Anda di halaman 1dari 7

Fenomena Idolisasi dan Mitos dalam Media (Antara Ariel Peterpan dan Jim Morrison The

Doors)1
They dont want me, they want my death---Val Kilmer as Jim Morrison in Oliver Stones The Doors

Yesus mengorbankan dirinya: daging dan darahnya dipersembahkan untuk murid-muridnya


sebagai representasi dari umatnya dalam perjamuan terakhir. Inilah sebuah metafor purba tentang
selebriti, tentang idolisasi (idolatry) dan tentang bagaimana manusia yang memakan daging dan
darah-Nya adalah konsumen tanda. Yesus adalah selebriti. Begitupun para pahlawan terkenal,
para nabi dan para figur publik. Dan selebriti adalahMitos. Roland Barthes (1982), pakar
semiotik dan strukturalisme, mengatakan bahwa mitos adalah bagian dari sistem tanda yang
sudah tidak bisa (atau tidak diperdulikan) lagi asal-muasalnya. Dengan kata lain, ia tidak
dianggap lagi sebagai manusia yang mampu berdialog dan mempertahankan posisinya, tetapi
hanya dianggap sebagai teks. Teks yang permaknaannya tergantung publik.
Mitos terbentuk dari idolisasi. Hercules, Achiles, Perseus, dan dewa-dewa Yunani Kuno dibentuk
dengan cara yang sama. Imaji tentang Tuhan-pun dibentuk dengan cara yang sama. Ada dakwah,
ada pesebaran propaganda, informasi, berita, cerita-cerita, narasi, dan pada akhirnya dongeng
atau, dalam bentuk paling ekstrim, agama yang terinstitusi. Mitos membentuk identitas dan
perilaku masyarakat, kata Levi-Strauss (1955), dan inilah yang selalu terjadi dalam peradaban
manusia. Mitologi, karenanya, dalam masa sekarang kita bisa sebut sebagai media.
Idolisasi adalah bagian dari sistem bermasyarakat yang universal. Ia ada di semua masyarakat
dari suku bangsa manapun dari waktu manapun. Sang Idola biasanya tidak melawan ketika
dimaknaikarena dia hanya teks. Idola ini (atau orang-orang di belakangnyadan ini yang
penting) berusaha membuat kesan dan tanda untuk dikonsumsi agar ia bisa tetap hidup sebagai
teks di dalam masyarakat. Para penganutnya setia dalam memaknai sang idola. Mereka menolak
1

Lukmono Suryo Nagoro lahir pada tanggal 19 November 1983 di Surakarta, Indonesia. Penulis
menyelesaikan program postgraduate master bidang Political Theory di Australia National University. Sekarang,
penulis aktif menulis untuk Jakarta Post, Jakarta Globe, dan Analisis CSIS. Atas terselesainya tulisan di atas, saya
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada panitia Jakartabeat Writing Contest 2012 atas
kesempatan besar ini. Selain itu, penulis ucapkan kepada M.Taufiqurrahman, Marcel Thee, dan Idhar Resmadi
(dari majalah music independen, Trax) atas literature soal jurnalisme musik. Tulisan ini keluar sebagai Pemenang
sayembara Jakartabeat Writing Contest 2012.

