Anda di halaman 1dari 11

UAS HUKUM EKONOMI SYARI’AH

Nama : Wahyu Haryadi


NIM : 2020090078
Prodi/Kelas : Ilmu Hukum 2

1. Apa Pengertian Bisnis Syari’ah?

Secara etimologis atau bahasa, Syariah adalah jalan ke tempat pengairan, atau jalan yang
harus diikuti, atau tempat lalu air sungai. Pengertian syari’ah menurut pakar hukum Islam
adalah “segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang
mengenai akhlak” (Amir Syarifuddin; 1999:1). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
Syariah adalah ketentuan-ketentuan Allah yang wajib dipatuhi baik terkait dengan masalah
aqidah (tauhid), ibadah (hubungan kepada Allah) dan muamalah (hubungan sesama manusia).

2. Apa Tujuan Bisnis Syari’ah?

Setiap kegiatan yang dilakukan oleh seseorang sudah pasti mempunyai tujuan tertentu
termasuklah kegiatan bisnis syari’ah. Paling tidak ada 6 tujuan bisis Syariah yang sangat
penting yaitu:

a. Memperoleh keuntungan material dan non material

Dalam menjalankan bisnis sudah pasti seseorang menginginkan keuntungan atau profit. Hal
itu adalah rasional serta manusiawi. Namun demikian, keuntungan material tersebut harus
dapat melahirkan keuntungan non profit secara umum maupun khusus. Misalnya, dapat
menciptakan suasana yang kondusif, persaudaraan, kepedulian sosial dan sebagainya.
Keuntungan material yang tidak disertai dengan keuntungan non material hanya akan
melahirkan disharmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Akhirnya, akan muncullah
egoisme dan sifak individualistik yang tidak dibenarkan oleh Islam. Cukup banyak ketentuan
baik dalam al-Qur’an maupun hadis yang menganjur untuk hidup saling mengasihi atau
membantu. Bahkan dalam hadis dinyatakan; tidak beriman salah seorang di antara kamu
sebelum ia mengasihi saudaranya seperti mengasihi dirinya sendiri. Hadis riwayat Bukhari.
(Bukhari; 2. t.t.:427) Dalam surat al-Hujurat ayat 10 Allah menyatakan yang artinya
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat“ (Depag RI;
1998:412).

Kesimpulannya, dalam kegiatan bisnis apapun bentuknya tetap dituntut untuk mewujudkan
ukhuwah islamiyah, bukan justru bersifat individualistik egoistik. Ada lagi aspek lain yang
harus diterapkan dalam aktivitas bisnis yaitu qimah khuluqiyah. Pengertiannya, setiap
aktivitas bisnis haruslah dapat melahirkan nilai-nilai akhlak karimah, bukan semata- mata
terjadi hubungan fungsional atau profesional. Ini, merupakan suatu keharusan dalam setiap
aktivitas bisnis dalam perspektif syariah. Harapannya, tentu dapat terciptanya hubungan
ukhuwah islamiyah yang baik dan santun. Aspek lain yang tidak kalah pentingnya, adalah
qimah ruhiyah yaitu setiap aktivitas bisnis harus dapat menumbuhkan jiwa yang dekat kepada
Allah, bukan malah merasa jauh kepada Allah.

b. Mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi

Keuntungan atau profit material yang diperoleh dalam menjalankan aktivitas bisnis
diharapkan dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya pertumbuhan bisnis
yang dijalankan akan menjadi maju dan besar. Hal ini tentunya akan dapat menjaga eksistensi
bisnis atau perusahaan yang menjalankannya. Jangka waktu keberlangsungan bisnis tentunya
diharapkan bukan hanya satu dua tahun, akan tetapi untuk selamanya. Atas dasar ini,
diharapkan dapat mewujudkan eksistensi kehidupan yang harmonis di tengah-tengah
masyarakat, sekaligus juga mempertahankan syariat agama Allah di muka bumi.

