Anda di halaman 1dari 20

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Logam Berat Kromium (Cr)
Kromium adalah sebuah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang
Cr dan nomor atom 24. Kromium trivalen (Cr(III), atau Cr3+) diperlukan dalam jumlah
kecil dalam metabolisme gula pada manusia. Kekurangan kromium trivalen dapat
menyebabkan penyakit yang disebut penyakit kekurangan kromium (chromium
deficiency). Kromium merupakan logam tahan korosi (tahan karat) dan dapat dipoles
menjadi mengkilat. Dengan sifat ini, kromium (krom) banyak digunakan sebagai
pelapis pada ornamen-ornamen bangunan maupun pada komponen kendaraan, seperti
knalpot pada sepeda motor. Perpaduan Kromium dengan besi dan nikel menghasilkan
baja tahan karat.
Logam krom merupakan logam golongan transisi, diketemukan di alam sebagai
bijih terutama kromit (Fe(CrO2)2). Krom merupakan elemen berbahaya di permukaan
bumi dan dijumpai dalam kondisi oksida antara Cr(II) sampai Cr(VI). Krom bervalensi
tiga umumnya merupakan bentuk yang umum dijumpai di alam, dan dalam material
biologis krom selalu berbentuk valensi tiga, karena krom valensi enam merupakan salah
satu material organik pengoksidasi yang tinggi. Kromium valensi tiga memiliki sifat
racun yang lebih rendah dibanding valensi enam, namun perubahan iklim
meskipun kecil krom valensi tiga ada kemungkinan akan membentuk krom valensi
enam yang toksik (Suhendrayatna, 2001).
Senyawa Cr(III) dan Cr(VI) sering dipakai untuk bahan pelapis logam lain agar
lebih tahan korosi dan kelihatan lebih baik. Selain itu senyawa Cr(III) dan Cr(VI) juga
dipakai sebagai bahan pembuatan cat, pewarna tekstil dan lain-lain. Dalam zat warna
tekstil jenis Grey Lanaset G mengandung krom (III) sebesar 2,5 % sebagai senyawa
kompleks organologam (Blanques et al. 2004). Krom (VI) lebih mudah diserap oleh
tubuh dibandingkan dengan Cr(III). Namun, setelah di dalam tubuh Cr(VI) segera
mengalami reduksi menjadi Cr(III) (ATSDR, 2000).
Kehadiran logam krom dalam perairan perlu mendapat perhatian dan
penanganan khusus karena mempunyai tingkat toksisitas yang sangat tinggi.
Krom, baik Cr (III) maupun Cr (IV) dapat masuk ke dalam jaringan tubuh

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10

manusia, tanaman serta hewan dan dapat menyebabkan kanker pada kulit dan alat
pernafasan. Garam kromit dan kromat dapat mengakibatkan iritasi pada jaringan
luar tubuh manusia. Kadar kromium tertinggi yang boleh terdapat dalam suatu
perairan adalah 0,6 ppm sehingga limbah yang dibuang ke dalam perairan harus
mempunyai kadar kromium di bawah 0,6 ppm (Potter et. al., 1994; Sajidan, 2006).
Kromium diperlukan bagi tubuh manusia karena dalam bentuk kromat akan
terikat pada sel darah merah, tetapi akan bersifat racun bila berlebihan (Majid,
2004; Sajidan, 2006).
2. Penjerapan (Adsorbsi)
Penjerapan adalah proses akumulasi di permukaan antara dua fase yang
terjadi secara fisika dan kimia, atau proses terserapnya molekul-molekul pada
permukaan eksternal atau internal suatu padatan. Akumulasi yang terjadi dapat
berlangsung padaproses cair-cair, cair-padat dan padat-padat. Penjerapan biasanya
terjadi pada dinding-dinding pori atau pada tapak tertentu pada partikel (Warren et
al., 1999; Mahentiran, 2002). Proses penjerapan terjadi karena adanya gaya tarik-
menarik dari permukaan penjerap (adsorben) dan energi kinetik molekul terjerap
(adsorbat).

Gambar 2. Tahap-tahap Jerapan (Connor, et al., 2013)


