Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional pasal 3 dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa

yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan

untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis

serta bertanggung jawab. Sehingga nantinya mampu menjadi anak bangsa

yang membanggakan. Sebab anak bangsa merupakan bagian dari generasi

penerus yang menjadi salah satu sumber daya manusia yang merupakan

potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa.

Menurut Zubaidi sebagaimana di kutip oleh Maunah (2015: 92)

Pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama. Pertama, fungsi

pembentukan dan pengembangan potensi. Pendidikan karakter membentuk

dan mengembangkan potensi siswa agar berpikiran baik, berhati baik, dan

berperilaku sesuai dengan falsafah pancasila. Kedua, fungsi perbaikan dan

penguatan. Pendidikan karakter memperbaiki dan memperkuat peran

keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut

berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi warga


negara dan pembangunan bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, dan

sejahtera. Ketiga, fungsi penyaring. Pendidikan karakter memilah budaya

bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan

nilai-nilai budaya bangsa dan karakter bangsa yang bermartabat.

Menurut Puskurbuk sebagaimana di kutip oleh Dalimunthe (2015: 103)

nilai-nilai pendidikan karakter yang dikembangkan di Indonesia yaitu

bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional,

yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6)

kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat

kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13)

bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli

lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab. Penyelenggaraan

pendidikan karakter menjadi satu hal yang multlak dilakukan di jenjang

pendidikan manapun. Hal ini sangat beralasan karena pendidikan adalah

pondasi utama bagi tumbuh kembangnya generasi muda Indonesia.

Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 87 tahun 2017 tentang penguatan

pendidikan karakter (PPK) adalah program pendidikan di Sekolah bertujuan

untuk memperkuat karakter siswa melalui harmonisasi olah hati, olah rasa,

olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan

pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional

Revolusi Mental (GNRM). Pendidikan karakter ini harus diorientasikan untuk

menumbuh kembangkan potensi siswa secara menyeluruh dan terpadu.

Melalui keterpaduan olah hati, olah rasa, olah pikir dan olah raga maka siswa
akan dapat mengembangkan emosi dan kognisi secara maksimal.

Permasalahan pendidikan yang ditemukan di lapangan tersebut terjadi

karena belum tertanamnya nilai-nilai karakter di dalam diri setiap siswa.

Apabila nilai karakter sudah tertanam dalam diri siswa, maka siswa akan

memikirkan berbagai pertimbangan sebelum melakukan perbuatan yang

melanggar. Sesuai dengan pernyataan berikut bahwa perilaku yang

menyimpang tidak akan terjadi apabila sudah tertanam nilai moral dan

karakter yang positif pada masing-masing siswa (Hapsari, 2019).

Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah mengimplementasikan

pendidikan karakter. Sesuai dengan pernyataan berikut bahwa pendidikan

yang dibutuhkan saat ini adalah pendidikan yang menyeimbangkan seluruh

aspek dari aspek pengetahuan, fisik, sosial-emosi, kreativitas dan spiritual

(Munjiatun, 2018). Melalui pendidikan karakter, maka dapat membentuk

individu yang menyempurnakan diri secara terus menerus dan melatih

kemampuan diri demi menjadi pribadi yang lebih baik (Hakim, dkk, 2019).

Pendidikan karakter juga baik diberikan pada saat seseorang masih kecil,

karena akan membentuk generasi masyarakat Indonesia menjadi insan yang

berkarakter (Nur, 2017). Disimpulkan bahwa pendidikan karakter penting

diberikan pada zaman sekarang dan diberikan kepada siswa sejak dini.

Melalui pendidikan karakter siswa akan terbiasa untuk berperilaku yang baik

dan memiliki moral yang baik sehingga menjadi masyarakat yang

bermartabat.

Pendidikan seharusnya berorientasi membangun karakter siswa yang


diperlukan dalam rangka mengembangkan dan menguatkan sifat-sifat mulia,

bertanggung jawab, disiplin, berbudi pekerti luhur, mandiri, namun melihat

krisis karakter yang terjadi membuktikan bahwa system pendidikan belum

membentuk sumber daya manusia yang diharapkan. Hal ini ditegaskan

Akmad Sudrajat (2010:5), kurang berhasilnya sistem pendidikan membentuk

sumber daya manusia dengan karakter yang tanggung jawab, berbudi pekerti

luhur, disiplin dan mandiri, terjadi di semua lembaga pendidikan baik negeri

maupun swasta. Lebih jauh dikatakan bahwa upaya nation and character

building yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia terkesan

tidak berjalan seperti yang diinginkan. Artinya sekolah belum

mengoptimalkan peran budaya sekolah untuk keberhasilan pendidikan

padahal budaya sekolah mempunyai peran penting dalam menumbuhkan

nation and character building sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa

Indonesia.

Sekolah pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat transfer of

knowledge belaka. Seperti yang dikemukakan Fraenkel bahwa sekolah

tidaklah semata-mata tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan

melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah sebagai lembaga pendidikan

seharusnya juga melaksanakan pembelajaran yang beroreintasi pada nilai

untuk membangun karakter siswa.

Pembentukan karakter siswa dapat dilakukan salah satunya melalui

pendekatan budaya sekolah sebagaimana yang menjadi grand design

pendidikan karakter karena karakter sebagai suatu “moral excellence” atau


akhlak dibangun di atas berbagai kebajikan (virtues) yang pada gilirannya

hanya memiliki makna ketika dilandasi nilia-nilai yang berlaku dalam budaya

(Kemendiknas, 2011). Karakter yang dimiliki siswa berdasarkan nilai-nilai,

keyakinan, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan bangsa

Indonesia maka pendidikan karakter melalui budaya sekolah diarahkan pada

upaya membentuk kepribadian siswa yang baik. Menurut Bagus Mustakim

(2011:95-96), pendekatan budaya sekolah adalah pengelolaan pendidikan

karakter. Artinya karakter siswa dapat dibentuk melalui budaya sekolah yang

kondusif. Budaya sekolah yang kondusif adalah keseluruhan latar fisik

lingkungan, suasana sekolah, rasa, sifat dan iklim sekolah yang secra

produktif mampu memberikan pengalaman baik bagi tumbuh kembangnya

kecakapan hidup siswa yang diharapkan. Pendidikan karakter dan pendidikan

kecakapan hidup siswa akan efektif bilamana disemaikan dalam budaya

sekolah.

Keberadaan budaya sekolah yang kondusif memiliki peran yang sangat

vital dan strategis bagi keberhasilan pendidikan karakter karena karakter

bukan dibentuk seperti ilmu pengetahuan, tetapi dibangun melalui contoh dan

teladan yang dilakukan oleh semua warga sekolah yang melibatkan dimensi

emosional dan sosial. Implementasi pendidikan karakter tidak sekedar dalam

bentuk “menitipkan” muatan-muatan karakter ke dalam keseluruhan atau

sebagian mata pelajaran tetapi pendidikan karakter akan efektif bilamana

dikembangkan melalui kegiatan praktik dalam kurikulum tersembunyi

(hidden curriculum) sekolah.


Pendidikan karakter melalui budaya sekolah yang dimiliki siswa

berdasarkan nilai-nilai pada hakikatnya akan membentuk anak pada sifat yang

lebih baik dan kearah yang positif. Suasana budaya sekolah yang diciptakan

untuk membawa dampak baik terhadap karakter siswa. Budaya sekolah

adalah kegiatan siswa berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru,

konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya, dan

antar anggota kelompok masyarakat sekolah. Interaksi internal kelompok dan

antar kelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama

yang berlaku di suatu sekolah. Tujuan dari budaya sekolah adalah untuk

membangun suasana sekolah yang kondusif melalui pengembangan

komunikasi dan interaksi yang sehat antara kepala sekolah dengan peserta

didik, pendidik, tenaga kependidikan, orang tua peserta didik, masyarakat dan

pemerintah. Budaya sekolah memegang peranan penting dalam penanaman

nilai pendidikan karakter di sekolah.

Proses implementasi pendidikan karakter dalam budaya sekolah

menjadi sangat penting dalam membentuk karakter siswa yang lebih kuat.

Proses tersebut menjadi lebih efektif apabila terimplementasi pada anak sejak

usia dini. Demikian halnya pada satuan pendidikan, bahwa penanaman nilai-

nilai karakter pada satuan pendidikan dasar seperti di sekolah-sekolah dasar

sangat mutlak dibutuhkan sebagai fondasi karakter siswa di masa yang akan

datang. Hal ini sangat mendukung tujuan dari pendidikan di sekolah dasar

dalam meletakkan dasar-dasar kecerdasan baik intelektual, sosial, emosional,

maupun spiritual serta pembentukan karakter guna mempersiapkan siswa


untuk mengikuti pendidikan pada jenjang yang lebih lanjut. Pendidikan

karakter melalui budaya sekolah bukan dibentuk melalui ilmu pengetahuan,

namun melalui contoh dan teladan yang dilakukan oleh seluruh warga

sekolah.

Budaya sekolah yang baik sangat mendukung keberhasilan dari

program pendidikan karakter, namun, tidak semua budaya sekolah

mendukung pencapaian pendidikan karakter yang maksimal. Budaya negatif

pada budaya sekolah juga menghambat pelaksanaan pendidikan karakter di

sekolah seperti banyaknya jam kosong, tidak taat dalam pelaksanaan tata

tertib, dan sebaginya. Hal ini menunjukkan bahwa budaya sekolah

mempunyai pengaruh besar terhadap proses implementasi pendidikan

karakter.

Dapat dimaknai bahwa pendidikan juga memiliki peran untuk menjadi

bagian dalam membentuk budaya sekolah yang positif. Oleh karena itu,

implementasi pendidikan karakter dalam budaya sekolah menjadi hal yang

mutlak dibutuhkan oleh sekolah untuk menciptakan budaya sekolah yang

kondusif dan memudahkan penanaman nilai-nilai karakter pada siswa Proses

tersebut menjadi lebih efektif apabila sudah diterapkan pada individu-

individu sejak usia dini. Demikian halnya pendidikan karakter di sekolah

dasar, karena sangat dibutuhkan sebagai fondasi karakter siswa di masa yang

akan datang nanti.

Nilai-nilai pendidikan karakter yang ada di SD Negeri Batu Putih telah

tertuang dalam visi misi sekolah yang mengutamakan pendidikan karakter


menjadi cermin dari upaya sekolah dalam menanamkan pendidikan karakter

sejak dini. Akan tetapi, hal ini bertolak belakang dengan kenyataan yang

peneliti temui di lapangan yang antara lain berupa perilaku siswa yang nakal,

kebiasaan menyontek, tidak jujur, memilih-milih dalam berteman, terlambat

datang kesekolah dan tidak mematuhi tata tertib sekolah.

Pra-research mengenai implementasi pendidikan karakter dalam

budaya sekolah telah dilakukan di salah satu SD Batu Putih Kabupaten

Jayapura. Berdasakan hasil pre-research menunjukkan bahwa SD Negeri

Batu Putih Kabupaten Jayapura berupaya mengembangkan pendidikan

karakter melalui aktivitas pembiasaan untuk siswa di lingkungan sekolah.

Salah satu pembiasaan yang dilakukan siswa SD Negeri Batu Putih kabupaten

Jayapura adalah melakukan Ibadah bersama juga pembiasaan yang dilakukan

tercantum kedalam nilai-nilai karakter dan budaya bangsa yaitu nilai religius.

Berdasarakan paparan di atas, sangat menarik untuk dilakukan

penelitian yang menelaah tentang pendidikan karakter dalam budaya sekolah

dasar, khususnya di SD Negeri Batu Putih. Melalui penelitian ini diharapkan

dapat memperoleh gambaran komprehensif mengenai implementasi

pendidikan karakter dalam budaya sekolah di SD Negeri Batu Putih.

1.2 Fokus Penelitian

Penelitian ini mengambil topik tentang pendidikan karakter dalam budaya

di sekolah dasar. Untuk memperoleh hasil penelitian yang terarah dan tepat

sesuai dengan tujuan penelitian yang diinginkan, maka dilakukan pembatasan

terhadap ruang lingkup penelitian. Penelitian tersebut difokuskan pada:

1. perencanaan pendidikan karakter dalam budaya sekolah,


2. pelaksanaan pendidikan karakter dalam budaya sekolah, dan

3. evaluasi pendidikan karakter dalam budaya sekolah.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan ruang lingkup dalam

penelitian ini dapat dirumuskan beberapa rumusan pertanyaan penelitian,

diantaranya yaitu:

1. Bagaimana perencanaan pendidikan karakter dalam kultur sekolah di

SD Negeri Batu Putih?

