Anda di halaman 1dari 6

TEKNIK PEMBUATAN PUPUK KOMPOS DENGAN PERLAKUAN

AEROB DAN ANAEROB


Andi Alfian Salim
20201020200311029
andialfian1524@gmail.com
Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Peternakan, Universitas Muhammadiyah Malang
(University of Muhammadiyah Malang), Jl Raya Tlogomas No.246 Malang, Jawa Timur, Indonesia

ABSTRAK
Pengomposan merupakan proses biodegradasi bahan organik menjadi kompos. Penguraian
kompos terjadi dalam keadaan aerob (dengan oksigen) dan anaerob (tanpa oksigen). Dekomposisi
bahan dilakukan oleh mikroorganisme didalam bahan itu sendiri. Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi proses pembuatan pupuk aerob dan anaerob yaitu suhu, pH, warna dan bau. Agar
proses pengomposan dapat berlangsung lebih cepat perlu perlakuan dengan menggunakan alat
biakan berupa komposter dan menambahkan aktivator atau biang kompos. Aktivator merupakan
bahan yang mampu meningkatkan dekomposisi bahan organik. Tujuan dari praktikum ini adalah
untuk mengetahui bagaimana cara pembuatan kompos dan sekaligus mengetahui ciri-ciri kompos
yang sudah jadi atau matang. Praktikum dilaksanakan di Lahan Terpadu Tamnesia Universitas
Muhammadiyah Malang pada tanggal 5 Oktober 2022. Metode kerja yang digunakan pada saat
praktikum meliputi Mencacah limbah sayur dan menimbang sebanyak 2 kg. Menimbang limbah
sayur, kotoran ayam, dan kotoran sapi masing-masing 1 kg. Mencampurkan limbah sayur yang
sudah dicacah dengan kotoran ayam, kotoran sapi, dan limbah sayur hingga tercampur semua.
Menambahkan EM4 dan molase yang sudah diecerkan dengan air sebanyak 2000 ml hingga
homogen. Setelah itu campuran tersebut dibagi menjadi 2 ditempakan pada 2 box dengan masing-
masing perlakuan yaitu aerob dan anaerob. Hasil pengujian yang telah dilakukan, perlakuan
terbaik untuk membuat kompos adalah anaerob karena kompos disimpan dalam wadah tertutup
sehingga suhu konstan di rentang 25 – 27 OC. Selain itu, perlakuan anaerob dapat mengurangi
penguapan dan mencegah pengaruh dari sinar matahari secara langsung sehingga mikroorganisme
mampu mendekomposisi bahan organik secara maksimum

