PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan media untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk
membangun tantangan bangsa yang berbalut dengan nilai-nilai kepintaran,
kepekaan, jujur dan kepedulian terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan merupakan tonggak kuat untuk mengentaskan kemiskinan
pengetahuan, menyelesaikan persoalan kebodohan, dan menuntaskan segala
permasalahan bangsa yang selama ini terjadi. Peran pendidikan jelas merupakan
hal signifikan dan sentral karena pendidikan memberikan pembukaan dan
perluasan pengetahuan sehingga bangsa ini betul-betul melek terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan dihadirkan untuk
mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang beradab dan berbudaya.
Dalam masyarakat modern, fungsi pendidikan itu mengalami proses spesialisasi
dan melembaga dengan pendidikan formal, tetapi masih berhubungan dengan
prosesd pendidikan informal di luar sekolah. Dalam undang-undang nomor 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 menyatakan bahwa :
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
3
dapat saling berwasiat mengenai kesabaran, kebenaran, dan kasih sayang. Serta
nilai-nilai kejujuran, toleransi, tanggung jawab, kepatuhan, dapat terus menerus
diamati dan dipantau oleh guru/pembimbing. Oleh karena itu, sekolah harus
melakukan refleksi peserta, jika semula pendidikan karakter hanya menjadi
anak tiri, maka kini harus dijadikan point utama. Artinya pendidikan karakter di
sekolah tidak lagi terpisah dengan pendidikan yang sifatnya kognitif. Pada
tingkat satuan pendidikan dasar, pendidikan karakter tidak harus menjadi mata
pelajaran sendiri, tetapi menjadi salah satu bagian dari mata pelajaran secara
terpadu (pendidikan karakter terpadu)
Pendidikan karakter terpadu, bukan hanya dilaksanakanoleh guru tetapi juga
harus menjadi teladan bagi kepala sekolah dan guru yang diawasinya. Kepala
sekolah menjadi teladan bagi guru dan karyawan di sekolah. Sementara guru
menjadi teladan bagi siswanya. Keterpaduan ini akan berkontribusi positif bagi
proses perkembangan karakter sisiwa.
Berdadarkan fenomena tersebut perlu pemahaman yang mendalam tentang
konsep-konsep pendidikan karakter. Diperlukan beberapa hal dalam
pengembangan pendidikan karakter yaitu : (1) kultur prilaku kepala sekolah,
guru, siswa dan pegawai tata usaha berupaya untuk disiplin, meningkatkan
kemampuan teknis, mentaati tata tertib, menjalankan struktur organisasi
sekolah, jujur dalam menjalankan amanah. Kelengkapan menggunakan metode
dan media yang variatif, melengkapi dokumen administrasi, mengikuti
pendidikan dan latihan, rajin diskusi/kolaborasi, dan mau menukis artikel,
melakukan tata krama yang baik, mengisi presentasi, dengan tertib menerapkan
budaya belajar, dan memberikan pelayanan yang prima, (2) kultur artifak antara
lain meningkatkan penataan dokumen, ruang kelas, perpustakaan sekolah, dan
ruang internet, (3) kultur pesan verbal antara lain, sosialisasi dan penerapan tata
tertib sekolah, serta program sekolah, (4) nilai-nilai yang terkandung dalam
kultur sekolah terkait prilaku antara lain : kepala sekolah, guru, dan karyawan
sebagai contoh dalam penegakan disiplin dan memiliki kesadaran yang tinggi
dalam menerapkan tata tertib.
Berdasarkan permasalahan tersebut SMKN 4 Lebong, sebagai sebuah institusi
pendidikan memiliki tanggung jawab pendidikan karakter untuk memperbaiki
kualitas sumber daya manusia. Sebagai perwujudannya, maka SMKN 4 Lebong
mulai tahun ajaran 2017/2018 menyelenggarakan pendidikan karakter di
sekolah. SMKN 4 Lebong menerapkan pendidikan karakter guna menumbuh
4
kembangkan siswa menjadi individu yang memiliki motivasi tinggi, kreatif
mampu mengekspresikan diri sesuai dengan potensinya masing-masing, peka
terhadap lingkungan, disiplin dan yang tak kalah penting memiliki dasar
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan YME, jujur dan tanggung jawab.
SMKN 4 Lebong telah mengembangkan pendidikan karakter dengan
mempersiapkan siswa yang matang secara akademik, dan berjiwa sosial.
Pendidikan karakter ini tidak saja berdasarkan pada pengetahuan dan nilai
universal mengenai gejala alamiah dan sosial, melainkan juga pada moral
agama sebagai panutan kehidupan dalam dunia-akhirat.
