Anda di halaman 1dari 3

SETENGAH abad yang lalu, aku adalah anak kecil yang tinggal di kampung.

Pada bulan puasa, aku


menghabiskan waktu dengan “berburu” makan untuk berbuka. Aku memetik puluhan buah jambu dari
pohon-pohon jambu yang tumbuh di pinggir kali. Aku juga mengantongi beberapa buah mangga yang
kupetik dari pohon mangga di halaman rumah nenekku.

Menjelang Maghrib, bersama anak-anak kampung lainnya aku berbaris menunggu pembagian nagasari
dari kakekku. Nagasari itu tepung yang di dalamnya ada pisang, manis dengan gula aren, dan dibungkus
dengan daun pisang. Buah-buahan plus makanan-makanan yang home made adalah menu berbuka
kami. Minuman kami cukup dengan air teh saja atau sekali-sekali air aren. Lauk-pauknya biasanya
sayuran, tempe , dan ikan asin. Kami mengubah fasting menjadi feasting, puasa menjadi pesta, kalau
kami melihat daging ayam (kampung) dan ikan (dari sungai atau kolam) pada tikar jamuan kami. 

Puluhan tahun setelah itu, aku membangun keluarga. Tinggal di kota besar sebagai anggota kelas
menengah. Tentu saja aku memandang rendah menu makanku dulu. Aku tidak ingin anak-anakku makan
yang sama seperti yang dahulu aku makan. Mereka harus makan makanan orang kota. Bersamaan
dengan kenaikan status sosial ekonomiku, menu buka puasa kami makin lama makin “internasional”.

Minuman kami terdiri dari soft drinks, aneka jus, dan susu. Di kulkas tersimpan jenis-jenis minuman dan
makanan dalam kaleng atau kantong plastik. Di atas meja dihidangkan berbagai jenis makanan -
termasuk daging-dagingan- yang sebagian besar diproduksi di pabrik-pabrik industri makanan. Semua
makanan itu –baik bahannya atau sudah jadi- dibeli di pasar swalayan atau mal-mal yang terdekat. Jenis-
jenisnya beragam, tapi rasanya sama: lezat-lezat! Ada yang lupa aku sebut. Sebagai pengganti daun
pisang, pembungkus makanan kami sekarang plastik atau alumunium foil.

Pola makan yang moderen ini makin kuat setelah semua keluargaku sering berada di luar negeri. Sekali-
sekali kami berbuka bersama di restoran-restoran internasional, sejak McDonald, Kentucky Fried
Chicken, sampai Hokka-hokka Bento, Pizza Huts, atau … Mercantile. Kami cuma berpuasa siang hari.
Malam hari kami menjadi pelahap makanan yang rakus. Kebiasaan ini terus berlangsung sampai aku
menemukan bahwa makanan moderen ternyata membunuh kami sekarang dengan malnutrisi dan
keracunan . Makanan yang “kampungan” itu ternyata makanan Adam dan Hawa di surga Aden .
Makanan yang menghidupkan kami dahulu dalam kebugaran dan kesehatan.

Tom McGregor, dalam The Perfect Diet, menulis: “Kita telah jauh meninggalkan keindahan surga Aden.
Telah lama kita lupakan diet sempurna yang bergantung matang dari setiap cabang pohon. Buah-buahan
segar yang dirancang dengan susunan molekul yang tepat untuk memelihara tubuh sudah digantikan
dengan makanan yang dikemas secara kreatif, diawetkan secara kimiawi, diberi rasa buatan,
ditingkatkan teksturnya, diberi warna, diberi lemak (fattened), dimaniskan, difortifikasi secara sintetik,
dan dapat dihangatkan di mikrowiv. Dengan begitu, dalam beberapa menit, makanan sudah pindah dari
kulkas ke meja makan.

"Makanan itu begitu enak sehingga kita lupa pada unsur-unsur bahannya (ingredients). Begitu lezat
sehingga kita bersedia memasukkan ke dalam perut kita ribuan zat-zat kimia dengan nama-nama aneh
seperti preservatives, chemical flavors, buffers, noxious sprays, alkalizers, acidifiers, deodorants,
moisteners, drying agents, expanders, modifiers, emulsifiers, stabilizers, thickeners, clarifiers,
disinfectants, defoliants, fungicides, neutralizers, anticaking and antifoaming agents, hydrolyzers,
hydrogenators, herbicides, pesticides, synthetic hormones, antibiotics, dan steroid. 