PENDAHULUAN
Masalah sampah pasar tradisional sebenarnya tidak terlalu susah, namun juga
tidak sederhana, karena memiliki karakteristik yang sedikit berbeda dengan sampah dari
perumahan. Komposisi sampah pasar tradisional lebih dominan sampah organik yang
dapat di daur ulang menjadi kompos atau pupuk organik. Kompos merupakan bahan-
bahan organik (sampah organik) yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya
interaksi antara mikroorganisme (bakteri pembusuk) yang bekerja di dalamnya. Menurut
Manuputty dkk (2012) Pembuatan kompos dilakukan dengan mengatur dan mengontrol
campuran bahan organik yang seimbang, pemberian air yang, cukup, pengaturan aerasi,
dan pemberian effective innoculant / aktivator pengomposan. Aktivator merupakan bahan
yang mampu meningkatkan dekomposisi bahan organik dalam proses pengomposan.
Proses pengomposan merupakan suatu proses di mana bahan organik mengalami
penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan
organik sebagai sumber energi (Suharno, dkk. 2021).
Pupuk kompos baik digunakan karena berbagai alasan seperti tidak merusak
lingkungan, tidak memerlukan biaya yang banyak, proses pembuatan yang mudah dan
bahan yang tidak sulit ditemukan. Kompos dapat mendukung berjalannya gerakan
pertanian organik (organic farming) yang tidak menggunakan bahan kimia dan pestisida
dalam pertanian. Secara umum, pembuatan kompos terdiri dari dua metode, yaitu aerob
dan anaerob. Metode aerob membutuhkan kadar oksigen yang tinggi sedangkan anaerob
rendah. Pengontrolan secara intensif ini merupakan ciri khas proses pengomposan aerob.
Sedangkan pembuatan pupuk secara anaerob, penguraian bahan organik berlansung tanpa
bantuan udara atau oksigen secara maksimal, sehingga proses ini berlangsung secara
dingin dan tidak terjadi fluktuasi suhu yang dapat memperlambat penguraian (Supardi,
dan Sulistyorini, E. 2020). Menurut Dewi, C., M., dkk. (2017) Pemberian kompos akan
merangsang pertumbuhan mikroorganisme dalam tanah. Mikroorganisme ini berguna
bagi tanaman untuk membantu mengikat unsur hara, baik dari tanah maupun udara.
Mikroorganisme juga membantu menggemburkan tanah sehingga tanaman akan tumbuh
lebih subur.
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara pembuatan
kompos dan sekaligus mengetahui ciri-ciri kompos yang sudah jadi atau matang.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Praktikum dilaksanakan di Lahan Terpadu Tamnesia Universitas Muhammadiyah
Malang pada tanggal 5 Oktober 2022.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum meliputi timbangan analitik digital, dua
box plastik, pH-meter, cangkul, dan gelas ukur.
Bahan yang digunakan dalam praktikum meliputi limbah sayur 2 kg, kotoran
ternak ayam 1 kg, kotoran ternak sapi 1 kg, limbh jamur 1 kg, EM4, air, dan molase.
Metode Kerja
Metode kerja yang digunakan pada saat praktikum meliputi Menyiapkan alat dan
bahan praktikum. Mencacah limbah sayur dan menimbang sebanyak 2 kg. Menimbang
limbah sayur, kotoran ayam, dan kotoran sapi masing-masing 1 kg. Mencampurkan
limbah sayur yang sudah dicacah dengan kotoran ayam, kotoran sapi, dan limbah sayur
hingga tercampur semua. Menambahkan EM4 dan molase yang sudah diecerkan dengan
air sebanyak 2000 ml hingga homogen. Setelah itu campuran tersebut dibagi menjadi 2
ditempakan pada 2 box dengan masing-masing perlakuan yaitu aerob dan anaerob.
Melakukan pengamatan pada seminggu setelah praktikum selama 6 minggu.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 1. Hasil Pengamatan berat awal dan berat akhir Pupuk Kompos
Bakteri Berat Awal Berat Akhir Persentase
Aerob 4,255 kg 2,050 kg 34,9%
Anaerob 3,090 kg 2,340 kg 13,8%

Hasil tabel 1 menunjukkan pada perlakuan aerob berat awal 4,255 kg berkurang
pada berat akhir menjadi 2,050 kg. sedangkan pada perlakuan anaerob berat awal 3,090
kg berkurang menjadi 2,340 kg. Perbedaan kadar air pada masing-masing perlakuan
berpengaruh terhadap berat kompos yang dihasilkan. Persentase penyusutan berat pada
perlakuan aerob sebesar 34,9% sedangkan pada perlakuan anaerob mengalami
penyusutan sebesar 13,8%. Penyusutan berat kompos tersebut terjadi karena adanya
penurunan kadar air serta proses dekomposisi bahan organik kompos oleh
mikroorganisme pengurai selama proses pengomposan (Kadek, et al. 2018).
Tabel 2. Hasil Pengamatan Suhu Pupuk Kompos

Minggu ke-
Perlakuan
0 1 2 3 4 5

Aerob 25℃ 27 C
O
27,6 C O
26 C
O
25 C
O
26 C
O

Anaerob 25℃ 26 C
O
26 C
O
26 C
O
25 C
O
27 C
O

Hasil pada tabel 2 menunjukkan pada pengukuran pertama minggu ke-0, suhu
yang dihasilkan sama yaitu 25℃. Sedangkan pada pengamatan terakhir di minggu ke-5
perlakuan aerob memiliki suhu 26OC dan anaerob 27OC. suhu tertinggi tercatat pada
pengamatan minggu ke-2 dengan suhu mencapai 27,6 OC. Peningkatan suhu ini terjadi
karena aktivitas bakteri dalam mendekomposisi bahan organik. Fluktuasi perubahan suhu
pada pembuatan kompos hanya berkisar 25 – 27,6 OC. Rendahnya suhu kompos
disebabkan karena jumlah limbah pada proses pengomposan tidak cukup memberikan
proses insulasi panas (Widarti et al. 2015). Selain itu, menurut Budiaman (2010)
rendahnya suhu pada pembuatan kompos terjadi karena kondisi yang sangat asam pada
awal proses sebagai akibat aktivitas mikroba penghasil asam menunjukkan proses
berjalan tanpa terjadi peningkatan suhu (Budiaman, 2013).
Tabel 3. Hasil Pengamatan Ph Pupuk Kompos

