php/
10.15575/jpi.v4i2.2014 jpi
p-ISSN: 2355-4339 e-ISSN: 2460-8149
Suriadi
Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas
Jl. Raya Sejangkung Kawasan Pendidikan Tinggi Sebayan-Sambas Kalimantan Barat,
Indonesia, 79460 Email: suriadisambas@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dan menemukan upaya guru dalam
menginternalisasikan nilai-nilai tasawuf dalam pembelajaran fiqih di MAN (Madrasah
Aliyah Negeri) Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif analitik. Sedangkan untuk
mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan teknik wawancara
mendalam, observasi, dan studi dokumentasi. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan:
teknik yang digunakan guru untuk menginternalisasikan nilai-nilai tasawuf dalam
pembelajaran Fiqh adalah dengan mengaitkan materi pelajaran Fiqh
dengan nilai-nilai tasawuf, mengungkap hikmat at-tasyri', penugasan, dan peniruan,
faktor-faktor yang mendukungnya. internalisasi nilai-nilai tasawuf dalam pembelajaran
Fiqih adalah faktor internal guru yang meliputi ilmu dan wawasan, strategi
pembelajaran, fasilitas belajar seperti masjid, asrama dan perpustakaan, dan kendala
yang dihadapi guru adalah ukuran kelas, lingkungan sosial, dan pengaruh lingkungan.
media massa.
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengungkap dan menemukan upaya guru dalam
menginternalisasikan nilai nilai tasawuf dalam pembelajaran Fiqh di MAN Sambas
Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian dilakukan menggunakan
metode deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatif. Sedangkan untuk
mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan teknik
wawancara mendalam, observasi berperan serta, dan dokumentasi studi. Penelitian
hasil kesimpulan: teknik yang digunakan guru untuk menginternalisasikan nilai-nilai
tasawuf dalam pembelajaran Fiqh adalah dengan mengaitkan Materi Pelajaran Fiqh
dengan nilai-nilai tasawuf, mengungkap hikmat at-tasyri', penugasan, dan peneladanan,
faktor-faktor yang mendukung internalisasi nilai-nilai tasawuf dalam pembelajaran
Fiqh adalah faktor guru internal yang meliputi pengetahuan dan wawasan, strategi
pembelajaran, faktor fasilitas pembelajaran yaitu masjid, asrama, perpustakaan, dan
kendala yang dihadapi oleh guru adalah ukuran kelas, lingkungan pergaulan, dan
pengaruh media massa.
PENDAHULUAN
Pendidikan pada dasarnya adalah upaya pedagogis untuk mentransfer sejumlah nilai
yang dianut oleh masyarakat suatu bangsa ke sejumlah mata pelajaran melalui proses
pembelajaran (Hanafiah, 2007). Artinya paradigma pendidikan yang diaktualisasikan
dalam bentuk kegiatan pembelajaran di sekolah atau madrasah harus dipahami tidak
hanya sebagai tindakan mentransfer pengetahuan tetapi juga sebagai upaya untuk
menanamkan nilai-nilai (transfer of values) ke dalam diri peserta didik. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa proses pembelajaran atau yang biasa disebut dengan
kegiatan pembelajaran, tidak berlangsung dalam ruang hampa, melainkan berlangsung
tanpa makna, yang di dalamnya terdapat sejumlah nilai yang disampaikan kepada siswa.
Nilai-nilai tersebut tidak datang dengan sendirinya tetapi diambil dari berbagai sumber
untuk digunakan dalam proses pembelajaran (Hanafiah, 2007).
Suriadi
Proses internalisasi sangat subjektif karena kualitas sesuatu tidak selalu sesuatu
yang konkret, nyata, dan nyata, tetapi juga hal-hal abstrak yang tersedia di wilayah ide .
Untuk hasil dari proses internalisasi sangat sulit untuk diketahui. Karena banyak hal
bergantung pada apresiasi individu terhadap nilai-nilai yang ditransformasikan. Jelaslah
bahwa lingkungan merupakan faktor utama terbentuknya internalisasi. Artinya proses
internalisasi ini tidak akan terbentuk tanpa sangat mempengaruhi lingkungan mereka
dalam kehidupan dan dalam pembentukan kepribadian. Sebagaimana diketahui bahwa
kehidupan manusia sehari-hari tidak lepas dari hubungan antara satu dengan yang
lainnya. Manusia berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan, sehingga kepribadian
individu, kemampuan dan karakteristik individunya baru akan menjadi kepribadian yang
sebenarnya (terinternalisasi dalam diri seseorang) jika secara keseluruhan psikofisika
berhubungan dengan lingkungan (Abu, 1991; Rahman, Ali, Ramli, & Safiri Ismail,
2008). Dengan kata lain, internalisasi terbentuk ketika individu berhubungan dengan
orang lain dan terlibat dalam interaksi antara individu satu dengan yang lain, atau biasa
disebut interaksi sosial.
Interaksi lingkungan dan sosial di mana individu dapat melakukan proses
internalisasi seperti yang telah dijelaskan pada uraian di atas masih terlihat sangat
umum. Konteks pendidikan lingkungan hidup setidaknya meliputi lingkungan keluarga
(informal), masyarakat (nonformal), dan sekolah (formal). Adapun dalam kaitannya
dengan proses pembelajaran di sekolah (lingkungan formal), maka proses internalisasi,
menurut Muhaimin melalui tahap transformasi nilai, tahap nilai transaksi, dan
tahaptrans-internalisasi nilai.
