Anda di halaman 1dari 50

SAYA YANG BERNAMA :

IRWAN CORNEL

MELALUI SURAT INI MENYAMPAIKAN PENJELASAN TENTANG PROJECT KERJA SAMA KEPEMILIKAN
SAHAM BRI666 “APPOINMENT ALIEN FAMILY INTERNATIONAL (INTERNET ID 666 ICDM/ 22 TRILIUN
RUPIAH IRWAN CORNEL)” DENGAN KONFIRMASI BERKELANJUTAN KEPADA PIHAK :

BRI DAN PEMERINTAH NASIONAL INDONESIA DAN NEGARA NEGARA SECARA INTERNATIONAL
“INTERNET SOCIAL MEDIA” DAN KEPOLISIAN INDONESIA.

YANG DIWAKILI OLEH PIHAK PIHAK TERMASUK DALAM DAFTAR INI :

1. ALIEN FAMILY INTERNATIONAL (AMERIKA SERIKAT / ARAB ISLAM / ASIA / AFRICA / NEGARA
NEGARA)
2. BAPAK SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DAN KELUARGA
3. IBU SRI MULYANI INDRAWATI
4. IBU MEGAWATI SUKARNO PUTRI
5. BAPAK ADI BANA MERDEKA GINTING SUKA (BRI / USU / DST)
6. IRWAN CORNEL
7. IBU IMELDA GINTING SUKA
8. BAPAK JONATHAN GINTING
9. IBU DEWI MAYA
10. BAPAK PRABOWO SUBIANTO
11. BAPAK JOKO WIDODO
12. RUPS BRI NASIONAL
13. BAPAK YUNUS “SANUSI”
14. MASYARAKAT PULAU NIAS
15. ISTANA NEGARA INDONESIA
16. KEPOLISIAN INDONESIA DAN TNI
17. DPR – MPR INDONESIA

BERSEPAKAT DENGAN DIPELOPORI OLEH NAMA :

IRWAN CORNEL

UNTUK KEPEMILIKAN SAHAM BERSAMA (KONFIRMASI BERKELANJUTAN) SE- NILAI MASING MASING :

22 TRILIUN RUPIAH

TERBILANG :

DUA PULUH DUA TRILIUN RUPIAH

YANG BERPERJANJIAN PROJECT :

TABUNGAN BRI666 (APLIKASI “APPS” DAN “APK” BRI666) UNTUK JANGKA WAKTU PENCAPAIAN 22
TRILIUN RUPIAH DIMAKSUD “WAKTU TIDAK DITENTUKAN”.

ATAS NAMA KEPENGACARAAN BERSAMA :

EDI YUNUS DAN IRWAN CORNEL DAN KONFIRMASI JAKARTA “PEMERINTAH DAN ATAU PIHAK BRI/
UNTUK PERHATIAN JUGA KEPADA BAPAK ADI BANA MERDEKA GINTING SUKA”.
DENGAN MENGINGAT PULA KEPADA KETENTUAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN KERJA SAMA
ATAUPUN PENANAMAN MODAL BERSAMA, SEPERTI DIBAWAH INI SEBAGAI ACUANNYA :

Mengingat : Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5),
Pasal 20, serta Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
    Dengan Persetujuan Bersama

    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

    dan

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

    MEMUTUSKAN :

Menetapka : UNDANG-UNDANG TENTANG PENANAMAN MODAL.


