PrinsipAktivasi
Menurut Wigmandkk (1985), aktivasi dapat dilakukan melalui:
a. Aktivasi kimia, yaitu menambahkan zat-zat yang dapat mengubah produk
tar pada karbon hasil karbonasi.
b. Aktivasi fisis atau gasifikasi, yaitu menggunakan uapa air atau CO2 atau
kombinasi keduanya sebagai zat pengaktivasi (Wuryandarai, 2000)
Prinsip aktivasi yang dilakukan pada adsorben adalah dengan menggunakan
aktivasi kimia dan fisika, pada aktivasi kimia dilakukan dengan melarutkan
adsorben dalam larutan elektrolit garam CH3COONa, yang bertujuan untuk
melarutkan pengotor-pengotor yang berada dipermukaan adsorben, hal ini
nantinya akan memperluas permukaan pori. Sedangkan untuk aktivasi fisika,
adsorben lempuang alam Riau dipanaskan dalam oven dengan suhu yang
bervariasi. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan uap air yang masih
terperangkap di permukaan adsorben sehingga nantinya luas pori untuk proses
adsobsi menjadi lebih banyak. Pada intinya, prinsip dasar proses aktivasi
adalah bertujuan untuk mengefektifkan proses adsorbsi, karena luas permukaan
adsorben dan porinya menjadi lebih banyak.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah terdapat sedikit perbedaan daya
serap antara lempung alam dan lempung alam teraktivasi. Lempung alam tanpa
aktivasi memiliki daya serap yang lebih tinggi dari pada lempung alam yang
diaktivasi dengan CH3COONa (Gambar 1). Untuk lempung yang diaktivasi
daya serapnya sebesar 0,3187 mg/g, dan lempung alam tanpa aktivasi daya
serapnya adalah 0,3202 mg/g. Hal ini kemungkinan terjadipenutupan pori-pori
lempung oleh molekul CH3COO- pada proses aktivasi sehingga proses adsorpsi
Cu2+ terhalangi oleh keberadaan ion CH3COO-.Lempung yang diaktivasi pada
suhu 100oC memiliki daya serap paling tinggi dibandingkan pada 200 dan
300oC yaitu 0,3218 mg/g. Sedangkan pemanasan lempung pada suhu yang
lebih tinggi.
2. Prinsip Interkalasi
Interkalasi adalah suatu penyisipan terbalikkan spesies kimia (molekul, ion
atau atom) ke dalam ruang antar lapis senyawa berstruktur lapis secara
topokimia (Sugraha, 1988). Kebanyakan senyawa berstruktur lapis memiliki
kemampuan
membentuk
senyawa
interkalasi.
Pembentukan
senyawa
interkalasi mudah diperiksa dengan mengamati perubahan basal spacing atau cspacing dari lost material. Reaksi interkalasi telah banyak digunakan dalam
penerapan pembuatan katalis, adsorben, elektroda, penukar ion dan sebagainya.
Dengan demikian, diperlukan studi tentang reaksi interkalsi dan aplikasinya.
Klasifikasi senyawa interkalasi. Menurut proses pembentukannya, senyawa
interkalasi diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Senyawa interkalasi yang terbentuk dari interkalasi dwikutub atau
pembentukan ikatan hydrogen antara spesies tamu (guest species) dengan
species tuan rumah (host material).
b) Senyawa interkalasi yang terbentuk dari pertukaran ion.
c) Senyawa interkalasi yang terbentuk dari interaksi dwikutub antara spesies
tamu dan ion-ion di dalam ruang antar lapis host material.
d) Senyawa interkalais yang terbentuk dari reaksi transfer muatan antara
spesies tamu dan permukaan lapis pada host layer.
e) Senyawa interkalsi yang terbentuk dari ikatan kovalen antara spesies tamu
dan host layer.
Pada buletin ini senyawa terinterkalasi etilendiamin, Na-bentonit etilendiamin
(bentonit-en) dibuat dengan cara mendispersikan 50 gr Na-bentonit ke dalam
larutan etilendiamin berlebih, diaduk dengan pengaduk magnet selama 48 jam.