persepsi baik pada idola yang jahat (misalnya setan) dan menolak persepsi buruk pada idola yang
baik (misalnya Tuhan atau Nabi). Begitu diterbitkan, tanda bisa diinterpretasi secara bebas. Para
Idola yang memaksakan kehendaknya di masyarakat akan menjadi tiran dan pada akhirnya akan
dianggap negatif. Diktator macam pak Harto, misalnya, harus rela dianggap jahat ketika
kekuasaannya mempertahankan imej hilang.
Narasi-narasi dalam mitologi membentuk identitas dan kesadaran manusia. Marx dalam
Fuerbachian Criticism of Hegel (1967) membahas bagaimana tuhan adalah proyeksi/karya
manusia yang teralienasi dari manusia sendiri. Tuhan adalah buatan manusia yang disembahsembah dan menimbulkan fetisisme seperti halnya seorang tukang sepatu yang tak mampu
membeli sepatu dan menganggap sepatu yang dibuatnya sebagai bukan karyanya. Adorno (2004)
mengembangkan teori Marx untuk memberikan definisi tentang seni rendah-seni tinggi di mana
seni rendah adalah seni komoditas yang dicopy dan diperjualbelikan untuk mengatur kelas
pekerja, sementara seni tinggi adalah seni otentik dengan kerumitan dan kekhususan yang sulit
untuk ditiru. Keduanyaagama dan seni rendahdianggap sebagai cara untuk membodohi
kelas pekerja dengan kesadaran palsu agar tidak melawan. Jika media adalah kata modern
untuk mitos, maka Noam Chomsky (1977) berkata hal yang sama:
The real mass media are basically trying to divert people. Let them do something else, but
dont bother us (us being the people who run the show). Let them get interested in professional
sports, for example. Let everybody be crazed about professional sports or sex scandals or the
personalities and their problems or something like that. Anything, as long as it isnt serious.
Of course, the serious stuff is for the big guys. "We" take care of that.
Media massa yang sebenarnya berusaha untuk mengalihkan orang-orang. Membiarkan mereka
melakukan hal-hal lain, asal jangan memperdulikan kami (kami yaitu orang yang menjalankan
acara). Biarkan mereka tertarik dengan olahraga profesional, contohnya. Biarkan semua orang
tergila-gila dengan olahraga profesional atau skandal seks atau kepribadian dan masalah-masalah
mereka atau apapun itu. Apapun, selama itu tidak serius. Tentu saja, yang serius-serius untuk
orang-orang besar. Kami mengurus itu.
Dari sini kita bisa melihat bahwa beberapa kritikus budaya yang memandang nyinyir mitologi
atau folkloredua wacana yang sangat diakrabi ilmu antropologi klasiksebagai akar
pembagian kerja dan alienasi, kontra-revolusioner, dan penipuan publik. Idola-idola menjadi

narasi yang menanamkan kepercayaan tentang hierarki dan posisi oleh karena itu menjaga sistem
kelas seperti semestinya; seperti sejarah yang diklaim dan dibentuk penguasa untuk menguatkan
kekuasaannya.
Namun kadang-kadang, ada idola-idola yang menjadi anomali. Idola-idola yang dengan merusak
bentuknya sebagai tanda, sebagai mitos, mampu merusak sistem; mengekspos kemunafikan dan
membongkar penyakit sosial di dalam sistem yang banal. Itu adalah saat sang idola
mengeluarkan sisi kemanusiaannya, sisi individualitas dan kebebasan absolutnya sebagai seorang
manusia. Di situ sistem akan goyah dan dipaksa mencari titik keseimbangan baru. Sebagai
contoh, tulisan ini akan mencoba menghadirkan dua idola/mitos : Ariel Peterpan dan Jim
Morrison.
Sebelum lebih jauh membahas hal ini, saya perlu tekankan bahwa Ariel Peterpan sebagai seorang
individu tidak bisa dibandingkan dengan Jim Morrison dari segi pemikiran filosofis dan
intelektualitas karena mereka berasal dari kebudayaan dan masa yang benar-benar berbeda.
Mereka saya pilih untuk dibahas karena ada satu hal yang menurut saya sama: mereka berdua
pernah menjadi the ultimate Barbie doll dari dunia entertainment, dunia banalitas budaya pop,
pada konteks waktu dan tempatnya sendiri-sendiri. Perbandingan kedua orang ini sebagai
wacana saya rasa adalah contoh yang baik untuk melihat fenomena budaya populer dan sebuah
usaha melihat dua kebudayaan secara horizontal.
The Ultimate Barbie Doll adalah sebuah fenomena penting di dalam perkembangan kebudayaan
modern Amerika dimana seorang idola dipandang sebagai objek seksual. Yang menarik dari Ariel
dan Morrison adalah sebuah keterbalikan jender: maskulinitas yang biasaya subjek seksual,
diobjektifikasi sebagai sesuatu yang indah dan menggairahkan. Jim Morrison muda dengan
celana kulit ketatnya dan sifat kekanak-kanakkannya atau Ariel Peterpan yang sering telanjang
dada di panggung untuk menunjukan dadanya yang bidang dan ototnya yang mengkilat karena
keringat, juga dengan celana ketat. Tidak semua idola bisa menjadi begini. Hal ini tergantung
pada konteks dan imej yang dibangun. Contohnya Iwan Fals Muda yang telanjang dada,
brewokan, dan menunjuk ke aparat sambil berteriak Bongkar! lebih menjadi provokator
daripada objek seks karena saat itu yang dilawan adalah tiran politik.

