Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS HUBUNGAN KONSUMSI ENERGI DAN

PEMBANGUNAN MANUSIA TERHADAP EMISI KARBON DI 3


NEGARA ASEAN
Alma Aurellia Amanda1, Dwi Rahmayani2, Anggi Fitria Maharani3, Hariz Prasetyo4,
Muhammad Jejen Tivana5
Universitas Negeri Semarang1, 2, 3, 4,5

almaurlm@students.unnes.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan jangka panjang maupun
jangka pendek dari pertumbuhan ekonomi, konsumsi energi, dan pembangunan
manusia terhadap emisi karbon di 3 negara wilayah ASEAN. Variabel yang digunakan
adalah Emisi gas rumah kaca, konsumsi minyak bumi, PDB per kapita, konsumsi
minyak bumi, konsumsi batu bara, indeks pembangunan manusia, dan konsumsi PLTA
dengan rentang waktu tahun 1990 hingga 2021 menggunakan metode analisis panel
Autoregressive Distributed Lag (ARDL). Hasil penelitian ini menemukan bahwa untuk
jangka panjang, PDB per kapita dan pembangunan manusia mempengaruhi emisi
karbon di Indonesia, Vietnam, dan Thailand secara negatif dan signifikan. Hal ini
memberikan bukti bahwa hipotesis EKC berlaku di panel 3 negara ASEAN yang
menunjukkan hubungan kurva U-Terbalik. Sementara itu, konsumsi batu bara dan
minyak bumi baik jangka panjang maupun jangka pendek menunjukkan pengaruh yang
positif terhadap kenaikan emisi karbon. Sedangkan, penggunaan PLTA dapat
memberikan penurunan terhadap emisi karbon dengan tidak signifikan di jangka
pendek maupun jangka panjang. Oleh karena itu, pemerintah dan pembuat kebijakan
harus mengambil inisiatif kebijaan yang tepat, yakni dengan mendukung penggunaan
energi terbarukan yang lain serta efisiensi konsumsi bahan bakar fosil, seperti batu
bara dan minyak bumi maupun melaksanakan tujuan pembangunan manusia agar
tercapai dalam melindungi lingkungan dan memperbaiki perubahan iklim serta
menurunkan CO2 di 3 negara ASEAN.

Kata kunci : Emisi gas rumah kaca, konsumsi minyak bumi, PDB per kapita, konsumsi batu bara, indeks
pembangunan manusia (IPM), konsumsi PLTA, 3 Negara kawasan ASEAN

PENDAHULUAN
Kegiatan perekonomian anggota ASEAN masih ditopang oleh penggunaan energi
tidak terbarukan seperti bahan bakar fosil (Rezki, 2011). Penggunaan energi ini
diperlukan dari faktor produksi hingga distribusinya sehingga menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan. Pertumbuhan perekonomian dapat dilihat dari
angka produk domestik bruto atau gross domestic product. Hubungan antara
peningkatan konsumsi minyak bumi dan bahan bakar fosil terhadap perekonomian
asean. Produk energi yang paling mudah untuk digunakan memang masih kedua hal
tersebut tetapi efeknya pada lingkungan bukanlah sesuatu yang dapat dihiraukan.
Penggunaan energi tidak terbarukan untuk kegiatan perekonomian dapat meningkatkan
konsentrasi dari gas rumah kaca yang dihasilkan melalui peningkatan emisi CO2.
Peningkatan gdp suatu negara dapat meningkatkan tingkat emisi suatu negara
(Perwithosuci, et al. 2022). Emisi merupakan salah satu jenis gas yang dihasilkan dari
kegiatan manusia sehari-hari. Dampak dari peingkatan emisi tersebut bisa berupa
perubahan iklim yang ekstrim sehingga dapat menganggu aktivitas masyarakat sehari-
hari, secara umum akan mengurangi kualitas dari lingkungan hidup.

Gambar 1. Konsumsi Energi Fosil Negara ASEAN (TWh)


9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
1990 2000 2010 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021

Indonesia Thailand Vietnam Malaysia Singapura


Brunei Kamboja Myanmar Laos Filipina

Sumber : ourworldindata.org
Dapat dilihat dari grafik di gambar 2, tren konsumsi energi fosil negara negara
Asian memiliki tren keanikan setiap dekade. Negara Indonesia menjadi negara yang
memiliki konsumsi minyak bumi dan batu bara tertinggi diantara negara-negara lainnya.
Peningkatan konsumsi tiap negara di asia tenggara yang terus meningkat juga
dikarenakan faktor utama yaitu pertumbuhan penduduk tiap negara (Rezki, 2011).
Peningkatan penggunaan bahan bakar fosil selalu berkaitan dengan pertumbuhan
ekonomi. Dimana penggunaan bahan bakar fosil menjadi salah satu penggerak utama
perekonomian negara asia tenggara. Kebutuhan akan energi fosil juga akan terus
meningkat sejalan dengan peningkatan perekonomian dan kapasitas perekonomian
negara itu sendiri. Tidak heran bahwa bahan bakar fosil menjadi sebuah kebutuhan yang
penting selagi bahan bakar fosil masih menjadi pilihan energi utama untuk memenuhi
kebutuhan produksi, konsumsi maupun distribusi. Eksploitasi sumber daya alam
memiliki hubungan yang erat terhadap upaya pembangunan ekonomi demi
meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Titi Reneri Arista, 2019) & Amar. 2019).
Gambar 2. Konsumsi Batu Bara dan Minyak Bumi
7.00 1.40

