Anda di halaman 1dari 21

Resume penelitian Individual 2009

INTERAKSI EDUKATIF DALAM PEMBELAJARAN AQIDAH


AKHLAK
(Tinjauan Terhadap Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Madrasah)

Diajukan Oleh:

Rini Dwi Susanti, M.Ag.


NIP: 19740828 200501 2 008

DIBIAYAI OLEH DIPA STAIN KUDUS

TAHUN ANGGARAN 2009

1
Pusat Penelitan dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M)

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)


Kudus

2009

A. Abstrak
Pendidikan akhlak memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan
moral dan pendidikan budi pekerti. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak,
supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.
Pada hakikatnya pendidikan akhlak dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah
pendidikan nilai dan pendidikan budi pekerti, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang
bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian
generasi muda yang berbudi pekerti baik. Tujua akhirnya adalah membangun dan
menjaga moralitas peserta didik agar menjadi pribadi yang baik.
Mengantisipasi fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat, perlu kiranya
lembaga pendidikan Islam (madrasah) mengoptimalkan sistem pembelajaran yang
aktual, tidak hanya terfokus pada substansi materi ajar, tetapi lebih diupayakan lagi
menginternalisasikan nilai-nilai materi ajarnya, khususnya pada pelajaran Aqidah
Akhlak. Dalam proses pembelajaran, guru harus mampu mengomunikasikan materi
ajar dengan sebaik mungkin. Interaksi yang dibangun pun harus mengindikasikan
pada proses pembelajaran yang aktif, kreatif dan komunikatif. Sehinnga nilai-nilai
yang termaktub di dalamnya mampu tercerap dengan baik oleh peserta didik dan
dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sepanjang hayat.
Dalam proses pembelajaran guru dan anak didik merupakan mitra. Di sekolah
guru adalah orang tua kedua bagi anak didik. Dalam interaksinya, kehadiaran guru
bersama –sama anak didik di sekolah, dalam jiwanya semestinya sudah tertanam niat
untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi orang yang berilmu pengetahuan,
memiliki sikap, watak dan kepribadian yang baik, cakap dan terampil, bersusila dan
berakhlak mulia. Kegiatan pembelajaran di sekolah tidak lain adalah menanamkan
sejumlah norma ke dalam jiwa anak didik. Oleh karena itu, kegiatan yang demikian
itu disebut dengan proses interaksi edukatif. Oleh karena itu penelitian ini mencoba
menggali makna interaksi edukatif dalam proses pembelajaran aqidah akhlak di
madrasah.

2
Kata kunci: interaksi edukatif, pembelajaran , aqidah akhlak
A. Pendahuluan

Secara umum pendidikan merupakan pendidikan akhlak itu sendiri. Karena


pada dasarnya pendidikan akhlak merupakan sarana untuk mengadakan perubahan
secara mendasar, yang membawa perubahan individu sampai ke akar-akarnya.
Pendidikan akhlak memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan
moral dan pendidikan budi pekerti. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak,
supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang
baik.
Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan
warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah
nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan
bangsanya. Oleh karena itu, pada hakikatnya pendidikan akhlak dalam konteks
pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai dan pendidikan budi pekerti, yakni
pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri,
dalam rangka membina kepribadian generasi muda yang berbudi pekerti baik.
Tujua akhirnya adalah membangun dan menjaga moralitas peserta didik agar
menjadi pribadi yang baik.
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan
potensi diri melalui proses pengembangan pembelajaran yang tersedia melalui
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu (UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003).
Dalam proses pengembangan pembelajaran yang dijalani peserta didik diarahkan
pada pembentukan manusia dewasa, memiliki tanggung jawab menjalankan
kewajiban-kewajibannya. Oleh karena itu, idealnya peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritial keagamaan,

3
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas no. 20 tahun
2003).
Bagi peserta didik masa sekolah adalah masa untuk belajar menjadi orang
dewasa, bukan untuk menjadi remaja yang sukses (Elias, Maurice J.et all,
2003,h.33), berkaitan dengan pendapat tersebut peserta didik yang dalam proses
menuju kedewasaannya (pendidikan) disiapkan untuk mampu berperilaku baik,
memiliki sopan santun, sehingga memberikan ciri kekhasan sebagai manusia yang
bernilai, mampu menunjukkan jati dirinya, bertanggung jawab dengan apa yang
menjadi pilihan hatinya. Dengan kata lain, pendidikan tidaklah semata sebagai
proses pencerdasan peserta didik, akan tetapi pendidikan juga bertujuan untuk
menciptakan peserta didik yang bermoral. Moralitas adalah sopan santun, segala
sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1990, Balai Pustaka, cet.Ke III: 2288)
Perilaku baik yang dapat disebut moralitas yang sesungguhnya tidak saja
sesuai dengan standar sosial melainkan juga dilaksanakan dengan sukarela. Ia
muncul bersamaan dari peralihan dari kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri
atas tingkah laku yang diatur dari dalam, yang disertai tanggung jawab pribadi
untuk tindakan masing-masing (Elizabeth B.Hurlock, 1978: 75).
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
pelaksanaan Pendidikan akhlak pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan
tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya
kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian masal dan berbagai kasus
dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, seperti Jakarta, gejala
tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga

4
pendidikan formal (pendiidkan Islam) sebagai wadah resmi pembinaan generasi
muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan
kepribadian siswa melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan moral,
prilaku dan budi pekerti.
Ironisnya, fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan, mengisyaratkan
bahwa telah terjadi degradasi moral, tayangan Televisi, kupasan media cetak,
berita di dalam internet marak dengan berita-berita tentang sikap-sikap negatif,
seperti tidak menghargai, dan menghormati kepada para guru-guru, bahkan sampai
terjadi perkelaian, tawuran, pelecehan, pemerkosaan dan juga pembunuhan yang
dilakukan oleh peserta didik di jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah
Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) di berbagai kota besar di negara
ini. Hal ini merupakan indikasi merosotnya moralitas yang mustinya dijunjung
tinggi demi terwujudnya manusia yang bermoral. Sehingga yang tercipta sekarang
ini adalah sebuah ras yang non manusiawi, dan inilah mesin berbentuk manusia
yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan dan kehendak alam yang fitrah (Ary
Ginanjar Agustian, 2001: xliii).
Mengantisipasi fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat, perlu
kiranya lembaga pendidikan Islam (madrasah) mengoptimalkan sistem
pembelajaran yang aktual, tidak hanya terfokus pada substansi materi ajar, tetapi
lebih diupayakan lagi menginternalisasikan nilai-nilai materi ajarnya, khususnya
pada pelajaran Aqidah Akhlak. Dalam proses pembelajaran, guru harus mampu
mengomunikasikan materi ajar dengan sebaik mungkin. Interaksi yang dibangun
pun harus mengindikasikan pada proses pembelajaran yang aktif, kreatif dan
komunikatif. Sehinnga nilai-nilai yang termaktub di dalamnya mampu tercerap

5
dengan baik oleh peserta didik dan dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-
hari sepanjang hayat.
Dalam proses pembelajaran guru dan anak didik merupakan mitra. Di
sekolah guru adalah orang tua kedua bagi anak didik. Dalam interaksinya,
kehadiaran guru bersama –sama anak didik di sekolah, dalam jiwanya semestinya
sudah tertanam niat untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi orang yang
berilmu pengetahuan, memiliki sikap, watak dan kepribadian yang baik, cakap dan
terampil, bersusila dan berakhlak mulia.
Kegiatan pembelajaran di sekolah tidak lain adalah menanamkan sejumlah
norma ke dalam jiwa anak didik. Oleh karena itu, kegiatan yang demikian itu
disebut dengan proses interaksi edukatif.(Syaiful Bahri J, 2008: 4) Guru dan anak
didik berada dalam relasi kejiwaan. Interaksi yang terbagun karena saling
membutuhkan. Anak didik ingin belajar dengan menimba sejumlah ilmu dari guru,
dan guru ingin membina dan membimbing anak didik dengan memberikan ilmu
pengetahuan yag dimilikinya.
Interaksi edukatif yang dibangun dalam pendidikan akhlak sebagai langkah
untuk lebih menanamkan nilai-nilai moral, akhlak dan aktualisasinya. Oleh karena
itu guru harus mampu membuat desain dan strategi pembelajaran yang dapat
memberikan nilai positif dalam menyampaikan materi Aqidah akhlak di
madrasah. Pembelajaran yang disamapaikan diusahakan tidak monoton dan
membosankan.

