Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN PRAKTIK KOMPREHENSIF I

PERIODE II (19 DESEMBER s.d 31 DESEMBER 2022)

“PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA GANGGUAN


GERAK DAN FUNGSI KNEE JOINT AKIBAT MEDIAL
PATELLOFEMORAL LIGAMENT TEAR SINISTRA
DI RS.SILOAM SRIWIJAYA PALEMBANG”

Disusun Oleh :
KELOMPOK I

Nama NIM
Anjas Alfareza 30020001
Anggun Mutiara Nosiesa Putri 30020002
Shoyuna Putri Komalasari 30020024

PROGRAM STUDI DIII FISIOTERAPI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN INSTITUT ILMU
KESEHATAN DAN TEKNOLOGI
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Laporan Praktik Komprehensif I dan Kelompok I Periode II (19 Desember


s.d. 31 Desember 2022) yang berjudul “Penatalaksanaan Fisioterapi pada
Gangguan Gerak dan Fungsi Knee Joint akibat Medial Patellofemoral
Ligament Tear Sinistra di RS Siloam Sriwijaya Palembang”.
Telah diperiksa dan disetujui.

Palembang, Desember 2022


Pembimbing Akademik Pembimbing Praktik

Dwi Herdayanti Ryan Hidayatullah, S.Fis.,Ftr., AIFO

Mengetahui,
Ka. Prodi DIII Fisioterapi

Juliastuti, AM.d. Ft., SKM., M.Bmd


DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan oleh tuhan sebagai makhluk yang paling


sempurna di bumi dengan kesempurnaan ini manusia memiliki komponen
penyusun tubuh yang sangat luar biasa, namun semakin bertambahnya usia
manusia semakin banyak timbul permasalahan dalam tubuh manusia.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik mengangkat
judul penulisan “Penatalaksanaan Fisioterapi pada Gangguan Gerak dan
Fungsi Knee Joint akibat Medial Patellofemoral Ligament Tear di RS Siloam
Sriwijaya Palembang”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka timbul beberapa


rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana patofisiologi terjadinya gangguan gerak dan fungsi akibat
Medial Patellofemoral Ligament Tear Sinistra?
2. Apa saja problematik fisioterapi yang timbul pada kondisi gangguan
gerak dan fungsi akibat Medial Patellofemoral Ligament Tear Sinistra?
3. Bagaimana penatalaksaan fisioterapi dengan menggunakan metodologi
intervensi fisioterapi berupa Transcutaneous Electrical Nerve
Stimulation (TENS), Ultrasound (US) dan Strengthening exercise
terhadap gangguan fungsional sendi lutut pada kondisi Medial
Patellofemoral Ligament Tear Sinistra?
4. Bagaimana pengaruh dari Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation
(TENS), Ultrasound (US) dan Strengthening exercise terhadap gangguan
fungsional sendi lutut pada kondisi Medial Patellofemoral Ligament
Tear Sinistra?
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi terjadinya gangguan gerak


dan fungsi akibat Medial Patellofemoral Ligament Tear Sinistra?
2. Untuk mengetahui apa saja problematik fisioterapi yang timbul pada
kondisi gangguan gerak dan fungsi akibat Medial Patellofemoral
Ligament Tear Sinistra?
3. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksaan fisioterapi dengan
menggunakan metodologi intervensi fisioterapi berupa Transcutaneous
Electrical Nerve Stimulation (TENS), Ultrasound (US) dan
Strengthening exercise terhadap gangguan fungsional sendi lutut pada
kondisi Medial Patellofemoral Ligament Tear Sinistra?
4. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari Transcutaneous Electrical
Nerve Stimulation (TENS), Ultrasound (US) Strengthening exercise
terhadap gangguan fungsional sendi lutut pada kondisi Medial
Patellofemoral Ligament Tear Sinistra?

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan Laporan Praktik Komprehensif ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi penulis dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan


pengalaman dalam penanganan kondisi gangguan gerak dan fungsi lutut
akibat Medial Patellofemoral Ligament Tear.
2. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
pegetahuan mengenai gangguan gerak dan fungsi lutut akibat Medial
Patellofemoral Ligament Tear dan digunakan sebagai bahan pustaka dan
bacaan bagi mahasiswa Institut Ilmu Kesehatan dan Teknologi (IKesT)
Muhammadiyah Palembang khususnya Program Studi DIII Fisioterapi.
3. Dalam memberikan masukan bagi fisioterapi akan intervensi yang efektif
dan efisien dalam memberikan pelayanan terhadap pasien di rumah
sakit/klinik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Rumah Sakit Siloam Sriwijaya Palembang

Siloam Hospitals Sriwijaya Palembang adalah Rumah Sakit yang terletak


di Palembang, Sumatera Selatan yang berada di bawah naungan Siloam
Hospital Group. Siloam Hospitals memiliki Visi mewujudkan rumah sakit
dengan layanan internasional, terjangkau masyarakat, dan dibawah kasih
tuhan. Dengan Misi menjadi rumah sakit pilihan dengan layanan kesehatan
kelas dunia dalam pendidikan kesehatan dan penelitian.

Pelayanan Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit meliputi seluruh upaya


kesehatan pada umumnya, yaitu upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif dalam cakupan yang lebih spesifik yaitu kecacatan.

Upaya Promotif : Penyuluhan, informasi dan edukasi tentang hidup sehat


dan aktivitas yang tepat untuk mencegah kondisi sakit. Upaya Preventif :
Edukasi dan penanganan yang tepat pada kondisi sakit / penyakit untuk
mencegah dan atau meminimalkan gangguan fungsi atau resiko kecacatan.
Mencegah atau mengurangi angka kesakitan, mengurangi akibat lanjut
kelainan, mencegah atau mengurangi terjadinya ketidakmampuan akibat
kelainan, mencegah terjadinya ketunaan setelah keadaan ketidakmampuan.

Upaya Kuratif : Penanganan melalui panduan intervensi medik,


keterapian fisik, dan upaya rehabilitatif untuk mengatasi penyakit / kondisi
sakit, untuk mengembalikan dan mempertahankan kemampuan fungsi. Terapi
kausal ataupun terapi simtomatis, dapat dicapai dengan memanfaatkan.
Medikamentosa dan terapi fisik yang dilakukan oleh tim rehabilitasi medik.

Upaya Rehabilitatif : Penanganan melalui panduan intervensi medik,


keterapian fisik, keteknisan medik dan upaya rehabilitatif lainnya melalui
pendekatan psiko-sosial-edukasi-okupasi-vokasional untuk mengatasi
penyakit / kondisi sakit yang bertujuan mengembalikan dan mempertahankan
kemampuan fungsi, meningkatkan aktivitas dan peran serta / partisipasi di
masyarakat.

1. Batasan Operasional Pelayanan


Pelayanan rehabilitasi medik : pelayanan kesehatan terhadap
gangguan fisik dan fungsi yang diakibatkan oleh keadaan / kondisi sakit,
penyakit atau cedera melalui panduan intervensi medik, keterapian fisik,
dan / atau rehabilitatif untuk mencapai kemampuan fungsi yang optimal.
Gangguan fungsi berdasarkan International Classifikation of
Impairment Disability and Handicap ( ICIDH ), diklasifikasikan sebagai
berikut :
a. Impairment ( hendaya )
Keadaan kehilangan atau ketidakmampuan dari kondisi psikologis,
fisiologis, struktur anatomi atau fungsi.

b. Disability ( disabilitas )
Segala restriksi atau kekurangan kemampuan untuk melakukan
aktivitas dalam lingkup wajar bagi manusia yang diakibatkan
kegangguan / impairment.

c. Handicap ( kecacatan )
d. Hambatan dalam individu yang diakibatkan oleh hendaya dan
disabilitas yang membatasi pemenuhan peran wajar seseorang sesuai
dengan faktor umur, jenis kelamin, sosial dan budaya.
e. Difabel
Istilah yang digunakan bagi seseorang yang mempunyai keterbatasan
fungsional.

1) Pelayanan fisioterapi
Bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada
individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara,
dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur
kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual,
peningkatan gerak, peralatan ( fisik, elektroterapeuis dan
mekanis ), pelatihan fungsi dan komunikasi.

2) Pelayanan terapi wicara


Bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada
individu dan / atau kelompok untuk memulihkan dan
mengupayakan kompensasi / adaptasi fungsi komunikasi, bicara,
dan menelan dengan melalui pelatihan remediasi, stimulasi dan
fasilitasi ( fisik, elektropeutis dan mekanis )

3) Pelayanan terapi okupasi


Bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada
individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara,
memulihkan fungsi dan atau mengupayakan kompensasi /
adaptasi untuk aktivitas sehari- hari, produktifitas dan waktu
luang melalui pelatihan remediasi, stimulasi, dan fasilitasi.

4) Pelayanan ortotik prostetik ( definisi IOPI )


Salah satu bentuk pelayanan keteknisan medic yang
ditujukan kepada individu untuk merancang, membuat dan
mengepas alat bantu guna pemeliharaan dan pemulihan fungsi
atau pengganti gerak.

2. Landasan Hukum

a. UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran


a. UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
b. UU No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
c. Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan
d. Buku Pedoman Pelayanan Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit A, B,
C, dan D, Edisi ke 3 tahun 2007
e. Kepmenkes No. 378 tahun 2008 tentang Pedoman Pelayanan
Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit
f. Kepmenkes No. 1363 tahun 2001 tentang Registrasi dan Izin Praktik
Fisioterapis
g. Permenkes No. 867 tahun 2004 tentang Registrasi dan Praktik Terapis
Wicara
A. STANDAR KETENAGAAN
1. Kualifikasi SDM
a. Kepala Departemen Rehabilitasi Medik
1) Kriteria Umum
a) Sehat jasmani dan rohani
b) Berkelakuan baik
c) Lulus proses rekrutmen di RS Siloam Sriwijaya Palembang
2) Pendidikan & Kursus
a) Minimal Dokter Spesialis Kedokteran Fisik & Rehabilitasi
b) Primary source verification dari institusi yang bersangkutan
3) Pengalaman
a) Diuatamakan dengan pengalaman kerja.
4) Keterampilan
a) Memiliki pengetahuan manajerial
b) Mampu berbahasa inggris
c) Dapat mengoperasikan computer

b. Tenaga Keterapian Fisik

1. Kriteria umum
a) Sehat jasmani dan rohani
b) Berkelakuan baik
c) Lulus proses rekrutmen di Siloam Hospitals Palembang
2. Pendidikan dan Kursus
a) Minimal D3 Fisioterapi
b) D3 Okupasi Terapi
c) D3 Terapi Wicara sesuai dengan bidang kerjanya.
3. Primary source verification dari institusi yang bersangkutan
a. Pengalaman
Diutamakan dengan pengalaman kerja.
b. Ketrampilan
1) Mampu melakukan asesmen, diagnosis, terapi dan
evaluasi keterapian fisik kepada pasien sesuai dengan
kompetensi masing-masing dan arahan dokter
2) Mampu berbahasa inggris minimal pasif
c. Perawat Rehabilitasi Medik
1. Kriteria umum
a. Sehat jasmani dan rohani
b. Berkelakuan baik
c. Lulus proses rekrutmen di Siloam Hospitals Palembang
2. Pendidikan dan Kursus
Minimal D3 Perawat.
3. Primary source verification dari institusi yang bersangkutan
a. Pengalaman
Diutamakan dengan pengalaman kerja.
b. Ketrampilan
1) Mampu melakukan asuhan keperawatan
2) Mampu berbahasa inggris minimal pasif
3) Dapat mengoperasikan komputer
2 Officer ( tenaga administrasi dan kasir ), Customer service, dan health
care assistant
a. Kriteria umum
1) Sehat jasmani dan rohani
2) Berkelakuan baik
3) Lulus proses rekrutmen di Siloam Hospitals Palembang
b. Pendidikan
1) Diutamakan dengan pengalaman kerja
2) Ketrampilan
3) Mampu berbahasa inggris minimal pasif
4) Dapat mengetik dan mengoperasikan komputer
5) Mengetahui pengetahuan dasar kearsipan
B. Distribusi Ketenagaan
Tabel Jumlah Ketenagaan

No Tenaga Jumlah

1. Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran 1


Fisik dan Rehabilitasi

2. Fisioterapis 7

3. Terapis Wicara 0

4. Terapis Okupasi 0

5. Ortotis prostetis 0

6. Perawat 0

7. Administrasi / Registrasi 1

C. Pengaturan Jaga
Pengaturan jaga dilakukan untuk 3 Shift. Jaga Pagi 4 Fisioterapis. Jaga
Sore 3 Fisioterapis dan di tambah 1 Registrasi

D. STANDAR FASILITAS
2. Denah Ruangan
Lokasi gedung yang ideal harus terletak dekat ruang rawat inap dan
rawat jalan dengan memperhatikan kemudahan aksesbilitas pasien difabel
untuk mencapai lokasi.

Standar umum konstruksi gedung

a. Jalan menuju ke Departemen Rehsbilitasi Medik sebaiknya rata dan


tidak licin, serta dengan jumlah anak tangga yang seminimal
mungkin.
b. Pintu dalam ruangan cukup lebar untuk memudahkan pasien lewat
denag kursi roda atau tempat tidur.
c. Daya listrik harus cukur serta ada cadangan daya untuk
mengantisipasi bila suatu saat daya listrik menurun. Stabilisator
diperlukan untuk menjamin kestabilan daya.
d. Tanjakan harus landai dengan sudut kemiringan minimal 20
derajat.
e. Untuk pasien yang menggunakan kursi roda disediakan toilet
khusus yang memiliki luasan cukup untuk bergeraknya kursi roda.
f. Disarankan akses masuk untuk pasien terpisah dari akses masuk
staf.
3. Ruang Terapi Okupasi
a. Ruang Terapi Okupasi
Merupakan ruangan terapis okupasi melakukan terapi
kepada pasien individu dan atau kelompok untuk
mengembangkan, memelihara, memulihkan fungsi dan atau
mengupayakan kompensasi / adaptasi untuk aktivitas sehari-hari
( Activity Dialy Living ), produktifitas dan waktu luang melalui
pelatihan remediasi, stimulasi, dan fasilitasi. Setidaknya ruang
yang dibutuhkan 6 m2 per pasien.
b. Ruang Sensori Integrasi Anak & Perangsangan Audio Visual
Merupakan ruangan tempat terapis okupasi melakukan
terapi baik secara kelompok maupun individual kepada pasien
anak untuk merangsang panca indra serta gerak motorik halus dan
kasar. Ruangan ini di desain sedemikian agar menyerupai area
bermain yang dilengkapi dengan pelindung-pelindung khusus
( misalnya : busa dilapisi kulit sintetis ) pada daerah-daerah yang
keras ( misalnya : tiang, dinding, la ntai ) serta daerah bersudut
yang cukup tajam ( misalnya : tepi meja, tepi ayunan, sudut
dinding ).
Ruang relaksasi rangsangan audio visual ruangan tempat terapis
okupasi melakukan terapi perangsangan audio visual ( umumnya
pada anak ) dalam suatu ruangan tertutup yang dilengkapi dengan
srana audio visual maupuun benda – benda bercahaya. Ruangan
ini juga merupakan ruangan relaksasi bagi pasien. Di dalamnya
terdapat lampu fiberoptik berpelindung dan akuarium flexyglass
yang mampu mengeluarkan cahaya multi warna secara bergantian,
televisi, bantal, tempat duduk, bola keseimbangan, dll
c. Ruang Fisioterapi
1) Ruang Exercise
Ruang tempat pasien melakukan kegiatan senam
misalnya senam stroke, senam jantung, senam diabetes,
senam pernafasan, senam asma, senam osteoporosis, dll dan
kegiatan latihan keterapian fisik aktif lainnya.
Ruang exercise sebaiknya cukup luas ( minimal 40
m2 ) dengan peralatan latihan sehingga pasien dapat bebas
melakukan terapi latihan atau kegiatan, secara individu
ataupun bersama. Dinding dan langit-langit ruangan harus
cukup kuat untuk pemasangan seperti wall bar, shoulder
wheel dan alat-alat latihan lainnya.
2) Ruang Fisioterapi Pasif
Merupakan ruang untuk memberikan pelayanan
berupa suatu intervensi radiasi / gelombang elektromagnet
dan traksi, maupun latihan manipulasi yang di berikan yang
bersifat individu.
Diperlukan ruang setidaknya 4 m2 per tempat tidur
traksi sehingga tersedia ruang cukup luas untuk penempatan
tempat tidur, alat modalitas terapi serta memungkinkan
mobilitas kursi roda.
Penyekat ruangan antar slot sebaiknya bukan
pemisah permanen, misalnya tirai, folding door, untuk
mempermudah pasien masuk dengan menggunakan kursi
roda atau tempat tidur. Penyekat ini juga di maksud agar
ruangan mudah diperluas dan dapat dipakai kegiatan
kelompok, analisa jalan dan untuk tujuan mengajar pada
pasien.
3) Ruang Pemeriksaan Dokter
Ruangan tempat dokter melakukan pemeriksaan,
menegakkan diagnosis maupun prognosis terhadap pasien
dan tempat pasien melakukan konsultasi medis dengan
dokter.
Ruang ini sebaiknya cukup luas untuk
memungkinkan mobilitas pasien dengan kursi roda dan
memadai untuk asesmen pola jalan, aktivitas sederhana dan
gangguan fungsi lainnya serta dilengkapi dengan alat-alat
pemeriksaan yang memadai.

LAY OUT

ACTIVITY
AREA THREATMENT
BAR

TOILET ROOM

DIRTY
UTILITY
(D U)

ORTHOTIC
NEBULIZER
PROSTETIC
ROOM

SPEECH OCCUPATIONA
THERAPY L
THERAPY

CONSULTATI NURSE
ON
STATION
4. Standar Fasilitas

Peralatan Pemeriksaan Dokter

No Alat Jumlah
.