n
    BAB I
KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

    1. Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal,


baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal
asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
    2. Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal
untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang
dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan
modal dalam negeri.
    3. Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk
melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang
dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal
asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal
dalam negeri.
    4. Penanam modal adalah perseorangan atau badan usaha yang
melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal
dalam negeri dan penanam modal asing.
    5. Penanam modal dalam negeri adalah perseorangan warga negara
Indonesia, badan usaha Indonesia, negara Republik Indonesia, atau
daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah negara
Republik Indonesia.
    6. Penanam modal asing adalah perseorangan warga negara asing,
badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan
penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.
    7. Modal adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan
uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai
ekonomis.
    8. Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing,
perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum
asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh
modalnya dimiliki oleh pihak asing.
    9. Modal dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh negara Republik
Indonesia, perseorangan warga negara Indonesia, atau badan usaha
yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum.
    10.Pelayanan terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu
perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau
pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki
kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya
dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya
dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.
    11.Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
    12.Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
    13.Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
    Pasal 2
    Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi penanaman modal di
semua sektor di wilayah negara Republik Indonesia.
    BAB II
ASAS DAN TUJUAN
    Pasal 3
    (1)Penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas:
      a. kepastian hukum;
      b. keterbukaan;
      c. akuntabilitas;
      d. perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara;
      e. kebersamaan;
      f efisiensi berkeadilan;
      g. berkelanjutan;
      h. berwawasan lingkungan;
      i. kemandirian; dan
      j. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
    (2)Tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain untuk:
      a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
      b. menciptakan lapangan kerja;
      c. meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;
      d. meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;
      e. meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;
      f. mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;
      g. mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan
menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun
dari luar negeri; dan
      h. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
    BAB III
KEBIJAKAN DASAR PENANAMAN MODAL
    Pasal 4
    (1)Pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk:
      a. mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi
penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian
nasional; dan
      b. mempercepat peningkatan penanaman modal.
    (2)Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemerintah:
      a. memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri
dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan
kepentingan nasional;
      b. menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan
berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan
sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
      c. membuka kesempatan bagi perkembangan dan memberikan
perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
    (3)Kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diwujudkan dalam bentuk Rencana Umum Penanaman Modal.
    BAB IV
BENTUK BADAN USAHA DAN KEDUDUKAN
    Pasal 5
    (1)Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan
usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau
usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
    (2)Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas
berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah
negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-
uridang.
    (3)Penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman
modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan:
      a. mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas;
      b. membeli saham; dan
      c. melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
    BAB V
PERLAKUAN TERHADAP PENANAMAN MODAL
    Pasal 6
    (1)Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua
penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan
kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
    (2)Perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa
berdasarkan perjanjian dengan Indonesia.
    Pasal 7
    (1)Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau
pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan
undang-undang.
    (2)Dalam hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau
pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya
ditetapkan berdasarkan harga pasar.
    (3)Jika diantara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang
kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase.
    Pasal 8
    (1)Penanam modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada
pihak yang diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
    (2)Aset yang tidak termasuk aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan aset yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai aset
yang dikuasai oleh negara.
    (3)Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi
dalam valuta asing, antara lain terhadap:
      a. modal;
      b. keuntungan, bunga bank, deviden, dan pendapatan lain;
      c. dana yang diperlukan untuk:
        1. pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau
barang jadi; atau
        2. penggantian barang modal dalam rangka melindungi
kelangsungan hidup penanaman modal;
      d. tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman
modal;
      e. dana untuk pembayaran kembali pinjaman;
      f. royalti atau biaya yang harus dibayar;
      g. pendapatan dari perseorangan warga negara asing yang bekerja
dalam perusahaan penanaman modal;
      h. hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal;
      i. kompensasi atas kerugian;
      j. kompensasi atas pengambilalihan;
      k. pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya
yang harus dibayar untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran
yang dilakukan di bawah kontrak proyek, dan pembayaran hak atas
kekayaan intelektual; dan
      l. hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (4)Hak untuk melakukan transfer dan repatriasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
    (5)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi:
      a. kewenangan Pemerintah untuk memberlakukan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pelaporan
pelaksanaan transfer dana;
      b. hak Pemerintah untuk mendapatkan pajak dan/atau royalti
dan/atau pendapatan Pemerintah lainnya dari penanaman modal
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
      c. pelaksanaan, hukum yang melindungi hak kreditor; dan
      d. pelaksanaan hukum untuk menghindari kerugian negara.
    Pasal 9
    (1)Dalam hal adanya tanggung jawab hukum yang belum diselesaikan
oleh penanam modal:
      a. penyidik atau Menteri Keuangan dapat meminta bank atau lembaga
lain untuk menunda hak melakukan transfer dan/atau repatriasi;
dan
      b. pengadilan berwenang menetapkan penundaan hak untuk
melakukan transfer dan/atau repatriasi berdasarkan gugatan.
    (2)Bank atau lembaga lain melaksanakan penetapan penundaan
berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b hingga selesainya seluruh tanggung jawab penanam
modal.
    BAB VI
KETENAGAKERJAAN
    Pasal 10
    (1)Perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga
kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia.
    (2)Perusahaan penanaman modal berhak menggunakan tenaga ahli
warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)Perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi
tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)Perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja
asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih
teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Pasal 11
    (1)Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan
untuk diselesaikan secara musyawarah antara perusahaan penanaman
modal dan tenaga kerja.
    (2)Jika penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mencapai hasil, penyelesaiannya dilakukan melalui upaya mekanisme
tripartit.
    (3)Jika penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
mencapai hasil, perusahaan penanaman modal dan tenaga kerja
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan
hubungan industrial.
    BAB VII
BIDANG USAHA
    Pasal 12
    (1)Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan
penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang
dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.
    (2)Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah:
      a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan
      b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan
undang-undang.
    (3)Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang
usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun
dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral,
kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional,
serta kepentingan nasional lainnya.
    (4)Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang
terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup
dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur
dengan Peraturan Presiden.
    (5)Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan
persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu
perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha
mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan
distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam
negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk
Pemerintah.
    BAB VIII
PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL
BAGI USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH,
DAN KOPERASI
    Pasal 13
    (1)Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk
usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta bidang usaha yang
terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja sama dengan
usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
    (2)Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi melalui program kemitraan,
peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi dan perluasan
pasar, serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya.
    BAB IX
HAK, KEWAJIBAN, DAN TANGGUNG JAWAB
PENANAM MODAL
    Pasal 14
    Setiap penanam modal berhak mendapat:
    a. kepastian hak, hukum, dan perlindungan;
    b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya;
    c. hak pelayanan; dan
    d. berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
    Pasal 15
    Setiap penanam modal berkewajiban:
    a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
    b. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
    c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan
menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;
    d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha
penanaman modal; dan
    e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Pasal 16
    Setiap penanam modal bertanggung jawab:
    a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    b. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika
penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau
menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
    c. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik
monopoli, dan hal lain yang merugikan negara;
    d. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
    e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan
pekerja; dan
    f. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Pasal 17
    Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak
terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan
lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang
pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
    BAB X
FASILITAS PENANAMAN MODAL
    Pasal 18
    (1)Pemerintah memberikan fasilitas kepada penanam modal yang
melakukan penanaman modal.
    (2)Fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diberikan kepada penanaman modal yang:
      a. melakukan peluasan usaha; atau
      b. melakukan penanaman modal baru.
    (3)Penanaman modal yang mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) adalah yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu
kriteria berikut ini:
      a. menyerap banyak tenaga kerja;
      b. termasuk skala prioritas tinggi;
      c. termasuk pembangunan infrastruktur;
      d. melakukan alih teknologi;
      e. melakukan industri pionir;
      f. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan,
atau daerah lain yang dianggap perlu;
      g. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
      h. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;
      i. bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi; atau
      j. industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau
peralatan yang diproduksi di dalam negeri.
    (4)Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat berupa:
      a. pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai
tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan
dalam waktu tertentu;
      b. pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal,
mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat
diproduksi di dalam negeri;
      c. pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan
penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu
dan persyaratan tertentu;
      d. pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas
impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan
produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama
jangka waktu tertentu;
      e. penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan
      f. keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang
usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.
    (5)Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam
jumlah dan waktu tertentu hanya dapat diberikan kepada penanaman
modal baru yang merupakan industri pionir, yaitu industri yang
memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan
eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta
memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
    (6)Bagi penanaman modal yang sedang berlangsung yang melakukan
penggantian mesin atau barang modal lainnya, dapat diberikan
fasilitas berupa keringanan atau pembebasan bea masuk.
    (7)Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas fiskal
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
    Pasal 19
    Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5)
diberikan berdasarkan kebijakan industri nasional yang ditetapkan oleh
Pemerintah.
    Pasal 20
    Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 tidak berlaku bagi
penanaman modal asing yang tidak berbentuk perseroan terbatas.
    Pasal 21
    Selain fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah
memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada
perusahaan penanaman modal untuk memperoleh:
    a. hak atas tanah;
    b. fasilitas pelayanan keimigrasian; dan
    c. fasilitas perizinan impor.
    Pasal 22
    (1)Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan
diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas
permohonan penanam modal, berupa:
      a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan
puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang
di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat
diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun;
      b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan
puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di
muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui
selama 30 (tiga puluh) tahun; dan
      c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujtih puluh) tahun
dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus
selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama
25 (dua puluh lima) tahun.
    (2)Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan
dan diperpanjang di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman
modal, dengan persyaratan antara lain:
      a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan
terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang
lebih berdaya saing;
      b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang
memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai
dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan;
      c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas;
      d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara;
dan
      e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan
masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum.
    (3)Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa
tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai
dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak.
    (4)Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus
di muka dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika
perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan
kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak
sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan.
    Pasal 23
    (1)Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b dapat diberikan untuk:
      a. penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja asing dalam
merealisasikan penanaman modal;
      b. penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja asing yang
bersifat sementara dalam rangka perbaikan mesin, alat bantu
produksi lainnya, dan pelayanan purnajual; dan
      c. calon penanam modal yang akan melakukan penjajakan
penanaman modal.
    (2)Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian
yang diberikan kepada penanaman modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b diberikan setelah penanam modal
mendapat rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal.
    (3)Untuk penanam modal asing diberikan fasilitas, yaitu:
      a. pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing selama 2
(dua) tahun;
      b. pemberian alih status izin tinggal terbatas bagi penanam modal
menjadi izin tinggal tetap dapat dilakukan setelah tinggal di
Indonesia selama 2 (dua) tahun berturut-turut;
      c. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi
pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 1 (satu)
tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas)
bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan;
      d. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi
pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 2 (dua)
tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan; dan
      e. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi
pemegang izin tinggal tetap diberikan untuk jangka waktu paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal tetap
diberikan.
    (4)Pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Imigrasi atas dasar rekomendasi dari Badan
Koordinasi Penanaman Modal.
    Pasal 24
    Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas perizinan impor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c dapat diberikan untuk
impor:
    a. barang yang selama tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur perdagangan barang;
    b. barang yang tidak memberikan dampak negatif terhadap keselamatan,
keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, dan moral bangsa;
    c. barang dalam rangka relokasi pabrik dari luar negeri ke Indonesia;
dan
    d. barang modal atau bahan baku untuk kebutuhan produksi sendiri.
    BAB XI
PENGESAHAN DAN PERIZINAN PERUSAHAAN
    Pasal 25
    (1)Penanam modal yang melakukan penanaman modal di Indonesia
harus sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang ini.
    (2)Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal dalam negeri
yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal asing yang
berbentuk perseroan terbatas dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
    (4)Perusahaan penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha
wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan,
kecuali ditentukan lain dalam undang-undang.
    (5)Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh melalui pelayanan
terpadu satu pintu.
    Pasal 26
    (1)Pelayanan terpadu satu pintu bertujuan membantu penanam modal
dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan
informasi mengenai penanaman modal.
    (2)Pelayanan terpadu satu pintu dilakukan oleh lembaga atau instansi
yang berwenang di bidang penanaman modal yang mendapat
pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi
yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan di tingkat
pusat atau lembaga atau instansi yang berwenang mengeluarkan
perizinan dan nonperizinan di provinsi atau kabupaten/kota.
    (3)Ketentuan mengenai tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu
satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Presiden.
    BAB XII
KOORDINASI DAN PELAKSANAAN
KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL
    Pasal 27
    (1)Pemerintah mengoordinasi kebijakan penanaman modal, baik
koordinasi antarinstansi Pemerintah, antara instansi Pemerintah
dengan Bank Indonesia, antara instansi Pemerintah dengan
pemerintah daerah, maupun antarpemerintah daerah.
    (2)Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman
Modal.
    (3)Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dipimpin oleh seorang kepala dan bertanggung jawab
langsung kepada Presiden.
    (4)Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
    Pasal 28
    (1)Dalam rangka koordinasi pelaksanaan kebijakan dan pelayanan
penanaman modal, Badan Koordinasi Penanaman Modal mempunyai
tugas dan fungsi sebagai berikut :
      a. melaksanakan tugas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di
bidang penanaman modal;
      b. mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan penanaman
modal;
      c. menetapkan norma, standar, dan prosedur pelaksanaan kegiatan
dan pelayanan penanaman modal;
      d. mengembangkan peluang dan potensi penanaman modal di daerah
dengan memberdayakan badan usaha;
      e. membuat peta penanaman modal Indonesia; 
      f. mempromosikan penanaman modal;
      g. mengembangkan sektor usaha penanaman modal melalui
pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan
kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan
usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya
dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal;
      h. membantu penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi
permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan
kegiatan penanaman modal;
      i. mengoordinasi penanam modal dalam negeri yang menjalankan
kegiatan penanaman modalnya di luar wilayah Indonesia; dan
      j. mengoordinasi dan melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu.
    (2)Selain tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(2), Badan Koordinasi Penanaman Modal bertugas melaksanakan
pelayanan penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
    Pasal 29
    Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta pelayanan terpadu satu
pintu, Badan Koordinasi Penanaman Modal harus melibatkan
perwakilan secara langsung dari setiap sektor dan daerah terkait dengan
pejabat yang mempunyai kompetensi dan kewenangan.
    BAB XIII
PENYELENGGARAAN URUSAN
PENANAMAN MODAL
    Pasal 30
    (1)Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin kepastian dan
keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal.
    (2)Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal
yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan
penanaman modal yang menjadi urusan Pemerintah.
    (3)Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal
yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah didasarkan pada
kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan kegiatan
penanaman modal.
    (4)Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas
provinsi menjadi urusan Pemerintah.
    (5)Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas
kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah provinsi.
    (6)Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada
dalam satu kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah
kabupaten/kota.
    (7)Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal, yang
menjadi kewenangan Pemerintah adalah : 
      a. penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak
terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang
tinggi;
      b. penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas
tinggi pada skala nasional;
      c. penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan
penghubung antarwilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi;
      d. penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi
pertahanan dan keamanan nasional;
      e. penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan
modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang
didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah
negara lain; dan
      f. bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah
menurut undang-undang.
    (8)Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang
menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(7), Pemerintah menyelenggarakannya sendiri, melimpahkannya
kepada gubernur selaku wakil Pemerintah, atau menugasi pemerintah
kabupaten/kota.
    (9)Ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan di bidang
penanaman modal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
    BAB XIV
KAWASAN EKONOMI KHUSUS
    Pasal 31
    (1)Untuk mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu
yang bersifat strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan
untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah, dapat
ditetapkan dan dikembangkan kawasan ekonomi khusus.
    (2)Pemerintah berwenang menetapkan kebijakan penanaman modal
tersendiri di kawasan ekonomi khusus.
    (3)Ketentuan mengenai kawasan ekonomi khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.
    BAB XV
PENYELESAIAN SENGKETA
    Pasal 32
    (1)Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara
Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu
menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.
    (2)Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan
melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau
pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara
Pemerintah dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat
menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan
kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui
arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan
dilakukan di pengadilan.
    (4)Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara
Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan
menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang
harus disepakati oleh para pihak.
    BAB XVI
SANKSI
    Pasal 33
    (1)Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang
melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas
dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan
bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas
nama orang lain.
    (2)Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing
membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal
demi hukum.
    (3)Dalam hal penanam modal yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja sama dengan Pemerintah
melakukan kejahatan korporasi berupa tindak pidana perpajakan,
penggelembungan biaya pemulihan, dan bentuk penggelembungan
biaya lainnya untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan
kerugian negara berdasarkan temuan atau pemeriksaan oleh pihak
pejabat yang berwenang dan telah mendapat putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap, Pemerintah mengakhiri perjanjian
atau kontrak kerja sama dengan penanam modal yang bersangkutan.
    Pasal 34
    (1)Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa:
      a. peringatan tertulis;
      b. pembatasan kegiatan usaha;
      c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal;
atau
      d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
    (2)Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
    (3)Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha
perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
    BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
    Pasal 35
    Perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral,
dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah
Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai
dengan berakhirnya perjanjian tersebut.
    Pasal 36
    Rancangan perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun
multilateral, dalam bidang penanaman modal yang belum disetujui oleh
Pemerintah Indonesia pada saat Undang-Undang ini berlaku wajib
disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini.
    Pasal 37
    (1)Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua ketentuan peraturan
perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam
Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum
diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-
Undang ini.
    (2)Persetujuan penanaman modal dan izin pelaksanaan yang telah
diberikan oleh Pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968
tentang Penanaman Modal Dalam Negeri dinyatakan tetap berlaku
sampai dengan berakhirnya persetujuan penanaman modal dan izin
pelaksanaan tersebut.
    (3)Permohonan penanaman modal dan permohonan lainnya yang
berkaitan dengan penanaman modal yang telah disampaikan kepada
instansi yang berwenang dan pada tanggal disahkannya Undang-
Undang ini belum memperoleh persetujuan Pemerintah wajib
disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
    (4)Perusahaan penanaman modal yang telah diberi izin usaha oleh
Pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan
Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan
Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri dan, apabila izin usaha tetapnya telah berakhir,
dapat diperpanjang berdasarkan Undang-Undang ini.
    BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
    Pasal 38
    Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
    a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2818)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 46, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2943); dan
    b. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968
Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2853) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2944);
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
    Pasal 39
    Semua Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara
langsung dengan penanaman modal wajib mendasarkan dan
menyesuaikan pengaturannya pada Undang-Undang ini.
    Pasal 40
    Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
                 