Berdasarkan tahapan internalisasi, ada banyak teknik yang dapat digunakan dalam
upaya internalisasi, seperti yang dikemukakan oleh Tafsir dalam bukunya “Filsafat
Pendidikan Islam”, teknik-teknik tersebut adalah: (1) Peniruan, pendidik mencontohkan
kepribadian muslim, dalam semua aspek baik khas pelaksanaan ibadah yang
dicontohkan tidak hanya bagi guru, tetapi semua pihak termasuk siswa, guru, kepala
sekolah, pegawai tata usaha, dan seluruh aparatur termasuk petugas kebersihan sekolah,
pengasuh bahkan orang tua yang berada di rumah; (2) Pembiasaan, inti pendidikan yang
sesungguhnya adalah pendidikan moral yang baik. Moral yang baik dicapai dengan
keragaman yang baik yang dicapai dengan pembiasaan. Nilai pembiasaan ini
tersampaikan secara otomatis menjadi proses internalisasi dalam kepribadian seseorang;
(3) Berbagai kegiatan, penyelenggaraan berbagai kegiatan selalu dikaitkan dengan nilai-
nilai yang ditanamkan pada peserta didik, seperti merayakan hari besar Islam,
pembacaan puisi, kuis dan sebagainya (Asadullah dan Chaudhury, 2016; Tafsir, 2006).
Teknik-teknik di atas pada dasarnya bukanlah satu-satunya teknik yang dapat
digunakan dalam upaya internalisasi. Guru perlu menentukan teknik-teknik baru secara
kreatif dan inovatif yang memungkinkan terciptanya pembelajaran yang terinternalisasi
dalam nilai-nilai. Penggunaan teknik tersebut harus disesuaikan dengan kondisi peserta
didik dan lingkungan serta prasarana atau sarana belajar yang dimiliki oleh masing-
masing madrasah. Dengan demikian, teknik-teknik tersebut dapat digunakan secara
optimal. Dalam Islam, jika mengacu pada teknik yang diajukan oleh internasionalisasi
proses, maka kita akan mendapatkan teknik-teknik yang benar-benar telah dilakukan
oleh Nabi Muhammad dalam perjalanan dakwahnya. Untuk menginternalisasikan nilai-
nilai Islam dan pesan surga kepada para sahabat Rasulullah adalah dengan melakukan
teknik-teknik seperti peniruan, pembiasaan, memberi perumpamaan dan cerita. Teknik
yang sama akan mendapatkan pelajaran dalam Al-Qur'an yang menjadi pedoman Nabi
dan pedoman untuk menerapkan teknik tersebut. Ayat-ayat yang mengandung cerita
(qashash), perumpamaan ('amāl) dan lainnya adalah ayat-ayat yang tidak secara
langsung memuat upaya internalisasi nilai. Dengan kata lain, sebenarnya di dalam Al-
Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW tidak ada proses dan teknik internalisasi
dalam bentuk penerapannya, meskipun secara teoritis, ayat-ayat atau As-Sunnah tidak
merincinya.
dan kegiatan pembelajaran beliau mengajak siswa membaca basmalah terlebih dahulu
setelah dilanjutkan dengan memberikan apersepsi dengan mengajak siswa melihat
fenomena yang ada di masyarakat dengan cara berdiskusi atau tanya jawab tentang
perilaku negatif yang sering muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Terungkap
beberapa perilaku negatif seperti berjudi, merampok, mencuri, berzina, membunuh,
mabuk-mabukan dan lain sebagainya. Dari sana ia memulai topik pembunuhan.
Saat menjelaskan dasar hukum larangan membunuh dalam Islam, ia mengutip QS.
al Isra ayat 33 dengan menyuruh salah seorang santri membuka Al Qur'an dan
membacanya beserta artinya. Dari ayat tersebut, ia melakukan tanya jawab dengan para
siswa tentang makna pembunuhan sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Setelah
itu, dia melanjutkan dengan penjelasan tentang berbagai pembunuhan. Dalam
penjelasannya ia merinci bahwa ada tiga jenis pembunuhan: (a) disengaja, (b) disengaja,
dan (c) tidak disengaja. Penjelasannya juga disertai dengan beberapa contoh. Dalam
penjelasannya juga dijelaskan bahwa membunuh orang dengan sengaja tanpa hak adalah
salah satu dosa besar, bahkan termasuk dosa yang tidak terampuni. Tidak termaafkan
karena si pembunuh tidak lagi memiliki kesempatan untuk meminta maaf kepada
korban. Pembunuhan yang disengaja juga akan memicu permusuhan di dalam
masyarakat, bahkan mungkin menumbuhkan rasa dendam dan kebencian yang tak ada
habisnya. Ini adalah penyakit hati yang akan merusak hubungan antara sesama manusia
dan dengan Allah. Anggota masyarakat wajib mewujudkan suasana masyarakat yang
damai dan tentram, tidak membuat keributan, keonaran, dan perbuatan yang
mengganggu/merusak ketertiban umum. Selain itu, penghapusan hak orang lain harus
dihindari, seperti pencurian, perampokan, dan pembunuhan. Artinya kita harus selalu
menghiasi diri kita dengan akhlak yang mulia. Dan itu harus dimulai dengan kedekatan
kita dengan Tuhan terlebih dahulu agar jiwa dan hati kita menjadi bersih dan dipenuhi
rasa damai dan tentram dalam hidup. Orang yang hatinya dekat dengan Tuhan pasti akan
mencintai semua makhluk-Nya baik hewan maupun tumbuhan. Tuhan pasti akan
mencintai mereka. Kemudian beliau menyebutkan sebuah hadits yang berbunyi “irhamū
man fi al-ardhi yarhamkum man fi al-samā”.