1. Stetoskop anak / dewasa 1/1

2. Tensimeter 1

3. Photo viewer 1

4. Reflex Hammer 1

5. Geniometer 1

6. Flow meter 1

7. Meteran gulung 1

Peralatan Fisioterapi

No. Alat Jumlah

1. Treadmill 2

2. Bicycle Ergometer 1

3. EN - Tree Pulley Explosive 1

4. Finger Training Instruments 1

5. CPM 1

6. Traction 1
7. Quadriceps Bench 1

8. Pat Slide 1

9. Tilting table 1

10. Short Wave Diathermy Therapy (SWD) 2

11. Micro Wave Diathermy (MWD) 1

12. Parallel Bars 1

13. Electro Therapy / TENS 2

14. Bed therapy 5

15. Cermin sikap 2

16. Parafin bath 1

17. Cold pack 3

18. Infra red 5

19. Walker 2

20. Meteran gulung 1

21. Cruck 2

22. Tripod 1

23. Quadripod 1

24. Kursi roda 1

25. Tangga 1

26. Matras 1

27. Physio ball 2

28. Nebulizer 3

29. Ultrasonic diathermy 3

30. Cryotherapy 1
B. TATA LAKSANA PELAYANAN
1. Jenis Pelayanan
Pelayanan Departemen Rehabilitasi Medik di Siloam Hospitals
Palembang dilaksanakan melalui pendekatan pelayanan satu pintu ( one
gate system ), artinya setiap pasien yang memerlukan pelayanan
Rehabilitasi Medik harus menjalani pemeriksaan / penilaian / asesmen
oleh Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi ( SpKFR )
untuk menegakkan diagnosis medik dan fungsional, menegakkan
prognosis, mengarahkan / menetapkan daan mengevaluasi program
terapi yang di butuhkan. Intervensi Keterapian Fisik dan Rehabilitasi
terhadap pasien dilakukan melalui layanan individu maupun kelompok.
Kegiatan pelayanan ini merupakan pelyanan tersendiri baik rawat inap
atau rawat jalan Rumah Sakit, maupun dalam layanan terpadu.
Pelayanan Rehabilitasi Medik melibatkan beberapa tenaga kesehatan
dan tenaga lain seperti :
a. Dokter Spesialia Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
b. Fisioterapis
c. Terapis Okupasi
d. Terapis Wicara
e. Ortosis Prostesis
f. Perawat Rehabilitasi Medik
g. Psikolog
Pasien yang membutuhkan pelayanan Rehabilitasi Medik dapat berasal
dari :

a. Emergency Departement
b. Outpatient Departement
c. Inpatient Departement, termasuk HCU ( High Care Unit ), ICCU
( Intensive Cardiac Care Unit ), ICU ( Intensive Care Unit ), NICU (
Neonatal Intensive Care Unit ), Stroke Unit.
d. Konsul dari dokter apraktek swasta / klinik
e. Rujukan dari Rumah Sakit / Institusi kesehatan lainnya.
Dengan sistem satu pintu yang diterapkan dalam kegiatan
pelayanan di Departemen Rehabilitasi Medik, maka akan
didapatkan rangkaian kegiatan sebagai berikut :

1) Pemerikasaan / pengkajian dan penegakkan diagnosis


medik dan fungsional oleh SpKFR.
2) Asesmen oleh tim Rehabiliatasi Medik
3) Paket program terapi
a) Pelayanan Rehabilitasi Medik rawat jalan
b) Pelayanan Rehabilitasi Medik rawat inap
4) Evaluasi program terapi
5) Melanjutkan atau selesai program dalam keadaan :
a) Sembuh tanpa cacat
b) Pulih dengan gejala sisa / difabel
6) Kembali ke masyarakat
Seorang pasien, sesuai dengan hasil penilaian dapat memperoleh
program terapi dari satu jenis pelayanan atau paduan terapi dari
beberapa jenis program pelayanan. Paket program terapi
diselenggarakan dalam frekuensi berbeda-beda tergantung
diagnoosis fungsional pasien, dapay dilakukan secara pelayanan
Rehabilitasi Medik rawat jalan atau Rehabilitasi rawat inap.

2. Alur Pelayanan
Pelayanan pasien di Departemen Rehabilitasi Medik harus
mengikuti prosedur pelayanan pasien rawat jalan dan pasien rawat
inap yang telah ditetapkan.
Setiap pasien yang tertera di bawah ini harus melalui pemeriksaan
atau sepengetahuan Dokter SpKFR yang bertugas pada hari
tersebut, sebagai berikut :
a. Pasien dengan kasus baru / tanpa rujukan
b. Pasien yang dijadwalkan re-evaluasi oleh Dokter SpKFR.
c. Setiap pasien dari Dokter Spesialis atau dokter umum di
Siloam Hospitals serta paien kiriman Dokter Spesialis THT,
Spesialis Kebidanan dan Kandungan atau Spesialis anak
Siloam Hospitals, dengan instruksi yang sesuai dengan yang
sudah tercetak pada formulir permintaan tindakan Rehabilitasi
Medik tertentu saja.
d. Semua pasien dari Rumah Sakit lain di luar Siloam Hospitals.
Pengendalian limbah mengikuti kebijakan pengendalian
limbah Siloam Hospitals.

Sistem rujukan dilakukan sesuai dengan standar prosedur yang


berlaku di Siloam Hospitals.

Jika terjadi Code Blue di ruangan Departemen Rehabilitasi


Medik maka prosedur Code Blue dilakukan sesuai dengan
standar prosedur yang berlaku di Siloam Hospitals.

Program diilakukan berdasarkan hasil evaluasi, diagnosis


fungsional dan prognosis pasien dengan mencantumkan jenis,
frekuensi, target terapi baik jangka pendek dan jangka panjang
serta menentukan waktu reevaluasi.

Jika Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi


memandang perlu melakukan konsultasi dengan Spesialis lain
atau Psikolog, maka Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi dapat menggunakan formulir rujukan internal
( internal patient referal form ).

3. Daftar SOP
a. KRS-SHMRH-001 : Pedoman pelayanan pasien di
departemen rehabilitasi medik.
b. PP-SHMRH-001 : Pelayanan pasien rawat jalan
c. PP-SHMRH-002 : Pelayanan pasien rawat inap

B. Medial Patellofemoral Ligament (MPFL)

1. Definisi
Ligamentum patellofemoral medial (MPFL) adalah bagian dari
jaringan penahan jaringan lunak yang membantu menstabilkan
lutut. MPFL menjaga patela (tempurung lutut) tetap di tengah, sehingga
meluncur dengan baik selama gerakan kaki. MPFL terletak di bagian
dalam lutut dan menghubungkan patela ke tulang paha (tulang
paha). Cedera, seperti keseleo atau robekan, pada ligamen ini sering terjadi
karena dislokasi patela yang kuat dan traumatis. Cedera MPFL lebih
sering terjadi pada wanita dan atlet.
Patela bersandar pada alur di depan tulang paha distal yang disebut
trochlear. Artikulasi antara tempurung lutut dan troklea memfasilitasi
gerakan lutut yang normal. Kedalaman alami troklea dan MFPL
membantu menjaga patela tetap terpusat di troklea. Patela dapat terkilir
keluar dari alur karena kekuatan traumatis atau putaran yang tidak
wajar. MPFL adalah pengekangan alami terhadap gerakan lateral patela
yang abnormal keluar dari alur trochlea. Selama dislokasi patela,
tempurung lutut bergerak ke samping (ke luar) relatif terhadap tulang
paha. Fenomena ini dikaitkan dengan peregangan atau robeknya
MPFL. Seseorang yang mengalami cedera ini akan merasakan nyeri akut
dan pembengkakan segera. Patela mungkin terkunci di
tempatnya. Kadang-kadang, tempurung lutut yang terkilir mungkin
memerlukan bantuan dokter untuk mengembalikan tulang ke
tempatnya. Sebagian besar dislokasi tempurung lutut kembali ke
tempatnya secara alami. Sebagai bagian dari proses pemulihan,
penyangga, istirahat, dan terapi fisik dapat menyembuhkan robekan
MPFL.
Gambar 2. 1
Kondisi lutut MPFL Tear
()

2. Etiologi
Penyebab cedera MPFL diketahui terjadi ketika patela terkilir atau
menjadi subluksasi (terkilir sebagian) karena trauma yang dialami selama
atletik atau kecelakaan, sebagai akibat dari ligamen yang longgar secara
alami – paling sering terlihat pada anak perempuan dan perempuan – atau
karena variasi individu dalam anatomi tulang. Orang dengan cedera ini
digambarkan memiliki ketidakstabilan patela.

3. Patologi
ruptur ligamentum patellofemoral medial dapat menyebabkan
dislokasi patela ke arah lateral. Dislokasi lateral atau subluksasi patela juga
dapat dilihat pada tampilan “matahari terbit/ sunrise”. disebut sunrise karena
terdapat kerobekan pada otot Vastus Medialis Obliquus (VMO) dan anterior
retinakulum medial dapat terjadi sehubungan dengan dislokasi lateral patela.
Arah dislokasi lutut yang paling sering adalah ke lateral. Ketika hal ini
terjadi, otot dan ligamen di lutut menjadi terlalu meregang dan mengalami
kerusakan. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan dislokasi patella yang
paling sering adalah insufisiensi kekuatan otot quadriceps pada sisi dalam
lutut, pronasi kaki berlebihan dan yang dikenal dengan peningkatan sudut Q
lutut.
Otot vastus medialis oblik atau VMO adalah otot quadriceps pada sisi dalam
paha dan bertanggung jawab untuk mempertahankan stabilitas patella di lutut
Bila otot VMO tidak kuat atau serat ototnya tidak cukup terorientasi, patella
akan lebih rentan mengalami dislokasi.