Bertolak dari uraian di atas, maka penelitian ini ingin mengetahui implementasi
pendidikan karakter di SMKN 4 Lebong, yang meliputi peran kepala sekolah
dan guru dalam pendidikan karakter. Hal ini penting dilakukan mengingat
selama ini SMKN 4 Lebong di kenal masyarakat karena mutu akademik dan
nama baik.
B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah
Fokus penelitian ini adalah Implementasi Pelaksanaan Pendidikan Karakter di
SMKN 4 Lebong. Untuk itu di rumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana Pelaksanaan Pendidikan Karakter di SMKN 4 Lebong
2. Bagaimana peran kepala sekolah dan guru dalam pembinaan karakter
siswa SMKN 4 Lebong
3. Faktor-faktor apa yang menjelaskan implementasi program pendidikan
karakter di SMKN 4 Lebong
4. Bagaimana kultur sekolah di SMKN 4 Lebong
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi yang rinci dan jelas
tentang :
1. Bagaimana Pelaksanaan Pendidikan Karakter di SMKN 4 Lebong
2. Bagaimana peran kepala sekolah dan guru dalam pembinaan karakter
siswa SMKN 4 Lebong
3. Faktor-faktor apa yang menjelaskan implementasi program pendidikan
karakter di SMKN 4 Lebong
4. Bagaimana kultur sekolah di SMKN 4 Lebong
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik teoritik dan praktis.
Manfaat Teoritik
1) Menjadi bahan rujukan dan bahan informasi untuk pendidikan yang
sejenis dan dipergunakan di masa yang akan datang.
2) Memperkaya khasanah dan pengetahuan dalam bidang pendidikan,
terutama bidang kajian profesionalisme keguruan yang membahas
tentang pendidikan nilai dan karakter.
5
Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1) Hasil penelitian ini menjadi masukan dan pedoman pembelajaran
pendidikan karakter di sekolah agar menjadi semakin baik dimasa yang
akan datang dalam mendukung proses pembelajaran pendidikan karakter
yang efektif.
2) Hasil penelitian ini menjadi bahan informasi dan masukan guru dan
kepala sekolah guna menggunakan dengan baik
3) Hasil penelitian ini menjadi bahan pertimbangan dalam upaya
pengembangan pendidikan karakter guru bidang studi nya masing-
masing.
Hasil penelitian ini menjadi sumber informasi dalam usaha meningkatkan
implementasi pendidikan karakter melalui program dinas pendidikan guru.
BAB 2
ACUAN TEORETIK
1. Pengertian Pendidikan
menjadi pendidikan, secara etimologis berasal dari kata kerja bahasa Latin educare.
pendidikan berasal dari dua kata kerja yang berbeda, yaitu dari kata educare dan
sebagai berikut.
Dalam konteks ini pendidikan dipahami sebagai “sebuah proses yang membantu
menjadi semakin tertata, semacam proses penciptaan kultur dan tata keteraturan dalam
6
diri maupun dalam diri orang lain”. Pengertian pendidikan seperti ini senada dengan
pendapat kaum behavioris seperti Watson dan Skinner yang menekankan pendidikan
sebagai proses perubahan tingkah laku (Mudyahardjo, 2001:7). Pendidikan juga berarti
“proses pengembangan berbagai macam potensi yang ada dalam diri manusia, seperti
seni”.
Sementara itu, kata educere merupakan gabungan dari preposisi ex (keluar dari)
dan kata kerja ducere (memimpin). Secara harafiah educere berarti “suatu kegiatan
untuk menarik keluar atau membawa keluar”. Dalam arti ini, pendidikan dimengerti
sebagai “sebuah proses pembimbingan keluar yang terarah pada satu tujuan tertentu”.
Proses pembimbingan keluar ini bisa berarti secara internal, yakni keluar dari
keterbatasan fisik kodrati yang dimiliki sehingga tetap bertahan hidup, dan secara
eksternal lebih mengacu pada kecerdasan sosial individu, antara lain tampak dari
kemampuan bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama.