Disahkan di Jakarta
                pada tanggal 26 April 2007
                PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
                 
 
DR. H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta      
pada tanggal 26 April 2007      
MENTERI HUKUM DAN HAK      
ASASI MANUSIA
                       REPUBLIK
INDONESIA,
       
 
HAMID AWALUDIN
 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 67

Badan Usaha
Tanggal: 2 November 2020
Badan Usaha adalah badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum
yang didirikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melakukan usaha dan/atau
kegiatan pada bidang tertentu

Referensi:

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020

Dasar hukum UU 19 tahun 2003 tentang BUMN adalah:

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 23 ayat (4), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun
1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999
tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 - 2004;
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587);
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286);

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :

1. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
2. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk
perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit
51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang
tujuan utamanya mengejar keuntungan.
3. Perusahaan Perseroan Terbuka, yang selanjutnya disebut Persero Terbuka, adalah Persero
yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau Persero
yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal.
4. Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh
modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk
kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan
sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
5. Menteri adalah menteri yang ditunjuk dan/atau diberi kuasa untuk mewakili pemerintah
selaku pemegang saham negara pada Persero dan pemilik modal pada Perum dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan.
6. Menteri Teknis adalah menteri yang mempunyai kewenangan mengatur kebijakan sektor
tempat BUMN melakukan kegiatan usaha.
7. Komisaris adalah organ Persero yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan
nasihat kepada Direksi dalam menjalankan kegiatan pengurusan Persero.
8. Dewan Pengawas adalah organ Perum yang bertugas melakukan pengawasan dan
memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan kegiatan pengurusan Perum.
9. Direksi adalah organ BUMN yang bertanggung jawab atas pengurusan BUMN untuk
kepentingan dan tujuan BUMN, serta mewakili BUMN baik di dalam maupun di luar
pengadilan.
10. Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada
Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya.
11. Restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN yang
merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan
guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan.
12. Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada
pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar
manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh
masyarakat.
13. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah organ Persero
yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Persero dan memegang segala wewenang
yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.

Pasal 2

1. Maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah :


a. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada
umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;
b. mengejar keuntungan;
c. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa
yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak;
d. menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh
sektor swasta dan koperasi;
e. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan
ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
2. Kegiatan BUMN harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan.
3. Terhadap BUMN berlaku Undang-undang ini, anggaran dasar, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.

Pasal 4

1. Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
2. Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN
bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. kapitalisasi cadangan;
c. sumber lainnya.
3. Setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau perseroan terbatas
yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
4. Setiap perubahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), baik
berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan
negara atas saham Persero atau perseroan terbatas, ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
5. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) bagi penambahan
penyertaan modal negara yang berasal dari kapitalisasi cadangan dan sumber lainnya.
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara
dalam rangka pendirian atau penyertaan ke dalam BUMN dan/atau perseroan terbatas
yang sebagian sahamnya dimiliki oleh negara, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 5

1. Pengurusan BUMN dilakukan oleh Direksi.


2. Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan
BUMN serta mewakili BUMN, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
3. Dalam melaksanakan tugasnya, anggota Direksi harus mematuhi anggaran dasar BUMN
dan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip
profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban,
serta kewajaran.

Pasal 6

1. Pengawasan BUMN dilakukan oleh Komisaris dan Dewan Pengawas.


2. Komisaris dan Dewan Pengawas bertanggung jawab penuh atas pengawasan BUMN
untuk kepentingan dan tujuan BUMN.
3. Dalam melaksanakan tugasnya, Komisaris dan Dewan Pengawas harus mematuhi
Anggaran Dasar BUMN dan ketentuan peraturan perundang- undangan serta wajib
melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian,
akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran.

Pasal 7

Para anggota Direksi, Komisaris dan Dewan Pengawas dilarang mengambil keuntungan pribadi
baik secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan BUMN selain penghasilan yang sah.

Pasal 8

1. Anggota Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas tidak berwenang mewakili BUMN,
apabila:
a. terjadi perkara di depan pengadilan antara BUMN dan anggota Direksi atau
Komisaris atau Dewan Pengawas yang bersangkutan; atau
b. anggota Direksi atau Komisaris atau Dewan Pengawas yang bersangkutan
mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan BUMN.
2. Dalam anggaran dasar ditetapkan yang berhak mewakili BUMN apabila terdapat keadaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3. Dalam hal anggaran dasar tidak menetapkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), RUPS mengangkat 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham untuk mewakili
Persero, dan Menteri mengangkat 1 (satu) orang atau lebih untuk mewakili Perum.

Pasal 9

BUMN terdiri dari Persero dan Perum.

BAB II
PERSERO

Bagian Pertama
Pendirian

Pasal 10

1. Pendirian Persero diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar
pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri Keuangan.
2. Pelaksanaan pendirian Persero dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan ketentuan
peraturan perundangan-undangan.

Pasal 11

Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan
terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas.

Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan

Pasal 12

Maksud dan tujuan pendirian Persero adalah :

a. menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat;
b. mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.

Bagian Ketiga
Organ

Pasal 13

Organ Persero adalah RUPS, Direksi, dan Komisaris.


Bagian Keempat
Kewenangan RUPS

Pasal 14

1. Menteri bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh saham Persero dimiliki oleh negara
dan bertindak selaku pemegang saham pada Persero dan perseroan terbatas dalam hal
tidak seluruh sahamnya dimiliki oleh negara.
2. Menteri dapat memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada perorangan atau badan
hukum untuk mewakilinya dalam RUPS.
3. Pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib terlebih dahulu
mendapat persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai :
a. perubahan jumlah modal;
b. perubahan anggaran dasar;
c. rencana penggunaan laba;
d. penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, serta pembubaran
Persero;
e. investasi dan pembiayaan jangka panjang;
f. kerja sama Persero;
g. pembentukan anak perusahaan atau penyertaan;
h. pengalihan aktiva.

Bagian Kelima
Direksi Persero

Pasal 15

1. Pengangkatan dan pemberhentian Direksi dilakukan oleh RUPS.


2. Dalam hal Menteri bertindak selaku RUPS, pengangkatan dan pemberhentian Direksi
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 16

1. Anggota Direksi diangkat berdasarkan pertimbangan keahlian, integritas, kepemimpinan,


pengalaman, jujur, perilaku yang baik, serta dedikasi yang tinggi untuk memajukan dan
mengembangkan Persero.
2. Pengangkatan anggota Direksi dilakukan melalui mekanisme uji kelayakan dan
kepatutan.
3. Calon anggota Direksi yang telah dinyatakan lulus uji kelayakan dan kepatutan wajib
menandatangani kontrak manajemen sebelum ditetapkan pengangkatannya sebagai
anggota Direksi.
4. Masa jabatan anggota Direksi ditetapkan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
5. Dalam hal Direksi terdiri atas lebih dari seorang anggota, salah seorang anggota Direksi
diangkat sebagai direktur utama.
Pasal 17

Anggota Direksi sewaktu-waktu dapat diberhentikan berdasarkan keputusan RUPS dengan


menyebutkan alasannya.

Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian
anggota Direksi diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 19

Dalam melaksanakan tugasnya, anggota Direksi wajib mencurahkan tenaga, pikiran dan
perhatian secara penuh pada tugas, kewajiban, dan pencapaian tujuan Persero.

Pasal 20

Dengan memperhatikan sifat khusus masing-masing Persero, Direksi dapat mengangkat seorang
sekretaris perusahaan.