4. Tanda dan Gejala

a. Deformasi lutut / terlihat dislokasi tempurung lutut


b. Tekuk lutut
c. Menangkap di lutut sambil menekuk atau meluruskan kaki
d. Nyeri patela terutama setelah beraktivitas
e. Kekakuan
f. Pembengkakan
g. Suara berderak (crepitus)
h. Sakit lutut saat duduk
5. Diagnosa
a. Anamnesis
Pada umumnya pasien OA mengatakan bahwa keluhan-
keluhannya sudah berlangsung lama, tetapi berkembang secara
perlahan-lahan.
Berikut ini keluhan yang dijumpai pada pasien OA:
1) Nyeri Sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama. Nyeri biasanya
bertambah dan berkurang dengan istirahat. Pada penderita OA
biasanya mengalami nyeri pada gerakan tertentu dan dapat
bertambah sampai sendi hanya bisa digoyangkan dan menjadi
kontraktur, hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan)
maupun eksentris (salah satu gerakan) (Soeroso dkk, 2009).
2) Hambatan Gerakan Sendi
Gangguan gerak sendi biasanya akan semakin bertambah
berat dengan pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri
(Soeroso dkk, 2009).
3) Kekakuan
Pada beberapa pasien OA, kaku sendi dapat timbul setelah
imobilisasi, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang
cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur, kekakuan ini akan
terasa menetap dan progresif (Soeroso dkk, 2009).
4) Perubahan Gaya Berjalan
Perubahan gaya berjalan ini merupakan gejala yang
menyusahkan pasien. Hampir semua pasien OA pergelangan kaki,
tumit, lutut atau panggul berkembang menjadi pincang. Gangguan
berjalan dan gangguan fungsi yang lain merupakan ancaman yang
besar bagi kemandirian pasien OA yang umumnya lansia (Soeroso
dkk, 2009).

b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan, diantaranya:
1) Hambatan Gerak
Hambatan gerak biasanya bertambah buruk dengan semakin
beratnya penyakit, sampai hanya bisa digoyangkan dan menjadi
kontraktur. Hambatan gerak dibagi menjadi dua yaitu konsentris
(seluruh arah) dan eksentris (salah satu gerakan) (Soeroso dkk,
2009).
2) Pembengkakan Sendi
Pembengkakan sendi pada kondisi OA dapat timbul karena
efusi pada sendi yang biasanya tidak banyak (<100 cc). Sebab lain
karena adanya osteofit yang dapat mengubah permukaan sendi
(Soeroso dkk, 2009).
3) Tanda Peradangan
Tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan,
gangguan gerak, rasa hangat yang merata, dan warna kemerahan)
mungkin dijumpai pada kondisi OA karena adanya sinovitis.
Biasanya tanda-tanda ini tidak menonjol dan timbul belakangan,
seringkali dijumpai di lutut, pergelangan kaki, dan sendi-sendi
kecil tangan dan kaki (Soeroso dkk, 2009).
4) Perubahan Gaya Berjalan
Keadaan ini berhubungan dengan nyeri karena menjadi
tumpuan berat badan. Terutama dijumpai pada OA lutut, dan
tulang belakang dengan stenosis spinal (Soeroso dkk, 2009).

C. Anatomi Fisiologi Terapan


1. Osteologi
Osteologi adalah ilmu pengetahuan mengenai tulang (Dorland, 2015).
Berikut adalah tulang pembentuk sendi lutut:
a. Os Femur
Tulang femur merupakan tulang pipa terpanjang dan terbesar di
dalam tulang kerangka pada bagian pangkal yang berhubungan dengan
asetabulum membentuk kepala sendi yang disebut kaput femoris. Di
sebelah atas dan bawah dari kolumna femoris terdapat taju yang disebut
trokhantor mayor dan trokhantor minor, di bagian ujung membentuk
persendian lutut, terdapat dau tonjolan yang disebut kondilus medianus
dan kondilus lateralis. Diantara kedua kondilus ini terdapat lekukan
tempat letaknya tulang tempurung lutut (patella) yang disebut dengan
fossa kondilus.

Gambar 2. 2
Os Femur
(Putz & Pabst, 2006)

b. Os Tibia
Tulang tibia adalah tulang yang bentuknya lebih kecil, pada
bagian pangkal melekat pada tulang fibula, pada bagain ujung
membentuk persendian dengan tulang pangkal kaki dan terdapat taju
yang disebut malleolus medianus.
Gambar 2. 3
Os Tibia
(Putz & Pabst, 2006)
c. Os Fibula
Tulang fibula adalah tulang yang berbentuk pipa yang terbesar
sesudah tulang femur yang membentuk persendian dengan tulang femur
pada bagain ujungnya terdapat tonjolan yang disebut tulang malleolus
lateralis.

Gambar 2. 4
Os Fibula
(Putz & Pabst, 2006)

d. Os Patella
Patella adalah tulang sesamoid (pipih) berbentuk segitiga yang
terletak di depan lutut pada insersi musculi quadriceps femoris
(Dorland, 2015).
Gambar 2. 5
Os Patella
(Putz & Pabst, 2006)
2. Miologi
Miologi adalah studi ilmiah atau deskripsi mengenai otot dan
struktur penunjangnya (bursa dan selubung synovial) (Dorland, 2015).
Menurut Olga Dreeben & Irimia (2017), berikut adalah otot-otot
yang berperan dalam pergerakan knee joint antara lain:
1. Fleksor Genu (Hamstring)

a) M. Biceps Femoris (caput longum)

1) Origo : Tuberositas ischiadicum

2) Insersio : Caput fibula

3) Fungsi : Fleksi knee dan ekstensi hip

4) Inervasi : Nervus tibialis (S1—S3)

b) M. Biceps Femoris (caput brevis)

1) Origo : Sisi lateral linea aspera femur

2) Insersio : Caput fibula

3) Fungsi : Fleksi knee dan ekstensi hip

4) Inervasi : Nervus fibularis kommunis (L5-S2)

c) M. Semitendinosus

1) Origo : Tuberositas ishiadicum

2) Insersio : Permukaan anteromedial tibia

3) Fungsi : Fleksi knee dan ekstensi hip

4) Inervasi : Nervus tibialis (L5—S2)

d) M. Semimembranosus
1) Origo : Tuberositas ishiadicum

2) Insersio : Kondilus medialis pada permukaan


posterior tibia

3) Fungsi : Fleksi knee dan ekstensi hip


4) Inervasi : Nervus tibialis (L5—S2)

Gambar 2. 6
Otot Hamstring
(Putz & Pabst, 2008)

2. Ekstensor genu (Quadriceps)

a) M. Rectus Femoris

1) Origo : Spina iliaca anterior posterior dan bagian


superior lekukan acetabulum
2) Insersio : Tendon quadriceps ke dalam tuberositas
tibia

3) Fungsi : Fleksi hip dan ekstensi knee

4) Inervasi : Nervus femoral (L2-L4)

b) M. Vastus Lateralis

1) Origo : Linea aspera

2) Insersio : Tendon quadriceps ke dalam tuberositas


tibia
3) Fungsi : Ekstensi knee

4) Inervasi : Nervus femoris (L2-L4)

c) M. Vastus Intermedius

1) Origo : Femur anterior

2) Insersio : Tendon quadriceps ke dalam tuberositas


tibia

3) Fungsi : Ekstensi knee

4) Inervasi : Nervus femoral (L2-L4)

d) M. Vastus Medialis

1) Origo : Linea aspera

2) Insersio : Tendon quadriceps ke dalam tuberositas


tibia

3) Fungsi : Ekstensi knee

4) Inervasi : Nervus femoris (L2-L4)

Gambar 2. 7
Otot Quadriceps
(Putz & Pabst, 2008)

3. Arthrologi
Arthrologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari seputar sendi
dan ligament (Dorland, 2015). Sendi yang terdapat pada lutut antara lain :
a. Tibiofemoral Joint

Dibentuk oleh condylus femoralis lateralis dan medialis


(convex/cembung) dan tibia plateu (concave/cekung). Fungsi sendi ini
adalah membantu mekanisme kerja dan mengurangi gesekan
quadriceps (Anwar,2012).
b. Tibiofibularis Joint

Tibiofibularis joint dibentuk oleh os tibia dan os femur. Sendi


tibiofibularis adalah sendi datar synovial antara kepala fibula dan
suatu faset bagian posterior lateral condyles lateralis tibia.Bagian
posterior terhadap sendi ini terdapat tendon M. Popliteus, yang
terpisah dari sendi tersebut oleh bursa politeus dimana dapat
berhubungan dengan rongga sendi (Anwar, 2012).

c. Patellofemoral Joint

Patellofemoral joint merupakan modified plane joint,


permukaan patella tertutup cartilago yang tebal. Fungsi sendi ini
adalah membantu mekanisme kerja dan mengurangi gesekan
quadriceps. Gerak geser patella ke proksimal dan distal disekitar 7-8
cm saat ekstensi dan fleksi. Saat ekstensi gerak geser patella ke medial
hingga kembali lurus (Anwar, 2012).