c. Menjaga keberlangsungan bisnis

Setiap manusia dalam hidup ini sudah pasti ingin hidup lebih lama. Dalam bait-bait lagu
bahkan dinyatakan aku ingin hidup seratus tahun lagi. Keberlangsungan bisnis juga tidak jauh
dari harapan kehidupan umat manusia. Keberlangsungan tersebut akan menjadi hal yang
tidak mungkin dicapai jika keuntungan dalam berbisnis tidak dapat diperoleh. Atas dasar ini,
bisnis Syariah memberikan hak untuk mengambil keuntungan material dan keuntungan non
material seperti telah diuraikan di atas. Batas dalam mengambil keuntungan material
sesungguhnya tidak pernah dibatasi oleh al-Qur’an dan hadis. Namun demikian, karena Allah
dan Rasulullah selalu menganjurkan untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis, santun,
penuh dengan rasa kasih sayang, maka tetap dianjurkan tidak mengambil keuntungan yang
cukup besar. Biasanya kalau ada pedagang mengambil keuntungan terlalu besar, para
pelanggan akan mencari tempat pembelian yang harganya relatif murah. Jika Syariah ini,
mampu melahirkan ketenteraman lahir dan batin orang-orang yang mematuhinya. Ketentuan-
ketentuan Syariah tersebut datangnya dari Allah Yang Maha Kuasa. Tidak mungkin Allah
membuat aturan untuk menyengsarakan hamba-hamba-Nya. Dalam kaitan ini perlu
diperhatikan firman Alllah dalam surat Thaha ayat 124 yang artinya “Dan barangsiapa
berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan
Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”(Depag RI; 1998:256).

Pengertian peringatan-Ku dalam ayat tersebut maksudnya adalah petunjuk Allah dan faktor-
faktor yang mendorong untuk beribadah kepada- Nya (Al-Baydhawi; 4;t.t:157). Jadi,
siapapun yang tidak mau mengikuti petunjuk-petunjuk dan juga tidak melaksanakan perintah
beribadah kepada Allah, termasuk tidak mau mematuhi konsep-konsep bisnis yang sudah
ditetapkan Allah, akan mendapat penghidupan yang sempit. Makna penghidupan yang sempit
adalah kehidupan yang penuh dengan berbagai problematika sehingga tidak merasakan
ketengan dalam diri. Allah telah membuat berbagai ketentuan tentang bisnis dalam al-Qur’an
dan hadis. Dia telah melarang sistem riba, mengurangi timbangan, mencampuradukkan antara
yang halal dan haram. Jika hal itu dilanggar, pastilah menimbulkan ketidaktenangan dalam
diri manusia. Pada hari akhirat kelak akan menjadi orang yang buta walaupun sewaktu hidup
di dunia matanya bagus. Ini, disebabkan orang tersebut sewaktu hidup di dunia tidak mau
melihat dan mengamalkan kebenaran agama Allah.hal ini terjadi, tentunya keberlangsungan
kegiatan bisnis tidak dapat dipertahankan dengan baik. Mengambil keuntungan material
dalam aktivitas bisnis adalah sesuatu yang manusiawi, tetapi tetap tidak boleh dilakukan jika
mengabaikan nilai-nilai sosial yang islamik.

d. Memperoleh berkah dari Allah

Dalam hidup ini, manusia senantiasa mengharapkan keberkahan. Berkah adalah


bertambahnya kebajikan dan ketenangan dalam diri seseorang yang tidak dapat dihitung
secara matematik. Bisnis Syariah dijalankan sebenarnya untuk mencapai tujuan yang sangat
esensial yaitu berkah. Tentang masalah berkah ini secara implisit dinyatakan oleh Rasulullah
dalam sabdanya yang artinya “sedekah itu tidak mengurangi harta, dan Allah tidak akan
menambah seorang hamba yang memberi maaf kepada saudaranya kecuali kemuliaan, dan
tidak akan memperoleh seorang hamba Allah yang bersifat tawaduk atau rendah diri kecuali
Allah akan mengangkat martabatnya”. Hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah (Muslim; 2;
t.t:474). Perkataan Nabi tentang sedekah itu tidak mengurangi harta, sesungguhnya sulit
diterima oleh akal pikiran yang sehat. Alasannya, karena jumlah nominal dari harta yang
disedekahkan pasti akan berkurang. Misalnya, seseorang yang mempunyai uang Rp
1.000.000, lalu diambil Rp 100.000 dan diberikan kepada anak yatim, atau orang miskin yang
meminta bantun, tentu nominalnya berkurang menjadi Rp. 900.000.
Dalam hal ini Rasulullah menyatakan, sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Jumlah
nominal uang yang disedekahkan sudah pasti berkurang dan yang tidak berkurang adalah
berkahnya. Sesuatu manfaat atau kemaslahatan yang diberikan oleh Allah akan menambah
kebajikan dan ketenangan dalam diri. Dengan mendapat berkah, Allah akan memberikan
balasan dari jalan lain. Mungkin juga Allah akan memberikan maslahat yang besar.
Contohnya, keluarga orang yang bersedekah tadi dalam keadaan sehat dan selamat dari mara
bahaya, dan ini merupakan berkah. Sementara orang yang tidak mau bersedekah, uangnya
tetap utuh tidak berkurang tetapi keluarganya ditimpa oleh penyakit yang berat dan cobaan
yang bertubi-tubi. Dengan demikian, harta kekayaannya habis secara perlahan-lahan untuk
biaya perobatan. Diyakini, keuntungan yang diperoleh melalaui berbisnis menurut aturan
Syariah, akan dapat mendatangkan berkah seperti yang disinggung dalam hadis tersebut.