6.00 1.20

5.00 1.00

4.00 0.80

3.00 0.60

2.00 0.40

1.00 0.20

- -
1990 2000 2010 2015 2019 2020 2021

Batu Bara-Indonesia Batu Bara-Thailand Batu Bara-Vietnam


Minyak Bumi -Indonesia Minyak Bumi-Thailand Minyak Bumi-Vietnam

Sumber : bp Statistical
Grafik diatas menunjukan konsumsi batubara dan minyak bumi dari tiga negara
di asia tenggara yang akan diteliti. Negara tersebut merupakan tiga negara dengan
konsumsi batu bara dan minyak bumi paling tinggi di asia tenggara. Tiga negara ini
memiliki kesamaan sebagai negara berkembang. Berbeda dengan negara eropa,
konsumsi maupun produksi dari batu bara dan minyak bumi menjadi hal krusial. Dapat
dilihat bahwa tren grafik konsumsi energi fosil batu bara dan minyak bumi memiliki
kecenderungan atau tren positif dari tahun ke tahun selama tiga dekade. Dari tahun 1990
sampai tahun 2021 dunia telah melampau beberapa krisis ekonomi, mulai dari krisis
ekonomi dunia tahun 1998, krisis ekonomi tahun 2008 dan berbagai macam krisis
lainnya. Tetapi hal itu tidak menjadi sebuah halangan atau hambatan bagi permintaan
akan kebutuhan energi fosil batu bara dan minyak bumi itu sendiri. Pengaruh dari
pertumbuhan ekonomi dan konsumsi batu bara terhadap peningkatan emisi juga dapat
berubah seiring berjalannya waktu di negara tertentu tergantung sektor utama
perekonomian negara tersebut. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi dan juga konsumsi batu
bara yang dilakukan oleh negara yang belum bersektor industri tidak memiliki pengaruh
yang berarti (Wijaya. 2017). Namun, negara berkembang memiliki transformasi
perkembangan perekonomian yang bertransisi fokus kepada sektor industri untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya sendiri. Sehingga, problematika emisi pun
masih perlu diperhatikan untuk meminimalisir dampaknya.
Indeks pembangunan manusia tercermin dari kemampuan ekonomi dan juga
standar kesehatan masyarakat sebuah negara. World Health Organization menyebutkan
ada tiga hal yang menjadi perhitungan indeks pembangunan manusia antara lain, standar
kehidupan, tingkat pendidikan dan kualitas kesehatan dari sebuah masyarakat. Standar
kehidupan manusia dan pertumbuhan ekonomi dapat mengalami hambatan disaat
adanya implementasi kebijakan konservatif yang berkaitan dengan batubara, gas, listrik
dan konsumsi minyak bumi walaupun hal tersebut dapat mengurangi emisi CO2 (Bedir
& Yilmaz. 2016). sementara itu, Human Index Development atau Indeks Pembangunan
Manusia sangat berkaitan dengan Gross domestic Product per Capita dimana ada
hubungan yang positif diantara keduanya, peningkatan GDPpC memberikan stimulus
untuk berkembangnya HDI dan sebaliknya peningkatan HDI juga menjadi sebuah
peningkatan GDPpC itu sendiri (Elistia & Syahzuni. 2018). Peningkatan GDCpC ini
menjadi hal yang perlu diperhatikan karena salah satu cara untuk meningkatkan
perekonomian sebuah negara dibutuhkan pasokan energi untuk menggerakan faktor
produksi dari segi produsen. Faktor produksi ini meliputi penggunaan energi fosil atau
energi tidak terbarukan dan ini menjadi dilema dimana untuk meningkatkan
perekonomian dibutuhkan energi fosil tetapi itu akan berdampak pada kelangsungan
lingkungan dan juga pada pelestariannya. Selain itu, perekoomian negara berkembang
juga masih mengandalkan konsumsi sektor primer sebagai penggerak utama
perekonomian yang akan berdampak pada peningkatan emisi CO2. Memang sektor
manufaktur sedang mengalami tren peningkatan akan tetapi sektor tersebut pun masih
membutuhkan pasokan energi untuk menjalakan operasionalnya. Salah satu cara untuk
memenuhi kebutuhan energi negara berkembang di asia tenggara adalah energi
terbarukan.
Energi terbarukan kondisinya di negara berkembang khususnya di negara asean
yang mayoritas masih negara berkembang dimana untuk penggunaannya secara optimal
masih sulit untuk diterapkan. Penggunaan bahan bakar fosil (fossil fuel) masih menajdi
pilihan utama bagi negara berkembang untuk menopang perekonomian dan kehidupan
masyarakat karena masih mudah didapatkan dan terhitung lebih murah daripada energi
terbarukan (renewable energy). Dapat dilihat dari diagram berikut.

Gambar 3. Permintaan Energi di ASEAN, 2018

Traditional use of solid Biomass


10%

Coal
Other Renewables 20%
13%

Hydro
2%

Gas
19% Oil
35%

Sumber : iea.org
Menurut diagram diatas, komposisi permintaan energi di ASEAN masih
mengandalkan penggunaan minyak bumi sebanyak 35 persen dan disusul oleh
permintaan akan batu bara sebanyak 21 persen. Sementara untuk permintaan renewable
energy atau energi terbarukan masih sebanyak 13 persen. Penggunaan renewable
energy di negara maju lebih mudah diterapkan salah satu faktornya adalah infrastruktur
dan juga modal research and development negara maju lebih memumpuni dibandingkan
negara berkembang yang masih tertinggal. walaupun adanya perbedaan ini, negara
berkembang anggota ASEAN juga tetap mengembangkan dan menerapkan penggunaan
renewable energy demi menjaga kestabilan lingkungan dan kondisi hidup populasinya.
energi terbarukan, penerapannya menjadi salah satu cara untuk negara mencapai
kebutuhan energi mereka dan juga menjaga pasokan energi untuk generasi mendatang.
Penggunaan energi terbarukan juga menjadi sumber alternatif dalam memenuhi
kebutuhan energi anggota ASEAN. Penggunaan energi terbarukan juga dapat
meningkatkan gross domestic product sebanyak 2,5% dari anggota ASEAN (Yana, et
al. 2021). Hal ini terjadi karena dengan adanya peningkatan penggunaan energi
terbarukan maka akan meningkat juga lapangan pekerjaan yang berkaitan dengan
pengadaan energi terbarukan itu sendiri dan juga dapat memfasilitasi sektor yang
sebelumnya hanya bergantung kepada energi tidak terbarukan sehingga pasokan listrik
tidak dapat memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat. Pengadaan energi
terbarukan akan menghadirkan pasokan energi.

TINJAUAN PUSTAKA
Environmental Kuznets Curve (EKC) Theory adalah teori yang ingin mencari
hubungan antara pendaptaan perkapitan dengan degradasi lingkungan. Teori ini
memiliki postur U terbalik, dimana seiring peningkatanya pendapatan akan
meningkatkan degradasi lingkungan dan setelahnya akan mengalami penurunan dari
tingkat degradasi lingkungan. Kurva Kuznets U terbalik tidak hanya menggambarkan
korelasi antara pendapatan perkapita dengan tingkat kesenjangan pendapatan, tetapi
juga menggambarkan korelasi antar tingkat pendaptan dengan kualitas lingkungan atau
degradasi lingkungan.
Gambar 4. Environmental Kuznets Curve
Tercapainya tahap akhir dalam teori ini suatu negara akan melewati tiga tahapan
pada struktur yang berbeda, mulai dari struktur ekonomi agraris yang akan menjadi
ekonomi industri dan dilanjutkan dengan ekonomi berbasi jasa. Terjadinya turning poin
dalam teori ini diakibatkan dari elastisitas permintaan (Dinda, 2004) dan perdagangan
internasional (Copeland & Taylor, 1994; Dinda, 2004).
Gene M. Grossman dan Alan B. Krueger (1991) yang pertama kali menuliskan
tentang adanya hubungan antara polusi (dalam hal ini diwakilkan dalam tingkat asap
dan CO2) dengan pendapatan perkapita. Dikembangkan lewat working paper mengenai
dampak lingkungan atas hadirnya NAFTA (North American Free Trade Agreement),
hadirnya EKC dalam hasil korelasi antara pendapatan dengan degradasi lingkungan
pertama kali melalu bukti empiris yang tertulis di dalam makalah Grossman dan
Krueger. Sebelum Grossman dan Krueger menjadi yang pertama kali dalam hal
menyandingkan teori lingkungan dengan kurva Kuznet tetapi nama Panayatou (1993)
menjadi orang pertama yang menyebut Environmental Kuznets Curve atau EKC dalam
working paper yang berjudul “Economic Growth and the Environment” (Dinda, 2005).
Penelitian (Liu et al., 2017) menyatakan hipotesis EKC dalam jangka panjang
tidak menunjukkan bentuk kurva U-terbalik pada negara yang diteliti (Indonesia,
Malaysia, Filipina, Thailand). Menurut (Kisswani et al., 2019)dalam penelitiannya yang
berjudul Revisiting the environmental kuznets curve hypothesis: evidence from the
ASEAN-5 countries with structural breaks menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
jangka panjang yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan emisi karbon di wilayah
ASEAN, oleh karena itu hipotesis EKC tidak valid. Namun, hasil penelitian yang
dilakukan (Adebayo, 2021) menyatakan bahwa Hipotesis EKC di Indonesia disetujui,
dimana pertumbuhan ekonomi maupun penggunaan energi positif memicu CO2 emisi,
sedangkan keterbukaan perdagangan meningkatkan kualitas lingkungan. Sedangkan,
(Prinadi et al., 2022) dan (Yang & Chng, 2019) menyatakan bahwa secara empiris
pertumbuhan ekonomi dan populasi memengaruhi peningkatan emisi karbon. Didukung
oleh penelitian (Mehmood & Rehman, 2018) yang menyatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan manusia dapat mempengaruhi peningkatan emisi karbon,
namun apabila tujuan pembangunan manusia yang berkelanjutan tercapai, maka akan
berdampak terhadap penurunan CO2. Sedangkan, penelitian (Mehmood & Rehman,
2018) menjelaskan bahwa dalam jangka pendek, pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan manusia menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Adapun
penjelasan (Sinha & Shahbaz, 2018) yang menyatakan konsumsi energi fosil berpengaruh
secara negatif terhadap kerusakan lingkungan.

