Anda di halaman 1dari 9

Jurnal Penelitian Kualitatif Ilmu Perilaku Volume 2, Nomor 1, Bulan Juni, Tahun 2021

Hal. 28–36
P-ISSN 2808-7526

Konflik Peran Ganda dan Manajemen Konflik pada Mahasiswi S1 yang Telah
Menikah

Mar’atus Ratna Kurnia


Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang No.5 Malang, Jawa Timur, Indonesia
atus.ratna@gmail.com

Nur Eva
Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang No.5 Malang, Jawa Timur, Indonesia
nur.eva.fppsi@um.ac.id

Pravissi Shanti
Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang No.5 Malang, Jawa Timur, Indonesia
pravissi.shanti.fppsi@um.ac.id

Infromasi Artikel Abstrak


Tanggal masuk 01-04-2021 Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap konflik peran ganda yang dialami
Tanggal diterima 27-04-2021 oleh mahasiswi strata satu (S1) yang telah menikah serta peneyelesaiannya.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan model studi kasus.
Partisipan dalam penelitian ini adalah empat orang perempuan yang sudah
Kata Kunci: menikah dan masih melanjutkan studi S1 di kota Malang. Teknik
istri; pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara. Analisis data yang
konflik peran ganda; digunakan adalah analisis tematik, sedangkan pengecekan keabsahan temuan
mahasiswi yang telah menikah ; menggunakan metode triangulasi sumber. Hasil dari penelitian ini
manajemen konflik. menunjukkan bahwa konflik peran ganda dialami oleh mahasiswi S1 yang
telah menikah dalam bentuk konflik peran berdasarkan waktu, konflik peran
ganda berdasakan tekanan, dan konflik peran ganda berdasarkan perilaku.
Terjadinya konflik peran ganda disebabkan oleh peran tambahan,
kepribadian, dukungan suami dan orang tua, tuntutan dari lingkungan, serta
tuntutan tugas-tugas dalam perkuliahan. Manajemen konflik peran ganda
yang dilakukan oleh partisipan dalam penelitian ini melalui coping religius
dengan cara beribadah, mengubah sikap terhadap peran ganda, penyesuaian
waktu terhadap tugas-tugas peran ganda, serta mengandalkan keringanan
yang diberikan dari tempat perkuliahan.

Keywords: Abstract
wife; The aims of this study is to reveal the multiple role conflict of undergraduate
multiple role conflict; student who has been married and the solutions. This study used a qualitative
married undergraduate student; method with case study model. Participants in this study were four married
conflict management. women who are still continuing their undergraduate study in Malang city.
Data collection technique used was interview. The data analysis used is
thematic analysis, while the validity is tested by using triangulation. The
results of this study indicate that multiple role conflicts experienced by the
married student are in the form of time-based conflict, strain-based conflict,
and behaviour-based conflict. The multiple role conflict is caused by an
additional role, the personality, the support of husband and parents, the
demands of the environment, as well as the demands of the study task. The
conflict management performed by the participants in this study is done
through religious coping by doing worship, changing attitudes towards dual
role, adjusting the time to do the dual role tasks, as well as relying on the
dispensation of the study tasks.
Jurnal Penelitian Kualitatif Ilmu Perilaku, Vol. 2, No. 1, Juni 2021, hlm. 28–36 | 29

PENDAHULUAN
Tugas perkembangan manusia bahwasanya memasuki usia dewasa awal ia harus membangun
hubungan intim dengan orang lain. Hal tersebut biasanya diwujudkan dalam bentuk pernikahan.
Pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dengan batas usia minimal 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi
perempuan (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Apabila ditelaah lebih dalam, pernikahan yang terjadi pada masa remaja mempercepat individu
memasuki dunia dewasa. Seseorang yang berusia 18 tahun telah dianggap dewasa dan diijinkan untuk
menikah secara sah di hadapan hukum. Ditambah lagi, adanya perubahan kehidupan sosial dalam
masyarakat yang berdampak pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menuntut
manusia untuk menempuh pendidikan dalam jangka waktu yang lebih lama. Hal tersebut secara
otomatis membutuhkan usaha penyesuaian ekstra dikarenakan peralihan jenjang yang begitu cepat
dari dunia remaja ke dunia dewasa. Maka dari itu, dapat dimaklumi jika masa dewasa awal menjadi
sedemikian sulit untuk dijalani (Hurlock, 2004).
Menikah pada usia dewasa awal merupakan keputusan yang besar. Terlebih lagi ketika keputusan
tersebut diambil ketika seseorang masih melanjutkan studinya di bangku perkuliahan, secara otomatis
akan membuat seseorang memiliki peran ganda, yaitu sebagai mahasiswa sekaligus sebagai istri atau
suami. Berbagai penyesuaian juga harus dilakukan terkait dengan berbagai aspek, salah satunya
adalah penyesuaian terkait dengan peran baru sebagai istri maupun suami. Umumnya laki-laki akan
mengadakan penyesuaian terkait dengan pekerjaannya terlebih dahulu alih-alih perannya sebagai
suami, sedangkan perempuan lebih melakukan penyesuaian terkait perannya sebagai istri dan juga
ibu rumah tangga (Hurlock, 2004).
Perempuan yang memutuskan untuk menikah saat masih kuliah berarti menjalani peran ganda
sebagai istri sekaligus mahasiswi. Sebagai seorang istri, perempuan diharapkan mampu untuk
menyesuaikan diri dengan kehidupan suaminya, karakter pribadinya, keadaan keluarga besarnya,
mampu untuk membesarkan anak-anak, mengelola keuangan rumah tangga, mampu menjadi
pendukung bagi suaminya, berkomunikasi yang baik dengan dunia suaminya, hingga mengelola
konflik-konflik yang terjadi dalam keluarga, sedangkan sebagai mahasiswi, perempuan dituntut untuk
berperan aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran di lingkungan akademik perguruan tinggi,
menyelesaikan kuliah, mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen, bersosialisasi dengan
lingkungan perguruan tinggi, bahkan melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Tampak sekali bahwa menjadi mahasiswi sekaligus istri adalah menjalankan dua peran yang sama
sekali berbeda. Hal tersebut membutuhkan pengaturan waktu serta kemampuan menyesuaikan diri
yang luwes dari yang menjalani. Hurlock (2004) yang mengatakan bahwa mencoba menguasai dua
atau lebih keterampilan serempak biasanya menyebabkan kedua-duanya kurang maksimal. Menjalani
dua peran sekaligus bagi seseorang lama-kelamaan dapat menimbulkan konflik peran.
Konflik peran merupakan suatu bentuk pertentangan yang timbul karena menjalankan dua peran
sekaligus pada waktu yang bersamaan. Menurut Greenhaus & Beutell (1985), konflik peran
merupakan suatu bentuk konflik antar peran, di mana peran yang satu akan menekan terhadap peran
yang lain. Seseorang akan menghabiskan waktu yang lebih untuk peran yang dirasa penting baginya,
dan akan kekurangan waktu untuk peran lainnya.
30 | Kurnia et al. - Konflik Peran Ganda...