2. Bagaimana pelaksanaan pendidikan karakter dalam kultur sekolah di

SD Negeri Batu Putih?

3. Bagaimana evaluasi pendidikan karakter dalam kultur sekolah di SD

Negeri Batu Putih?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui perencanaan pendidikan karakter dalam budaya

sekolah di SD Negeri Batu Putih,

2. Untuk mengetahui pelaksanaan pendidikan karakter dalam budaya sekolah

di SD Negeri Batu Putih, dan

3. Untuk mengetahui evaluasi pendidikan karakter dalam budaya sekolah di

SD Negeri Batu Putih.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan memiliki beberapa manfaat, baik

manfaat teoritis maupun manfaat secara praktis kepada semua pihak yang
tekait:

1. Manfaat secara teoritis, diantaranya yaitu:

a. Memberikan sumber informasi kepada berbagai pihak tentang

implementasi pendidikan karakter dalam budaya sekolah yang

diterapkan di SD Negeri Batu Putih

b. Menambah khasanah pengetahuan mengenai implementasi pendidikan

karakter dalam budaya sekolah.

c. Memperkuat teori-teori tentang pendidikan karakter melalui hasil

penelitian yang rill di lapangan.

2. Hasil penelitian ini dirancang untuk memberikan manfaat secara praktis

kepada semua pihak dalam dunia pendidikan.

a. Bagi Sekolah

SD Negeri Batu Putih dapat merefleksikan hasil pelaksanaan

pendidikan karakter, khususnya pada budaya sekolah melalui hasil

penelitian ini. Selain itu juga dapat mengevaluasi pendidikan karakter

dalam budaya sekolah untuk lebih memantapkan lagi dalam

implementasinya. Implementasi di SD Negeri Batu Putih tersebut

diharapkan dapat menjadi motor penggerak berkembangnya pendidikan

karakter dalam budaya sekolah yang dapat diimplementasikan secara

praktis dalam budaya sekolah di Indonesia.

b. Bagi Pendidik

Memperoleh pengetahuan baru tentang implementasi

pendidikan karakter dalam budaya sekolah yang dapat dijadikan


refrensi penerapan kepada para peserta didiknya.

c. Bagi Peneliti

Memberikan pengalaman dan dari hasil penelitian ini

diharapkan mampu menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi

peneliti dan juga agar peneliti menyadari bahwa pembiasaan kegiatan

pendidikan karakter penting sekali untuk membentuk karakter siswa.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan adalah proses perubahan tingkah laku seseorang atau

sekelompok orang sebagai usaha yang bertujuan untuk mendewasakan diri

melalui pengajaran dan latihan, proses pengembangan, dan cara mendidik

(Raharjo, 2018). Sejalan dengan pendapat diatas, pendidikan adalah semua

aktivitas yang dilakukan secara sadar oleh guru dan siswa terhadap semua aspek

perkembangan seperti kepribadian, jasmani dan ruhani, dilaksanakan secara

formal, informal, dan nonformal yang berjalan terus menerus dengan tujuan untuk

mencapai kebahagiaan dan nilai yang tinggi (Kurniawan, 2013). Melalui

pendidikan diharapkan tidak hanya terjadi perubahan pengetahuan saja, melainkan

adanya perubahan tingkah laku. Adapun upaya untuk mencapai hal tersebut harus

ditempuh melalui proses pengajaran dan latihan, pengembangan keterampilan dll.

Pendidikan dapat dilaksanakan secara formal, informal dan nonformal. Selain itu

pendidikan juga bertujuan untuk menumbuhkan kepribadian yang baik, sehingga

dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan tujuan hidup. Pendidikan merupakan

proses hubungan timbal balik suatu kebudayaan ke dalam individu dan

masyarakat sehingga menjadi seseorang yang memiliki pengetahuan, sikap dan

keterampilan yang baik (Sari, Rachman, & Utari, 2015). Jadi dapat disimpulkan,

bahwa pendidikan merupakan proses interaksi antara guru dan siswa yang
bertujuan untuk menyiapkan siswa agar memiliki kepribadian yang baik sehingga

dapat menghadapi permasalahan di lingkungan dan dapat meningkatkan kualitas

kehidupan baik bagi pribadi maupun bagi masyarakat.

Pendidikan yang termasuk bermutu akan menghasilkan sumber daya

manusia yang dapat berkompetisi dan berkarakter (Asriningsih, Supardi, &

Wardani, 2015), maka dari itu terdapat dua hal penting yang harus diwujudkan

dari lembaga pendidikan yaitu mengembangkan kemampuan yang berkaitan

dengan pengetahuan yang bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki

kualitas akademik, dan membentuk sifat yang berkaitan dengan hati yang

bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia (Ani, 2016). Salah

satu cara untuk mewujudkanya dapat mengimplementasikan pendidikan karakter.

Istilah karakter dalam bahasa Inggris character, yang berasal dari bahasa Yunani,

character dari kata charasein yang berarti membuat tajam atau membuat dalam.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan,

akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Karakter

merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan YME,

diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam

pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma

agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat (Kurniawan, 2013).

Karakter merupakan sikap dan tingkah laku seseorang yang dapat dinilai

baik atau buruknya melalui kebiasaan yang dilakukan sehari-hari (Nurfirdaus &

Risnawati, 2019). Berdasarkan pengertian diatas, karakter berhubungan dengan

serangkaian sikap, perilaku, budi pekerti seseorang yang tertanam dalam dirinya
yang berawal dari pikiran, muncul sebuah keinginan, yang menghasilkan suatu

perbuatan, kemudian menjadi kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus dan

berulang-ulang. Karakter seseorang dapat terpancar karena dari hasil pola pikir

siswa, olah hati, olah rasa dan karsa.

Seseorang dikatakan memiliki karakter apabila perilakuny sesuai dengan

aturan yang berlaku. Misalnya apabila seseorang berperilaku baik seperti jujur,

disiplin, tanggung jawab maka seseorang itu dapat dikatakan memiliki karakter.

Sebaliknya apabila seseorang itu berperilaku tidak baik maka dapat dikatakan

orang tersebut tidak memiliki karakter. Karakter seseorang akan terlihat dari

perilaku yang ditunjukkan dalam kegiatan sehari-hari (Parwati, Tegeh, &

Mariawan, 2018).

Proses perkembangannya karakter seseorang dipengaruhi oleh dua faktor,

yaitu faktor lingkungan (nurture) dan faktor bawaan (nature) (Rosyad & Zuchdi,

2018). Faktor lingkungan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi karakter

seseorang yang berasal dari lingkungan eksternal. Misalnya pengaruh dari pola

asuh, pendidikan, media masa, status sosial ekonomi, agama dan lain-lain.

Seorang individu akan berkembang menjadi orang dewasa yang baik, mandiri,

cerdas, dan bertanggung jawab, apabila ia berada dalam lingkungan yang

mendukung perkembangan tersebut, sedangkan faktor bawaan (nature) merupakan

faktor yang dapat mempengaruhi karakter seseorang yang berasal dari keturunan.

Keturunan karakter ini dapat diturunkan dari orang tua melalui unsur gen kepada

anak-anaknya. Contohnya jika anak memiliki bakat baik, maka akan menjadi baik

dan begitu sebaliknya jika anak memiliki bakat jahat, maka ia akan menjadi jahat.
Pendidikan karakter adalah sebuah perjuangan dari setiap individu untuk

menghayati kebebasannya dalam relasi mereka dengan orang lain dan

lingkungannya, sehingga ia dapat semakin mengukuhkan dirinya sebagai pribadi

yang unik dan khas, serta memiliki integritas moral yang dapat dipertanggung

jawabkan (Koesoema, 2010). Selain itu pendidikan karakter adalah pendidikan

yang mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh

yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh Sekolah (Dharma,

Triatna, & Permana, 2013). Lebih lanjut pengembangan karakter bergantung pada

empat komponen yaitu memodelkan, menjelaskan, mendorong, dan memantau

(Dishon & Goodman, 2017).

Disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah proses penanaman nilai-

nilai karakter yang diberikan kepada siswa dengan cara pemodelan yang di

Sekolah dapat ditunjukkan oleh perilaku guru kepala sekolah dan semua warga

sekolah. Penjelasan dapat diberikan guru di kelas seperti perilaku yang baik yang

sesuai dengan nilai karakter, sehingga siswa dapat membedakan perilaku yang

baik dan kurang baik. Pembiasaan dapat diberikan guru seperti kegiatan berdoa

sebelum dan setelah belajar. Penguatan dapat dilakukan oleh guru secara terus

menerus sehingga siswa akan terbiasa untuk berperilaku yang baik dan

pengembangan perilaku sehingga menjadikan siswa yang memiliki moral yang

baik dan menjadi masyarakat yang bermartabat.

Pendidikan karakter apabila diibaratkan berupa pohon pendidikan yang

memiliki empat bagian yaitu akar, batang, cabang dan daun (Harsono & Hastuti,

2017). Akar merupakan landasan filosofis dalam melaksanakan pendidikan


karakter. Batang merupakan instruksi yang diberikan oleh dari pemerintah sebagai

penyelenggara pendidikan. Cabang merupakan pengaturan dalam mengelola

pendidikan karakter, pemberdayaan guru, dan unsur pendidikan lainnya. Daun

merupakan bentuk keterlibatan orang tua dan tokoh masyarakat dalam

pembelajaran. Maka dari itu untuk mewujudkan pendidikan karakter ini, perlu

adanya pembinaan bagi guru kemudian membina karakter siswa dan membina

karakter di Sekolah (Lavy, 2019).

Terdapat beberapa tahap untuk mewujudkan pendidikan karakter yaitu tahap

pengetahuan (knowing), kemudian berbuat (acting), menuju kebiasaan (habit)

(Anshori, 2014; Sutarmi, Raharjo, & Pramono, 2016). Pada tahap pengetahuan,

guru dapat memberikan pengetahuan terlebih dahulu mengenai pentingnya dan

manfaat pendidikan karakter. Selanjutnya tahap berbuat, pada tahap ini guru dan

seluruh warga sekolah dapat memberikan contoh berperilaku yang sesuai dengan

nilai-nilai karakter agar siswa dapat melihat contoh secara nyata. Misalnya

mencontohkan dalam berpakaian yang sesuai dengan aturan yang berlaku, datang

tepat waktu dan berperilaku sesuai dengan tata tertib yang berlaku di Sekolah.

Setelah memberikan contoh, maka selanjutnya harus ada pembiasaan. Pembiasaan

ini harus dilaksanakan secara terus menerus, dengan cara itu diharapkan karakter

siswa akan tertanam dalam diri masing-masing siswa. Terdapat beberapa contoh

pembiasaan yang dapat dilakukan untuk menerapkan pendidikan karakter.

Pendidikan karakter dapat diajarkan melalui pembiasaan di Sekolah, misalnya

seperti sebelum memasuki ruang kelas, menyapa dan mencium tangan guru dan

semua orang yang berada di lingkungan Sekolah, berperilaku dan berpakaian


sederhana (Oktarina, Widiyanto, & Soekardi, 2015).

Pendidikan karakter akan tercapai dilaksanakan apabila semua orang yang

di berada di lingkungan Sekolah itu terlibat. Misalnya guru, kepala sekolah,

pegawai tata usaha, orang tua, komite sekolah, dan masyarakat. Selain itu juga

termasuk juga komponen-komponen pendidikan seperti kurikulum, sarana pra-

sarana, manajemen sekolah, pembelajaran dan evaluasi di desain secara

terintegrasi dan saling mendukung (Anzar, 2018; Dianna, 2016; Khodijah, 2017;

Suharni, 2018; Sulfemi, 2018; Suriansyah & Aslamiah, 2015). Apabila semua

orang terlibat dalam menanamkan nilai-nilai karakter, maka pendidikan karakter

akan lebih mudah tercapai, karena siswa akan lebih mudah menerapkan nilai-nilai

karakter dalam kehidupan sehari-hari di Sekolah.

