NPM : 10080021302
Kelas : H
Askurifai Baksin
Tiga pekan ini kita digegerkan dua peristiwa menggemparkan. Pertama, tertangkapnya orang
yang sering dijuluki guru spiritual bernama Gatot Brajamusti. Dia ditangkap di Mataram setelah
terkena operasi tangkap tangan pihak kepolisian setempat dengan barang bukti serbuk sabu.
Kedua, ‘diadilinya’ orang yang dijuluki sang motivator bernama Mario Teguh karena ada seorang
pria bernama Ario Kiswinar Teguh yang mengaku anaknya. Mario ‘diadili’ kalangan nitizen
sekaligus oleh Bayu Sutiono di sebuah program khusus di stasiun tv swasta. Kebetulan keduanya
mewakili sosok yang menjadi panutan, yakni guru spiritual dan sang motivator.
Publik sangat mengenal keduanya karena mereka dibesarkan layar kaca dengan sorotan kamera
video. Tanpa jasa kamera popularitas keduanya mungkin tidak sehebat sekarang. Ketika mereka
menjadi viral di media massa pun publik mengetahui semua. Jadi, mereka diangkat dan
dijatuhkan oleh mata kamera yang diterima oleh mata hati pemirsa.
Berkaitan dengan ‘kehebatan’ kamera belum lama ini pakar manajemen Rhenald Kasali
meluncurkan buku terbaru berjudul Camera Branding: Cameragenic vs Auragenic. Lewat buku
ini, Rhenald berusaha menyodorkan sisi menarik dari sebuah fenomena jaman. Menurutnya,
tanpa disadari, masyarakat kita telah berada di dalam sebuah peradaban baru yang disebut
peradaban kamera.
“Hampir semua orang, apakah itu presiden, politisi, pengacara, artis ataupun petani dan
pemulung, tak ada satu pun yang pergi tanpa membawa kamera. Ya, kamera saku maupun
kamera ponsel,” ujarnya mengutip kalimat-kalimat yang ada dalam pengantar buku barunya
itu.Tapi di depan kamera tak ada yang asli. Semua adalah akting, kecuali diambil dengan
teknik hidden atau candid camera.”Artis-artis papan atas memakai bulu mata dan rambut palsu,
para CEO memasang dagu wibawa, anak-anak alay bergaya lepas, dan politisi berebut bicara.
Begitu dimatikan, manusia berhenti berakting, melemaskan otot-ototnya, dan kembali apa
adanya.
Kini keduanya sedang bergelut dengan ‘nada’ dan ‘noda’. Gatot Brajamusti kini harus
mendekam di rutan Polda NTB. Nada-nada yang sebelumnya dia lantunkan di padepokannya
yang membuat dia dianggap ‘guru spiritual’ kini sudah tak terdengar. Dia hanya tertunduk malu
dengan kondisi tertangkap tangan. Satu persatu muncul pengakuan yang memojokkannya. Noda
yang terkuak saat ini seolah menutup nada-nada dalam bentuk nasihat spiritual, lagu religi, dan
santunan kepada ‘wong cilik’.
Demikian juga dengan sang motivator. Mario yang biasa menyusun nada diktif dan kini
menarik ibarat pegas, semakin keras penolakannya terhadap tuntutan Ario yang mengaku
anaknya, semakin keras pula reaksi yang muncul di masyarakat virtual. Tak tanggung-tanggung
adik kandung Mario ikut membela keponakan. Ya, nada-nada indah yang sering Mario lontarkan
di sebuah program tv swasta seolah berubah menjadi noda. Berbagai reaksi netizen cukup
memojokkan dia. Malah salah seorang netizen menyatakan, jika kasus yang menimpa Mario
benar maka dunia motivasi akan hancur.
Menjadi besar lewat kamera dengan branding mulia seperti guru spiritual dan sang
motivator tidak gampang. Ketika populer, berbagai keuntungan mengalir. Penghargaan dalam
bentuk uang, sanjungan, dan penghormatan dari publik cukup tinggi. Tapi ibarat pepatah
‘semakin tinggi kita naik maka semakin kencang pula tiupannya’. Kini, ketika sedang di atas
keduanya ditiup bukan oleh angin sepoi tapi badai dahsyat.
Kehadiran guru spritual dan motivator dalam dinamika kehidupan sering membantu
aktivitas kalangan profesional. Sebut saja di sini dua kalangan yang identik dengan guru spiritual
dan motivator, yakni artis dan wirausahawan. Dunia selebriti yang penuh cobaan duniawi sering
mendambakan sosok guru spiritual. Tak jarang kalangan artis mencari pembimbing hidup
rohaninya kepada guru spiritual. Di sinilah posisi orang seperti Aa Gatot dibutuhkan kalangan
artis. Apalagi Aa Gatot mempunyai padepokan (catatan: bukan pesantren) yang dulu dikenal bisa
membuat para artis hidup lebih tenang.
Sang motivator pun demikian. Para calon pengusaha dan profesional seolah menyerahkan
orientasi bisnisnya kepada sosok ini. Mereka terkadang harus membayar cukup mahal untuk
mengikuti ceramah dan trainingnya. Sebagai contoh traningnya Tony Robins biasa dibandrol di
atas Rp 5 juta. Atau ada yang sengaja langsung datang meminta menjadi muridnya. Jika guru
spiritual oleh pengikutnya dianggap manusia ‘setengah dewa’, sementara motivator dijuluki
‘nabinya’ kalangan profesional. Ketika selebriti maupun profesional kondisinya seperti ini maka
guru spiritual dan sang motivator tak boleh bernoda. Jika ternoda maka mereka akan dicela, di
bully, dan dibuang. Ya, kini mereka terperangkap peradaban kamera. Semoga menjadi ajang
instrospeksi diri.**
teks berjudul ”Terperangkap Peradaban Kamera” diatas menurut saya menggunakan penuturan
jenis eksposisi yang menjelaskan dan memperlihatkan mengapa peradaban kali ini disebut sang
penulis sebagai ’peradaban kamera’ dengan memakai gambaran kasus artis dan motivator yang
semakin naik daun maka semakin kencang anginnya, dan semua hal itu tersorot oleh kamera.
Sang penulis memakai rangkaian sebab-akibat dalam penulisannya (sebab kamera menyorot para
artis dan akibat yang terjadi setelahnya) dan maka karena itulah saya beranggapan bahwa sang
penulis memakai penuturan eksposisi.