Anda di halaman 1dari 5

Latifah Larasati

13010120120006

Sastra Indonesia Kelas A/Smt IV

ANALISIS UNSUR FEMINISME DALAM FILM

“PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN”

Film “Perempuan Berkalung Sorban” merupakan salah satu film drama romantis yang
bertema religi islam dari Indonesia. Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini dirilis
pada tahun 2009. Film ini dibintangi antara lain oleh Revalina S. Temat sebagai Anisa, Joshua
Pandelaki sebagai Hanan, Rianti Cartwright sebagai Aisyah, Oka Antara sebagai Lik
Khudori, Reza Rahardian sebagai Samsudin, dan Widyawati sebagai Nyai Muthmainah. Film ini
didistribusikan oleh Kharisma Starvision Plus dan mulai diputar secara perdana
di bioskop Indonesia tanggal 15 Januari 2009.

Film ini dibuat berdasarkan novel berjudul sama tahun 2001 yang ditulis Abidah El


Khalieqy, penulis wanita asal Jombang, Jawa Timur. Novel tersebut diadaptasikan menjadi
sebuah naskah film oleh Ginatri S. Noer dan Hanung Bramantyo. Film ini menyajikan latar
tradisi sebuah sekolah pesantren di Jawa Timur yang cenderung mempraktikkan
tradisi konservatif terhadap wanita dan kehidupan modern. Dialog film ini dibawakan
dalam bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan juga terkadang bahasa Arab yang sering digunakan di
sekolah pesantren.

Perempuan Berkalung Sorban mendapatkan banyak nominasi dalam ajang film,


diantaranya 7 nominasi FFI 2009 dan memenangkan satu untuk kategori Pemeran Pembantu Pria
Terbaik untuk Reza Rahadian. Film ini juga mendapatkan 7 nominasi dalam Festival Film
Bandung 2009. Film ini juga mendapatkan 9 nominasi dalam Indonesian Movie Awards
2009 dan memenangkan empat kategori, semuanya untuk akting. Revalina S.
Temat memenangkan Pemeran Utama Wanita Terfavorit, Joshua
Pandelaki memenangkan Pemeran Pembantu Pria Terfavorit, dan Nasya Abigail memenangkan
dua penghargaan sekaligus, Pemeran Pembantu Wanita Terbaik dan Pemeran Pembantu Wanita
Terfavorit.
Film ini berkisah mengenai perjalanan hidup Anisa (Revalina S. Temat), seorang wanita
berkarakter cerdas, berani, dan berpendirian kuat. Anisa hidup dan dibesarkan dalam lingkungan
dan tradisi Islam konservatif di keluarga Kyai yang mengelola sebuah pesantren kecil Salafiah
putri Al-Huda di Jawa Timur, Indonesia. Dalam lingkungan dan tradisi konservatif tersebut, ilmu
sejati dan benar hanyalah al-Qur’an, Hadits dan Sunnah, dan buku-buku modern dianggap
sebagai ajaran menyimpang.

Dalam pesantren Salafiah putri Al-Huda diajarkan bagaimana menjadi seorang


perempuan yang harus tunduk pada laki-laki, sehingga Anisa beranggapan bahwa ajaran Islam
hanya membela laki-laki dan menempatkan perempuan dalam posisi sangat lemah dan tidak
seimbang. Tapi protes Anisa selalu dianggap rengekan anak kecil. Hanya Khudori (Oka Antara),
paman Anisa dari pihak Ibunya yang selalu menemani Anisa, menghibur sekaligus menyajikan
‘dunia’ yang lain bagi Anisa. Diam-diam Anisa menaruh hati pada Khudori. Tapi cinta itu tidak
terbalas karena Khudori menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai
Hanan (Joshua Pandelaki), ayah Anisa, sekalipun bukan sedarah. Hal itu membuat Khudori
selalu mencoba menghindari perasaannya pada Anisa. Sampai akhirnya Khudori melanjutkan
sekolah ke Kairo, Mesir. Secara diam-diam Anisa yang mendaftarkan kuliah
ke Yogyakarta, Indonesia, dan diterima. Namun Kyai Hanan tidak mengizinkannya dengan
alasan bisa menimbulkan fitnah, ketika seorang perempuan belum menikah berada sendirian jauh
dari orang tua. Namun Anisa bersikeras dan protes kepada ayahnya.

