Anda di halaman 1dari 8

Sustainism Lab, Cara Trendi Kelola

Sampah Sendiri di Bali


oleh Luh De Suriyani [Denpasar] di 3 April 2019

 Sampah makin menjadi masalah lingkungan saat ini. Tanggung jawab


perusahaan dalam menangani sampahnya kini makin disuarakan
 Salah satu perusahaan, Potato Head di Bali membuat galeri pengelolaan sampah
bernama Sustainism Lab
 Kolaborasi dengan seniman untuk kampanye pengurangan sampah plastik juga
makin mendapat tempat, apakah berdampak?
 Pemerintah Bali membuat peraturan pengurangan timbulan sampah plastik yang
mulai dijalankan pada awal 2019

Sampah kiriman adalah dalih yang paling sering terdengar saat membicarakan
timbunan sampah di tepi pantai-pantai wisata di pulau dewata. Seolah-olah
sumber sampah bukan dari Bali.

Solusinya apa? Salah satu sumber sampah adalah aktivitas pariwisata. Potato
Head di Bali, sebuah beach club jaringan internasional di Pantai Seminyak,
Kuta ini membuat Sustainism Lab, sebuah demplot laboratorium pengolahan
sampah sendiri. Klub populer yang didatangi ratusan orang tiap hari ini
menghasilkan lebih dari 40 ton sampah per bulan. “Ini bisa setara satu dusun,”
ujar Dewa Legawa, Eco Champion Potato Head yang ditemui
Mongabay-Indonesia, awal Februari 2019.
Sustainism Lab, sebuah etalase upaya pengolahan sampah produksi sendiri di
Potato Head, Kuta, Bali Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Di sebuah ruang mirip galeri kecil ini, dipamerkan alat-alat pengolah sampah
seperti pencacah plastik, pencetak, dan lainnya. Ada juga hasilnya seperti batu
bata campuran bijih plastik dan pasir. Kemudian wadah bergradasi warna dari
daur ulang tutup botol dan plastik yang dipanaskan lalu dicetak jadi plat. Plat
inilah jadi bahan baku aneka wadah seperti wadah sampo, sabun, dan lainnya.

“Sisa sampah kita 10% ke TPA, misalnya tisu dan aluminium foil yang tak
bisa kami olah,” lanjut Dewa. Ia memperlihatkan contoh sampah-sampah dari
sejumlah restoran dan hotel di area Potato Head ini. Ada sisa makanan seperti
buah dan sayur, kertas, tisu, tetrapack, botol kaca, plastik aneka jenis, dan
lainnya.

Dari sisa sampah yang terpilah ini, diatur mana yang bisa didaur ulang sendiri,
yang harus dibawa ke tempat lain seperti tetrapack, atau langsung diambil
pengepul. Terutama sisa makanan organik, perusahaan sudah punya kerjasama
dengan pengumpul limbah organik untuk pakan ternak.

Plastik PET (Polyethylene Therepthalate) juga dikirim ke pengepul yang akan


membawa ke Surabaya karena tak bisa didaur ulang. Bungkus rokok dan
tetrapak susah dipisahkan karena multilayer, berlapis-lapis dari kertas,
aluminum foil, dan lainnya. Untungnya tetrapak punya unit recycleyang siap
menampung.

“Kuncinya di pemisahan sampah. Kalau sudah dipisahkan, akan mudah


dikelola,” Dewa mengingatkan. Sustainism Lab ini menurutnya ruang uji coba
dan belajar pekerja dan perusahaan untuk mengenal sampah sendiri. Ada tekad
membuat sejumlah material dari daur ulang untuk digunakan lagi.

Aneka produk hasil daur ulang dari sampah Potato Head, Kuta, Bali, yang
diolah sendiri di lab-nya. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Dewa menyebut proyek pertama adalah buat batu bata. Targetnya sekitar 400
ribu batu bata akan dicetak dari daur ulang plastik label botol kemasan dan
kresek LDPE (Low Density Polyethylene)yang dicampur pasir. Satu buah
brick perlu 1 kg plastik. “Kekuatannya seperti paving block. Untuk hotel baru
Potato Head,” sebut Dewa.

Sementara pengolahan tutup plastik botol dengan cara dicacah, oven 30 menit
di alat khusus, lalu cetak jadi lempengan. Sisa styrofoam rencananya dicacah
lalu campur semen dan pasir untuk jadi materi peredam suara di night club.
Ada juga sisa restoran seperti cangkang kerang yang akan diolah sebagai
dekorasi.

Upaya pengelolaan sampah juga mendorong sejumlah peraturan bagi


pengunjung, misalnya pengurangan kresek dengan melarang tamu membawa
material sekali pakai (single use). Selain itu meminta penyedia logistik
mengurangi pemakaian plastik dalam kemasan atau bungkusnya.

Selain Sustainism Lab, perusahaan yang berada di pinggir pantai Seminyak,


Kuta, Bali ini membuat sejumlah instalasi seni bekerja sama dengan seniman.
Ada ratusan jendela kayu bekas etnik penarik perhatian pengunjung di
bangunan utama. Desain karya arsitek Indonesia, Andra Matin ini kini makin
mencolok dengan sebuah instalasi seni di samping fasadnya.