Proses jerapan berlangsung dalam tiga tahap: tahap 1, pergerakan molekul-
molekul terjerap menuju permukaan penjerap; tahap 2, penyebaran molekul-molekul
terjerap ke dalam rongga-rongga penjerap dan tahap 3, penarikan molekul-molekul
terjerap oleh permukaan aktif membentuk ikatan yang berlangsung sangat cepat
(Gambar 2) (Meriatna, 2008 dan Connors et al., 2013). Efektifitas jerapan sangat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi awal larutan, luas
permukaan penjerap, temperatur, ukuran partikel, pH dan waktu kontak.
Mekanisme jerapan dapat dibedakan menjadi jerapan kimia (kemisorpsi) dan
jerapan fisika (fisisorpsi)
a. Jerapan kimia (kemisorpsi)
Jerapan kimia terjadi karena adanya gaya-gaya kimia dan diikuti oleh reaksi kimia.
Pada jerapan kimia hanya satu lapisan gaya yang terjadi. Besarnya energi jerapan
kimia ± 100 kJ/mol. Jerapan jenis ini menyebabkan terbentuknya ikatan kimia
sehingga diikuti dengan reaksi kimia, maka jerapan jenis ini akan menghasilkan
produksi reaksi berupa senyawa yang baru. Ikatan kimia yang terjadi pada kemisorpsi
sangat kuat mengikat molekul gas atau cairan dengan permukaan padatan sehingga
sangat sulit untuk dilepaskan kembali (irreversibel). Dengan demikian dapat
diartikan bahwa pelepasan kembali molekul yang terikat dipenjerap pada
kemisorpsi sangat kecil (Alberty, 1997 dalam Sistha, 2014).
b. Jerapan fisika (fisisorpsi)
Jerapan fisika terjadi karena adanya gaya-gaya fisika. Pada jenis jerapan fisika
ini, terjadi beberapa lapisan gas. Besarnya energi jerapan fisika ± 10 kJ/mol. Molekul-
molekul yang dijerapan secara fisika tidak terikat kuat pada permukaan, dan
biasanya terjadi proses balik cepat (reversibel), sehingga mudah untuk diganti dengan
molekul yang lain. Jerapan fisika didasarkan pada gaya Van Der Waals, dan dapat
terjadi pada permukaan yang polar dan non polar. Jerapan juga mungkin terjadi
dengan mekanisme pertukaran ion. Permukaan padatan dapat mengjerapan ion-ion dari
larutan dengan mekanisme pertukaran ion. Oleh karena itu, ion pada gugus senyawa
permukaan padatan penjerapnya dapat bertukar tempat dengan ionion terjerap.
Mekanisme pertukaran ini merupakan penggabungan dari mekanisme kemisorpsi dan
fisisorpsi, karena jerapan jenis ini akan mengikat ion-ion yang dijerap dengan
ikatan secara kimia, tetapi ikatan ini mudah dilepaskan kembali untuk dapat terjadi
pertukaran ion (Atkins, 1990 dalam Sistha, 2014).
Isoterm jerapan menunjukkan hubungan kesetimbangan antara konsentrasi ion
terjerap dalam fluida dan pada permukaan penjerap, pada suhu tetap.
Kesetimbangan terjadi saat laju pengikatan penjerap terhadap ion terjerap sama
dengan laju pelepasannya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

a. Isoterm Langmuir
Model isoterm Langmuir diterapkan dengan asumsi bahwa seluruh permukaan
penjerap mempunyai afinitas yang relatif sama atau perbedaannya tidak signifikan
terhadap logam. Proses jerapan berlangsung secara kemisorpsi satu lapisan. Pada
setiap situs aktif hanya ada satu molekul yang dapat dijerap, sehingga sekali molekul
terjerap menempati tempat tidak ada lagi penjerapan yang terjadi pada tempat
tersebut. Persamaan jerapan isoterm Langmuir dapat dituliskan sebagai berikut :
1.
=
1 + 2.
Keterangan :
C : konsentrasi ion terjerap pada keadaan setimbang (mg/L)
x : jumlah bahan terjerap (mg/L)
k1, k2 : konstanta empiris
m : masa penjerap (g)

b. Isoterm Freundlich
Isoterm Freundlich terjadi secara fisisorpsi pada lebih dari satu lapisan
tunggal dengan permukaan homogen sehingga ikatan di masing-masing tempat
pelekatan berbeda. Persamaan isoterm Freundlich didasarkan atas terbentuknya
lapisan tunggal molekul-molekul terjerap pada permukaan penjerap. Namun, tapak-
tapak aktif pada permukaan penjerap bersifat heterogen. Isoterm Freundlich
diterapkan pada proses jerapan zat terlarut ke permukaan padatan. Persamaan
Freundlich dapat dituliskan sebagai berikut :
1
= .

Keterangan :
x : jumlah bahan terjerap (mg/l)
m : massa penjerap (g)
C : konsentrasi kesetimbangan terjerap pada keadaan setimbang (mg/l)
k dan n : konstanta empiris

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

13

Apabila dilogaritmakan, persamaan di atas menjadi :


