Anda di halaman 1dari 12

ISOTERM ADSORPSI

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Adsorpsi merupakan suatu proses dimana suatu molekul-molekul dari fasa
gas atau cair akan terikat pada permukaan padatan atau cairan. Molekul-molekul
yang terikat pada permukaan disebut dengan adsorben. Adsorpsi dapat terjadi
diantara duaa faasa seperti fasa cair-padat, fasa padat-gas dan antara fasa gas dan
cair. Proses adsorpsi dijelaskan melalui isotherm adsorpsi. Yaitu jumlah adsorbat
pada adsorben sebagai fungsi tekanannya (jika gas) atau konsentrasi (jika cair)
pada suhu konstan. Ada 5 bentuk isotherm adsorpsi yang sampai saat ini digunkan
untuk menjelaskan teori isotherm Langmuir, fruendlich, dan BET (brunauer,
emmet, dan teller). (Botahala. 2019: 10).
Isoterm absorpsi adalah gas bebas dan gas terabsorpsi dalam
kesetimbangaan dinamika dan penutupan terfraksi permukaan tergantung pada
tekanan gas pelapis. Ketergantungan pada tekanan dan terperatur tertentu.
Menurut isotherm Langmuir isotherm absorpsi merupakan isotherm yang paling
sederhana yang didasarkan pada asumsi bahwa setiap tempat absorpsi adalah
ekuivalen dan kemampuan partikel untuk teriikat diteempat itu, tidak tergantung
pada apa yang ditempati atau setidaknya tempat yang berdekatan (Atkins. 1997:
439).
Isoterm adsorpsi Langmuir mengatakan bahwa, setiap situs aktif adalah
ekuivalen dan semua situs aktif akan mempunyai kemungkinan yang sama untuk
berikatan dengan kation logam. Semua situs ssetara dan mempunyai energi
serapan yang tidak dipengaruhi oleh keberadaan molekul lain dan dalam proses
adsorpsi hanya terbatas pada satu lapisan. Isoterm adsorpsi Langmuir dapat
dinyatakan dalam satu bentuk persamaan linier berikut ini:
C 1 C
= =
m bK b
Dimana:
C = Konsentrasi ion logam dalam larutan
m = mol ion logam terserap per 1 g adsorben
K : Konstanta kesetimbangan
B : ion logam maksimum yang diseraap oleh adsorben (kapasitas sorpsi)
Apabila dibuatkan grafik hubungan C/m versus C, maka akan didapatkan
hubungan linear antara C/m versus C. maka grafik yang akan diperoleh yaitu
kapasitas adsorpsi (b) dan konstanta kesetimbangan adsorpsi (K) dapat ditentukan
dari slope, intersep dan energy adsorpsi dan selanjutnya dapat dihitung
berdasarkan hubungan W = -RT In K. (Santosa. dkk. 2014: 16).
Isoterm Langmuir adalah ketergantungan dan ekuivalensi dengan tempat
absorpsi. Penyimpangan dari isotrm ini, sering kali berasal dari kegagalan dari
asumsi tersebut. Misalnya entalpi absorpsi sering menjadi kurang negatif saat Ɵ
bertambah. Hal ini menunjukkan bahwa tempat yang paling menguntungkan dari
segi energinya akan ditempati lebih dulu. Orang dapat mengusahakan berbagai
cara untuk memperhitungkan variasi ini. Isotherm temkin:
Ɵ = c1 In c2p
dimana c1 dan c2 adalah suatu konstanta, yangsesuai dengan pengandaian bahwa
entalpi absorpsi berubah secara linear terhadap tekanan isotherm freundlich:
Ɵ = c1 pƲ£2
Yang sesuai dengan perubahan logaritmik. isotherm yang berbeda-beda lebih
kurang sesuai dengan eksperimen. Pada jarak temperatur terbatas, tetapi isotherm
tetap bersifat empiris (Atkins. 1996: 443).
Menurut (Botahala. 2019: 12), Isoterm adsorpsi adalah suatu persamaan