4. Meniscus
Meniscus adalah lempeng berbentuk sabit fibrocartilago pada
permukaan artikular tibia. Batas perifernya tebal dan cembung. Melekat
pada bursa. Batas dalamnya cekung dan membentuk tepian
bebas.Permukaan atasnya cekung dan berhubungan langsung dengan
condylus femoris. Fungsi meniscus ini adalah memperdalam fascies
artikularis condylus.
Gambar 2. 8
Mrniscus
(Putz & Pabst, 2007)

5. Ligamen
Ligamentum adalah pita jaringan ikat yang menghubungkan tulang
atau tulang rawan serta berfungsi untuk memperkuat dan menyokong sendi
(Dorland, 2015).

a) Ligamen anterior cruciatum

Ligamen anterior cruciatum adalah ligamen yang melekat pada


area intercondylaris anterior tibia dan berjalan kearah atas, ke
belakang dan lateral untuk melekat pada bagian posterior permukaan
medial condylus lateralis femoris (Putz and Pabst, 2008).
b) Ligamen anterior cruciatum

Ligamen posterior cruciatum adalah ligamen yang melekat pada


area intercondylaris posterior tibia dan berjalan ke arah atas, depan
dan medial untuk dilekatkan pada bagian anterior permukaan lateral
condylus medialis femoris (Putz and Pabst, 2008)..
c) Ligamen Collateral Medial
Merupakan ligamen yang lebar, datar, dan membranosus
bandnya terletak pada sisi tengah sendi lutut. Ligamen ini sering
mengalami cedera, cedera ligamen ini sering menyertai cedera
meniscus medialis dan fungsinya untuk menjaga gerakan ekstensi dan
mencegah gerakan kearah luar (Putz and Pabst, 2008).
d) Ligamen Collateral Lateral

Merupakan ligamen yang kuat dan melekat diatas ke belakang


epicondylus femur dan dibawah permukaan luar caput fibula. Fungsi
ligamen ini untuk mengawasi gerakan ekstensi dan mencegah gerakan
kearah medial (Putz and Pabst, 2008).

Gambar 2. 9
Ligamen
(Lippert, 2011)
LIGAMENT TAMBAH 2 LGI

6. Biomekanika
Biomekanika adalah aspek gerakan dan merupakan proses
terjadinya gerakan pada tubuh manusia di tinjau dari aspek gerak maka
sendi lutut dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
A. Osteokinematika
Ostekinematik adalah analisa gerak dipandang dari tulang
pembentuk sendi.Gerakannya dapat diukur dengan
goniometer.Gerakan yang berada di sendi lutut adalah gerak
fleksiekstensi, eksorotasi-endorotasi (lutut posisi fleksi), disebut
gerak angulasi (Anwar, 2012).
B. Arthrokinematika
Arthrokinematik adalah analisa gerak dimana gerak dipandang
dari permukaan sendinya, juga disebut gerak intra articular, terdiri dari
gerak traksi, kompresi, slide/translasi, roll-slide dan spin (Anwar,
2012).

D. Problematika Fisioterapi
Pada penderita Medial Patellofemoral Ligament akan mengalami
masalah baik segi fisiologis maupun aktivitas kesehariannya. Berikut
problematika yang dialami oleh pasien kondisi osteoartrhritis antara lain:

1. Impairment
a. Body Structure ???

Problematika yang timbul pada kondisi osteoarthritis knee


kronis adanya nyeri yang disebabkan oleh penekanan permukaan
sendi yang telah mengelupas rawan sendinya, sisa inflamasi berupa
zat algogen yang merupakan zat iritan nyeri, regangan jaringan lunak
yang kontraktur, iritasi jaringan lunak oleh osteofit kekakuan dan
fragmentasi terbelahnya kartilago persendian, lesi permulaan disusul
oleh proses permusnahan kartilago secara progresif (Suriani, 2013).

b. Body Function

Body Function adalah masalah yang berfokus pada fungsi


fisiologi sistem tubuh (Puymbroeck dkk, 2015).

Body function masalah yang berhubungan dengan sistem tubuh


yang mencakup fungsi fisiologis dan psikologis (Kisner dan Colby,
2017). Body function yang biasanya mengalami masalah pada pasien
MPFL Tear yaitu adanya keterbatasan gerak fleksi dan ekstensi knee.

2. Activity Limitation

Activity limitation merupakan suatu masalah penurunan atau


keterbatasan gerak saat sedang melakukan aktivitas fungsional sebagai
akibat dari gangguan impairment dan aktivitas lutut terutama dalam hal
activity daily living (ADL) seperti pasien kesulitan berdiri dari posisi
duduk, berjalan lama, dan naik turun.
Activity limitation yang biasanya dialami oleh pasien MPFL tear
seperti kesulitan berjalan, dan naik turun tangga.

3. Participant restriction

Participant restriction merupakan masalah gangguan,


terhambatnya, dan ketidakmampuan dalam beraktivitas di lingkungan
masyarakat sekitar ia tinggal dimana pasien kesulitan berjalan lama
seperti saat melakukan rekreasi serta saat naik turun tangga di tempat
umum (Pratama, 2019).

E. Pemeriksaan Spesifik
1. Pemeriksaan Visual Analoque Scale (VAS)

a. Definisi

Skala analog visual (VAS) adalah alat ukur psikometrik yang


dirancang untuk mendokumentasikan karakteristik keparahan gejala
terkait penyakit pada masing-masing pasien dan digunakan untuk
mencapai klasifikasi keparahan gejala dan pengendalian penyakit
cepat serta dapat di ukur secara statistik (Klimek at al., 2017).

b. Tujuan

Tujuan pengukuran dengan VAS dilakukan untuk menilai nyeri


gerak, nyeri tekan, dan nyeri diam (Trisnowiyanto, 2012).
c. Intrepetasi angka dalam visual analoque scale (VAS) :

1) 0 : Tidak nyeri/ normal

2) 1-3 : Nyeri ringan

3) 4-6 : Nyeri sedang

4) 7-9 : Nyeri berat

5) 10 : Nyeri tidak tertahankan


Gambar 2. 10
Visual Analoque Scale
(Kersten, 2012)

4. Pemeriksaan Luas Gerak Sendi (LGS)

a. Definisi

Luas gerak sendi (LGS) besarnya suatu gerakan yang terjadi pada
suatu sendi. Pengukuran lingkup gerak sendi yang sering digunakan
adalah goniometer (Schreiner, 2020)

b. Tujuan
Bertujuan untuk mengetahui keterbatasan pada gerak sendi pasien.
c. Intrepretasi
Tabel 2.3
ISOM Knee Joint
Sendi Gerakan Axis ROM Normal
Knee Epicondylus lat.
Ekstensi – Fleksi (S) 00 - 00- 1350
Femur
Sumber : Aras dkk, 2016.
Gambar 2. 11
Goniometer
(Lestari dkk, 2015)

F. Teknologi Intervensi Fisioterapi


1. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)

a. Definisi

TENS adalah manajemen nyeri dan modulasi nyeri melalui


aktivasi teori gerbang kendali (gate control) dan teori opiat endogen
(Hayes dan Hall, 2017).
TENS merupakan penggabungan perangkat kecil untuk
mengarahkan pulse listrik ringan kesaraf di area yang sakit. Beberapa
unit tens bekerja dengan cara memblokir implus nyeri melalui
stimulasi serabut saraf. Jenis lain TENS bekerja dengan menyebabkan
tubuh melepaskan endorphin (zat kimia saraf yang terjadi secara alami
dalam otak yang memiliki sifat menghilangkan rasa sakit) (Kuntono,
2013).
b. Teori–teori pendukung terhadap aplikasi TENS

TENS secara bermakna dapat menurunkan nyeri dengan


metode gate control theory. Pelepasan endorphine dependen sistem
oleh TENS frekuensi rendah dengan merangsang reseptor sensorik
serabut saraf Adelta dan C sehingga dapat menghambat rasa nyeri
pada cornu posterior medulla spinalis.Dengan berkurangnya rasa
nyeri, maka penderita OA akan dapat melakukan aktivitasnya lebih
efektif dan efisien (Palguna.dkk, 2018).
c. Efek Fisiologi Teknologi TENS
Penggunaan TENS akan memberikan efek rasa tertusuk lambat
ataupun kuat sehingga menghasilkan sensasi parastesia atau sensasi
kesemutan. TENS bekerja dengan menyebabkan tubuh melepaskan
endorphin ( zat kimia saraf yang terjadi secara alami dalam otak yang
memiliki sifat menghilangkan rasa sakit). TENS dengan segmental
simpatis dapat mengurangi nyeri kronis pada osteoarthritis lutut
melalui antidromik yang bermanfaat untuk memperbaiki dan
meningkatkan proses recovery jaringan lunak melalui respon
vasodilatasi kapiler, dan efek prodomik yang bermanfaat terhadap
aktivasi beta endorphin, soroti untuk membantu menurunkan keluhan
nyeri pada kondisi osteoarthritis (Kuntono,2013).

d. Indikasi dan Kontraindikasi

Berikut adalah tabel indikasi dan kontraindikasi penggunaan TENS :

Table 3. 1
Indikasi dan Kontraindikasi TENS
Indikasi Kontraindikasi
Osteoarthritis Kehamilan
Nyeri atau kondisi yang
Rheumatoid arthritis
etiologinya tidak diketahui
Pada sinus karotid, area sensitif
Inflamasi otot, trigger points
mata atau membran mukosa
Sakit kepala kronis
Mesin yang berbahaya
Nyeri Neuropatik
Sumber : Hayes dan Hall (2017)

e. Dosis

Menurut Hayes dan Hall (2017) berikut dosis pada TENS :

a. Intensitas

Sensasi nyaman di bawah ambang batas motorik atau sesuai


toleransi pasien.
b. Durasi
Untuk sebagian besar nyeri, waktu stimulasi berkisar dari 15
sampai 60 menit.
c. Frekuensi

TENS digunakan setiap hari, dua hari sekali, atau sesering mungkin
sesuai kebutuhan.Sesuai frekuensi penggunaan untuk
mempertahankan pasien dalam status bebas nyeri selama mungkin
untuk mengurangi penguatan nyeri/spasme otot.
d. Penempatan Elektrode

Pada penempatan elektrode pertama bisa diletakkan disekitar area


nyeri pasien.