Akhirnya Anisa malah dinikahkan dengan Samsudin (Reza Rahadian), seorang anak Kyai
dari pesantren Salaf besar di Jawa Timur. Sekalipun hati Anisa berontak, tetapi pernikahan itu
dilangsungkan juga. Kenyataannya Samsudin yang berperangai kasar dan ringan tangan menikah
lagi dengan Kalsum (Francine Roosenda). Harapan untuk menjadi perempuan muslimah yang
mandiri bagi Anisa seketika runtuh. Dalam kiprahnya itu, Anisa dipertemukan lagi dengan
Khudori dan keduanya masih sama-sama mencintai. Film kemudian menceritakan perjalanan
cinta Anisa dan Khudori dan juga perjuangan Anisa untuk membela hak-hak perempuan muslim
di tengan rintangan keluarga pesantrennya yang konservatif.

Perempuan Berkalung Sorban adalah film yang berlatar belakang lingkungan pesantren,
yang menyajikan situasi ketidaksetaraan gender. Indonesia dengan beragam norma adat istiadat
di setiap daerahnya memiliki aturan masing-masing sesuai dengan nilai sosial yang berkembang.
Namun nyatanya norma tersebut justru banyak yang menomor duakan kaum perempuan. Kaum
laki-laki yang dianggap paling kuat, paling berkuasa, paling berhak dalam segala bidang
dibanding perempuan.

Seperti halnya kisah Anisa dalam film ini yang memperjuangkan hak-haknya sedari kecil.
ketidakadilan yang ia rasakan sejak kecil membuatnya tumbuh menjadi perempuan yang selalu
mempertanyakan keadilan hidup terhadap dirinya sebagai perempuan. Ia juga mempertanyakan
keadilan Islam terhadap para kaum perempuan. Anisa seorang wanita berkarakter cerdas, berani,
dan berpendirian kuat yang tumbuh di kalangan pesantren yang masih menjunjung tinggi nilai
superior laki-laki harus menerima ketidak adilan itu, hingga ia tumbuh dewasa menjadi
perempuan yang berani menentang setiap hal yang ia rasa merugikan dirinya. Situasi yang ia rasa
sangat menyudutkan kaum perempuan. Tapi, berbeda ketika Anisa bersama sang paman Khudori
yang mampu membuatnya merasakan sebuah kesetaraan terhadap kaum perempuan.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki penduduk muslim terbesar di
dunia. Oleh karena itu banyak aturan yang tidak memperbolehkan muslim mengenakan identitas
Islam khususnya bagi perempuan. Gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan
perempuan, laki-laki selalu dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa, sedangkan perempuan
yang selalu dianggap sebagai mahluk lemah lembut, cantik dan emosional. Semua sifat laki-laki
dan perempuan dapat berubah dan bertukar itulah yang dimaksud dengan gender. Namun
semenjak masa reformasi muslim di Indonesia memiliki kebebasan dalam berekspresi dan
menunjukan identitasnya khususnya bagi wanita. Dalam dunia pesantren contohnya sering sekali
ditemukan realita yang menunjukan kiprah seorang Kiai sebagai pemimpin dan pengelola
pesantren lebih besar dari pada seorang Nyai (perempuan).

Dalam pola kehidupan pesantren yang khas mampu bertahan selama berabad-abad.
Pesantren sebagai media menyalurkan keyakinan, norma dan nilai-nilai Islam ditransmisikan
serta ditanamkan melalui berbagai aktivitas pengajaran. Dalam pesantren perbedaan gender
sering terjadi, Kiai di pesantren seringkali memberikan praktik gender yang membuat perempuan
terlihat sebagai mahluk yang harus patuh, taat, dan tunduk terhadap aturan yang dibuat oleh laki-
laki, atas dasar ajaran agama yang kadang diartikan secara mentah bahwa wanita berada dibawah
laki-laki dan hal ini yang membuat perempuan dilakukan tidak setara dengan laki-laki di
berbagai aspek dalam lingkungan pesantren. Berbagai macam bentuk diskriminasi terhadap
gender atau jenis kelamin semakin banyak disajikan oleh media massa Indonesia, seperti film.

Dalam hal penentuan peran sosial, laki-laki secara umum dianggap lebih kuat, lebih
produktif, dibandingkan dengan perempuan yang dianggap hanya bisa mengikuti apa yang
dikatakan laki-laki. Seiring berjalannya waktu, mulai muncul representasi gender yang
mengasosiasikan kodrat perempuan seperti hamil, melahirkan, dan menyusui. Akibat dari hal itu,
masyarakat mulai berpikir bahwa ruang gerak perempuan dibatasi. Namun batasan ini tidak
berlaku untuk laki-laki, laki-laki dianggap memiliki fungsi sebagai pelindung dan memiliki
tanggung jawab terhadap perempuan. Film ini merepresentasikan perempuan muslim dalam
lingkungan pesantren yang tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Sehingga muncul
banyak anggapan bahwa Islam hanya mementingkan satu gender saja.

