Anda di halaman 1dari 13

RESENSI THE GOD DELUTION RICHARD DAWKINS

OLEH F. BUDI HARDIMAN

Dari BMR

Terima kasih teman-teman, sudah hadir di acara diskusi buku webinar bulanan kita yang ke-2 semalam.
Alhamdulillah kita sudah mulai membiasakan tradisi bertemu dengan diskusi bulanan, semoga ini bisa
kita rutinkan setiap hari Minggu keempat, setiap akhir bulan, sebagai pertemuan komunitas epistemik
kita.

Untuk teman-teman yang tidak sempat hadir semalam, silakan mengikutinya melalui rekaman di
channel youtube ini:

https://www.youtube.com/watch?v=qOjALgJu8CY

Di bawah ini adalah teks dari diskusi buku semalam.

Kalau teman-teman ingin mempelajari lebih lanjut isu yang sudah kita diskusikan semalam, saya share
ebook pdf David Berlinski, The Devil’s Delusions: Atheism and Its Scientific Pretensions (2009). Buku ini
memberi kritik terhadap pemikiran Dawkins dan para pemikir ateisme baru lainnya.

Kalau teman-teman tertarik, silakan tulis “saya mau” di kolom “comment” di bawah, saya akan
masukkan ebook tersebut di google drive Esoterika-Forum Spiritualitas Juli 2020, termasuk versi pdf
resensi ini, dan ppt-nya, juga ebook pdf The God Delution Richard Dawkin. Saya akan taruh di kolom
“comment” paling bawah paling lambat besok.

Salam sehat selalu ya

--------------------

Dawkins atau Kemelaratan Ateisme

Oleh F. Budi Hardiman

Buku biolog Inggris Richard Dawkins, The God Delusion, tidak baru. Buku setebal 463 halaman itu terbit
di tahun 2006 yang lalu, tetapi polemik yang ditimbulkannya masih bergaung sampai hari ini. Di tengah
Pandemi Covid-19 ateisme baru sempat dibicarakan dalam rangkaian perdebatan tentang sains versus
agama di Facebook dan Whatsapp yang diinisiasi oleh silang pendapat antara Goenawan Mohamad dan
A.S. Laksana. Diskusi cerdas diharap dapat mengusir kesumpekan intelektual di media-media sosial kita
yang sering berisi sampah digital. Keyakinan akan sains mungkin dapat menyehatkan bagi mereka yang
mudah diperdaya dengan hal-hal gaib, tentu jika mau membaca. Tapi adalah baik tetap waspada. Sains,
seperti juga agama, sering berkelindan dengan kekuasaan dan oportunisme. “Pernyataan paling
provokatif yang dapat dibuat seseorang tentang hubungan antara sains dan agama” demikian kata Paul
Feyerabend dalam sebuah orasi,”adalah bahwa sains adalah sebuah agama”. Keduanya tidak hanya
berbeda, tetapi juga bisa sama sebagai alat kuasa. Debat yang kadang mengayun pikiran ke dunia ide itu
masih berlangsung. Saya akan masuk ke dalam arena lewat pintu kecil yang jarang dimasuki dalam debat
itu, yakni buku Dawkins. Menurut saya, kita dapat belajar dua hal sekaligus dari buku itu, yaitu: tentang
bahaya fundamentalisme agama sekaligus tentang bagaimana antusiasme berlebihan terhadap sains
dapat berakhir pada kemelaratan intelektual dalam memandang dunia real. Argumen-argumen untuk
penilaian ini akan saya berikan mulai pertengahan ulasan ini.

Pada 30 September 2007 empat penulis yang sangat kontroversial dalam jagad sains popular berkumpul
di sebuah rumah di Washington DC untuk berdiskusi dua jam tanpa moderator. Salah seorang dari
antara mereka adalah Richard Dawkins. Tiga lainnya adalah Christopher Hitchens, tuan rumah dan
penulis buku laris God Is not Great, Sam Harris, penulis The End of Faith, dan Daniel Denett, penulis
Darwin’s Dangerous Idea. Meski tetap memakai nama Kristiani, keempatnya secara publik mengaku
ateis. Nama baptis bukan lagi ungkapan iman. Dawkins malah barangkali akan bilang namanya adalah
alat indoktrinasi agama orangtuanya. Diskusi Dawkins dan ketiga ateis lain itu direkam dan dijuduli The
Four Horsemen, mengingatkan simbol apokaliptis dalam Kitab Wahyu. Selanjutnya mereka dijuluki
dengan mana itu. Getol menyerang agama dengan pendekatan-pendekatan ilmiah, mereka berempat
juga mendapat julukan “the evangelical atheists” dari media. Menyaksikan bagaimana mereka
mengkampanyekan ateisme di Youtube, oksimoron itu memang tepat.

Kemunculan para ateis baru ini bukannya tanpa kaitan dengan politik global. Sejak peristiwa 9/11 dunia
dilanda teror para Islamis. Presiden George Bush merasa dibisiki Allah sendiri untuk menyerang Irak dan
mengumumkan perang melawan terorisme global. Baik Bush maupun para teroris Islam itu mengaku
mengikuti petunjuk Allah. Tidak ada yang lebih absurd daripada kelompok-kelompok yang saling bunuh
karena merasa diperintah Allah yang maha baik. Di situ agama memang naik ke panggung global, tetapi
sayangnya dengan wajah beringas yang jauh dari yang seharusnya. Semula penerbit menolak naskah
Dawkins, tetapi karena pengakuan Bush itulah penerbit berubah pikiran, maka buku Dawkins sekarang
ada di tangan kita. Dalam buku itu agama dipersepsi sebagai ancaman bagi kemanusiaan. Pada
apendiksnya Dawkins meletakkan daftar alamat lembaga-lembaga untuk mendukung mereka yang ingin
lari dari agama. Ateisme menjadi misioner dan didukung industri media. Beberapa video di Youtube
menampilkan perdebatan Dawkins dengan para apologet Kristen dan Islam.

The God Delusion masuk di nomer empat buku best-sellerversi New York Times dan menembus
penjualan sampai tiga juta eksemplar. Itu adalah rekor fantastis untuk sebuah buku sains populer. Tentu
ada penyebabnya. Buku itu ditulis dengan gaya popular, enak dibaca, padat polemik, ditaburi lelucon
serius, logika ‘akribatis’ dan – lebih dari itu semua - provokatif. Kehebohan yang muncul setelahnya
membuktikan sukses provokasi penulisnya. Di era kapitalisme media kritik-kritik pedas kepada Dawkins
malah meningkatkan angka penjualan bukunya. Dari itu Dawkins memanen popularitas. Beberapa buku
yang membantah Dawkins, antara lain The Dawkins Delusion? karya Alister McGrath dan Joanna Collicut
McGrath, dan The Devil’s Delusion karya David Berlinski. Di Indonesia juga beredar buku Dawkins dalam
bahasa Indonesia. Komentar-komentar atas buku itu diberikan dan kadang juga berseliweran dalam
media-media sosial kita. Namun banyak yang masih fokus pada ad hoc hypothesis-nya, yakni
serangannya pada agama. Padahal yang lebih penting adalah menikam ke hardcore hypothesis-nya
sebagai seorang biolog evolusioner. Tanpa berpanjang-panjang dengan pendahuluan ini, kita segera
masuk saja menelusuri buku itu. Edisi berbahasa Inggris yang saya baca adalah terbitan Black Swan
tahun 2007. Angka-angka petunjuk halaman mengacu ke edisi itu.