Minggu ke-
Perlakuan
0 1 2 3 4 5

Aerob 7,0 7,0 6,9 7,0 7,0 7,0

Anaerob 7,0 7,3 7,0 7,0 6,5 6,5

Hasil dari tabel 3 menunjukkan bahwa pengamatan pH kompos selama proses


pengomposan tidak menunjukkan perubahan yang signifikan, baik aerob maupun
anaerob. PH tertinggi terdapat pada pengamatan minggu ke-2 dengan pH 7,3 pada
perlakuan anaerob. PH tersebut termasuk normal karena pH kompos yang ideal
berdasarkan standar kualitas kompos SNI : 19-7030-2004 berkisar antara 6,8 hingga
maksimum 7,49. Dari pengamatan yang dilakukan terlihat terjadi fluktuasi perubahan pH
dari awal hingga akhir pengamatan, tetapi masih dalam kisaran normal. Menurut Firdaus
(2013) pola perubahan pH kompos berawal dari pH agak asam karena terbentuknya
asam-asam organik sederhana, kemudian pH meningkat pada inkubasi lebih lanjut akibat
terurainya protein dan terjadi pelepasan amonia. Peningkatan dan penurunan pH juga
merupakan penanda terjadinya aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan bahan
organik (Ismayana, et al. 2012). Pada pengamatan terkahir, pH perlakuan aerob berada di
kisaran normal yang menandakan bahwa kompos sudah matang. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Jalaludin, et al. (2017) pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati
netral yaitu 7. Dari uji ini terlihat bahwa perlakuan aerob lebih baik daripada perlakuan
anaerob karena memiliki pH yang netral dan sesuai dengan SNI.
Tabel 4. Hasil Pengamatan Bau Pupuk Kompos
Perlakua Minggu ke-
n
0 1 2 3 4 5
Menyenga Sangat Menyenga Tidak Tidak Tidak
Aerob
t menyeng t  menyengat menyeng menyeng
at at at
Menyenga Sangat Menyenga Menyenga Tidak Tidak
Anaerob
t  menyeng t  t  menyeng menyeng
at at at
Hasil tabel 4 menunjukkan pada pengamatan pertama, bau pada kedua perlakuan
menyengat. Pada perlakuan aerob bau tidak menyengat terjadi mulai dari minggu ke-3.
Pada minggu pertama sangat menyengat. Hal ini sesuai dengan Ratnawati, et al (2019)
dan Witasari, et al (2021) Aroma menyengat pada saat titik puncak pengomposan terjadi
karena pada saat proses perombakan bahan melepas gas berupa NH3 +. Reaksi ini
termasuk reaksi oksidasi yang hasilnya berupa gas amoniak, air dan energi panas
sehingga menyebabkan aroma pada perlakuan menjadi menyengat. Bau tidak menyengat
saat pengamatan terakhir pada perlakuan aerob maupun anaerob menandakan bahwa
kompos sudah matang. Bau seperti tanah dikarenakan pada proses pengomposan sudah
memasuki fase akhir perombakan bahan. Hal ini sesuai dengan pernyataan ayumi, et al
(2017) bahwa Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) aroma kompos yang telah
matang seperti tanah.
Tabel 5. Hasil Pengamatan warna Pupuk Kompos

Perlakuan Minggu ke-

0 1 2 3 4 5
10R – 3/2 10R – 3/2 7,5 YR – 10R – 2.5Y – 2.5Y –
Aerob
10YR – 4/2 2.5/2 4/4 4/4
4/2 
10R – 3/2  10YR – 10 YR – 10R – 10YR – 10YR –
Anaerob
10YR – 4/2  4/2 3/2  3/4 3/4
4/2 
Hasil tabel 5 pada pengamatan warna kompos menunjukkan pada minggu ke-0
kedua perlakuan memiliki warna yang sama yaitu berwarna gelap. Pada pengamatan
terakhir minggu ke-5 perlakuan aerob memiliki warna gelap kecoklatan sedangkan pada
perlakuan anaerob memiliki warna yang gelap. Perbedaan warna kompos pada akhir
pengamatan menunjukkan tingkat kematangan kompos. Kompos yang dikatakan matang
jika memiliki perubahan warna menjadi semakin gelap dan berbau tanah (Suharno, et al.
2021). Perubahan warna kompos disebabkan karena mikrobia pada masing-masing
perlakuan berfungsi dengan baik untuk mendekomposisi. Dari uji ini terlihat bahwa
perlakuan anaerob lebih baik perubahan warnanya daripada perlakuan aerob karena
memiliki warna yang lebih gelap seperti tanah.
KESIMPULAN