Ada rangkaian ombak dari sekitar 5000 sandal jepit bekas, didapatkan dari
limbah di pantai. Seniman kelahiran Jerman, Liina Klaussmembawa sampah
laut ini ke darat dan mengubahnya jadi karya seni agar bisa jadi refleksi bagi
manusia. Berjudul “5000 Soles”, karya visual ini sangat menonjol di depan
pintu masuk dan seolah jadi bagian dari arsitektur bangunan dengan fasad
jendela-jendela kayu tadi.

Sampah sandal jepit ini dikelompokkan sesuai warnanya kemudian dirangkai


seperti gradasi pelangi. Ada putih, merah muda, biru muda, hijau, kuning,
hitam, dan lainnya. Semua warna bergradasi karena warna sandal tak sama,
juga memudar dikikis air asin atau air sungai.
Seni instalasi berjudul 5000 Soles dari ribuan sandal bekas ini jadi refleksi
sampah manusia yang mengotori pesisir. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay
Indonesia

Ada juga sebuah tumpukan segitiga seperti tenda dari tumpukan botol-botol
minuman mineral. Karya-karya instalasi sampah ini menjadi penyambut
pengunjung di pintu masuk.

Pertanggungjawaban perusahaan

Aliansi Break Free From Plastic (BFFP) yang terdiri lebih dari 1300 anggota
jaringan ini menyampaikan hasil audit merk (brand audit) dari sampah laut
yang dikumpulkan 2018 lalu di 42 negara, 6 benua dari 239 kegiatan
bersih-bersih pesisir laut dan darat. Lebih dari 187 ribu unit sampah plastik ini
dipilah-pilah sesuai merek-nya.

Jane Patton, koordinator audit merek gerakan dan alinasi


#breakfreefromplastic ini memaparkan laporan hasil audit.

Sejumlah merk terbanyak yang ditemukan adalah Coca-Cola, PepsiCo, Nestlé,


Danone, Mondelez International, Procter & Gamble, Unilever, Perfetti van
Melle, Mars Incorporated, dan Colgate-Palmolive. Tiga teratas (Coca-Cola,
PepsiCo, dan Nestlé) menyumbang 14% dari sampah plastik bermerek
ditemukan di seluruh dunia.

Coca-Cola ditemukan di 40 dari 42 negara yang berpartisipasi. Lebih dari 75%


dari semua 239 pembersihan yang berpartisipasi melaporkan menemukan
produk bermerek Coca-Cola di sepanjang pantai mereka, jalan, dan lainnya.

Diperkirakan 8,3 miliar metrik ton plastik telah diproduksi secara total sejak
tahun 1950-an, dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa hanya 9% yang
memilikinya telah benar-benar didaur ulang, 12% telah dibakar, dan sisanya
sekitar 80% sebagian besar berakhir di tempat pembuangan sampah, di lautan,
atau sekitar kita.

Dewa Legawa, seorang Eco Champion Potato Head menunjukkan pemilahan


sampah di perusahaannya. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Aliansi BFFP ini termasuk lembaga-lembaga dan komunitas jaringannya di


Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI)
menyampaikan rekomendasi agar produsen atau perusahaan melakukan
langkah nyata. Sejumlah cara di antaranya mengurangi penggunaan dan
penggunaan plastik sekali pakai dengan rencana aksi dan tenggat waktu yang
jelas serta pelaporan secara transparan terkait penggunaan plastik produk
mereka.
Kedua, berinvestasi dalam model pejualan dan distribusi, mendisain ulang
untuk pengurangan plastik sekali pakai, kemasan sekali pakai, agar bisa
digunakan kembali atau pengisian ulang.

Ketiga, mendesain ulang produk yang menimbulkan mikroplastik, termasuk


microbeads, microfiber, dan lainnya yang sulit dikumpulkan saat jadi limbah.
Keempat kerjasama dengan pengecer, pemerintah, dan lembaga masyarakat
untuk solusi yang lebih berkelanjutan, misalnya aturan pengurangan plastik
dan penggunaan berlebih.

Kelima, menolak solusi yang salah seperti pembakaran sampah dengan


insinerator, skema plastik ke bahan bakar, daur ulang bahan kimia, dan lainnya
yang menimbulkan masalah baru. Lainnya, mencegah penggunaan bioplastik
yang masih menggunakan bahan kimia dan berbahaya bagi lingkungan.

Partisipan World Clean Up Day bersama relawan Greenpeace mengumpulkan


sampah plastik di Pantai Kuk Cituis, Tangerang Banten pada Jumat
(15/9/2018). Acara itu sebagai bagian dari gerakan Break Free From Plastic.
Foto : Greenpeace Indonesia/Mongabay Indonesia

Walikota Denpasar Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra dan Gubernur Bali
Wayan Koster mengeluarkan regulasi pelarangan sampah plastik yang dimulai
Januari 2019.

Regulasi tersebut yaitu Peraturan Walikota Denpasar No.36/2018 tentang


Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik dan Peraturan Gubernur Bali
No.97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai(PSP).

Namun hanya tiga jenis PSP yang dilarang dalam Pergub ini yakni kantong
plastik, polysterina (styrofoam), dan sedotan plastik. Aturan ini mewajibkan
setiap orang dan lembaga baik pemasok, distributor, produsen, penjual
menyediakan pengganti atau substitusi PSP. Juga melarang peredaran,
distribusi, dan penyediaan PSP baik oleh masyarakat, pelaku usaha, desa adat,
dan lainnya. Mari pantau implementasinya.

Anda mungkin juga menyukai