Anda di halaman 1dari 18

I.

PENDAHULAUN
1.1. Latar Belakang
Baru-baru ini polutan senyawa logam berat dalam air limbah dari aktifitas industri
besar telah menjadi penyebab pencemaran lingkungan dan gejala keracunan yang serius.
Salah satu polutan senyawa logam berat yang menjadi prioritas adalah merkuri dan
turunannya, karena toksisitasnya tershadap sistem saraf, sifatnya yang mudah menguap dan
dapat mengalami bioakumulasi melalui rantai makanan. Merkuri merupakan logam berat
yang bersifat karsinogenik, mutagenik dan teratogenik. Efek toksikologi utama merkuri
termasuk kerusakan saraf, kelumpuhan, kebutaan dan kerusakan kromosom terutama untuk
konsentrasi yang tinggi (Dawlet et al., 2013). Logam berat merkuri (II) memasuki
lingkungan perairan dapat berasal dari limbah proses industri seperti chloralkali, pulp and
paper, pertambangan, listrik, cat, farmasi dan manufaktur baterai. Oleh karena itu, proses
remidiasi lingkungan sangat dibutuhkan untuk mengatasi pencemaran merkuri (II) tersebut
(Mondal et al., 2013).
Di antara beberapa metode kimia dan fisik, proses adsorpsi adalah salah satu metode
yang efektif yang telah berhasil digunakan untuk pemisahan merkuri terutama yang berasal
dari air limbah. Proses adsorpsi memilki keunggulan dibanding metode yang lain, dari
segi ekonomi biaya operasinya rendah, selektivitas yang tinggi untuk logam tertentu,
toksisitas dari proses adsorpsi yang rendah dan waktu operasi yang relatif singkat. Ada
berbagai jenis bahan yang dapat dijadikan adsorben untuk pemisahan ion logam dari
limbah cair, di antara beberapa jenis adsorben tersebut, adsorben yang berasal dari sumber
biologis (biosorbents) sangat dianjurkan, karena sifatnya yang tidak toksik terhadap
lingkungan (Mondal et al., 2013).
Adsorben yang dibutuhkan untuk diaplikasikan pada industri sangat banyak,
sehingga pemilihan adsorben harus dilakukan berdasarkan ketersediaan bahan baku limbah
yang dapat dijadikan adsorben dan penerapan metode adsorpsi harus mempertimbangkan
ruang yang dibutuhkan, efektivitas penyerapan serta biaya sintesisnya. Untuk mengatasi
masalah tersebut, banyak usaha yang dilakukan untuk mempelajari adsorben yang murah
dan efektivitas yang baik seperti yang dilakukan oleh peneliti mesir Hassan et al. (2008)
tentang arang tulang unta yang diperoleh dari tulang unta dan digunakan sebagai adsorben
untuk pemisahan Hg2+ dari fluida limbah cair. Penelitian lainnya dilakukan oleh
Mohammed et al. (2012) tentang analisis dan karakterisasi tulang hewan sebagai adsorben.
Selain itu, akumulasi tulang yang meningkat setiap hari mendorong untuk memanfaatkan
tulang ini sebagai bahan baku adsorben arang tulang, sehingga dapat menjadi solusi untuk

1
pengelolaan limbah padat tulang untuk pemisahan polutan terutama dalam air limbah
industri (Dawlet et al., 2013).
Dalam penelitian ini dilakukan pemanfaatan limbah tulang domba sebagai bahan
baku arang aktif yang diaktivasi menggunakan seng oksida. Selain itu, performa adsorbsi
ion Hg2+ juga dievaluasi. Penelitian ini memberikan manfaat secara ilmiah untuk
perkembangan yang meluas dari limbah padat dan memberikan data teoritis yang berguna
untuk pengolahan air limbah yang mengandung ion Hg2+ (Dawlet et al., 2013).

1.2. Tujuan Penelitian


Tujuan dari penulisan ini adalah mempelajari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Dawlet et al. (2013) tentang pemisahan merkuri dalam larutan menggunakan arang tulang
domba.

1.3. Landasan Teori


1.3.1. Arang tulang
Arang tulang merupakan padatan berbentuk granular yang berwarna hitam yang
diperoleh dari proses pirolisis tulang hewan dengan keadaan oksigen yang terbatas. Arang
tulang hanya mengandung 10% karbon dari berat totalnya dan sebagian besar
kandungannya adalah hidroksiapatit. Selain itu arang tulang juga mengandung kalsium
karbonat (CaCO3) yang cukup signifikan. Karbon merupakan penyumbang setengah luas
permukaan total dari produk arang yang dihasilkan, sedangkan kalsium karbonan
menjadikan arang bersifat basa. Kandungan hidroksapatit memiliki kemampuan yang
bagus untuk menyerap kation anorganik meskipun kurang untuk anion, sedangkan
kandungan karbon dalam arang tulang juga bagus untuk menyerap senyawa organik
(Wilson et al., 2003). Kandungan arang tulang secara umum dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Arang Tulang
Komposisi Kimia Kadar (% Berat)
Hidroksiapatit (Cax(PO4)y(OH)2) 70 – 76%
Karbon (C) 9 – 11%
Kalsium Karbonat (CaCO3) 7 – 9%
Kalsium Sulfat (CaSO4) 0,1 – 0,2%
Besi (II) Oksida (Fe2O3) < 0,3%
Acid insoluble ash 3% max
Sumber: Wilson et al, 2003

