Anda di halaman 1dari 5

TEKNIK PEMBUATAN PUPUK KOMPOS

Annisa Nadhira Hamidah


202010200311047
annisahmdh24@gmail.com
Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian-Peternakan, Universitas Muhammadiyah Malang
Jl Raya Tlogomas No. 246, Malang, Jawa Timur, Indonesia

ABSTRAK
Sampah yang dihasilkan dari pasar sebagian besar adalah sampah organik, salah satunya berupa sayuran kubis.
Sampah menurut jenisnya dibagi menjadi dua yaitu sampa organik dan sampah anorganik. Penumpukan dari
sampah sayuran seperti kubis dapat mengakibatkan pencemaran udara, yaitu munculnya gas asam sulfida dan
gas amonia yang menimbulkan bau yang tidak sedap dan dapat menyebabkan polusi udara. Tujuan dari kegiatan
praktikum adalah agar praktikan dapat mengetahui bagaimana cara pembuatan pupuk kompos dan sekaligus
mengetahui ciri-ciri kompos yang sudah jadi atau matang. Metode yang digunakan dalam kegiatan praktikum
yaitu pengamatan terhadap suhu, pH, bau, warna, berat awal dan berat akhir. Praktikum dilaksanakan di lahan
Tamnesia Universitas Muhammadiyah Malang pada tanggal 5 Oktober 2022 Pukul 07.00 – 08.40 WIB. Hasil
yang didapatkan dalam kegiatan praktikum yaitu pada perlakuan aerob merupakan perlakuan pembuatan pupuk
kompos yang udara terbuka justru dibutuhkan oleh bakteri pengurai guna mendekomposisi bakteri yang ada
didalamnya agar tetap hidup dan mengurai sampah secara maksimal sedangkan perlakuan anaerob merupakan
penguraian bahan-bahan organik berlangsung tanpa menggunakan bantuan udara secara maksimal. Hal yang
didapatkan setelah melaksanakan kegiatan praktikum yaitu suhu pada perlakuan aerob dan anaerob memiliki
nilai rata-rata sebesar 27°C, rata-rata pH sebesar 7,0, aroma yang dihasilkan oleh kedua perlakuan pupuk
kompos yaitu menyengat dan tidak menyengat, pada pengamatan warna mayoritas berwarna gelap dengan
tingkat soil yang relatif sama yaitu 10YR, berat awal dan berat akhir pada perlakuan aerob yaitu sebesar 3,665
kg dan 2,440 kg sedangkan hasil pengamatan terhadap berat awal dan berat akhir pada perlakuan anaerob yaitu
sebesar 3,265 kg dan 2,260 kg.
Kata Kunci : Aerob, Anaerob, Sampah