Pendidikan karakter perlu diberikan kepada siswa di Sekolah Dasar, karena

melalui pendidikan karakter siswa akan mengenal beragam sifat siswa yang lain,

maka dengan memahami perbedaan karakter itu akan membuat siswa menjadi

belajar mengenai pengalaman hidup, misalnya dapat menghargai perbedaan.

Apalagi pada saat mereka lulus, siswa akan menemui teman yang lebih banyak

dan perbedaan yang semakin kompleks, maka pendidikan karakter berperan

semakin penting (Hudd, 2010).

Sejalan dengan pendapat di atas, bahwa pendidikan karakter penting

diajarkan kepada siswa di Sekolah Dasar karena pendidikan karakter berperan

sebagai pembangunan identitas anak-anak dan remaja dan dapat menjadi sarana

yang relevan untuk pendidikan dan sosialisasi kaum muda. Maka apabila

pendidikan karakter ini diterapkan sejak di Sekolah Dasar dapat memiliki efek
yang positif bagi siswa, terutama dalam pembentukan perilaku siswa (Pattaro,

2016). Selain itu, dapat menyelematkan dari dampak negatif akibat adanya

perkembangan zaman yang semakin maju (Sugiyono, dkk, 2017). Lebih lanjut

pendidikan karakter juga dapat meningkatkan akademik dan perilaku yang baik di

Sekolah (Jeynes, 2017).

Karakter bangsa juga dibutuhkan untuk membangun peradaban. Karakter

bangsa merupakan dasar yang dibutuhkan untuk membangun peradaban tingkat

tinggi. Apabila seseorang itu memiliki nilai karakter yang baik seperti jujur,

mandiri, bekerja sebagai kelompok, mengikuti aturan, dapat dipercaya, kuat dan

memiliki etos kerja yang tinggi, maka akan menghasilkan sistem kehidupan sosial

dan terorganisir dengan baik, serta dapat membantu berkontribusi secara positif

kepada masyarakat karena sudah menjadi orang baik dan warga Negara yang

bertanggung jawab (Yulianti, dkk, 2016).

2.1.2 Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk bangsa yang tangguh,

kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa

patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang

semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan

Pancasila (Daryanto & Darmiatun, 2013). Terlihat bahwa harapan kepada siswa

setelah diberikan pendidikan karakter dapat menghasilkan siswa yang memiliki

pikiran yang baik, berhati baik, dan berperilaku yang baik secara agama, bangsa

maupun negara. Apabila karakter sudah tertanam dalam diri masing-masing siswa

maka karakter ini akan membentuk kepribadian yang baik juga.


Terdapat beberapa fungsi pendidikan karakter yaitu:

1. Mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan

berperilaku baik, maksudnya dengan adanya pendidikan karakter di Sekolah

maka diharapkan siswa memiliki keseimbangan antara aspek di bidang

akademik saja, melainkan sikap yang dapat membentuk suatu kepribadian yang

baik juga.

2. Memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur, maksudnya

karena Indonesia ini merupakan negara yang beragam suku bangsa dan budaya,

maka dengan adanya pendidikan karakter siswa diharapkan menjadi lebih bisa

menghargai keragaman bangsa dan negara ini. Dengan begitu meskipun

berbeda suku bangsa, maka akan muncul sikap toleransi, sehingga dapat

menghargai perbedaan itu dan tidak menimbulkan perpecahan satu sama lain.

3. Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia,

maksudnya pendidikan karakter ini akan menghasilkan pribadi yang berakhlak

mulia, kompetensi akademik yang utuh, dan memilliki kepribadian yang sesuai

norma dan budaya bangsa Indonesia. Maka dengan begitu masyarakat

Indonesia akan dapat meningkatkan peradaban bangsa dalam pergaulan dunia

(Daryanto & Darmiatun, 2013).

2.1.3 Nilai-nilai Pendidikan Karakter

Nilai-nilai pendidikan karakter di Indonesia berasal dari empat sumber,

yaitu agama, Pancasila, budaya, dan tujuan Pendidikan Nasional (Kurniawan,

2013). Pertama, agama. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragama.

Terdapat enam jenis agama yang ada di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Kristen
Protestan, Hindu Budha, dan Konghucu. Maka dari itu, kehidupan masyarakat

Indonesia di dasari pada nilai-nilai dasar dari agama.

Kedua, Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan

nilai yang mengatur untuk menjadi warga negara Indonesia yang baik.

Menjadikan warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan

nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sebagai warga negara.

Ketiga, budaya. Manusia merupakan makhluk sosial, dimana makhluk sosial itu

hidup bermasyarakat. Apabila terdapat masyarakat maka akan hadirlah budaya

yang diakui oleh masyarakat tersebut. Nilai budaya ini menjadi sumber nilai

dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Keempat, tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional memuat

berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Sehingga

menjadi sumber paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan

karakter.

Berdasarkan keempat sumber di atas, maka teridentifikasi 18 nilai

pendidikan karakter. Nilai-nilai pendidikan karakter disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2. 1 Nilai-nilai Pendidikan Karakter

No Nilai Deskripsi
1 Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran yang dianutnya, toleransi
terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan
hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2 Jujur Perilaku yang berdasarkan pada upaya menjadikan
dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya
dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
No Nilai Deskripsi
3 Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan
agama, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang
lain yang berbeda dari dirinya.
4 Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan
patuh pada berbagai peraturan.
5 Kerja Keras Prilaku yang menunjukkan upaya sungguh-
sungguh dalam mengatasi hambatan belajar dan
tugas serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-
baiknya.
6 Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu
yang telah dimiliki.
7 Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung
pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-
tugasnya.
8 Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang
menilai sesama hak dan kewajiban dirinya dan
orang lain.
9 Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari
sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan didengar.
10 Semangat Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
Kebangsaan menempatkan kepentingan bangsa dan Negara
diatas kepentingan peribadi dan kelompoknya.
11 Cinta Tanah Air Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan, fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik bangsa.
12 Menghargai Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
No Nilai Deskripsi
Prestasi menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
masyarakat serta mengajui dan menghormati
keberhasilan orang lain.
13 Barsahabat/ Tindakan yang memperlihatkan rasa senang
Komunikatif berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang
lain.
14 Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan
orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran
dirinya.
15 Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikan
kepada dirinya
16 Peduli Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
Lingkungan mencegah kerusakan pada lingkungan alam
sekitarnya, dan mengembangan upaya-upaya
untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah
terjadi.
17 Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan pada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan.
18 Tanggung Jawab Sikap dan tindakan seseorang untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia
lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial, dan budaya) Negara dan
Tuhan Yang Maha Esa.
Sumber : (Kurniawan, 2013)
Selain penjelasan yang disampaikan diatas, berikut merupakan penjelasan

lain mengenai nilai-nilai karakter:

1. Nilai religius

Nilai karakter religius bahwa sikap religius ditunjukkan dengan perilaku

mengikuti aturan dalam melaksanakan perintah agama yang dianutnya,

menghargai terhadap ibadah agama yang lain dan hidup dengan akur bersama

dengan pemeluk agama lain yang berbeda (Dewi, dkk, 2019). Adapun tujuan dari

karakter religius adalah mempersiapkan seseorang untuk dapat menjalani perintah

yang diajarkan agama dan menjauhi segala hal yang dilarang oleh ajaran agama.

Selain itu juga mempersiapkan untuk dapat menjalin interaksi kepada sesama

manusia, baik dengan yang sesama satu agama maupun dengan yang berbeda

agama. Maka dari itu akan terjalin hubungan secara vertikal maupun horizontal,

yaitu hubungan dengan pencipta dan hubungan dengan sesama makhluk ciptaan-

Nya (Sayska, 2017).

Pernyataan di atas diperkuat dengan pernyataan lain bahwa yang menjadi

fokus untuk mengembangkan karakter religius, yaitu ajaran dasar agama harus

benar-benar ditanamkan dimulai dari keimanan, ritual keagamaan dan juga moral

sehingga tidak ada lagi perilaku yang menyimpang, pendidikan agama harus

benar-benar diajarkan kepada siswa seperti berperilaku yang sesuai dengan ajaran

agama sehingga karakter akan terbentuk oleh sendirinya dan adanya dukungan

dari semua unsur yang terlibat di Sekolah mulai dari visi misi, tujuan Sekolah,

program Sekolah, sarana dan prasarana, guru dan seluruh unsur yang berkaitan

dengan Sekolah (Marzuki, 2011).


2. Nilai jujur

Nilai jujur merupakan kemampuan seseorang dalam menyampaikan fakta-

fakta dan keyakinan sebagaimana adanya (Paimun & Masruri, 2014). Diperkuat

dengan pernyataan lain bahwa sikap jujur ini terlihat pada perilaku dalam

kehidupan sehari-hari baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain, baik

dalam berbicara, berperilaku dan lain sebagainya (Purwanti, 2016).

Namun karakter jujur masih belum tampak semuanya pada diri siswa. Hal

tersebut dikarenakan beberapa faktor, sesuai dengan pernyataan yang menjelaskan

bahwa nilai kejujuran belum teraktualisasi dengan baik karena faktor negatif dari

lingkungan sosial dan media masa (Rosyad & Zuchdi, 2018). Faktor negatif yang

berasal dari lingkungan sosial ini misalnya guru yang tidak mau menerima usulan

siswa, teman sekelas yang tidak mendukung sehingga siswa yang bersangkutan

takut untuk mengeluarkan pendapat karena takut disalahkan.

3. Nilai Toleransi

Nilai toleransi dapat ditunjukkan siswa dalam kehidupan sehari-hari di

Sekolah pada saat pembelajaran berlangsung yang tidak mempermasalahkan

adanya perbedaan, sikap saling menghargai. Hal tersebut sesuai dengan tujuan

dari ditanamkannya nilai toleransi yaitu supaya siswa memiliki pengetahuan dan

kesadaran sebagai individu yang memiliki peran untuk menciptakan perubahan

dan saling menghargai satu sama lain. Nilai toleransi dapat diimplementasikan di

kehidupan sehari-hari di Sekolah seperti kegiatan belajar mengajar yang bertujuan

untuk melatih dan membiasakan siswa agar perilakunya baik (Anderson & Putri,

2017). Namun pada kenyaatannya masih ditemukan beberapa siswa yang belum
menunjukkan sikap toleransi karena disebabkan beberapa faktor, sesuai dengan

pernyataan berikut bahwa siswa memiliki toleransi yang kurang baik dalam proses

pembelajaran yang berlangsung, disebabkan adanya faktor dari diri siswa dan

tercermin di sekolah. Siswa belum semua mengerti tentang nilai toleransi,

sehingga guru menerapkan nilai toleransi kepada siswa membutuhkan waktu yang

cukup lama (Anderson & Putri, 2017).

4. Nilai Disiplin

Disiplin merupakan suatu sarana untuk membentuk kepribadian yang tertib

dalam melakukan sesuatu, baik dalam hal waktu saat melakukan kegiatan dan

lain-lain (Pratiwi, 2020). Sikap disiplin ditunjukkan dengan beberapa unsur

seperti pertama adanya pemahaman mengenai peraturan, perilaku, norma, kreteria

dan standar sehingga menumbuhkan pengertian yang mendalam. Kedua sikap taat

dan tertib sebagai hasil dan pengembangan dari latihan, pengendalian fikiran dan

pengendalian watak. Ketiga sikap kelakuan yang menunjukkan kesungguhan hati

untuk menaati segala hal dengan taat dan tertib (Raikhan, 2018).

Lebih lanjut pernyataan lain menyatakan bahwa kedisiplinan tidak dapat

terlepas dari aturan, yang terdiri dari aturan kelas dan Sekolah. Kedua aturan

tersebut sama-sama memiliki peran yang cukup penting agar disiplin dapat

tercapai dalam suatu Sekolah. Adanya kedua aturan tersebut juga, siswa dapat

mengetahui dengan jelas apa saja yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan,

konsekuensi atau hukuman apabila siswa melanggar aturan tersebut (Annisa,

2018; Wuryandani Wuri, Bunyamin Maftuh, & Dasim, 2014). Terdapat beberapa

faktor yang dapat berpengaruh pada pembentukan disiplin individu, seperti yang
pertama teladan adalah perbuatan yang dapat memiliki pengaruh terhadap karakter

siswa, sehingga faktor teladan dalam disiplin sangat penting bagi disiplin siswa.