Membantah Hipotesis-Allah

The God Delusiontersusun dari 10 bab. Proyeknya sangat ambisius. Dia ingin mempersoalkan Allah
sebagai obyek kajian ilmiah. “Saya akan menyarankan bahwa eksistensi Allah merupakan sebuah
hipotesis ilmiah seperti yang lain”, tulisnya (h.72). Untuk itu pertama-tama dia dalam bab 1
menetapkan targetnya. Yang ingin diselidikinya bukan Allah non-personal seperti diyakini Einstein,
melainkan allah-allah personal dan supranatural, seperti: Yahweh, Trinitas atau Allah (h.36).
Menurutnya, seperti juga teman-teman ateisnya, Allah monoteisme ini telah menjadi sumber masalah
peradaban. Sejak awal memang Dawkins menyinggung betapa berbahayanya perilaku religius. Deretan
tuduhannya panjang dan masih bisa ditambah, seperti: menuntut respek berlebihan dan mudah
emosional (h.46), takut pada obyektivitas ilmiah.(h.323), intoleran dan bengis kepada yang berbeda
keyakinan (h.324), melakukan kekerasan dengan dimotivasi perintah Allah dan iman yang tidak bisa
dipersoalkan (h.344), mengkriminalisasi homoseksualitas (h.326), melecehkan anak-anak (h.349).

Meskipun di berbagai tempat Dawkins hampir selalu mempersoalkan agama, judul bab 8 sebetulnya
cocok untuk menjadi rumusan status quaestionis buku ini: “What’s wrong with religion? Why be so
hostile?” Gambaran Allah dalam bab 2 yang disodorkan Dawkins lewat pembacaan amatirnya atas
Perjanjian Lama mungkin cocok untuk menjawab pertanyaannya sendiri. Allah monoteisme ini, begitu
kesannya, adalah “tokoh paling tidak menyenangkan dalam segala fiksi”, yaitu: “picik, tidak adil, tukang
kontrol yang tak berbelas kasihan, pendendam, pemusnah etnik yang haus darah, misoginik, homofobik,
rasis, infantisidal, genosidal, filisidal, penjijik, megalomaniak, sadomasokis, perundung jahanam yang
plin plan” (h. 51). Tanpa ragu dia menyebutnya “monster Alkitab” (h.68). Cukup jelas bahwa fiksi religius
inilah yang menurutnya menjadi biang kerok segala persoalan kemanusiaan dan peradaban, seperti
perang agama, permusuhan kepada kelompok lain iman, dan terorisme. Ditunjukkannya bahwa tidak
ada ateis yang merusak rumah-rumah ibadah, tetapi Wahhabi telah meratakan rumah nabi mereka
sendiri di Mekah (h.282).

Sebagaimana dalam Pencerahan Eropa abad ke-18 fiksi menguap dalam sorotan sains, Dawkins juga
ingin menghapus fiksi religius ini. Dia mengklaim bisa membawa Allah ke dalam proses investigasi ilmiah,
karena menurutnya ada atau tidak adanya Allah adalah sebuah hipotesis ilmiah yang bisa diuji menurut
kaidah-kaidah ilmiah (h.73). Di sini Dawkins berbeda dari para ateis lama, seperti Feuerbach dan
Nietzsche yang menyanggah eksistensi Allah hanya secara spekulatif. “Saya tidak tahu pasti,”begitu
hipotesisnya,”tetapi saya duga Allah itu mustahil ada” (h.74). Dengan hipotesis ini Dawkins menyatakan
dirinya sebagai seorang ateis de facto. Sangat antusias dengan kemajuan sains, Dawkins bahkan
menabrak demarkasi NOMA (non overlapping magisteria) Stephen Jay Gould yang memisahkan dunia
fakta-fakta yang menjadi wilayah kerja sains dan dunia makna-makna yang menjadi wilayah iman
religius. Baginya sains tidak hanya mencari fakta, tetapi juga berurusan dengan makna hidup manusia (h.
78), dan Allah adalah masalah sains (h.96).
Sebelum membuktikan bahwa Allah hanyalah sebuah delusi yang berbahaya Dawkins dalam bab 2 dan 3
memberikan bantahan atas semua argumen tentang eksistensi Allah baik yang dianut oleh berbagai
keyakinan religius, entah monoteisme atau politeisme (h.51 dst.), maupun pembuktian-pembuktian
rasional dalam filsafat, seperti panca marga Thomas Aquinas, argumen ontologis Anselmus (h.100 dst),
dan pertaruhan yang dilakukan Pascal (h.130). Tak lupa dia juga membantah beberapa argumen praktis,
seperti kekaguman atas keindahan, pengalaman religius personal. Para ilmuwan yang tetap beriman pun
tidak luput dari serangannya (h.110 dst.). Dia mengejek argumen Aquinas sebagai permainan kata tanpa
evidensi (h.101), tidak percaya efektivitas doa (h.85 dst) dan menganggap pengalaman-pengalaman
spiritual, seperti teofani, mistik, penampakan Maria di Fatima, dst. hanyalah hasil ‘otak yang
terstimulasi’ atau delusi kolektif (h.116). Kita juga bisa mendengarkan sinisme itu dalam video-videonya
di Youtube. Buatnya Bible tidak lebih daripada sebuah fiksi sejarah seperti Da Vinci Code, hanya lebih
tua saja, maka bukan bukti eksistensi Allah (h.123). Di bagian lain dia mengatakan bahwa kitab-kitab
suci tidak lebih daripada karya-karya sastra zaman kuno (h. 387).

Di abad ke-20 teori evolusi Darwin telah diterima dan bahkan disebarkan secara popular dalam kanal-
kanal TV, seperti misalnya NatGeo. Di sekolah teori ini diplajari seabagai bagian kurikulum dan makin
mengendap ke dalam akal sehat publik. Namun kelompok-kelompok fundamentalis agama masih sulit
menerima teori itu. Mereka membela tesis penciptaan dalam 6 hari dan dijuluki sebagai kaum
kreasionis. Tidak semua kelompok agama menolak teori evolusi. Ada kelompok intelektual religius yang
menerima teori itu, tetapi tetap mempertahankan tesis penciptaan. Mereka mewakili apa yang lalu
disebut theory of intelligent design. Menurut mereka mustahillah keteraturan alam semesta ini terjadi
kebetulan tanpa seorang perancang. Hal itu kira-kira sama mustahilnya dengan tiupan taufan badai
untuk berhasil merakit kembali serpihan Boeing 747 (h.138). Jadi, para pendukung desain cerdas ini
merasa telah membuktikan eksistensi Allah.

Dukungan baru untuk kreasionisme yang dimodifikasi dengan teori evolusi ini juga menjadi sasaran
tembak Dawkins dalam bab 4 bukunya. Menurutnya tidak ada perancang untuk keteraturan alam. Hal-
hal kompleks, seperti kosmos, otak, bacterial flagellar motor, dst. memang tidak terjadi kebetulan.
Namun hal itu tidak terjadi karena desain illahi, melainkan murni sebagai hasil proses seleksi alam yang
panjang (h.188). Tesis irreducible complexity juga disanggahnya. Menurutnya desain adalah sebuah ilusi,
karena kita baru melihatnya sebagai desain setelah seleksi alam membawa ke tahap kompleksitas
(h.188). Kalaupun para kreasionis lalu yakin bahwa Alah mencipta lewat seleksi alam, Dawkins akan
mempersoalkan tesis “the lazy God” itu sebagai berlebihan dan tidak diperlukan untuk seleksi alam yang
dapat bekerja secara natural tanpa intervensi supranatural (h.144). Teisme yang lalu menyelinap dalam
bentuk theology of gaps, yakni klaim bahwa adanya hal-hal yang tidak bisa dijelaskan sains
membuktikan misteri Allah, dikejarnya dengan sanggahan bahwa gaps itu bukan milik Allah, melainkan
hanya kurang data yang suatu ketika akan dimengerti juga oleh sains (h.154).

Semua bantahan yang dilontarkan Dawkins ini boleh dikatakan sebagai via negativa untuk membuktikan
bahwa Allah hampir pasti tidak ada (h.189). Hampir pasti? Mengapa tidak pasti saja? Dalam sebuah
spektrum sikap dia menolak bukan hanya teisme, melainkan juga agnotisme, termasuk agnotisme yang
condong ke ateisme, termasuk menolak ateisme keras yang yakin seratus persen bahwa Allah tidak ada.
Sikapnya adalah ateis de facto: Ia tidak tahu pasti bahwa Allah tidak ada, tetapi dia yakin bahwa Allah
mustahil ada, maka dia hidup dengan anggapan bahwa Allah tidak ada (h.73). Dalam hal ini Dawkins
mungkin tidak banyak berbeda dari banyak orang yang mengaku religius tetapi nyatanya hidup seolah-
olah tidak ada Allah. Hanya bedanya, Dawkins serius memikirkan keyakinannya dan berani
menerbitkannya. Bahkan dia berani memastikan tidak ada apa-apa setelah mati. “Mati tidak akan
berbeda dari tidak dilahirkan”, tulisnya, “Tak ada yang ditakutkan di dalamnya” (h.399). Tidak ada
pertanyaan, misalnya, untuk apa dilahirkan, jika mati akan sama saja dengan tidak lahir.

Asal-usul dan Penyakit Agama

Dawkins hanyalah riak kecil saja dari guncangan besar pandangan dunia manusia yang disebabkan oleh
sains kontemporer. Dewasa ini teori evolusi masih disertai barisan teori-teori lebih baru, seperti: teori
relativitas, big bang, fisika kuantum, dan teori chaos. Bersaing dengan agama dan filsafat, sains juga
ingin memecahkan misteri asal-usul alam semesta dan kehidupan. Dalam bab 5 Dawkins masuk ke
dalam kancah itu dengan biologi dan mencoba menjawab teka teki lain yang selama ini belum disentuh
biologi, yaitu: tentang asal-usul agama. Secara umum The God Delusion dibangun di atas dua macam
hipotesis: hardcore hypothesis yang mengorek akar-akar psiko-biologis monoteisme dan moralitas dan
ad hoc hypothesis yang menunjukkan keanehan perilaku religius di dunia modern. Cukup jelas dengan
hardcore ini dia ingin menjelaskan asal-usul agama “dari bawah” atau apa yang disebutnya – meminjam
istilah Daniel Dennett- pendekatan “crane” (biologis) dan bukan dari atas atau pendekatan
“skyhook”(teologis) (h.188). Berbeda dari skyhook yang “mencomot” obyek dari atas, cranemengangkat
obyek satu per satu menjadi bangunan. Dengan cara itu dia mengklaim menemukan bahwa asal-usul
agama adalah sebuah respons yang keliru dalam evolusi manusia. Detailnya akan saya uraikan di bawah
ini.

Dawkins mendalami etologi, ilmu tentang perilaku binatang. Dia, misalnya, mengamati ngengat.
Menurutnya ada hal yang menarik dari perilaku serangga ini. Jika ada nyala lilin, ngengat akan terbang
masuk ke nyala itu, lalu jatuh dan mati. Dahulu ketika belum ada cahaya buatan, serangga menggunakan
cahaya bulan sebagai kompas. Perilaku itu masih dipertahankan setelah ada lilin atau lampu listrik, maka
serangga seperti ngengat itu sebetulnya terkecoh dengan nyala lilin dan ‘salah target’ (h.201). Kata
Inggris yang dipakai Dawkins adalah misfiringyang artinya bisa kemacetan atau stagnasi, yakni tidak lagi
berkembang. Dawkins pun berpikir bahwa perilaku ngengat ini menyingkap sesuatu tentang hakikat
atau ‘akar-akar’ agama. Perilaku religius, seperti ritual, doa, dan terutama percaya tanpa pertanyaan,
adalah hasil samping seleksi alam yang salah target dan tidak efisien.

Untuk menjelaskan salah target itu, etologi saja tidak cukup. Dawkins juga menggunakan psikologi
evolusioner. Menurutnya dahulu dalam proses evolusi lewat seleksi alam, perilaku (yang sekarang
disebut) ‘religius’ itu pernah berguna, mirip seperti perilaku ngengat yang menggunakan cahaya bulan
sebagai kompas. Apakah perilaku yang pernah berguna itu? Pembaca, sekurangnya seperti saya, akan
mengira bahwa jawabannya akan membuka pencerahan ateistis baru yang akan mengguncang iman.
Sudah dapat ditebak, dia bilang bahwa kebiasaan ngengat untuk menggunakan cahaya bulan sebagai
kompas itu sejajar dengan sikap anak kecil yang patuh buta kepada otoritas orangtuanya. Jadi, sikap
patuh buta itu dimasa kanak-kanak memang pernah berguna, dan hal itu juga tertanam dalam modul-
modul otak anak. Namun karena sikap itu bertahan sampai dewasa dalam perilaku religius, perilaku itu
menjadi salah target atau mengalami stagnasi dibawa sampai dewasa (h. 202-203).

