Sampah kiriman adalah dalih yang paling sering terdengar saat membicarakan
timbunan sampah di tepi pantai-pantai wisata di pulau dewata. Seolah-olah
sumber sampah bukan dari Bali.
Solusinya apa? Salah satu sumber sampah adalah aktivitas pariwisata. Potato
Head di Bali, sebuah beach club jaringan internasional di Pantai Seminyak,
Kuta ini membuat Sustainism Lab, sebuah demplot laboratorium pengolahan
sampah sendiri. Klub populer yang didatangi ratusan orang tiap hari ini
menghasilkan lebih dari 40 ton sampah per bulan. “Ini bisa setara satu dusun,”
ujar Dewa Legawa, Eco Champion Potato Head yang ditemui
Mongabay-Indonesia, awal Februari 2019.
Sustainism Lab, sebuah etalase upaya pengolahan sampah produksi sendiri di
Potato Head, Kuta, Bali Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
Di sebuah ruang mirip galeri kecil ini, dipamerkan alat-alat pengolah sampah
seperti pencacah plastik, pencetak, dan lainnya. Ada juga hasilnya seperti batu
bata campuran bijih plastik dan pasir. Kemudian wadah bergradasi warna dari
daur ulang tutup botol dan plastik yang dipanaskan lalu dicetak jadi plat. Plat
inilah jadi bahan baku aneka wadah seperti wadah sampo, sabun, dan lainnya.
“Sisa sampah kita 10% ke TPA, misalnya tisu dan aluminium foil yang tak
bisa kami olah,” lanjut Dewa. Ia memperlihatkan contoh sampah-sampah dari
sejumlah restoran dan hotel di area Potato Head ini. Ada sisa makanan seperti
buah dan sayur, kertas, tisu, tetrapack, botol kaca, plastik aneka jenis, dan
lainnya.
Dari sisa sampah yang terpilah ini, diatur mana yang bisa didaur ulang sendiri,
yang harus dibawa ke tempat lain seperti tetrapack, atau langsung diambil
pengepul. Terutama sisa makanan organik, perusahaan sudah punya kerjasama
dengan pengumpul limbah organik untuk pakan ternak.
Aneka produk hasil daur ulang dari sampah Potato Head, Kuta, Bali, yang
diolah sendiri di lab-nya. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
Dewa menyebut proyek pertama adalah buat batu bata. Targetnya sekitar 400
ribu batu bata akan dicetak dari daur ulang plastik label botol kemasan dan
kresek LDPE (Low Density Polyethylene)yang dicampur pasir. Satu buah
brick perlu 1 kg plastik. “Kekuatannya seperti paving block. Untuk hotel baru
Potato Head,” sebut Dewa.
Sementara pengolahan tutup plastik botol dengan cara dicacah, oven 30 menit
di alat khusus, lalu cetak jadi lempengan. Sisa styrofoam rencananya dicacah
lalu campur semen dan pasir untuk jadi materi peredam suara di night club.
Ada juga sisa restoran seperti cangkang kerang yang akan diolah sebagai
dekorasi.
Ada rangkaian ombak dari sekitar 5000 sandal jepit bekas, didapatkan dari
limbah di pantai. Seniman kelahiran Jerman, Liina Klaussmembawa sampah
laut ini ke darat dan mengubahnya jadi karya seni agar bisa jadi refleksi bagi
manusia. Berjudul “5000 Soles”, karya visual ini sangat menonjol di depan
pintu masuk dan seolah jadi bagian dari arsitektur bangunan dengan fasad
jendela-jendela kayu tadi.
Ada juga sebuah tumpukan segitiga seperti tenda dari tumpukan botol-botol
minuman mineral. Karya-karya instalasi sampah ini menjadi penyambut
pengunjung di pintu masuk.
Pertanggungjawaban perusahaan
Aliansi Break Free From Plastic (BFFP) yang terdiri lebih dari 1300 anggota
jaringan ini menyampaikan hasil audit merk (brand audit) dari sampah laut
yang dikumpulkan 2018 lalu di 42 negara, 6 benua dari 239 kegiatan
bersih-bersih pesisir laut dan darat. Lebih dari 187 ribu unit sampah plastik ini
dipilah-pilah sesuai merek-nya.
Diperkirakan 8,3 miliar metrik ton plastik telah diproduksi secara total sejak
tahun 1950-an, dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa hanya 9% yang
memilikinya telah benar-benar didaur ulang, 12% telah dibakar, dan sisanya
sekitar 80% sebagian besar berakhir di tempat pembuangan sampah, di lautan,
atau sekitar kita.
Walikota Denpasar Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra dan Gubernur Bali
Wayan Koster mengeluarkan regulasi pelarangan sampah plastik yang dimulai
Januari 2019.
Namun hanya tiga jenis PSP yang dilarang dalam Pergub ini yakni kantong
plastik, polysterina (styrofoam), dan sedotan plastik. Aturan ini mewajibkan
setiap orang dan lembaga baik pemasok, distributor, produsen, penjual
menyediakan pengganti atau substitusi PSP. Juga melarang peredaran,
distribusi, dan penyediaan PSP baik oleh masyarakat, pelaku usaha, desa adat,
dan lainnya. Mari pantau implementasinya.