ke arah alam dan sesama manusia. Sementara itu dalam konteks Indonesia, pengertian
nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat 1 yang
berbunyi demikian:
Bahkan, pendidikan adalah hidup itu sendiri, sebab pendidikan berlangsung seumur
7
hidup (lifelong education), mencakup segala lingkungan dan situasi hidup yang
2. Pengertian Karakter
Secara etimologis istilah “karakter” berasal dari bahasa Yunani karasso, berarti
‘cetak biru’, ‘format dasar’, atau ‘sidik’ seperti dalam sidik jari. Interpretasi atas istilah
interpretasi, yaitu pertama, karakter sebagai “sekumpulan kondisi yang telah diberikan
begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita”
(karakter bawaan atau given character). Kedua, karakter sebagai “tingkat kekuatan
melalui mana seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter adalah
sebuah proses yang kehendaki” (willed). Senada dengan pengertian karakter di atas,
personal terdiri dari dua unsur yakni karakter bawaan dan karakter binaan. Karakter
bawaan merupakan karakter yang secara hereditas menjadi ciri khas kepribadiannya.
diartikan sebagai “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas,
bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah
seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan, dirinya,
sesame dan lingkungannya dengan cara mengoptimalkan potensi dirinya dan disertai
8
oleh Marvin W. Berkowitz (2002:69) sebagai berikut: “Character as an individual’s set
function morally. Simply put, character is comprised of those characteristics that lead
person to do the right thing or not to do the right thing.” Karakter adalah kumpulan dari
kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan moralitas. Dengan kata lain karakter itu
3. Pendidikan Karakter
karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help
people understand, care about, and act upon core ethical values”. Pendidikan karakter
adalah suatu usaha sengaja untuk membantu orang memahami, peduli dan bertindak
menurut nilai-nilai etika. Sementara itu menurut Ramli (dalam Kemendiknas, 2010:13),
pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral
dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi
manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.
Pendidikan moral dan pendidikan karakter tidaklah sama. Perbedaannya terletak
pada ruang lingkup dan lingkungan yang membantu individu dalam mengambil
keputusan. Dalam pendidikan moral, ruang lingkupnya adalah kondisi batin seseorang.
Sedangkan dalam pendidikan karakter ruang lingkupnya selain terdapat dalam diri
dicetuskan pertama kali oleh pedagog Jerman F.W. Foerster (1869-1966). Lahirnya
pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk menghidupkan kembali
9
pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang arus positivisme yang dipelopori
oleh filsuf dan sosiolog Perancis Auguste Comte (1798-1857). Tujuan pendidikan
menurut Foerster adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan
esensial antara si subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter
menjadi semacam identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah.
Dari kematangan karakter inilah kualitas seorang pribadi diukur. Lebih lanjut Foerster
menyebutkan kekuatan karakter seseorang tampak dalam empat ciri fundamental yang
hierarki nilai. Karakter tidak terbentuk selalui merupakan sebuah kesediaan dan
mengakarkan diri teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru
atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama
dari luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Hal ini tampak dari penilaian
seseorang untuk mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan merupakan
baik dari dalam maupun dari luar dirinya, agar pribadi itu semakin dapat menghayati
sendiri sebagai peribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka. Pendidikan
karakter memiliki dua dimensi sekaligus, yakni dimensi individual dan dimensi sosio-
10
struktural. Dimensi individual berkaitan erat dengan pendidikan nilai dan pendidikan
belahan dunia lain, seperti di Amerika. Character Education Partnership (CEP) (dalam
berikut.
Sebuah proses pengajaran kepada anak-anak tentang nilai-nilai kemanusiaan
dasar, termasuk di dalamnya kejujuran, keramahtamahan, kemurahan hati,
keberanian, kebebasan, persamaan, dan rasa hormat. Tujuannya adalah untuk
menumbuhkan diri siswa sebagai warga Negara yang dapat bertanggungjawab
secara moral dan memiliki disiplin diri.
yang kurang lebih sama. Dalam konteks Indonesia, Kemendiknas secara detail (2011)
menyebutkan delapan belas nilai dalam pendidikan karakter, yaitu religius, jujur,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat
membaca, peduli lingkungan, dan peduli sosial, serta tanggung jawab. Koesoema
yakni keutamaan, keindahan, kerja, cinta tanah air, demokrasi, kesatuan, menghidupi
11
3.2. Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Karakter
Koesoema (2010:218-220) mengemukakan bahwa pendidikan karakter di
sekolah memerlukan prinsip-prinsip dasar yang mudah dimengerti dan dipahami oleh
siswa dan setiap individu yang bekerja dalam lingkup pendidikan itu sendiri. Beberapa
sebagai patokan bagi dirimu. Kamu dapat memilih patokan yang lebih baik
dari mereka.
e. Apa yang kamu lakukan itu memiliki makna dan transformatif. Seorang
menjadi pribadi yang lebih baik, dan ini akan membuat dunia menjadi
bahwa kelima unsur itu bisa menjadi menjadi pedoman dan patokan dalam menghayati
Lima hal tersebut bisa dikatakan sebagai lingkaran dinamis dialektis yang senantiasa
12
Pendidikan karakter mengandaikan pengetahuan teoretis tentang konsep-konsep
nilai tertentu. Artinya, untuk dapat melakukan yang baik, adil, dan bernilai, maka
peserta didik pertama-tama perlu mengetahui dengan jelas apa itu kebaikan, keadilan
dan nilai. Perilaku berkarakter mendasarkan diri pada tindakan sadar subjek dalam
melaksanakan nilai. Untuk inilah, salah satu unsur penting dalam pendidikan karakter
karakter pribadinya.