B. Kajian teori
Fungsi dan peran guru agama dalam interaksi edukatif sama dengan guru
pada umumnya. Guru mempunyai fungsi dan peran yang penting dalam Interaksi

6
edukatif di sekolah. Guru tidak sama dengan pengajar, sebab pengajar itu hanya
sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada murid. Prestasi yang tertinggi
yang dapat dicapai oleh seorang pengajar apabila berhasil membuat pelajar
memahami dan menguasai materi pelajaran yang diajarkan kepadanya. Tetapi
seorang pendidik bukan hanya bertanggungjawab menyampaikan materi
pengajaran kepada murid saja tetapi juga membentuk kepribadian seorang anak
didik bernilai tinggi.1 Dalam pendidikan Islam tidak hanya menyiapkan seseorang
anak didik memainkan peranannya sebagai individu dan anggota masyarakat saja,
tetapi juga membina sikapnya terhadap agama tekun berikut mematuhi peraturan
agama, serta menghayati dan mengamalkan nilai hukum agama dalam kehidupan
sehari-hari
Sebagai makhluk social, manusia dalam kehidupannya membutuhkan
hubungan manusia dengan manusia lain. Hubungan itu terjadi karena manusia
membutuhkan manuasia lainnya. Kecenderungan manusia untuk berhubungan
melahirkan komunikasi dua arah melalui bahasa yang mengandung tindakan dan
perbuatan. Karena ada aksi dan reaksi iitu, maka interaksi pun terjadi. Oleh karena
itu interaksi akan berlangsung bila ada hubungan timbale balik antara dua orang
atau lebih.
Namun interaksi yang telah disebut di atas, bukanlah interaksi edukatif,
karena tujuan yang dibangun dari interaksi tersebut masih kurang jelas. Interaksi
yang berlangsung dalam kehidupan manusia dapat diubah menjadi interaksi
edukatif, yakni interaksi yang dengan sadar meletakkan tujuan untuk mengubah
tingkah laku ddn perbuatan seseorang. Interaksi yang bernilai “mendidik” dalam
dunia pendidikan disebut dengan interaksi edukatif.

1
. R.A. Mayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1998), h.36.

7
Interaksi edukatif dalam proses pendidikan di sekolah, harus
menggambarkan hubungan aktif dua arah dengan sejumlah pengetahuan sebagai
mediumnya., sehingga interaksi itu merupakan hubungan yang bermakna dan
kreatif. Semua interaksi edukatif harus berproses dalam ikatan tujuan pendidikan.
Karena itu interaksi edukatif adalah suatu gambaran hubungan aktif dua arah
antara guru dan anak didik yang berlangsung dalam ikatan tujuan pendidikan (Abu
Ahmad&Shuyadi, 1985: 47)
Proses edukatif mengandung sejumlah norma, norma itulah yang harus
ditransfer oleh seorang guru kepada anak didiknya. Interaksi edukatif sebagai
jembatan yang menghidupkan persenyawaan antara pengetahuan dan perbuatan,
yang mengantarkan kepada tingkah laku sesuai dengan pengetahuan yang diterima
anak didik.
Dalam proses pembelajaran, interaksi edukatif antara guru dan anak didik
harus aktif. Dalam sistem pembelajaran dengan pendekatan keterampilan proses
anak didik harus lebih aktif daripada guru. Karena pada dasarnya guru adalah
pembimbing dan fasilitator.
Ada tiga pola komunikasi antara guru dan anak didik dalam proses interaksi
edukatif, yakni komunikasi sebagai aksi, kkomunikasi sebagai interaksi dan
komunikasi sebagai transaksi. Dalam komunikasi sebagai interaksi guru berperan
sebagai pemberi atau penerima aksi. Demikian halnya dengan anak didik dapat
juga sebagai penerima dan pemberi aksi, sehingga antara anak didik dan guru akan
terjadi dialog.
Interaksi yang dibagun oleh guru dalam proses pembelajaran berlaku untuk
semua materi ajar yang disampaikan disekolah. Salah satunya adalah materi
aqidah akhlak sebagai bagian dari komponen pendidikan moral dan budi pekerti.