2
Arang aktif dari tulang dibuat melalui dua proses, proses pertama yaitu pembuatan
arang yang bersifat amorf porous dan proses kedua adalah proses aktivasi arang dengan
pemisahan hidrokarbon yang melapisi permukaan arang, sehingga porositasnya meningkat.
Suhu karbonisasi sangat berpengaruh pada kualitas arang yang dihasilkan. Beberapa
penelitian telah dilakukan untuk melihat pengaruh suhu karbonisasi peda kualitas arang
yang dihasilkan. Dalam penelitiana tentang pemisahan logam berat timbal dengan
menggunakan arang aktif tulang babi menunjukkan kapasitas penyerapan dari arang tulang
yang dikarbonisasi pada suhu 300, 350 dan 400°C berturut-turut adalah 123, 1796 dan
1828 mg/g. Arang tulang yang dikarbonisasi pada suhu 400°C dapat pemisahan 99% ion
timbal dengan konsentrasi 10 mg/L, sedangkan arang tulang yang dikarbonisasi pada suhu
300°C hanya mampu pemisahan 50% (Lurtwitayaponta & Srisatit, 2010).
Proses aktivasi adalah suatu perlakuan terhadap arang yang bertujuan untuk
memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan hidrokarbon atau mengoksidasi
molekul permukaan, sehingga arang mengalami perubahan sifat baik fisika maupun kimia,
yaitu luas permukaannya bertambah dan berpengaruh terhadap daya adsorpsi. Ada dua
proses aktivasi yaitu:
1. Aktivasi kimia yaitu proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik
dengan pemakaian bahan-bahan kimia.
2. Aktivasi fisika yaitu proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik
dengan panas, uap dan CO2
Dalam penelitian ini, bahan baku arang aktif yang digunakan adalah tulang domba.
Tulang domba yang telah halus dikontakkan dengan larutan aktivator ZnCl 2, kemudian
dikarbonisasi pada suhu 400°C dan dilanjutkan dengan proses aktifasi pada suhu 800°C
dengan udara inert. Skema reaktor aktivasi dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema reaktor aktivasi arang tulang domba (Dawlet et al., 2013)
3
1.3.2. Adsorpsi
Adsorpsi adalah suatu peristiwa fisik atau kimia pada permukaan yang dipengaruhi
oleh suatu reaksi kimia antara adsorben dan adsorbat. Adsorben adalah padatan atau cairan
yang memiliki kemampuan mengadsorpsi. Sedang adsorbat adalah padatan, cairan atau gas
yang diadsorpsi. Adsorpsi terjadi karena adanya gaya tarik menarik antara molekul
adsorbat dengan situs-situs aktif di permukaan adsorben. Dalam proses adsorpsi terjadi
proses pengikatan oleh permukaan adsorben padatan atau cairan terhadap adsorbat atom,
ion atau molekul gas atau cairan lainnya, yang melibatkan ikatan intramolekuler diantara
keduanya (Rumidatul, 2006).
Ada dua jenis adsorpsi yaitu adsorpsi secara fisik (physisorption) dan adsorpsi
secara kimia (chemisorption). Adsorpsi secara fisik terjadi karena perbedaan gaya tarik
menarik elektrik (gaya Van der Waals), sehingga molekul molekul adsorbat secara fisik
terikat pada molekul adsorben. Adsorpsi ini umumnya adalah lapisan ganda (multi layer).
Dalam hal ini, tiap lapisan molekul terbentuk di atas lapisan-lapisan yang proporsional
dengan konsentrasi kontaminan. Adsorpsi fisik ini bersifat reversible yang berarti atom
atau ion yang terikat dapat dilepaskan kembali dengan bantuan pelarut tertentu yang
sesuai. Sedangkan pada adsorpsi kimia, ikatan yang terjadi adalah ikatan kimia yang kuat
dan bersifat tidak dapat balik (irreversible) karena pada pembentukannya diperlukan energi
aktivasi, sehingga untuk melepaskannya diperlukan energi yang besarnya relatif sama
dengan energi aktivasi tersebut (Rumidatul, 2006). Proses adsorpsi digambarkan sebagai
proses dimana molekul meninggalkan larutan dan menempel pada permukaan zat adsorben
akibat sifat kimia dan fisika. Mekanisme adsorbsi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Perpindahan adsorbat di dalam air menuju permukaan adsorben yang disebut
makrotransport.
2. Perpindahan adsorbat menuju pori-pori di dalam adsorben yang disebut
mikrotransport.
3. Pelekatan zat adsorbat ke dinding pori-pori atau jaringan pembuluh kapiler
mikroskopis yang disebut sorpsi.
Selain itu, adsorben dapat mengadsorpsi ion dari larutan dengan mekanisme
pertukaran ion. Dengan demikian, ion pada permukaan adsorben dapat bertukar tempat
dengan ion dalam larutan. Proses adsorpsi tergantung pada beberapa faktor, diatraranya
adalah sifat adsorben, jumlah adsorben, luas permukaan adsorben, sifat ion atau molekul
yang diadsorpsi, konsentrasi, temperatur, pH dan pengadukan (Atkin, 1990).