yang paling umum untuk digunakan karena kesederhanaan daan kemampuannya
untuk menyesuaikan data adsorpsi. Hal ini didasaarkan pad keempat asumsi
sebagai berikut:
a. Semua situs adsorpsi seragamm dan masing-masing situs hanya bisa
menampung suatu molekul.
b. Permukaannya sangat homogen dan molekul yang teradsorpsi tidak
berinteraksi
c. Tidak ada transisi fasa
d. Pada adsorpsi maksimum hanya monolayer yang berbentuk, namun adsorpsi
hanya terjadi pada permukaaan yang terlokalisasi tidak dengaan adsorbeen
lainnya.
Menurut (Trisunaryanti. 2018: 15,17), tipe-tipe isoterm adsorpsi adalah
sebagai berikut:
a. Tipe I, biasa disebut dengan tipe Langmuir. Dimana nilai asimtot dianggap
sebuah monolayer yang berasal dari persamaan Langmuir. Namun isotherm
ini jarang ditemukan pada material nonpori. Hal ini terjadi pada karbon aktif,
silica gel, dan zeolite yang mengandung pori-pori yang sangat halu dan
didalamnya nilai asimtot mengambarkan pengisian penuh dari mikropori pada
tekanan relative yang pada pokoknya kurang dari kesatuannya namun lebih
daripada adsorpsi monolayer. Isotherm tipe ini juga diperkirakan untuk
kemisorpsi reversible.
b. Tipe II, dapat berupa sigmoid atau isotherm yang bentuk S. isotherm ini
biasanya ditemukan pada struktur non pori.
c. Tipe III, dapat berbentuk cembung yang melebihi daerah keseluruhan dan
tidak menunjukkan titik B. pada tipe ini relatif jarang dan jenis sistem dimana
kekuatan adsorpsi relatif lemah seperti saat adsorbat tidak dibasahi oleh suatu
permukaan yaitu misalnya uap air yang grafit.
d. Tipe IV, ditemukan pada material brpori.. adsorpsi akan meningkat secara
mencolok pada harga P/P0 yang lebih tinggi, dimana suatu kondensasi pori
(kapiler) terjadi. Efek sinteresis yang berhubungan dengan kondensasi pori ini
sering kali terjadi tetapi tidak selalu. Isotherm pada tipe ini dapat dijumpai
pada katalis industri dan kurva kondensasi kapiler bisa digunakan untuk
menentukan distribusi ukuran pori.
e. Tipe V, dapat dikatakan sama dengan tipe III. Tetapi kondensasi pori terjadi
pada harga P/P0 yang lebih tinggi namun tipe ini relatif jarang terjadi.
Kesetimbangan adsorpsi biasanya tidak linear. Banyak yang mengikuti
teori Freundlich, sekurang-kurangnya jika konsentrasinya tidak terlalu tinggi.
Persamaan ini ditemukan pada tahun 1800-an merupakan suatu persamaan empiris
yang tidak dapat diturunkan dari model yang khusus tetapi suatu kebetulan sajan
cocok dengan data eksperimen dalam sejumlah kasus. (Day. 2002: 526,527).
Konstanta kesetimbangan untuk ion logam kromium akan berkurang
seiring dengan kenaikan temperatur dan proses adsorpsi juga berkurang seiring
dengan kenaikan temperature. Hal ini disebabkan oleh sifat adsorpsi eksotermis
dari suatu ion logaam kromium kedalm zeolite dan melemahnya dorongan
penyerapan antara bagian aktif adsorben dengan ion logam kromium serta antara
molekul yang berdekatan dari bagian yang diserap. Karena adsorpsi yang
berlangsung secara eksotermis, maka jumlah ion logam kromium akan berkurang
dengan adanya peningkatan temperature, hal ini dapat terjadi Karena
meningkatnya temperatur larutan (Emelda. dkk. 2013: 170).
Isoterm adsorpsi fisik digunakan untuk mengukur luas permukaan totl.
Prinsip metode pengukuran luas permukaan total dari struktur berpori merupakan