Log(x/m) = log k + (log C)/n
Kurva persamaan garis lurus Langmuir dan Freundlich diperoleh dengan
memplotkan C vs C/(x/m) dan log C vs log (x/m) (Tan, 1982; Atkin, 1999; Okeola and
Odebunmi, 2010).
3. Abu Sekam
Abu hasil pembakaran sekam padi, yang pada hakikatnya hanyalah limbah, ternyata
merupakan sumber silika/karbon yang cukup tinggi. Pirolisis lebih lanjut dari hasil
pembakaran sekam padi menunjukkan bahwa kandungan SiO2 mencapai 80 - 90%.
Yang juga menarik, 15 %-berat abu akan diperoleh dari total berat sekam padi yang
dibakar. Pemanfaatan abu sekam padi, dengan demikian, layak untuk dipikirkan
(Wanadri, A., 1999).
Salah satu upaya pemanfaatan abu sekam padi yang telah banyak dicoba adalah
mereaksikannya dengan larutan NaOH untuk menghasilkan natrium silikat yang luas
penggunaannya dalam industri, seperti sebagai bahan filler dalam pembuatan sabun dan
detergen, bahan perekat (adhesive), dan jeli silika (silica gel) (Kirk and Orthmer, 1969
dalam Wanadri, A., 1999).
Pengabuan sekam padi pada temperature 300 0C, 400 0C dan 500 0C selama 2 jam
akan menghasilkan abu sekam dengan kandungan seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat Fisika dan Kimia Abu Sekam pada Temperatur yang Bervariasi

Temperatur
Sifat
300 0C 400 0C 500 0C
Warna Hitam Abu-Abu Putih
Total Volumen Pori (mL/g) 0,042 0,182 0,155
Luas Permukaan (m2/g) 20,26 50,14 40,93
Diameter Pori (nm) 4,20 14,49 15,16
Kandungan Karbon (%) 38,0 1,88 0,20
Kandungan SiO2 32,02 79,27 81,04
Sumber : Nakbanpote et al., 2000

Sifat abu sekam padi sebagai absorben ditentukan oleh kandungan kimia abu sekam
padi. Nakbanpote et al., melaporkan bahwa abu sekam padi pada pembakaran 300 0C

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

14

memiliki kemampuan mengadsorpsi ion kompleks Au-Thioure. Abu sekam padi dari
hasil pembakaran pada suhu 300 0C mengandung gugus fungsi silanol, gugus hidroksil
(-OH) dan gugus fungsi oksigen dari hidrokarbon. Kandungan gugus fungsi tersebut
yang menyebabkan abu sekam padi memiliki sifat sebagai adsorben. Topallar dan
Bayrak dalam Danarto dan Samun (2008) mengadakan penelitian tentang adsorpsi asam
stearat, palmitik dan miristik dengan menggunakan abu sekam padi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa abu sekam padi merupakan adsorben yang cukup baik bagi ketiga
senyawa tersebut. Tang, et al., dalam Danarto dan Samun (2008) meneliti penggunaan
sekam padi yang dimodifikasi dengan etilen diamin sebagai adsorben logam Cr (VI)
dan Cu (II) dengan menunjukan hasil yang signifikan

4. Lempung
Lempung merupakan mineral sekunder dan termasuk aluminium filosilikat
terhidrasi dengan ukuran butiran partikel lebih kecil dari 2 µm (Wogo, et al., 2013 dan
Grim, 1953). Lempung bersifat plastis bila dihaluskan dan dibasahi, keras dan kaku bila
kering dan vitrous bila di bakar pada suhu tinggi (Bhattacharyya and Gupta, 2008 dan
Sulastri 2007). Karakteristik lempung adalah lengket dan mudah dibentuk saat lembab,
tetapi keras dan kohesif saat kering (Nagendrappa, 2002). Tanah lempung mempunyai
kemampuan menjerap ion dari suatu larutan dan melepaskan ion tersebut bila
kondisinya berubah. Molekul air sangat tertarik pada permukaan mineral lempung, oleh
karena itu ketika sedikit lempung ditambahkan ke dalam air maka akan terbentuk slurry
karena lempung mendistribusikan dirinya sendiri ke dalam air (Kucukselek, 2007).
Tabel 2. Komposisi Kimia dalam Lempung
Senyawa Jumlah
Silika (SiO2) 61,43
Alumina (Al2O3) 18,99
Besi oksida (Fe2O3) 1,22
Kalsium oksida (CaO) 0,84
Magnesium oksida (MgO) 0,91
Sulfur trioksida (SO3) 0,01
Potasium Oksida (K2O) 3,21
Sodium oksida (Na2O) 0,15
0
H2O hilang pada suhu 105 C 0,6
H2O hilang pada pembakaran diata 1050C 12,65
Sumber : Qodari, 2010