Media membuat Ariel dan Morrison menjadi bintang. Keduanya adalah penulis lirik-lirik lagu
yang kaya metafora dan menjadi hits. Dan, yang perlu ditekankan, keduanya adalah pemain
cinta. Ketika Ariel dikatakan konon telah memproduksi 32 video seks pribadi dengan
perempuan-perempuan selebriti yang berbeda-beda, Jim Morrison telah berhubungan seks
dengan lebih dari 40 orang perempuan (Stone, 2000). Secara lebih ekstrim, buku berjudul Sex
Revolt (1996) bahkan pernah mengutip sebuah gossip di media tentang Jim yang diperkosa oleh
beberapa perempuan, salah satunya ratu musik soul kenamaan Janis Joplin.
Indonesia sekarang (hampir) mirip sekali dengan Amerika Serikat pada akhir 1960-an dan awal
1970-an secara sosial-ekonomi. Konsumerisme tinggi, pemerintah penuh dengan korupsi, politik
bisa dibilang stabil (karena tidak ada kudeta ekstrim meski sistemnya busukmungkin banyak
orang Indonesia nyaman dengan kebusukan ini) dan kaum konservatif-fundamentalis-ekstrimis
menjamur. Kehadiran Ariel Peterpan di tengah-tengah industri hiburan adalah sebuah fenomena
langka: dia tampan, menebarkan keseksiannya, bisa bernyanyi dan mencipta lagu, dan seorang
penghibur yang komunikatif. Banyak fansnya tidak terlalu memperhatikan arti lirik-lirik yang ia
ciptakan karena ia telah menjadi mitos. Persis Jim Morrison pada masa kejayaannya yang digilai
penggemar cuma karena fisik dan imej-nya.
Ariel dan Jim muda tidak mengubah apa-apa meski mereka telah menjadi mitos. Di Indonesia,
Peterpan adalah salah satu band yang memprakarsai kejatuhan musik mainstream Indonesia.
Band-band baru pop melayu meniru-niru teknik vokal Ariel, chord lagu, gaya dan beberapa katakata di dalam lirik seperti bintang atau menunggu, tapi tidak bisa mencipta kedalaman
metafora dan refleksi perenungan seperti Apa yang kuinginkan tak pernah jadi kehidupan, apa
yang kulakukan menjauh dari kenyataan.melihat di balik awan. Jim Morrison muda pun tidak
bisa memperbaiki sistem Amerika Serikat yang ia kritik pada saat itu ketika masyarakatnya
menghabiskan pengeluaran untuk minuman alkohol dan narkotik jauh lebih besar daripada untuk
pendidikan. Padahal lirik-lirik lagunya sudah memperingatkan tentang kematian kemanusiaan,
dan neo-kolonialisme (lihat lirik The End) atau kekhawatiran yang terbentuk dari kebingungan
masyarakat kapitalis dan budaya konsumerisme (lihat lirik Soft Parade). Media dan fans (atau
umat) tidak memperdulikan kemanusiaan dan individualitas idolanya, tapi terus menerus
mengelukan imej mereka, mitos mereka. Lalu yang terjadi adalah sebuah perlawanan, sebuah
kenyataan pahit bahwa mereka berdua adalah manusia yang memiliki sisi abnormalitas tinggi.