PENDAHULUAN
Sampah yang dihasilkan dari pasar sebagian besar adalah sampah organik, salah satunya
berupa sayuran kubis. Penumpukan dari sampah sayuran seperti kubis dapat mengakibatkan
pencemaran udara, yaitu munculnya gas asam sulfida dan gas amonia yang menimbulkan bau yang
tidak sedap dan dapat menyebabkan polusi udara. Dari limbah yang membusuk ini, dapat menjadi
tempat berkembang biak bibit penyakit (Budi Nining Widarti, 2015). Sampah menurut jenisnya dibagi
menjadi dua yaitu sampah organik dan sampah anorganik (Larasati, dkk. 2019). Namun, disamping
sisi negatif adanya sampah sayuran kubis, ada beberapa hal yang dapat dimanfaatkan pada sampah
sayuran. Salah satunya adalah dapat digunakan menjadi pupuk kompos.
Penumpukan sampah terutama sampah sisa sayuran perlu dilakukan pengolahan sampah yang
baik dan benar. Pengolahan sampah yang dilakukan oleh masyarakat masih secara konvensional yang
memerlukan waktu yang lama sehingga dapat diperlukan suatu inovasi dengan cara mengolah
kembali sampah secara sederhana dengan memanfaatkan kembali sampah menjadi kompos. (Anthony
Hamzah, 2020). Pengomposan merupakan proses dekomposisi terkendali secara biologis terhadap
sampah padat organik dalam kondisi aerobik (terdapat oksigen) atau anaerobik (tanpa oksigen).
Bahan organik akan diubah hingga menyerupai tanah. Kondisi terkendali tersebut mencakup rasio
karbon dan nitrogen (C/N), kelembapan, pH dan kebutuhan oksigen. (Nunik Ekawandani, 2018).
Dalam proses pembuatan pupuk kompos, diperlukan adanya bahan-bahan berupa EM4 dan
molase. Penggunaan EM4 ini diharapkan dapat berpengaruh terhadap proses dekomposer
mikroorganisme berbentuk kompos serta dapat mengembalikan kesuburan pada tanah (Hurip
Pratomo, 2018). Sedangkan molase berguna sebagai sumber energi untuk mikroorganisme (Buharis,
2015). Tujuan dari kegiatan praktikum teknik pembuatan pupuk kompis adalah agar praktikan dapat
mengetahui bagaimana cara pembuatan pupuk kompos dan sekaligus mengetahui ciri-ciri kompos
yang sudah jadi atau matang.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum dilaksanakan di lahan Tamnesia Universitas Muhammadiyah Malang pada tanggal
5 Oktober 2022 Pukul 07.00 – 08.40 WIB
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum meliputi timbangan analitik digital, dua box plastik,
pH-meter, cangkul, dan gelas ukur.
Bahan yang digunakan dalam praktikum meliputi limbah sayur 2 kg, kotoran ternak ayam 1
kg, kotoran ternak sapi 1 kg, limbh jamur 1 kg, EM4, air, dan molase.
Metode Kerja
Metode kerja yang digunakan pada saat praktikum adalah sebagai berikut:
Menyiapkan alat dan bahan praktikum, mencacah limbah sayur dan menimbang sebanyak 2
kg, menimbang limbah jamur, kotoran ayam, dan kotoran sapi masing-masing 1 kg, mencampurkan
limbah sayur yang sudah dicacah dengan kotoran ayam, kotoran sapi, dan limbah sayur hingga
tercampur semua, menambahkan EM4 dan molase yang sudah diecerkan dengan air sebanyak 2000
ml hingga homogen, kemudian campuran tersebut dibagi menjadi 2 ditempakan pada 2 box dengan
masing-masing perlakuan yaitu aerob dan anaerob, melakukan pengamatan pada seminggu setelah
praktikum selama 6 minggu.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 1. Rata-rata pengamatan PH pada pupuk kompos
Minggu ke-
Perlakuan
0 1 2 3 4 5
Aerob 7,0 7,0 7,0 7,3 7,0 6,5
Anaerob 7,0 7,0 7,0 7,2 7,0 6,5
Hasil pengamatan terhadap pH pada perlakuan aerob dan anaerob memiliki nilai yang relatif
sama. pH pada perlakuan aerob tertinggi dan terendah terdapat pada perlakuan minggu ke-3 yaitu