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

Mineral lempung tersusun atas dua unit struktur utama, (Schulze,2005) yaitu :
a. Silika tetrahedral, yang terdiri empat ion O2- mengelilingi satu atom silicon
membentuk lempeng silika (silica sheet). Ruang diantara keempat ion O 2-
tetrahedron disebut situs tetrahedral dan kation yang terdapat pada situs tetrahedral
diikat secara koordinasi oleh keempat ion O2-.
b. Aluminum oktahedral, yang terdiri enam ion O2- yang mengelilingi sebuah
atom aluminium membentuk lempeng gipsit (Al(OH)6) atau lempeng brucit
(Mg2(OH)6) (brucite sheet) bila atom Al digantikan oleh Mg. Ruang diantara
keenam ion O2- tetrahedron disebut situs oktahedral dan kation yang terdapat pada
situs octahedral diikat secara koordinasi oleh keenam ion O2-.
Situs tetrahedral dan oktahedral mempunyai perbedaan dalam hal ukuran
ruang pada situsnya. Ruangan yang dapat ditempati oleh kation pada situs tetrahedral
lebih kecil dibanding dengan ruangan pada situs oktahedral. Kation dengan ukuran
yang lebih kecil cenderung terikat pada situs tetrahedral, sedangkan kation yang lebih
besar cenderung terikat pada situs oktahedral. Kation lain dengan ukuran diantara
keduanya dapat terikat pada situs lainnya.
Tabel 3. Jenis Kation yang Cenderung Terikat pada Situs Mineral Lempung
Tipe Situs Kation
Tetrahedral Si4+
Tetrahedral atau Oktahedral Al3+, Fe3+
Oktahedral Mg2+, Ti4+, Fe2+, Mn2+
Situs antarmuka Na+, Ca2+, K+
Sumber : Tan, 1982
Mineral lempung mempunyai peran penting dalam tanah sebagai perangkap alami
polutan-polutan yang mengalir bersama air di permukaan atau di dalam tanah melalui
peristiwa jerapan atau pertukaran ion (Muhdarina, et al., 2010). Efektifitas
penjerapan lempung terhadap polutan (logam berat) dapat ditingkatkan dengan
cara diaktivasi. Pemberian perlakuan pada bahan penjerap dapat berpengaruh terhadap
karakter bahan tersebut (Sulastri dan Kristianingrum, 2007). Sehingga dengan
penambahan aktivator diharapkan sifat adsorptif bahan dapat meningkat. Lihin, et
al., (2012) melakukan perbandingan antara lempung alam yang diaktivasi kimia
(NaOH 1 M) dengan lempung alam tanpa aktivasi kimia terhadap penjerapan logam

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

timbal (Pb) pada suhu 300C. Kapasitas jerapan keduanya tidak berbeda banyak, yaitu
95,23% dan 95,73%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa lempung alam dapat
langsung digunakan sebagai penjerap logam berat tanpa melalui proses aktivasi
terlebih dahulu. Sementara itu, Igbokwe et al., (2011) mengkaji pengaruh berbagai
parameter aktivasi tanah lempung monmorilonit sebagai katalis pada reaksi
esterifikasi. Pengaruh yang dipelajari meliputi metode aktivasi (tanpa katalis,
aktivasi asam, aktivasi basa, aktivasi termal), konsentrasi aktivator (asam asetat 1M,
0,5M, 0,1M), lama aktivasi (0, 2, 4, 6, 8 jam) dan temperatur reaksi konversi esterifikasi
(100, 200, 300). Kondisi optimum aktivasi dicapai dengan aktivator asam pada suhu
2000 C, konsentrasi asam 0,5 M. Pada suhu aktivasi medium, semakin lama waktu
aktivasi memberikan tingkat konversi lebih tinggi dari pada konversi pada suhu
tinggi. Berdasarkan uji ANOVA, konsentrasi asam memberikan pengaruh yang
paling signifikan sedangkan suhu dan lama aktivasi memberikan pengaruh yang
tidak signifikan.

5. Tanah Andisol

Tanah andisol merupakan tanah yang dihasilkan dari aktivitas vukanik gunung
api. Aktivitas gunung api menghasilkan bahan piroklastik yang merupakan sumber
bahan induk tanah vulkanis, yang dalam sistem taksonomi tanah diklasifikasikan
sebagai andisol (Riony, et al., www.academia.edu). Andisol tergolong tanah muda yang
terbentuk dari bahan volkan, seperti abu volkan, tuff dan lahar yang bersifat
andesit hingga basaltik dan biasanya banyak dijumpai di sekitar erupsi muda
gunung api di Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara Timur (Prasetyo, 2005). Tanah
andisol biasanya dijumpai pada ketinggian 0 - 3000 m dpl (Pranoto et al., 2013). Tanah
andisol tersebar di seluruh Indonesia pada daerah-daerah yang terdapat gunung
apinya dengan luas sekitar 5.826.000 ha. Di pulau Jawa, tanah andisol dapat
dijumpai seperti di gunung Lawu, pegunungan Dieng, gunung Merapi, gunung
Merbabu, gunung Papandayan, gunung Arjuna dan gunung Wilis (Munir, 1996,
Pranoto et al., 2013). Andisol mempunyai karakteristik khusus, yaitu warna tanah
lapisan atas gelap sampai hitam karena mengandung bahan organik relatif banyak,
dan sifat andik yang disebabkan oleh kandungan mineral amorf (non-kristalin) dari
alofan, imogolit atau senyawa kompleks humus-Al (Prasetyo, 2005).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