Gambar 2. 12
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation
(Tri Intani, 2022)

2. Ultrasound Therapy (US)


a. Definisi
b. Efek fisiologis dan efek terapeutik Ultrasound (US)
1. Efek fisiologis Ultrasound (US)
a) Meningkatkan proses metabolisme
b) Vasodilatasi pembulu darah
c) Pigmentasi
d) Pengaruh terhadap urat syaraf sensori
e) Pengaruh terhadap jaringan otot
f) Destruksi jaringan
g) Menaikkan temperature tubuh
h) Mengaktifkan kerja kelenjar keringat
2. Efek terapeutik Ultrasound (US)
a) Mengurangi / menghilangi rasa sakit
b) Relaksasi otot
c) Meningkatkan suplai darah
d) Menghilangkan sisa-sisa hasil metabolisme
c. Indikasi dan kontraindikasi
1) Indikasi :
a) Osteoarthritis ( pengapuran sendi )
b) Nyeri kronis
c) Kekakuan sendi
d) Ketegangan otot
e) Cedera kronis

2) Kontraindikasi :
a) Pada bagian tubuh yang mengalami gangguan rasa raba
( seperti baal atau kesemutan ).
b) Pada orang yang mengalami gangguan mental
c) Pada luka terbuka
d) Pada daerah mata
e) Pada kondisi cedera akut ( 2 x 24 jam )
f) Pada sendi yang terjadi peradangan akut
g) Pada orang dengan multiple skerosis yang sensitif terhadap
panas
Gambar 2. 13
Ultrasound Therapy
(Hayes & Hall, 2016)

3. Quadriceps Setting Exercise


a. Definisi
b. Tujuan
4. Hamstring Setting Exercise
a. Definisi
.

BAB III
PENATALAKSANAAN STUDI KASUS

A. Tempat dan Waktu


Pelaksanaan studi kasus praktik Komprehensif I ini dilaksanakan di
Rumah Sakit Siloam Sriwijaya Palembang dari tanggal 19 Desember 2022
sampai 30 Desember 2022.
B. Jenis Penulisan
Jenis penulisan yang digunakan dalam penulisan Laporan ini adalah
studi kasus.
C. Pengkajian Fisioterapi
1. Auto Anamnesis
a. Anamnesis Umum
1) Nama : Tn. S
2) Umur : 14 Tahun
3) Jenis Kelamin : Laki laki
4) Agama : Kristen Protestan
5) Alamat : Kebun Bunga, KM 9
6) Pekerjaan : Pelajar
b. Data – Data Medis
1) Diagnosis Medis :
Medial Patellofemoral Ligament Tear
2) Catatan Klinis
a) MRI
Dilakukan pada tanggal 23 Agustus 2022 di RS Siloam
Sriwijaya Palembang

Gambar 3. 1
MRI Lutut Kiri
(Dokumentasi Pribadi, 2022)

c. Hasil pemeriksaan MRI :


d. Kesan :

D. Anamnesis Khusus
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan adanya rasa nyeri di lutut kiri
2. Riwayat perjalanan penyakit
Pada bulan Agustus tahun 2021, pasien pernah terjatuh dan
mengalami trauma dengan lutut kanan terbentur kelantai. Setelah itu
pasien sering mengalami nyeri pada lutut kanan dan pasien tidak
mengobatinya. Pada bulan Agustus 2022 pasien datang ke Rumah
Sakit karena nyeri tidak tertahan pada lutut kanan. Pasien kemudian
dilakukan pemeriksaan radiologi dengan diagnos Osteoarthritis genu
Dextra, kemudian pasien dirujuk untuk dilakukan fisioterapi 2x dalam
seminggu.
3. Riwayat penyakit dahulu : Tidak ada
4. Riwayat penyakit penyerta : Tidak ada
5. Riwayat penyakit keluarga : Tidak ada
4. Faktor yang memperberat :
Pada saat beraktivitas seperti posisi duduk ke berdiri terlalu lama,
sholat, duduk dan berdiri, berjalan dan pada saat naik turun tangga.
5. Faktor yang memperingan : Saat pasien istirahat

C. Anamnesis Sistem
1. Musculoskeletal :
Adanya keterbatasan LGS, adanya oodema dan spasme otot
gastrocnemius pada lutut kiri
2. Nervorum

E. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda-tanda Vital
1) Tekanan darah : 120/90 MmHg
2) Denyut nadi : 68 x/menit
3) Pernapasan : 16 x/menit
4) Suhu tubuh : 36,8 oC
5) Tinggi badan : 177cm
6) Berat badan : 69 kg
b. Inspeksi
1) Statis :
a) Keadaan umum pasien tampak baik
b) Lutut tampak valgus
c) Terdapat oedema di lutut kiri
2) Dinamis
Gangguan pola jalan (antalgic gait) pasien berjalan dengan
langkah pendek
c. Palpasi
1) Suhu lokal normal
2) Terdapat nyeri tekan pada lutut kiri
d. Perkusi
Tidak dilakukan
e. Auskultasi
Tidak dilakukan
F. Pemeriksaan Gerak Dasar
1. Gerak Aktif
Pada saat melakukan gerakan aktif pasien dapat melakukan
gerakan fleksi ekstensi tetapi tidak full dan disertai nyeri.
2. Gerak Pasif
Pada saat melakukan gerakan pasif dengan dibantu oleh
fisioterapis pasien dapat melakukan gerakan fleksi-ekstensi tetapi
tidak full LGS.
3. Gerak Isometrik
Pasien mampu melakukan gerakan melawan tahanan dari
fisioterapis dengan gerakan fleksi maksimal dan gerakan ekstensi
minimal.
G. Pemeriksaan kognitif, interpersonal, dan intrapersonal
1. Kognitif :
Pasien mampu menceritakan riwayat perjalanan penyakitnya
secara jelas.
2. Interpersonal :
Pasien mampu mengikuti intruksi yang diberikan oleh fisioterapis
dengan baik.
3. Intrapersonal :
Pasien mempunyai keinginan dan semangat yang tinggi untuk
sembuh.

H. Pemeriksaan Kemampuan Fungsional dan Lingkup Aktivitas


1. Kemampuan Fungsional Dasar
Adanya keterbatasan luas gerak sendi pada gerakan ekstensi lutut
kiri
2. Aktivitas Fungsional
Pasien mengalami gangguan Activity Daily Living (ADL) seperti:
toileting, memakai celana, dan naik turun tangga.
3. Lingkungan Aktivitas
Lingkungan aktivitas pasien sangat mendukung untuk
mempercepat kesembuhan pasien, serta pasien rutin melakukan
fisioterapi di Poli Fisioterapi Rumah Sakit Siloam Sriwijaya
Palembang.

I. Pemeriksaan Spesifik
1. Pemeriksaan Luas Gerak Sendi
1) Persiapan Alat
a) Goniometer
b) Alat tulis
2) Persiapan Pasien
a) Memposisikan pasien duduk senyaman mungkin
b) Menjelaskan kepada pasien tujuan pemeriksaan yang akan
dilakukan.
3) Prosedur Pelaksanaan
a) Pemeriksaan LGS ekstensi knee joint :
(1) Pasien diminta untuk melakukan gerakan ekstensi
semaksimal mungkin.
(2) Kemudian terapis mengukur LGS pada pasien dengan
meletakkan goniometer dipasien
(3) Setelah selesai letakkan kembali goniometer ketempat
semula

Gambar 3. 2
Pemeriksaan LGS ekstensi
(Dokumentasi Pribadi, 2022)

b) Pemeriksaan LGS fleksi knee joint :


(1) Pasien diminta untuk melakukan gerakan fleksi
semaksimal mungkin.
(2) Kemudian terapis mengukur LGS pada pasien dengan
meletakkan goniometer dipasien
(3) Setelah selesai letakkan kembali goniometer ketempat
semula

Gambar 3. 3
Pemeriksaan LGS fleksi
(Dokumentasi Pribadi, 2022)

Pada pemeriksaan Luas Gerak Sendi menggunakan goniometer


terhadap pasien pada table 3.1 didapatkan hasil yaitu :

Table 3. 2
Hasil pemeriksaan LGS menggunakan Goniometer
Gerakan Aktif Pasif Normal
Ekstensi-Fleksi S = 5 -20 -105
o o o
S = 10 -20 -115
o o o
S = 0 o -0 o -135 o
2. Visual Analoque Scale (VAS)
a. Tujuan
Untuk mengetahui nilai nyeri pada Medial Patellofemoral Ligament
Tear.
b. Persiapan Alat
Siapkan alat VAS
c. Persiapan Pasien
1) Fisioterapis memberikan penjelasan tentang tindakan yang akan
dilakukan.
2) Pasien dalam posisi senyaman mungkin.
d. Pelaksanaan
1) Fisioterapis berada dihadapan pasien
2) Arahkan mistar VAS kepada pasien, alat yang berbentuk
angka diarahkan ke hadapan fisioterapis sedangkan alat yang
bergambar diarahkan ke pasien
3) Minta pasien untuk menggeser tanda yang ada di alat dengan
sesuai kondisi pasien, kearah kanan jika nyeri bertambah dan
kekiri jika nyeri berkurang
e. Hasil

Hasil pemeriksaan nyeri menggunakan VAS terhadap pasien


terdapat pada tabel 3.2 di bawah ini.