4
1.3.3. Isoterm Adsorpsi
Kesetimbangan adsorpsi yang umumnya dikenal sebagai isoterm adsorpsi
merupakan model yang menjelaskan interaksi antara adsorbat dengan molekul adsorben
dan menggambarkan informasi yang komprehensif tentang sifat interaksi tersebut. Model
kesetimbangan adsorpsi yang sering digunakan untuk menentukan kesetimbangan adsorpsi
adalah isotherm Langmuir dan Freundlich.
Isoterm adsorpsi model Langmuir menjelaskan penyerapan non linier, dan telah
berhasil diterapkan untuk jarak yang besar dari sistem yang memperlihatkan batasan atau
kapasitas maksimum peyerapan. Model ini mengasumsikan energi yang seragam dari
adsorpsi ke permukaan dan tidak ada transmigrasi dari adsorbat pada bidang permukaan
(Dawlet et al., 2013). Selain itu model isoterm Langmuir juga menyatakan peristiwa
adsorpsi kimia yang terjadi pada permukaan adsorben yang disimpulkan dari lima
peristiwa, yaitu:
1. Lebih mendominasi mekanisme chemisorption.
2. Susunan molekul adsorbat pada permukaan adsorben membentuk lapisan tunggal.
3. Tidak ada interaksi antara molekul adsorbat.
4. Afinitas molekul adsorbat sama untuk setiap tempat pada permukaan padatan
homogen.
5. Molekul adsorben pada lokasi yang spesifik tidak pindah ke permukaan padatan dan
selalu terjadi irreversible.
Bentuk isoterm langmuir ditujukkan dengan persamaan berikut:

o
Q b Ce
q e= (1)
1+ bC e

Dimana Q° dan b adalah hubungan konstanta langmuir yang berkaitan dengan kapasitas
adsorpsi dan energi adsorpsi. Persamaan (1) diatas dilinierkan dengan infersi sehingga
diperoleh bentuk:
1 1 1 1
= o+ o (2)
qe Q bQ C e

Persamaan (1) digunakan untuk menganalisis kesetimbangan data Batch dengan memplot
1/qe vs 1/Ce, yang menghasilkan plot linear jika data sesuai dengan isoterm Langmuir
(Dawlet et al., 2013).
Model isoterm Freundlich adalah yang paling banyak digunakan untuk penyerapan
nonlinier. Model isoterm Freundlich disusun dengan mengasumsikan bahwa permukaan
5
adsorben adalah heterogen, dan model ini sesuai digunakan untuk larutan encer dan
campuran, tidak adanya pemisahan molekul pada permukaan setelah teradsorpsi.
Persamaan isoterm Freundelich adalah:
1/ n
q e =K f C e (3)

Dengan: qe = kerapatan adsorpsi pada konsentrasi kesetimbangan Ce (mg


adsorbat/gr adsorben)
Ce = konsentrasi adsorbat dalam larutan (mg/liter)
Kf = Konstanta Freundlich yang berhubungan dengan energi adsorpsi
(liter adsorban / mg adsorbat)
n = konstanta empiris yang bergantung pada beberapa faktor
lingkungan dan harganya lebih besar dari 1
Bentuk logaritma dari persamaan (3) ditunjukkan di bawah ini, biasanya digunakan
agar sesuai dengan data kesetimbangan Batch

1
log q e =log K f + log C e (4)
n

Model linier menggambarkan akumulasi zat terlarut adsorbat sebanding secara


langsung untuk konsentrasi larutan yang ditunjukkan oleh hubungan:

q e =K d C e (5)

Dengan Kd = Menunjukkan koefisien partisi.


Ce = Konsentrasi adsorbat dalam larutan
qe = Kapasitas Adsorpsi

Dalam penelitian ini digunakan model isoterm linier, Langmuir dan Freundlich
untuk menganalisis data penyerapan kesetimbangan eksperimen untuk mendapatkan
beberapa informasi penting tentang sifat permukaan adsorben dan afinitas untuk adsorpsi
ion merkuri (II) (Dawlet et al., 2013).

1.3.4. Merkuri (Hg)


Merkuri memiliki simbol kimia Hg yang berasal dari bahasa Yunani
Hydrargyricum, yang berarti cairan perak. Pada dasarnya, merkuri (Hg) adalah unsur
logam yang sangat penting dalam teknologi modern saat ini. Merkuri adalah unsur yang
mempunyai nomor atom (NA = 80) serta mempunyai massa molekul relatif (MR =

6
200,59). Hg mempunyai densitas 13,55 gr/cm3 dan merupakan logam berat yang sangat
beracun jika dibandingkan dengan logam berat lainnya. Hg menempati urutan pertama
dalam tingkat racunnya, yang kemudian diikut oleh logam berat Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr,
Sn dan Zn (Alfian, 2006).
Merkuri merupakan logam berat yang secara alami terdapat di alam, meskipun
dalam kadar yang sangat rendah. Merkuri dalam jumlah tinggi mempunyai potensi sebagai
polutan yang bersifat toksik. Kadar merkuri di lingkungan semakin meningkat akibat
aktivitas manusia, salah satunya adalah limbah industri seperti chloralkali, pulp and paper,
pertambangan, listrik, cat, farmasi dan manufaktur baterai. Selain itu, merkuri dalam
bentuk Hg2+ juga memasuki lingkungan perairan dari limbah produksi bahan bakar nuklir.
Tingginya konsentrasi merkuri dalam lingkungan air menyebabkan masalah kesehatan
yang serius (Hassan et al., 2008).
Secara umum, ada 3 bentuk merkuri dan sangat menentukan tingkat akumulasi dan
kelarutannya, yaitu:
a. Unsur Merkuri (Hg)
Dalam bentuk unsurnya, merkuri memiliki tekanan uap yang tinggi dan sukar
larut dalam air. Kelarutannya dalam air pada suhu kamar adalah ± 60 mg/l dan
kelarutan dalam lemak ± 5 – 50 mg/l.
b. Ion Merkuri (Hg2+ dan Hg+)
Diantara kedua tingkat oksidasinya, ion Hg2+ lebih reaktif dibandingkan ion
Hg+. Ion Hg+2 dapat terikat dengan senyawa anorganik seperti Cl dan
membentuk HgCl2 yang sangat mudah larut dalam air.
c. Merkuri Organik (R-Hg)
Senyawaa merkuri yang terikat dengan senyawa organik seperti metil (CH 3Hg)
memiliki kelarutan yang tinggi dalam lemak sehingga persen pengendapan dan
akumulasinya sangat tinggi, yaitu ±80% (Alfian, 2006).
Merkuri mempunyai potensial oksidasi -0,799 volt. Potensial oksidasi yang rendah
ini menyebabkan raksa tidak dapat bereaksi dengan oksigen pada suhu kamar, dan tahan
terhadap korosi. Pada suhu sekitar titik didihnya (356,9°C), merkuri dapat bereaksi dengan
oksigen membentuk HgO yang berwarna merah. Senyawa HgO ini tidak begitu stabil,
sehingga bila dipanaskan pada suhu yang lebih tinggi (sekitar 500°C), oksigen akan
dilepaskan kembali. Sebagai unsur, merkuri (Hg) berbentuk cairan kental pada suhu
kamar, dan mempunyai rapatan 13,534 g/mL pada 25°C. Merkuri tidak larut dalam asam
klorida atau asam sulfat encer, tetapi mudah bereaksi dengan asam nitrat. Reaksi

7
merkuri dengan asam nitrat pekat panas yang berlebihan akan terbentuk ion Hg 2+.
Kelarutan Hg dalam air hanyalah 0,02 mg/L, 0,6 mg/L dalam metanol dan 2,7 mg/L dalam
pentana pada suhu 40°C (Alfian, 2006).

II. Tata Kerja


2.1. Alat
Alat yang digunakan untuk analisis kadar logam berat merkuri (II) dalam larutan
adalah Atomic Fluorescence Spectrometry, morfologi struktur arang tulang domba dilihat
menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM , LEO-l430VP), luas area dan volume
pori-pori arang tulang domba diukur dengan Brunauer Emmett Teller (BET).

2.2. Bahan yang digunakan


Adsorben yang digunakan adalah arang tulang domba yang diambil dari restoran
Dolan di Urumqi (China). Aktivator yang digunakan adalah larutan ZnCl2.