17

Alofan termasuk kelompok alumino silikat alam yang bersifat amorf dengan
patikel utamanya berbentuk bola berongga dengan diameter 3,5 5 nm (Iyoda et
al.,2011a). Tipe permukaannya dibentuk oleh Si-OH, yang disebut permukaan
silanol, dan Al-OH, yang disebut permukaan aluminol. Biasanya senyawa dengan
permukaan silanol dan aluminol tersebut memiliki luas permukaan yang sangat besar
short range-
ordered a skala molekul dan
short range-ordered

mudah dan banyak benih yang dibentuk. Besarnya jumlah benih disebabkan
pembentukan mikrokristal yang memiliki lebar dimensi sekitar 10-1000 Å (Wada,
1989).

Alofan memiliki komposisi kimia Al2Si2O5.nH2O. Rasio Si : Al alofan bervariasi


antara 1 : 1 sampai 2 : 1. Semakin tua alofan maka perbandingan Si : Al lebih dari 2.
Alofan dengan perbandingan Si : Al = 1 : 1 disebut alofan kaya Si, sedangkan alofan
dengan perbandingan 2 : 1 disebut alofan kaya Al. Alofan kaya Al paling sering
ditemukan pada andisol sedangkan alofan kaya Si jarang ditemukan (Parfit, 2009).
Munir (1996) memberikan gambaran tentang ciri-ciri alofan, yaitu:

a. Kandungan bahan piroklastik (bahan vulkanik) tinggi (lebih dari 80%).

b. Kandungan bahan organik lebih dari 1% dengan sedikit Al yang dapat ditukar.

c. Kapasitas tukar kation (KTK) lebih dari 150 meq/100 g pada pH 8,2.

d. Luas permukaan besar dan mempunyai kemampuan menahan air.

e. pH pengukuran 1 gram tanah dengan 50 cc NaF 1N selama 2 menit menunjukkan


besaran lebih dari 9,4.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18

Gambar 3 Struktur Alofan (Iyoda et al, 2011b)


Tanah-tanah yang banyak mengandung alofan dicirikan oleh nilai kerapatan
lindak (berat volume) yang rendah dan plastisitas yang tinggi, meskipun tanah tersebut
bersifat tak lekat sewaktu basah. Kapasitas menangkap air meningkat dengan adanya
alofan.
Peningkatan kapasitas jerapan dapat dilakukan dengan aktivasi kimia dan fisika.
Widjonarko, et al., (2003) melakukan aktivasi kimia pada alofan alam
Tawangmangu dengan aktivator H2SO4 3N dan NaOH 3N, dan pengaruhnya terhadap
luas permukaan dan keasaman alofan dengan melakukan variasi waktu kontak 1 jam, 3
jam dan 5 jam. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa NaOH 3N mampu
meningkatkan luas permukaan spesifik dan keasaman total lebih besar dari H2SO4
3N dengan waktu optimum 5 jam. Heraldy, et al., (2004) melakukan jerapan ion logam
seng (Zn) limbah elektroplating dengan penjerap alofan alam Gunung Lawu,
Tawangmangu. Sulistyarini (2012) juga telah melakukan aktivasi kimia pada alofan
alam dari gunung Arjuna dengan aktivator NaOH dengan variasi konsentrasi 1M,
2M dan 3M serta membandingkan pengaruhnya terhadap luas permukaan alofan
yang diaktivasi dan tanpa aktivasi kimia. Hasil dari penelitian tersebut diperoleh
kondisi optimum alofan yang diaktivasi NaOH 3M selama 5 jam memiliki luas
permukaan 33,445 m2/gram dengan prosentase penyerapan sebesar 86,901%
sedangkan alofan tanpa aktivasi memiliki luas permukaan 18,229 m2/gram dengan
penyerapan optimum sebesar 30,541% terhadap ion logam Cu.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