8
Menurut Cahyoto (2001: 13) Urgensitas pendidikan akhlak dalam proses
pembelajaran di sekolah bagi anak didik adalah sebagai berikut: (1) memahami
susunan pendidikan akhlak dalam lingkup etika bagi pengembangan dirinya dalam
bidang ilmu pengetahuan. (2) memiliki landasan budi pekerti luhur bagi pola
prilaku sehari-hari yang di dasari baik hak dan kewajiban bagi warga Negara, (3)
dapat mencari dan memperoleh informasi tentang budi pekerti (akhlak) ,
mengolahnya dan mengambil keputusan untuk menghadapi masalah nyata di
masyarakat (4) dapat berkomunikasi dan bekerjasama dengan orang lain untuk
mengembangkan nilai moral.
Menurut Draf Kurikulum Berbasis Kompetensi (2001) fungsi dan
kegunanan pendidikan budi pekerti (akhlak) bagi anak didik adalah sebagai (a)
Pengembangan, yaitu untuk meningkatkan perilaku yang baik bagi anak didik
yang telah tertanam dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. (b) Penyaluan,
yaitu membantu anak didik yang memiliki bakat tertentu agar dapat berkembang
dan bermanfaat secara optimal dengan budaya bangsa. (c) Perbaikan, yaitu untuk
memperbaiki kesalahan, kekurangan, dan kelemahan anak didik dalam prilaku
sehari-hari. (d) Pencegahan, yaitu mencegah prilaku negative yang tidak sesuai
dengan ajaran agama (Islam) dan budaya bangsa (Indonesia). (e) Pembersih, yaitu
untuk membersihkan diri dari penyakit hati. (f) Penyaring (filter), yaitu yaitu untuk
menyaring budaya budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai budi pekerti, moral dan akhlak bangsa.
Dalam pelaksanaan pembelajaran aqidah akhlak, tugas dan peran guru di
sekolah cukup berat, karena setidaknya harus memberikan kontribusi internal
maupu eksternal dalam diri anak didik. Menurut Thomas Lickona dalam HAR

9
Tilaar (1999: 76-80), tugas dan peran guru cukup berat dalam melaksanakan
pendidikan akhlak (moral) disekolah, diantaranya :
1. Seorang guru harus mampu menjadi model, sekaligus mentor dari anak didik
dalam mewujudkan nilai-nilai moral pada kehiduan sekolah.
2. Masyarakat sekolah haruslah merupakan masyarakat bermoral. Kalau berbicara

tentang budaya sekolah (school culture), maka sekolah dan kampus bukan semata-
mata untuk meningkatkan kemampuan intelektual, tetapi juga memupuk kejujuran,
kebenaran dan pengabdian kepada kemanusiaan. Budaya sekolah adalah budaya
yang bermoral.
3. Praktikan disipliin moral, tuntutan ini berlaku untuk seluruh civitas sekolah baik
guru, anak didik maupun seluruh personil di lingkungan sekolah.
4. Menciptakan situasi demokratis di ruang kelas merupakan salah satu pelaksanaan
kehidupan moral di sekolah.
5. Mewujudkan nilai-nilai melalui kurikulum, artinya bahwa tanggung jawab moral
tidak hanya milik guru dan pelajaran akhlak, namun menjadi tanggung jawab
semua pihak.
6. Mengembangkan budaya kerjasama (cooperative lerning), sebagai sarana untuk
melatih anak didik dalam berinteraksi dengan sesamanya dan lingkungan serta
berprilaku yang baik.
Paradigma pendidikan Islam dalam dunia pendidikan akan menciptakan sebuah
toleransi antar sesama pendidik, pendidik-aak didik dan antar sesama anak didik.
Nilai-nilai yang terkandung dalam materi pendidikan Islam merupakan
pengejawantahan dari prinsip-prinsip pendidikan Islam yang dijabarkan lebih luas
lagi dalam kurikulum. Diantara prinsip-prinsip pendidikan Islam adalah prinsip
tauhid, prinsip integrasi, prinsip keseimbangan, prinsip keutamaan. Prinsip tauhid

10
akan melahirkan tata nilai berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan secara
metafisis maupun aksiologis Dia tertinggi (Abd. Halim, 2002: 71). Prinsip integrasi
menginternalisasikan bahwa dunia ini merupakan sebuah jalan menuju kampung
akhirat. Prinsip keseimbangan merupakan kesemestian hingga dalam pengembangan
dan pembinaan manusia tidak ada kepincangan dan kesenjangan (Munzir, 2004: 24-
26). Sedangkan prinsip keutamaan merupakan inti dari segala pendidikan. Dengan
prinsip ini ditegaskan bahwa pendidikan bukanlah sekedar proses mekanik melainkan
proses yang mempunyai ruh dimana segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan
kepada keutamaan-keutamaan(Abd. Halim, 2002: 82).
Pelaksanaan pendidikan moral ini sangat penting, karena hampir seluruh
masyarakat di dunia khususnya Indonesia sedang mengalami (dalam istilah sosiologi)
patologi sosial yang amat kronis. Bahkan sebagian besar masyarakat kita tercerabut
dari adat-istiadat ketimuran yang beradab, santun dan beragama. Sejalan dengan misi
agama Islam yang bertujuan memberikan rahmat bagi sekalian makhluk di alam ini,
maka pendidikan Islam mengidentifikasikan sasarannya yang digali dari sumber
ajaran al-Qur’an, meliputi empat pengembangan fungsi manusia yaitu: (Arifin, 2000:
33-38).
a. Menyadarkan manusia secara individual pada posisi dan fungsinya di tengah
makhluk lain, serta tentang tanggung jawab dalam kehidupannya. Dengan
kesadaran ini, manusia akan mampu berperan sebagai makhluk Allah yang paling
utama diantara makhluk-makhluk lainnya sehingga mampu berfungsi sebagai
Khalifah di muka bumi.
b. Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat,serta
tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakat itu. Oleh karena itu manusia