Hipotesis Dawkins kelihatan seperti versi lain Freudianisme. Memang tidak ada Urvater(pentolan purba)
yang mengendap sebagai superego. Yang ada adalah salah target atau stagnasi. Namun baik Dawkins
maupun Freud sepakat bahwa asal-usul agama adalah psikologis. Hanya karena kurang mendalami
psikologi, argumen Dawkins superfisial saja dan kurang mengorek kehidupan batiniah. Lalu bagaimana
dia menjelaskan dimensi supranatural agama yang ditolaknya? Bukankah orang beragama yakin adanya
jiwa dan kehidupan setelah mati? Penjelasan a la “crane” yang ditawarkannya lumayan menarik, meski
dapat dibantah juga. Mengacu pada temannya, Dennett, ia berpendapat bahwa dualisme tidak lain dari
hasil dari apa yang disebut Denett “intentional stance”. Otak kita akan bekerja cepat saat menghadapi
bahaya, misalnya, macan yang siap melahap kita. Jika situasi sosial begitu kompleks, otak kita
memunculkan intensionalitas ‘tingkat lebih tinggi’, bisa tingkat tiga, empat, lima…dst., dan
intensionalitas yang tinggi ini tidak berbeda dari fiksi (h.213). Ini terdengar pas dengan hukum survival,
yakni bahwa dualisme jiwa-badan dan dunia sini-dunia sana adalah fiksi yang merupakan bagian survival
mechanism manusia. Pada anak-anak lompatan ke fiksi dualistis itu lebih cepat terjadi (h.205).

Dengan hipotesis itu Dawkins mau mengatakan bahwa perilaku religius adalah hasil sebuah delusi,
yakni: keyakinan atau kesan keliru yang getol dipertahankan kendati adanya bukti-bukti baru.
Agamawan menganggap “suara” dalam diri mereka adalah Allah atau pengalaman religius, padahal
adalah diri mereka sendiri. Allah memang bukan hasil kebiasaan leluhur kita untuk mendengarkan
“suara” itu, seperti anak-anak punya teman imajiner yang disebutnya – dipinjam dari puisi A.A. Milne –
“Binker” atau – yang lebih dikenal adalah – “Kitty” dalam buku harian Anne Frank. Namun Binker atau
Kitty ini juga bukan dari Allah nenek moyang kita. Menurut Dawkins baik Allah maupun Binker adalah
hasil samping seleksi alam, sebuah salah target (h. 393). Pengalaman spiritual tidak lebih dari sebuah
delusi dan juga semacam jatuh cinta atau adiksi yang mengaburkan pikiran (h.215). Begitulah,
menurutnya, salah target itu bertahan dan bahkan berkembang sebagai memeyang kian kompleks
sehingga kita lupa akar-akar biologisnya. Dawkins lalu menemukan contoh bagaimana terjadinya agama,
yakni dalam Cargo Cult di pulau Tanna di Vanuatu. John Frum, digambarkan sebagai anggota angkatan
udara Amerika yang mendarat di pulau itu, dianggap tuhan, dan pesawatnya dijadikan obyek ritual
sambil menantikan kedatangan Frum untuk kedua kalinya (h.234), keyakinan yang mirip dalam
eskatologi Kristiani. Agama baru ini sekarang sudah menyebar sebagai memedi kepulauan itu.

Teka teki yang juga sulit dipecahkan adalah asal usul moral, dan karena hubungannya erat dengan
agama Dawkins mau tak mau harus menjelaskannya. Di bab 6 dia ingin mematahkan anggapan umum
bahwa agama adalah sumber moral. Menurutnya untuk bermoral tidak perlu beragama karena asal-usul
moral bisa dijelaskan secara non-religius, yakni secara biologis (h. 318). Artinya, kita bisa buang
penjelasan religius sebagai berlebihan. Yang harus dibidik adalah sikap altruis, karena terjadinya moral
adalah juga terjadinya altruisme. Di sini Dawkins mengacu pada bukunya yang lain yang juga popular,
The Selfish Gene (1976). Bagaimana dari gen egois kita bisa memperoleh altruisme? Jawabnya, altruisme
adalah juga produk seleksi alam, yaitu: gen egois lebih suka pada kerabat genetisnya di mana altruisme
menjadi norma, seperti dalam kalimat “berbuat baiklah kepada anakmu sendiri” (h.247). Di samping itu
seleksi alam juga menghasilkan altruisme dalam arti kesalingan, pencarian reputasi, dan kemurahhatian
sebagai iklan (h. 251). Moralitas tidak turun dari langit, melainkan hasil adaptasi manusia terhadap
lingkungan biologisnya. Dalam bab 7 dia menunjukkan bagaimana Zeitgeistmoral modern meninggalkan
moral agama yang masih berkutat dengan dikotomi kita dan mereka. Penghapusan perbudakan,
kesetaraan jender, antidiskriminasi ras adalah Zeitgeist moral baru yang menurutnya melampaui
eksklusivisme agama (h.300-301). Jika egoisme menjadi motor evolusi, apakah yang menarik homo
sapiensuntuk melampaui ikatan-ikatan kekerabatan, ras, agama?

Di bawah lensa Zeitgeist moral baru itu perilaku religius menurutnya kelihatan aneh. Bab 8 dan 9
membahas ad hoc hypothesis itu. Disebut “ad hoc” dalam arti tidak terkait langsung dengan hardcore
dan tidak menambahkan sesuatu yang penting padanya untuk diuji secara ilmiah. Pertama, menurutnya
moral yang diilhami agama mengkriminalisasi homoseksualitas. Kalau saja delusi Allah dilenyapkan,
tentu LGBT bukan masalah (h. 329). Kedua, moral agama melarang aborsi. Menurutnya tidak ada yang
mengawasi klinik-klinik aborsi. Embrio manusia tidak istimewa karena kontinu dengan hewan-hewan
lain. Selama belum tumbuh sistem saraf padanya, janin tidak menderita. Kalaupun punya, dia kurang
menderita dibanding sapi dewasa yang digiring ke rumah jagal (h.331). Ketiga, agama memaksa anak-
anak untuk menganut agama orangtuanya. Indoktrinasi religius dianggap wajar. Baginya tidak ada anak
Kristen, anak Yahudi atau anak Islam; yang ada adalah orangtua Kristen, Yahudi atau Islam. Baru setelah
dewasa ia boleh memilih agama atau tidak memilih sama sekali (h.382).

Percakapan moral itu bermuara pada bab terakhir, bab 10, juga masih ad hoc, yang berisi antusiasme
Dawkins sendiri kepada sains. Sudah dapat ditebak, dia yakin bahwa fungsi-fungsi yang dahulu
dimainkan oleh agama, yakni: menjelaskan makna, memotivasi, menghibur dan menginsporasi, akan
diambilalih oleh sains (h.389). Dengan penutup ini The God Delusion tidak sekadar buku ilmiah popular;
buku ini juga sebuah janji kemenangan sains atas agama dalam ateisme.

Apakah Dawkins Meyakinkan?

The God Delusiontelah menyulut kontroversi panas. Para pembaca awam bisa terburu-buru mengira
penulisnya seorang pembenci agama, lalu berhenti membaca. Para antusias sains segera
menyambutnya sebagai makanan intelektual bagi keyakinan mereka. Tetapi kita perlu berhati-hati.
Tidak perlu menyobek, apalagi membakar buku itu. Juga tak perlu menganggapnya kitab suci. Letakkan
saja di antara buku-buku lain. Di dalam kehiduan ini tidak ada hal yang seratus persen salah atau seratus
persen benar. Begitu juga dengan The God Delusion. Pemeriksaan presuposisi segera menguak bahwa
Dawkins, seperti para Pencerah Eropa abad ke-18, menganggap agama sebagai tahayul yang ia yakini
bisa diusir oleh sains dan rasionalitas. Memang tahayul hilang, tetapi agama tetap ada sampai hari ini,
bahkan ikut mengusir tahayul. Selain itu Dawkins juga erat berpegang pada asumsi-asumsi naturalisme
yang beranggapan bahwa tidak ada pencipta supranatural yang memulai dan mengarahkan evolusi alam
semesta; semuanya melulu hasil proses natural yang material. Dari bukunya jelas tampak bahwa realitas
akhir adalah proses biologis, dan satu-satunya pengetahuan yang benar adalah tentang fakta seleksi
alam.

Dawkins tidak seorang diri dalam reduksionisme itu. Para ateis lama dan kawan-kawannya, para ateis
baru, juga begitu. Mereka yang pikirannya terbuka tidak akan terkesan, misalnya dengan argumen
dangkal seperti: Jika Allah ada, tentulah Dia turun tangan untuk menyelamatkan manusia dari Pandemi
Covid-19. Dia tidak terbukti secara empiris turun tangan. Jadi, Allah tidak ada. Apakah yang bisa lebih
dangkal dari itu? Tentu Dawkins tidak akan terus terang memakai argumen seperti itu. Tapi kita akan
mudah menemukannya bersembunyi di balik kalimat-kalimat kasar dalam bukunya. Dengan segala
keberatan atau kekaguman kepadanya, pertanyaan satu ini perlu dijawab: Apakah Dawkins
meyakinkan? Apakah dia dapat disetujui?

Ada hal-hal dalam The God Delusion yang tidak hanya dapat disetujui, melainkan juga patut diperhatikan
oleh para agamawan. Pertama, sebagai kritik agama buku ini perlu ada untuk membantu agar berhati-
hati terhadap dampak-dampak mengerikan dari ‘kepercayaan tanpa pertanyaan’ yang bisa muncul dari
agama. Di dalam masyarakat demokratis ateisme bisa dianggap sparing partner agama dalam mencari
kebenaran. Orang selalu butuh yang lain untuk mengenal diri lebih baik. Yang lain dari agama adalah
ateisme. Mengingat kritik Feyerabend, dalam masyarakat demokratis kebenaran agama yang berkuasa
tanpa check and balance bisa berubah menjadi tirani intelektual. Dari ateisme agama bisa diimbangi
secara sosiologis agar tidak menjadi dogmatis dan fideistis. Ateisme itu sendiri sebetulnya tidak
memusnahkan agama, meskipun berambisi begitu. Kehadirannya dalam masyarakat demokratis malah
membuktikan bahwa agama merupakan sesuatu yang penting. “Ateisme”, demikian K.R. Popper,”adalah
sebuah tanda bahwa orang menganggap serius agama”. Jadi, syukurlah ada ateisme, sehingga
agamawan semakin sadar akan makna pilihan hidupnya secara jauh lebih berkualitas daripada dalam
keadaan tanpa tantangan. Dalam arti ini Dawkins juga perlu dibaca para rohaniwan dan bahkan rahib.

Dawkins memang serius dengan agama, terutama karena bahayanya. ‘Delusi Allah’ – dan ini hal kedua
yang bisa disetujui – bukan tuduhan konyol. Orang yang merasa dirinya benar menjalankan apa yang
diyakininya sebagai perintah Allah, lalu meledakkan bom dalam ranselnya untuk menghabisi musuh
Allah, tentu saja mengalami delusi yang sangat berbahaya dan berlawanan dengan akal sehat. Agama
memang rentan untuk diperalat politik, menjadi alat paksa, dan juga tidak jarang dikaburkan dengan
tahayul. Konflik di Timur Tengah yang belum juga selesai sampai hari ini persis membuktikan bagaimana
agama bisa menjadi bensin yang tidak habis-habisnya untuk menggerakkan mesin perang yang pergi
entah ke mana. Sulit menyangkal hal itu, dan tidak perlu juga membantahnya. Namun hal-hal lain
manakah, termasuk sains, yang juga tidak rentan untuk diperalat di era fungsionalisme ini? Agamawan
yang waras pada umumnya tidak akan menyetujui delusi kaum radikal itu.

Meski nanti masih akan kita persoalkan, hipotesis Dawkins tentang perilaku religius sebagai hasil
samping dan salah target atau kemacetan mental dalam evolusi melalui seleksi alam cukup dapat
melukiskan kekonyolan radikalisme agama. Para konservatif agama membenci kelompok berkeyakinan
lain sebagai kafir, karena – demikian yang mereka dengar dari para ulama literalis – nabi mereka
memerangi orang-orang kafir. Perilaku seperti itu tentu anakronis, merugikan diri dan orang lain, atau –
seperti istilah Dawkins – salah target, seperti ngengat yang menabrak nyala lilin (ini mengingatkan kita
juga pada 9/11). Perseteruan masa silam yang direkam dalam kitab suci dilanjutkan dengan kebencian
kepada kelompok-kelompok masa kini yang sama sekali berbeda. Para fundamentalis memang gagal
move on. Dalam arti ini interpretasi tentang salah target atau blokade mental itu tepat. Itulah pokok
ketiga yang bisa diterima.
Bagaimana dengan teori evolusi itu sendiri? Interpretasi ilmiah atas terjadinya kosmos dan
perkembangan evolusionernya tidak dapat disanggah begitu saja dengan literalisme scriptural atapun
dogmatisme agama karena melimpahnya bukti-bukti empiris yang terus terkumpul. Sejak Darwin kita
tidak hanya bertanya tentang fungsi mata, bentuk kepala, atau kaki laba-laba, tetapi juga tentang
bagaimana anatomi laba-laba itu berubah lewat seleksi alam. Para agamawan memang perlu membuka
pikirannya terhadap sains, termasuk teori evolusi. Itulah hal keempat yang bisa disetujui setelah
membaca Dawkins. Ketidakcocokan antara sains dan kitab-kitab suci tidak serta merta berarti konflik di
antara keduanya, karena pikiran yang terbuka akan memandang hal itu sebagai problem interpretasi
kitab-kitab itu. Secara epistemis dan ontologis sains membatasi diri pada penyelidikan empiris atas
dunia obyektif, sementara agama bersangkutan dengan dunia makna eksistensial yang bersifat subyektif
dan intersubyektif. Para ilmuwan sejati selalu siap mengaku salah, jika konstruksinya atas ‘fakta-fakta’
evolusi terbukti salah. Mereka hemat dengan kata ‘kebenaran’. Sikap terbuka seperti yang dimiliki para
ilmuwan itu sebaiknya juga dimiliki para agamawan di era kemajuan sains.

Di samping hal-hal yang bisa disetujui di atas, ada hal-hal yang kurang meyakinkan dan lemah, untuk
tidak mengatakan berantakan. Kita membatasi diri pada tujuh pokok saja. Pertama, Dawkins menolak
keyakinan religius dengan pendekatan biologistis yang menerjang NOMA (non overlapping magisterial)
(h.78). Biolog ini ingin menjelaskan dunia makna eksistensial yang subyektif dan intersubyektif dengan
kaidah-kaidah sains yang meneliti dunia obyektif. Betapapun Dawkins telah membantah demarkasi itu,
secara epistemis demarkasi itu real sehingga dia tidak dapat menerjangnya tanpa jatuh ke dalam sikap
reduksionistis. Allah memang bukan obyek sains. Pasca The God Delusion, Dawkins dan para agamawan
tetap berjalan dalam kereta yang berbeda, dan ateismenya tidak dianggap sebagai suatu evidensi yang
universal, melainkan hanya sebagai salah satu interpretasi yang sangat miskin makna atau – meminjam
istilah dari buku itu - sebuah jeu d’esprit yang harus bersaing dengan agama yang kaya makna. Bantahan
terhadap argumen-argumen filosofis seperti Thomas Aquinas dan Anselmus menunjukkan
ketidaksanggupannya berpikir metafisis tentang causa primadan motor immobilis dengan menolak
adanya awal segala sesuatu (h. 101).

Kedua, sikap reduksionis itu tampak di dalam berapa hal dalam buku itu. Agama Abrahamistik yang telah
mengalami institusionalisasi dan rasonalisasi yang kompleks sehingga tidak dapat begitu saja dijelaskan
dari satu-satunya realitas, yakni realitas biologis. Tapi hal itulah yang terjadi dalam buku itu, seperti
nanti masih akan masih dijelaskan pada pokok selanjutnya. Selain mereduksi ke biologi, Dawkins, mirip
dengan Freud yang mengasalkan agama pada totemisme, merasa menemukan gambaran tentang asal
agama terorganisasi itu pada praktik agama tribal, yakni Cargo Cult di Vanuatu. Itupun sebuah reduksi
karena sejarah tidak selalu bergerak dalam pola yang seragam di segala tempat. Penduduk pulau
Sentinel yang leluhurnya dari beberapa ribu tahun lalu, misalnya, alih-alih menyembah pesawat dan
pilotnya, akan mengunakan besi pesawat sebagai anak panah untuk membunuh pilot. Meski ada
keserupaan, harapan Kristiani akan kedatangan Yesus kedua kalinya tidak dapat diasalkan dari peristiwa
civilizational schock seperti yang dialami penduduk Vanuatu yang takjub dengan pesawat dan menunggu
kedatangan lagi John Frum, tentara Amerika saat Perang Dunia II. Analisis seperti itu, jika bukan
candaan, adalah sebuah kekeliruan.
Pokok ketiga kita arahkan pada hardcore hypothesis-nya. Hipotesis ini memuat interpretasi Dawkins
sendiri yang tidak dapat dicocokkan dengan fakta yang tetap terbuka untuk berbagai interpretasi. Pada
ngengat yang menabrak nyala lilin bukan hanya “bunuh diri”, melainkan juga “salah target” atau
“kemacetan” adalah label-label yang kita, manusia, berikan pada fakta itu, sementara ngengat
digerakkan nalurinya, sehingga kata salah atau benar tidak relevan untuk menilai serangga itu. Dari
perilaku ngengat itu kita bisa membuat beberapa interpretasi. Misalnya, interpretasi 1 adalah
interpretasi Dawkins, yakni agama sebagai salah target atau ketakutan infantil pada otoritas yang
berkepanjangan; interpretasi 2 bahwa salah target yang dilakukan manusia, berbeda dari serangga,
justru bermakna karena peranan intensionalitas kesadarannya, misalnya dalam ritus dan simbolisme
religius; interpretasi 3 bahwa kebudayaan adalah hasil salah target itu karena manusia memuaskan
nalurinya, misal seks, secara tidak langsung, yakni mengalihkannya pada lukisan erotis, dan sublimasi
macam itu tidak terjadi tanpa salah target. Ketiganya bukan observasion statements, melainkan
konstruksi-konstruksi abstrak. Interpretasi 1 tidak lebih benar dari 2 dan 3, dan tidak ada alasan kuat
untuk mengatakan bahwa 1 lebih sesuai fakta daripada 2 dan 3 karena sama-sama abstrak. Mengacu
pada K.R.Popper, interpretasi 1 tidak falsifiable dan tidak lebih daripada versi Freudianisme yang akan
dianggap Popper unscientific. Dawkins sebetulnya hanya ingin mengatakan sesuatu yang lebih
sederhana, yaitu bahwa perilaku religius itu semacam infantilitas berkepanjangan. Tapi untuk
mengatakan itu dia perlu berargumentasi secara memutar dengan teori evolusi yang ternyata juga tetap
kelihatan dipaksakan untuk membenarkan anggapannya. That is not a science but a bad philosophy.
Memang skyhook yang ‘mencomot’ obyek dari atas kurang meyakinkan ilmuwan, karena tanpa
menapak pada bumi akan roboh. Crane lebih meyakinkan Dawkins karena bekerja perlahan dan
bertahap dari bawah, tetapi crane salah bekerja jika melompat. Dalam interpretasi 1 ada jurang yang
dalam di antara perilaku ngengat dan perilaku religius manusia yang dilompati crane Dawkins. Bisa
dipastikan crane itu roboh!

Sebelum melangkah ke pokok berikut, saya menyela dengan sebuah catatan kecil. Selama teka teki asal-
usul kesadaran belum dapat dipecahkan oleh sains, selama itu pula dunia makna tidak bisa dijelaskan
secara ilmiah dengan ilmu-ilmu alam. “Ledakan linguistis” yang tengah kita alami lewat Twitter,
Facebook, Whatsapp, Youtube merupakan alasan untuk takjub akan kenyataan bagaimana dunia makna
menjadi otonom dari dunia fakta-fakta dan makin plural. Isi kepala yang makin banyak dibuka dan
dibeberkan, justru menjadi makin beragam, dan sebagai keseluruhan malah makin misterius, karena kita
menjadi makin sadar akan gap yang makin lebar antara otak dan kesadaran. “Kesadaran agaknya selalu
tampak seperti sebuah mukjizat”, tulis Sam Harris, seorang neurosaintis (John Brockman (ed), This Idea
Must Die, Harper Perennial, New York, 2015, h.138). Penulis lain lagi, Douglas Rushkoff, lebih takjub lagi
dengan kesadaran. “Bertolak dari tidak adanya Allah sebagai asas dasariah penalaran ilmiah,”begitu
tulisnya,”kita membuat diri kita secara tidak perlu menentang kebaruan kesadaran manusia,
kesinambungan potensialnya sepanjang waktu, dan kemungkinan bahwa ia memiliki tujuan” (J.
Brockman (ed.), ibid., h. 104). Ke manakah arah evolusi kesadaran, termasuk di dalamnya evolusi
bahasa, peradaban, teknologis, dst.? Banyak yang belum terjawab. Lebih daripada dunia material,
subyektivitas manusia merupakan dunia tersendiri yang dapat dieksplorasi bagai perjalanan ke perut
bumi sampai lapisan-lapisan asing yang tidak terduga. Interioritas manusia ini bukan obyek ilmu-ilmu
alam, melainkan ilmu-ilmu kemanusiaan, seperti psikologi, etnologi, sosiologi, ilmu komunikasi, ilmu
sejarah, dan bahkan ilmu sastra. Agama juga berada dalam interioritas manusia, dan interioritas ini
terjadi bersamaan dengan revolusi kesadaran yang sampai hari ini asal-usulnya masih enigmatis.
Mengapa doa harus dianggap inefisiensi dalam seleksi alam? Mengapa bukan ungkapan kesadaran
tertinggi manusia? Bukankah anjing peliharaan kita tidak berdoa? Dawkins enggan masuk ke interioritas
manusia itu dan buru-buru menyegel pintu masuknya dengan papan peringatan “Awas delusi!”.
Kalaupun seleksi alam ikut berperan dalam asal-usul agama, proses biologis pasti tidak bekerja sendirian
dan tidak dengan cara seperti dijelaskan Dawkins.

Kita lanjutkan ke pokok keempat, yakni tentang asal-usul moral. Teori ini bukan hanya kurang
meyakinkan, melainkan juga memprihatinkan dari perspektif etis. Baik dan buruk dilihat Dawkins hanya
sebagai masalah ‘teknis’ survival. Altruisme lewat kekerabatan genetis, pertukaran, reputasi, dan
kemurahhatian sebagai iklan adalah egoisme kompleks dan bukan altruisme. Kata ‘altruisme’ ditemukan
Auguste Comte di tahun 1850 dan diartikannya sebagai sesuatu yang Anda lakukan untuk orang lain
(alter) dan bukan untuk diri Anda sendiri (ego). Jadi, altruisme per definitionemadalah pelampauan diri
dan ketanpapamrihan. Dawkins tidak beranjak jauh dari para pendukung egoisme etis di Inggris abad ke-
18, seperti Hobbes dan Bentham. Altruisme tidak sejati, melainkan kedok egoisme. Di antara selfish
genes bisa saja terjadi seleksi alam, tetapi cukup meragukan bahwa dari mekanisme survival of the
fittest bisa dilahirkan altruisme sejati. Bagaimana mungkin pengorbanan diri, cinta kasih, dan keikhlasan
terjadi di antara para egois alamiah? Apa sesungguhnya motor evolusi yang menarik homo sapiens
untuk melampaui ikatan-ikatan biologis? Sebagaimana ada gaps antara benda dan kehidupan, antara
kehidupan dan kesadaran, dan bahkan antara hukum seleksi alam dan arah tujuannya, ada gap antara
egoisme dan altruisme yang tidak dapat ditambal oleh teori evolusi lewat seleksi alam. Kalaupun
Dawkins tidak suka gap ini segera diisi dengan Allah, seperti cibirannya berulang kali dalam bukunya
(h.151 dst.), dia seharusnya tidak membiarkannya tetap menganga. Jika, seperti dikatakannya, sains
belum bisa menjawab semuanya, mengapa pula tergesa-gesa menjadi ateis? Bukankah lebih baik
membiarkan hal itu tetap terbuka baik untuk sains maupun untuk agama?

Kelima, kita perlu meninjau soal delusi Allah itu. Dawkins mencoba membuktikan agama sebagai delusi
Allah, yakni: hasil seleksi alam, salah target yang tidak efisien, tak lebih dari jeux d’esprit (h.191), maka
pengalaman religius juga sebuah delusi. Tapi benarkah bahwa pengalaman religius, sama saja dengan
“Binker” atau – demikian sebutan Anne Frank untuk buku hariannya – “Kitty”, yakni dialog dengan diri
sendiri? Betulkah hal itu salah target dan tidak otentik? Pendapat seperti itu dapat dibantah dengan
fakta sebaliknya dari pengalaman religius yang otentik sebagaimana diteliti psikologi. Mistikus seperti St.
Teresia dari Avila, misalnya, sadar sepenuhnya, yakni tidak sedang nge-fly, bahwa dia yang berbicara
dalam doanya bukan dirinya, juga bukan diri keduanya, bukan imajinasinya, juga bukan setan, melainkan
Allah. Hal itu memberinya hiburan spiritual yang tidak terperikan. Dia tidak sedang berhalusinasi atau
mengalami delusi Allah. Pengalaman serupa juga terdapat dalam Islam dan Yudaisme. (lih. Robert. H.
Thouless, An Introduction to Psychology of Religion, h. 145). Adanya pengalaman spiritual yang otentik
ini telah membuat agama tetap menarik sampai hari ini dan tidak mudah dimiskinkan oleh interpretasi
ateistis.

Keenam, tentang cara baca kitab suci. Dawkins, sama parahnya seperti para fundamentalis agama,
membaca Bible secara literalistis, padahal banyak pendirian usang yang diserang Dawkins itu, seperti
anggapan bahwa outgroups masuk neraka, larangan kebebasan berpikir, surat indulgensi dst. sudah
lama ditinggalkan dalam teologi Kristiani. Jadi, Dawkins menembak ruang kosong. Penelitian arkeologis
dan eksegetis kitab suci dan refleksi teologisnya sudah pasca literal dengan menggunakan asas-asas
eksegetis yang terbuka pada kritik. Religious language-gamemenggunakan simbol-simbol untuk
mengacu pada pengalaman eksistensial manusia yang tentu tidak dapat diperlakukan sebagai laporan
ilmiah sebagaimana dikira Dawkins. Interpretasi kitab sucinya terkesan amatir, kurang referensi, dan
juga sangat dangkal, lalu didapat “monster Alkitab” itu, yang bahkan seorang fundamentalis Kristianipun
tidak akan membayangkan itu. Dengan pembacaan cherry picking dan argumen-argumen yang
dipaksakan itu Dawkins menghindari ayat-ayat yang justru sentral bagi agama tetapi merugikan
argumennya, seperti misalnya: “Allah adalah kasih” (I Yoh: 8b). Kegeramannya kepada fundamentalisme
agama mengaburkan pandangannya sehingga gagal membaca pesan agama yang sesungguhnya. Ketika
mentarget radikalisme agama yang melakukan kekerasan, dia memang tidak melebih-lebihkan bahaya
iman yang berubah menjadi kepicikan ideologis, tetapi dia jelas melebih-lebihkan sisi kelam agama dan
buta terhadap cahaya yang dibawanya. Seandainya tidak hanya mempelajari biologi, tapi juga
mendalami ilmu-ilmu kemanusiaan, Dawkins tentu akan lebih sabar dengan ambivalensi manusia dan
agamanya dan interpretasinya tidak akan semelarat itu.

Ketujuh dan terakhir, para antusias sains seperti Dawkins sangat tajam mengkritik agama sebagai
ancaman kebebasan dan bahkan paksaan kepada anak-anak. Hampir satu bab, yakni bab 9, dia bicara
soal ini. Menurutnya agama telah menciptakan sebuah sistem paksaan yang tidak dipersoalkan lagi
sehingga kita tidak lagi menyadari sebagai paksaan. Anak-anak pun diasuh menurut agama orangtuanya.
Anak Kristen, anak Muslim atau anak Yahudi adalah bentuk indoktrinasi, katanya. Keberatan terhadap
kritik Dawkins, misalnya, bahwa anak-anak kecil masih dalam hak asuh orangtua mereka, pasti tidak
digubris. Kelemahan argumen Dawkins terletak pada anggapan bahwa sebuah masyarakat ilmiah yang
bebas agama akan jauh lebih menghargai kebebasan anak-anak daripada masyarakat religius. Siapa
dapat menjamin hal itu? Antusiasme itu salah sejak awal. Bukankah sains pun bisa menjadi paksaan baru
kepada anak-anak? Kritikus sains yang cukup ekstrem seperti Feyerabend bisa lumayan mengimbangi
Dawkins. Menurutnya sains di zaman kita sudah menggantikan agama. Saat ini orangtua masih bisa
memilihkan anaknya sekolah, entah berbasis agama atau tidak, tetapi tidak ada sekolah bebas sains.
Anak-anak mau tak mau belajar matematika dan ilmu alam, jika mau sukses. Orangtua harus
mendesakkan hal itu sejak dini, kalau tidak mau dianggap tak bertanggungjawab (Feyerabend,
Erkenntnis für freie Menschen, Suhrkamp, Frankfurt a.M., 1979, h.103). Sains yang mengganti agama
dalam menduduki kekuasaan akan bisa sama tiranisnya dengan agama di masa lalu. Jadi, selama masih
hidup di dunia yang penuh ambivalensi, kita harus tetap waspada terhadap ideologisasi apapun,
termasuk terjadap ideologisasi sains.

Dunia Real dan Melaratnya Ateisme

Dari seluruh isi buku yang sangat bersemangat menyerang agama itu ada satu hal menarik yang dapat
kita pakai untuk menutup uraian ini. Menjelang akhir The God Delusion, Dawkins bicara tentang model.
“Apa yang kita lihat dari dunia real”, begitu tulisnya,”bukanlah dunia real apa adanya, melainkan sebuah
model tentang dunia real yang ditata dan disesuaikan oleh data indra – sebuah model yang
terkonstruksi sedemikian sehingga berguna untuk menghadapi dunia real” (h.416-417). Di sini Dawkins
benar. Binatang yang di darat, yang terbang atau yang berenang melihat dunia real dengan model
mereka masing-masing yang berbeda satu sama lain. Manusia tentu jauh lebih kaya lagi melihat dunia.
Ide ini bijaksana, tetapi sayang sekali tidak ditulis di awal atau bagian-bagian lain. Kalau Dawkins
konsisten dengan ide ini sehingga berlaku juga untuk ateismenya, dia harus setuju bahwa ateisme
hanyalah salah satu model untuk melihat dunia real, sementara agama adalah model lain lagi. Seperti
dikatakan Paul Feyerabend, dalam masyarakat demokratis ateisme dan bahkan rasionalitas bukanlah
wasit bagi model-model berpikir, melainkan salah satu model saja (bdk. Feyerabend, Erkenntnis für freie
Menschen, Suhrkamp, 1979, h. 54).

Tentu pada manusia ada model yang lentur sehingga menangkap kekayaan dunia real, ada penggantian
model yang memungkinkan perspektif lain, dan ada model ketat yang memiskinkan padangan dunia
real. Untuk model ketat itu Dawkins memakai ilustrasi dari praktik para konservatif Islam, yakni burka.
“Apa yang dilakukan sains untuk kita” begitu katanya,”adalah melebarkan jendela. Dia membuka lebar-
lebar sehingga pakaian hitam yang memenjarakan itu turun hampir seluruhnya, menyodorkan panca
indra kita kepada kebebasan yang segar dan bergairah” (h. 406). Jelas alamatnya adalah para agamawan
yang dianggapnya picik, tidak efisien, infantil, irrasional, penuh kebencian, dst. Tujuh keberatan yang
saya ajukan di atas perlu dilengkapi dengan sebuah saran agar nasihat Dawkins tentang burka itu juga
dialamatkan kepada dirinya sendiri. Jika sains dan model ketatnya dikira sama dengan dunia real,
keduanya berubah menjadi ‘burka intelektual’ yang melihat dunia real, termasuk kompleksitas realitas
agama, hanya dari satu sisi, yaitu: sisi empiris. Sains sebagai sains memang bekerja demi sisi empiris
dunia, tetapi sains tidak bisa dijadikan prinsip hidup yang jauh lebih kaya. Dawkins tidak mau mencoba
melihat dunia dari sisi non-empiris karena hal itu dianggapnya konyol dan mustahil. Dengan ateismenya
dia tidak lagi bersikap sebagai seorang ilmuwan, melainkan sebagai seorang pembela agama yang benar
yang menganggap keyakinan-keyakinan lain omong kosong. Sama seperti fundamentalis agama, dia
tidak ingin mencoba melihat dengan cara lain karena memang tidak punya cara lain selain mereduksi
kompleksitas dunia ke model ketatnya. Itulah kemelaratan ateismenya.

Anda mungkin juga menyukai