adsorpsi spesies molekul dari gas ataaupun cairan kedalam permukaan. Isotherm
adsorpsi fisik dibedakan menjadi empat jenis yaitu Brunaer, Deming, Deming dan
Teller (BDDT). Artinya jumlah uap yang teradssorpsi akan meningkat secra
bertahap jika tekanan parsialnya ditingkatkan. (Trisunaryanti. 2018: 15).
Tingkat penyerapan adsorbat tergantung pada volume pori yang dapat
dilalui. Isoterm adsorbat bentuk I dapat menunjukkan bahwa suatu adsorben
memiliki bentuk pori yang sangat kecil dan interaksi yang berlangsung adalah
interaksi monolayer. Kemudian isoterm adsorsi pada bentuk II dan bentuk IV
dapat menunjukkan bahwa adsorben memiliki bentuk pori atau makropori dengan
interaksi dari monolayer hingga multilayer yang tidak terbatas. Isoterm adsorpsi
bentuk III dapat menunjukkan bahwa adsorben memiliki bentuk pori yang variatif
antara mikropori daan mesopri. Isoterm adsorpsi bentuk IV dan bentuk V
memiliki karakteristik interaksi gas-padat yang lemaah. Isotherm bentuk IV
menjelaskan bahwa proses adsorpsi berlangsung secara multilayer. Sedangkaan
bentuk IV menunjukkan bahwa adsorben memiliki bentuk pori sedang atau
mesopori dan isotherm adsorpsi bentuk V menunjukkan bahwa adsorben memiliki
bentuk pori yang bervariasi yaitu mikropori dan mesopori. (Botahala. 2019: 11).
Selama bertahun-tahun, adsorben-adsorben yang paling lazim adalah zat
padat yang secara kasar dapat dikarakterisasi sebagai polar. Ini dapat mencakup
bahan-bahan organik seperti halnya kalsium dan magnesium karbonat, gel silika
dan amilum dan selulosa. Adsorben-adsorben akan memperlihatkan afinitas yang
tinggi terhadap zat yang terlalu polar, terutama pada polaritas dari zat terlarut
tersebut rendah. Berdasarkan pengalaman dengan sistem seperti ini, muncul
beberapa aturan umum yaitu:
a. Jika semua faktor lainnya sama, maka semakin polar suatu senyawaa maka
semakin kuat senyawa tersebut akan diadsorpsi
b. Jika faktor-faktor lain sama, maka berat molekul yang besar menyebabkan
adsorpsi
c. Semakin polar zat pelarut, maka semakin besar kecenderungan untuk mengisi
tempat—tempat pada permukaan yang diperebutkan dengan zat terlarut dan
oleh sebab itu zat terlarut akan kurang diadsorpsi.
(Day. 2002: 527-
528).
Kitosan adalah biopolymer mudah terdispersi didalam cairan. Proses
dispersi kitosan dalam lemak akan memberikan luas permukaan yang lebih besar
untuk mengadorpsi kolesterol dibandingkan dengan karbon aktif. Kinetika
adsorpsi adalah model orde satu semu dan model orde dua semu. Untuk
mengetahui model kinetika yang sesuai untuk sistem adsorpsi kolesterol daging
oleh kitosan dan karbon aktif, perlu dilukiskan hubungan antara massa yang
terjerap tiap satu satuan massa adsorben terhadap waktu (Nuansa. Dkk. 2013: 21).
Kitosan yang digunakan dilarutkan dalam asam asetat untuk pembentukan
gel kitosan. Pelarutan kitosan dapat mengakibatkan rantai polimer teregang,
sehingga pori-pori kitosan akan terbuka dan dapat meningkatkan fleksibilitasnya.
Pelarutan ketosan akan terjadi karena adanya interaksi antara gugus karboksil dari
asam asetat dengan gugus amin dari kitosan. Asam asetat yang terionisasi
menyumbangkan H+ sehingga akan menyebabkan terjadinya proses protonasi