11
harus mengadakan interelasi dan interaksi dengan sesamanya dalam kehidupan
masyarakat.
c. Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah
kepada-Nya. Oleh karena itu manusia sebagai Homo Divinans (makhluk yang
berketuhanan), sikap dan watak religiusitasnya perlu dikembangkan sedemikian
rupa sehingga mampu menjiwai dan mewarnai kehidupannya.
d. Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan
membawanya agar memahami hikmah Tuhan menciptakan makhluk lain, serta
memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya.
Pengamat dan praktisi pendidikan sering mengkritik bahwa sistem
pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada pengisian kognisi yang eqivalen
dengan peningkatan IQ (Intelegence Qoetiont) yang walaupun juga didalamnya
terintegrasi pendidikan EQ (Emotional Quetiont). Oleh karenanya, perlu kiranya
dalam pengembangan pendidikan moral ini eksistensi SQ (Spiritual Quetiont)
yang merupakan tradisi spiritualitas yang tinggi harus terintegrasi dalam target
peningkatan IQ dan EQ siswa.
Untuk merespon gejala-gejala sosial yang muncul terlebih gejala
kemerosotan moral, maka peningkatan dan intensitas pelaksanaan pendidikan
moral yang merupakan bagian dari materi pendidikan Islam merupakan tugas yang
sangat urgen dan harus selalu dilaksanakan secara gradual dan komprehensif serta
dengan melibatkan semua unsur yang terkait dalam proses pembelajaran atau
pendidikan.
Tujuan pendidikan moral (akhlak) tidak semata-mata untuk menyiapkan
peserta didik untuk menelan mentah-mentah konsep-konsep pendidikan moral,
tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi

12
yang memiliki pengetahuan moral, peranan perasaan moral dan tindakan atau
perilaku moral (Lickona, 1992: 53).
Tanggung jawab guru dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan agama
Islam meliputi nilai-nilai aqidah dan akhlak. Kata aqidah berasal dari bahasa arab,
yaitu aqada-yakidu, aqdan yang artinya mengumpulkan atau mengokohkan, dari
kata tersebut dibentuk kata Aqidah. Kemudian Endang Syafruddin Anshari
mengemukakan aqidah ialah keyakinan hidup dalam arti khas yaitu pengikraran
yang bertolak dari hati2. Dalam pembinaan nilai-nilai aqidah ini memiliki
pengaruh yang luar biasa pada kepribadian anak, pribadi anak tidak akan
didapatkan selain dari orang tuanya. Pembinaan tidak dapat diwakili dengan sistim
pendidikan yang matang.
Jadi aqidah adalah sebuah konsep yang mengimani manusia seluruh
perbuatan dan prilakunya dan bersumber pada konsepsi tersebut. Aqidah islam
dijabarkan melalui rukun iman dan berbagai cabangnya seperti tauhid ulluhiyah
atau penjauhan diri dari perbuatan syirik, aqidah islam berkaitan pada keimanan.
Penanaman aqidah yang mantappada diri anak akan membawa anak kepada
pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. Menurut Abdurrahman An-
Nahlawi mengungkapkan bahwa “keimanan merupakan landasan aqidah yang
dijadikan sebagai guru, ulama untuk membangun pendidikan agama Islam3.
Mata pelajaran aqidah akhlak sebagai bagian dari mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam (PAI) sangat penting untuk disampaikan kepada anak didik di
sekolah. Dalam UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
penjelasan pasal 39 ayat (2) disebutkan bahwa :

2
. Endang Syafruddin Anshari.1990, Wawasan Islam Pokok-pokok Pemikiran
Tentang Islam, Jakarta: Raja Wali, cet-2. h. 24
3
. Abdurrahman An-Nahlawi. t,th, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press. h.84