Proses diseminasi nilai tidak hanya berlangsung di dalam kelas, melainkan bisa
Dalam merencanakan kurikulum perlu dilihat apakah telah terdapat nilai-nilai etis yang
(espoused values). Cara lain adalah dengan mengundang pembicara tambu dalam
sebuah seminar, diskusi, publikasi, dll, untuk secara khusus membahas nilai-nilai utama
yang dipilih sekolah dalam kerangka pendidikan karakter bagi para peserta didik.
b. Keteladanan
“Verba movent exempla trahunt”, ungkapan bahasa Latin ini berarti kata-kata
memang dapat menggerakkan orang, namun teladan itulah yang menarik hati. Untuk itu
pendidikan karakter merupakan tuntutan terutama bagi para pendidik sendiri. Sebab,
pengetahuan yang baik tentang nilai akan menjadi kredibel ketika gagasan teoretis
normatif itu ditemui oleh peserta didik dalam praksis kehidupan di sekolah.
Keteladanan menjadi salah satu hal klasik bagi berhasilnya pendidikan karakter.
guru sesungguhnya menjadi jiwa bagi pendidikan karakter itu sendiri. Konsistensi
dalam mengajarkan pendidikan karakter tidak sekadar melalui apa yang dikatakan
melalui pembelajaran di dalam kelas, melainkan nilai itu juga tampil dalam diri sang
13
guru,d alam kehidupannya yang nyata di luar kelas. Indikasi adanya keteladanan dalam
pendidikan karakter adalah apakah terdapat model peran dalam diri insane pendidik.
perilaku yang bisa diteladani oleh siswa sehingga apa yang mereka pahami tentang
nilai-nilai itu memang dekat dengan hidup mereka, dan mereka dapat menemukan
c. Menentukan prioritas
penting bagi realisasi atas visi lembaga pendidikan. Oleh karena itu, lembaga
pendidikan mesti menentukan standar atas karakter yang akan ditawarkan kepada
peserta didik. Untuk ini, setiap pihak yang terlibat perlu memahami secara jernih
apakah prioritas nilai yang ingin ditekankan dalam pendidikan karakter di lingkungan
standar yang diketahui dan dipahami oleh peserta didik, orang tua dan masyarakat.
d. Praksis prioritas
Unsur lain yang sangat penting bagi pendidikan karakter adalah verifikasi di
lapangan tentang karakter yang dituntutkan itu. verifikasi yang dimaksudkan antara lain
sanksi itu diterapkan secara transparan sehingga menjadi praksis kelembagaan. realisasi
e. Refleksi
14
Setelah tindakan dan praksis pendidikan itu terjadi, perlulah diadakan semacam
evaluasi, pendalaman atau refleksi, untuk melihat sejauh mana lembaga pendidikan
telah berhasil atau gagal dalam melaksanakan pendidikan karakter. Keberhasilan dan
kegagalan itu lantas menjadi sarana untuk meningkatkan kemajuan yang dasarnya
adalah pengalaman itu sendiri. Oleh karena itu perlu dilihat, apakah para siswa setelah
pribadinya tentang nilai-nilai tersebut dan membagikannya dengan teman lain? Apakah
ada diskusi untuk semakin memahami nilai pendidikan karakter yang hasil-hasilnya
karakter yang utuh dan menyeluruh bagi setiap kegiatan yang ada di dalam lingkungan
sekolah. Metode integral berarti terkait upaya pengembangan kualitas individu, desain
program yang sesuai dengan tanggung jawab individu, dan upaya membangun
lingkungan yang ramah atau kondusif bagi pertumbuhan individu sesuai dengan tahap
karakter utuh dan menyeluruh menyerambah seluruh fase kehidupan sekolah, mulai
dari siswa-siswa masuk melalui gerbang sekolah, kantin, aula, ruang kelas,
perpustakaan sampai mereka kembali melalui gerbang yang sama untuk pulang ke
rumah.
