Anda di halaman 1dari 3

Kelompok : 3

Anggota Kelompok :
1. Eksi Raima
2. Helmayanti
3. Hendy Setiawan
4. Hesti Dwi Damayanti
5. Hidya Ihza Aulia
6. Yosua

a. Identitas Buku
Judul buku : Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum
Dikuburkan
Pengarang : An. Ismanto dkk
Penerbit : I: Boekoe, Yogyakarta
Tahun terbit : I, 2009
Jumlah halaman : 1000 halaman

b. Pembuka Resensi
Kodifikasi tulisan-tulisan yang ‘tercecer’ menjadi buku memang memiliki
nilai plus. Selain turut memeriahkan dunia litertur, nilai ekonomis pun segera
bersanding ketika diterbitkan sekaligus dijual. Apalagi, ketika penerbitan
karya-karya itu diberi embel-embel tulisan terbaik atau mendapat anugerah
dari sebuah institusi atau komunitas tertentu yang memiliki daya tawar tinggi.
Citra penulis pun segera terdongkrak seiring kesuksesan marketing dan
informasi buku. Namun, proses pemasaran buku-buku semacam itu, akan
terganjal ketika bertemu dengan pembaca yang tidak memiliki selera untuk
mengulang-ulang bacaan yang ajek.
c. Isi Buku
Layaknya para peninjau buku, para penulis tidak ubahnya para
peresensi (reviewers) buku baik di berbagai surat kabar, majalah, maupun
media masa lainnya. Hanya saja, ada perbedaan antara peresensi di media-
media itu dan peresensi yang ada dalam buku ini. Tentunya, para peresensi
dimedia masa tidak lepas dari aturan-aturan yang mengikat dan menyesuaikan
karakter media dan segmen pembacanya. Hal ini tidak lepas dari mewujudnya
media massa yang berorientasi pada kepentingan ekonomi dan atau kekuasaan.
Dalam konteks ini, terasa lumrah ketika ada lebih dari satu media
menayangkan resensi buku yang sama, tetapi dengan analisis dan kualitas
peninjauan yang berbeda. Termasuk teknik penyampaian, gaya, dan pilihan
kata yang digunakan sang peresensi dalam menyajikan apresiasinya terhadap
suatu buku. Dari sinilah terkadang muncul permasalahan yang berpotensi
“menyimpang” dengan apa yang digagas penulis buku; melebihi atau
mengurangi.
Kasus semacam ini juga sering muncul ketika terjadi
ketidakseimbangan dalam mengapresiasi antara resensi yang terkandung
dalam sang karya dengan teknik penulisnnya. Begitu juga dengan luas atau
piciknya sudut pandang yang digunakan peresensi akan berpengaruh dalam
pengapresiasi. Jika kurang memenuhi isi dan konteks buku, sebuah buku akan
mudah tervonis baik atau jelek, bersahabat atau berbahaya, dan gagal atau
sukses dalam mencetuskan ide. Padahal, subjektivitas peresensi tersebut akan
berpengaruh pada persepsi calon pembaca terhadap objektivitas sang karya.
Dengan demikian, terasa maklum ketika fakta lapangan menjawab bahwa ada
sejumlah buku yang dielu-elukan publik dan ada juga yang di bakar di depan
umum sebagai reaksi yang tertumpah dengan cara berbeda.
Fakta semacam ini juga terjadi dalam perjalanan buku-buku sastra di
indonesia. Mulai ada yang ditarik dari peredaran, dilarang untuk diterbitkan,
dipaksa untuk ganti cover, dicemooh habis-habisan secara “tidak sehat” oleh
penulis lain atau publik, dibakar terang-terangan dengan motif pelecehan, dan
kasus-kasus yang lainnya. Reaksi-reaksi itu pun tidak jarang menyeret penulis
buku untuk sekadar beradu fisik atau kekuatan hukum demi mempertahankan-
meminjam istilah Pram-anak-anak ruhani mereka.
Dalam buku Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum
Dikuburkan inilah, buku-buku sastra indonesia itu dibingkai atau diulas para
penulis dalam satu liang yang sama. Baik yang memiliki masa lalu dipuja-puja
atau diinjak-injak, buku-buku itu memiliki nilai-nilai mulia yang patut untuk
dikaji dan memiliki pengaruh terhadap cara kita nantinya dalam meneropong
karya sastra bangsa ini ke depan. Namun, sebagaimana para penulis pada
umumnya, para penulis dan editor buku ini juga memiliki persepsi yang
subjektif, meskipun juga menggunakan pijakan-pijakan tertentu. Dengan
demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa subjektivitas mereka akan
bersimpangan dengan persepsi pembaca. Oleh karena itu, tidak ada gunanya jika
masalah relativitas dalam penilaian buku-buku itu menghalangi sampainya isi
buku ini di ranah pengetahuan sastra pembaca.
d. Jenis buku : Nonfiksi
e. Keunggulan dan kelemahan isi buku
Keunggulan :
 Nilai lebih buku ini adalah membahas hal-hal yang berkaitan mulai
dari sangmkarya, sang penulis, sang pembaca, hingga situasi
zaman pada masa terbitnya sebuah buku.
Kelemahan :
 Meskipin begitu, buku yang memiliki 1.000 halaman ini tidak
memiliki kesamaan seratus persen dengan fenomena di atas. Buku
berjudul Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum
Dikuburkan ini berisi tulisan-tulisan yang pernah dipublikasikan di
surat kabar dan ada beberapa makalah yang pernah disampaikan
dalam diskusi.
f. Nilai Buku :
 Bermanfaat bagi pembacanya seperti pada pada paragraf 8 yaitu di
balik kekurangan yang dimilikinya, buku ini bisa dijadikan koleksi
menarik di rak buku pembaca. Buku ini dapat dijadikan sebagai
cermin buku-buku di masa lalu baik yang disukai maupun dibenci
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai