Della Putri Yanti (Uas Psikologi) .
Della Putri Yanti (Uas Psikologi) .
PSIKOLOGI PARIWISATA
DI SUSUN OLEH :
DELLA PUTRI YANTI
14406122
PARIWISATA A
Tersingkirnya Bali dari daftar 10 tujuan wisata terpopuler dunia tahun ini, membuat banyak
pihak mempertanyakan penyebabnya. Ada yang menuding pandemi COVID-19 dengan segala
konsekuensinya, termasuk pembatasan kedatangan luar negeri, karantina dan aturan visa,
menjadi faktor pemicunya. Namun, tidak sedikit yang menuding bahwa sampah, terutama
plastik, yang jadi masalahnya. Benarkah?
“Ketika saya tinggal di sana (Bali, red), saya selalu pergi dan pulang dari pusat kebugaran
sambil olahraga lari. Saya lihat jalan-jalan berdebu dengan sampah berserakan di sana-sini.
Jalan-jalan itu tidak terurus. Saya kira orang-orang Bali kurang begitu peduli dengan sampah.
Saya kira itu bukan prioritas mereka.”
Itu pernyataan Craig Smith, seorang turis Amerika yang belum lama ini berkunjung ke Bali. Ia
memprihatinkan betapa kotornya jalan-jalan di Denpasar, Bali. Pria berusia 56 tahun yang
gemar keliling dunia ini mengatakan, popularitas Bali sebagai tujuan wisata bisa anjlok bila
masalah sampah tidak tertangani dengan baik. Ia terutama mengeluhkan sampah plastik,
yang tidak mudah terdekomposisi dan merusak lingkungan.
Partisipasi Warga, sejumlah warga Bali terlibat dalam upaya tanggulangi sampah di sungai
(Dokumentasi Sungai Watch)
Partisipasi Warga, sejumlah warga Bali terlibat dalam upaya tanggulangi sampah di sungai
(Dokumentasi Sungai Watch)
Smith hanyalah satu dari banyak turis asing yang memprihatinkan masalah sampah di Bali.
Sejumlah media besar – termasuk The Guardian, CNN, dan National Geographic – belakangan
ini sering menyorot bagaimana turis-turis asing mengeluhkan masalah sampah, dan betapa
Bali kesulitan menanggulangi sampah. Sampai-sampai tak sedikit wisatawan yang menyebut
Bali sebagai “the Island of Trash”.
Media-media asing itu menggambarkan, pantai-pantai terkenal di Bali seperti Kuta, Seminyak
dan Legian, hampir setiap hari dipenuhi sampah. Padahal pantai adalah daya tarik utama
pariwisata. Masyarakat Indonesia, khususnya Bali, sebelumnya sempat bangga karena pulau
itu sempat menduduki posisi nomor satu tujuan wisata dunia dalam daftar Traveler Choice
Award versi Trip Advisor pada 2021. Namun, pada tahun ini, sama sekali tersingkir dalam
daftar 10 besar itu. London, yang sempat digeser Bali pada 2021, tahun ini kembali ke posisi
puncak seperti tahun 2020. Gary Bencheghib, pendiri bersama Sungai Watch, organisasi
nirlaba yang bertujuan mengatasi masalah sampah, terutama plastik, di sungai-sungai
Indonesia, memahami keprihatinan para turis asing itu. Pria yang sudah 18 tahun tinggal di
Bali tersebut mengatakan, sebetulnya kesadaran akan sampah di kalangan masyarakat di
pulau itu sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum pandemi. Hanya
saja, katanya, sarana dan prasarana penanggulangan sampahnya masih belum memadai.
Sungai Watch sendiri sudah lebih dari setahun ikut menanggulangi masalah sampah di Bali.
Namun, Bencheghib mengaku, kontribusi organisasinya relatif sangat kecil dibandingkan
dengan banyaknya sampah yang diproduksi Bali setiap tahunnya.
“Sebuah studi yang dilakukan Bali Partnership pada 2019 menunjukan ada lebih dari 33.000
ton sampah plastik setiap tahunnya yang dilakukan sungai-sungai di Bali ke laut. Kita sejauh
ini baru mengumpulkan hampir 400 ton dalam waktu sekitar 15 bulan. Itu berarti hanya satu
persen dari sampah plastik yang ada di Bali setiap tahunnya,” jelasnya.
Sungai Watch sejauh ini telah menempatkan 120 jaring sungai di 35 desa di Bali. Jumlah itu
masih terbilang kecil mengingat jumlah sungai di Bali lebih dari 390. Organisasi itu melibatkan
warga setempat untuk mengumpulkan sampah-sampah yang terjaring, menyortirnya, dan
mendaur ulang sampah plastiknya untuk produk yang lebih bermanfaat. Melibatkan
masyarakat setempat dalam menjaga kebersihan sungai, kata Bencheghib, merupakan cara
terbaik untuk menggugah kesadaran mereka.
Selain meningkatkan kesadaran warga untuk peduli sampah, Bencheghib menegaskan Bali,
atau Indonesia secara umum, perlu membangun prasarana pengelolaan sampah yang andal,
mengingat Indonesia adalah salah satu penghasil sampah terbesar di dunia.
“Indonesia adalah negara penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah China.
Karena begitu banyaknya sampah yang dihasilkan, kita perlu prasarana yang memadai untuk
mengatasi masalah ini,” lanjut Bencheghib.