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis Penelitian
Jenis dalam penelitian ini termasuk dalam golongan penelitian kuantitatif. Adapun
penggunaan data dalam penelitian ini yaitu data sekunder dalam bentuk time series
periode tahun 1990-2021.
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Berikut adalah definis variabel dependen dan independen yakni Emisi gas rumah
kaca serta konsumsi minyak bumi, PDB per kapita, konsumsi batu bara, indeks
pembangunan manusia, dan konsumsi PLTA. Seluruh variabel diubah ke dalam bentuk
logaritma natural untuk menyamakan satuan.
Tabel 1. Definisi Variabel
Nama Variabel Definisi Source
L_CO2 Emisi Gas Rumah Kaca (CO2-equivalent) BP Statistical
L_GDPC Produk Domestik Bruto per kapita (Current World Data Bank
US$)
L_COIL Jumlah Konsumsi Minyak Bumi (Exajoules) BP Statistica
L_COAL Jumlah Konsumsi Batu Bara (Exajoules) BP Statistical
L_HDI Indeks Pembangunan Manusia (skala 0-1) UNDP
L_HYDRO Jumlah Konsumsi PLTA (Exajoules) BP Statistical

Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang digunakan melalui data-data yang diambil
melalui website resmi. Semua data seperti Emisi gas rumah kaca serta konsumsi minyak
bumi, PDB per kapita, konsumsi batu bara, indeks pembangunan manusia, dan
konsumsi PLTA laman masing-masing negara yang menjadi objek penelitian, meliputi
UNDP, World Bank, dan bp Statistical. Penelitian ini menggunakan kurun waktu sejak
tahun 1990 hingga tahun 2021, dengan alasan pada tahun tersebut terdapat data yang
lengkap pada variabel yang digunakan dalam penelitian ini.
Metode Analisis
Model panel Autoregressive Distributed Lag (ARDL) yang merupakan model
dinamis dalam ekonometrika karena termasuk dalam analisis yang memperhitungkan
variabel waktu. Keunggulan model ARDL dimana pada tingkat stasioner data tidak
perlu diperlukan, kemudian pada model ARDL jumlah sampel tidak dipermasalahkan.
Model ARDL digunakan dalam penelitian ini karena model ini dapat diperoleh estimasi
jangka panjang dan estimasi jangka pendek secara serentak, yang akan menghindarkan
terjadinya autokorelasi.
Model umum ARDL sebagai berikut:
n
∆𝑌𝑡 = 𝛽0+ ∑ 𝛽1∆𝑌𝑡−1 + ∑i =0 ∆𝑋𝑡−1 + 𝜑1𝑦𝑡−1 + 𝜑2𝑥𝑡−1 + 𝜇𝑡

Dimana :
β1, β2 = koefisien jangka pendek

𝜑1, 𝜑2 = Koefiesien autoregressive distributed lag jangka panjang

𝜇𝑡 = disturbance error
Hubungan jangka pendek ditunjukkan dengan persamaan :

∑in=1 𝛽1∆𝑌1−∑in−0 𝛽2∆𝑋𝑡−1

Hubungan jangka Panjang ditunjukkan dengan persamaan :

𝜑1𝑦𝑡−1 + 𝜑2𝑥𝑡−1

Persamaan ARDL yang digunakan dalam penelitian ini :

∆LCO2𝑡 = 𝛽 + 𝛽1∑iP=1 ∆LCO2𝑡−1 + 𝛽2∑iP=1 ∆LGDPC𝑡−1 + 𝛽3∑iP=1 ∆LCOIL𝑡−1 + 𝛽4∑iP=1


P P
∆LCOAL𝑡−1 + 𝛽5∑i =1 ∆LHDI𝑡−1 + 𝛽6∑i =1 ∆LHYDRO𝑡−1 + 𝛽7∆LGDPC𝑡−1 + 𝛽8∆LCOIL𝑡−1
+ 𝛽9∆LCOAL𝑡−1 + 𝛽10∆LHDI𝑡−1 + 𝛽11∆LHYDRO𝑡−1 + 𝜀𝑡