2.3. Metodologi
2.3.1. Preparasi Adsorben
Adsorben yang digunakan adalah arang tulang domba yang diperoleh dari limbah
restoran Dolan di Urumqi (China). Tulang dibersihkan dari daging dan lemak kemudian
dicuci dengan air ledeng beberapa kali. Kemudian dikeringkan dalam oven pada 120°C
selama 12 jam. Tulang yang kering dihancurkan dan digiling menjadi partikel tulang
dengan ukuran 0,38 – 0,83 mm. Sebanyak 10 g sampel diimpregnasi dengan larutan ZnCl 2
sambil distirer, dan didiamkan selama 12 jam. Endapan tulang dibilas berulang kali dan
dikeringkan secara vakum pada suhu 120oC selama 12 jam. Selanjutnya karbon aktif
diproduksi dengan pirolisis endapan tulang pada suhu 400 oC selama 40 menit dan aktifasi
pada suhu 800oC selam 40 menit dalam udara inert menggunakan reaktor yang
diperlihatkan pada Gambar 1. Karbon yang disiapkan dicuci dengan 1 M larutan HCl, dan
dibilas dengan air destilat hingga pH diatas 6, kemudian dikering-vakum pada suhu 120 oC
selam 12 jam. Residu arang tulang adalah hasil proses pirolisis menurut kondisi dibawah:

800oC aktifasi/40 men


Tulang Domba residu arang tulang + Uap + cairan amoniak
400oC Karbonisasi

8
2.3.2. Karakterisasi
Morfologi dan struktur adsorben tulang domba dilihat dengan mengan
menggunakan Scanning Electron Microscopy, sedangkan luas permukaan dan volume pori
arang tulang ditentukan dengan BET.

2.3.3. Adsorpi ion Hg2+

Larutan standar Hg2+ (1000 mg/L) dibuat dengan melarutkan garam logam berat
HgCl2. Larutan kerja Hg2+ (50 – 600 mg/L) disiapkan dengan pengenceran larutan standar
dengan akuades bebas ion. Adsorpsi Hg2+ oleh arang tulang domba dilakukan dengan
sistem batch dengan konsentrasi larutan kerja Hg 2+ 80 mg/L. Larutan disesuaikan dengan
variasi pH 1 – 9 menggunakan larutan asam nitrat atau natrium hidroksida 0,1 N dan
disimpan dalam botol reagen 250 mL. Sebanak 25 mL larutan ion logam dipipet dan
dimasukkan kedalam botol uji. Sebanyak 0,1 g arang tulang domba ditambahkan kedalam
botol uji tersebut. Larutan diaduk pada kecepatan 150 rpm selama 0,5 – 6 jam pada 25°C
dan tekanan 1 atm dalam inkubator. Arang tulang dipisahkan dari larutan dengan filtrasi,
konsentrasi ion Hg2+ dari filtrat ditentukan dengan menggunakan spektrofotometri
fluoresensi atom. Kapasitas penyerapan (qe) dihitung sesuai dengan persamaan berikut:

(Co −C e )× V
Qe= (6)
m

Dengan m adalah masa adsorben yang digunakan (g), V adalah volume total larutan
merkuri (II) (mL), Co adalah konsentrasi larutan merkuri (II) awal (mg/L) dan C e adalah
konsentrasi larutan merkuri (II) sisa (mg/L).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dawlet et al. (2013) tentang pemisahan merkuri
dari larutan menggunakan arang tulang domba, disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

3.1. Hasil
3.1.1. Pengaruh Temperatur Larutan pada Adsorpsi
Pengaruh temperatur larutan terhadap adsorpsi ion Hg 2+ dengan menggunakan
arang tulang domba disajikan dalam Gambar 2. Penentuan dilakukan dengan larutan kerja
merkuri pada pH 3. Konsentrasi awal Hg 2+ adalah 80 mg/L dan dosis adsorben yang
digunakan adalah 0,1 g, dengan variasi suhu larutan ion Hg2+ 25 – 65 °C.
9
Gambar 2.Pengaruh temperatur larutan terhadap pemisahan Hg2+

3.1.2. Pengaruh Waktu Kontak pada Adsorpsi


Pengaruh waktu kontak terhadap pemisahan ion Hg 2+ disajikan dalam Gambar 3.
Penentuan pengaruh waktu kontak pada adsorpsi dilakukan pada temperatur 25°C dengan
dosis adsorben sebanyak 0,1 g, dengan variasi waktu 0,5 – 6 jam.

Gambar 3. Pengaruh waktu kontak terhadap pemisahan Hg2+

3.1.3. Pengaruh pH pada Adsorpsi


Pengaruh pH pada adsorpsi ion Hg2+ oleh arang tulang domba disajikan dalam
Gambar 4. Penentuan pengaruh pH larutan dipelajari dengan variasi pH yang disesuaikan
sekitar 1 – 9, dengan dosis adsorben yang digunakan adalah 0,1 g dan suhu larutan 25°C.