Table 3. 3
Hasil pemeriksaan nyeri Visual Analoque Scale (VAS)
Nyeri T1
Nyeri Diam 0
Nyeri Gerak 6
Nyeri Tekan 2

Gambar 3. 4
Pemeriksaan nyeri menggunakan VAS
(Dokumntasi Pribadi, 2022)

J. Diagnosa Fisioterapi
1. Impairment
a. Body structure
1) Adanya nyeri pada lutut kiri
2) Terdapat oedema pada lutut kiri
b. Body function
1) Adanya keterbatasan gerak pada gerakan fleksi-ekstensi pada
lutut kiri
2. Activity Limitation
a. Kesulitan naik turun tangga
b. Kesulitan berjalan dan berlari
c. Kesulitan toileting
3. Participation Restriction
Terhambat dalam melakukan aktivitas harian atau ADL

K. Tujuan Fisioterapi
1. Tujuan jangka pendek
a. Mengurangi nyeri gerak dan neri tekan
b. Mengurangi odema
c. Meningkatkan dan memelihara LGS
2. Tujuan jangka panjang
Mengembalikan kemampuan Activity Daily Living (ADL) pasien
seoptimal mungkin.

L. Tindakan Fisioterapi
1. Teknologi alternatif:
a. Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS)
b. Ultrasound (US)
c. Strengthening exercise
2. Teknologi yang dilaksanakan :
a. Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS)
b. Ultrasound (US)
c. Quadriceps Setting
d. Hamstring Setting
e. Static Bicyle

M. Pelaksanaan Fisioterapi
Sebelum diberikan penatalaksanaan fisioterapi, pasien diberikan
penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan, tujuan, manfaat, dan
efek yang dirasakan dari terapi yang diberikan, pasien dilakukan tes
sensibilitas, serta penatalaksanaan fisioterapi ini dilaksanakn sesuai
dengan protokol kesehatan.
1. Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS)
a. Persiapan alat
1) Pastikan kabel, elektroda, dan lain-lain dalam keadaan baik
2) Pastikan alat sudah terhubung dengan arus listrik
b. Persiapan pasien
1) Pasien dalam posisi tidur terlentang dengan nyaman dan rileks
2) Daerah yang akan dipasang elektroda bebas dari pakaian
3) Beritahu tujuan dari terapi serta jelaskan efek yang dirasakan
saat terapi berupa rangsangan seperti tersentrum atau tertusuk-
tusuk.
c. Pelaksanaan terapi
1) Setelah persiapan alat dan pasien
2) Pasang elektroda pada bagian medial dan lateral knee joint
bilateral
3) Kemudian atur waktu 15 menit
4) Lalu naikkan intensitas sesuai toleransi pasien
5) Monitoring pasien selama terapi
d. Selesai terapi
1) Setelah waktunya habis
2) Ambil elektroda yang telah terpasang dan rapikan kembali alat
serta bed pasien
3) Persilahkan pasien meninggalkan ruangan terapi

2. Ultrasound (US)
a. Persiapan alat
Siapkan Gel dan pastikan kabel berada dalam kondisi baik,
kemudian kabel dan stop kontak dihubungan dengan arus listrik.
b. Persiapan pasien
1) Pasien dengan posisi duduk dengan tungkai diluruskan dengan
nyaman dan rileks
2) Bebaskan area yang akan diterapi dari pakaian dan aksesoris
yang dipakai
c. Perlaksanaan terapi
1) Pastikan persiapan alat dan persiapan pasien selesai
2) Tuang gel ultrasound pada area yang akan diterapi pada kulit
pasien lalu atur waktu 10 menit.
3) Atur frekuensi 0,8 dan intensitas 1 Mhz
4) Pastikan keadaan pasien saat diterapi
d. Setelah terapi
1) Bersihkan bekas gel pada emiter ultrasound dan kulit pasien
2) Rapikan alat dan cek keadaan kulit pasien apakah ada sisa gel
pada kulit pasien.
3) Persilahkan pasien meninggalkan ruangan
4) Rapikan bed dan alat US

3. Quadriceps Setting
a. Persiapan alat
1) Matras
2) Bola
b. Persiapan pasien
Posisikan pasien duduk dimatras dengan posisi tungkai diluruskan
dalam posisi senyaman mungkin.
c. Pelaksanaan
1) Letakkan Bola diantara kaki kanan dan kiri.
2) Intruksikan pasien untuk mengkontraksikan otot paha atas.
3) Ulangi gerakan tersebut hingga 25 kali 2 set.
d. Setelah terapi
Setelah selesai, istirahatkan otot selama 5 menit.

4. Hamstring Setting
a. Persiapan alat
1) Matras
2) Bola
3) Elastic band
b. Persiapan pasien
Posisikan pasien duduk dimatras dengan kedua lutut di tekuk
90o dalam posisi senyaman mungkin.
c. Pelaksanaan
a) Fleksikan knee ke sudut 45o dengan posisi ankle dorsal fleksi
b) Letakkan elastic band pada tumit kaki agar tidak licin
c) Letakkan bola diantara kedua lutut kanan dan kiri
d) Intruksikan pasien untuk mengkontraksikan otot paha belakang
e) Ulangi gerakan tersebut hingga 8 kali 2 set.
d. Setelah terapi
Setelah selesai, istirahatkan otot selama 5 menit.

5. Wall Slide
a. Persiapan alat
1) Matras
2) Pat Slide
3) Alat hitung
b. Persiapan pasien
1) Posisi pasien tidur dengan kaki menjuntai ke atas
2) Usahakan seluruh permukaan kaki menempel pada Pat Slide
c. Pelaksanaan
1) Instuksikan pasien untuk memfleksikan kaki secara perlahan
sampai batas toleransi pasien (nyeri)
2) Ulangi gerakan sebanyak 100 kali
d. Setelah terapi
Setelah selesai, istirahatkan kaki selama 5 menit

6. Static Bike
a. Persiapan alat
Static Bike
b. Persiapan pasien
Posisi pasien duduk di Static bike dengan senyaman mungkin
c. Pelaksaan
Instruksikan pasien untuk mengayuh sepeda selama 15 menit.
d. Setelah terapi
Setelah selesai, pasien istirahat selama 5 menit.

7. Kompres es
a. Persiapan alat
1) Handuk
2) Es
3) Plastik
4) Timer
b. Persiapan pasien
Posisi duduk dengan kaki diluruskan dengan senyaman
mungkin
c. Pelaksanaan
1) Letakkan handuk dan es di bawah kaki dan atas kaki
2) Lalu bungkus dengan handuk
3) Lalu kompres selama 15 menit
d. Setelah terapi
Setelah selesai lap kaki pasien dengan handuk.
N. Home Program
Pasien dianjurkan mengulangi gerakan yang sudah diberikankan oleh
fisioterapis di Rumah Sakit.