2. Nilai Transaksi
Pada tahap ini guru tidak hanya memberikan informasi tentang nilai baik dan
buruk tetapi juga meliputi melakukan dan memberikan contoh penerapan yang
nyata.Siswa harus mengikuti dan menerapkan contoh yang ditunjukkan oleh guru.Pada
tahap transaksi ada tiga hal disorot dalam penelitian ini: (a) komunikasi dua arah atau
interaksi antara siswa dan guru yang memiliki konten mutualisme; (b) Pencantuman
guru untuk melakukan dan memberikan contoh-contoh nyata; (c) Tanggapan dari siswa
untuk menerima dan menerapkan nilai-nilai
Berbasis.wawancara dan observasi, proses komunikasi nilai-nilai Islam antara guru
dan siswa di MAN Sambas dilakukan dalam tiga pola:. komunikasi verbal, komunikasi
tertulis (jadwal), dan komunikasi praktis dalam komunikasi verbal, nilai-nilai Islam
kitakembali dijelaskan oleh guru di buku teks yang berisi materi Siswa memperhatikan
materi saat melakukan kegiatan keagamaan guru menunjukkan kebiasaan dan sikap yang
mengandung n nilai-nilai keislaman dan juga siswa tentangnya. Selain itu, dalam hal
pembiasaan, guru berusaha memberikan contoh yang baik dalam melaksanakan kegiatan
keagamaan dengan nilai-nilai Islam dan siswa akan mengikuti guru. Apa yang mereka
lihat dari kebiasaan guru tersebut, mereka mencoba mengikutinya dalam menunaikan
fardlu shalatberjamaah, shalat qiyam al-lail dan sunnah , serta sunnah puasapada hari
senin dan kamis.
Setelah panjang lebar mengulas tentang pembunuhan tersebut, langkah Jayadi
selanjutnya adalah mengajak mahasiswa untuk mengungkap hikmah pelarangan
pembunuhan dalam Islam. Dapat dipastikan bahwa tanggapan para mahasiswa sangat
beragam, yang kemudian ia simpulkan dengan mengatakan bahwa di antara hikmah
larangan membunuh adalah (1) menghindari untuk merusak martabat manusia.
Sebaliknya, manusia harus menghormati keberadaan manusia, (2) menempatkan
manusia pada kedudukan yang tinggi baik di mata hukum maupun di hadapan Allah, (3)
Memelihara dan menyelamatkan jiwa manusia. Sebelum menutup pembelajaran, beliau
mempersilahkan siswa untuk menanyakan hal-hal yang belum dipahami dari uraian yang
telah disampaikannya. Setelah menjawab beberapa pertanyaan dari mahasiswa, ia
kemudian
menanyakan kepada siswa tentang pembunuhan tersebut sebagai upaya posttest yang
merupakan bagian dari RPP yang telah dirancang sebelumnya.
Dari hasil observasi, penelitian ini menemukan bahwa baik Adnan maupun Jayadi
telah melakukan upaya internalisasi nilai-nilai tasawuf dalam proses pembelajaran Fiqh.
Hal ini dapat dilacak ketika Adnan menyampaikan makna atau esensi puasa dari tinjauan
lain dengan mengacu pada pendapat Imam al-Ghazali yang membagi tingkatan orang
yang berpuasa menjadi tiga tingkatan. Artinya Adnan berusaha mengaitkan Fiqh
materiyang sedang dibahas dengan nilai-nilai tasawuf.
Menghubungkan materi pelajaran dengan nilai-nilai tasawuf merupakan tahap
awal dari teknik internalisasi yang berfungsi sebagai tahap transformasi nilai. Guru
menyampaikan nilai-nilai tasawuf dalam konteks ibadah puasa yang disyariatkan
(berdasarkan fiqih kaidah). Ia juga telah melakukan teknik internalisasi nilai transaksi
tahap kedua. Pada tahap kedua ini, beliau tidak hanya menginformasikan nilai tetapi juga
berkomunikasi dan berinteraksi secara aktif dengan tanya jawab dan dialog yang juga
ditanggapi oleh siswa serta menunjukkannya dengan praktik nyata, dalam hal ini ia
mengajak siswa untuk memulai pembelajaran. pelajaran dengan berdoa terlebih dahulu.
Hal ini menurut penulis merupakan aktivitas batin yang secara tidak langsung telah
menunjukkan contoh nyata dari upaya internalisasi nilai-nilai tasawuf. Selain itu, tahap
trans internalisasi juga terlihat dalam proses pembelajaran Fiqih, yang paling sederhana
adalah kesediaan siswa untuk mendengarkan (menerima) nilai-nilai yang disampaikan
oleh guru yang kemudian mendapat tanggapan (respons) dari siswa dengan mengajukan
beberapa pertanyaan dan dengan mengekspresikan pendapat mereka. Berdasarkan
analisis di atas, penelitian ini melihat bahwa guru telah melakukan teknik yang sesuai
dengan prosedur yang benar. Tahapan internalisasi itu sendiri meliputi tahap
transformasi nilai, transaksi, dan trans internalisasi.