10
Gambar 4. Pengaruh variasi pH terhadap pemisahan Hg2+

3.1.4. Pengaruh Konsentrasi Ion Hg2+ pada Adsorpsi


Pengaruh konsentrasi larutan ion Hg2+ pada adsorpsi ion Hg2+ oleh arang tulang
domba dilakukan pada pH 3 dan suhu larutan 25°C, dengan variasi konsentrasi 100 – 600
mg/L yang ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Pengaruh konsentrasi awal larutan Hg2+ pada pemisahan ion Hg2+

3.1.5. Isoterm Adsorpsi


Model isoterm Langmuir, Freundlich dan linier menghubungkan serapan logam per
unit berat adsorben qe dengan kesetimbangan konsentrasi adsorbat dalam sebagian besar
fase cairan Ce. Persamaan (2), (4) dan (5) digunakan untuk menganalisis data
kesetimbangan model isoterm Langmuir, Freundlich dan linier. Gambar 6 hingga Gambar
8 menyajikan plot isoterm Langmuir, Freundlich dan linier untuk adsorpsi ion Hg 2+ oleh
arang tulang domba.

11
Gambar 6. Plot isoterm Langmuir dari adsorpsi ion Hg2+ pada arang tulang domba

Gambar 7. Plot isoterm Freundlich dari adsorpsi ion Hg2+ pada arang tulang domba

Gambar 8. Plot isoterm linier dari pemisahan ion Hg2+

12
Perhitungan parameter isoterm menggunakan plot ini memberikan data yang
disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter isoterm dari adsorpsi Hg2+ pada arang tulang domba

Linier Langmuir Freundlich


KD (mg/L) Q0 (mg/g) B (mg/L) R2 Kf 1/n R2
2,61 12,550 0,149 0,8350 2,280 0,4181 0,9682

3.1.6. Mikrograf SEM dari Arang Tulang Domba


Morfologi permukaan dan bentuk permukaan arang tulang domba ditunjukkan pada
Gambar 9. Gambar A merupakan morfologi permukaan sebelum aktivasi dan Gambar B
merupakan morfologi permukaaan setelah aktivasi.

Gambar 9. Morfologi permukaan arang tulang domba yang dilihat dengan SEM.

3.1.7. Luas Permukaan dan Volume Pori Arang Tulang Domba


Luas permukaan dan volume pori arang tulang domba disajikan dalam tebel 3.
Isoterm adsorpsi-desorpsi nitrogen dan kesesuaian DFT (density functional theory) kurva
distribusi ukuran pori arang tulang domba disajikan dalam Gambar 10.

Tabel 3. Parameter tekstur yang disimpulkan dari isoterm adsorpsi N 2 pada 77 K untuk
arang tulang domba

Sampel arang tulang SBET (m2/g) Vt (m3/g) D (nm)


domba 83,98 0,246 15,39

13
Dari data yang terdapat dalam Tabel 3 terlihat luas permukaan arang tulang domba
adalah 83.98 m2/g, volume pori arang tulang domba sebesar 0,246 m 3/g dan ukuran porinya
sebesar 15,39 nm. Data tersebut disimpulkan dari isoterm adsorpsi N 2 pada 77 K dan
distribusi volume pori untuk arang tulang domba yang ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10.A. Isoterm adsorpsi-desorpsi N2 pada 77 K dari tulang domba dan B.


merupakan distribusi volume pori untuk arang tulang domba

3.2. Pembahasan
3.2.1. Pengaruh Temperatur Larutan Hg2+ pada Adsorpsi
Pemisahan merkuri (II) sebagai fungsi temperatur larutan dalam larutan air diteliti
pada pH 3, dengan konsentrasi awal Hg 2+ adalah 80 mg/L dan dosis adsorben yang
digunakan adalah 0,1 g. Temperatur larutan Hg2+ divariasikan dari 25 – 65°C untuk melihat
pengaruh temperatur pada banyaknya ion Hg 2+ yang teradsorpsi yang ditunjukkan pada
Gambar 2. Hasil yang diperoleh menunjukkan penurunan efisiensi adsorpsi. Penurunan
efisiensi adsorpsi ini mengindikasikan proses berlangsung eksotermik. Pada adsorpsi
fisika, proses adsorpsi berhubungan dengan pembebasan energi, sehingga proses adsorpsi
fisika cendrung selalu eksotermik. Hal ini berbeda dengan adsorpsi kimia, karena adanya
interaksi ion dari adsorben dan adsorbat mengakibatkan proses adsorpsi berlangsung
endotermik (Mondal et al., 2013). Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa proses
adsorpsi yang terjadi adalah adsorpsi fisika. Penurunan efisiensi adsorpsi kemungkinan
disebabkan oleh kecenderungan meningkatnya desorpsi merkuri (II) dari antarmuka ke
larutan atau situs aktif pada adsorben yang terganggu. Temperatur optimum larutan yang
terpilih untuk adsorpsi Hg2+ adalah 25°C.

