. yang hidup bersamanya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh
“Kalau orang Pakpak ini susah nya maju, karena udah kena
dosa turunan dari nenek moyangnya. Nenek moyangnya dulu
dimakani daging manusia. Jadi udah kena dosa turunan
adalah kanibal, memakan daging manusia dan sudah terkena dosa turunan
ternyata diakui oleh suku Batak Pakpak bahwa hal tersebut adalah benar. Dosa
turunan yang diperoleh telah membatasi ruang gerak hidup mereka. Sehingga
segala aktivitasnya selalu dilandaskan dengan dosa turunan yang diperoleh. Hal
sebelum bertindak suku Batak Pakpak terlebih dahulu selalu merasa tidak mampu.
Dairi. Hal ini juga diperburuk jumlah penduduk yang mengaku dirinya
c. Adanya stereotype dan prasangka suku lain dan bahkan orang Pakpak
sendiri terhadap suku Pakpak. Hal ini tampak dalam rasa enggan
memakai marga asli Pakpak dan lebih memilih mengganti marga asli
diluar tiga Kecamatan asal Pakpak (Kerajaan, Salak, Sitellu Tali Urang
bahasa tobalah yang lebih dominan dan bahkan sudah menjadi bahasa
pakaian asli juga tidak terlalu sering digunakan. Ditambah lagi dengan
batak Toba, yaitu Huria Kristen Batak Prostestan (HKBP). Yang mana
Toba dalam hal agama ini diperparah ketika masyarakat Pakpak harus
HKBP. Hingga unsur militer menjadi salah satu alat yang ditempuh
diintimidasi oleh aparat hingga mereka yang pro pada gerakan ini
oleh HKBP.
Beberapa hal yang disebutkan diatas telah menjadikan suku Batak Pakpak
menjadi ethnic minority dikampung halamannya sendiri. Dan bisa dilihat dengan
yang terjadi sekarang pada suku Batak Toba yang ada di desa Bangun kecamatan
Bila dilihat dengan yang terjadi di desa Bangun, adanya stereotype suku
lain terhadap suku Batak Pakpak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
hilangnya unsur-unsur Batak Pakpak yang terlihat dan penggunaan bahasa Pakpak
pada suku Batak Pakpak. Meskipun hidup harmonis selama puluhan tahun, bukan
berarti tidak ada masalah. Suku Batak Pakpak dianggap sebagai orang yang
hanya bisa diandalkan ke ladang karena mereka pekerja keras. Contoh mengenai
dinamika hubungan sosial seperti ini digambarkan lagi dalam masyarakat Buton
jorok, bau, berkaki besar, dan lain-lain oleh kelompok koumu dan walaka. Kini
tersebut. Ini adalah salah satu bentuk dinamika hubungan yang terjadi di Buton.
Sedangkan menurut suku Batak Pakpak, suku Batak Toba adalah suku
yang keras yang merasa penguasa. Akibat tingginya migrasi dan mobilitas
penduduk suku Batak Toba yang hampir mendiami seluruh desa Bangun. Jumlah
penduduk desa Bangun yang lebih banyak dibandingkan dengan Batak Pakpak
membuat suku Batak Toba merasa lebih kuat dibandingkan suku Batak Pakpak.
Suku Batak Pakpak merasa suku Batak Toba ingin menguasai daerah desa
Bangun. Menggantikan posisi kekuasaan yang selama ini dimiliki oleh Batak
Pakpak.
Hal ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Suparlan (dalam
Budiman, 2009) bahwa mayoritas yang didasarkan pada dominasi jumlah anggota
adalah merupakan orang-orang yang menikmati status sosial tinggi dan sejumlah
suku Batak Pakpak. Dan sebaliknya pandangan suku Batak Pakpak terhadap suku
Batak Toba. Memberikan batasan dalam hubungan yang terjalin diantara mereka.
Sehingga hubungan diantara kedua suku ini tidak berjalan dengan lancar. Kedua
suku memiliki kekuatan dan kekuasaan, suku Batak Toba memiliki kekuatan
karena jumlahnya yang lebih banyak. Dan suku Batak Pakpak memiliki
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
antarkelompok satu dengan yang lainnya. Banyak hal yang dapat terjadi pada
negatif.
Hubungan suku yang baik didalamnya terjalin interaksi suku yang baik
pula. Untuk mengetahui hubungan suku yang terjadi, harus melihat interaksi yang
suatu suku terhadap suku lain berawal dari pengalaman seseorang atau sejumlah
suku yaitu kelompok suku Batak Toba dan Batak Pakpak. Kelompok yang
lainnya dan diperlukan secara tidak sederajat atau tidak adil dalam masyarakat
mayoritas adalah suku Batak Toba dan kelompok minoritas adalah suku Batak
Pakpak. Dimana yang menjadi suku asli di daerah tersebut adalah suku Batak
Pakpak. dan suku Batak Toba adalah pendatang yang perlahan hampir mendiami
mempengaruhi hubungan yang terjadi antar suku. Sehingga timbul stereotip yang
dimunculkan suku Batak Toba terhadap suku Batak Pakpak. Stereotip ini dilihat
Suku Batak Pakpak tidak menerima stereotip yang diberikan suku Batak
Toba kepada mereka. Tetapi mereka sadar bahwa kehidupan mereka dipengaruhi
oleh dosa turunan dari nenek moyang mereka yang dulu memakan daging
manusia. Atau yang sering disebut dengan kanibal. Suku Batak Pakpak tidak
rendah oleh suku Batak Toba. Mereka memilih diam, tidak melakukan respon
apa-apa agar kehidupan mereka tetap aman dan tidak terjadi konflik antar suku.
Akibat dari kebisuan suku Batak Pakpak, akhirnya suku Batak Pakpak mengalami
konflik batin.
kedudukan suku Batak Pakpak di desa Bangun adalah raja ni huta. Walaupun
Dilihat dari interaksi yang terjadi hubungan antar suku Batak Toba dan
pada kasus pemilihan kepala desa, suku Batak Pakpak tidak mempermasalahkan
siapa pun yang menjadi kepala desa di tanah mereka. Suku Batak Pakpak mau
menjadi kepala desa tetapi merasa memiliki keterbatasan akibat dari dosa turunan
dari nenek moyang mereka. Sehingga suku Batak Pakpak tidak ikut bersaing dan
merebut kursi kepemimpinan. Suku Batak Toba juga bersedia menjadi kepala
desa, karena suku Batak Toba merasa mampu memimpin. Dan menyadari
5.2 Saran
kepada masyarakat agar menggunakan pakaian adat atau pun acara adat sesuai
dengan pesta adat apa yang dipakai saat itu. Sehingga identitas budaya terutama
suku Batak Pakpak tidak hilang. Bahasa Batak Pakpak sebaiknya tetap dipakai
walaupun dua suku yang berbeda hidup berdampingan, tetapi unsur-unsur budaya