Faktor kedua lingkungan berdisiplin apabila lingkungan keberadaan siswa itu

menerapkan disiplin maka seseorang akan terbawa oleh lingkungan tersebut.

Faktor ketiga latihan berdisiplin, disiplin harus dilakukan secara berulang-ulang

sehingga siswa akan terbiasa dan dapat membentuk karakter disiplin (Raikhan,

2018).

5. Nilai Kerja Keras

Nilai kerja keras ditunjukkan dengan sifat siswa yang selalu berusaha

dengan sungguh-sungguh untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan dan selalu

berusaha untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya sehingga dapat

mencapai cita-cita yang diinginkan. Selain itu juga selalu berpikir positif dan tidak

mudah untuk mematahkan rintangan yang menghalangi (Winandika & Aziza,

2017). Pernyataan di atas diperkuat dengan pernyataan lain bahwa kerja keras

dikenal dengan semangat untuk melakukan kegiatan tanpa mengenal rasa lelah

(Purwanti, 2016). Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi karakter

kerja keras, seperti siswa kurang dilibatkan dalam proses pembelajaran karena

masih banyak guru yang menggunakan strategi pembelajaran konvensional dan

siswa kurang menyukai materi pembelajaran sehingga malas untuk belajar

(Purwanti, 2016).

6. Nilai Kreatif

Nilai kreatif adalah berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan

cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki (Kurniawan, 2013). Melalui
kreatif siswa dapat berpikir dan menghasilkan sesuatu dengan cara ataupun hasil

yang baru dari sesuatu yang dimiliki sebelumnya (Maryati, Triwoelandari, &

Hakiem, 2017). Adapun kriteria nilai kreatif dapat dilihat dari ciri-ciri seperti

kemampuan untuk melakukan suatu pekerjaan secara mandiri dan kemampuan

untuk menganalisis serta menciptakan sesuatu hal yang baru sebagai solusi

(Shangaraeva, dkk, 2016). Berdasarkan pendapat di atas bahwa melalui kreatif

siswa dapat berpikir dan menghasilkan sesuatu dengan cara atau hasil yang baru,

ditunjukkan oleh siswa pada saat pembelajaran matematika siswa mengerjakan

dengan cara yang siswa temukan sendiri dan menyampaikannya di depan kelas.

Namun masih ditemukan permasalahan yang muncul di sekolah diantaranya tidak

aktif bertanya di kelas, suka mengantuk dan ramai sendiri dikelas serta siswa tidak

mau masuk ke kelas. Faktor penyebabnya adalah kurang kreatifnya guru dan

kurang memberikan perhatian kepada siswa. Kebanyakan guru masih

memposisikan siswanya sebagai objek didik, yang harus mendengarkan apa yang

disampaikan guru tetapi kurang memberikan kesempatan untuk berpendapat dan

bertanya. Siswa yang sering bertanya masih dianggap sebagai siswa yang “bodoh”

padahal semakin aktif siswa bertanya berarti hal positif bagi mereka untuk banyak

belajar (Nurhayati, 2017).

7. Nilai Mandiri

Nilai mandiri ditunjukkan dengan sikap siswa yang melakukan sendiri tugas

kelas yang diberikan oleh guru pada saat pembelajaran berlangsung dan memiliki

keyakinan dirinya dapat menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Sesuai

dengan pengertian nilai mandiri yaitu sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas (Kurniawan, 2013).

Diperkuat juga dengan pernyataan lain bahwa karakter mandiri memiliki peran

yang penting bagi masa depan siswa seperti menjadikan kehidupan yang lebih

baik, siswa tidak bergantung terhadap bantuan orang lain dan juga dapat

menyelesaikan masalah yang dihadapi secara mandiri (Husna, 2017).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa, nilai mandiri dapat diberikan kepada siswa

saat pembelajaran di kelas, seperti guru dapat memberikan tugas kepada siswa,

menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan tugas-tugas sekolah

(Wuryandani; dkk, 2016). Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan siswa

masih tergantung dengan orang lain, seperti anak yang tidak diberikan fasilitas

untuk mengembangkan kemandiriannya sehingga anak tidak mampu mengelola

dirinya sendiri. Anak cenderung menjadi pemalu dan dipenuhi rasa keragu-

raguan. Hal ini menyebabkan anak menjadi tidak mandiri (Husna, 2017).

8. Nilai Demokratis

Nilai karakter demokratis dalam kelas dapat terlihat pada saat

dilaksanakannya kegiatan diskusi atau musyawarah kelas. Pada saat diskusi

kelompok atau musyawarah kelas siswa akan melakukan interaksi dengan orang

lain, pada kegiatan itu akan terlihat cara siswa berinteraksi, melihat cara siswa

saat menghargai orang lain, sikap toleransi mereka terhadap orang lain, dan cara

siswa melaksanakan musyawarah (Farindhni, 2018).

9. Nilai Rasa Ingin Tahu

Nilai rasa ingin tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk

mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat dan
didengar (Kurniawan, 2013). Diperkuat juga dengan pernyataan lain bahwa

indikator dari rasa ingin tahu siswa antara lain: aspek keinginan yang positif,

keinginan mengenal lingkungan baru, melakukan pengalaman langsung, uji coba,

dan mengeksplorasi stimulasi terhadap materi yang diajarkan (Prasetyo, 2017).

Terdapat beberapa faktor yang membuat siswa tidak menunjukkan karakter

rasa ingin tahu, sesuai dengan pernyataan yang menunjukkan bahwa karakter rasa

ingin tahu dapat tampak pada diri seseorang dipengaruhi oleh faktor pribadi,

kontekstual, dan situasional. Pendidikan karakter rasa ingin tahu tertanam pada

diri seseorang apabila terdapat keinginan untuk menjawab suatu hal yang ingin

diketahui baik dari dalam maupun luar diri (Prasetyo, 2017). Maka apabila tidak

tertanam dalam dirinya maupun dari luar diri, perilaku rasa ingin tahu tidak akan

tampak pada diri siswa.

10. Nilai Semangat Kebangsaan

Cara menumbuhkan karakter semangat kebangsaan dapat diwujudkan

dengan mengikuti kegiatan upacara bendera tiap hari senin dan hari nasional.

Selain itu juga dapat melalui kegiatan kerukunan antar bangsa (Sutarmi, Raharjo,

& Pramono, 2016). Berdasarkan pernyataan di atas maka penanaman nilai

karakter semangat kebangsaan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-

hari di Sekolah seperti kegiatan upacara bendera dan perayaan hari Nasional.

11. Nilai Cinta Tanah Air

Nilai karakter cinta tanah air merupakan perasaan untuk mencintai bangsa

sehingga berusaha untuk melindungi dan memajukan bangsanya supaya dapat

bersaing dengan bangsa lain. Pendidikan karakter cinta tanah air dapat diajarkan
kepada siswa sebelum masuk kelas, selama proses pembelajaran, dan kegiatan

ekstrakurikuler. Adapun kegiatannya seperti mengajarkan tari untuk mengenalkan

budaya bangsa, mengajarkan dan memakai bahasa Indonesia pada saat

pembelajaran dan menyanyikan lagu-lagu wajib Indonesia (Fatmawati, dkk,

2018).

12. Nilai Menghargai Prestasi

Nilai karakter menghargai prestasi pada siswa dapat diberikan dengan cara

memberikan tepuk tangan pada saat terdapat teman yang memenangkan suatu

lomba dan diumumkan di depan orang banyak. Melalui cara seperti itu maka akan

terbentuk sikap menyempurnakan dirinya agar menjadi seseorang yang baik

sehingga dapat berguna bagi nusa bangsa dan agama. Selain itu juga dapat

diberikan pujian dan motivasi sehingga dapat mempertahankan prestasinya

(Hakim, Firmansyah, & Yenil, 2019). Namun terdapat beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi belum munculnya karakter menghargai prestasi, seperti masih

banyaknya siswa yang meremehkan prestasi siswa yang lain. Selain itu juga

terdapat siswa yang meniru karya orang lain dan merasa tidak percaya diri dengan

hasil karya diri sendiri (Sutomo & Milyani, 2019).

13. Nilai Bersahabat/komunikatif

Nilai bersahabat atau komunikatif merupakan tindakan yang

memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul dan dan bekerja sama dengan

orang lain (Kurniawan, 2013). Ciri-ciri dari bersahabat/komunikatif ditunjukkan

dengan sikap seseorang yang berbicara dengan menggunakan bahasa yang santun,

membangun hubungun yang baik dengan cara menunjukkan rasa simpati dan
empati kepada setiap orang. Selain itu pada saat kerja sama, seseorang yang

memiliki karakter bersahabat akan cepat mendapatkan perhatian dan respon,

memiliki kemampuan untuk memahami pikiran, sikap dan perilaku orang lain dan

dapat memahami maksud dari orang lain, sehingga dapat disenangi oleh setiap

orang (Hariandi, 2017).

14. Nilai Cinta Damai

Nilai cinta damai merupakan sikap, perkataan, dan tindakan yang

menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Sesuai

dengan tujuan ditanamkannya nilai karakter cinta damai diharapkan siswa

memiliki karakter yang tidak membeda-bedakan teman satu sama lain,

mengajarkan untuk tidak memiliki rasa dendam. Maka dari itu nilai karakter cinta

damai akan membiasakan siswa agar menyelesaikan masalah tidak dengan cara

kekerasan (Setyoningsih, 2019).

15. Nilai Gemar Membaca

Nilai gemar membaca merupakan kebiasaan menyediakan waktu untuk

membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Sesuai

dengan pernyataan berikut bahwa karakter gemar membaca ditunjukkan dengan

sikap meluangkan waktu untuk membaca, mendatangi perpustakaan dan

mendatangi tempat toko buku (Hidayat, Ahmad, & Hamzah, 2018). Penanaman

nilai karakter gemar membaca dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti

keteladanan, kegiatan rutin, kegiatan spontan, pengkondisian dan pembiasaan

(Sari, 2018). Selain itu adanya sudut baca di masing-masing kelas membuat siswa

dapat menambah keinginan siswa untuk membaca buku. Seperti pernyataan yang
menjelaskan bahwa sudut baca dapat menumbuhkan karakter gemar baca, karena

siswa dapat dimudahkan pada saat memilih buku bacaan yang diinginkan

(Triyana, Djatmika, & Wiyono, 2018). Terdapat beberapa faktor yang

menyebabkan kurangnya gemar membaca pada siswa seperti kurang kesadaran

pentingnya membaca, kurangnya arahan dan keteladanan orang tua dan guru.

Buku yang menarik sulit diakses sehingga dapat menghambat keinginan untuk

membaca buku (Febriandari, 2019).

16. Nilai Peduli Lingkungan

Nilai peduli lingkungan dapat diimplementasikan kepada siswa dengan cara

mengajari siswa mengenai peduli lingkungan di Sekolah dapat dilakukan dengan

beberapa cara seperti melibatkan siswa dalam menanam pohon di lingkungan

Sekolah (Sabardila et al., 2019). Diperkuat juga oleh pernyataan lain bahwa

contoh kegiatan peduli lingkungan yang melibatkan warga Sekolah dapat

ditanamkan melalui berbagai kegiatan cinta lingkungan seperti komposting,

merawat taman milik kelas, kegiatan biopori, kegiatan bersih lingkungan, bank

sampah dan sebagainya (Novianti & Mushafanah, 2019). Selain itu karakter

peduli lingkungan tumbuh karena siswa memiliki kesadaran dan terbiasa untuk

menjaga kebersihan lingkungan disekitar (Triyana, Djatmika, & Wiyono, 2018).

Lebih lanjut bahwa karakter peduli lingkungan penting diimplementasikan di

Sekolah, karena dengan adanya kepedulian terhadap lingkungan akan

mempengaruhi terhadap kehidupan di dunia. Manusia yang kurang peduli

terhadap lingkungan akan mudah merusak lingkungan (Yunesa, 2018).