e. Mendapat rida Allah

Setiap individu muslim, sudah pasti hidupnya ingin mendapatkan rida Allah. Untuk
mendapatkannya seseorang mau melakukan cara yang berat dan susah sekalipun. Misalnya,
dengan cara mengerjakan ibadah puasa ramadan selama satu bulan penuh, ditambah dengan
puasa sunat Syawal. Di malam harinya orang mengerjakan ibadah salat malam,
mengeluarkan infaq, sedekah, membaca kitab suci al-Qur’an secara rutin dan sebagainya. Di
luar ramadan, seseorang ada yang mencari rido Allah dengan cara salat tahajud di malam
hari, melaksanakan salat rawatib, salat duha di pagi hari, puasa senin dan kamis setiap
minggu dan lain-lain. Umat Islam, mempunyai keyakinan bahwa jika hidupnya mendapat
rida Allah akan pasti tenang, tenteram, harmonis dan selamat dunia dan akhirat. Dalam hal
menjalankan bisnis Syariah, dengan konsep ada yang halal dan haram serta tidak melakukan
kezaliman, harapannya ingin mendapatkan rida Allah. Dengan rida Allah diharapkan kegiatan
bisnisnya bisa maju, menghasilkan keuntungan yang banyak dan dapat dipergunakan untuk
kemaslahatan umat serta mendapatkan ketenangan batin. Allah telah mengingatkan kepada
hamba-Nya bahwa segala kehidupannya haruslah untuk mendapatkan rida Allah. Hal ini, ada
dijelaskan dalam surat al-An’am ayat 162 yang artinya “Katakanlah: “Sesungguhnya
shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (Depag
RI; 1998:119).

f. Mendapatkan ketenangan lahir dan batin

Hidup tenang lahir dan batin merupakan dambaan setiap manusia. Dalam realitanya memang
tidak semua orang mendapatkannya. Faktor penghalangnya tentunya banyak. Kadang-kadang
seseorang salah cara mencarinya. Misalnya, dengan mengkonsumsi obat-obat penenangan,
dan bahkan obat-obat yang terlarang seperti morpin, ekstasi, mengisap ganja dan lain-lain.
Syariat Islam, telah banyak membuat ketentuan agar dipatuhi dan dilaksanakan untuk
memperoleh ketenangan dalam hidup. Dalam hidup ini, kalau seseorang mematuhi peraturan,
niscaya dia akan selamat dan akan mendapatkan ketenangan dimaksud. Diketahui bahwa di
jalan raya di seluruh dunia pasti ada aturan lalu lintas dan di antaranya ada lampu merah.
Orang-orang yang mengikuti aturan yang telah dibuat oleh polisi lalu lintas, niscaya dia akan
selamat dalam perjalanan dan keadaannya menjadi tenang. Orang-orang yang melanggar
aturan lalu lintas, akan merasa tidak tenang dan bahkan mungkin akan terjadi tabrakan maut.
Dengan demikian, melanggar aturan yang dibuat oleh manusia saja, akan dapat mendapatkan
bahaya dan kegelisahan. Melanggar larangan-larangan Allah pasti akan mendatangkan
malapetaka dan kegelisahan dalam hidup.

Dalam hal bisnis, Allah telah membuat aturan-aturan yang jelas, seperti haramnya riba,
pengurangan timbangan, pemalsuan barang, menyembunyikan cacat barang dan lain-lain.
Ketentuan-ketentuan bisnis.