Dimana:
LCO2 = Variabel Emisi Rumah Kaca
LGDPC = Variabel Produk Domestik Bruto per kapita
LCOIL = Jumlah Konsumsi Minyak Bumi
LCOAL = Jumlah Konsumsi Batu Bara
LHDI = Indeks Pembangunan Manusia
LHYDRO = Jumlah Konsumsi PLTA
β1, β2, β3, β4, β5, β6 = hubungan jangka pendek
β7, β8, β9 , β10, β11, = hubungan jangka panjang

𝜀𝑡 = error berdistribusi normal


HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Uji
Panel Unit Root Tests
Uji stasioneritas merupakan salah satu analisis yang wajib digunakan sebelum
memulai model estimasi panel ARDL. Data dapat dikatakan stasioner apabila nilai rata-
rata dan varians tidak mengalami perubahan secara sistematik sepanjang waktu, dimana
rata-rata serta variansnya konstan. Dalam penilitian ini menggunakan uji ADF Fisher
Chi-Square (ADF Fisher) dan Levin, Lin & Chi (LLC). Hasil stasioneritas disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 2. Unit Root Tests
ADF Fisher Chi-Square Levin, Lin & Chi
Level 1st Difference Level 1st Difference
L_CO2 11.9234 36.0850 -3.36686 -3.94688
(0.0637) (0.0000) (0.0004) (0.0000)
L_GDP 1.74611 22.0498 -1.01763 -1.85529
C (0.9415) (0.0012) (0.1544) (0.0318)
L_COIL 18.5062 19.9391 -4.64171 0.19304
(0.0051) (0.0028) (0.0000) (0.5765)
L_COA 5.58732 40.2540 -2.40406 -5.03023
L (0.4710) (0.0000) (0.0081) (0.0000)
L_HDI 16.9114 10.5008 0.13899 -4.70639
(0.0096) (0.1051) (0.5553) (0.0000)
L_HYD 9.68906 57.7429 -1.01198 -8.04169
RO (0.1384) (0.0000) (0.1558) (0.0000)
Sumber : Diolah Eviews 9.0

Berdasarkan hasil uji ADF dan LCC pada Tabel 2 menunjukkan bahwa masing-
masing variabel memiliki stasioneritas yang berbeda dari nilai probabilitasnya atau lebih
kecil dari 0.05, baik pada tingkat level maupun 1st difference, dimana hal ini
menjelaskan bahwa variabel-variabel tersebut lolos dan penggunaan model panel ARDL
sesuai dengan penelitian.
Panel Cointegration Tests
Uji kointegrasi merupakan pengujian variabel penelitian yang digunakan untuk
mengidikasi kemungkinan adanya hubungan jangka panjang antara variabel-variabel
ekonomi yang dipakai. Data dapat dikatakan memiliki hubungan jangka panjang apabila
data tersebut terkointegrasi pada tingkat yang sama. Untuk menguji hubungan jangka
panjang antara variabel, maka dalam penelitian ini menggunakan uji Pedroni dan Kao
pada data panel negara Indonesia, Thailand, dan Vietnam.
Tabel 3. Cointegration Tests
Pedroni
Statistic Prob. Wighted Statistic Prob.
Panel v-Statistic 0.194636 0.4228 0.503965 0.3071
Panel rho-Statistic 0.869082 0.8076 0.820523 0.7940
Panel PP-Statistic -0.232139 0.4082 -0.625114 0.2659
Panel ADF-Statistic 0.246203 0.5972 -0.474079 0.3177
Group rho-Statistic 1.558328 0.9404
Group PP-Statistic -1.301491 0.0965
Group ADF- -0.484645 0.3140
Statistic
Kao
t-tatistic Prob.
ADF -4.109445 0.0000
Residual variance 0.000104
HAC variance 0.000182
Sumber : Diolah Eviews 9.0

Pada Tabel 3 menyajikan hasil uji kointegrasi panel uji Pedroni pada variabel
penelitian dengan memperoleh hasil signifikansi 5 persen, artinya tidak ditemukan
kointegrasi antara variabel emisi karbon, pertumbuhan ekonomi, konsumsi minyak
bumi, konsumsi batu bara, indeks pembangunan manusia, dan PLTA di 3 negara
ASEAN pada hubungan jangka panjang. Selain itu, pada uji Kao juga menunjukkan
adanya kointegrasi antara variabel-variabel tersebut pada tingkat signifikansi 1 persen.
Dengan kata lain, variabel-variabel tersebut lolos uji kointegrasi dan dapat melanjutkan
uji panel ARDL, dimana lag ditentukan pada (1,3,3,3,3) yang didapat dari Akaike
Information Criteria (AIC) dan hasil hubungan jangka pendek dapat dilihat pada tabel
berikut.