"Sekiranya kita membawa Adam ke pusat kota moderen, ia pasti akan syok. Reaksi pertamanya mungki
batuk-batuk dan mata yang berair karena buangan karbon monoksida. Bunyi lalu lintas akan
mengganggu pendengarannya. Orang-orang berwajah pucat dan muram lalu lalang di hadapannya.
Iklan-iklan neon yang menawarkan makanan yang dibakar api dan penuh minyak pasti tidak akan
dipahaminya. Apotik akan membuatnya bingung. Begitu banyak pil untuk begitu banyak penyakit,
padahal Adam hanya tahu kesehatan. Ketika ia berdiri di depan rumah sakit yang dipenuhi orang-orang
yang sakit karena tubuh-tubuh mereka yang makin rusak, ia akan merindukan kembali ke Aden.” 

Menurut McGregor, yang membedakan makanan moderen dengan makanan Adam adalah banyak
bahan kimia yang ditambahkan pada makanan. Bahan-bahan penambah itu disebut additif. Ada ribuan
bahan kimia di dalamnya. Ambil satu jenis makanan di pasar swalayan. Baca tulisan di bungkusnya. Anda
membaca unsur-unsur kimia yang lebih pantas untuk meluncurkan roket daripada membentuk
makanan. Additif dimasukkan ke dalam makanan supaya makanan terasa lebih enak, lebih tahan lama,
dengan ongkos produksi semurah mungkin. 

Untuk menyedapkan makanan, produsen memasukkan MSG, monosodium glutamat. MSG adalah asam
amino yang dipergunakan untuk otak. Dr. John W. Olany dari the University School of Medicine, St. Louis
, mengetes MSG dengan menginjeksikannya pada anak tikus. Sel-sel syaraf tikus, terutama pada
hipothalamus, membengkak secara dramatis. Dalam beberapa jam, sel-sel itu mati. Karena laporan
penelitian ini, Gerber, Beech-Nut, dan Heinz menghilangkan MSG dari produk makanan bayi mereka.
Produsen-produsen lainnya memasang iklan agar ibu-ibu memasukkan racun itu ke mulut bayi-bayinya. 

Untuk mengawetkan sayuran dan daging ditambahkan sodium nitrat. Itulah bahan yang membuat sosis
dan bologna awet dan kelihatan merah. Tanpa pengawet itu, daging akan membusuk dan kelihatan
jelek. Dalam perut kita, sodium nitrat itu diubah menjadi asam nitrat, yang keras diduga sebagai
penyebab kanker perut. Jerman dan Norwegia sudah melarangnya. Negara-negara lain masih
menggunakannya. 

Agar “ayam sayur” tumbuh subur dan berkulit kuning, arsenikum dimasukkan ke dalam pakannya.
Arsenikum masuk ke dalam makanan dan minuman kita melalui perkakas masak, kaleng minuman, dan
alumunium foil. Sekarang diketahui bahwa pada otak penderita Alzheimer bertumpuk arsenikum.
Menurut kamus, arsenikum adalah zat kimia beracun dengan nomor atom 33. 

Supaya minuman Anda segar, ke dalam botol jus buah, produsen memasukkan minyak brominat.
Dengan minyak itu minuman tahan sampai 6 bulan. Penelitian menunjukkan bahwa minyak ini
menimbulkan perubahan pada jaringan hati, pembesaran thiroid, kerusakan ginjal, menurunnya
metabolisme liver, dan merusak testikel. Kanada, Belanda, dan Jerman sudah melarang semua produk
dengan kandungan brominat di negeri-negeri mereka. Tetapi mereka mengizinkan produsen untuk
mengimpornya terutama ke negara-negara dunia ketiga. 
Diperlukan berlembar-lembar tulisan lagi untuk menjelaskan hampir tiga ribu bahan kimia yang ada
pada makanan orang moderen. Pendeknya, makanan kita sekarang merusak kita dan menggemukan
kaum kapitalis. Ya Allah, kurindukan kembali makanan berbuka puasa di kampung dulu, makanan Nabi
Adam di surga Aden. ***

KH Jalaluddin Rakhmat

(Tulisan ini telah diposting 28 May 2017) 

Anda mungkin juga menyukai