Pranoto et al., (2013) melakukan identifikasi, karakterisasi dan aktivasi alofan


alam dari berbagai daerah (gunung Papandayan, Arjuna dan Wilis) sebagai
penjerap logam berat krom (Cr), besi (Fe), kadmium (Cd), tembaga (Cu), timbal (Pb)
dan mangan (Mn). Penelitian dilakukan dengan aktivator NaOH (1N dan 3N) selama 1
jam, 3 jam dan 5 jam dan jerapan dilakukan secara batch dengan variasi waktu kontak
30, 60, 90 dan 120 menit. Kondisi aktivasi dan jerapan optimum untuk penjerapan
logam krom (Cr) dan kadmium (Cd) adalah NaOH 3N selama 3 jam dan waktu kontak
120 menit, logam besi (Fe) dengan aktivator NaOH 3N selama 1 jam dan waktu
kontak 30 menit, logam timbale (Pb) dan mangan (Mn) dengan aktivator NaOH 3N
selama 5 jam dan waktu kontak 90 menit, logam tembaga (Cu) dengan aktivator NaOH
3N selama 5 jam dan waktu kontak 60 menit.
Sistha (2014) melakukan uji efektifitas jerapan tanah lempung dan tanah andisol
terhadap logam tembaga (Cu) menggunakan metode batch dengan memvariasi
komposisi tanah lempung dan tanah andisol, suhu kalsinasi dan waktu kontak serta
jenis isoterm jerapannya. Kondisi jerapan terbaik dalam penelitian ini diperoleh dari
komposisi tanah lempung dan tanah andisol 75:25 pada suhu kalsinasi C dan
waktu kontak 90 menit dengan presentase Cu teradsorp 89,35% dan kapasitas jerapan
0,18648 mg/g. Kajian isoterm jerapan menunjukkan bahwa proses jerapan yang
terjadi mengikuti persamaan Freundlich atau terjadi secara fisika.
Berdasarkan berbagai penelitian tersebut, maka dalam penelitian ini akan
dilakukan modifikasi dengan menggunakan tanah andisol Gunung Lawu, Lempung
Bayat dan abu sekam serta campurannya dengan perbandingan tertentu sebagai penjerap
logam berat kromium (Cr). Komposisi campuran dilakukan secara random, sedangkan
variasi suhu aktivasi 100 0C, 150 0C, 200 0C dan waktu kontak 30 menit, 60 menit, 120
menit berdasarkan penelitian Pranoto et al., (2013) dan Sistha (2014).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

Sebaran Andisol di Pulau Jawa


Gambar 4.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21

6. Alternatif Model Penjernihan Air

a. Filter Keramik

Pada beberapa masyarakat tradisional masih menggunakan sumber air minum


dari air sungai, danau, kolam, sumur terbuka dan air hujan yang ditampung
dalam bak penampungan terbuka, yang semuanya sangat rentan terhadap
kontaminan dan organisme penyebab penyakit. Air minum yang
terkontaminasi dapat menyebabkan diare, kolera, disentri, dan berbagai
penyakit lainnya. Kontaminan dapat disebabkan oleh beberapa jenis
organisme patogen, misalnya bakteri (Salmonella, Shigella, Cholera), virus
(Hepatitis A, Hepatitis E, rotavirus) dan protozoa parasit (Cryptosporidium,
Giardia, Toxoplasma) serta Helminths (Hagan et al., 2009).

Berbagai metode dan teknik penjernihan air telah dikembangkan dan


dipasarkan secara luas. Namun, secara umum penjernih air harus memenuhi
beberapa persyaratan. Pertama, penjernih air harus mampu meningkatkan
kesehatan dengan menyaring partikulat dan mikroba berbahaya, seperti
golongan protozoa (Cryptosporidium dan Giardia), bakteri (Vibrio cholerae
dan Salmonella typhi) dan virus (Hepatitis A). Kedua, relatif murah atau dapat
diperoleh semua tingkatan masyarakat. Ketiga, teknologinya haruslah sesuai
dan dapat diaplikasikan disemua wilayah yang kondisi air bakunya memerlukan
peningkatan kualitas. Keempat, tidak menimbulkan kontaminasi lain, seperti
penggunaan bakar bakar yang dapat menyebabkan polusi udara dan
gangguan pernapasan. Salah satu bahan yang memenuhi semua persyaratan
sebagai filter air (water filter) seperti tersebut diatas adalah keramik (Hagan et al.,
2009).

Filter air keramik bekerja berdasarkan porositas bahan-bahannya (lempung)


yang mampu melewatkan molekul air dan menahan partikulat dan mikroba
berbahaya. Li and Lee (2009) meneliti pembuatan membran keramik sebagai
penjernih air. Pori membrane keramik berperan besar dalam pemurnian air
karena sifat-sifatnya, yaitu stabil pada suhu tinggi, kekuatan mekanis tinggi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

22

dan mudah regenerasinya. Filter keramik dibuat dengan mencampurkan lempung


dengan serbuk gergaji, kulit beras (Henry et al.,2013), daun teh, serbuk kopi, atau
bahan-bahan organik mudah terbakar lainnya. Serbuk kopi memberikan hasil
terbaik berdasarkan Flynn (2005). Setelah dibentuk dengan cara di pres, lalu
bahan filter di bakar pada suhu 7000 C 9500 C. Ketika campuran lempung dan
material organik dibakar, maka material organik yang terbakar akan
meninggalkan lubang pori kecil berukuran kira-kira 1 µm , yang mampu
menyaring mikroba-mikroba berbahaya. Penyaring lempung sederhana dapat
menghilangkan 97,86% sampai 99,97% E. Coli, yang merupakan indikator
utama pencemaran air. Selain itu, penyaring lempung juga mampu
menghilangkan partikulat dan protozoa (~3 30 µm) yang mempunyai ukuran
lebih besar dari bakteri (~0,5 3 µm).