Tabel 4. Cross-section Short Run

Indonesia Thailand Vietnam

Coefficient Prob. Coefficient Prob. Coefficient Prob.

COINTEQ01 -0.041609 (0.0000) -0.565387 (0.0001) -0.640783 (0.0000)

D(L_GDPC) -0.004723 (0.0000) 0.026738 (0.0000) 0.046955 (0.0000)

D(L_COAL) 0.077059 (0.0000) 0.028665 (0.0000) 0.027661 (0.0000)

D(L_COIL) 0.148504 (0.0000) 0.019799 (0.0023) -0.028726 (0.0001)

D(L_HDI) 0.545244 (0.0076) 0.524309 (0.0001) 0.646533 (0.0083)

D(L_HYDRO) 0.001853 (0.0005) 0.003649 (0.0000) -0.030717 (0.0000)

C 0.100530 (0.0002) 1.315585 (0.0014) 1.589456 (0.0001)


Sumber : Diolah Eviews 9.0

Dalam tabel di atas menunjukkan hasil cross-section short run pada Tabel 4 yang
menjelaskan bahwa 3 negara di kawasan ASEAN, yaitu Indonesia, Thailand, maupun
Vietnam memiliki nilai COINTEQ01 yang signifikan dan ber-slope negatif, artinya
tingkat penyesuaian ekuilibrium jangka panjang dapat berjalan. Namun, di setiap negara
memiliki kecepatan penyesuaian dari periode satu ke periode lainnya yang berbeda-
beda. Kecepatan tinggi dari penyesuaian dimiliki oleh Vietnam, kecepatan rendah
penyesuaian dimiliki Indonesia, dan kecepatan rata-rata dimiliki oleh Thailand. Dalam
kasus Vietnam yang memiliki nilai QOINTEQ01 sebesar -0.640783 menjelaskan bahwa
kecepatan penyesuaian menuju ekuilibrium negara Vietnam adalah 6.4 persen dari
periode saat ini menuju periode berikutnya, serta nilai dari COINTEQ01 pada setiap
negara lainnya juga memiliki penjelasan yang sama.
Dapat diketahui juga bahwa emisi karbon di negara Indonesian, Thailand, dan
Vietnam dipengaruhi oleh variabel yang sama, yakni pertumbuhan ekonomi, batu bara,
minyak bumi, pembangunan manusaia, serta PLTA. Namun, pada setiap negara
memiliki hasil dan tanda yang berbeda-beda. Adapun menurut Baek dalam (Mehmood &
Rehman, 2018) menyatakan bahwa nilai COINTEQ01 juga mewakili hubungan jangka
panjang antar variabel apabila memiliki pengaruh yang signifikan dan ber-slope negatif.

Tabel 5. Panel ARDL


Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.*
Long Run Equation
L_GDPC -0.019721 0.009466 -2.083325 0.0437
L_COAL 0.169482 0.013091 12.94651 0.0000
L_COIL 0.343789 0.021979 15.64201 0.0000
L_HDI -0.304454 0.097898 -3.109896 0.0034
L_HYDRO -0.000694 0.011463 -0.060518 0.9520
Short Run Equation
COINTEQ01 -0.415926 0.188420 -2.207446 0.0331
D(L_GDPC) 0.022990 0.015035 1.529066 0.1341
D(L_GDPC(-1)) 0.019825 0.035183 0.563472 0.5763
D(L_GDPC(-2)) 0.015541 0.018866 0.823726 0.4150
D(L_COAL) 0.044462 0.016301 2.727498 0.0094
D(L_COAL(-1)) -0.011372 0.009410 -1.208488 0.2340
D(L_COAL(-2)) -0.029436 0.016660 -1.766803 0.0849
D(L_COIL) 0.046526 0.052878 0.879865 0.3842
D(L_COIL(-1)) -0.045547 0.052548 -0.866768 0.3912
D(L_COIL(-2)) -0.051945 0.044068 -1.178743 0.2455
D(L_HDI) 0.572029 0.037739 15.15737 0.0000
D(L_HDI(-1)) -0.855313 1.143992 -0.747656 0.4590
D(L_HDI(-2)) 0.130865 0.151357 0.864614 0.3924
D(L_HYDRO) -0.008405 0.011168 -0.752574 0.4561
D(L_HYDRO(- -0.000565 0.007607 -0.074229 0.9412
1))
D(L_HYDRO(- -0.006268 0.013692 -0.457782 0.6496
2))
C 1.001857 0.457546 2.189632 0.0344
Sumber : Diolah Eviews 9.0

Dapat dilihat pada Tabel 5 diatas menunjukkan hasil nilai QOINTEQ01 ber-slope
negatif dan signifikan, artinya pengujian panel ARDL pada penelitian ini memenuhi
syarat asumsi utama. Karena suku koreksi kesalahan COINTEQ01 berada pada
kemiringan yang negatif (-0.415926) dan signifikan (0.03<0.05), maka model diterima.
Secara statistik menyatakan bahwa tingkat penyesuaian ekuilibrium jangka panjang
dapat berjalan dan variabel PDB per kapita, batu bara, minyak bumi, pembangunan
manusia, dan PLTA dapat digunakan dalam jangka panjang.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa untuk jangka panjang, PDB per kapita
mempengaruhi emisi karbon di Indonesia, Vietnam, dan Thailand secara negatif yang
signifikan. Hal ini memberikan bukti bahwa hipotesis EKC berlaku di panel 3 negara
ASEAN yang menunjukkan hubungan kurva U-Terbalik. Dengan kata lain, setiap
kenaikan PDB per kapita akan memberikan penurunan sebesar -0.019721 pada emisi
karbon. Hasil temuan empiris ini sejalan dengan penelitian (Borhan et al., 2012),
(Prinadi et al., 2022) mengenai pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap emisi karbon
di negara-negara ASEAN, juga didukung oleh penelitian (Adebayo, 2021) pembuktian
hipotesis EKC di Indonesia dan (Yang & Chng, 2019) pada negara Thailand dan
Vietnam. Namun hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian (Liu et al., 2017) dan
(Kisswani et al., 2019) yang tidak menyetujui adanya hipotesis EKC pada negara-
negara di kawasan ASEAN.
Peningkatan pembangunan manusia mempengaruhi tingkat emisi karbon secara
negatif yang signifikan pada jangka panjang. Artinya, setiap kenaikan 1 persen pada
Indeks Pembangunan Manusia akan memberikan efek berupa penurunan emisi karbon
sebesar 0.304454 persen. Hal ini didukung oleh penelitian (Mehmood & Rehman,
2018). Dalam jangka pendek, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia
menyebabkan penurunan kualitas lingkungan sebesar 0.022990 dan 0.572029 persen,
akan tetapi pertumbuhan ekonomi mulai berkembang dengan tingkat pendapatan yang
lebih tinggi akan menyadarkan masyarakat tentang pentingnya kualitas lingkungan yang
baik dengan tujuan pembangunan berkelanjutan tercapai berdampak terhadap penurunan
CO2.
Konsumsi batu bara dan minyak bumi baik jangka panjang maupun jangka
pendek sejalan dengan penelitian (Sinha & Shahbaz, 2018) yang menunjukkan bahwa
konsumsi energi fosil di 3 negara ASEAN, baik Indonesia, Thailand, dan Vietnam
berpengaruh terhadap kenaikan emisi karbon. Dapat dilihat hasil coefficient jangka
panjang batu bara (0.169482>0.044462) dan minyak bumi (0.343789>0.046526) lebih
tinggi dari pada nilai jangka pendek yang menunjukan kurangnya efisiensi penggunaan
bahan bakar batu bara dan minyak bumi di 3 negara tersebut akan memperparah
peningkatan emisi karbon dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Sedangkan,
penggunaan PLTA dapat memberikan penurunan terhadap emisi karbon dengan tidak
signifikan sebesar 0.008405 di jangka pendek. Namun, nilai konsumsi batu bara dan
minyak bumi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai penggunaan PLTA
menandakan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh batu bara dan minyak bumi
akan melampaui manfaat positif dari PLTA terhadap lingkungan yang menyebabkan
terjadinya penurunan pemanfaatan PLTA pada jangka panjang bila dibandingkan
dengan nilai jangka pendeknya (-0.000694 < -0.008405). Penelitian ini sejalan dengan
(Bölük & Mert, 2015) mengenai energi terbarukan, dimana pemanfaatan produsi listrik
dengan menggunakan tenaga air bukan merupakan energi yang alternatif dalam
mengendalikan emisi karbon. Oleh karena itu, pemerintah dan pembuat kebijakan harus
mengambil inisiatif kebijaan yang tepat, yakni dengan mendukung penggunaan energi
terbarukan yang lain serta efisiensi konsumsi bahan bakar fosil, seperti batu bara dan
minyak bumi guna melindungi lingkungan dan memperbaiki perubahan iklim.