3. Trans-internalisasi Nilai
Trans-internalisasi sebenarnya untuk menggabungkan perubahan struktural dan
upaya inovatif sehingga hubungan antara nilai-nilai tersebut dapat membentuk budaya
sekolah. Budaya pendidikan Islam di MAN merupakan perpaduan nilai, keyakinan,
asumsi, pemahaman, dan harapan yang diambil dari pemikiran Islam dan dipercaya oleh
masyarakat. Itu menjadi aturan dalam melakukan sesuatu dan dalam memecahkan
masalah mereka secara internal dan eksternal. Dengan kata lain, budaya madrasah
adalah semangat, sikap, dan kebiasaan masyarakat yang bersangkutan untuk
memecahkan masalah yang dihadapinya secara konsisten (Mawardi, 2016). Pada fase ini
terdapat empat proses, yaitu: (1) proses penghayatan secara inheren antar nilai-nilai
Islam. Itu menjadi ikatan kesadaran; (2) proses penggabungan nilai-nilai, keyakinan,
asumsi, pemahaman dan harapan yang diambil dari pemikiran Islam dan telah dipercaya
oleh seseorang dan telah menjadi aturan mereka untuk memecahkan masalah; (3)
penampilan dalam kebiasaan mental dan kepribadian tidak hanya penampilan fisik; Dan
(4) proses komunikasi antara dua kepribadian, guru dan siswa secara aktif.
Demikian pula Adnan berusaha menjelaskan materi pembunuhan dengan tidak
hanya mengandalkan aspek atau tinjauan hukum fiqih, melainkan dikaitkan dengan
aspek kemanusiaan, akhlak, dan kebersihan jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa guru ingin
menginternalisasikan nilai-nilai tersebut ke dalam diri siswa dengan mengaitkannya
dengan fiqih materi. Sehingga mahasiswa memahami tidak hanya sebatas aspek hukum
saja tetapi juga hakikat di balik hukum. Hal inilah yang dimaksud penelitian ini dengan
teknik internalisasi. Menghubungkan materi pelajaran Fiqh dengan nilai-nilai tasawuf
atau nilai-nilai terkait dengan aspek batin dan esensi dari akta perbuatan.
Selanjutnya dalam observasi tersebut, penelitian ini tidak menemukan strategi
pembelajaran nilai dengan indoktrinasi atau strategi tradisional. Dalam menyampaikan
nilai-nilai tersebut, guru tidak memaksakannya pada peserta didik. Sepertinya
komunikasi dua arah dalam bentuk tanya jawab, dialog, dan diskusi antara guru dan
siswa yang merupakan ciri daritrans-internal
strategi. Hal ini menunjukkan pula bahwa pendekatan pembelajaran merupakan
pendekatan terpadu yang mencakup pendekatan rasional, emosional, fungsional, dan
keteladanan. Strategi trans-internal ini merupakan
strategi yang tepat untuk pembelajaran nilai. Berbeda dengan strategi indoktrinasi,
peserta didik dipaksa untuk menerima nilai dari guru tanpa harus
mengkomunikasikannya lagi kepada peserta didik. Hal ini tidak sesuai bagi siswa pada
tingkat Aliyah yang telah mampu menggunakan akalnya untuk berpikir secara rasional
dan logis. Artinya pada tahap ini siswa sudah mampu menganalisis nilai-nilai mana yang
harus diterima atau tidak bagi mereka.
Berbicara tentang metode, penelitian ini menemukan nilai metode pembelajaran
yang digunakan adalah metode reflektif. Merupakan pembelajaran nilai dengan cara
mondar-mandir antara memberikan konsep-konsep umum tentang nilai-nilai kebenaran,
kemudian melihatnya dalam kasus-kasus kehidupan sehari-hari, atau dari melihat kasus
setiap hari dikembalikan kepada konsep teoritis umumnya. Hal ini dapat ditelusuri
ketika misalnya Jayadi sebelum memasuki inti materi pelajaran terlebih dahulu meminta
siswa menyebutkan beberapa contoh tindak pidana dan tindak pidana yang sering terjadi
di masyarakat. Metode reflektif ini juga merupakan metode pembelajaran nilai yang
paling tepat dibandingkan misalnya dengan metode dogmatis, yaitu metode mengajarkan
nilai kepada peserta didik dengan menghadirkan kebajikan dan kebenaran yang harus
diterima apa adanya tanpa mempersoalkan hakikat kebaikan dan kebenaran. diri.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teknik internalisasi guru dengan
tahapan, strategi, pendekatan, dan metode berdasarkan observasi, sudah sesuai dengan
standar teori yang ditetapkan oleh para ahli. Selain itu, guru dalam menerapkan teknik
tersebut telah sesuai dengan tingkat kematangan fisik, psikis dan intelektual peserta
didik padaatau tingkat tarafaliyah.