Yakub (2012) membuat filter air berbahan keramik dengan ukuran pori
antara 0,05 -1 µm. Ukuran pori ini lebih kecil dari ukuran bakteri dan virus yaitu
~1 3 µm. Virus mempunyai ukuran ~20 100 nm, lebih kecil dari ukuran pori
keramik sehingga penyaringan air tidak boleh hanya mengandalkan pada
mekanisme oklusi tetapi hendaknya ditambah dengan material yang mempunyai
kemampuan anti-virus. Koloid perak merupakan bahan anti virus. Penambahan
koloid perak dalam filter akan meningkatkan keefektifan penghilangan E. Coli
hingga 100% (Bogdanchikova et al., 1992 dalam Henry et al., 2013). Beberapa
penelitian telah memperlihatkan bahwa perak merupakan senyawa anti-virus
(biocide) yang kuat (Lara et al., 2010 dan Galdiero et al., 2011 dalam Henry et
al., 2013). Penelitian lain menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
nyata antara penyaring keramik dengan perak maupun tanpa perak dalam
menghilangkan bakteri dan virus (Brown, 2007 dalam Hagan, 2009). Penelitian
terbaru memberikan harapan, bahwa daun kelor (Moringa) mampu digunakan
sebagai anti mikroba pengganti koloid perak yang sulit diperoleh (Halem, 2006
dan Sapana et al., 2012). Dewi (2011) membuat filter gerabah dari campuran
tanah liat, karbon aktif dan ekstrak daun sirih sebagai desinfektan untuk
menurunkan kandungan E-coli dalam pengolahan air baku skala rumah tangga.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

Agmalini, et al., (2013) menggunakan membran keramik berbahan tanah liat


dan abu terbang batubara untuk meningkatkan kualitas air rawa.

Mekanisme penghilangan mikroba dalam air berdasarkan oklusi ukuran


partikel, sedangkan penghilangan pencemar kimia menggunakan proses
jerapan. Jerapan merupakan pengayaan satu atau lebih komponen pada
lapisan antar muka. Proses penjerapan terjadi pada permukaan penjerap,
sedangkan pada absorpsi (penyerapan), molekul absorbate (terjerap) masuk ke
dalam absorben (penyerap). Efektifitas jerapan dari fase cair ditentukan oleh
beberapa hal, misalnya konsentrasi awal penjerap, tipe dan luas permukaan
penjerap, jumlah penjerap (perbandingan cair-padat), pH larutan, kekuatan ion,
waktu kontak, kelarutan terjerap dalam pelarutnya dan suhu. Berdasarkan uraian
diatas, maka penjernih air berbahan keramik memenuhi berbagai persyaratan,
seperti mudah pembuatannya, dapat diterima semua lapisan masyarakat dan
efisiensi yang tinggi. Pada penelitian ini, filter keramik dibuat menggunakan
bahan campuran tanah andisol, lempung bayat dan abu sekam.

b. Pipa Penjernih

Pranoto (2013) telah membuat penyerap logam berat alami yang terbuat dari
tanah lempung (alofan) yang diberi nama Prans Water Filter (PWF), alat
penjernih air ini bisa dibuat dari pipa atau juga dari bambu lalu diberi ijuk,
lempung padat yang sudah dikeringkan seperti genteng, yang jika kena air tidak
akan hancur dan arang batok. Alat ini pernah diuji coba di daerah Pandeglang
Banten dan Sorong Papua.

Pada penelitian ini, pipa penjernih dibuat dengan menggunakan pipa yang
didalamnya terdapat campuran tanah andisol / lempung bayat / abu sekam dan
dimodifikasi dengan penambahan arang batok. Penggunaan arang batok sebagai
alternatif penghilang bau dari air sumur.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

7. Asas-Asas Lingkungan

Gambar 5. Hubungan Logis antara 14 Asas Lingkungan (Watt, 1973)

Pada penelitian ini terdapat 3 (tiga) asas yang sesuai dengan 14 asas-asas
lingkungan. Asas-asas tersebut adalah asas 1 bahwa energi tak pernah hilang,
hanya berubah atau sering disebut dengan hukum kekekalan energi. Dalam
penelitian ini proses penjerapan yang dilakukan oleh penjerap terhadap bahan
jerapan tidak dapat dilakukan secara sempurna. Terdapat materi yang tidak