sebesar 7,0 dan pada minggu ke-5 yaitu sebesar 6,5. Sedangkan pH pada perlakuan anaerob tertinggi
dan terendah terdapat pada perlakuan minggu ke-3 yaitu sebesar 7,2 dan pada minggu ke-5 yaitu
sebesar 6,5. Data yang didapatkan rata-rata memiliki tingkat pH yang sama yaitu 7,0. Hal ini sudah
sesuai dengan SNI 19-7030-2004 tentang spesifikasi kompos dari sampah organik, menjelaskan
bahwa persyaratan parameter yang telah ditetapkan adalah kompos yang sudah jadi atau matang harus
memenuhi nilai pH yang berkisar antara 6,80 – 7,40. (Larasati, dkk. 2019)
Tabel 2. Rata-rata pengamatan Suhu pada pupuk kompos
Minggu ke-
Perlakuan
0 1 2 3 4 5
Aerob 25℃ 27◦C 28 C
O
28 OC 26 OC 28 OC
Anaerob 25℃ 27◦C 28OC 27 OC 26 OC 27 OC
Hasil pengamatan terhadap suhu pada perlakuan aerob dan anaerob memiliki nilai yang cukup
signifikan. Suhu pada perlakuan aerob tertinggi dan terendah terdapat pada perlakuan minggu ke-2,
ke-3, dan ke-5 yaitu sebesar 28°C dan pada minggu ke-0 yaitu sebesar 25°C. Sedangkan suhu pada
perlakuan anaerob tertinggi dan terendah terdapat pada perlakuan minggu ke-1 dan ke-2 yaitu sebesar
28°C dan pada minggu ke-0 yaitu sebesar 25°C. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Dini,
dkk. 2020) terhadap proses pengomposan pada perlakuan aerob minggu ke-0 suhu yang diperoleh
yaitu sebesar 30°C, minggu ke-2 yaitu sebesar 26°C, dan minggu ke-4 yaitu sebesar 27°C. Sedangkan
pada perlakuan anaerob minggu ke-0 suhu yang diperoleh yaitu sebesar 30°C, minggu ke-2 yaitu
sebesar 26°C, dan minggu ke-4 yaitu sebesar 28°C.
Proses pembuatan kompos menggunakan perlakuan anaerob, penguraian bahan-bahan organik
berlangsung tanpa menggunakan bantuan udara secara maksimal. Sehingga, pada proses ini
berlangsung secara dingin serta tidak terjadi fluktuasi suhu yang terlalu tinggi sehingga dapat
menyebabkan lambatnya proses penguraian bakteri (Suharno, dkk. 2021). Hal ini dapat dibandingkan
antara perlakuan yang telah dilaksanakan pada saat kegiatan praktikum dengan penelitian yang telah
dilaksanakan oleh (Dini, dkk. 2020) bahwa pada perlakuan anaerob memiliki tingkat suhu yang
signifikan dan tidak terjadi lonjakan atau penurunan suhu yang terlalu tinggi atau rendah.
Proses pengomposan dengan perlakuan aerob berbeda dengan perlakuan anaerob, dimana
dalam proses aerob udara terbuka justru dibutuhkan oleh bakteri pengurai guna mendekomposisi
bakteri yang ada didalamnya agar tetap hidup dan mengurai sampah secara maksimal (Dini, dkk.
2020). Namun, pada perlakuan ini suhu yang ada pada kompos memiliki tingkat yang cenderung
kurang stabil dibandingkan dengan perlakuan anaerob. Hal ini dikarenakan perlakuan pada pembuatan
pupuk kompos yang dibiarkan pada tempat terbuka sehingga terjadi kenaikan serta penurunan yang
signifikan pada suhu didalamnya. Pada pembuatan pupuk kompos, semakin tinggi suhu mendekati
40°C pada ruangan dekomposter akan semakin efektifitas bakteri dalam mengurai sampah. Proses
penguraian bahan organik dan mikroorganisme lebih optimal pada suhu 30-40°C. Artinya, tidak
terlalu banyak air, tetapi juga tidak terlalu kering (Syaifuddin, 2018).
Tabel 3. Rata-rata pengamatan bau pada pupuk kompos
Minggu ke-
Perlakuan
0 1 2 3 4 5
Sangat Sangat
Aerob Menyengat  Menyengat Menyengat Menyengat
menyengat menyengat
Sangat Sangat Sangat
Anaerob Menyengat  Menyengat Menyengat
menyengat menyengat menyengat
Hasil pengamatan terhadap bau pada perlakuan aerob dan anaerob memiliki bau yang
menyengat dan sangat menyengat antara minggu ke-0 hingga minggu ke-5. Bau pada pupuk kompos