In order to link those internalization stages to the Sufism values, there are several
practices done by the teachers:
b. Penugasan
Selain dua teknik tersebut di atas, masih ada teknik lain yang ditemukan penelitian ini
berdasarkan wawancara dengan guru Fiqih yang bersangkutan adalah teknik internalisasi
nilai tasawuf dengan memberikan tugas kepada siswa. Arti dari tugas, seperti yang
dikemukakan oleh Adnan adalah sebagai berikut: “Setelah menyelesaikan satu mata
pelajaran tertentu kami sesekali meminta siswa untuk menulis makalah atau membuat
kliping yang berkaitan dengan mata pelajaran tertentu baik secara individu maupun
kelompok untuk dikumpulkan atau didiskusikan kembali. Kami memberi mereka
kebebasan untuk mencari materi baik dari media cetak seperti koran, buku, majalah,
Internalisasi Tasawuf … Vol. 4, No. 2, buletin Desember 2018 M/1440 H 85 atau dari
media elektronik seperti internet. Dan setiap tugas yang diberikan harus selalu berkaitan
dengan aspek atau nilai-nilai tasawuf, misalnya kita meminta siswa untuk mencari
materi yang berkaitan dengan shalat tetapi pada aspek keberadaannya, rahasianya,
keutamaannya atau perilaku aktual orang yang melaksanakan shalat. benar. Fokusnya
bukan pada aspek hukum, atau syarat dan rukun sholat. Apa yang dikemukakan Adnan
di atas sama dengan teknik pertama yaitu mengaitkan materi dengan nilai-nilai tasawuf.
Teknik pertama menuntut guru untuk secara langsung mengaitkan materi dengan nilai-
nilai tasawuf dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Teknik ketiga menuntut siswa
untuk secara aktif menghubungkan materi. Dalam teori pembelajaran, tugas ini
merupakan salah satu metode pembelajaran yang melibatkan siswa secara langsung dan
mandiri. Metode ini juga dikenal sebagai portofolio. Yaitu kumpulan karya peserta didik
dengan tujuan tertentu dan terpadu yang dipilih sesuai dengan pedoman yang ditentukan.
Pedoman ini bervariasi tergantung pada subjek dan tujuan penilaian portofolio itu sendiri
(Budimansyah & Winataputra, 2012). Untuk pembelajaran nilai teoritis, metode ini
dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menanamkan nilai. Siswa dituntut untuk
memilih dan memilah secara langsung berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh
nilai mana yang harus diambil dan dijadikan pedoman. Dalam penugasan ini, guru hanya
menilai hasil kerja siswa berdasarkan tolak ukur atau ketentuan yang telah ditetapkan
oleh guru. Tidak ada indoktrinasi dalam menentukan nilai-nilai yang akan dipilih.
Peserta didik diberi kebebasan untuk menentukan pilihan. Peserta didik mengambil tolak
ukur nilai-nilai tersebut dari berbagai sumber yang secara tidak langsung memerlukan
analisis dan pemikiran nalar mereka dalam menentukan pilihan.
c. Imitasi
Salah satu teknik yang juga digunakan guru dalam upaya menginternalisasi nilai-nilai
tasawuf adalah dengan modeling. Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan guru di
lingkungan sekolah tidak hanya sebatas sebagai orang yang memberikan pengetahuan
saja (transfer of knowledge) kepada peserta didik tetapi juga sebagai orang yang
menanamkan nilai (transfer of values). Dalam konteks ini, guru adalah contoh yang
menginspirasi peserta didik untuk meniru dan melakukan seperti yang dilakukan guru.
Disinilah letak makna guru sebagai pendidik yang mampu memberikan contoh konkrit
dari apa yang telah diajarkannya kepada peserta didik. Dalam teori pendidikan,
khususnya teori pendidikan Islam disebutkan, bahwa nilai-nilai yang diberikan oleh guru
akan lebih mudah diserap oleh siswa ketika guru memberikan contoh. Keteladanan
tersebut tercermin dalam sikap dan perbuatan guru. Guru diposisikan sebagai panutan
dalam konteks pendidikan. Apalagi jika dikaitkan dengan upaya internalisasi nilai, maka
teknik modeling akan menjadi sesuatu yang sangat efektif dan bernilai. Dalam wacana
pendidikan Islam, model pembelajaran dengan keteladanan ini menjadi teori yang
menjadi acuan bagi para pendidik muslim. Teori ini sendiri bersumber dari Al-Qur'an
dan Sunnah Nabi (saw). Seperti yang sudah diketahui ada ayat dan juga hadits Nabi
yang mengisyaratkan model pembelajaran dengan modeling ini. Bahkan Nabi sendiri
merupakan sosok teladan dimana beliau selalu memberikan contoh-contoh perbuatan
yang kemudian menjadi panutan bagi para sahabatnya. Hasil wawancara dengan Jayadi
dikaitkan dengan teknik keteladanan dalam menginternalisasi nilai-nilai tasawuf: beliau
menyatakan “Dalam kaitannya dengan penanaman nilai-nilai tasawuf, saya sebagai guru
Fiqh berusaha semaksimal mungkin untuk mencoba nilai-nilai tersebut dalam tindakan
nyata yang saya wujudkan dalam sikap. dan perbuatan dan ucapan.” Sikap-sikap seperti
kesederhanaan, keikhlasan, kesabaran, qanā'ah, dan lain-lain harus menjadi bagian dari
kepribadian seorang guru khususnya guru Pendidikan Agama Islam (PAI). muridnya
tapi dia tidak melakukannya. Kemudian dia mengutip firman Allah QS. Al-Shaff ayat 2-
3). Apa yang dikatakan Jayadi di atas sepertinya tidak berlebihan. Berdasarkan
pengamatan, sikap yang ditunjukkannya tidak bertentangan dengan apa yang dia miliki.