3. Apa landasan hukum perbankan syariah saat ini?

UU N. 21 Tahun 2008
Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan dan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, dasar hukum
perbankan syariah di Indonesia semakin kuat dan jumlah bank syariah semakin meningkat
secara signifikan. Akan tetapi, beberapa praktisi dan pakar perbankan syariah berpendapat
bahwa peraturan yang ada masih tidak cukup untuk mendukung operasional perbankan
syariah di Indonesia. Sebagai contoh, bank syariah beroperasi hanya berdasarkan pada fatwa
Dewan Syariah Nasional yang kemudian diadopsi Bank Indonesia dalam bentuk Peraturan
Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia yang tersebar dalam berbagai bentuk
kadangkala overlapping satu sama lainnya. Kemudian, bank syariah mempunyai karakterisitk
yang berbeda dengan bank konvensional, sehingga pengaturan bank syariah dan bank
konvensional dalam satu Undang-Undang yang sama dipandang tidak mencukupi. Oleh
karena itu, adanya UU khusus yang mengatur bisnis perbankan syariah secara konfrehensif
merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk diwujudkan.

Pada tahun 2008, Dewan Perwakilan Rakyat dengan dukungan pemerintah, mengesahkan UU
No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. UU ini terdiri dari 70 pasal dan dibagi
menjadi 13 bab. Secara umum struktur Hukum Perbankan Syariah ini sama dengan Hukum
Perbankan Nasional. Aspek baru yang diatur dalam UU ini adalah terkait dengan tata kelola
(corporate governance), prinsip kehati-hatian (prudential principles), menajemen resiko (risk
menagement), penyelesaian sengketa, otoritas fatwa dan komite perbankan syariah serta
pembinaan dan pengawasan perbankan syariah. Bank Indonesia tetap mempunyai peran
dalam mengawasi dan mengatur perbankan syariah di Indonesia, namun saat ini pengaturan
dan pengawasan perbankan, termasuk perbankan syariah di bawah Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) sesuai dengan amanah UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Dengan adanya UU khusus yang mengatur perbankan Syariah serta instrumen hukum lainnya
, diharapkan eksistensi perbankan syariah semakin kokoh, para investor semakin tertarik
untuk melakukan bisnis di bank syariah sehingga perbankan syariah di Indonesia semakin
lebih baik lagi.

4. Apa perbedaan asuransi syariah dan konvensional di Indonesia?

Ada tujuh perbedaan mendasar antara asuransi syari’ah dengan asuransi konvensional,
perbedaan tersebut adalah :
1. Asuransi syari’ah memiliki Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang bertugas
mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan
Pengawas Syari’ah ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.
2. Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari'ah berdasarkan tolong menolong.
Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli.
3. Investasi dana pada asuransi syari'ah berdasarkan bagi hasil (mudharabah).
Sedangkan pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan
perhitungan investasinya.
4. Kepemilikan dana pada asuransi syari'ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya
sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana
yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga,
perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.
5. Dalam mekanismenya, asuransi syari'ah tidak mengenal dana hangus seperti yang
terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat
melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing
period, maka dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana
kecil yang telah diniatkan untuk tabarru'.
6. Pembayaran klaim pada asuransi syari'ah diambil dari dana tabarru' (dana kebajikan)
seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang
akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah.
Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening
dana perusahaan.
7. Pembagian keuntungan pada asuransi syari'ah dibagi antara perusahaan dengan
peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan
pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.

5. Apa pedoman asuransi syariah?

Asuransi syariah memiliki tiga pedoman yang dijunjung tinggi. Pedoman tersebut adalah :

1. Al-Ta’min yang berarti saling memberikan kepercayaan (jaminan) dalam berbagai hal


positif antar sesama anggota (peserta),
2. Al-Takaful yang berarti upaya saling mencukupi antara anggota (peserta) ketika salah
satu anggotanya terkena sebuah musibah, dan
3. Al-Tadhammun yang berarti saling menanggung dan menutupi kerugian atas suatu
musibah yang di alami oleh anggota atau peserta