Kebersamanaan warga sekolah sangat diperlukan dalam mewujudkan lembaga


pendidikan yang peduli lingkungan. Siswa yang membuang sampah sembarangan

tidak tumbuh kesadaran karena sebagian warga sekolah lainnya dibiarkan dan

tidak ditegur (Saputri, 2019).

17. Nilai Peduli Sosial

Nilai peduli sosial ditanamkan kepada siswa bertujuan untuk menjadikan

seseorang yang memiliki kepedulian sosial terhadap orang lain. Seseorang yang

sudah memiliki nilai kepedulian sosial makan akan menunjukkan perilaku yang

positif dan bisa bertahan dengan lingkungan masyarakat (Ardiyanti, 2019).

Diperkuat juga oleh pernyataan lain bahwa melalui peduli sosial siswa tidak hanya

memiliki pemahaman tentang pentingnya tolong menolong akan tetapi mampu

melakukan aksi saling tolong menolong kepada sesame yang membutuhkan

(Fauzi, dkk, 2017).

Terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan kurangnya karakter peduli

sosial yaitu masih kurangnya kesadaran dari siswa diri siswa akan pentingnya

peduli sosial dalam kehidupan, dan masih ada beberapa pihak yang tidak ikut

berpartisipasi (Ardiyanti, 2019). Berdasarkan pada pernyataan di atas maka, siswa

masih kurang memiliki kesadaran, sehingga terlihat acuh tak acuh.

18. Nilai Tanggung Jawab

Nilai tanggung jawab dapat dilihat apabila siswa melaksanakan tugas atau

pekerjaan. Siswa dikatakan tanggung jawab apabila siswa dapat mengambil

keputusan dan mampu menghadapi akibat yang terjadi. Nilai tanggung jawab

penting ditanamkan sejak dini, untuk membiasakan agar memiliki tanggung jawab

pada semua hal, seperti datang tepat waktu ke Sekolah, melaksanakan tugas piket
kelas dan tepat waktu untuk mengumpulkan tugas yang diberikan guru (Purwanti,

2016). Hal tersebut dikuatkan dengan pendapat lain yang menyatakan bahwa

pendidikan karakter dapat dilakukan secara bersamaan ketika siswa mempelajari

sebuah tema, misalnya siswa bertanggung jawab dalam mengerjakan tugas yang

diberikan guru, serta bertoleransi terhadap perbedaan pendapat dengan temannya

(Tati’ah & Oktaviya, 2019).

Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan oleh guru untuk menanamkan

sikap tanggung jawab kepada siswa, seperti memulai dari tugas-tugas sederhana,

menebus kesalahan saat berbuat salah, segala sesuatu mempunyai konsekuensi

dan sering berdiskusi tentang pentingnya tanggung jawab (Purwanti, 2016).

Berdasarkan pernyataan di atas menunjukkan bahwa sanksi yang diberikan kepada

siswa merupakan salah satu cara untuk menanamkan sikap tanggung jawab

kepada siswa yang belum tampak nilai karakter tanggung jawabnya.

2.1.4 Implementasi Pendidikan Karakter

Implementasi pendidikan karakter dapat dilaksanakan secara makro dan

mikro (Sardjijo & Ali, 2017). Implementasi pendidikan karakter secara makro

dibagi menjadi tiga tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil.

Pada tahap perencanaan yaitu mengembangkan perangkat karakter dengan

menggunakan beberapa sumber, seperti Pancasila, UUD 1945, dan UU N0.20

Tahun 2003. Pada tahap implementasi mengembangkan pengalaman belajar yang

dapat berlangsung dalam tiga pilar pendidikan yaitu dalam satuan pendidikan,

keluarga, dan masyarakat. Pelaksanaan pendidikan karakter dalam konteks makro

bukan hanya pada sektor pendidikan nasional saja, melainkan harus adanya
keterlibatan aktif dari sektor-sektor pemerintahan lainnya. Pada tahap evaluasi

hasil, kegiatan ini merupakan proses penilaian untuk mengetahui tingkat

keberhasilan dan hambatan selama proses pelaksanaan pendidikan karakter

berlangsung. Penilaian dilakukan secara terus menerus, dari perencaan sampai

pada pelaksanaan sehingga akan menghasilkan rencana perbaikan di masa

mendatang.

Implementasi pendidikan karakter secara mikro dilaksanakan melalui

kegiatan belajar mengajar, pembudayaan sekolah dalam keseharian, kegiatan

ekstrakurikuler, dan kegiatan keseharian di rumah dan masyarakat. Salah satu

bentuk implementasi pendidikan karakter dapat dilaksanakan melalui kegiatan

belajar mengajar. Materi pembelajaran yang berhubungan dengan nilai-nilai

karakter ini, dikembangkan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi

pengalaman yang nyata bagi siswa dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-

hari.

Terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengimplementasikan

pendidikan karakter. Pendekatan yang dapat dilakukan yaitu pendidikan karakter

digunakan sebagai mata pelajaran dan pendidikan karakter diimplementasikan

sebagai misi dari setiap mata pelajaran (Rizal & Munip, 2017). Apabila

pendidikan karakter digunakan sebagai mata pelajaran, maka pada prosesnya ada

pelajaran khusus yang mempelajari tentang pendidikan karakter, sedangkan

apabila pendidikan karakter diintegrasikan di setiap mata pelajaran, maka pada

proses pembelajarannya guru dapat mengajarkan salah satu mata pelajaran yang

mengintegrasikan nilai karakter di dalam pembelajarannya.


Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendekatan yang paling sempurna untuk

mengimplementasikan pendidikan karakter yaitu dengan mengintegrasikan

dengan mata pelajaran, siswa akan mendapatkan pengalaman nyata untuk

mempraktikkan pendidikan karakter (Rokhman, Syaifudin, & Yuliati, 2014). Cara

yang lainnya yaitu menumbuhkan nilai pendidikan karakter dapat melalui strategi

dan metode pembelajaran (Rizal & Munip, 2017). Misalnya guru membiasakan

siswa untuk menggunakan metode tanya jawab mengenai materi yang diajarkan,

sehingga akan muncul rasa ingin tahu pada siswa.

Mata pelajaran di Sekolah Dasar saat ini sudah mengimplementasikan

pembelajaran tematik. Pembelajaran tematik dapat diintegrasikan dengan

pendidikan karakter. Seperti pernyataan berikut bahwa pendidikan karakter dapat

dilakukan secara bersamaan ketika siswa mempelajari sebuah tema, misalnya

siswa dilatih untuk selalu berdoa dan bersyukur dalam kegiatan apapun, jujur

dalam melaporkan hasil pengamatan yang dilakukannya, disiplin dan bertanggung

jawab dalam mengerjakan tugas yang diberikan guru, serta bertoleransi terhadap

perbedaan pendapat dengan temannya (Tati’ah & Oktaviya, 2019).

Selain itu dalam pelaksanaan pembelajaran tematik ini guru harus

memberikan kesempatan kepada siswa untuk bisa berperan aktif selama proses

pembelajaran berlangsung. Seperti siswa diberi kesempatan untuk menanyakan

segala sesuatu yang kurang siswa pahami, dan diberi kesempatan untuk menjawab

atau menanggapi mengenai pertanyaan yang diberikan oleh guru atau temannya

yang lain (Syaifuddin, 2017). Pendidikan karakter dalam lingkup intrakurikuler

juga dapat diimplementasikan melalui perangkat pembelajaran yang terintegrasi


pada semua bidang mata pelajaran (Maunah, 2016). Dilakukan dengan menyusun

rencana pembelajaran, seperti silabus dan RPP. Pada saat pengintegrasian tersebut

pastikan terdapat keterkaitan antara mata pelajaran dengan nilai-nilai karakternya,

sehingga dapat memperkuat karakter siswa.

2.1.5 Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar

Sekolah dasar merupakan satuan pendidikan yang menjadi salah satu

lingkungan pendidikan dalam membangun fondasi kecerdasan anak. Berdasarkan

penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh Sa’dun Akbarsejak tahun 2002-

2011, ditemukan beberapa masalah yang terkait dengan pendidikan karakter di

sekolah dasar (Akbar, S., 2011: 12-13). Pertama, pendidikan karakter di sekolah

dasar cenderung belum dibangun berdasarkan prinsip-prinsip pendidikan nilai

yang benar. Kedua, hampir di seluruh sekolah dasar yang diteliti belum

mempunyai grand desain pendidikan karakter di sekolah dasar masing-masing.

Ketiga, pelaksanaan pendidikan nilai dan karakter di sekolah-sekolah dasar yang

diteliti kurang mengembangkan dan peduli pada nilai-nilai kehidupan seperti

kecintaan, penghargaan, kedamaian, kerjasama, kepatuhan, demokrasi dalam

praktik pendidikan di sekolah dasar. Keempat, visi, misi, dan tujuan pendidikan

karakter di sekolah-sekolah dasar yang diteliti cenderung kurang tersosialisasikan

ke seluruh warga sekolah, serta kurang adanya komitmen bersama untuk

mewujudkannya. Kelima, berbagai tatanan yang diciptakan untuk pendidikan

karakter di sekolah dasar masih didominasi oleh guru dan kepala sekolah.

Keenam, ditemukan perilaku siswa, guru, dan kepala sekolah yang kurang

sesuaidengan nilai-nilai kehidupan ideal di sekolah dasar. Ketujuh, banyak


sekolah yang melakukan hukuman secara mekanik. Oleh karena itu, pendidikan

karakter pada anak usia sekolah dasar membutuhkan perhatian yang serius oleh

semua pihak terkait, terutama pihak sekolah dasar yang menjadi pusat pendidikan

untuk mengembangkan pendidikan karakter secara terus-menerus.

Implementasi pendidikan karakter pada anak usia sekolah dasar mutlak

dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang sesuai dengan yang

dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional. Selain kecerdasan intelektual,

penanaman karakter pada siswa sekolah dasar juga perlu dibangun pada ranah

kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya. Hal ini dimaksudkan agar

keseimbangan olah pikir, rasa/karsa, hati, dan raga pada siswa dapat dibiasakan

sejak usia dini. Melalui keseimbangan tersebut, siswa akan termotivasi secara

internal untuk terbiasa menerapkan nilai-nilai karakter positif dalam kehidupan

sehari-hari.

Pendidikan karakter di SD turut berperan besar dalam menciptakan generasi

Indonesia yang berkarakter dan berkepribadian Pancasila. Hal ini terkait dengan

Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia, sehingga setiap aturan

perundang-undangan dan aturan-aturan di bawahnya yang terkait dengan

pendidikan juga dilandasi oleh Pancasila. Berdasarkan pada Direktorat Pembinaan

Sekolah Dasar (Akbar, 2011), pendidikan karakter di SD yang berdasar atas

Pancasila memiliki prinsi-prinsip sebagai berikut:

1. mempromosikan nilai-nilai efektif yang berintikan dari nilai-nilai Pancasila;

2. nilai-nilai yang diinternalisasikan dapat membantu peserta didik memahami

dan menjadi manusia yang berkarakter baik;


3. nilai-nilai yang diinternalisasikan eksplisit pada visi, misi, tujuan, dan

harapan peran masa depan sekolah;

4. nilai-nilai yang diinternalisasikan dapat diaplikasikan dalam kehidupan

komunitas sekolah secara konsisten;

5. pengembangan nilai-nilai dan karakter terjadi dalam hubungan peserta didik

dengan pendidik, tenaga kependidikan, keluarga, dan lingkungan masyarakat

sebagai bagian dari sistem pendekatan utuh pendidikan karakter;

6. nilai utama diwujudkan dengan dukungan lingkungan belajar yang kondusif

dimana peserta didik dapat menggali nilai-nilai dari dirinya sendiri dan dari

lingkungan belajarnya;

7. pengembangan karakter dilakukan oleh pendidik dan tenaga kependidikan

yang kompeten dan patut diteladani;

8. memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi

tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang

sama; kepala sekolah, guru-guru, staf administrasi, laporan, dan pengelola

kantin di sekolah, menjalankan kepemimpinan moral, memberi dukungan dan

jaringan secara luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter;

9. memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha

membangun karakter dengan prinsipsaling menghargai, setara, danmemberi

manfaat;

10. pengembangan budaya sekolah dilaksanakan dengan prinsip terpadu,

konsisten, menyenangkan dan berkelanjutan;

11. pembelajaran nilai dalam rangka pendidikan karakter dilakukan melalui


pembelajaran yang berorientasi pada PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif,

Efektif, Menyenangkan) baik melalui program intrakurikuler maupun

ekstrakurikuler; mengevaluasi pendidikan karakter di sekolah, tenaga

pendidik dan kependidikan sebagai pendidik karakter, dan mewujudkan

karakter posisitif dalam kehidupan peserta didik; dan menerapkan pendekatan

menyeluruh dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah dasar.