gugus amina –NH2 menjadi –NH3+ yang akan menyebabkan kepolaran kitosan
meningkat. Kitosan yang telah berbentuk gel akan ditambahkan karbon untuk
membentuk komposit kitosan karbon (Tyas. dkk. 2018: 63).
2. Metode Percobaan
2.1. Alat
2.1.1. Labu Erlenmeyer tutup asa 250 mL 6 buah
2.1.2. Labu Erlenmeyer 250 mL 6 buah
2.1.3. Corong biasa 1 buah
2.1.4. Gelas ukur 10 mL 1 buah
2.1.5. Gelas ukur 25 mL 1 buah
2.1.6. Gelas kimia 50 mL 1 buah
2.1.7. Gelas kimia 250 mL 1 buah
2.1.8. Botol semprot 1 buah
2.1.9. Batang pengaduk 1 buah
2.1.10. Pipet volum 25 mL 1 buah
2.1.11. Pipet volum 10 mL 1 buah
2.1.12. Cawan penguap 1 buah
2.1.13. Ball pipet 2 buah
2.1.14. Lumpang dan alu 1 buah
2.1.15. Buret 50 mL 2 buah
2.1.16. Corong biasa 1 buah
2.1.17. Statif dan klem 2 buah
2.1.18. Neraca analitik 1 buah
2.1.19. Pipet tetes 2 buah
2.1.20. Stopwatch 1 buah
2.1.21. Lap kasar 2 buah
2.1.22. Lap halus 1 buah
2.2. Bahan
2.2.1. Larutan asam asetat (CH3COOH) 0,5000 M; 0,250 M; 0,125 M; 0,0625
M; 0,0313 M dan 0,0156 M.
2.2.2. Larutan standar Natrium Hidroksida (NaOH) 0,1 N
2.2.3. Karbon aktif (C)
2.2.4. Indikator phenopthalein (C14H20O4)
2.2.5. Kertas saring
2.2.6. Aquades (H2O)
2.2.7. Tissu
2.2.8. Label
2.3. Prosedur Kerja
2.2.1 Arang aktif digerus dengan lumpang dan alu hingga halus.
2.2.2 Masing masing 0,5 gram arang aktif ditimbang kemudian dimasukkan
kedalam masing masing 6 erlenmeyer bertutup.
2.2.3 Selanjutnya kedalam erlenmeyer 1, 2, dan 3 ditambahkan masing masing
50 mL asam asetat dengan konsentrasi 0,5000 M; 0,2500 M dan 0,1250 M.
Pada erlenmeyer 4, 5 dan 6 ditambahkan 60 mL asam asetat dengan
konsentrasi 0,6250 M; 0,0313 M; dan 0,0156 M.
2.2.4 Masing masing campuran dalam Erlenmeyer dibiarkan selama 30 menit
dengan sesekali dikocok setiap selang waktu 10 menit selama 1 menit
2.2.5 Setelah 30 menit dikocok, campuran kemudian disaring.
2.2.6 Selanjutnya filtrat yang diperoleh dari masing masing campuran diambil
beberapa mL dengan ketentuan;
- Untuk CH3COOH 0,5000 M dan 0,2500 M diambil 5 mL (dibangi dua,
erlenmeyer 1 sebanyak 2,5 mL dan erlenmeyer 2 sebanyak 2,5 mL).
- Untuk CH3COOH 0,1250 M diambil 12,5 mL (dibangi dua, erlenmeyer 1
sebanyak 6,5 mL dan erlenmeyer 2 sebanyak 6,5 mL).
- Untuk CH3COOH 0,0625 M; 0,0313 M; dan 0,0156 M diambil 25 mL
(dibagi dua, erlenmeyer 1 sebanyak 12,5 mL dan erlenmeyer 2 sebanyak
12,5 mL).
2.2.7 Kemudian masing masing filtrate ditambahkan 3 tetes indicator pp lalu
dititrasi dengan larutan standar NaOH 0,1 N.
2.2.8 Titrasi dilakukan hingga diperoleh warna larutan dari bening menjadi
merah muda.
2.2.9 Dicatat volume NaOH yang digunakan.
3. Hasil Dan Pengamatan
3.1 Hasil Pengamatan
3.2 Analisis Data
3.3 Pembahasan
Percobaan ini bertujuan untuk menetukan isoterm adsorpsi menurut
Freundlich bagi proses adsorpsi asam asetat pada arang. Isoterm adsorpsi
merupakan banyaknya zat yang teradsorpsi persatuan luas atau persatuan berat
adsorben dengan konsentrasi zat terlarut pada temperatur tertentu. Isoterm adalah
suhu tetap atau konstan sedangkan adsorpsi adalah proses penggumpalan
molekul- molekul zat pada permukaan zat lain sebagai akibat dari pada
ketidajenihan gaya- gaya pada permukaan tersebut. Sedangkan isoterm adsorpsi