menyengat pada titik puncak pada perlakuan aerob dan anaerob terjadi di minggu ke-1 dan ke-2. Hal
ini dikarenakan pada saat proses perombakan bahan melepas gas berupa NH3+ sehingga terjadilah
aroma pada pupuk kompos yang sangat menyengat (Witasari, dkk. 2021) sedangkan pada minggu ke-
5 bau pada pupuk kompos mulai netral seperti bau tanah. Hal ini dikarenakan pada proses
pengomposan sudah memasuki fase akhir perombakan bahan kompos (Ratnawati, 2019).
Reaksi yang terjadi pada pupuk kompos ini termasuk reaksi oksidasi yang hasilnya berupa gas
amoniak (NH3), air dan energi panas sehingga dapat menyebabkan adanya aroma pada perlakuan
aerob dan anaerob menjadi menyengat. Maka dapat dikatakan percepatan kompos paling cepat pada
perlakuan an-aerob karena pada saat pembuatan pupuk tidak menggunakan udara bebas dalam proses
pengomposan (Hamdani, 2015). Pupuk kompos yang sudah matang dapat diketahui dari baunya yang
seperti bau tanah. Berdasarkan hasil pengamatan, kompos yang dihasilkan masih berbau busuk
sehingga dapat dikatakan kompos masih belum matang.
Tabel 4. Rata-rata pengamatan warna pada pupuk kompos
Minggu ke-
Perlakuan
0 1 2 3 4 5
10R – 3/2 10R – 3/2 7,5 YR – 10R – 2.5Y – 4/4 2.5Y – 4/4
Aerob 10YR – 4/2 2.5/2
4/2 
10R – 3/2  10YR – 10 YR – 10R – 3/2  10YR – 10YR –
Anaerob 10YR – 4/2  4/2 3/4 3/4
4/2 
Hasil pengamatan terhadap warna pada perlakuan aerob dan anaerob memiliki tingkat soil
colour yang relatif sama yaitu berkisar 10YR. Penelitian yang dilakukan oleh (Dini, dkk. 2020)
memiliki tingkat soil colour sebesar 7,5YR. Terjadi perbedaan antara kedua penelitian yang
dilakukan, hal ini dapat diakibatkan karena perbedaan aktivator pada kompos yang digunakan pada
mikroba berbeda. Perbedaan warna kompos pada akhir pengamatan menunjukkan tingkat kematangan
kompos. Kompos yang dikatakan matang jika memiliki perubahan warna menjadi semakin gelap dan
berbau tanah. Perubahan warna kompos disebabkan karena mikrobia pada masing-masing perlakuan
berfungsi dengan baik untuk mendekomposisi bahan organik.
Nilai value yang semakin kecil akan menunjukkan warna yang semakin gelap dan nilai
chroma yang semakin besar menunjukkan warna semakin gelap pula, sehingga jika nilai value
semakin kecil dan nilai chroma semakin besar, maka warna yang dihasilkan akan semakin gelap.
Perubahan warna pada kompos pada setiap minggunya dari warna hijau atau warna bahan mentahnya
menjadi coklat kehitam - hitaman menandakan bahwa kompos sudah menuju matang (Dini, dkk.
2020). Berdasarkan hasil pengamatan, kompos aerob dan anaerob yang dihasilkan kebanyakan masih
berwarna coklat dan hitam kecoklatan bukan coklat kehitaman sehingga dapat dikatakan kompos
tersebut belum matang
Tabel 5. Hasil Pengamatan berat awal dan berat akhir
Bakteri Berat Awal Berat Akhir Persentase Penurunan
Aerob 3,665 kg 2,440 kg 19,07%
Anaero 27,15%
3,265 kg 2,260 kg
b
Hasil pengamatan terhadap berat awal dan berat akhir pada perlakuan aerob yaitu sebesar
3,665 kg dan 2,440 kg sedangkan hasil pengamatan terhadap berat awal dan berat akhir pada
perlakuan anaerob yaitu sebesar 3,265 kg dan 2,260 kg. Berat pada masing-masing perlakuan
cenderung mengalami penurunan. Hal ini diakibatkan berkaitan erat dengan kadar air kompos. Makin
lama pupuk kompos tersebut disimpan, maka makin banyak pula kadar air yang hilang dan menguap.
Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, maka bobot dan isi bahan dasar kompos akan menjadi
berkurang antara 40-60%, tergantung bahan dasar kompos dan proses pengomposannya (Marjaenah,
dkk. 2021).