Keterkaitan masalah sampah dan popularitas Bali sebagai tujuan wisata sebetulnya juga tak
lepas dari perhatian para pejabat di Indonesia. Anggota DPD RI Dapil Bali, Made Mangku
Pastika, contohnya, secara tersirat pernah menyatakan bahwa keengganan wisatawan
mancanegara berkunjung ke Bali adalah karena masalah sampah. Ia mengimbau pemerintah
daerah Bali agar menggalakkan upaya penanggulangan sampah.
Gubernur Bali, Wayan Koster, sebagaimana dikutip Daily Mail Australia, juga mengakui belum
efektifnya penanganan sampah di Bali, serta eratnya masalah sampah dan daya tarik wisata.
Ia sendiri mengaku telah mengambil sejumlah langkah serius untuk membersihkan pantai-
pantai yang sering dikunjungi wisatawan, dan bahkan menargetkan Bali yang bersih sebelum
menjadi tuan rumah KTT G-20 November mendatang.
Masalah sampah di Bali juga merupakan salah satu fokus perhatian Melati Wisjen, seorang
aktivis lingkungan yang tinggal di pulau itu. Setelah berhasil meloloskan prakarsanya untuk
mengurangi penggunaan kantong plastik melalui program “Bye Bye Plastic Bags” yang
didirikan bersama saudara perempuannya Isabel Wijsen pada tahun 2013, ia menggelar
program tahunan yang disebut “Bali Biggest Clean-Up” .
“Bali Biggest Clean-Up” ke-6, yang diselenggarakan Februari tahun ini dan sebagai bagian dari
peringatan Hari Peduli Sampah, berhasil mengumpulkan 88.000 potongan plastik di 130 lokasi
dan melibatkan sekitar 4.000 orang, termasuk turis domestik dan asing. Menurut Melati,
partisipasi masyarakat Bali sendiri luar biasa tinggi. “Sekitar 90 persen orang yang terlibat
dalam program Clean-Up ini adalah orang Bali. Sekitar 10 persen sisanya, turis atau orang
asing yang kebetulan berada di sini. Sungguh luar bisa melihat solidaritas, kekukuhan dan
komitmen warga setempat. Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Bali mengakui
masalah sampah belum berhasil tertangani dengan baik. Pada satu hari di bulan Desember
2021, dinas tersebut berhasil menjaring 30 ton sampah di sepanjang Pantai Kuta. Puluhan ton
sampah lainnya ditemukan di pantai Jimbaran, Legian, dan Seminyak. Yang tak kalah
memprihatinkan, sebagian besar sampah itu berupa plastik, materi yang tidak mudah
terdekomposisi.
Analiss Masalah
Bali adalah salah satu pulau destinasi terbaik di Indonesia. Keindahan alam serta kearifan lokal
di Bali dapat menarik wisatawan domestik maupun wisatawan dari berbagai belahan dunia.
Selain itu, potensi pariwisata bahari dapat sebagai daya jual untuk perkembangan ekonomi di
Pulau Bali maupun Indonesia. Pesona Bali Tercoreng masalah Sampah, pantai sendiri sering
banyak sampah-sampah yang sangat berserakan dimana-mana. Sampah-sampah yang
ditemukan di banyak pantai di Bali sebetulnya kiriman dari sungai-sungai yang bermuara ke
laut, dan bukan karena kebiasaan buruk dalam membuang sampah di kalangan orang-orang
yang sering berkunjung ke pantai atau memanfaatkan pantai sebagai sumber mata
pencaharian. Namun, Bencheghib mengaku, kontribusi organisasinya relatif sangat kecil
dibandingkan dengan banyaknya sampah yang diproduksi Bali setiap tahunnya.
Indonesia adalah negara penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah China.
Karena begitu banyaknya sampah yang dihasilkan, kita perlu prasarana yang memadai untuk
mengatasi masalah ini.
Masalah sampah di Bali juga merupakan salah satu fokus perhatian Melati Wisjen, seorang
aktivis lingkungan yang tinggal di pulau itu. Setelah berhasil meloloskan prakarsanya untuk
mengurangi penggunaan kantong plastik melalui program “Bye Bye Plastic Bags” yang
didirikan bersama saudara perempuannya Isabel Wijsen pada tahun 2013, ia menggelar
program tahunan yang disebut “Bali Biggest Clean-Up.
Keterkaitan masalah sampah dan popularitas Bali sebagai tujuan wisata sebetulnya juga tak
lepas dari perhatian para pejabat di Indonesia. Anggota DPD RI Dapil Bali, Made Mangku
Pastika, contohnya, secara tersirat pernah menyatakan bahwa keengganan wisatawan
mancanegara berkunjung ke Bali adalah karena masalah sampah. Ia mengimbau pemerintah
daerah Bali agar menggalakkan upaya penanggulangan sampah.
Sungai Watch sejauh ini telah menempatkan 120 jaring sungai di 35 desa di Bali. Jumlah itu
masih terbilang kecil mengingat jumlah sungai di Bali lebih dari 390. Organisasi itu melibatkan
warga setempat untuk mengumpulkan sampah-sampah yang terjaring, menyortirnya, dan
mendaur ulang sampah plastiknya untuk produk yang lebih bermanfaat. Melibatkan
masyarakat setempat dalam menjaga kebersihan sungai, kata Bencheghib, merupakan cara
terbaik untuk menggugah kesadaran mereka.
Karena itu pula, menurutnya, penting untuk mengatasi kebiasaan orang membuang sampah
di sungai. Sungai Watch sendiri sudah lebih dari setahun ikut menanggulangi masalah sampah
di Bali.