x
menurut Freundlich dinyatakan = k. C1 /n (Tim Dosen Kimia Fisik, 2019:
m
13).
Jenis adsorpsi ada dua macam yaitu adsorpsi secara fisik dan adsorpsi
secara kimia. Adsorpsi secara fisik melibatkan gaya van der waals antara adsorben
dengan adsorbat pada suhu yang relatif tinggi. Sedangkan adsorpsi kimia yaitu
adsorpsi dimana molekul terikat pada adsorben oleh ikatan kimia yang biasanya
terjadi pada suhu tinggi. Pada percobaan terjadi adsorpsi fisik yang merupakan
proses interaksi antara adsorben dengan adsorbat yang disebabkan oleh gaya Van
der Waals. Adsorpsi fisika terjadi pada percobaan karena gaya tarik menarik
antara asam asetat dengan arang aktif lebih besar dari gaya tarik menarik antara
asam asetat dengan pelarutnya, sehingga zat yang terlarut (asam asetat) lebih akan
diadsorpsi pada permukaan adsorben (CARI SUMBER)
Pada percobaan ini, yang bertindak sebagai adsorben adalah karbon aktif
sedangkan yang bertindak sebagai adsorbat adalah larutan asam asetat. . Karbon
aktif adalaha zat yang digunakan untuk penyerap/pengadsorpsi suatu bahan. Pada
percobaan ini karbon aktif tidak diaktifkan dengan pemanasan. dimana tujuan
pemanasan adalah untuk membuka pori-pori dari karbon aktif dan memutuskan
ikatan antara karbon sehingga terbentuk kutub negative dan kutub positif yang
akan mengikat adsorbat nantinya. Selain pemanasan, karbon aktif juga digerus
hingga halus yang berfungsi untuk menambah luas permukaan karbon aktif agar
proses adsorpsi semakin mudah terjadi.
Asam asetat yang digunakan sebagai adsorbat memiliki enam konsentrasi
yang berbeda- beda yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentasi
adsorbat terhadap daya adsorpsi. Adsorpsi akan terjadi jika keseimbangan antara
konsentrasi adsorbat yang diserap dengan konsentrasi adsorbenyang tersisa dalam
larutan. Karbon aktif yang telah halus dan diketahui massanya dicampurkan
dengan asam asetat lalu diaduk beberapa menit yang bertujuan agar tercapai
kesetimbangan adsorpsi. Jika fase cair yang berisi adsorben dalam keadaan diam
maka difusi adsorbat melalui permukaan adsorben akan menjadi lambat. Oleh
karena itu dilakukan pengocokkan untuk mempercepat terjadinya diadsorpsi.
Setelah pengocokan selesai campuran kemudian disaring yang berfungsi untu
memisahkan fase padat berupa arang aktif dan fase cair yang berupa larutan asam
asetat. Filtrat kemudian diukur dengan volume yang berbeda-beda, dimana asam
asetat dengan konsentrasi tinggi diambil lebih sedikit dibandingkan dengan
larutan asam asetat yang konsentrasinya rendah. Hal ini karena larutan asam asetat
dengan konsentrasi tinggi mengandung jumlah molekul yang banyak sehingga zat
yang teradsorpsi juga banyak, dan sebaliknya. Filtrat kemudian ditambahkan
dengan indikator pp yang berfungsi untuk mengetahui titik akhir titrasi. Filtrat
tersebut kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 M yang bertujuan untuk
mengetahui brapa banyak asam asetat yang tersisa setelah pengadsorpsian
dilakukan yang ditandai dengan perubahan warna dari tidak berwarna menjai
warna merah muda. Adapun reaksi yang terjadi:
CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O
Adapun volume rata- rata larutan NaOH yang digunakan dari konsentrasi
tinggi keknsentrai rendah secara berturut- turut adalah, 2,75 mL, 1,2 mL, 0,45 mL
0,4 mL, 0,25 mL dan 0,1 mL. Hasil yang diperoleh sudah sesuai teori, dimana
menurut teori semakin besar konsentrasi asam asetat maka volume natrium
hidroksida yang digunakan untuk mencapai titik akhir titrasi semakin banyak.
Dari hasil analisis data diperoleh massa CH3COOH yang teradsorpsi yaitu pada
konsentrasi 0,5000 M yang teradsorpsi 1,48344 gram, pada konsentrasi 0,250 M
yang teradsoorpsi 0,7428 gram, pada konsentrasi 0,125 M yang teradsorpsi
sebesar 0,3723 gram, pada konsentrasi 0,0625 M yang teradsorpsi 0,1851 gram,
pada konsentrasi 0,0313 M yang teradsorpsi 0,0924 gram, dan pada konsentrasi
0,0156 yang teradsorpsi 0,0462 gram.