KESIMPULAN & IMPLIKASI KEBIJAKAN


Dalam jangka panjang, PDB per kapita mempengaruhi emisi karbon di Indonesia,
Vietnam, dan Thailand secara negatif yang signifikan. Hal ini menjadi bukti dari
hipotesis EKC yang berlaku di panel 3 negara ASEAN dimana menunjukkan hubungan
kurva U-Terbalik. Dengan kata lain, setiap kenaikan PDB per kapita akan memberikan
penurunan sebesar -0.019721 pada emisi karbon. Peningkatan pembangunan manusia
juga mempengaruhi tingkat emisi karbon secara negatif yang signifikan pada jangka
panjang. Artinya, setiap kenaikan 1 persen pada Indeks Pembangunan Manusia akan
memberikan efek berupa penurunan emisi karbon sebesar 0.304454 persen. Dalam
jangka pendek, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia menyebabkan
penurunan kualitas lingkungan sebesar 0.022990 dan 0.572029 persen, akan tetapi
pertumbuhan ekonomi mulai berkembang dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi
akan menyadarkan masyarakat tentang pentingnya kualitas lingkungan yang baik
dengan tujuan pembangunan berkelanjutan tercapai berdampak terhadap penurunan
CO2.
Dilihat dari hasil coefficient jangka panjang batu bara (0.169482>0.044462) dan
minyak bumi (0.343789>0.046526) lebih tinggi dari pada nilai jangka pendek yang
menunjukan kurangnya efisiensi penggunaan bahan bakar batu bara dan minyak bumi di
3 negara tersebut, dimana akan memperparah peningkatan emisi karbon dan
menyebabkan kerusakan lingkungan. Sedangkan, penggunaan PLTA dapat memberikan
penurunan terhadap emisi karbon dengan tidak signifikan sebesar 0.008405 di jangka
pendek. Namun, nilai konsumsi batu bara dan minyak bumi yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan nilai penggunaan PLTA menandakan kerusakan lingkungan yang
disebabkan oleh batu bara dan minyak bumi akan melampaui manfaat positif dari PLTA
terhadap lingkungan yang menyebabkan terjadinya penurunan pemanfaatan PLTA pada
jangka panjang bila dibandingkan dengan nilai jangka pendeknya (-0.000694 < -
0.008405). Pemerintah dan pembuat kebijakan harus mengambil inisiatif kebijaan yang
tepat, yakni dengan mendukung penggunaan energi terbarukan yang lain serta efisiensi
konsumsi bahan bakar fosil, seperti batu bara dan minyak bumi. Dengan mendukung
penggunaan energi terbarukan serta mengurangi energi tidak terbarukan maupun
melaksanakan tujuan pembangunan manusia yang berkelanjutan tercapai akan efektif
dalam melindungi lingkungan dan memperbaiki perubahan iklim serta menurunkan
CO2 di 3 negara ASEAN.

DAFTAR PUSTAKA
Adebayo, T. S. (2021). Testing the EKC Hypothesis in Indonesia: Empirical Evidence from the
ARDL-Based Bounds and Wavelet Coherence Approaches. Applied Economics Journal, 28(1).
https://www.researchgate.net/publication/345506972
Bölük, G., & Mert, M. (2015). The renewable energy, growth and environmental Kuznets curve in
Turkey: An ARDL approach. In Renewable and Sustainable Energy Reviews (Vol. 52, pp. 587–
595). Elsevier Ltd. https://doi.org/10.1016/j.rser.2015.07.138
Kisswani, K. M., Harraf, A., & Kisswani, A. M. (2019). Revisiting the environmental kuznets curve
hypothesis: evidence from the ASEAN-5 countries with structural breaks. Applied Economics,
51(17), 1855–1868. https://doi.org/10.1080/00036846.2018.1529399
Liu, X., Zhang, S., & Bae, J. (2017a). The impact of renewable energy and agriculture on carbon
dioxide emissions: Investigating the environmental Kuznets curve in four selected ASEAN
countries. Journal of Cleaner Production, 164, 1239–1247.
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2017.07.086
Mehmood, R. K., & Rehman, H. U. (2018). Capacity Building for Sustainable Human Development:
A Panel PMG/ARDL Analysis of East and South Asia. Research Journal of Commerce,
Economics, and Social Sciences Print, 12(2), 147–152.
https://doi.org/10.24312/paradigms120205
Prinadi, A. N., Sarungu, J. J., Suryantoro, A., & Gravitiani, E. (2022). Dampak Pertumbuhan
Ekonomi, Nilai Tambah Industri, dan Populasi Terhadap Emisi Karbon Dioksida di Kawasan
ASEAN. Prosding Nasional 2022.
Sinha, A., & Shahbaz, M. (2018). Estimation of Environmental Kuznets Curve for CO2 emission:
Role of renewable energy generation in India. Renewable Energy, 119, 703–711.
https://doi.org/10.1016/j.renene.2017.12.058
Yang, Z., & Chng, R. (2019). Environmental Degradation and Economics Growth : Testing the
Environmental Kuznets Curve Hypothesis (EKC) in Six ASEAN Countries. 19, 1–15.
https://cornerstone.lib.mnsu.edu/jurAvailableat:https://cornerstone.lib.mnsu.edu/jur/vol19/iss1/1
Rezki, J. F. (2011). Konsumsi Energi dan Pembangunan Ekonomi di Asia Tenggara. Jurnal
Ekonomi dan Pembangunan Indonesia.
Titi Reneri Arista, S. A. (2019). Analisis Kausalitas Emisi CO2, Konsumsi Energi,
Pertumbuhan Ekonomi, Dan Modal Manusia Di Asean. Jurnal Kajian Ekonomi dan
Pembangunan.

Anda mungkin juga menyukai