14
3.2.2. Pengaruh Waktu Kontak pada Adsorpsi
Pengaruh waktu kontak pada penghapusan merkuri (II) oleh arang tulang domba
diteliti dengan dosis adsorben 0,1 g pada temperatur larutan 25°C. Seperti yang terlihat
pada Gambar 3, kapasitas penyerapan merkuri meningkat dengan waktu selama 120 menit
pertama dan mencapai keseimbangan kemudian menurun. Laju adsorpsi Hg 2+ pada tahap
awal (120 menit pertama) kemungkinan dikarenakan ketersedian situs pengikat yang masih
banyak pada permukaan adsorben. Serapan dengan cepat terjadi dan biasanya dikendalikan
oleh proses difusi dari bulk ke permukaan. Pada tahap selanjutnya, proses penyerapan
cendrung dikendalikan karena situs pengikat mulai berkurang jumlahnya. Pada tahap
selanjutnya kapasitas penyerapan menurun, hal ini mengindikasikan situs aktif pada
adsorben telah penuh oleh adsorbat, sehingga tidak ada ruang lagi untuk adsorbat dapat
melekat (Mondal et al., 2013).

3.2.3. Pengaruh pH pada Adsorpsi


Pengaruh pH pada adsorpsi ion Hg2+ oleh arang tulang domba diteliti dengan
kisaran pH yang disesuaikan antara 1 – 9. Dosis adsorben yang digunakan adalah 0,1 g dan
suhu larutan 25°C. Dari Gambar 4 tersebut menunjukkan adsorpsi menurun setelah pH
ditingkatkan dari 3. Hal ini dikarenakan pada nilai pH di bawah 2, ion hidrogen cenderung
untuk bersaing dengan ion merkuri untuk teradsopsi pada adsorben dan pada pH di atas 7
ion merkuri kemungkinan mengendap sehingga tidak dapat teradsorpsi. Selain itu, pH juga
mempengaruhi sifat adsorben. Menurut penelitian yang dilakukan Mondal et al. (2013)
tentang pemisahan Hg2+ menggunakan arang bambu menyatakan, pada pH asam
permukaan adsorben menjadi bermuatan positif sehingga tidak mendukung untuk
penyerapan Hg2+, sedangkan pada pH basa permukaan adsorben akan bermuatan negatif
sehingga mendukung terjadinya adsorpsi Hg2+. Hal ini menunjukkan bahwa permukaan
adsorben arang bambu pada penelitian tersebut bersifat asam, sedangkan dalam penelitian
ini permukaan arang tulang domba bersifat basa sehingga pH larutan yang optimum
digunakan adalah 3. Secara umum hasil ini menunjukkan bahwa adsorpsi sangat
tergantung pada pH (Hassan et al., 2008).

3.2.4. Pengaruh Konsentrasi Ion Hg2+ pada Adsorpsi


Pengaruh konsentrasi Hg2+ pada kapasitas penyerapan adsorben arang tulang
domba dilakukan pada pH 3, dengan suhu larutan 25°C dan dosis adsorben 0,1 g. Dari
kurva tersebut terlihat kapasitas penyerapan Hg 2+ meningkat dari konsentrasi 50 mg/L

15
hingga 400 mg/L. Kapasitas penyerapan maksimum terjadi pada konsentrasi 400 mg/L,
sedangkan pada konsentrasi diatasnya terjadi penurunan. Peningkatan kapasitas
penyerapan dengan meningkatnya konsentrasi kemungkinan dikarenakan interaksi antara
adsorbat dan adsorben yang semakin banyak terjadi. Banyaknya interaksi yang terjadi
tersebut mengakibatkan laju adsorpsi juga meningkat dan kemungkinan terpenuhinya
semua situs aktif akan semakin besar. Namun demikian, pada konsentrasi diatas 400 mg/L
penurunan kapasitas penyerapan terjadi karena situs aktif yang ada di permukaan adsorben
telah jenuh oleh adsorbat.

3.2.5. Isoterm Adsorpsi


Dalam penelitian ini, digunakan model isoterm Langmuir, Freundlich dan linier
untuk menjelaskan bagaimana adsorbat berinteraksi dengan adsorben dan menggambarkan
informasi yang komprehensif tentang sifat interaksi tersebut. Ketiga model isoterm
tersebut menghubungkan serapan logam per unit berat adsorben (qe) dengan
kesetimbangan konsentrasi adsorbat dalam sebagian besar fase cairan (C e). Analisis data
kesetimbangan sistem batch menggunakan persamaan (2), (4) dan (6) masing-masing
ditunjukkan dalam Gambar 6 – 8. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan nilai R 2 yang
diperoleh dari plot ketiga model isoterm tersebut yang ditunjukkan pada Tabel 2. Dari
ketiga model isoterm tersebut, model isoterm Freundlich adalah yang paling sesuai untuk
menggambarkan tentang sifat interaksi adsorbat pada adsorben tersebut.