Ariel kehilangan imejnya sebagai bintang berwajah melankolis, pencipta lagu hits yang nampak
seperti pria baik-baik, ketika video seksnya bebas diunduh secara mudah. Karirnya hancur
karena skandal ini dan ia dinyatakan bersalah hingga harus masuk bui. Di sisi lain, Jim Morrison
sempat lelah dengan ketenarannya. Girls want my dick, not my words, ucap Jim dalam
rekaman An American Prayer. Ketika skandalnya terbuka: beberapa perempuannya hamil dan
minta tanggung jawab, ia juga masuk ke penjara dan diadili akibat perbuatan tidak senonoh
(kencing di panggung Miami dan membuat kerusuhan); kebebasannya sebagai manusia
terkekang sama sekali dan awal tahun 1970 ia harus masuk rehab karena ketergantungannya pada
narkoba dan depresi yang akut.
Sampai tulisan ini ditulis, Ariel masih dipenjara dan dari dalam bui mengeluarkan satu single. Di
waktu dan tempat yang lain, menjelang akhir 1970, Jim Morrison kembali dari pengasingannya.
Umurnya 26 tahun namun fisiknya seperti pria 65 tahun. Ia masih minum-minum namun ada
dalam tahap yang menurut saya paling sempurna di hidupnya: seorang tua yang bahagia bagai
sang Buddha yang diangkat ke Nirwana. Di sini pamornya sebagai Ultimate Barbie Doll sudah
jatuh. Ia tidak lagi seksi, tapi gemuk. Tidak lagi tampan tapi berewokan. Para penggemarnya
berkurang, tapi yang tersisa benar-benar mendengarkan liriknya, puisinya. Jim telah membuat
imej yang ia inginkan sendiri, bukan aturan korporat atau sistem.
Yang pasti, Ariel dan Jim telah membuat keseimbangan sistem dan struktur masyarakat menjadi
goyah. Sebagai idola, mereka telah membuat skandal. Efeknya adalah sebuah masyarakat yang
sudah sepatutnya merenungi etika dan moral yang telah pudar dan hancur dimakan keserakahan
akan konsumsi akan idola/mitos. Sebuah kenyataan bahwa seks dan konsumerisme sudah begitu
bebasnya hingga nilai-nilai hancur, nihilisme berkuasa, tujuan hilang, institusi kemapanan goyah
dan imej hierarki kapital runtuh. Sudah seharusnya masyarakat mencari keseimbangan baru.
Jim dan kawan-kawan flower generation-nya telah membuka mata masyarakat Amerika tentang
kebobrokan sistemnya. Masa Beat-generation adalah salah satu turning point tertajam Amerika.
Sistem pendidikan mulai diperbaiki, segala hal yang tabu seperti seks dan kritik sejarah, mulai
dibuka aksesnya ke ranah pendidikan wajib. Kebebasan diberikan dengan pemantauan dan
pengembangan. Pemerintah dan pengkaji budaya bisa membaca apa yang bisa dilakukan
masyarakatnya melalui skandal selebriti-selebriti ini: sadomaskisme, homoseksual dan biseksual