O. Prognosis
1. Quo ad Sanam : Bonam
2. Quo ad Vitam : Bonam
3. Quo ad Functional : Bonam
4. Quo ad Cosmeticam : Bonam

P. Evaluasi
1. Evaluasi nyeri
Evaluasi nyeri dengan skala VAS pada pasien telah dilakukan
selama 3 kali evaluasi dapat dilihat pada tabel 3.4 di bawah ini :
Table 3. 4
Evaluasi Nyeri Menggunakan VAS
Nyeri T1 T2 T3
Nyeri Diam 0 0 0
Nyeri Gerak 6 5 2
Nyeri Tekan 2 1 0

2. Evaluasi Luas Gerak Sendi

Evaluasi luas gerak sendi terhadap pasien telah dilakukan selama


3 kali evaluasi dapat dilihat pada tabel 3.5 di bawah ini :

Table 3. 5
Evaluasi Luas Gerak Sendi
Terapi Gerakan Aktif Pasif Normal
T1 Ekstensi- S=0o-0o-105o S=0o -0o -115o S=0o -0o-135o
Fleksi
T2 Ekstensi- S=0o-0o-115o S=0o-0o-120o S=0o -0o -135o
Fleksi
T3 Ekstensi- S=0o-0o-130o S=0o-0o-130o S=0o -0o -135o
Fleksi

3. Evaluasi Oedema

Evaluasi luas gerak sendi terhadap pasien telah dilakukan selama 3


kali evaluasi dapat dilihat pada tabel 3.6 di bawah ini :

Table 3. 6
Evaluasi Oedema
Terapi Regio Proksimal Middle Distal
T1 Knee Sinistra 41 40 34
Knee Sinistra 39 38 34
T2 Knee Sinistra 39 38 34
Knee Sinistra 38 37 34

Q. Hasil Terapi Akhir


Pada pasien bernama Tn “S” berusia 14 tahun dengan diagnosa
Medial Patellofemoral Ligament Tear setelah diberikan terapi sebanyak 3x
didapatkan hasil :
1. Adanya penurunan nyeri, yaitu nyeri gerak yang awalnya 6 menjadi 2
dan nyeri tekan yang awalnya 2 menjadi 0.
2. Adanya peningkatan Luas Gerak Sendi pada gerakan fleksi knee joint
sinistra yang awalnya 105o menjadi 130o.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Seorang pasien laki-laki Tn. S usia 14 tahun, dengan diagnosa Medial
Patellofemoral Ligament Tear, yang mempunyai problematika berupa adanya
nyeri tekan dan nyeri gerak pada knee joint sinistra, keterbatasan gerak sendi
pada gerakan fleksi, serta gangguan ADL seperti naik turun tangga. Pasien
diberikan penanganan fisioterapi dengan menggunakan modalitas
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS), Ultrasound (US) dan
terapi latihan, Quadriceps setting, Hamstring setting, Bike, dan Wall Slide.
Setelah melakukan fisioterapi selama 3 kali didapat perkembangan hasil
sebagai berikut:
1. Hasil Pemeriksaan Nyeri
Pada pengukuran nyeri untuk evaluasi I didapat nyeri gerak nilai 6
dan nilai nyeri tekan 2 dan tidak terdapat nilai nyeri diam. Pada evaluasi II
terjadi penurunan nyeri gerak nilai 5 dan nyeri tekan nilai 1. Pada evaluasi
III terjadi penurunan nyeri gerak nilai 2 dan nyeri tekan 0.
2. Hasil Pemeriksaan Lingkup Gerak Sendi
Hasil evaluasi pemeriksaan luas gerak sendi pada knee joint
sinistra di atas didapatkan hasil sebagai berikut: pada gerakan bidang
sagital untuk evaluasi I didapat hasil (S)7°-20-135°. Evaluasi II adanya
penurunan pada gerak ekstensi 8° sehingga luas gerak sendi menjadi
(S)15°-0°-135°. Pada evaluasi III adanya peningkatan luas gerak sendi
ekstensi dengan hasil (S)10°-0°-135°.
B. Pembahasan Hasil
1. Penurunan Nyeri dengan TENS salah satu alat terapi yang sering
digunakan karena efektif dalam osteoarthritis genu. Karena telah terbukti,
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) adalah suatu
metode stimulasi rendah yang memiliki tujuan untuk mengurangi nyeri
(siptomatik) yang akan merangsang saraf sensoris. Arus frekuensi rendah
pada TENS bersifat iriatif terhadap jaringan kulit sehingga akan terasa
nyeri saat intensitas tinggi. TENS dapat megaktivasi saraf berdiameter
tebal dan saraf berdiameter kecil yang bertujuan untuk menyampaikan
berbagai informasi sensoris ke saraf pusat (Milenia & Rahman, 2021).
Efektifitas TENS dapat diterapkan lewat teori gate control. Pada TENS
mempunyai bentuk pulse monophasic, biphasic dan polyphasic.
Monophasic mempunyai bentuk gelombang separuh sinus searah pada
biphasic simetris, sedangkan paa pola polyphasic ada rangkaian
gelombang sinus dan bentuk interferensi atau campuran. Pulse
monophasic selalu mengakibatkan pengumpulan muatan listrik pulse
dalam jaringan sehingga akan terjadi reaksi elektrokimia dalam jaringan
yang ditandai dengan rasa panas dan nyeri apabila penggunaan intensitas
dan durasi terlalu tinggi (Milenia & Rahman, 2021).

2. Peningkatan Luas Gerak Sendi terjadinya perubahan luas gerak sendi


pada knee joint sinistra merupakan efek dari TENS dan US dan
dikombinasikan dengan Quadriceps setting, Hamstring setting, Bike, dan
Wall Slide. TENS dapat mengurangi nyeri dengan dosis yang tepat dan
dikombinasi dengan latihan, kemudian dapat meningkatkan lingkup
gerak sendi membantu peningkatan kekuatan, fungsi, dan berjalan
(Hayes & Hall, 2014).
TENS yang menginduksi aktifitas aferen yang berdiameter kecil
juga menghasilkan analgesia tingkat ekstrasegmental melalui struktur
yang membentuk jalan inhibisi desenderen. Kontraksi otot yang
dihasilkan oleh TENS akan membangkitkan aktifitas aferen motoric kecil
yang berujung pada aktifitas jalan inhibisi nyeri.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Osteoarthritis adalah penyakit sendi degeneratif yang ditandai oleh
kehilangan tulang rawan sendi secara perlahan, berkombinasi dengan
penebalan tulang subkondral dan terbentuk osteofit pada tepi sendi, serta
peradangan nonspesifik sinovium yang ringan. Osteoarthritis merupakan
penyebab utama nyeri dan disabilitas pada lansia (Hasibii, 2014).
Modalitas fisioterapi berupa Transcutaneous Electrical Nerve
Stimulation dan Free Actice Exercise. TENS salah satu alat terapi yang sering
digunakan karena efektif dalam osteoarthritis genu. Karena telah terbukti
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) adalah suatu metode
stimulasi rendah yang memiliki tujuan untuk mengurangi nyeri (siptomatik)
yang akan merangsang saraf sensoris. Arus frekuensi rendah pada TENS
bersifat iriatif terhadap jaringan kulit sehingga akan terasa nyeri saat
intensitas tinggi. TENS dapat megaktivasi saraf berdiameter tebal dan saraf
berdiameter kecil yang bertujuan untuk menyampaikan berbagai informasi
sensoris ke saraf pusat (Milenia & Rahman, 2021).
Infra red merupakan pancaran gelombang elektromagnetik. Efek
fisiologis yang ditimbulkan dari pemberian infra merah adalah meningkatkan
proses metabolisme pada lapisan superficial kulit sehingga pemberian
oksigen dan nutrisi kepada jaringan lebih diperbaiki, begitu juga pengeluaran
sampah-sampah pembakaran, vasodilatasi pembuluh darah kapiler dan
arteriolae akan terjadi segera setelah penyinaran, terhadap saraf sensoris,
pemanasan yang ringan mempunyai pengaruh sedatif terhadap ujung- ujung
saraf sensoris, terhadap jaringan otot, kenaikan temperatur disamping
membantu terjadinya releksasi juga akan meningkatkan kemampuan otot
untuk berkontraksi dan kenaikan temperatur tubuh.
Free active exercise merupakan terapi latihan yang dalam
penyelenggaraan gerakan dilakukan oleh kekuatan otot yang bersangkutan,
dengan tidak menggunakan suatu tahanan dari luar, kecuali grafitasi (Priatna,
1985).
Seorang pasien yang bernama Ny.s usia 52 tahun, beralamat di jl. Dl
Panjaitan plaju, Palembang dengan diagnosa Osteoathritis genu dextra yang
mempunyai problematika nyeri gerak dan nyeri tekan, keterbatasan luas
gerak sendi. Mendapatkan penanganan fisioterapi dengan modalitas
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS), Infrared Rays (IRR)
dan Free Active exercise.
Setelah dilakukan tindakan fisioterapi sebanyak 3 kali maka didapatkan
hasil sebagai berikut: adanya peningkatan luas gerak sendi pada gerakan
Ekstensi, adanya penurunan nyeri gerak dari VAS nilai 5 menjadi VAS nilai
3,3 dan penurunan nyeri tekan VAS nilai 7 menjadi VAS nilai 4,9.

B. Saran
Mengingat bahwa osteoarthritis adalah satu penyakit yang sering terjadi
pada kalangan masyarakat saat ini. Maka sebaiknya dilakukan penanganan
yang sedini mungkin. Saran yang dapat penulis kemukakan sesuai dengan
kondisi pasien adalah sebagai berikut:
1. Pasien dianjurkan untuk tidak melakukan aktivitas yang berlebihan dan
memiliki waktu istirahat yang cukup agar tidak memperburuk keadaan.
2. Pasien dianjurkan untuk melakukan latihan dirumah seperti latihan free
actice exercises seperti yang sudah dianjurkan oleh fisioterapis agar luas
gerak sendi tetap terjaga
3. Untuk penulisan selanjutnya jika mengambil kasus yang sama, dianjurkan
untuk menggunakan terapi latihan free actice exercise, ada berbagai macam
latihan untuk osteoarthritis yang melibatkan gerakan pada tungkai dengan
melihat kondisi grade osteoarthritis tersebut.

Anda mungkin juga menyukai