6. Apa pengertian pasar modal syariah?


Seperti yang telah dijelaskan, pengertian pasar modal sesuai dengan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) merupakan kegiatan yang
bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang
berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan
dengan efek.
Berdasarkan pengertian tersebut, terminologi pasar modal syariah sendiri dapat diartikan
sebagai kegiatan dalam pasar modal sebagaimana yang telah diatur dalam UUPM yakni
tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Oleh sebab itu, pasar modal ini bukan
merupakan suatu sistem yang terpisah dari sistem pasar modal secara keseluruhan. Pada
umumnya, kegiatan pasar modal berbasis syariat agama Islam ini tak memiliki perbedaan
dengan pasar modal konvensional, namun terdapat beberapa karakteristik khusus pasar
modal ini yaitu produk dan mekanisme transaksi tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip syariah.
Penerapan prinsip berdasarkan syariat agama Islam di pasar modal tentu Seperti yang
telah dijelaskan, pengertian pasar modal sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal (UUPM) merupakan kegiatan yang bersangkutan dengan
penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek
yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.
Berdasarkan pengertian tersebut, terminologi pasar modal syariah sendiri dapat diartikan
sebagai kegiatan dalam pasar modal sebagaimana yang telah diatur dalam UUPM yakni
tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Oleh sebab itu, pasar modal ini bukan
merupakan suatu sistem yang terpisah dari sistem pasar modal secara keseluruhan. Pada
umumnya, kegiatan pasar modal berbasis syariat agama Islam ini tak memiliki perbedaan
dengan pasar modal konvensional, namun terdapat beberapa karakteristik khusus pasar
modal ini yaitu produk dan mekanisme transaksi tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip syariah.
Penerapan prinsip berdasarkan syariat agama Islam di pasar modal tentu bersumber dari
Al Quran sebagai sumber hukum tertinggi dan Hadits Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya, dari kedua sumber hukum tersebut para ulama melakukan penafsiran yang
kemudian disebut ilmu fiqih. Salah satu pembahasannya mengenai pembahasan tentang
muamalah, yaitu hubungan diantara sesama manusia terkait perniagaan. Berdasarkan hal
tersebut, kegiatan pasar modal bebas riba ini dikembangkan dengan basis fiqih
muamalah. Sebagai informasi, terdapat kaidah fiqih muamalah yang menyatakan bahwa
pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya. Konsep inilah yang menjadi prinsip pasar modal berbasis syariat
agama Islam di Indonesia ini.

Bersumber dari Al Quran sebagai sumber hukum tertinggi dan Hadits Nabi Muhammad
SAW. Selanjutnya, dari kedua sumber hukum tersebut para ulama melakukan penafsiran
yang kemudian disebut ilmu fiqih. Salah satu pembahasannya mengenai pembahasan
tentang muamalah, yaitu hubungan diantara sesama manusia terkait perniagaan.
Berdasarkan hal tersebut, kegiatan pasar modal bebas riba ini dikembangkan dengan basis
fiqih muamalah. Sebagai informasi, terdapat kaidah fiqih muamalah yang menyatakan
bahwa pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya. Konsep inilah yang menjadi prinsip pasar modal berbasis syariat
agama Islam di Indonesia ini.