mulai diakui keberadaannya, narkoba semakin dipersempit geraknya, dan media mulai
menyadari bahwa mereka sudah benar-benar membunuh mitos-mitos yang mereka besarkan
sendiri. Ini juga bisa diinterpretasikan kenapa perlahan-lahan para raja entertainment mati tanpa
ada regenerasiMichael Jackson adalah yang terakhir. Era para Raja dan idola sudah berakhir di
Amerika.
Hal yang serupa tidak terjadi di Indonesia. Ruang privat selebriti yang secara ekstrim dibuka
skandal Ariel, alih-alih membuka topeng kemunafikan, malahan memberikan semacam realityby-proxy atau kenyataan-yang-dekat dengan para fansnya. Kedekatan semacam ini
bertransformasi secara simbolik dalam bentuk infotainment yang menguasai 70% acara televisi
nasional dari pagi sampai malam dan membahas secara berulang-ulang narasi kehidupan privat
para selebritibukan produk mereka. Dominasi infotainment di televisi nasional menjadi
bahasan penting karena dari situ kita bisa melihat sebuah kebanalan tanpa pilihan yang membuat
mitos dianggap sebuah kenyataan yang dekat. Pembicaraan tentang figur publik dari internet
sampai dapur pribadi tak jauh beda seperti pembicaraan tentang skandal tetangga, kawan atau
saudara dekat yang menjadi bahasan sehari-hari. Narasi-narasi ini begitu populer saat ini dengan
kebanalannya: seorang musisi menikah secara besar-besaran dan mantan istrinya datang dengan
suami barunya, seorang pengacara membelikan anak perempuannya mobil seharga miliaran
padahal anaknya cuma minta martabak, seorang kekasih selebriti memalsukan identitasnya, dan
seterusnya.
Gosip difabrikasi dan kenyataan diverifikasi dalam sebuah siklus pabrik semiotis artifisial
citraan-citraan. Bukannya kemunafikan berusaha diredam, tapi malah diumbar dengan usaha
untuk membuat citraan yang baik dengan cara yang sangat buruk dan menghasilkan performance
yang absurd. Seperti narasi tentang seorang penyanyi dangdut yang menikah dengan janda kaya
yang dirangkai dengan musik horror, narasi mencekam, dan gaya investigasi kriminal
pembunuhan berantai. Sangat postmodern, sangat bebas dan semaunya, sangat banal, dan sangat
tidak masuk akal. Dalam mitologi seperti inilah kebudayaan dominan Indonesia kontemporer
sedang dibangun.
Di negara-negara kapitalis lain, media memiliki banyak cabang dan fungsi. Orang bisa memilih
berbagai macam acara yang tidak melulu infotainment. Tapi tidak di negeri ini. Jika TV dikuasai

infotainment, kemana larinya wacana politik? Kemana perginya kasus-kasus lama yang belum
terkuak? Siapa yang masih peduli akan Widji Thukul, mahasiswa-mahasiswa yang diculik dan
dibunuh sebelum 1998, Munir, atau Prita yang kasusnya masih mengambang? Nampaknya kalau
tak sedikit, tak ada. Toh, Trending topic twitter tertinggi di Indonesia tahun 2011 hingga sekarang
tak jauh-jauh dari wacana-wacana selebriti dari Briptu Norman hingga Lady Gaga. Apakah
pendapat Marx, Adorno dan Chomsky masih relevan di negeri ini, bahwa hal remeh temeh dan
tidak penting diciptakan untuk kelas pekerja? Apakah Ariel benar-benar jauh dari Jim Morrison
sehingga efek filosofis Morrison tidak mungkin terjadi di negeri ini? Benarkah dominasi acara
tak penting di TV nasional adalah manipulasi kelas penguasa? Saya tidak ingin menjawab semua
itu. Saya memilih untuk menutup tulisan ini dengan sebuah cerita fiksi dan membiarkan anda
menyimpulkan sendiri:
Jeany adalah seorang anak SMU dari keluarga menengah kelas atas Indonesia. Ia sekolah di
sekolah internasional dan sering jalan-jalan ke luar negeri dengan orang-tuanya Ia adalah anak
salah satu pengusaha paling kaya di Indonesia yang juga seorang pejabat pemerintah dan
pembesar partai. Suatu hari ia pulang ke rumah, menyalakan TV kabelnya dan memilih saluran.
Tentunya tayangan TV nasional (dua di antaranya milik ayahnya) yang berisi infotainment ia
lewatkan. Ia berhenti menekan remote dan mulai menonton sebuah program international E!
Entertainment yang membahas pita pink yang dipakai Miley Cyrus dalam sebuah acara. Pita
pink dibahas hampir satu jam, dan ia tidak melewatkannya semenit-pun. Untuk Jeany, pita Pink
Miley Cyrus jauh lebih penting daripada nonton stasiun TV ayahnya yang membahas Saipul
Jamil yang ingin bangun mesjid. Jeany adalah masa depan kaum menengah atas yang akan
mengurus hal-hal penting di negeri kita. Ia hanya menonton yang penting-penting saja
sebelum nanti malam dugem bersama kawan-kawannya.

Anda mungkin juga menyukai