2.1.6 Kultur Sekolah

Salah satu faktor penentu keberhasilan penyelanggaraan proses pendidikan

adalah kultur yang dibangun dengan baik. Sebagaimana menurut Hanum, F.

(2008), terdapat tiga aspek yang berkaitan erat dengan mutu suatu sekolah, salah

satunya yaitu kultur sekolah. Perbedaan kultur sekolah secara otomatis akan

membedakan prestasi siswa di setiap sekolah. Sebagai penjelasannya yaitu

sekolah yang berhasil membangun kultur sekolah yang baik akan menghasilkan

prestasi tidak hanya akademik saja tetapi juga menghasilkan kultur sekolah

dengan nilai-nilai kemanusiaan karakter yang baik dibandingkan dengan sekolah

yang gagal membangun kultur sekolahnya.

Deal dan Kent (dalam Moerdiyanto, 2012: 3) mendefinisikan kultur sekolah

sebagai keyakinan dan nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat

kebersamaan sebagai warga sekolah. Dengan demikian, suatu sekolah dapat

memiliki sejumlah kultur dengan satu kultur dominan dan sejumlah kultur

subordinasi. Apabila kultur subordinasi tidak sesuai atau bertentangan dengan

kultur dominan, maka akan menghambat upaya pengembangan untuk menjadi

sekolah bermutu. Sedangkan Stolp dan Smith (dalam Moerdiyanto, 2012:


3)menyatakan bahwa kultur sekolah merupakan suatu pola asumsi dasar hasil

invensi, penemuan oleh suatu kelompok tertentu dalam mengatasi masalah-

masalah yang berhasil baik serta dianggap valid dan akhirnya diajarkan ke warga

baru sebagai cara-cara yang dianggap benar dalam memandang, memikirkan, dan

merasakan masalah-masalah tersebut. Sehingga kultur sekolah merupakan kreasi

bersama yang dapat dipelajari dan teruji dalam memecahkan permasalahan yang

dihadapi sekolah.

Menurut John P. Kotter (dalam Moerdiyanto, 2012: 6), kultur sekolah terdiri

dari dua lapisan utama yaitu lapisan yang nyata atau dapat diamati dan lapisan

yang tersembunyi. Lapisan-lapisan tersebut dirinci berikut ini:

Tabel 1. Lapisan-Lapisan Kultur Sekolah

Lapisan Kultur Bentuk Perwujudan Keterangan


Artifak Fisik 1. Taman dan halaman yang rapi
2. Gedung yang rapi dan bagus
3. Interior ruang yang selaras
4. Sarana rauang yang bersih dan tertata
Perilaku 1. Kegiatan olah raga yang maju
2. Kesenian yang berhasil
Nyata dan
3. Pramuka yang tersohor
dapat diamati
4. Lomba-lomba yang menang
5. Upacara bendera
6. Upacara keagamaan
Nilai dan Keyakinan 1. Lingkungan yang bersih, indah dan asri
2. Suasana ruang dan kelas yang nyaman
untuk belajar
3. Slogan-slogan motivasi: rajin pangkal Abstrak dan
pandai tersembunyi
Asumsi 1. Harmoni dalam hubungan
2. Kerja keras pasti berhasil
3. Sekolah bermutu adalah hasil kerjasama

Kultur sekolah senantiasa berproses dengan dinamika perubahan yang

terjadi di setiap sekolah. Menurut Moerdiyanto (2012: 8), kultur baru di sekolah
dapat dilakukan dengan melalui beberapa cara, diantaranya yaitu:

1. Menghilangkan nilai kultur negative dengan menghentikan praktik- praktiknya,

2. memperkenalkan praktik kultur baru dan mengaitkannya dengan elemen kultur

lama yang masih relevan, memperkenalkan kultur baru dan landasan nilai-nilai

yang akan dikembangkan, mengaitkan praktik-praktik baru dengan hasil yang

riil, dan mensosialisasikan praktik-praktik baru dengan nilai yang diharapkan.

Kultur sekolah memiliki cakupan yang sangat luas, umumnya mencakup

kegiatan ritual, harapan, hubungan sosial-kultural, aspek demografi, kegiatan

kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, proses mengambil keputusan, kebijakan

maupun interaksi sosial antar komponen di sekolah (Hasan, et al, 2010). Kultur

sekolah merupakan suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi

dengan sesamanya, guru dengan guru, pegawai administrasi dengan sesamanya,

dan antar anggota kelompok masyarakat sekolah. Setiap sekolah memiliki

keunikan berdasarkan pola interaksi komponen warga sekolah secara internal dan

eksternal.

Menurut Efianingrum, (2008), setiap sekolah mempunyai kebudayaannya

sendiri yang bersifat unik, memiliki aturan tata tertib, kebiasaan-kebiasaan,

upacara-upacara, mars/hymne sekolah, pakaian seragam dan lambang-lambang

yang lain yang memberikan corak khas kepada sekolah yang bersangkutan. Oleh

karena itu, dengan memahami ciri-ciri kultur sekolah akan dapat dilakukan

tindakan nyata dalam perbaikan kualitas kultur sekolah.

Interaksi internal dan antar kelompok terikat oleh berbagai aturan dan

norma yang berlaku disekolahyang dikembangkan untuk mendukung strategi-


strategi pengembangan kultur sekolah. Pengembangan kultur sekolah yang

dikemukakan oleh John Goodlad (dalam Moerdiyanto, 2012: 4) melalui strategi

kultural digambarkan berikut:

Intervensi
Struktural
Sikap dan
Kultur Hasil Belajar
Perilaku
Sekolah PBM dan Karakter
Guru
Siswa
Intervensi
Kultural

Gambar 2. Pengembangan Kultur Sekolah

Wallace dan Engel (dalam Moerdiyanto 2012: 5) mengemukakan lima hal

yang harus diperhatikan dalam pengembangan kultur di sekolah yaitu:

1. Personal mastery

Setiap warga sekolah selalu berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan

keterampilannya yang dilakukan secara sadar untuk mendukung peningkatan

kualitas sekolah termasuk dalam pembentukan karakter siswa.

2. Shared vision

Visi sekolah dipahami dan disepakati oleh semua warga sekolah, sehingga

semua kegiatan yang dilaksanakan bertujuan untuk kualitas sekolah.

3. Mental model

Asumsi-asumsi tidak tampak yang terkait dengan norma, nilai, dan

keyakinan warga sekolah dalam melaksanakan tugasnya.

4. Team learning

Setiap warga sekolah harus menyadari posisinya sebagai anggota tim yang
memiliki tugas dan fungsi masing-masing.

5. System thinking

Warga sekolah sebagai bagian dari masyarakat belajar harus memiliki pola

pikir dimana setiap individu merupakan bagian dari keseluruhan sistem

persekolahan, karena kegiatan setiap unit saling mempengaruhi.

Pendidikan Karakter pada Kultur Sekolah

Fokus permasalahan dalam implementasi pendidikan karakter, terutama

dalam kultur sekolah yaitu perilaku setiap individu dalam lingkungan sekolah.

Menurut Jalal, F., et al (2011: 9), pada hakekatnya pendidikan karakter merupakan

perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu

(kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosial-kultural dalam

konteks interaksi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat) dan

berlangsung sepanjang hayat.

Pada aktivitas sehari-hari dalam kultur sekolah diperlukan fungsi

keteladanan dan aktivitas yang secara sengaja diciptakan dalam bentuk

pembiasaan dan penguatan secara kontinyu dalam kultur sekolah. Hal tersebut

dapat dilakukan melalui proses penugasan, pembiasaan, pelatihan, pengajaran,

pengarahan, dan keteladanan. Setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu

di sekolah difokuskan pada pengembangan nilai-nilai karakter dalam kultur

sekolah. Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan interaksi yang tercipta antar

individu di lingkungan sekolahyang terikat oleh berbagai aturan dan norma yang

berlaku di sekolah tersebut. Sedangkan ruang lingkup pendidikan karakternya

sendiri dalam fungsi totalitas psikologis dan sosial-kultural terdiri dari proses
yang saling berkaitan antara olah hati, olah pikir, olah raga, serta olah rasa dan

karsa. Kondisi tersebut digambarkan pada bagan berikut ini:

Ruang Lingkup Pendidikan Karakter


Cerdas, kritis, Beriman dan bertakwa,
kreatif, inovatif, jujur, amanah, adil,
ingin tahu, berpikir bertanggung jawab,
terbuka, produktif, berempati, berani
berorientasi mengambil resiko, pantang
IPTEK, dan menyerah, rela berkorban,
reflektif dan berjiwa patriotik

Olah Olah
Hati Pikir

Olah Olah
Raga Rasa/Karsa
Ramah, saling menghargai,
Bersih dan sehat,
toleran, peduli, suka menolong,
disiplin, sportif,
gotong-royong, nasionalis,
tangguh, andal,
kosmopolit, mengutamakan
berdaya tahan,
kepentingan umum, bangga
bersahabat,
menggunakan bahasa dan
kooperatif,
produk Indonesia, dinamis, kerja
determinatif,
keras, dan beretos kerja
kompetitif, ceria,

Gambar 3. Konfigurasi Pendidikan Karakter (Jalal, F., et al, 2011: 9)

Implementasi pendidikan karakter pada kultur sekolah dapat diorganisasikan

dan diterapkan di lingkungan sekolah dengan menggunakan strategi pemodelan

(modeling), pengajaran (teaching), dan penguatan lingkungan (reinforcing)

(Zuchdi, 2011). Pemodelan sendiri membutuhkan fungsi keteladanan dari setiap

pihak di sekolah, yang mana figur seorang individu akan mempengaruhi individu
yang lainnya. Sedangkan untuk strategi pengajaran sendiri lebih menekankan pada

pembelajaran nilai-nilai karakter yang dirancang sedemikian rupa untuk

ditanamkan pada diri siswa. Dari dua strategi tersebut, juga diperlukan strategi

penguatan yaitu berupa proses komunikasi yang dilakukan secara terus menerus

dan konsisten terhadap implementasi nilai-nilai karakter. Melalui strategi

penguatan yang secara kontinyu, penerapan nilai-nilai karakter oleh siswa akan

lebih mudah terbudayakan dalam kehidupan sehari-hari.

(Zuchdi, dkk., 2012), menyebutkan langkah-langkah pengembangan kultur

sekolah pada pendidikan karakter yaitu:

1. menentukan nilai-nilai target yang dikembangkan,

2. menyusun rancangan langkah-langkah pengembangan kultur sekolah,

3. melaksanakan pengembangan kultur sekolah,

4. mengevaluasi hasil pengembangan kultur sekolah, dan

5. merancang kembali pengembangan kultur sekolah.

Pada intinya implementasi pendidikan karakter pada kultur sekolah tidak

terlepas dari peran semua pihak di sekolah. Seorang kepala sekolah mempunyai

posisi strategis dalam menentukan kebijakan pendidikan karakter di sekolah.

Sedangkan guru sebagai pendidik, fungsi utamanya yaitu mengeksekusi kebijakan

pendidikan karakter untuk diimplementasikan kepada siswa. Demikian halnya

dengan peran karyawan di lingkungan sekolah juga turut mendukung terciptanya

kultur sekolah yang sesuai dengan pendidikan karakter yang dilaksanakan di

sekolah. Namun yang sering terlupakan yaitu peran siswa yang selama ini hanya

dijadikan objek implementasi pendidikan karakter. Padahal, siswa juga dapat


dilibatkan sebagai subjek dalam mengimplementasikan pendidikan karakter,

terutama pada kultur sekolah. Hal ini mengingat proses interaksi dalam kultur

sekolah juga terjadi antar sesama siswa. Oleh karena itu, siswa dapat diberikan

kesempatan untuk berperan aktif untuk mensosialisasikan serta memberikan

contoh kepada siswa yang lain untuk membiasakan diri mengimplementasikan

nilai-nilai karakter yang dikembangkan di sekolah dan siswa juga layak dilibatkan

dalam setiap pengambilan kebijakan sekolah dalam pendidikan karakter.