Film ini juga menuai berbagai kontroversi ditengah masyarakat pada saat itu. Apabila
film ini hanya dilihat secara sepotong-sepotong, atau menyitir dialog-dialog tokoh tanpa
mendengar jawaban tokoh lain yang diajak berdialog, atau hanya mendengar komentar orang
tanpa menontonnya sendiri, tentu saja pesan yang sebenarnya akan disampaikan tidak akan
ditangkap dengan jelas. Barangkali kita perlu menjernihkan pikiran, bahwa logika dalam karya
seni itu tidak berbanding lurus dengan logika sehari-hari. Karena jika kita menggunakan logika
sehari-hari dalam melihat karya seni dapat dianggap menyimpang atau menyeleweng dari
kenyataan.

Terlepas dari semua pembahasan gender di lingkungan pesantren tentu kita harus sangat
bijak menyikapi dan mencari tahu apakah betul atau tidaknya perlakuan tersebut. Tidak hanya di
lingkungan pesantren, dalam dunia pekerjaan juga masih memandang gender. Karena menurut
beberapa perusahaan, wanita masih dianggap kurang kuat dan mampu untuk bergabung
memecahkan satu masalah atau dijadikan seorang panutan. Silvia Riskha Fabriar dalam jurnal
berjudul Potret Perempuan Dalam Film Perempuan Berkalung Sorban, Vol.9 No.1 Tahun 2013
menjelaskan bahwa masyarakat patriarki mengisyarakat bahwa kepemimpinan hanya untuk laki-
laki dengan pertimbangan laki-laki lebi kuat, berani, dan rasional. Selain itu, argumen orang-
orang pesantren adalah tugas-tugas politik sangat berat dan perempuan tidak akan mampu
menanggungnya karena akal dan tenaganya memang lemah dari “sana”nya.
Film “Perempuan Berkalung Sorban” tak ubahnya seperti film-film religi yang kini
marak, keseluruhan cerita layaknya sinteron, terlalu datar dan mudah untuk ditebak. Banyak
adegan yang tampak dipaksakan dan seringkali mengesampingkan logika sehingga terlihat
mengada-ada. Salah satu contohnya, ketika adegan pemilihan ketua kelas. Setelah Anisa
dinyatakan menang secara demokratis, namun secara mendadak keputusan dianggap tidak sah
atau dibatalkan karena Anisa seorang perempuan. Jika memang hanya laki-laki saja yang boleh
menjadi pemimpin, mengapa sejak awal Anisa dicalonkan? Akhir dari cerita juga terlihat
dipaksakan. Kejanggalan terlihat ketika melihat para Kyai yang telah mumpuni ilmu agamanya
itu bisa dengan mudah dipengaruhi oleh omongan Anisa yang bahkan sebelumnya selalu
dianggap angina lalu oleh mereka. Lalu masalah hutang kakak Anisa juga tidak diselesaikan
dengan jelas, nasib pesantren juga tidak dijelaskan bagaimana akhirnya.

Para santri laki-laki secara umum digambarkan sebagai sosok yang keras seolah tanpa
memiliki rasa welas asih terhadap sesame. Benar dan salah secara gamblang hanya diukur
melalui norma-norma agama. Unsur-unsur kekerasan yang diperlihatkan dalam film ini juga
tampak berlebihan. Tak heran jika film ini mengundang banyak kontroversi dari kaum ulama.
Seperti contohnya, kain sorban yang digunakan sebagai alat untuk melakukan tindak kekerasan,
juga ketika Samsudin memaksakan Anisa untuk berhubungan badan saat istrinya datang bulan.
Walaupun semua hal itu bisa saja terjadi, namun penggambaran di dalam film memang sedikit
berlebihan.

Dari segi estetik, pencapaian paling menonjol adalah visualisasi panorama alam yang
indah. Narasai berbentuk puisi seperti di awal film sebenarnya cukup mendukung, namun
sayangnya tidak digunakan lagi. Pemilihan setting atau latar film juga kurang, sehingga tidak
mampu memberi kesan waktu yang menjadi latar cerita film tersebut. Para pemain yang sering
menggunakan dialek “kota” jelas kurang mendukung latar pedesaan dalam cerita filmnya.
Namun secara keseluruhan film ini mampu memainkan emosi penonton yang naik turun akibat
dari narasinya. Alur ceritanya yang dramatis mampu membuat penonton khususnya perempuan
merasakan apa yang Anisa rasakan, ketidakadilan yang diterima perempuan di film tersebut.

Pesan yang ingin disampaikan adalah kaum perempuan harus memperjuangkan


kebebasannya tanpa harus selalu bergantung pada kaum laki-laki. Setiap orang termasuk juga
film ini berhak atas kebebasan tetapi bukan berarti tanpa batasan.

Anda mungkin juga menyukai