Pasal 21

1. Direksi wajib menyiapkan rancangan rencana jangka panjang yang merupakan rencana
strategis yang memuat sasaran dan tujuan Persero yang hendak dicapai dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun.
2. Rancangan rencana jangka panjang yang telah ditandatangani bersama dengan Komisaris
disampaikan kepada RUPS untuk mendapatkan pengesahan.

Pasal 22

1. Direksi wajib menyiapkan rancangan rencana kerja dan anggaran perusahaan yang
merupakan penjabaran tahunan dari rencana jangka panjang.
2. Direksi wajib menyampaikan rancangan rencana kerja dan anggaran perusahaan kepada
RUPS untuk memperoleh pengesahan.

Pasal 23

1. Dalam waktu 5 (lima) bulan setelah tahun buku Persero ditutup, Direksi wajib
menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS untuk memperoleh pengesahan.
2. Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh semua
anggota Direksi dan Komisaris.
3. Dalam hal ada anggota Direksi atau Komisaris tidak menandatangani laporan tahunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), harus disebutkan alasannya secara tertulis.
Pasal 24

Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana jangka panjang, rencana kerja dan anggaran
perusahaan, laporan tahunan dan perhitungan tahunan Persero diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 25

Anggota Direksi dilarang memangku jabatan rangkap sebagai:

a.  
1. anggota Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha milik
swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan;
2. jabatan struktural dan fungsional lainnya pada instansi/lembaga pemerintah pusat
dan daerah; dan/atau
3. jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 26

Direksi wajib memelihara risalah rapat dan menyelenggarakan pembukuan Persero.

Bagian Keenam
Komisaris

Pasal 27

1. Pengangkatan dan pemberhentian Komisaris dilakukan oleh RUPS.


2. Dalam hal Menteri bertindak selaku RUPS, pengangkatan dan pemberhentian Komisaris
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 28

1. Anggota Komisaris diangkat berdasarkan pertimbangan integritas, dedikasi, memahami


masalah-masalah manajemen perusahaan yang berkaitan dengan salah satu fungsi
manajemen, memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha Persero tersebut, serta
dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya.
2. Komposisi Komisaris harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga memungkinkan
pengambilan keputusan dapat dilakukan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat
bertindak secara independen.
3. Masa jabatan anggota Komisaris ditetapkan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
4. Dalam hal Komisaris terdiri atas lebih dari seorang anggota, salah seorang anggota
Komisaris diangkat sebagai komisaris utama.
5. Pengangkatan anggota Komisaris tidak bersamaan waktunya dengan pengangkatan
anggota Direksi, kecuali pengangkatan untuk pertama kalinya pada waktu pendirian.
Pasal 29

Anggota Komisaris sewaktu-waktu dapat diberhentikan berdasarkan keputusan RUPS dengan


menyebutkan alasannya.

Pasal 30

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian
Komisaris diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 31

Komisaris bertugas mengawasi Direksi dalam menjalankan kepengurusan Persero serta


memberikan nasihat kepada Direksi.

Pasal 32

1. Dalam anggaran dasar dapat ditetapkan pemberian wewenang kepada Komisaris untuk
memberikan persetujuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu.
2. Berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, Komisaris dapat melakukan tindakan
pengurusan Persero dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu.

Pasal 33

Anggota Komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai:

1. anggota Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan
jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; dan/atau
2. jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketujuh
Persero Terbuka

Pasal 34

Bagi Persero Terbuka berlaku ketentuan Undang-undang ini dan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995 sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal.
BAB III
PERUM

Bagian Pertama
Pendirian

Pasal 35

1. Pendirian Perum diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar
pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri Keuangan.
2. Perum yang didirikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh status badan
hukum sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian, pembinaan, pengurusan, dan pengawasan
Perum diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan

Pasal 36

1. Maksud dan tujuan Perum adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk
kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan
harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang
sehat.
2. Untuk mendukung kegiatan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dengan persetujuan Menteri, Perum dapat melakukan
penyertaan modal dalam badan usaha lain.

Bagian Ketiga
Organ

Pasal 37

Organ Perum adalah Menteri, Direksi, dan Dewan Pengawas.

Bagian Keempat
Kewenangan Menteri

Pasal 38

1. Menteri memberikan persetujuan atas kebijakan pengembangan usaha Perum yang


diusulkan oleh Direksi.
2. Kebijakan pengembangan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diusulkan oleh
Direksi kepada Menteri setelah mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas.
3. Kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sesuai dengan maksud dan
tujuan Perum yang bersangkutan.
Pasal 39

Menteri tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum yang dibuat Perum dan
tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai kekayaan negara yang telah
dipisahkan ke dalam Perum, kecuali apabila Menteri:

a. baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perum semata-
mata untuk kepentingan pribadi;
b. terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perum; atau
c. langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perum.

Pasal 40

Ketentuan mengenai tata cara pemindahtanganan, pembebanan atas aktiva tetap Perum, serta
penerimaan pinjaman jangka menengah/panjang dan pemberian pinjaman dalam bentuk dan cara
apa pun, serta tidak menagih lagi dan menghapuskan dari pembukuan piutang dan persediaan
barang oleh Perum diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Kelima
Anggaran Dasar

Pasal 41

1. Anggaran dasar Perum ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.


2. Perubahan anggaran dasar Perum ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
3. Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mulai berlaku sejak
tanggal diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang perubahan anggaran dasar Perum.

Bagian Keenam
Penggunaan Laba

Pasal 42

1. Setiap tahun buku Perum wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih untuk
cadangan.
2. Penyisihan laba bersih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sampai cadangan
mencapai sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari modal Perum.
3. Cadangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang belum mencapai jumlah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hanya dapat dipergunakan untuk menutup
kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan lain.

Pasal 43

Penggunaan laba bersih Perum termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ditetapkan oleh Menteri.
Bagian Ketujuh
Direksi Perum

Pasal 44

Pengangkatan dan pemberhentian Direksi ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan mekanisme dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 45

1. Yang dapat diangkat sebagai anggota Direksi adalah orang perseorangan yang mampu
melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota
Direksi atau Komisaris atau Dewan Pengawas yang dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu perseroan atau Perum dinyatakan pailit atau orang yang tidak pernah dihukum
karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara.
2. Selain kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) anggota Direksi diangkat
berdasarkan pertimbangan keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman, jujur,
perilaku yang baik, serta dedikasi yang tinggi untuk memajukan dan mengembangkan
Perum.
3. Pengangkatan anggota Direksi dilakukan melalui mekanisme uji kelayakan dan
kepatutan.
4. Calon anggota Direksi yang telah dinyatakan lulus uji kelayakan dan kepatutan wajib
menandatangani kontrak manajemen sebelum ditetapkan pengangkatannya sebagai
anggota Direksi.
5. Masa jabatan anggota Direksi ditetapkan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
6. Dalam hal Direksi terdiri atas lebih dari seorang anggota, salah seorang anggota Direksi
diangkat sebagai direktur utama.

Pasal 46

Anggota Direksi sewaktu-waktu dapat diberhentikan berdasarkan Keputusan Menteri dengan


menyebutkan alasannya.

Pasal 47

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian
anggota Direksi diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 48

Dalam melaksanakan tugasnya, Direksi wajib mencurahkan tenaga, pikiran, dan perhatian secara
penuh pada tugas, kewajiban, dan pencapaian tujuan Perum.
Pasal 49

1. Direksi wajib menyiapkan rancangan rencana jangka panjang yang merupakan rencana
strategis yang memuat sasaran dan tujuan Perum yang hendak dicapai dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun.
2. Rancangan rencana jangka panjang yang telah ditandatangani bersama dengan Dewan
Pengawas disampaikan kepada Menteri untuk mendapatkan pengesahan.