b. Prioritas nilai dan keutamaan (core values)
15
Lembaga pendidikan mesti menentukan prioritas nilai atau keutamaan apa yang
akan diraih. Prioritas nilai dan keutamaan ini menjadi dasar penting bagi pertumbuhan
individu agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang baik. Nilai-nilai yang diprioritaskan
itu dijunjung tinggi, disepakati bersama, dihormati, dan diteladankan oleh para pendidik
dan orang-orang lain dalam perkataan dan perbuatan. Dengan demikian, diharapkan
para siswa dapat menangkap bahwa nilai-nilai tersebut sungguh merupakan nilai-nilai
bersama yang ingin diperjuangkan oleh seluruh komunitas sekolah. Dalam setiap
dimensi pengolahan diri manusia secara integral, yakni meliputi olah pikir, olah hati,
dan olahraga. Olah pikir berarti mengajarkan individu untuk dapat memahami nilai-
nilai dan keutamaan secara benar. Individu mengetahui mengapa ia melakukan sebuah
tindakan dan mengapa tindakan yang dilakukan itu dapat dibenarkan secara moral
(moral reasoning). Olah hati berarti upaya menanamkan pemahaman yang benar dalam
diri individu sampai pemahaman tersebut sungguh menjadi bagian berharga dalam
dirinya. Dengan kata lain, individu menghidupi dan mencintai nilai-nilai yang telah
olah raga merupakan pembadanan dari praksis nilai, yaitu merawat tubuh diri dan
orang lain. Penghargaan atas tubuh menjadi tanda dihargainya harkat dan martabat
manusia. Olah raga mengindikasikan bahwa tindakan bermoral itu hanya dapat
16
diverifikasi dalam praksis dan tindakan, di mana fungsi organis tubuh berperan penting.
pemahaman dan penghargaan atas tubuh secara benar membuat individu mampu juga
Definisi tugas yang jelas yang jelas dari masing-masing individu, proses pengaturan
relasi antar individu dalam kerangka organisasi perlu diperjelas, sehingga masing-
cakupan tanggung jawab mereka secara spesifik dan khas. Sekolah yang memiliki
manajemen yang baik mampu merealisasikan visi dan misi lembaga ke dalam praksis,
berkelanjutan.
pendidikan lain. Dalam hal ini, lembaga pendidikan sebagai sebuah pelaku bagi
pengembangan pendidikan tidak dapat berdiri sendiri, atau hidup bagi dirinya sendiri.
Kehadirannya yang bermutu dan bai semestinya juga dapat menjadi contoh dan model
17
Pendidikan karakter mesti berciri eksplisit, direncanakan (intentional), dan
pendekatan, dan bentuk praksisnya di dalam atau di luar kelas, disampaikan secara
transparan kepada seluruh pemangku kepentingan sekolah, yakni siswa, guru, orang
intense, niat, kehendak dan kemauan untuk secara sengaja mengembangkan pendidikan
karakter di sekolah. Guru, tim pendidikan karakter, penanggung jawab setiap kelas,
serta anggota komunitas lain terlibat dalam desain dan perencanaan strategis
berdampak luas dalam masyarakat. Untuk itu, kerja sama intensif dan saling
mengandaikan adanya pembenahan praksis di lapangan bukan memulai dari awal atau
menunggu program pendidikan matang. Caranya adalah dengan mulai membuat skala
motivasi moral. Artinya, sifat itu mencakup bagaimana menumbuhkan dalam diri
18
menghidupi dan menghayati nilai-nilai moral inti yang diperjuangkan. Dengan
mengembangkan motivasi dalam diri individu, program tidak sekedar dipaksakan dari
atas. Sebaliknya, ada rasa memiliki, rasa satu panggilan untuk menghayati dan
hidupnya di dunia.
menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral inti dalam hidup mereka. Untuk
mendukung tumbuhnya motivasi internal yang muncul dari dalam, setiap tindakan
bermoral baik mesti memperoleh penghargaan secara natural, pujian yang wajar. Upah
perilaku bermoral yang baik adalah pujian tulus dari komunitas, kesadaran, dan
kebanggaan diri bahwa individu tersebut menjadi contoh bagi integritas moral seorang
pribadi. Rasa hormat dan pujian ini dilakukan secara wajar dan normal dalam setiap sisi
kehidupan sekolah.