Misalnya, ketika memasuki kelas untuk mengajar, kesan kesederhanaan, tawadlu', dan
kesabaran di wajah siswa Suriadi 86 Vol. 4, No. 2, Desember 2018 M/1440 H-nya
terlihat begitu jelas. mengawali pelajaran seperti yang diwahyukan di atas, beliau
memulai dengan salam, membaca doa dan membaca al-Qur'an, sebenarnya
menunjukkan tingkat spiritualitas dan kedekatan dengan Sang Pencipta.Untuk
memperkuat pernyataan di atas, telah diketahui bahwa dalam wacana Islam dan
pendidikan sains, teknik pemodelan ini sebenarnya telah y menjadi bagian integral dari
diri dan pribadi Nabi yang menjadi panutan bagi guru. Nabi mendidik para sahabatnya
dengan memberikan contoh nyata secara langsung melalui tindakan dan aktivitasnya.
Menurut para ahli pendidikan, keteladanan sangat efektif untuk membentuk kepribadian
seseorang. Dalam hal ini dapat dilihat sebagai indikasi terbentuknya kepribadian para
sahabat sebagai hasil didikan Nabi.
1. Faktor Internal
a. Memahami Wawasan
Apa yang telah dikemukakan oleh Jayadi dan Adnan di atas setidaknya
menunjukkan tingkat pemahaman dan wawasan mereka tentang perlunya
menginternalisasi nilai-nilai tasawuf dalam proses pembelajaran fiqh di madrasah.
Selain itu, tingkat pemahaman dan wawasan guru juga dapat dilihat dari data observasi
di atas saat menyampaikan materi pelajaran. Dari data tersebut, tampaknya mereka
mampu mengaitkan materi Fiqih dengan wawasan tasawuf dengan baik dan benar. Ini
semua menunjukkan bahwa internalisasi nilai-nilai tasawuf dapat dilakukan jika
didukung oleh kemampuan guru itu sendiri pada aspek ilmu dan wawasan.
b. Pembelajaran Strategi
Strategi merupakan garis besar tindakan untuk mencapai suatu tujuan yang telah
ditetapkan (Rusyan, Kusdinar, & Arifin, 1989). Artinya strategi pembelajaran dapat
dipahami sebagai satu kesatuan desain pengajaran yang telah disusun oleh guru dan akan
digunakan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Jadi dapat juga dikatakan bahwa strategi pembelajaran merupakan
komponen yang juga sangat penting dalam proses pembelajaran. Setiap guru harus
mampu menerapkan strategi apa yang akan digunakan dalam konteks pembelajaran
tertentu. Kesalahan dalam menerapkan strategi akan berakibat fatal bagi proses
pembelajaran dan hanya membuang-buang waktu, hampa, dan tidak berarti. Dengan
demikian, keberhasilan proses belajar jika mengacu pada uraian di atas sangat
dipengaruhi oleh strategi pembelajaran yang diterapkan di samping faktor-faktor lain
Kemampuan guru dalam menentukan strategi yang tepat dan tepat serta sesuai
dengan standar dalam proses pembelajaran Fiqh sangat membantu upaya guru untuk
menginternalisasi nilai-nilai tasawuf. Telah dikemukakan pada uraian sebelumnya untuk
menginternalisasikan nilai-nilai seorang guru harus mampu mempersiapkan strategi dan
teknik tertentu. Dengan kata lain, strategi pembelajaran sangat mendukung terciptanya
proses internalisasi.
a. Perpustakaan
b. Masjid
Selain sebagai tempat ibadah, masjid merupakan sarana yang tepat untuk
mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut. Keberadaan masjid di MAN Sambas juga
mendukung terselenggaranya kegiatan pembelajaran yang efektif khususnya
pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang meliputi Akidah-
Akhlak, Al-Qur'an-Hadits, Fiqh, dan Sejarah Kebudayaan Islam yang menuntut
integrasi ilmu, dan amal secara holistik.
Menurut Jayadi, guru mata pelajaran Fiqih, masjid sering digunakan oleh
para guru, khususnya guru PAI untuk mengajarkan materi pelajaran yang
membutuhkan latihan dan demonstrasi atau simulasi. Selain itu, kegiatan
keagamaan asrama putra dan putri juga banyak dilakukan di masjid. Seperti
shalat fardhu berjamaah, dzikir, tilawah Al-Qur'an, amalan wicara, barzanji, dan
pengajian kitab. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di masjid siswa dapat
menerapkan ilmu yang diperoleh di kelas, dalam hal ini amalan ibadah juga
dapat menjaga suasana kerohanian mereka. Untuk itu guru harus mampu
mengoptimalkan fungsi masjid, terutama dalam upaya internalisasi nilai-nilai.
Khususnya dalam teori pembelajaran, semua fasilitas yang disebutkan di atas
termasuk dalam kategori sumber belajar yang harus dimanfaatkan oleh guru
secara optimal dan maksimal.