7. Bagaimana Perkembangan Pasar Modal Syari’ah di Indonesia?

Sebagai informasi, perkembangan pasar modal ini pastinya menggembirakan dari tahun
ke tahun. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dana kelolaan atau nilai aktiva
bersih (NAB) reksadana syariah per akhir Maret 2020 bisa mencapai hingga Rp57,42
triliun, naik 6,87 persen dibandingkan NAB reksadana syariah per akhir Desember 2019
yang sebesar Rp53,73 triliun.
Untuk sejarah perkembangan Pasar Modal Syariah di Indonesia sendiri dimulai sejak
diterbitkannya Reksadana Syariah oleh PT. Danareksa Investment Management pada 3
Juli 1997. Kemudian, Bursa Efek Indonesia (d/h Bursa Efek Jakarta) berkerjasama
dengan PT. Danareksa Investment Management meluncurkan Jakarta Islamic Index pada
tanggal 3 Juli 2000 yang tujuannya untuk memandu investor yang ingin
menginvestasikan dananya secara syariah. Dengan hadirnya indeks tersebut, maka para
pemodal telah disediakan saham-saham yang dapat dijadikan sarana berinvestasi sesuai
dengan prinsip syariah.
Selanjutnya, pada tanggal 18 April 2001, untuk pertama kalinya Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan fatwa yang berkaitan langsung
dengan pasar modal, yaitu Fatwa Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman
Pelaksanan Investasi Untuk Reksadana Syariah. Kemudian, instrumen investasi syariah di
pasar modal terus bertambah dengan adanya Obligasi Syariah PT. Indosat Tbk pada awal
September 2002. Instrumen ini merupakan Obligasi Syariah pertama dan akad yang
digunakan adalah akad mudharabah.
Perkembangan Pasar Modal ini juga dapat ditelusuri dari perkembangan institusional
yang terlibat dalam pengaturan Pasar Modal Syariah. Perkembangan tersebut dimulai
sejak terjadinya MoU antara Bapepam dan DSN-MUI pada tanggal 14 Maret 2003. MoU
menunjukkan adanya kesepahaman antara Bapepam dan DSN-MUI untuk
mengembangkan pasar modal berbasis berbasis syariat agama Islam ini di Indonesia.
Dari sisi kelembagaan Bapepam-LK, perkembangan Pasar Modal ini ditandai dengan
pembentukan Tim Pengembangan Pasar Modal Syariah pada tahun 2003. Selanjutnya,
sejak tahun 2004 pengembangan pasar modal berbasis berbasis syariat agama Islam ini
masuk dalam struktur organisasi Bapepam dan LK yang menaungi kegiatan investasi
pasar modal ini, dan dilaksanakan oleh unit setingkat eselon IV yang secara khusus
mempunyai tugas dan fungsi mengembangkan pasar modal syariah. Bersamaan dengan
perkembangan industri yang ada, pada tahun 2006 unit eselon IV yang ada sebelumnya
ditingkatkan menjadi unit setingkat eselon III.
Pada tanggal 23 Nopember 2006, Bapepam-LK kemudian menerbitkan paket Peraturan
Bapepam dan LK terkait Pasar Modal Syariah. Paket peraturan tersebut yakni Peraturan
Bapepam dan LK Nomor IX.A13 tentang Penerbitan Efek Syariah dan Nomor IX.A.14
tentang Akad-akad yang digunakan dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal.
Selanjutnya, pada tanggal 31 Agustus 2007 Bapepam-LK menerbitkan Peraturan
Bapepam dan LK Nomor II.K.1 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah dan
diikuti dengan peluncuran Daftar Efek Syariah pertama kali oleh Bapepam dan LK pada
tanggal 12 September 2007.
Perkembangan pasar modal berbasis berbasis syariat agama Islam ini mencapai tonggak
sejarah baru dengan adanya pengesahan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2008 tentang
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) pada tanggal 7 Mei 2008. Undang-undang ini
digunakan sebagai landasan hukum untuk penerbitan surat berharga syariah negara atau
sukuk negara. Pada tanggal 26 Agustus 2008 untuk pertama kalinya Pemerintah Indonesia
menerbitkan SBSN seri IFR0001 dan IFR0002.
Pada tanggal 30 Juni 2009, Bapepam-LK telah melakukan penyempurnaan terhadap
Peraturan Bapepam-LK Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah dan II.K.1
tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah.

8. Apa Dasar Hukum Pasar Modal Syariah?


Sebagai bagian dari sistem pasar modal Indonesia, kegiatan di pasar modal yang
menerapkan prinsip-prinsip syariah mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal berikut peraturan pelaksananaannya (Peraturan Bapepam-LK,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Bursa dan lain-lain). Bapepam-LK selaku regulator
pasar modal di Indonesia, memiliki beberapa peraturan khusus terkait pasar modal ini,
sebagai berikut:
1. Peraturan Nomor II.K.1 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah
2. Peraturan Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah
3. Peraturan Nomor IX.A.14 tentang Akad-akad yang digunakan dalam Penerbitan
Efek Syariah

9. Apa itu urgensi zakat

Urgensi atau arti penting zakat bagi seorang muslim bisa dilihat dari berbagai perspektif.
Secara ukhrowi, zakat sebagai perintah (kewajiban) bagi muslim adalah ketundukkannya
terhadap perintah Allah, Tuhan yang Mahakuasa. Dari perspektif duniawi, zakat bisa
ditempatkan dalam kerangka bahwa se orang muslim mempunyai kewajiban untuk
menebar kemaslahatan dan ke manfaatan bagi sesama umat manusia.

10. Apa UNSUR-UNSUR WAKAF

Dalam UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, disebutkan ada enam unsur
wakaf, yaitu wakif, nazir, harta wakaf, tujuan wakaf, akad wakaf, dan jangka waktu
wakaf.

Anda mungkin juga menyukai