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25

mampu terjerap oleh penjerap, sehingga masih terdapat sisa materi yang tidak
terjerap (entropi).
Asas selanjutnya adalah asas 3 meliputi Materi, energi, ruang, waktu dan
keanekaragaman semuanya termasuk kategori sumber alam. Andisol merupakan
materi sumber alam. Pengadaan andisol sebagai bahan penjerap masih dapat
di terima oleh alam hingga batas tertentu. Ketika pengadaan bahan penjerap
dilakukan secara besar-besaran maka dapat mempengaruhi keseimbangan alam.
Tanah andisol mengandung mineral-mineral yang dibutuhkan oleh tumbuhan
untuk tumbuh dan berkembang. Kekurangan mineral-mineral tersebut dapat
mempengaruhi tingkat kesuburan tanah dan pada akhirnya menghambat
pertumbuhan tanaman.
Asas yang berhubungan dengan penelitian ini berikutnya asas 4 adalah untuk
semua kategori sumber daya alam, kalau pengadaannya sudah mencapai optimum,
pengaruh unit kenaikannya sering menurun dengan penambahan sumber alam itu
sampai ke suatu tingkat maksimum. Melampaui batas maksimum ini tak akan ada
pengaruh yang menguntungkan. Asas keempat ini dinamakan asas penjenuhan.
Asas 4 ini sama halnya dengan mekanisme proses jerapan dimana
penambahan waktu kontak mampu meningkatkan kapasitas jerapan hingga
sampai batas maksimum. Ketika sudah terlampaui batas maksimum maka
penambahan waktu kontak tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan.
Bahkan, ada kemungkinan akan menurunkan kapasitas jerapannya karena
terjadinya proses desorpsi.
B. Kerangka Berpikir
Lempung, abu sekam dan alofan merupakan material berpori dengan luas
permukaan spesifik yang besar dan mempunyai kapasitas tukar kation yang
tinggi. Alofan termasuk mineral alumino silikat (Al2O3.2SiO2.2H2O) dengan
komponen utamanya adalah Si, Al dan H2O. Adanya gugus-gugus aktif berupa
Si-OH, Al-OH dan OH menyebabkan alofan bermuatan elektronegatif

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran kation. Berdasarkan


karakteristik alofan tersebut dapat digunakan sebagai penjerap ion logam berat,
misalnya kromium (Cr).
Beberapa variasi dilakukan untuk memperoleh kapasitas jerapan yang
maksimal. Salah satunya dengan kombinasi abu sekam, lempung dan alofan.
Kombinasi antara abu sekam, lempung dan tanah andisol (gr/gr) dilakukan
untuk memperoleh komposisi terbaik dengan kapasitas jerapan maksimal. Abu
sekam dan tanah andisol diaktivasi secara fisika dengan variasi suhu
kalsinasi. Semakin tinggi suhu kalsinasi maka pori akan terbuka dan luas
permukaannnya semakin meningkat dengan daya serap semakin baik. Variasi
waktu kontak dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan waktu kontak
optimum. Waktu kontak akan berpengaruh dan sangat menentukan dalam proses
jerapan. Waktu kontak yang lebih lama memungkinkan proses difusi dan
penempelan molekul terjerap pada permukaan penjerap berlangsung lebih baik.
Mekanisme jerapan ditentukan melalui isoterm jerapan. Penjerap dengan
komposisi dan kondisi terbaik dilakukan jerapan pada serangkaian variasi
konsentrasi ion logam. Konsentrasi ion logam yang terjerap dianalisa dengan
persamaan Langmuir dan Freundlih untuk menentukan jenis isotermnya
jerapannya. Komposisi penjerap dengan kapasitas jerapan tinggi digunakan
sebagai acuan untuk membuat komposisi bahan filter keramik. Proses
penjernihan air dilakukan menggunakan filter keramik berbahan abu sekam,
tanah lempung, dan tanah andisol dengan komposisi tertentu untuk
menghasilkan pengurangan kandungan logam kromium (Cr) yang baik.
Efektivitas filter keramik dibandingkan dengan hasil pengukuran air sebelum
dan sesudah penyaringan dengan filter keramik.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

Tanah Andisol Lempung Abu Sekam

Penjerap Logam Berat


Krom (Cr)

Kapasitas
Penjerapan

Komposisi Suhu
Variasi
Aktivasi Waktu Kontak

Kondisi Optimum

Filter Keramik + Pipa


Penjernih

Efektivitas penyerapan
Kromium (Cr)

Aplikasi
Gambar 6. pada Air Sumur
Kerangka Berpikir

C. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran, maka dapat diajukan
hipotesis sebagai berikut:
1. Komposisi tanah andisol / lempung bayat / abu sekam, suhu aktivasi dan
waktu kontak berpengaruh terhadap kapasitas jerapan ion logam kromium
(Cr) dalam larutan model.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

28

2. Pada kondisi optimum penjerap campuran andisol, lempung bayat dan abu
sekam mampu menjerap ion logam kromium (Cr) dalam larutan model
dengan maksimal.
3. Filter keramik dan pipa penjernih efektif untuk mengurangi kandungan ion
logam kromium (Cr) dalam air.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai