Anda di halaman 1dari 7

TUJUAN ILMU DALAM ISLAM

Fahman Mumtazi
"Sesungguhnya orang yang telah diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Al-Qur'an
dibacakan kepada mereka, mereka menyungkurkan wajah, bersujud”.
-Al-Isra': 107
Kata ilmuwan saat ini identik bagi mereka yang memiliki gelar akademik, telah menempuh
jenjang tinggi dalam pendidikan formal, dan yang telah menghasilkan berbagai penemuan
yang dimanfaatkan oleh banyak orang. Hal tersebut tidak salah karena dalam mencapai gelar
akademik dan membuat penemuan diharuskan untuk membaca banyak buku, melakukan
berbagai riset, dan membutuhkan waktu yang lama. Akan tetapi, jika kita amati lebih dalam,
ilmu-ilmu yang dihasilkan telah diwarnai oleh berbagai motif, sehingga hasil dari ilmu tersebut
tidak seluruhnya membawa manfaat bagi umat manusia.
Ketika dilakukan uji coba bom atom pertama pada 16 Juli 1945 di New Mexico, Robert
Oppenheimer (ahli fisika teoritis dan profesor fisika Universitas California yang menjadi
Kepala Laboratorium Los Alamos untuk pengembangan senjata nuklir pada Perang Dunia II)
berkomentar bahwa hal itu mengingatkannya dengan kata- kata dalam Bhagavad Gita:
"Sekarang aku menjadi maut, perusak dunia". Dua puluh satu hari kemudian bom tersebut
menewaskan 129.000 warga sipil Hiroshima. Kepribadian para ilmuwan turut menimbulkan
polemik karena bertolak belakang dengan pemikiran besar yang dihasilkannya. Jean Jacques
Rousseau, seorang filsuf yang ide-idenya tentang nasionalisme melahirkan Revolusi Prancis,
diketahui telah membuang kelima anaknya karena suara tangis bayi dapat mengganggunya
dalam berpikir.
Mengapa orang-orang yang berilmu dan cerdas bisa bersikap demikian? Lalu bagaimana Islam
memberikan tuntunan bagi orang-orang yang berilmu? Apa sebenarnya tujuan ilmu menurut
Islam? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terjawab dalam pembahasan berikut.
PENGARUH ILMU PENGETAHUAN
Fenomena yang penulis ungkap di paragraf pendahuluan adalah kelanjutan dari apa yang
terjadi di Barat, dimulai sejak abad ke-17 dan ke-18. Saat itu, pengetahuan yang dihasilkan
mulai "menekan" pengaruh kuat doktrin teologis. David Hume memelopori istilah systemic
knowledge, yaitu kaidah yang menyatakan bahwa pengetahuan itu benar apabila bisa
dibuktikan secara simultan dan sistemik, sehingga menolak ilmu atau apapun yang tidak
didasari pada observasi."
Meskipun secara lahiriah Barat mengalami perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat,
tetapi itu semua tidak dilandaskan pada ajaran agama. Bahkan, menurut Ernst Cassirer,
seorang Yahudi Jerman, agamalah problem pengetahuan yang muncul saat ini. Hal itu
dikarenakan spekulasi filsufi tidak dimulai pada akhir-akhir ini, tetapi sudah ada sejak
dimulainya sejarah. Saat itu, pemikiran primitif, mistisisme, dan religius mendominasi.
Spekulasi filsufis yang mempertanyakan kebenaran, bagi Cassirer, tidak akan terjawab apabila
pertanyaan apa itu pengetahuan belum menemukan jawaban memuaskan.
Cassirer kemudian menyatakan bahwa pemikiran sejarah yang menyebar di berbagai domain
wilayah termasuk politik menyebabkan doktrin metafisika yang ada di dalam dogma agama
menjadi tidak berkembang karena ketiadaan bukti. Maka dari itu, kebenaran tidak lagi pada
Tuhan atau ide yang absolut, tetapi hanya bisa masuk ke dalam alam pikiran manusia dan
totalitas kemanusiaan. Pernyataan Cassirer yang merupakan seorang Yahudi itu tidak
mengherankan karena bagi Yahudi seorang kabbalist pun hanya dianggap sebagai scholars of
Kabbalah. Ia tidak dianggap sebagai pemuka ataupun pemegang otoritas agama Yahudi.*
Selain masalah otoritas keilmuan dan sejarah yang disajikan oleh doktrin agama mulai banyak
diragukan, sudut pandang sejarah yang terlalu melihat dominasi politik satu pihak terhadap
pihak yang lain, dinilai Frederick Cooper (seorang sejarawan Amerika) tidak akan bisa
menyajikan kebenaran itu sendiri. Sudut pandang sejarah hendaknya mampu memperlebar
kemungkinan dan konsekuensi berbeda yang diakibatkan oleh beberapa kombinasi peristiwa
ataupun perbuatan. Sebagai contoh, kita harus mempertimbangkan identifikasi solidaritas
budaya, mobilisasi jaringan politik, sampai pada letak geografis. Maka dari itu, ilmu dari
perpsektif sejarah yang didasarkan pada doktrin agama, bagi Cooper, masih jauh atau bahkan
tidak bisa menjadi standar kebenaran karena ketiadaan faktor-faktor yang disebutkan di atas.
Fakta yang cukup menarik adalah ketika ilmu pengetahuan sejarah agama menurut perspektif
sejarah agama ditinggalkan, ilmu pengetahuan kini justru dipenuhi oleh banyak sekali
pseudosains dan pseudohistory. Ronald H. Fritze, sejarawan Amerika, cukup intens mengkritik
pseudosains. Fritz mengkritik film, televisi, dan radio. Majalah dan internet memuat banyak
informasi palsu dan tidak bisa dipertanggungjawabkan otentisitasnya
Akibatnya menjadi sangat fatal. Lihat bagaimana Nazi terinspirasi dari pseudohistory alias
mitos tentang keunggulan ras Arya dibanding ras lainnya, mengakibatkan hampir satu
generasi pria di Eropa lenyap. Legenda benua Lemuria yang hilang, tempat peradaban Tamil,
juga menginspirasi masyarakat di India Selatan untuk menggerakkan nasionalisme Tamil dan
gerakan Dravida. Gerakan ini berujung pada intimidasi terhadap Muslim India hingga internal
Hindu India itu sendiri. Hal ini disebabkan karena para penulis pseudohistory memaksa agar
ide dan tulisannya dianggap sebagai sebuah faktra kebenaran tentang masa lalu manusia.
Adapun film-film popular yang berisi campur aduk antara fakta dan kebohongan adalah
10.000 BC, Atlantis, Indiana Jones and the Raiders of the Lost Ark, dan Indiana Jones and the
Last Crusade Fritze juga menyimpulkan bahwa pseudohistory telah menghapus worldview
Kristen yang meyakini bahwa manusia diciptakan selama 6 hari menjadi Teori Darwin dengan
evolusinya."
Maraknya pseudosains dan pseudohistory ini membutuhkan konfirmasi ilmiah tentang berita
yang dipropagandakan. Maka dari itu, universitas sebagai "wilayah ilmiah" hendaknya
memberikan pemahaman yang benar melalui metode yang bisa dipertanggungjawabkan.
Akan tetapi, saat ini berbagai kritik banyak ditujukan kepada universitas terkait perannya
sebagai tempat pengembangan ilmu dan pembentukan sumber daya manusia yang
berkualitas demi kesejahteraaan masyarakat.
Sejak awal abad ke-20, universitas cenderung tidak memiliki tujuan, kehilangan otonomi yang
diakibatkan dari disiplin, serta visi dan misi yang senantiasa berubah. Perubahan orientasi
universitas inilah yang dicermati oleh Steve Fuller (filsuf sosial Amerika di bidang sains dan
teknologi) dan James H. Collier (seorang peneliti dari Monash University). Fuller dan Collier
melihat universitas tak ubahnya sebagai tempat penyedia servis tanpa henti yang diinginkan
oleh para penyandang dana. Di Eropa, fenomena ini disebut "the new production of
knowledge" karena berbagai Universitas terjebak dalam pasar terbuka yang memaksa para
lulusannya berkompetisi dengan para pekerja nonakademik. Munculnya berbagai Science
Park, Think Tanks, dan Corporate Training Centers adalah bukti konkrit adanya perubahan
orientasi universitas tersebut. Fuller dan Collier lebih lanjut menyimpulkan bahwa universitas
justru terlibat dalam paham neoliberalisme, sekaligus menciptakan keberlangsungan paham
tersebut. Para mahasiswa Amerika yang diharapkan bisa meningkatkan kebijakan publik atau
ikut terjun dalam penanganan kesehatan, malah terlibat merakit bom atom saat Perang Dunia
II.
Apa yang terjadi pada pengetahuan yang kehilangan visi ini dibaca secara jeli oleh Jean-
Francois Lyotard, seorang filsuf Prancis yang beraliran post-sturuktualisme. Lyotard
menyatakan bahwa yang terjadi saat ini adalah "komersialisasi dan merkantilisasi
pengetahuan". Transformasi pengetahuan antarpihak telah memengaruhi public power yang
di dalamnya terdapat korporasi yang luas. Semua negara berlomba-lomba mencari alternatif
dari paham sosialis untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang besar, ditambah kebijakan
dibukanya pasar China menjadi dua faktor kunci pemicu komersialisasi ilmu pengetahuan
sejak tahun 1970-an."
Masalah keilmuan yang terjadi di atas menunjukkan kepada kita bahwa tujuan ilmu tidaklah
tunggal. Semua pihak merasa bebas berbuat apapun dengan ilmu yang dimilikinya. Hal ini
sejalan dengan apa yang ditulis oleh Jonathan L. Kvanvig, seorang Guru Besar Filsafat
Universitas Washington, yang menyatakan bahwa pengetahuan akan selalu dipenuhi dengan
nilai (values), sehingga klaim bahwa ilmu bebas nilai adalah pernyataan yang tidak
berdasar,10
ISLAM MENCERDASKAN AKAL
Akal tidak bisa dilepaskan dari dogma ajaran Islam yang mengedepankan asas berpikir. Allah
telah memberi perumpamaan bagi seseorang yang tidak mau menggunakan akalnya. Mereka
lebih rendah dari makhluk yang hina dan tuli. Kecerdasan yang lahir dari akal sehat manusia
akan berdampak kepada hikmah, membawa manfaat bagi umat manusia, dan tidak
bertentangan dengan asas keadilan. Maka dari itu, Allah memerintahkan umat manusia untuk
selalu melihat tanda-tanda kekuasaan-Nya di bumi dengan akalnya."
Kecerdasan yang lahir dari akal sehat juga akan menghindarkan umat manusia dari hal-hal
buruk dan bencana. Penggunaan kecerdasan yang didasarkan atas ego telah diperingatkan
Allah akan membawa perpecahan serta berujung pada kezaliman dan kesengsaraan
Kecerdasan pikiran dalam Islam juga akan menjauhkan manusia dari kekafiran, kefasikan, dan
kedurhakaan."
Bandingkan dengan akal skeptis yang membuat manusia tidak memiliki keyakinan terhadap
hal-hal gaib. Daya nalar semacam ini memperkaya praanggapan terhadap suatu ilmu dan
hanya mau menerima pengetahuan yang lebih masuk akal." Hal ini akan berbenturan dengan
epistemologi Islam yang meyakini kebenaran perkara gaib, meskipun berada di luar jangkauan
akal.
ILMU MAMPU MELEMBUTKAN PERASAAN
Satu contoh nyata bagaimana ajaran Islam mampu melembutkan perasaan seseorang 180
derajat adalah riwayat tentang Umar bin Khattab ra. Sebelum memeluk Islam, Umar bin
Khattab merupakan sosok yang sangat keras dan kerap terlibat perselisihan dengan kaum
Muslim. Umar dikisahkan sering menyiksa budak yang masuk Islam, bahkan bertekad ingin
membunuh Rasulullah s.a.w.
Setelah memeluk Islam, Umar tetap dengan ketegasannya yang digunakan untuk
menegakkan agama dan syariat Islam. Adapun kelembutan hatinya tampak dari seringnya
Umar menangis ketika melantunkan ayat Al-Qur'an pada waktu memimpin shalat, ataupun
ketika menjadi khalifah. Umar diriwayatkan menangis, bahkan rela menggendong karung
berisi tepung untuk diberikan kepada wanita yang ditemuinya sedang memasak batu.
Demikianlah, salah satu tujuan ilmu dalam Islam adalah untuk melembutkan hati yang keras
karena kekerasan hati adalah satu dari tanda dicabutnya nikmat Allah terhadap seseorang."
Lantunan Al-Qur'an yang didengar tidak memiliki dampak apapun terhadap orang yang
hatinya keras. Bacaan Al-Qur'an yang dilantunkan tidak berpengaruh terhadap perilaku
buruknya. Bisa dikatakan, ia telah jauh dari cahaya dan mukjizat Al-Qur'an. Padahal, Allah
telah berfriman bahwa umat yang berilmu dan berpengetahuan senantiasa bersujud tatkala
ayat-ayat Al-Qur'an dibacakan kepada mereka."
Kelembutan hati akan selaras dengan fitrah penciptaan yang menjunjung tinggi nyawa
manusia, kehormatan manusia, dan kelangsungan makhluk hidup lain. Seorang mukmin yang
berilmu akan selalu berpikir bahwa yang ada di dunia ini merupakan titipan dari Allah. Kelak,
semuanya akan dipertanggungjawabkan. Maka dari itu, ilmu yang diperolehnya akan selalu
memprioritaskan keselamatan jiwa manusia dan lingkungannya selama ia hidup di dunia.
Selama manusia memahami bahwa betapa berat amanah yang ditanggung manusia di dunia,
niscaya ia tidak akan bersikap sombong dan akan selalu peduli terhadap sesamanya."
ILMU MAMPU MEMUPUK TALENTA
Hidup bukanlah beban, melainkan sebuah tanggung jawab yang kelak akan dihisab oleh Allah
terkait bagaimana kita menjalaninya. Maka dari itu, seorang Muslim harus mandiri dan
bekerja agar mudah menjalani hidup. Secara tidak langsung, umat Islam harus memiliki
berbagai keterampilan yang menunjang kesejahteraannya serta mejauhkan diri dari
kebiasaan meminta- minta dan menyandarkan hidup pada pertolongan orang lain.
Memperdalam ilmu untuk mengasah keterampilan sangatlah penting, terutama untuk tujuan
keberlangsungan dakwah kita. Seorang mukmin multitalenta akan sangat mudah
menanamkan nilai-nilai keislaman di berbagai bidang bakat yang ia kuasai. Inilah yang
membedakan seorang Muslim yang memiliki tanggung jawab berdakwah dengan seseorang
yang mempelajari suatu keahlian sekadar untuk mencari nafkah dan motif ekonomi. Tentu
saja content creator yang membuat video animasi sirah nabawiyyah untuk anak-anak lebih
bermanfaat untuk umat daripada yang hanya mengunggah konten game dalam bentuk
adegan saling bunuh di kanal Youtube.
Bagi seorang mukmin, segala aktivitas di dunia ini merupakan ladang pahala. Apapun keahlian
yang dimiliki dan bidang apat saja yang digeluti tidak akan menghalanginya untuk
menegakkan syariat dan menambah pahala. Kepakaran dalam bidang sains akan
membuatnya selalu mengutamakan keselamatan dan kepentingan umat manusia. Kedalaman
agama seorang ustadz akan selalu menghindarkan manusia dari akidah yang salah. Selain itu,
ilmu atau keahlian yang diperoleh merupakan sebuah karunia dari Allah untuk berlomba-
lomba dalam kebaikan. 18
ILMU DAPAT MENYUCIKAN JIWA
Ilmu yang benar akan selalu mengarahkan manusia kepada ketenteraman dan ketenangan
hati. Karena itu, ilmu yang benar termasuk nutrisi jiwa yang harus dimiliki seorang Muslim.
Sayangnya, pentingnya nutrisi jiwa tidak dimasukkan dalam kebutuhan primer manusia dalam
teori-teori ekonomi yang hanya membatasinya pada sandang, pangan, dan papan. Padahal,
dalam Islam dijelaskan bahwa mengingat Allah dengan berzikir merupakan cara yang ampuh
untuk menenangkan hati.