KESIMPULAN
Hasil dari pengujian yaitu didapatkan setelah melaksanakan kegiatan praktikum yaitu suhu
pada perlakuan aerob dan anaerob memiliki nilai rata-rata sebesar 27°C, rata-rata pH sebesar 7,0,
aroma yang dihasilkan oleh kedua perlakuan pupuk kompos yaitu menyengat dan tidak menyengat,
pada pengamatan warna mayoritas berwarna gelap dengan tingkat soil yang relatif sama yaitu 10YR,
berat awal dan berat akhir pada perlakuan aerob yaitu sebesar 3,665 kg dan 2,440 kg sedangkan hasil
pengamatan terhadap berat awal dan berat akhir pada perlakuan anaerob yaitu sebesar 3,265 kg dan
2,260 kg.

DAFTAR PUSTAKA
Anthony Hamzah, Y. P. (2020). Pemanfaatan Limbah Masyarakat dalam Pembuatan Pupuk Kompos
di Desa Kuok . Journal Of Community Services Public Affairs, 7 - 10.
Budi Nining Widarti, d. (2015). Pengaruh Rasio C/N Bahan Baku Pada Pembuatan Kompos Dari
Kubis Dan Kulit Pisang. Jurnal Integrasi Proses, 75-80.
Buharis. (2015). Pengaruh Penambahan Molase Pada Media Tanam Pertumbuhan Jamur Tiram Putih
(Pleurotus ostreatus). Makassar, Makassar.
Dini, dkk. 2020. Pengelolaan Limbah Domestik Rumah Tangga Menjadi Biokomposter
Mikroorganisme Dengan Metode Aerob-Anaerob. Jurnal Pengendalian Pencemaran
Lingkungan (JPPL). Vol. 2 No.01 Maret 2020
Hamdani A. 2015 Uji Kemampuan Campuran Trichoderma sp dan Aspergillus sp Sebagai
Biodekomposer Terhadap Laju Pengomposan Limbah Jerami Padi. 2015
Hurip Pratomo, B. P. (2018). Pembuatan Pupuk Kompos Berbahan Feses Kambing Menggunakan
Bantuan Effective Microorganism (EM4), Di Desa Tegal, Bogor. Prosiding PKM-CSR, 2635
- 3570.
Larasati, dkk. 2019. Pengolahan Sampah Sayuran Menjadi Kompos Dengan Metode Takakura. Jurnal
Ikesma Volume 15 Nomor 2. September 2019
Marjaenah, dkk. 2021. Pengomposan Eceng Gondok (Eichornia Crassipes SOLMS) Dengan Metode
Semi Anaerob Dan Penambahan Aktivator EM4. Jurnal Agrifor Volume XX Nomor 2, Oktober
Nunik Ekawandani, A. A. (2018). Pengomposan Sampah Organik (Kubis Dan Kulit Pisang) Dengan
Menggunakan EM4. TEDC.
Ratnawati R. 2019. Adsorpsi Emisi Amonia pada Proses Pengomposan Limbah Padat Rumah Potong
Hewan menggunakan Media Kompos Matang. SNHRP. 2019;129–38.
Suharno, dkk. 2021. Perbedaan Penggunaan Komposter An-Aerob dan Aerob Terhadap Laju Proses
Pengomposan Sampah Organik. Poltekita: Jurnal Ilmu Kesehatan. Vol.15 No.3 November
2021: Hal. 251-255
Syaifuddin MF, Destantyo BH. Pembuatan Pupuk Organik dari Limbah Pertanian dengan Metode
Aerob dan Anaerob. Institut Teknologi Sepuluh Nopember; 2018.
Witasari WS, Sa’diyah K, Hidayatulloh M. 2021. Pengaruh Jenis Komposter dan Waktu
Pengomposan terhadap Pembuatan Pupuk Kompos dari Activated Sludge Limbah Industri
Bioetanol. J Tek Kim dan Lingkung. 2021 ; 5 (1) : 31–40.

DOKUMENTASI

Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3


Menyiapkan alat dan bahan Menambahkan molase Menimbang berat sampah
sayur

Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6


Mencampurkan pupuk Menghitung suhu pupuk Mengamati warna pupuk

Anda mungkin juga menyukai