Peran dari masing-masing pihak dalam pendidikan karakter perlu

memperhatikan beberapa prinsip pelaksanaan. Menurut Astuti (2010), dalam

pendidikan karakter perlu memperhatikan beberapa prinsip, diantaranya yaitu:

1. character education in holds, as starting philosophical principle, that there

are widely shared pivotelly important, core, ethical values, such as caring,

honesty, fairnesss, responsibility, and respect for self and other;

2. character must be comprehensively defined to include thinking, felling, and

behaviour;

3. effective character education requires an intentional, proactive, and

comprehensive approach that promotes the core values in all phases of life;

4. the program enviroment must be a carrying community;

5. to delevelop character children need opportunity for moral action;

6. effective character education include a meaningfull and challenging

curiculum that respects all learners and helps them succed;

7. character education sholud strive to develop instrinsic motivation;

8. staff must become a learning and moral community in which all shared
responsibility for character education and attempt to adhere to same core

values that guide children;

9. character education require moral leadership;

10. program must recruit parent and community members as full patners;

11. evaluation of chararter education sholud assess the character of the

program, the staff’s functioning as character education and the extent to

which the program is effecting children.

Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, dapat dipahami bahwa dalam

pengembangan pendidikan karakter, keterlibatan setiap pihak dan langkah-

langkah yang diambil harus sesuai dengan konteks kebutuhan ataupun kondisi

sekolah. Sehingga dapat dimaknai bahwa kondisi kultur sekolah dalam pendidikan

karakter menjadi salah satu faktor terpenting dalam pengambilan kebijakan

pendidikan karakter pada suatu sekolah.

2.2 Kajian Hasil Penelitian Relevan

Adapun penelitian yang memiliki relevan dengan penelitian yang penulis

lakukan adalah:

1. Lukman Hakim Alfajar, tahun 2014, dengan judul Upaya Pengembangan

Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar Negeri Sosrowijayan. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Perbedaannya terletak pada

informan penelitiannya, jika Lukman Hakim Alfajar hanya mengambil

informan penelitian dari guru dan siswa saja maka penelitian ini mengambil

informan guru, siswa, orang tua siswa, serta warga di lingkungan sekolah.

2. Ika Pujiastutia Ningsih, tahun 2014, dengan judul Implementasi Pendidikan


Karakter dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di MAN Godean Yogyakarta.

Peneliti ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Perbedaan penelitian

Ika Pujiastuti Ningsih dengan penelitian ini adalah terletak pada fokus

penelitian yang ingin di teliti. Penelitian Ika Pujiastuti ingin melihat penerapan

pendidikan karakter dalam fokus mata pelajaran saja, yaitu mata pelajaran

Bahasa Indonesia. Sedangkan penelitian ini meneliti tentang pendidikan

karakter di lingkungan sekolah nya. Perbedaan lainnya juga terletak di subjek

penelitiannya, Ika Pujiastutia Ningsih meneliti pendidikan karakter siswa di

lingkungan MAN. Sedangkan, penelitian ini meneliti pendidikan karakter di

lingkungan SD.

3. Wahyu Sri Wilujeng, tahun 2016, dengan judul Implementasi Pendidikan

Karakter Melalui Kegiatan Keagamaan di SD Ummu Aiman Lawang.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Perbedaan

penelitian Wahyu Sri Wilujeng dengan penelitian ini adalah penelitian Wahyu

Sri Wilujeng hanya meneliti pendidikan karakter di fokus keagamaan saja yang

di terapkan sekolah tersebut. Sedangkan penelitian ini meneliti semua kegiatan

pendidikan karakter yang terapkan di sekolah SD Negeri Persiapan BatuhPutih.

4. Nur Azizah, tahun 2015, dengan judul Penelitian Penanaman Nilai-Nilai

Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Kristen di SMA

Negeri 1 Waleri Kendal. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif

deskriptif. Perbedaan penelitian Nur Azizah dengan penelitian ini adalah

terletak pada fokus penelitian yang ingin di teliti. Penelitian Nur Azizah ingin

melihat penerapan pendidikan karakter dalam fokus mata pelajaran saja, yaitu
mata pelajaran Agama Kristen, dan terfokus dalam suasana pembelajaran saja.

Sedangkan penelitian ini meneliti tentang pendidikan karakter di lingkungan

sekolah nya.

5. Sukma Kartika Abidin, tahun 2015, dengan judul Studi Implementasi

Pendidikan Karakter Berbasis Kultur Sekolah Pada Sekolah Dasar di

Kecamatan Mijen Kota Semarang. Penelitian ini menggunakan pendekatan

kualitatif deskriptif. Perbedaan penelitian Sukma Kartika Abidin dengan

penelitian ini adalah terletak pada objek yang ingin diteliti hasilnya. Jika

penelitian Sukma Kartika Abidin meneliti tentang keterampilan mengajar guru

terimplemantasi dalam pendidikan karakter, sedangkan peneliti meneliti

tentang bagaimana pendidikan karakter dalam budaya sekolahnya.

2.3 Kerangka Pikir

Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa merupakan pendidikan yang

membentuk peserta didik memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa serta

mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Setiap satuan pendidikan,

termasuk sekolah dasar wajib menyelenggarakan pendidikan karakter di sekolah.

Peran dari setiap warga di lingkungan sekolah sangat dibutuhkan dalam

penyelanggaraan pendidikan karakter. Peran-peran tersebut mencakup

pengambilan kebijakan serta implementasinya di setiap sekolah.

Pendidikan karakter yang diimplementasikan dalam kultur sekolah

diharapkan mampu membentuk kultur sekolah yang positif. Lapisan-lapisan

kultur sekolah yang menjadi area implementasi yaitu lapisan nilai dan keyakinan

serta lapisan artifak. Lapisan nilai dan keyakinan diwujudkan dalam bentuk nilai-
nilai karakter yang menjadi fokus implementasi dalam pendidikan karakter.

Lapisan artifak diwujudkan dalam bentuk fisik berupa fasilitas-fasilitas sekolah

dan dokumen sekolah. Selain itu, perwujudan lapisan artifak juga diwujudkan

dalam bentuk perilaku warga sekolah melalui program- program yang telah

direncanakan atau dibiasakan di sekolah.

Perencanaan pendidikan karakter tersebut mencakup penentuan nilai-nilai

karakter yang akan diimplementasikan, perancangan nilai-nilai karakter tersebut

dalam program- program sekolah, penyiapan dokumen dan fasilitas pendukung

program, serta dilakukan sosialisasi program pendidikan karakter baik kepada

warga sekolah maupun orang tua siswa. Pelaksanaan pendidikan karakter dalam

kultur sekolah yaitu berupa penanaman nilai karakter pada siswa melalui

pelaksanaan program- program pendidikan karakter di sekolah. Penanaman nilai-

nilai karakter pada siswa dapat dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan untuk

siswa secara terus menerus. Pembiasaan tersebut diciptakan dalam suatu kondisi

yang dirancang secara sengaja dalam program sekolah mengenai pendidikan

karakter. Evaluasi pendidikan karakter dalam kultur sekolah mencakup

monitoring dan evaluasi akhir program terhadap perencanaan program,

kelengkapan sarana dan prasarana pendukung, proses implementasi, ketercapaian

target implementasi, serta perbandingan kondisi awal dan kondisi akhir

implementasi pendidikan karakter.

Faktor Pendidikan Faktor


Pendukung Karakter Penghambat
Budaya Sekolah

Dampak
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian yang berjudul “Implementasi Pendidikan Karakter dalam

Budaya Sekolah di SD Negeri Batu Putih” ini merupakan pendekatan kualitatif

deskriptif. Pendekatan kualitatif yaitu metode penelitian Ilmu-ilmu Sosial yang

mengumpulkan dan menganalisis data berupa kata-kata (lisan maupun tulisan) dan

perbuatan-perbuatan manusia.

Selanjutnya, apabila dilihat dari permasalahan yang diteliti maka

penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan

penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan situasi atau kejadian yang

terjadi, dan memberikan gambaran akurat dari sebuah data, menggambarkan suatu

proses mekanisme, atau hubungan antar kejadian.

Penelitian ini untuk mendeskripsikan suatu keadaan, melukiskan dan

menggambarkan pelaksanaan pendidikan karakter di SD Negeri Batu Putih.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang disajikan secara deskriptif.

Oleh karena itu, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif.

3.2 Partisipan dan Setting Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui tentang implementasi

pendidikan karakter dalam budaya sekolah di SD Negeri Batu Putih di Kabupaten

Jayapura Distrik Sentani Timur. Penelitian ini mengambil informan kunci kepala
sekolah. Selanjutnya data yang diperoleh dari informan kunci ditambah dengan

data dari informan tambahan yaitu orang tua, guru, dan siswa yang berada di SD

Negeri Batu Putih.

Penelitian kualitatif menunjukkan pada diri dan karakteristik yang

bermakna secara utuh objek terhadap suatu gejala untuk memperoleh kebenaran.

Proses pengumpulan data dalam penelitian kualitatif adalah secara partisipasif dan

peneliti sendiri berperan sebagai instrumen kunci yang harus mempersiapkan diri

untuk berpartisipasi secara utuh. Untuk itu peneliti dituntut harus mampu

mengikuti pola dan perilaku kehidupan objek penelitian, baik dalam melakukan

wawancara maupun observasi. Peneliti harus mengikuti arus informasi dan bukan

mengirim informasi untuk mengikuti dan menyesuaikan pandangannya dengan

peneliti.

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan SD Negeri Persiapan Batuh

Putih di Kabupaten Jayapura Distrik Sentani Timur.

Penentuan lokasi tersebut dilakukan melalui melalui pertimbangan dari

hasil observasi pra penelitian. Pertimbangan tersebut yaitu SD Negeri Batu Putih

merupakan salah satu SD di Kabupaten Jayapura yang telah menanamkan nilai-

nilai karakter pada peserta didiknya. Proses pembiasaan-pembiasaan siswa

terhadap nilai-nilai karakter di SD Negeri Batu Putih merupakan alasan utama

dipilihnya lokasi penelitian ini. Melalui pemilihan lokasi penelitian ini,

pertimbangan hasil penelitian yang diperoleh dapat dijadikan best practice

penyelenggaraan pendidikan karakter dalam budaya sekolah di SD Negeri Batu


Putih.

3.4 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data dapat

diperoleh. Peneliti menggunakan observasi, wawancara mendalam dan

dokumentasi.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini diperoleh melalui beberapa teknik pengumpulan

data kualitatif. Teknik-teknik yang digunakan yaitu teknik wawancara mendalam,

observasi, dan dokumentasi.

1. Teknik Wawancara Mendalam

Teknik wawancara mendalam dilakukan secara mendalam kepada para

narasumber yang ditentukan melalui teknik purposive-sampling dalam hal ini

yaitu kepala sekolah, guru, siswa, karyawan, dan orang tua siswa di SD Negeri

Batu Putih. Teknik wawancara ini dilakukan untuk memperoleh data secara

langsung dari narasumber tentang implementasi pendidikan karakter pada budaya

sekolah di SD Negeri Batu Putih. Dalam pelaksanaan teknik wawancara ini

diperlukan instrumen wawancara sebagai pedoman pengumpulan data.

2. Teknik Observasi

Teknik observasi pada penelitian ini dilakukan pada setting penerapan

pendidikan karakter pada budaya SD Negeri Batu Putih. Teknik tersebut

dilakukan setelah melalui proses perekaman data awal yaitu data hasil wawancara

dengan key-informan beserta rekomendasi objek-objek observasi. Observasi

dilakukan untuk memperoleh data mengenai fasilitas dan dokumen pendukung


pendidikan karakter pada budaya sekolah serta proses pelaksanaan pembiasaan

nilai-nilai karakter di sekolah. Pada penggunaan teknik observasi ini

menggunakan instrumen berupa lembar observasi yang dikembangkan dari kisi-

kisi instrumen.