h. Pengembangan professional
professional para pelakunya sebagai bagian penting. Tujuannya adalah pengayaan serta
peningkatan kemampuan agar guru dapat menjadi pendidik karakter yang efektif,
seperti lokakarya tentang cara mengajar yang baik dan efektif, teknik berkomunikasi
dengan orang lain, manajemen kelas, dan lain sebagainya, yang dirasakan relevan bagi
keterampilan agar individu yang terlibat dalam dunia pendidikan bertumbuh secara
19
pendidikan karakter menyangkut kepentingan seluruh anggota komunitas, terutama
believed) mesti muncul pada hal-hal yang esensial: nilai-nilai dan keutamaan, prinsip-
prinsip pendidkan karakter, dan nilai-nilai yang diprioritaskan dan ingin dikembangkan
perubahan masyarakat yang lebih luas. Integrasi dan kerja sama antara sekolah dengan
melibatkan komunitas yang lebih besar agar terlibat dalam pengembangan dan promosi
pendidikan karakter di lingkungan sekolah. Komunitas yang lebih luas itu antara lain
pemerintah.
mempergunakan berbagai macam materi pembelajaran yang ada dalam kurikulum demi
pendalaman materi, baik tematis maupun non-tematis. Guru memiliki tanggung jawab
dalam merancang dan mengembangkan pendidikan karakter dalam konteks kelas, yaitu
pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif, menghargai perbedaan dalam belajar,
20
dan perhatian pada pertumbuhan individu, diharapkan karakter siswa dapat
berkembang.
harapan yang jelas tentang apa yang dapat mereka lakukan. Tujuannya agar para siswa
dalam olah raga, kesediaan untuk membantu orang lain, dan pelayanan pada sekolah
ataupun komunitas. Metode ini akan semakin efektif ketika lembaga pendidikan
mampu memberikan pada siswa berbagai macam kesempatan dan kemungkinan untuk
melaksanakan nilai-nilai itu dalam setiap kebijakan dan program yang dibuat oleh
kepemimpinan kepala sekolah tidaklah berdiri sendiri. Ada berbagai macam jenis
kepemimpinan yang bisa terlibat bagi pengembangan pendidikan karakter. Untuk itu
berbagi tanggung jawab mesti ditumbuhkan. Semakin banyak pihak yang terlibat dalam
macam pemangku kepentingan sekolah merupakan hal yang tidak dapat diabaikan.
21
Agar pendidikan karakter dapat berlangsung lestari dan menjadi semakin baik,
program yang didesain dan dibuat, serta memiliki sistem evaluasi individual secara
berkelanjutan utnuk melihat sejauh mana setiap individu sungguh telah bertumbuh dan
program untuk melihat keberhasilan program pendidikan karakter sesuai dengan visi-
misi yang ingin dicapai. Oleh karena itu, harus ada sistem evaluasi kualitatif dan
kuantitatif utnuk menilai sejauh mana program pendidikan karakter itu berhasil
diterapkan.
membantu mereka untuk semakin termotivasi dalam membentuk diri sebagai pelajar
Pendidikan karakter yang efektif dan utuh menyertakan tiga basis desain dalam
pemrogramannya. Tiga basis yang dimaksud adalah basis kelas, basis kultur sekolah
dan basis komunitas. Berikut intisari desain pendidikan karakter menurut Koesoema
(2012:105-153).
Kelas yang dimaksud bukan terutama bangunan fisik, melainkan lebih pada
corak relasional yang terjadi antara guru dan murid dalam proses pendidikan. Untuk itu
22
pendidikan karakter berbasis kelas membahas lebih tentang bagaimana lembaga
pendidikan dapat memaksimalkan corak relasional yang terjadi dalam kelas agar
jawab.
Desain kurikulum pendidikan karakter berbasis kelas terjadi melalui dua ranah
terkait secara langsung dengan tindakan pembelajaran dan pengajaran di dalam kelas,
a. Ranah Instruksional
terjadi melalui dua cara, yaitu bersifat pengajaran tematis dan non-tematis. Pertama,
Pendidik memilih satu tema tertentu untuk dibahas bersama. Sekolah mengalokasikan
tradisional, dialogis, diskusi kelompok, maupun pada pembuatan proyek bersama. Sifat
pendidikan karakter berbasis kelas instruksional tematis ini adalah parsial selektif.
Artinya, program pendidikan karakter yang dilaksanakan sungguh membidik satu tema
khusus atau memilih tema tertentu tentang nilai yang dipilih dan akan dibahas dalam
pendidikan karakter.
23
mempergunakan momen-momen pembelajaran yang sifatnya terintegrasi dalam
kurikulum, proses pembelajaran dan terkait secara inheren dalam materi pembelajaran.