Na-bentonit-etilendiamin kemudian disaring dengan penyaring Buchner dan
dicuci dengan aseton, agar Na-bentonit etilendiamin cepat mengering. Nabentonit-en kemudian dikeringkan dengan menggunakan desikator. Senyawa
terinterkalsi tersebut siap digunakan untuk mengikat logam berbahaya (Cr)
berdasarkan hasil pengompleksan. Pembentukan
kompleks Na-bentonit-
dengan
asam
sulfat
sehingga
rangkaian
struktur adsorben
mempunyai area yang lebih luas, serta situs aktifnya juga mengalami
peningkatan karena situs yang tersembunyi menjadi terbuka dan kemungkinan
juga akan memunculkan situs aktif baru akibat reaksi pelarutan. Peningkatan
luas permukaan spesifik pori dan situs aktifnya akan dapat meningkatkan
kemampuan adsorpsinya (Widihati, 2008).
Aktivasi secara kimia dilakukan dengan larutan asam (H2SO4) atau basa (NaOH)
dengan tujuan untuk membersihkan permukaan pori, membuang senyawa
pengotor, dan mengatur kembali letak atom yang dapat dipertukarkan. Pereaksi
kimia ditambahkan pada zeolit yang telah disusun dalam suatu tangki dan diaduk
selama jangka waktu tertentu. Zeolit kemudian dicuci dengan air sampai netral
dan selanjutnya dikeringkan.
1. Spektrofotometer Inframerah
Spektrometer Inframerah (IR) sangat penting dalam kimia modern
terutama dalam kimia organik. Spektrofotometer ini merupakan alat rutin untuk
mendeteksi gugus fungsional, mengidentifikasi senyawa, dan menganalisis
campuran.
Spektrometer IR merupakan teknik analisis kimia yang metodenya
berdasarkan pada penyerapan sinar inframerah oleh molekul senyawa.
Spektrokopi ini digunakan untuk penentuan struktur, yakni informasi penting
tentang gugus fungsional suatu molekul. Penentuan struktur ini dilakukan
dengan melihat plot spektrum IR yang terdeteksi oleh alat spektrofotometer IR.
Spektrum ini menyatakan jumlah radiasi IR yang diteruskan melalui cuplikan
sebagai fungsi frekuensi atau bilangan gelombang. Semakin rumit struktur
suatu molekul, semakin banyak bentuk-bentuk vibrasi yang mungkin terjadi.
Akibatnya akan terlihat banyak pita-pita absorpsi yang diperoleh pada
spektrum IR.
Salah satu teknik pengerjaan sampel berupa padatan adalah dengan
teknik KBr pelet. Teknik KBr pelet yaitu padatan sampel digerus dalam mortal
kecil bersama padatan dengan kristal KBr kering dalam jumlah sedikit sekali
(0,5-2 mg cuplikan + 100 mg KBr kering). Campuran tersebut kemudian di
press dengan alat penekan hidrolitik hingga menjadi pelet yang transparan.
KBr harus kering dan akan lebih baik bila penumbukan dilakukan di bawah
lampu IR untuk mencegah terjadinya kondensasi uap dari atmosfer. Tablet
cuplikan tipis tersebut kemudian dinetralkan di tempat sel spektrofotometer IR
dengan lubang mengarah ke dalam radiasi (Sastrohamidjojo, 2001).
Spektrofotometer IR digunakan dalam penelitian ini
untuk
2. Difraksi Sinar-X
Metode ini merupakan metode yang paling luas digunakan dalam
identifikasi bentonit karena dapat mengetahui jarak pergeseran antar lapis
silikat. Analisis difraksi sinar-X
luas permukaan dan ukuran pori dengan mengunakan teori isoterm BET
(Brunaeur-Emmet-Teller).
Teori isoterm BET menganggap bahwa adsorpsi dapat terjadi di atas
lapisan adsorbat monolayer sehingga membentuk lapisan multilayer.
Keseluruhan proses adsorpsi dapat dijelaskan sebagai berikut :
lapisan adsorbat multilayer
adsorben
Gambar 4: Pendekatan isoterm adsorpsi BET
1.