Pasal 50

1. Direksi wajib menyiapkan rancangan rencana kerja dan anggaran perusahaan yang
merupakan penjabaran tahunan dari rencana jangka panjang.
2. Direksi wajib menyampaikan rancangan rencana kerja dan anggaran perusahaan kepada
Menteri untuk memperoleh pengesahan.

Pasal 51

1. Dalam waktu 5 (lima) bulan setelah tahun buku Perum ditutup, Direksi wajib
menyampaikan laporan tahunan kepada Menteri untuk memperoleh pengesahan.
2. Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh semua
anggota Direksi dan Dewan Pengawas.
3. Dalam hal ada anggota Direksi atau Dewan Pengawas tidak menandatangani laporan
tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus disebutkan alasannya secara tertulis.

Pasal 52

Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana jangka panjang, rencana kerja dan anggaran
perusahaan, laporan tahunan dan perhitungan tahunan Perum diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 53

Anggota Direksi dilarang memangku jabatan rangkap sebagai:

a. anggota Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan
jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan;
b. jabatan struktural dan fungsional lainnya pada instansi/lembaga pemerintah pusat dan
daerah; dan/atau
c. jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan dalam peraturan pendirian Perum dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 54

Direksi wajib memelihara risalah rapat dan menyelenggarakan pembukuan Perum.


Pasal 55

1. Direksi hanya dapat mengajukan permohonan ke pengadilan negeri agar Perum


dinyatakan pailit berdasarkan persetujuan Menteri.
2. Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan Perum
tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi
secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
3. Anggota Direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau
kelalaiannya tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut.
4. Dalam hal tindakan Direksi menimbulkan kerugian bagi Perum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), Menteri mewakili Perum untuk melakukan tuntutan atau gugatan terhadap
Direksi melalui pengadilan.

Bagian Kedelapan
Dewan Pengawas

Pasal 56

Pengangkatan dan pemberhentian anggota Dewan Pengawas ditetapkan oleh Menteri sesuai
dengan mekanisme dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57

1. Yang dapat diangkat menjadi anggota Dewan Pengawas adalah orang perseorangan yang
mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi
anggota Direksi atau Komisaris atau Dewan Pengawas yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan atau Perum dinyatakan pailit atau orang yang tidak pernah
dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara.
2. Selain kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anggota Dewan Pengawas diangkat
berdasarkan pertimbangan integritas, dedikasi, memahami masalah-masalah manajemen
perusahaan yang berkaitan dengan salah satu fungsi manajemen, memiliki pengetahuan
yang memadai di bidang usaha Perum tersebut, serta dapat menyediakan waktu yang
cukup untuk melaksanakan tugasnya.
3. Komposisi Dewan Pengawas harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga memungkinkan
pengambilan keputusan dapat dilakukan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat
bertindak secara independen.
4. Masa jabatan anggota Dewan Pengawas ditetapkan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
5. Dalam hal Dewan Pengawas terdiri atas lebih dari seorang anggota, salah seorang
anggota Dewan Pengawas diangkat sebagai ketua Dewan Pengawas.
6. Pengangkatan anggota Dewan Pengawas tidak bersamaan waktunya dengan
pengangkatan anggota Direksi, kecuali pengangkatan untuk pertama kalinya pada waktu
pendirian.
Pasal 58

Anggota Dewan Pengawas sewaktu-waktu dapat diberhentikan berdasarkan Keputusan Menteri


dengan menyebutkan alasannya.

Pasal 59

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian
Dewan Pengawas diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 60

Dewan Pengawas bertugas mengawasi Direksi dalam menjalankan kepengurusan Perum serta
memberikan nasihat kepada Direksi

Pasal 61

1. Dalam anggaran dasar dapat ditetapkan pemberian wewenang kepada Dewan Pengawas
untuk memberikan persetujuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum
tertentu.
2. Berdasarkan anggaran dasar atau Keputusan Menteri, Dewan Pengawas dapat melakukan
tindakan pengurusan Perum dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu

Pasal 62

Anggota Dewan Pengawas dilarang memangku jabatan rangkap sebagai:

1. anggota Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan
jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; dan/atau
2. jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

BAB IV
PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN,
DAN PEMBUBARAN BUMN

Pasal 63

1. Penggabungan atau peleburan suatu BUMN dapat dilakukan dengan BUMN lain yang
telah ada.
2. Suatu BUMN dapat mengambil alih BUMN dan/atau perseroan terbatas lainnya.

Pasal 64

1. Pembubaran BUMN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


2. Apabila tidak ditetapkan lain dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), sisa hasil likuidasi atau pembubaran BUMN disetorkan langsung ke Kas Negara.
Pasal 65

1. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan


pembubaran BUMN, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Dalam melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kepentingan
BUMN, pemegang saham/pemilik modal, pihak ketiga, dan karyawan BUMN harus tetap
mendapat perhatian.

BAB V
KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM

Pasal 66

1. Pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk


menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan
tujuan kegiatan BUMN.
2. Setiap penugasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan RUPS/Menteri.

BAB VI
SATUAN PENGAWASAN INTERN,
KOMITE AUDIT, DAN KOMITE LAIN

Bagian Pertama
Satuan Pengawasan Intern

Pasal 67

1. Pada setiap BUMN dibentuk satuan pengawasan intern yang merupakan aparat pengawas
intern perusahaan.
2. Satuan pengawasan intern sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipimpin oleh seorang
kepala yang bertanggung jawab kepada direktur utama.

Pasal 68

Atas permintaan tertulis Komisaris/Dewan Pengawas, Direksi memberikan keterangan hasil


pemeriksaan atau hasil pelaksanaan tugas satuan pengawasan intern.

Pasal 69

Direksi wajib memperhatikan dan segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan atas
segala sesuatu yang dikemukakan dalam setiap laporan hasil pemeriksaan yang dibuat oleh
satuan pengawasan intern.
Bagian Kedua
Komite Audit dan Komite Lain

Pasal 70

1. Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN wajib membentuk komite audit yang bekerja
secara kolektif dan berfungsi membantu Komisaris dan Dewan Pengawas dalam
melaksanakan tugasnya.
2. Komite audit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipimpin oleh seorang ketua yang
bertanggung jawab kepada Komisaris atau Dewan Pengawas.
3. Selain komite audit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Komisaris atau Dewan
Pengawas dapat membentuk komite lain yang ditetapkan oleh Menteri.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai komite audit dan komite lain diatur dengan Keputusan
Menteri.