1. Ukuran Kelas
Yang dimaksud dengan ukuran kelas di sini bukanlah ukuran fisik kelas, tetapi
mengacu pada jumlah siswa yang belajar di dalam kelas. . Ukuran yang umum
digunakan adalah rasio guru terhadap siswa. Diduga semakin besar jumlah siswa yang
harus dilayani oleh guru dalam satu kelas, maka kualitas pembelajaran akan semakin
rendah. Logikanya mungkin tidak, bahwa guru dapat mengembangkan kegiatan belajar
yang efektif dalam situasi kelas dengan sejumlah besar siswa. Apalagi dengan latar
belakang mahasiswa yang beragam dengan kapasitas intelektual, emosional dan spiritual
yang berbeda tentunya.
Sopian, selaku wakil kurikulum, menjelaskan bahwa ukuran kelas yang ideal
adalah antara 25 hingga 30 siswa di setiap kelas. jumlah kecil memungkinkan guru
untuk dengan mudah mengelola kelas. Guru dapat melihat setiap siswa dalam
melakukan aktivitas di dalam kelas sehingga memudahkan guru dalam menilai aktivitas
siswa. Selain itu, guru mampu memberikan pemahaman yang mendalam kepada siswa
tentang materi yang diajarkan termasuk nilai-nilai yang akan tertanam dalam diri siswa.
Berdasarkan data kondisi objektif siswa MAN Sambas tahun ajaran 2017 –
terlihat bahwa jumlah kelas hampir mendekati jumlah ideal. Karena masih ada beberapa
kelas yang jumlah siswanya sekitar 36 orang dan paling sedikit berjumlah 28 orang.
Dengan demikian, jika mengacu pada ukuran kelas ideal seperti yang dijelaskan di atas,
tidak memenuhi persyaratan ideal. Ini adalah kendala dalam ukuran kelas. Namun jika
dibandingkan dengan sekolah lain, baik negeri maupun swasta, jumlah siswanya masih
sekitar 40 orang atau lebih.
Keterbatasan sekolah dalam hal ini guru dalam mengawasi kegiatan siswa di luar
lingkungan sekolah akan mempengaruhi proses pembentukan kepribadian siswa. Proses
pembentukan kepribadian siswa tidak hanya dilakukan di sekolah. Tetapi juga kerjasama
dengan keluarga dan masyarakat. Ketiga lingkungan (sekolah, keluarga, dan
masyarakat) inilah yang akan membentuk kepribadian siswa. Meskipun di sekolah siswa
dibimbing, dibina, dan diarahkan pada hal-hal atau nilai-nilai yang positif, tidak
menjamin pribadi siswa akan baik jika tidak didukung dari dua lingkungan sosial
lainnya yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Sebagaimana telah
diketahui oleh teori psikologi, perkembangan individu selain bergantung pada faktor
keturunan (bawaan/potensi diri) juga sangat bergantung pada faktor lingkungan yang
melingkupinya. Di sisi lain, kegiatan kemahasiswaan yang positif di masyarakat seperti
mengikuti organisasi kepemudaan seperti karang taruna, mengikuti klub olah raga atau
mengikuti sanggar seni dan aktif dalam kegiatan keagamaan di masjid atau masjid,
mengikuti kursus dan bimbingan belajar juga turut membentuk kepribadian mereka.
Dengan demikian daya tarik karakter positif dan negatif masyarakat dalam
mempengaruhi proses pembentukan kepribadian siswa.
Pengaruh Media Massa Tidak dapat dipungkiri bahwa arus globalisasi telah
membawa dampak bagi kehidupan umat manusia. Munculnya berbagai media massa
dewasa ini yang merupakan bagian dari globalisasi itu sendiri, baik media cetak maupun
media elektronik sangat berpengaruh bagi pembentukan pola pikir dan kepribadian
peserta didik. Mereka selalu diterpa berbagai informasi tanpa pernah diketahui apakah
mereka mampu menyaring dan membentengi diri. Selain pengaruh positif, media massa
juga memiliki pengaruh negatif. Dari tulisan, gambar, dan program yang disiarkan oleh
media massa sangat efektif mempengaruhi kepribadian seseorang, khususnya para
remaja. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui dampak media massa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh positif media massa masih kurang.
Adapun yang penulis soroti di media massa untuk keperluan penelitian ini adalah
dampak negatifnya.
Berbagai media cetak pornografi, VCD porno, jutaan gambar dan klip adegan
porno dan pornografi dari berbagai situs di internet baik lokal maupun internasional
sangat mudah diakses dan didapat. Belum lagi ancaman penyusupan pemikiran
hedonisme, konsumerisme, sekularisme, ateisme dan sebagainya menjadi semakin
telanjang dan dapat diakses oleh generasi muda kita melalui website-nya, baik secara
terbuka maupun samar-samar. Selain itu, tayangan televisi yang menampilkan gaya
hidup (lifestyle) selebriti, individualis, anarkis, hedonis, konsumerisme, dan intoleransi
yang dikemas dalam bentuk sinetron, film, dan video musik turut mewarnai hari-hari
generasi muda kita. Belum lagi perilaku para elit politik dan pejabat kita yang
menampilkan sikap dan tindakan yang tidak terpuji dan tidak bermoral seperti korupsi,
kolusi, skandal seks yang banyak diberitakan baik di media cetak maupun elektronik.