Dalam proses pengajarannya tidak ditentukan ada tema khusus yang mau dibahas,
tetapi terintegrasi dengan materi yang telah ada. Selain itu, tidak ada alokasi waktu
khusus untuk melatih dan mengajarkan pembentukan karkater karena dengan model ini
pembentukan karakter yang dilakukan terintegrasi melalui kurikulum yang ada dalam
setiap mata pelajaran. Guru mempergunakan proses belajar mengajar sesuai dengan
mata pelajaran yang diampunya untuk menanamkan nilai-nilai tertentu. Sebagai contoh
nilai yang bisa dibentuk, diajarkan dalam proses pembelajaran mesti disebut secara
eksplisit.
b. Ranah Non-Instruksional
penciptaan lingkungan belajar yang nyaman dan kondusif bagi pembentukkan atau
pembelajaran yang mendukung pengajaran dan meningkatkan prestasi siswa. Guru dan
siswa berhadapan dan berdialog secara langsung sebagai pribadi. Secara bersama-sama
mereka membentuk komunitas belajar. Perjumpaan dalam kelas terjadi secara terencana
dan teratur melalui penjadwalan mata pelajaran yang diorganisir dan diarahkan agar
24
Kedua, pendampingan perwalian. Momen pembinaan wali kelas sesungguhnya
menjadi tempat penting bagi penanaman nilai dan pembentukan karakter siswa. Siswa
di ajak berkumpul bersama melalui berbagai macam cara. Di dalamnya warga kelas
dalam program perwalian kelas antara lain, saling menghormati, tanggung jawab
mengajak siswa menentukan tujuan kelas secara bersama beserta cara-cara praktis
kelas adalah membangun kesepakatan bersama kelas demi kemajuan dan keberhasilan
hubungan timbale balik satu sama lain berdasarkan kepercayaan (trust), rasa hormat
(respect), dan saling menumbuhkan dan merawat (caring). Kelas yang baik memiliki
aturan bersama yang dipahami oleh setiap anggota komunitas kelas sehingga proses
setiap anggota kelas sangatlah diperlukan. Kesepakatan kelas mesti dipahami, disetujui
25
- Mempergunakan metode pembelajaran melalui kerja sama (collaborative
learning).
- Partisipasi komunitas kelas dalam pembelajaran.
- Penciptaan kelas sebagai komunitas moral.
- Penegakkan disiplin moral.
- Penciptaan lingkungan kelas yang demokratis.
- Membangun sebuah ‘rasa tanggung jawab bagi pembentukan diri’.
- Pengelolaan konflik moral melalui pengajaran.
- Solusi konflik secara adil dan tanpa kekerasan.
Dalam konteks pendidikan, kultur sekolah merupakan sebuah pola perilaku dan
cara bertindak yang telah terbentuk secara otomatis menjadi bagian yang hidup dalam
sebuah komunitas pendidikan. Dasar pola perilaku dan cara bertidaknya adalah norma
sosial, peraturan sekolah, dan kebijakan pendidikan di tingkat lokal. Oleh karena itu
yang lebih efektif memengaruhi pola perilaku dan cara berpikir seluruh anggota
komunitas sekolah. Kultur sekolah berjiwa pendidikan karakter terbentuk ketika dalam
merancang sebuah program, setiap individu dapat bekerja sama satu sama lain
idealisme lembaga pendidikan, yakni visi dan misi, dengan berbagai macam struktur
dalam dunia pendidikan dapat menjadi titik temu. Momen pendidikan ini dapat bersifat
struktural, polisional, dan eventual. Momen pendidikan yang struktural adalah peristiwa
yang berkaitan erat dengan proses regulasi dan administrasi sekolah. Momen struktural
26
Momen pendidikan yang bersifat polisional adalah kebijakan pendidikan on the
spot yang dilaksanakan secara rutin dan sifatnya tradisional. Kebijakan yang bersifat
rutin adalah berbagai keputusan dan tindakan yang diambil dalam kerangka
rutin dalam rangka pengembangan pendidikan yang senantiasa berulang setiap tahun,
seperti rapat-rapat kerja, pertemuan orang tua murid, penerimaan rapor, dll.
pendidikan yang terjadi secara khas dan muncul karena terjadinya peristiwa tertentu
yang merupakan tanggapan nyata sekolah atas peristiwa di luar lembaga pendidikan,
dan memengaruhi kinerja lembaga pendidikan. Momen pendidikan eventual ini tidak
dapat diprediksi, namun membutuhkan keputusan dan tanggapan langsung dari pihak
dimaksud adalah berbuat baik, jangan merusak, setiap individu berharga di dalam
dirinya, dan prinsip moral dasar tersebut mesti senantiasa diingat oleh para pendidik
otoritas yang dimiliki guru. Intinya adalah bagaimana setiap individu, terutama guru,
menghayati tanggung jawab moral yang diembannya secara akuntabel dan transparan
27
dalam kebersamaan dengan komunitas. Kehidupan bersama adalah tanggung jawab
kesediaan untuk saling mendengarkan dan menghargai perbedaan adalah ciri medasar
sebuah komunitas demokratis. Beberapa momen yang dapat menjadi praksis strategis
ketua OSIS, dan kepengurusan lain atau evaluasi atas kehidupan bersama.
kelulusan.