3.2.6. Mikrograf SEM dari Arang Tulang Domba


Morfologi dan permukaan luar arang tulang domba dilihat dengan menggunakan
Scanning Electron Microscopy (SEM) yang ditunjukkan pada Gambar 9. Gambar A
menyajikan mikrograf SEM tulang domba yang tidak diaktivasi. Pada gambar tersebut
terlihat pada permukaan arang tidak menunjukkan porositas. Gambar B menyyajikan
mikrograf SEM arang tulang domba yang telah diaktivasi. Pada gambar terlihat permukaan
adsorben rusak dan pori-pori terbentuk.

3.2.7. Luas Permukaan BET Arang Tulang Domba


Luas permukaan arang arang tulang domba ditentukan dengan menerapkan isoterm
Brunauer Emmett Teller (BET) dan volume pori arang tulang domba diperkirakan dengan
volume nitrogen yang diadsorpsi pada tekanan yang relatif tinggi. Hasil analisis yang
disimpulkan dari adsorpsi N2 pada 77 K tersebut ditunjukkan dalam Tabel 3. Pada Gambar

16
11 A menunjukkan isoterm arang tulang domba mengikuti bentuk tipe IV (menurut
klasifikasi IUPAC). Arang tulang memperlihatkan kapasitas adsorpsi N 2 yang lebih
meningkat pada semua daerah tekanan yang relatif tinggi. Peningkatan tersebut
mengindikasikan terbentuknya pori-pori tambahan dan beberapa pori melebar oleh aktivasi
kimia. Gambar 11 B menunjukkan arang tulang memiliki distribusi ukuran pori hirarkis.

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dawlet et al. (2013) dapat disimpulkan
bahwa arang tulang domba adalah adsorben yang sesuai untuk pemisahan ion Hg 2+ dari
larutan air. Proses adsorpsi sangat bergantung pada temperatur, pH, konsentrasi larutan dan
waktu kontak. Pemisahan merkuri dari 25 mL Hg 2+ dengan konsentrasi 80 mg/L dicapai
dengan dosis 0,1 g arang tulang domba pada temperatur 25°C dan pH 2 dengan waktu
kontak 120 menit. Interaksi antara adsorbat ion Hg 2+ dengan adsorben arang tulang domba
mengikuti model isoterm Freundlich, yang berarti permukaan arang tulang domba
diasumsikan heterogen. Adsorpsi yang terjadi bersifat adsorpsi fisika.

17
DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Z. 2006. Merkuri: Antara Manfaat dan Efek Penggunaannya Bagi Kesehatan
Manusia dan Lingkungan. Avaliable: http://library. usu. ac. id/download/eboo
k/zul% 20alfian. pdf. Diakses pada tanggal, 3.

Atkin, P., W. 1990. Pysical Chemistry Oxford University Press. 4 ed. Erlangga, Jakarta.

Dawlet, A., Talip, D., Mi, H.Y., MaLiKeZhaTi. 2013. Removal of Mercury from Aqueous
Solution Using Sheep Bone Charcoal. Procedia Environmental Sciences, 18(0),
800-808.

Hassan, S.S.M., Awwad, N.S., Aboterika, A.H.A. 2008. Removal of mercury(II) from
wastewater using camel bone charcoal. Journal of Hazardous Materials, 154(1–3),
992-997.

Lurtwitayaponta, S., Srisatit, T. 2010. Comparison of lead removal by various types of


swine bone adsorbents. EnvironmentAsia, 3, 32-38.

Mohammed, A., A. Aboje, A., Auta, M., Jibril, M. 2012. A Comparative Analysis and
Characterization of Animal Bones as Adsorbent. Advances in Applied Science
Research, 3(5), 3089-3096.

Mondal, D.K., Nandi, B.K., Purkait, M.K. 2013. Removal of mercury (II) from aqueous
solution using bamboo leaf powder: Equilibrium, thermodynamic and kinetic
studies. Journal of Environmental Chemical Engineering, 1(4), 891-898.

Rumidatul, A. 2006. Effectivity of activated charcoal as adsorbent for wastewater


treatment. in: Tesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Wilson, J., Pulford, I., Thomas, S. 2003. Sorption of Cu and Zn by bone charcoal.
Environmental geochemistry and health, 25(1), 51-56.

18

Anda mungkin juga menyukai