2.
lapisan monolayer
Penempelan molekul pada lapisan monolayer membentuk lapisan
multilayer
Brunauer, Emmett dan Teller (BET) mengusulkan suatu persamaan
adsorpsi isotermis dengan asumsi bahwa permukaan zat padat tidak akan
tertutup secara sempurna selama
W
1
dimana:
W = Massa gas yang teradsorpsi (gram) pada tekanan relatif P/P0
Wm = Massa gas yang membentuk lapisan monolayer pada
permukaan zat padat (gram)
P
= Tekanan gas pada kesetimbangan (mmHg)
Po = Tekanan uap jenuh adsorpsi (mmHg)
P/P0 = Tekanan relatif adsorpsi
c
= konstanta BET
Wm dapat ditentukan dari penggabungan slope (s) dan intersep (i) dari persamaan
BET, sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut :
C1
Wm . C
Slope, s =
1
Wm . C
Intersep, i =
Wm =
1
s+i
( Wm . N . Acs )
M
Dengan St
= luas permukaan total (m2/gram)
N
= bilangan Avogadro (6,023 x 1023 molekul/mol)
M
= massa molekul gas nitrogen yang digunakan
Wm = massa gas nitrogen (gram)
Acs = cross section area untuk gas nitrogen (10,2 )
Persamaan yang menghubungkan ukuran pori dengan jumlah gas
teradsoprsi pada P/Po tertentu ialah :
P 2. . Vm
ln
=
Po r . R .T
Dengan P/Po
Vm
R
r
T
Mineral
2 (o)
Montmorillonit
Quartz (SiO2)
Halloysite (Al2O3)
Na-bentonit
dRelative
spacing Intensity
()
(%)
19,80
39,44
25,26
68,28
33,19
73,43
4,47
2,28
3,52
1,37
2,69
1,28
100,00
29,09
22,79
8,88
12,74
26,97
Na-bentonit aktif
dRelative
2 (o)
spacing Intensity
()
(%)
19,80
35,04
20,93
68,30
33,20
73,70
4,47
2,55
4,23
1,37
2,69
1,28
100,00
47,54
33,67
9,24
23,11
20,45
(2 = 35,04 o). Hal ini juga terjadi pada minerak kuarsa (SiO 2) yang
(2 = 25,26 o) meningkat
(2 = 20,93 o).
Luas Permukaan
(m2/g)
(ml/g)
Na-bentonit
37,624
27,4 . 10-3
14,5810
90,718
150,4 . 10-3
33,1567
Perlakuan
DAFTAR PUSTAKA
Sartrowardoyo, Pratomo Budiman. 2007. Serapan Kadmium pada NaBentonit. Tanggerang: Jurnal Teknologi Pengolahan Limbah, Pusat
Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN.
Stuart, Barbara. Infrared Spectroscopy: Fundamentals and Applications.
Wiley.
Supeno, Minto. 2007. Bentonit Alam Terpilar Sebagai Material Katalis/CoKatalis Pembuatan Gas Hidrogen dan Oksigen dari Air. Disertasi.
Medan: Universitas Sumatra Utara.
Wibowo, Subekti. 2010. Pemanfaatan Bentonit Terpilarisasi sebagai Katalis
Reaksi Esterifikasi Langsung Senyawa Tabir Surya Oktil pMetoksisinamat dari Asam p-Metoksisinamat. Skripsi. Surabaya:
Universitas Negeri Surabaya.
Widihati, Gede. 2009. Adsorpsi Ion Pb2+ oleh Lempung Terinterkalasi
Surfaktan. Jurnal Kimia 3 no 1. Hal 27-32.
Wigati. 1998. Karakteristika Pertukaran Kation Fe(III) pada Bentonit. Skipsi.
Surabaya: Jurusan Kimia UNAIR..
Wijaya, Karna, Ani Setyo P, Sri Sudiono, Emi Nurrahmi. 2002. Studi
Stabilitas Termal dan Asam Lempung Bentonit. Indonesia Journal of
Chemistry, Vol. 2, No. 2, hal. 20-25.
Wijaya, Karna, Iqbal Tahir dan Nanik Haryanti. 2005. Sintesis Fe2O3Montmorilonit dan Aplikasinya sebagai Fotokatalis untuk Degradasi
Zat Pewarna Congo Red. Indo. J. Chem: hal. 41-47.
Yanti. 2009. Pilarisasi Bentonit Clay dan Apikasinya dalam Penghilangan
Warna pada Limbah Industri Tekstil. Skripsi. Surabaya: UBAYA
LAMPIRAN 1
Hasil Analisis Infrared Spektrofotometri
LAMPIRAN 2
Hasil Analisis X-Ray Difraktometer