- Apresiasi dan pengakuan akan prestasi orang lain.
- Masa orientasi sekolah (MOS).
- Pemilihan para pengurus OSIS, Dewan Kelas, Presidium.
- Kebijakan pendidikan.
- Kolegialitas antarguru.
- Pengembangan professional guru.
- Merawat tradisi sekolah.
- Asosiasi guru-orang tua.
Lembaga pendidikan tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki ikatan yang erat
dengan komunitas-komunitas lain, baik yang terlibat secara langsung atau tidak
dll.
- Komunitas keluarga: orang tua, wali siswa, komite sekolah.
- Komunitas masyarakat: LSM, pengusaha, berbagai perkumpulan sosial, dll.
- Komunitas politik: pejabat birokrasi negara bidang pendidikan, mulai dari
28
Pendidikan karakter berbasis komunitas berusaha merancang berbagai macam
corak kerja sama dan keterlibatan antara lembaga pendidikan dengan komunitas-
semakin bermakna dan bermutu, mampu menjawab aspirasi setiap anggota komunitas
tentang harapan mereka, fungsi, dan peran lembaga pendidikan dalam kehidupan
judul “Manajemen Pendidikan Karakter Siswa Berasrama: Studi Kasus Pada SMA
Lokon St. Nikolaus Tomohon” oleh Riny Cintya Kumendong, Program Pascasarjana
di SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon dibuat oleh masing-masing unit dan sub-unit
yang ada di lembaga pendidikan Lokon dan kemudian dirumuskan bersama dalam rapat
telah dirumuskan sebelumnya ke dalam kegiatan konkret sesuai dengan waktu yang
ditentukan. Pendidikan karakter merupakan bagian dari kurikulum yang diatur dan
dilakukan dengan menggunakan catatan data-data yang secara valid dibuat berdasarkan
29
karakter siswa diambil dari catatan-catatan yang dibuat oleh pamong, pembina asrama
indikator-indikator yang dijabarkan dari tiga nilai utama, yakni Veritas, Virtus, Fides
(Kebenaran, Kebajikan, Iman). Nilai pendidikan karakter dibuat dalam bentuk penilaian
pada konsep dasar manajemen dan fungsi-fungsi manajemen, serta konsep pendidikan
pendidikan formal seperti sekolah yang merupakan inti dari objek penelitian ini.
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode dan Alasan Penggunaan Metode
Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif, yakni penelitiannya
dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting) (Sugiyono, 2011:14). Alasan
secara lebih mendalam tentang manajemen pendidikan karakter pada SMK N 1 Lebong
Utara
2019).
C. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu sumber
data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah pernyataan dan
tindakan dari orang-orang yang diamati atau yang diwawancarai yang dicatat melalui
catatan tertulis atau melalui perekaman dan pengambilan foto. Selebihnya adalah
sumber data sekunder seperti tulisan/dokumen, foto dan statistik (Moleong: 2007:157).
Data primer diperoleh dari informan yaitu kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru,
danperwakilan siswa. Data sekunder bersumber dari dokumen-dokumen resmi yang ada
berupa catatan, gambar, foto serta bahan lain yang dapat mendukung penelitian ini.
31
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan adalah trianggulasi atau
gabungan dari tiga teknik sekaligus, yaitu observasi partisipatif, wawancara mendalam
dan studi dokumentasi. Calon peneliti akan menggunakan teknik pengumpulan data
yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Observasi
secara terus-menerus sampai datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data
mengikuti flow model yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (Sugiyono,
Data
collection
Data Display
bulan September 2018 sampai dengan Januari 2019, terhitung sejak penulisan Rencana
33
DAFTAR PUSTAKA
Moleong, Lexy J., 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Sule, Ernie Tisnawati dan Saefullah, Kurniawan, 2010. Pengantar Manajemen. Jakarta:
Kencana.
34
Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, 2011.
Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Usman, Husaini, 2011. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara.
Tesis:
35