A. PENUTUP

1. Kesimpulan

Isoterm adsorpsi menurut Freundlich bagi proses adsorpsi asam asetat


pada arang yaitu semakin tinggi konsentrasi asam asetat maka semakin
banyak pula yang teradsorpsi pada arang.

2. Saran

Diharapkan kepada praktikan selanjutnya agar pada saat pengocokan


dilakukan denga keras agar proses adsorpsi dapat berlangsung dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Atkins. 1996. Kimia Fisika Edisi Keempat Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Botahala, Loth. 2019. Perbandingan Efektivitas Daya Adsorpsi Sekam Padi Dan
Cangkang Kemiri Terhaddap Logam Besi (Fe) Pada Air Sumur Gali.
Yogyakarta: Deepublish Publisher.

Day Dan Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta: Erlangga.

Emelda, Lisanti. Martiana Putri, Suhardini Dan Ginting, Simparmin. 2013.


Pemanfaatan Zeolit Alam Teraktivasi Untuk Adsorpsi Logam Cr 3+
Utilization Of Activated Natural Zeolites For Cr 3+Adsorption. Jurnal
Rekayasa Kimia Dan Lingkungan. Vol 9 No 4.

Nuansa, Citrasmara Galuh dan Istyanti, Dewi Tri. 2013. Kinetika adsorpsi
kolesterol daging kambing menggunakan adsorben kitosan dan karbon
aktif. Jurnal teknologi kimia dan industri. Vol 2 no 2.

Santosa, Sri Juari, Dkk. 2014. Dekontaminasi Ion Logam Dengan Biosorben
Berbasis Asam Humat, Kitin Dan Kitosan. Yogyakarta: UGM.

Trisunaryanti, Wega. 2018. Material Katalis Dan Karakternya. Yogyakarta:


UGM.

Tyas, Ayu Herning. Zaharah, Titin Anita Dan Shofiyani, Anis. 2018. Penentuan
Kemampuan Penggunaan Ulang Komposit Kitosan-Karbon Pada Proses
Adsorpsi Ce(Iv). Jurnal Kimia Khatulistiwa. Vol 7 No.

Anda mungkin juga menyukai