Jika kebutuhan primer yang membuat hati manusia itu tenang dan tenteram hanya berupa
sandang, pangan, dan papan, maka tidak akan ada orang kaya yang bunuh diri. Akan tetapi,
faktanya, banyak kita temukan tokoh-tokoh penting yang bergelimang popularitas dan harta
kekayaan melimpah memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Hal ini menandakan bahwa
kekosongan jiwa dari nilai-nilai spiritual atau agama akan menjerumuskan seseorang pada
perbuatan yang tidak masuk akal dan jatuh ke dalam maksiat.
Maka dari itu, kesucian jiwa seseorang adalah salah satu tanda bahwa ilmu yang ia pelajari
telah sampai pada kebenaranı sesuai syariat Islam.
ILMU BERTUJUAN MEMBENTUK AKHLAK
Ketinggian akhlak adalah hal yang tidak bisa dilepaskan oleh para penuntut ilmu. Terdapat
perbedaan antara akhlak, moral, dan etika di dalam konsep Islam yang bisa dilihat di tabel
berikut:
Meskipun terlihat sama dan memiliki banyak kemiripan, akhlak dan moral memiliki landasan
yang sangat berbeda. Islam menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman utama, sedangkan moral
berdasarkan kesepakatan masyarakat. Artinya, suatu perbuatan dikatakan bermoral apabila
telah disepakati oleh masyarakat, meskipun hal itu belum tentu sejalan dengan syariat (Al-
Qur'an dan Sunah). Ketinggian ilmu seorang mukmin akan tercermin dalam bentuk akhlak dan
perbuatannya.
ILMU UNTUK MENJAGA KESEHATAN
Aspek kesehatan tidak bisa dilepaskan dari tradisi dan sejarah keilmuan Islam. Hal itu bisa
dilihat dari banyaknya karya dan sumbangsih ilmuwan Muslim di bidang kedokteran, seperti
Ibnu Sina yang menulis buku al-Qanun fi al-Tibb (the Canon of Medicine), buku yang berisi
perancangan obat-obatan paling mutakhir dan dipergunakan sampai beberapa abad
setelahnya. Ada lagi Abu Qasim Khalaf bin Abbas al-Zahrawi yang menulis buku al-Tasrif dan
dikenal sebagai pelopor ilmu bedah. Prinsip-prinsip praktik dalam al-Tasrif dipergunakan oleh
ilmuan Barat sebagai kurikulum pendidikan kedokteran di Eropa.
Ada juga Ibnu al-Nafis yang hidup pada abad ke-13. Ia dinobatkan sebagai pelopor fisiologi
yang mampu merumuskan dasar-dasar sirkulasi paru-paru, jantung, dan kapiler. Dalam
karyanya Syarh al-Adwiya' al-Murakkabah, al-Nafis menjelaskan konsep metabolisme tubuh,
sistem anatomi, fisiologi, dan psikologi. Al-Nafis juga mengkritik Ibnu Sina terkait teori denyut,
tulang, otot, panca indra, perut, terusan empedu, dan lainnya dalam bukunya Syarh Tasyrib
al-Qanun li Ibn Sina (Commentary on Anatomy in Avicenna's Canon).
Kedalaman ilmu tentang kesehatan dan pengobatan ini tidak hanya dilandaskan pada
keingintahuan, tapi juga didorong oleh landasan akidah dan syariah yang menganjurkan
berobat apabila sakit. Dalam aspek akidah, umat Islam meyakini bahwa Allah- lah yang
menyembuhkan sakit, sedangkan dokter, obat, maupun peralatan medis hanyalah perantara
sebagai ikhtiar memperoleh kesembuhan dan kesehatan.
KESIMPULAN
Ilmu dalam Islam memiliki tujuan membentuk pribadi seorang Muslim yang mulia. Bahkan,
ilmu akan meninggikan pemiliknya beberapa derajat. Agar tujuan itu tercapai, ilmu yang
diperoleh harus benar dan sesuai dengan panduan Islam.
Selain itu, ilmu yang diperoleh juga harus dipergunakan dengan benar agar tidak berubah
menjadi pangkal kerusakan dan kezaliman di muka bumi. Karena itu, ilmu harus didasari
dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah agar membawa manfaat bagi seluruh umat
manusia.

Anda mungkin juga menyukai