13
.”Pendidikan Agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh
peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk
menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antara ummat beragama
dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional..”
Pada kurikulum madrasah, pendidikan agama dibagi menjadi lima mata
pelajaran. Hal ini sesuai dengan penjelasan ayat (3) : ...satu unsur dapat dibagi
menjadi lebih dari satu mata pelajaran... Mata pelajaran Aqidah Akhlak
merupakan salah satu mata pelajaran dari unsur pendidikan agama yang ada di
madrasah. Mata pelajaran ini membahas kajian tentang peristiwa-peristiwa penting
berkenaan dengan perkembangan agama Islam yang memungkinkan terjadinya
pengenalan, penghayatan dan penanaman nilai pada peserta didik atas ajaran dan
semangat Islam sebagai rahmatan lil .alamin. 4

C. Temuan dan pembahasan


Kurikulum merupakan salah satu komponen pendidikan yang sangat strategis
karena merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran memberikan makna
bahwa di dalam kurikulum terdapat panduan interaksi antara guru dan peserta
didik. Dengan demikian, kurikulum berfungsi sebagai “nafas atau inti” dari proses
pendidikan di
4
. Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, Pengembangan Sialbus Kurikulum Berbasis Kompetensi,
(Jakarta : Juni 2002), h. 12

14
Kurikulum pendidikan agama seyogyanya harus juga bersifat utuh dan
menyeluruh. Ciri-ciri kurikulum pendidikan agama yang utuh dan menyeluruh itu
seharusnya sebagai bahan yang layak didiskusikan. Secara umum pendidikan
Agama merupakan rumpun mata pelajaran yang mengembangkan kemampuan
peserta didik untuk memperteguh iman dan takwa kepada Tuhan Yang maha Esa,
serta berakhlak mulia/budi pekerti luhur dan menghormati penganut agama lain.
Ruang lingkup pendidikan Agama Islam, meliputi aspek: Al Quran;
keimanan/Aqidah; Akhlah Mulia; Fiqih Ibadah/Muamalah; dan Tarikh Islam.
Pada dasarnya pendidikan agama di sekolah/madrasah bukanlah satu-satunya
faktor yang menentukan dalam pembentukan watak dan kepribadian siswa. Apalagi
dalam pelaksanaan pendidikan agama tersebut masih terdapat kelemahan-kelemahan
yang mendorong dilakukannya penyempurnaan terus menerus.
Kelemahan lain, materi pendidikan agama, termasuk bahan ajar akhlak atau
budi pekerti, lebih terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif) dan minim dalam
pembentukan sikap (afektif) serta pembiasaan (psikomotorik). Kendala lain adalah
kurangnya keikutsertaan guru mata pelajaran lain dalam member motivasi kepada
peserta didik untuk mempraktekkan nilai-nilai pendidikan agama dalam kehidupan
sehari-hari. Lalu lemahnya sumber daya guru dalam pengembangan pendekatan dan
metode yang lebih variatif, minimnya berbagai sarana pelatihan dan pengembangan,
serta rendahnya peran serta orang tua siswa.
Ruang lingkup kajian pendidikan agama mencakup standar isi dan
implementasi mata pelajaran Agama (Islam) baik di SD/MI, SMP/MTs maupun di
SMA/MA. Ada beberapa masukan penting yang harus di perhatikan, yaitu5: (a)
Pendidikan Agama harus memperhatikan dan mengedepankan pendidikan akhlak

5
. Departemen Penddidikan Nasional, Puskur….h. ii

15
mulia; (b) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta munculnya era
globalisasi harus disikapi secara positif dan proporsional; (c) Pendidikan Agama
harus konsisten dan tetap menjadi parameter perkembangan yang ada (politik, sosial,
budaya, dan lainnya). penyusunan KTSP di setiap sekolah/madrasah (MTs)
ditetapkan visi, misi dan tujuan dari sekolah tersebut. Visi dan misi tersebut diambil
dengan rambu-rambu; “ Manusia Seutuhnya yang Berakhlak Mulia, Berkepribadian
dan Berlimu”6.
Penjabaran dan pengembangan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak
mulia tersebut di atas dalam lingkungan pendidikan MTs(Madrasan Tsanawiyah)
dispesifikasikan lagi dalam kelompok mata pelajaran Pendidikan agama Islam yang
masuk dalam standar kompetensi lulusan Mata pelajaran agama meliputi al-Quran-
Hadits, aqidah akhlak, fikih dan SKI.
Mata pelajaran Aqidah Akhlak sebagai salah satu mata pelajaran PAI
diupayakan dijadikan landasan untuk memperbaiki akhlak atau moral peserta didik.
Walaupun di alam mata pelajaran yang lain (umum) tema moral sudah disampaikan.
Materi Aqidah akhlak ini setidaknya mampu memberi warna islami pada perilaku
peserta didik, dan ini yang membedakan sekolah berbasis Agama dengan sekolah
Umum. Di MTs materi Aqidah Akhlak diberikan kepada semua peserta didik dari
kelas VII sampai dengan kelas IX. Adapun analisis program pengajaran materi
tersebut disesuaikan dengan standar yang sudah dijabarkan dalam standar umum
pelaksanaan materi pembelajaran PAI.