3. Teknik Dokumentasi

Teknik dokumentasi ini berupa perekaman data berupa objek gambar atau

peristiwa, maupun dokumen arsip. Untuk data berupa gambar dapat diperoleh

dengan mengambil objek gambar pada berbagai situasi yang sesuai dengan data

yang dikumpulkan. Demikian halnya dengan perekaman data berupa dokumen-

dokumen sekolah untuk melengkapi dan memperkuat data yang telah didapatkan

dari teknik wawancara mendalam dan teknik observasi.

3.6 Instrumen Penelitian

Data dalam penelitian ini diperoleh melalui teknik wawancara mendalam,

observasi, dan dokumentasi digunakan beberapa instrumen pengumpulan data.

Untuk teknik wawancara mendalam digunakan instrumen berupa pedoman

wawancara, teknik observasi menggunakan lembar observasi, dan teknik

dokumentasi menggunakan alat perekam data.

1. Pedoman Wawancara

Dalam pelaksanaan teknik wawancara diperlukan instrumen penelitian

berupa pedoman wawancara sebagai alat untuk mengumpulkan data melalui

teknik tersebut. Pedoman wawancara yang disusun yaitu berupa pertanyaan-

pertanyaan wawancara yang bersifat unstructured-interview agar data dapat

dikumpulkan secara komprehensif. Pedoman wawancara ini digunakan untuk


memperoleh data dari narasumber diantaranya yaitu kepala sekolah, guru, siswa,

karyawan, dan orang tua. Pertanyaan-pertanyaan dalam teknik wawancara disusun

berdasarkan kisi-kisi instrumen yang telah dibuat oleh peneliti dan telah dilakukan

expert- judgement dari salah satu ahli pendidikan karakter di perguruan tinggi

peneliti. Expert-judgement tersebut bertujuan untuk menilai kelayakan instrumen

untuk dijadikan alat untuk mengumpulkan data. Kisi-kisi pedoman wawancara

termasuk sumber informasi yang ditentukan yaitu sebagai berikut:

Tabel 3. Kisi-Kisi Pedoman Wawancara

N
Tema Aspek Sumber Informasi
o
1 Perencanaan Pendidikan Grand design Kepala Sekolah & Guru
Karakter pada Budaya Perancangan program Kepala Sekolah, Guru,
Sekolah & Karyawan
Nilai-nilai karakter yang Kepala Sekolah & Guru
dikembangkan
Kebijakan sekolah Kepala Sekolah, Guru,
& Karyawan
Sosialisasi kebijakan Kepala Sekolah, Guru,
Karyawan, Siswa, &
Orang Tua
Fasilitas/perangkat Kepala Sekolah, Guru,
pendukung & Karyawan
Pelatihan tim pelaksana Kepala Sekolah & Guru
2 Pelaksanaan Pendidikan Strategi implementasi Kepala Sekolah & Guru
Karakter pada Budaya Pihak yang berperan Kepala Sekolah, Guru,
Sekolah Karyawan, & Siswa
Proses pelaksanaan Kepala Sekolah, Guru,
Karyawan, Siswa, dan
Orang Tua
Monitoring Kepala Sekolah, Guru,
& Karyawan
Persepsi warga sekolah Kepala Sekolah, Guru,
Karyawan, Siswa,
Orang Tua
3 Evaluasi Pendidikan Pengukuran hasil Kepala Sekolah, Guru,
Karakter pada Budaya & Karyawan
Sekolah Hambatan Kepala Sekolah, Guru,
Karyawan, & Siswa
Solusi hambatan Kepala Sekolah, Guru,
Karyawan, & Siswa
2. Lembar Observasi

Instrumen berupa lembar observasi digunakan untuk mendukung

kelengkapan data dari instrument penelitian yang lain. Lembar observasi ini

disusun berupa daftar tabel yang berisikan pokok-pokok bahasan yang akan

dilakukan observasi. Pokok-pokok bahasan tersebut dijabarkan dari kisi-kisi

instrumen lembar observasi yang dikembangkan. Kondisi-kondisi yang akan

dilakukan observasi yaitu secara umum tentang budaya sekolah di SD Negeri

Batu Putih yang terkait dengan pendidikan karakter, baik dari sisi perencanaan,

pelaksanaan, maupun evaluasinya.

Tabel 3. Kisi-Kisi Lembar Observasi

No Tema Aspek
1 Perencanaan Pendidikan Karakter pada Fasilitas/perangkat
Budaya Sekolah pendukung
2 Pelaksanaan Pendidikan Karakter pada Proses pelaksanaan
Budaya Sekolah

3. Alat Perekam Data

Instrumen berupa alat perekam data merupakan instrumen yang

memanfaatkan alat pendokumentasian berupa kamera digital. Alat tersebut

berguna untuk mendokumentasikan data baik berupa gambar ataupun rekaman

dokumen sekolah.

3.7 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan

data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu.
Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang

diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum

memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap

tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel. Aktivitas analisis data

digambarkan seperti di bawah ini.

Penyajian
Pengumpulan Data
Data

Kesimpulan-
kesimpulan:
Reduksi Penarikan/Veri
Data fikasi

Gambar 3 Komponen Dalam Analisis Data (Model Interaktif)

1. Reduksi Data (Data Reduction)

duksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan

pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak

perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran

yang lebih jelas, dan mempermudah untuk melakukan pengumpulan data

selanjutnya.

2. Penyajian Data (Data Display)


Penyajian data yaitu penyusunan sekelompok informasi yang memberi

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.Penyajian

data diarahkan agar data hasil reduksi terorganisasikan, tersusun dalam pola

hubungan, sehingga makin mudah dipahami. Penyajian data dapat dilakukan

dalam bentuk uraian naratif, bagan, hubungan antar kategori, diagram alur (flow

chart), dan lain sejenisnya. Penyajian data dalam bentuk ini akan memudahkan

peneliti memahami apa yang terjadi dan merencanakan kerja penelitian

selanjutnya.

3. Penarikan Kesimpulan (Data Drawing/Verification)

Dalam penelitian kualitatif ini akan diungkapkan makna dari data yang

dikumpulkan. Dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan

masalah yang dirumuskan sejak awat, tetapi mungkin juga tidak, karena seperti

telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah dalam penelitian

kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada

di lapangan.

Dengan demikian kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat

menjawab rumusan masalah yang dirumuskan masalah yang dirumuskan sejak

awal, tetapi mungkin tidak, karena seperti telah dikemukakan bahwa masalah dan

rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan

berkembang setelah penelitian berada dilapangan.

3.8 Prosedur Penelitian

Penelitian kualitatif biasanya didesain secara longgar, tidak ketat, sehingga

dalam pelaksanaan penelitian berpeluang mengalami perubahan dari apa yang


telah direncanakan. Hal itu dapat terjadi bila perencanaan ternyata tidak sesuai

dengan apa yang dijumpai di lapangan. Meski demikian, kerja penelitian mestilah

merancang langkah-langkah kegiatan penelitian. Menurut Sugiono terdapat tiga

tahap utama dalam penelitian kualitatif yaitu:

1. Tahap deskripsi atau tahap orientasi. Pada tahap ini, peneliti mendeskripsikan

apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Peneliti baru mendata sepintas

tentang informasi yang diperolehnya.

2. Tahap reduksi. Pada tahap ini, peneliti mereduksi segala informasi yang

diperoleh pada tahap pertama untuk memfokuskan pada masalah tertentu.

3. Tahap seleksi. Pada tahap ini, peneliti menguraikan fokus yang telah ditetapkan

menjadi lebih rinci kemudian melakukan analisis secara mendalam tentang

fokus masalah. Hasilnya adalah tema yang dikonstruksi berdasarkan data yang

diperoleh menjadi suatu pengetahuan, hipotesis, bahkan teori baru.

Secara spesifik, ketiga tahap diatas dapat dijabarkan dalam lima langkah

penelitian kualitatif, yaitu: rumusan masalah, pengumpulan data, pengelolaan dan

pemaknaan data, pemunculan teori, dan pelaporan hasil penelitian. Keterkaitan ke

lima tahap tersebut dijelaskan di bawah ini:

1. Rumusan masalah

Rumusan masalah merupakan bentuk pertanyaan yang dapat memadu

peneliti untuk mengumpulkan data dilapangan. Dalam rumusan masalah peneliti

harus mengksplorasi atau memotret situasi sosial yang akan diteliti secara

menyeluruh, luar dan mendalam. Rumusan masalah yang merupakan focus

penelitian masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti masuk
lapangan atau sitiasi sosial tertentu. Hal itu dapat terjadi bila fokus masalah yang

telah dirumuskan secara baik, namun setelah di lapangan tidak mungkin dilakukan

penelitian sehingga diubah, diganti, disempurnakan atau dialihkan. Peneliti

memiliki peluang untuk menyempurnakan, mengubah, atau menambah fokus

penelitian.

2. Pengumpulan data

Pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam

penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Dengan

terkumpulnya data yang dapat dari penelitian maka peniliti dapat menemukan

teori baru.Hal-hal yang perlu diperhatikan saat melakukan pengumpulan data

adalah menciptakan hubungan yang baik antara peneliti dengan sumber data. Hal

ini terkait dengan teknik pengumpulan data yang akan digunakan misalnya

observasi, wawancara atau pengamatan.

3. Pengelolaan dan pemaknaan data

Pada penelitian yang lain pada umumnya pengolahan data dan pemaknaan

data dilakukan setelah data terkumpul atau kegiatan pengumpulan di lapangan

dinyatakan selesai. Analisis data kualitatif yang meliputi pengolahan dan

pemaknaan data dimulai sejak peneliti memasuki lapangan. Selanjutnya, hal yang

sama dilakukan secara kontinyu pada saat pengumpulan sampai akhir kegiatan

pengumpulan data secara berulang sampai data jenuh (tidak diperoleh lagi

informasi baru). Dalam hal ini, hasil analisis dan pemaknaan data akan

berkembang, berubah, dan bergeser sesuai perkembangan dan perubahan data

yang ditemukan di lapangan.


4. Pemunculan Teori

Peran teori dalam penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian

kuantitatif. Dalam penelitian kualitatif teori tidak dimanfaatkan membangun

kerangka pikir dalam penyususnan hipotesis. Teori berfungsi sebagai alat dan

tujuan. Teori sebagai alat dimaksud bahwa dengan teori ada peneliti dapat

melengkapi dan menyediakan keterangan terhadap fenomena yang ditemui. Teori

sebagai tujuan mengandung makna bahwa temuan penelitian dapat dijadikan suatu

teori baru.

5. Pelaporan hasil penelitian

Laporan hasil penelitian merupakan bentuk pertanggung jawaban peneliti

setelah melakukan kegiatan pengumpulan data penelitian dinyatakan selesai.

Dalam konteks yang seperti ini, pelapor hasil penelitian secara tertulis memiliki

nilai guna, yaitu:

a. Sebagai kelengkapan proses penelitian yang harus dipenuhi oleh para peneliti

dalam setiap kegiatan penelitian.

b. Sebagai hasil nyata peneliti dalam merealisasi kajian ilmiah.

c. Sebagai suatu karya ilmiah yang dapat di dokumentasikan kepada masyarakat

atau sesama peneliti.

d. Sebagai hasil karya nyata yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan pada

kepentingan penelitian

3.9 Keabsahan Data

Teknik-teknik pengumpulan data pada penelitian ini digunakan sesuai

kondisi lapangan untuk saling mendukung dalam proses pemerolehan data. Hal
tersebut dimaksudkan agar memperoleh data secara komprehensif yang

mendukung keabsahan data melalui triangulasi. Triangulasi tersebut dilakukan

terkait dengan data yang diperoleh dari wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Proses triangulasi terdiri dari beberapa triangulasi,diantaranya yaitu:

1. Triangulasi Sumber

Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara

mengecek data yang telah diperoleh melalui sumber data. Yaitu melali

pembandingan data hasil wawancara dengan kepala sekolah dengan data hasil

wawancara dengan guru serta beberapa informan pendukung yaitu karyawan

sekolah, siswa, orang tua siswa, dan warga di lingkungan sekitar sekolah.

2. Triangulasi Teknik

Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara

mengecek data kepada sumber dengan teknik yang berbeda. Yaitu melalui

pembandingan hasil pengamatan dengan data hasil wawancara dan diperkuat

dengan hasil dokumentasi.

Anda mungkin juga menyukai