Melihat dari berbagai acara dan program media massa di atas, menjadi kendala
bagi upaya guru Fiqih di MAN Sambas dalam menginternalisasi nilai-nilai tasawuf
untuk pembentukan kepribadian siswa sesuai dengan yang diharapkan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa secara langsung maupun tidak langsung program-program tersebut
akan mempengaruhi pola pikir dan kepribadian mahasiswa. Untuk itu terkait dengan
faktor lingkungan siswa dan media massa, maka menurut penulis perlu kerjasama yang
intensif dan sinergis antara guru sebagai pendidik di lingkungan sekolah dengan orang
tua. Tujuannya agar dampak negatif dari faktor-faktor tersebut dapat diantisipasi atau
setidaknya diminimalisir.
Orang tua harus memberikan perhatian yang serius terhadap perkembangan fisik dan
psikis putra-putrinya. Upaya pendidikan yang dilakukan oleh satu pihak harus didukung
juga oleh pihak lain. Upaya sekolah dalam hal ini guru mendidik siswanya akan sia-sia
jika tidak ada respon dan kesiapan orang tua untuk menindaklanjuti pendidikan yang
telah diterimanya di sekolah.
Penelitian ini menunjukkan bahwa ada berbagai cara pengajaran tasawuf dalam
Mata Pelajaran Fiqh yang digunakan oleh guru di MAN Sambas, Kalimantan Barat,
Indonesia. Perbedaan sikap siswa yang signifikan terhadap pembelajaran Fiqih adalah
pada pembelajaran isi shalat dan puasa. Guru menggunakan pendekatan kolaboratif
untuk menginternalisasi nilai-nilai. Namun demikian, pendekatan kolaboratif dipandang
oleh siswa sebagai pendekatan yang positif dimana, setidaknya hal ini memberikan
indikasi bahwa dengan sikap positif terhadap nilai-nilai dapat menghasilkan usaha yang
tinggi dari siswa yang akibatnya mereka akan bekerja lebih keras untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik. oleh konten Fiqh tersebut. Menurut Chooi (1998), usaha dan
minat, jika digabungkan, dapat menghasilkan hasil yang baik dari siswa.
KESIMPULAN
BIBLIOGRAPHY
Abu, A. (1991). Psikologi sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Ali, Z., Surya Siregar, H., Nuraeni Muhtar, S., & Aridhayandi, MR (2018). Spiritual
leadership values and practices: An analysis in Islamic higher education. In
International Conference on Islamic Education (ICIE 2018). Pers Atlantis.
https://doi.org/10.2991/icie 18.2018.40
Asadullah, MN, & Chaudhury, N. (2016). To madrasahs or not to madrasahs: The
question and correlates of enrolment in Islamic schools in Bangladesh.
International Journal of Educational Development, 49, 55–69.
Azra, A. (1999). Konteks berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Paramadina.
Budimansyah, D., & Winataputra, U. (2012). Dimensi-dimensi praktik pendidikan
karakter. Bandung: Widya Aksara Press.
Ching, LY (1991). Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian akademik pelajar di
sekolah-sekolah Malaysia (Thesis Sarjana). Universiti Malaya, Kuala Lumpur.
Chooi, FS (1998). Hubungan antara sikap, jantina dan penguasaan konsep asas
Matematik dengan pencapaian dalam Matematik Modern untuk pelajar jurusan
sastera (Thesis Sarjana). Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur.
Hanafiah, M. (2007). Arah baru Pendidikan Islam. Republika.
Kamal, R. (2017). Internalization of moderate Islamic values in education. Islamic
Studies Journal for Social Transformation, 67–80.
https://doi.org/10.28918/isjoust.v1i1.1142 Kamaruddin, HH (1997). Psikologi bilik
darjah : Asas pedagogi. Kuala Lumpur: Utusan Publications.
Mawardi, H. (2016). Globalization and curriculum based on KKNI. SAFINA Journal of
Islamic Education, 1–10.
Meissner, WW (1981). Internalization in psychoanalysis. Psychological Issues, 50, 1.
Miles, MB, Huberman, AM, Huberman, MA, & Huberman, M. (1994). Qualitative data
analysis: An expanded sourcebook. sage.
Mohammad, A. (1998). Islam" mazhab" masa depan: menuju Islam non-sektarian.
Pustaka Hidayah. Norazizah, MS (1997). Pembelajaran koperatif, apa, mengapa dan
bagaimana? : Siber didik. Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Rahman, N., Ali, A., Ramli, R., & Safiri Ismail, M. (2008). The teaching And learning
of usul Al Fiqh in public universities in Malaysia: Reality and challenges.
Rusyan, AT, Kusdinar, A., & Arifin, Z. (1989). Pendekatan dalam proses belajar
mengajar. Remadja Karya CV.
Tafsir, A. (2006). Filsafat pendidikan Islami: Integrasi jasmani, rohani dan kalbu
memanusiakan manusia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Taha, AK (1981). Persekitaran rumah tangga dan pencapaian akademik murid-murid di
Sekolah Menengah Kebangsaan (Thesis Sarjana). Fakulti Pendidikan, Universiti
Malaya. Zakaria, GAN, Mahalle, S., Bakar, ZA, & Nawi, A. (2015). Collaborative
learning in the teaching of Usul Fiqh (Islamic Jurisprudence) at the Pre-University Level
in Brunei Darussalam. Mediterranean Journal of Social Sciences, 6(3 S1), 158.
https://doi.org/10.5901/mjss.2015.v6n3s1p158
92 Vol. 4, No. 2, December 2018 M/1440 H