6
. Khaeruddin &Mahfud Junaedi, 2007. Kurikulum tingkat satuan pendidikan: konsep dan
implementasinya di Madrasah. Yogyakarta: Pilar Media h.95

16
D. Analisis
Mata pelajaran aqidah akhlak merupakan bagian dari rumpun mata
pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Secara umum seperti yang tertera dalam
struktur kurikulum (lihat tabel 1), standar minimal susunan mata pelajaran di
tingakat SMP/MTs sangat global. Nilai-nilai yang terkandung dalam mata
pelajaran aqidah akhlak sebenarnya hampir sama dengan pendidikan moral atau
pendidikan budi pekerti. Tujuan mata pelajaran aqidah akhlak tersebut tidak jauh
dari tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu membentuk peserta didik menjadi manusia
yang berakhlak mulia.
Pada tingkat satuan pendidikan SMP/MTs mata pelajaran aqidah akhlak dari
kelas VII sampai kelas IX sesuai dengan Standar kompetensi dan Kompetensi
Dasar memuat tiga komponen akhlak yang harus dimiliki oeh setiap manusia,
yaitu akhlak terhadap Allah, akhlak terhadap sesama manusia dan akhlak terhadap
lingkungan.
Dalam standar Kompetensi dan kompetensi Dasar dalam
SKL_PERMENDIKNAS No. 22/2006 penjabaran mata pelajaran aqidah akhlak
dibagi menjadi dua kategori, yaitu “aqidah” dan “akhlak”3. Yang termasuk pada
kategori “aqidah” adalah segala hal yang berkaitan dengan rukun Iman, yaitu iman
kepada Allah, malaikat, kitab-kitab allah, rosul-rosul allah, hari akhir dan qodho
dan qadar. Sedangkan yang termasuk dalam kategori “akhlak” adalah segala hal
yang menyangkut tentang perilaku dan sikap terpuji yang harus dimiliki oleh
setiap mausia muslim terhadap Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan.
Melihat karekteristik pelajaran aqidah akhlak sangat unik dan sangat absud
untuk dijelaskan kepada peserta didik dengan hanya kata-kata saja. Oleh kaeran itu
seorang guru harus melakukan inovasi-inovasi dalam setiap proses pembelajaran.

17
Kemampuan apresepsi yang hurus dimiliki adalah bagaimana mengkonstruk
pengetahuan peserta didik tentang persoalan aqidah, dalam hal ini adalah
persoalan keimanan. Jika dirunut dari waktu ke waktu pembelajaran aqidah
(keimanan) adalah persoalan yang berulang-ulang dipelajari oleh setiap peserta
didik. Bahkan sejak lahir pun anak (didik) sudah diajarkan dan diperkenalkan
tentang keimanan. Jadi guru harus dapat mengolah pembelajaran dengan
semenarik mungkin agar pembelajaran tidak membosankan.
Dalam menginovasi setiap pembelajaran agar seperti tida berulang-ulang
maka guru harus memiliki keterampilan bertanya dasar4 untuk menyelami
pemahaman anak didik. Cara guru dalam bertanya untuk seluruh kelas, individu
atau untuk kelompok mempunyai pengaruh berarti tidak hanya kepada hasil
belajar siswa, tetapi juga pada suasana kelas baik sosial maupun emosional.
Konsep pembelajaran dalam standar yang ditetapkan oleh KTSP adalah
pembelajaran yang realistik dan kontekstual. Hal ini bertujuan agar peserta didik
tidak hanya mengetahui secara teoritis tetapi lebih aktual dan dekat dengan
lingkungan peserta didik. Karena pembelajaran yang tematik sangat mendorong
peserta didik untuk kreatif dan inofatif dalam pembelajaran.

E. Simpulan
Interaksi pendidikan merupakan hubungan timbal balik antara guru
(pengajar) dan anak (murid) harus menunjukkan adanya hubungan edukatif
(mendidik), di mana interaksi itu harus diarahkan pada suatu tujuan tertentu yang
bersifat mendidik, yaitu adanya perubahan tingkah laku anak didik ke arah
kedewasaan.