Hasil pengujian yang telah dilakukan, perlakuan terbaik untuk membuat


kompos adalah anaerob karena kompos disimpan dalam wadah tertutup sehingga
suhu konstan di rentang 25 – 27 C. selain itu, perlakuan anaerob dapat mengurangi
O

penguapan dan mencegah pengaruh dari sinar matahari secara langsung sehingga
mikroorganisme mampu mendekomposisi bahan organik secara maksimum

DAFTAR PUSTAKA
Ayumi, I., D., E., Lutfi, M., dan Nugroho, A. 2017. Efektivitas Tipe Pengomposan
(Konvensional, Aerasi, dan Rak Segitiga) terhadap sifat fisik dan kimia kompos
dari sludge biogas dan Serbuk Gergaji. Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan
Biosistem. 5(3) : 265 – 272
Budiaman, Gusti, S., Kholisoh, Siti, D., M., Muhammad, M., Putranti, M. 2013.
Pengaruh Jenis Starter, Volume Pelarut, dan Aditif terhadap Pengolahan Sampah
Organik Rumah Tangga Menjadi Pupuk Kompos Secara Anaerob. Prosiding
Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan” Pengembangan Teknologi Kimia
untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia, UPN Veteran Yogyakarta.
Dewi, C.M., Dewi M.M., Antaresti, Wenny, I. 2017. Pembuatan Kompos Secara Aerob
Dengan Bulking Agent Sekam Padi. Jurnal Widya Teknik. 6 (1) : 21 – 31.
Surabaya
Firdaus F. 2011. Kualitas Pupuk Kompos Campuran Kotoran Ayam dan Batang Pisang
Menggunakan Bioaktivator MOL Tapai. Skripsi. IPB. Bogor.
Ismayana A, Indrasti NS, Suprihatin, Maddu A & FredyA. 2012. Faktor Rasio C/N Awal
dan Laju Aerasi pada Proses Cocomposting Bagasse dan Blotong. J.
Tekn.Industri Pertanian. 22(3): 173-179.
Jalaluddin, N. Za, and R. Syafrina. 2017. Pengolahan Sampah Organik Buah-Buahan
Menjadi Pupuk Dengan Menggunakan Effektive Mikroorganisme. JTKU. 5(1) :
17–29
Kadek, A., K., Wayan T., Ida, A., G., B., M. 2018. Analisis Dinamika Suhu pada Proses
Pengomposan Jerami dicampur Kotoran Ayam dengan Perlakuan Kadar Air.
Jurnal Beta (Biosistem Dan Teknik Pertanian). 6(1).
Manuputty, M. C., A. Jacob dan J.P. Haumahu, 2012.Pengaruh Effective Inoculant Promi
Dan Em4 Terhadap Laju Dekomposisi dan Kualitas Kompos Dari Sampah Kota
Ambon. Agrologia Jurnal Ilmu Budidaya Tanaman. 1(2) : 143- 151
Ratnawati R. 2019. Adsorpsi Emisi Amonia pada Proses Pengomposan Limbah Padat
Rumah Potong Hewan menggunakan Media Kompos Matang. SNHRP. 3(1) : 129
– 38.
Suharno, Wardoyo, S., Anwar, T. 2021. Perbedaan Penggunaan Komposter An-Aerob
dan AerobTerhadap Laju Proses Pengomposan Sampah Organik. Jurnal Ilmu
Kesehatan. 15(3) : 251 -255. Pontianak
Supardi dan Sulistyorini, E. 2020. Pembuatan Kompos Anaerob Dengan Menggunakan
Komposter Sederhana Yang Diterapkan Di Dusun Sidomulyo. Jurnal Untag. 5(2)
: 148 – 154. Surabaya
Widarti B., N., Wardhini W.,K. & Sarwono E. 2015. Pengaruh Rasio C/N Bahan Baku
pada Pembuatan Kompos dari Kubis dan Kulit Pisang. Jurnal Integrasi Proses.
5(2): 75 – 80.
Witasari WS, Sa’diyah K, Hidayatulloh M. 2021. Pengaruh Jenis Komposter dan Waktu
Pengomposan terhadap Pembuatan Pupuk 255 Kompos dari Activated Sludge
Limbah Industri Bioetanol. J Tek Kim dan Lingkungan. 5(1) : 31 – 40.
LAMPIRAN
Persentase Penyusutan Berat Kompos
Aerob
berat awal−berat akhir
Persentase = ×100 %
berat awal+berat akhir
4,225 – 2,050
= ×100 %
4,225+2,050
= 34,9%
Anaerob
berat awal−berat akhir
Persentase = ×100 %
berat awal+berat akhir
4,225 – 2,050
= ×100 %
4,225+2,050
= 13,8%

Anda mungkin juga menyukai