BAB VII
PEMERIKSAAN EKSTERNAL

Pasal 71

1. Pemeriksaan laporan keuangan perusahaan dilakukan oleh auditor eksternal yang


ditetapkan oleh RUPS untuk Persero dan oleh Menteri untuk Perum.
2. Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VIII
RESTRUKTURISASI DAN PRIVATISASI

Bagian Pertama
Maksud dan Tujuan Restrukturisasi

Pasal 72

1. Restrukturisasi dilakukan dengan maksud untuk menyehatkan BUMN agar dapat


beroperasi secara efisien, transparan, dan profesional.
2. Tujuan restrukturisasi adalah untuk:
a. meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan;
b. memberikan manfaat berupa dividen dan pajak kepada negara;
c. menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang kompetitif kepada
konsumen; dan
d. memudahkan pelaksanaan privatisasi.
3. Pelaksanaan restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap memperhatikan
asas biaya dan manfaat yang diperoleh.
Bagian Kedua
Ruang Lingkup Restrukturisasi

Pasal 73

Restrukturisasi meliputi :

a. restrukturisasi sektoral yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kebijakan sektor


dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. restrukturisasi perusahaan/korporasi yang meliputi :
1. peningkatan intensitas persaingan usaha, terutama di sektor-sektor yang terdapat
monopoli, baik yang diregulasi maupun monopoli alamiah;
2. penataan hubungan fungsional antara pemerintah selaku regulator dan BUMN
selaku badan usaha, termasuk di dalamnya penerapan prinsip- prinsip tata kelola
perusahaan yang baik dan menetapkan arah dalam rangka pelaksanaan kewajiban
pelayanan publik.
3. restrukturisasi internal yang mencakup keuangan, organisasi/ manajemen,
operasional, sistem, dan prosedur.

Bagian Ketiga
Maksud dan Tujuan Privatisasi

Pasal 74

1. Privatisasi dilakukan dengan maksud untuk :


a. memperluas kepemilikan masyarakat atas Persero;
b. meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan;
c. menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat;
d. menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif;
e. menciptakan Persero yang berdaya saing dan berorientasi global;
f. menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar.
2. Privatisasi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah
perusahaan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham Persero.

Bagian Keempat
Prinsip Privatisasi dan Kriteria Perusahaan
yang Dapat Diprivatisasi

Pasal 75

Privatisasi dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian,


akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran.

Pasal 76

1. Persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang-kurangnya memenuhi kriteria:


a. industri/sektor usahanya kompetitif; atau
b. industri/sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah.
2. Sebagian aset atau kegiatan dari Persero yang melaksanakan kewajiban pelayanan umum
dan/atau yang berdasarkan Undang-undang kegiatan usahanya harus dilakukan oleh
BUMN, dapat dipisahkan untuk dijadikan penyertaan dalam pendirian perusahaan untuk
selanjutnya apabila diperlukan dapat diprivatisasi.

Pasal 77

Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:

a. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan


hanya boleh dikelola oleh BUMN;
b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan
negara;
c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus
untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;
d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi.

Pasal 78

Privatisasi dilaksanakan dengan cara:

a. penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal;


b. penjualan saham langsung kepada investor;
c. penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan yang bersangkutan.

Bagian Kelima
Komite Privatisasi

Pasal 79

1. Untuk membahas dan memutuskan kebijakan tentang privatisasi sehubungan dengan


kebijakan lintas sektoral, pemerintah membentuk sebuah komite privatisasi sebagai
wadah koordinasi.
2. Komite privatisasi dipimpin oleh Menteri Koordinator yang membidangi perekonomian
dengan anggota, yaitu Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Teknis tempat Persero
melakukan kegiatan usaha.
3. Keanggotaan komite privatisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.

Pasal 80

1. Komite privatisasi bertugas untuk:


a. merumuskan dan menetapkan kebijakan umum dan persyaratan pelaksanaan
Privatisasi;
b. menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperlancar proses
Privatisasi;
c. membahas dan memberikan jalan keluar atas permasalahan strategis yang timbul
dalam proses Privatisasi, termasuk yang berhubungan dengan kebijakan sektoral
pemerintah.
2. Komite privatisasi dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat mengundang, meminta masukan, dan/atau bantuan instansi pemerintah atau pihak
lain yang dipandang perlu.
3. Ketua komite privatisasi secara berkala melaporkan perkembangan pelaksanaan tugasnya
kepada Presiden.

Pasal 81

Dalam melaksanakan Privatisasi, Menteri bertugas untuk:

a. menyusun program tahunan Privatisasi;


b. mengajukan program tahunan Privatisasi kepada komite privatisasi untuk memperoleh
arahan;
c. melaksanakan Privatisasi.

Bagian Keenam
Tata Cara Privatisasi

Pasal 82

1. Privatisasi harus didahului dengan tindakan seleksi atas perusahaan-perusahaan dan


mendasarkan pada kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
2. Terhadap perusahaan yang telah diseleksi dan memenuhi kriteria yang telah ditentukan,
setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Keuangan, selanjutnya disosialisasikan
kepada masyarakat serta dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 83

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Privatisasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 84

Setiap orang dan/atau badan hukum yang mempunyai potensi benturan kepentingan dilarang
terlibat dalam proses Privatisasi.
Bagian Ketujuh
Kerahasiaan Informasi

Pasal 85

1. Pihak-pihak yang terkait dalam program dan proses Privatisasi diwajibkan menjaga
kerahasiaan atas informasi yang diperoleh sepanjang informasi tersebut belum terbuka.
2. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedelapan
Hasil Privatisasi

Pasal 86

1. Hasil Privatisasi dengan cara penjualan saham milik negara disetor langsung ke Kas
Negara.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran hasil Privatisasi diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 87

1. Karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN yang pengangkatan, pemberhentian,


kedudukan, hak dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang ketenagakerjaan.
2. Karyawan BUMN dapat membentuk serikat pekerja sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3. Serikat pekerja wajib memelihara keamanan dan ketertiban dalam perusahaan, serta
meningkatkan disiplin kerja.

Pasal 88

1. BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha
kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyisihan dan penggunaan laba sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 89

Anggota Komisaris, Dewan Pengawas, Direksi, karyawan BUMN dilarang untuk memberikan
atau menawarkan atau menerima, baik langsung maupun tidak langsung, sesuatu yang berharga
kepada atau dari pelanggan atau seorang pejabat pemerintah untuk mempengaruhi atau sebagai
imbalan atas apa yang telah dilakukannya dan tindakan lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 90

BUMN dalam batas kepatutan hanya dapat memberikan donasi untuk amal atau tujuan sosial
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 91

Selain organ BUMN, pihak lain mana pun dilarang campur tangan dalam pengurusan BUMN.

Pasal 92

Perubahan bentuk badan hukum BUMN diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 93

1. Dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-undang ini mulai berlaku, semua
BUMN yang berbentuk perusahaan jawatan (Perjan), harus telah diubah bentuknya
menjadi Perum atau Persero.
2. Segala ketentuan yang mengatur BUMN dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 94

Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka:

1. Indonesische Bedrijvenwet (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 419) sebagaimana telah


beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun
1955 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 850);
2. Undang-undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
1989);
3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1969 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2890) tentang Bentuk-
Bentuk Usaha Negara menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1969 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2904);
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 95

Undang-undang ini berlaku sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang- undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
 
pada tanggal 19 Juni 2003

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

  ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Perjanjian adalah kesepakatan antara subjek hukum (orang atau badan hukum) mengenai
sesuatu perbuatan hukum yang memberikan suatu akibat hukum yang sebagaimana
dimaksud pada pasal 1313 KUHperdata. Pasal 1313 KUHPerdata menjelaskan bahwa Suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri
terhadap satu orang lain atau lebih. Sehubungan dengan hal tersebut diatas terdapat
syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana dimaksud pada pasal 1320 KUHPerdata,

Adapun suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak maka perjanjian
dimaksud haruslah  memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320
KUHPer, sebagai berikut:

   1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak

Artinya sepakat antara para pihak untuk melakukan suaru perjanjian yang mana atas
perjanjian dimaskud terdapat akibat hukum bagi para pihak yang bersepakat

   2. Cakap untuk membuat perikatan

Para pihak mampu membuat suatu perjanjian, dalam hal ini tidak tekualifikasi sebagai pihak
yang tidak cakap hukum untuk membuat suatu perikatan sebagaimana diatur dalam Pasal
1330 KUHPer.

Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap sebagaimana tersebut
diatas, maka Perjanjian tersebut batal demi hukum (Pasal 1446 KUHPer).

   3. Suatu hal tertentu

Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Dalam hal suatu perjanjian
tidak menentukan jenis objek dimaksud maka perjanjian tersebut  batal demi hukum.
Sebagaimana Pasal 1332 KUHPer menentukan bahwa hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian. Selain itu, berdasarkan Pasal 1334
KUHPer barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek
perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas

    4. Suatu sebab atau causa yang halal

Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian
tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-
undang. Sebagaimana Pasal 1335 KUHPer menyatakan suatu perjanjian yang tidak
memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau
terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum

Selain syarat sah perjanjian dimaksud terdapat juga syarat-syarat yang harus dipenuhi
didalam suatu perjanjian kerjasama yakni;

1. Bahwa perjanjian kerjasama dilakukan oleh minimal dua subjek huku (orang/badan
hukum).
2. Bahwa atas dasar perjanjian dimaksud terdapat akibat hukum atas para pihak
karena adanya hak dan kewajiban.

Pengertian Hukum Internasional

Pada awal mulanya hukum internasional hanya memandang negara sebagai subjek hukum
internasional. Hal itu karena pada masa awal tersebut dapat dikatakan tidak ada atau bahkan
jarang sekali adanya pribadi-pribadi hukum internasional selain negara yang melakukan
hubungan-hubungan internasional.[1]

Hukum internasional dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur entitas berskala
internasional. Inilah yang membedakan dengan hukum nasional negara masing-masing yang
mengatur hanya mengatur entitas berskala nasional.

Menurut J.G. Starke, hukum internasional dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang
untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya
negara-negara merasa dirinya terikat untuk mentaati dan karenanya, benar-benar ditaati secara
umum dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan yang meliputi juga:[2]

1. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau


organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan
hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu; dan
2. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan
non negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan non negara tersebut penting
bagi masyarakat internasional.[3]

Kemudian menurut Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan hukum internasional adalah


keseluruhan kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas
negara: antara negara dengan negara; dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau
subjek bukan negara satu sama lain.[4]
Pada umumnya hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara Negara-Negara dan subjek
hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional.[5]

Subjek Hukum Internasional

Selanjutnya menjawab inti pertanyaan Anda tentang apa itu subjek hukum dan apa saja yang
termasuk subjek hukum internasional, perlu diketahui bahwa secara umum subjek hukum
diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Sehingga, singkatnya, pengertian subjek hukum
internasional adalah pendukung hak dan kewajiban dalam hukum internasional.

Lebih lanjut, masih dari buku yang sama, diterangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, subjek
hukum internasional adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat memiliki hak dan
kewajiban, serta memiliki kewenangan untuk melakukan hubungan hukum atau bertindak
menurut ketentuan hukum internasional yang berlaku.

Subjek hukum internasional, antara lain:

1. Negara
Negara merupakan subjek hukum internasional penuh.[6] Menurut Konvensi Montevideo 1949,
kualifikasi suatu negara sebagai subjek hukum internasional adalah mempunyai penduduk yang
tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang sah atau berdaulat, dan negara tersebut
mempunyai kemampuan mengadakan hubungan dengan negara lain.
2. Organisasi Internasional
Klasifikasi organisasi internasional antara lain:

a. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan maksud dan tujuan
yang bersifat umum. Misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
b. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan tujuan yang
bersifat spesifik. Contohnya World Bank atau Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), dan
World Health Organization (WHO), dan lain-lain.
c. Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan global.
Contohnya ASEAN (Association of Southeast Asian Nations), European Union, dan lain-lain.

Kedudukan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional kini tidak


diragukan lagi, dan mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-
konvensi internasional yang merupakan semacam anggaran dasarnya.[7]

3. Palang Merah Internasional


Palang Merah Internasional yang berkedudukan di Jenewa mempunyai tempat tersendiri dalam
sejarah hukum Internasional. Palang Merah Internasional (PMI) sebagai subjek hukum
internasional memiliki ruang lingkup terbatas. Namun, kedudukan PMI diperkuat dengan adanya
perjanjian dan konvensi internasional. Mengingat misi PMI adalah untuk kemanusiaan,
organisasi internasional ini harus independen dan dilaksanakan tanpa intervensi negara mana
pun.
4. Takhta Suci Vatikan
Mengutip dari artikel Vatikan Sebagai Subjek Hukum Internasional, Vatikan adalah subjek
hukum internasional karena diakui oleh negara-negara di dunia dan menjadi pihak pada
perjanjian-perjanjian internasional dan anggota pada beberapa organisasi internasional.

Hal tersebut terjadi setelah diadakannya perjanjian antara Italia dengan Takhta Suci pada
tanggal 11 Februari 1929 (Lateran Treaty) yang mengembalikan sebidang tanah di Roma
kepada Takhta Suci dan memungkinkan didirikannya negara Vatikan, yang dengan
perjanjian itu sekaligus dibentuk dan diakui.[8]

5. Pemberontak
Menurut hukum perang, kelompok pemberontak dapat menjadi subjek hukum internasional jika
telah terorganisir, menaati hukum perang, memiliki wilayah yang dikuasai, memiliki kemampuan
untuk mengadakan hubungan dengan negara lain, dapat menentukan nasibnya sendiri,
menguasai sumber daya alam di wilayah yang dikuasainya, dan memilih sistem ekonomi, politik,
dan sosial sendiri.

6. Individu
Manusia sebagai individu juga termasuk dalam subjek hukum internasional. Masih bersumber
dari buku yang sama, diterangkan Mochtar Kusumaatmadja, Perjanjian Versailles 1919 memuat
sejumlah pasal yang memungkinkan individu untuk mengajukan perkara secara internasional ke
Mahkamah Arbitrase Internasional.

Dengan demikian, dapat dirangkum terdapat enam subjek hukum internasional, yaitu negara,
organisasi internasional, Palang Merah Internasional, Takhta Suci Vatikan, pemberontak, dan
individu.

Baca juga: Pengertian Hukum Internasional dan 6 Subjek Hukumnya

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk
tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk
mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung
dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban dari kami tentang subjek hukum internasional, semoga bermanfaat.

Referensi:

1. Boer Mauna. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global.
Bandung: Alumni, 2005;
2. I Wayan Phartiana. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju, 2003;
3. J.G. Starke. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh. Jakarta: Sinar Grafika, 2001;
4. Sumitro L.S. Dauredjo. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1984;
5. Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Binacipta, 1997;
6. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT
Alumni, 2003.

[1] I Wayan Phartiana. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju, 2003, hal. 85

[2] J.G. Starke. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh. Jakarta: Sinar Grafika, 2001,
hal. 3

[3] J.G. Starke. Introduction to International Law, Edisi-9, diterjemahkan oleh Sumitro L.S.
Dauredjo, Pengantar Hukum Intrnasional, Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1984, hal. 1

[4] Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Binacipta, 1997, hal. 3-4

[5] Boer Mauna. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global. Bandung: Alumni, 2005, hal. 1

[6] Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Binacipta, 1997, hal. 97

[7] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT
Alumni, 2003, hal. 101

[8] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT
Alumni, 2003, hal. 100

Anda mungkin juga menyukai