18
Metode interaksi edukatif, yaitu, interaksi yang dengan sadar meletakkan
tujuan untuk mengubah tingkah laku dan perbuatan seseorang. Dengan metode
interaksi edukatif ini, anak didik ikut aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Anak
didik tidak lagi sebagai objek yang selalu mendenganrkan ceramah guru. Sehingga
kegiatan belajar mengajar bersifat dialogis
Mata pelajaran aqidah akhlak sebagai bagian dari mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam (PAI) sangat penting untuk disampaikan kepada anak
didik di sekolah. Dalam UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pada penjelasan pasal 39 ayat (2) disebutkan bahwa :
.”Pendidikan Agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh
peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk
menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antara ummat beragama
dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional..”
Pada kurikulum madrasah, pendidikan agama dibagi menjadi lima mata
pelajaran. Hal ini sesuai dengan penjelasan ayat (3) : ...satu unsur dapat dibagi
menjadi lebih dari satu mata pelajaran... Mata pelajaran Aqidah Akhlak
merupakan salah satu mata pelajaran dari unsur pendidikan agama yang ada di
madrasah. Mata pelajaran ini membahas kajian tentang peristiwa-peristiwa penting
berkenaan dengan perkembangan agama Islam yang memungkinkan terjadinya
pengenalan, penghayatan dan penanaman nilai pada peserta didik atas ajaran dan
semangat Islam sebagai rahmatan lil .alamin.
Pelajaran aqidah akhlak di madrasah merupakan mata pelajaran yang
materinya berkenaan dengan akhlak kepada pencipta, Allah Swt, akhlak terhadap
sesame manusia, dan akhlak terhadap lingkungan. Mata pelajaran aqidah akhlak

19
di Madrasah Tsanawiyah berkisar pada persoalan rukun iman yang enam tersebut
dan sikap-sikap atau etika yang harus dimiliki oleh seseorang dalam meneladani
sifat-sifat Allah.
Karekteristik mata pelajaran yang sangat absurd menjadikan mata pelajaran
ini kiranya tidak hanya disampaikan dalam satu bentuk atau metode pembelajaran,
apalagi hafalan. Hal inilan yng menyevbabkan peserta didik bosan dan bahkan
tidak memata pelajaran yang perhatikan materi bahkan isi dari pelajaran tersebut.
Sehingga pada akhirnya mata pelajaran aqidah akhlak hanya supplement , bukan
benar-benar mata pelajaran keteladanan. Jaran
Penggunaan media pembelaran yang tepat kiranya juga dapat membantu
menginternalisasikan nilai-nilai estetis dalam pembelajaran aqidah akhlak,
sehingga pesert didika mampu mencerna esensi dari materi tersebut. Penggunaan
media dan metode yang tepat menjadikan situasi pembelajaran interaktif. Proses
dialogis yang terjadi membuat interaksi edukatif menjadi sangat terasa.. Guru
menjadi sutradara yang handal dalam menyajikan sekenario yang baik, sehingga
peserta didik mampu memerankan setiap adegan dalam sokenario dalam bentuk
RPP.

20
F. Daftar Pustaka

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung; PT. Remaja
Rosdakarya, 2005.

Cahyoto, 2002. Budi Pekerti dalam Perspektif Pendidikan, Malang: Depdiknas-


Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah-Pusat Penataran Guru IPS dan PMP
Malang.

Noeng Muhadjir, 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin,)

Nurul Zuhrah. 2008. Pendidikan moral & budi pekerti dalam perspektif perubahan:
menggagas platform pendidikan budi pekerti secara kontekstual dan
futuristik. Jakarta: Bumiaksara.

Syaiful Bahri Djamaroh. 2005. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif;
Pendekatan Teoretis Psikologis. Jakarta: Renika Cipta
Tilaar.H.A.R, 1999, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam
Perspekrif Abad 21, Magelang: Tera Indonesia.

_______, 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia


Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

UUSPN (SISDIKNAS). 2003. Undang Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem


Pendidikan Nasional (SSIDIKNAS). Bandung: Citra Umbara.

Depdiknas, 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia,. Jakarta: Balai Pustaka

Widodo, 2000. Kamus ilmiah populer. Yogyakarta: Absolut.

Masruddin Razak, 1987. Dienul Islam, (Bandung : PT. Al-Ma’arif,),

Muhaimin, dkk. 2008. Model pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan


pada sekolah&madrasah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Syaiful Bahri Djamarah. 2008. Guru dan anak didik dalam interaksi edukatif ;
pendekatan reoritis psikologis. Jakarta: Rineka cipta.

21

Anda mungkin juga menyukai