Menjalani peran ganda sebagai mahasiswa sekaligus istri mengakibatkan tuntutan yang lebih dari
biasanya terhadap perempuan, karena terkadang perempuan menghabiskan waktu tiga kali lipat
dalam mengurus rumah tangga dibandingkan dengan pasangannya (Triyarti, 2003). Dampaknya
adalah perempuan terkena stres karena konflik peran ini. Predisposisi tersebut diperkuat oleh
pernyataan Nurhayati (2012) bahwasanya perempuan memiliki karakter yang emosional dan lebih
sensitif dibanding dengan laki-laki. Fakta serupa juga diperoleh dari hasil wawancara awal dengan
salah seorang istri dengan status mahasiswi yang menyebutkan bahwa hal tersulit selama tahun-tahun
pertama pernikahan adalah menyesuaikan diri dalam menjalankan peran sebagai istri sekaligus
mahasiswi.
Konflik Peran Ganda
Menurut Greenhaus & Singh (2003), konflik peran ganda adalah suatu keadaan yang terjadi ketika
waktu, tenaga, dan tuntutan perilaku peran dalam satu domain (pekerjaan atau keluarga) membuatnya
sulit untuk memenuhi tuntutan dari domain lainnya (pekerjaan atau keluarga). Tuntutan pekerjaan
berhubungan dengan tekanan yang berasal dari beban kerja yang berlebihan dan waktu, seperti
pekerjaan yang harus diselesaikan terburu-buru dan deadline. Tuntutan keluarga berhubungan dengan
waktu yang dibutuhkan untuk menangani tugas-tugas rumah tangga dan menjaga anak. Jadi, konflik
peran ganda adalah suatu keadaan di mana terjadi ketidakseimbangan dalam pemenuhan tuntutan dua
peran yang mengakibatkan individu yang menjalaninya mengalami konflik.
Dalam penelitian ini, peran ganda yang dimaksud bukanlah peran ganda dalam bidang pekerjaan
dan rumah tangga, melainkan peran ganda dalam bidang akademis dan rumah tangga. Peran ganda
ini muncul ketika seseorang yang masih belum menyelesaikan masa studinya tetapi sudah
memutuskan untuk menikah, sehingga muncullah kedua peran tersebut secara bersamaan. Oleh
karena penelitian ini mengkhususkan wanita sebagai partisipan penelitian, maka peran ganda yang
akan dibahas adalah mengenai peran ganda sebagai istri sekaligus mahasiswi.
Sumber-Sumber Konflik Peran Ganda
Sumber utama konflik peran ganda yang dihadapi oleh mahasiswi pada umumnya adalah usahanya
dalam membagi waktu atau menyeimbangkan tuntutan pendidikan dan tuntutan keluarganya. Small
& Riley (dalam Liberman, 2012) menyatakan bahwa antara dua peran dapat mencampuri satu sama
lain dikarenakan seseorang memiliki waktu, perhatian, dan energi yang terbatas.
Pendidikan mengganggu keluarga, artinya sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan untuk
melakukan tugas perkuliahan sehingga kurang mempunyai waktu untuk keluarga. Hal ini dapat terjadi
karena beberapa faktor, antara lain tuntutan dari mertua, kewajiban untuk mengasuh anak, kewajiban
untuk mengurus keluarga maupun kewajiban untuk mengerjakan pekerjaan rumah (Liberman, 2012).
Di sisi lain, keluarga mengganggu pendidikan, artinya sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan
untuk melakukan tugas-tugas dalam keluarga sehingga kurang mempunyai waktu untuk mengerjakan
tugas-tugas perkuliahan. Hal ini dapat terjadi karena beberapa fakrtor, antara lain waktu kuliah yang
tidak menentu, keterlibatan dalam kegiatan perkuliahan, jumlah tugas yang banyak, maupun stres
dalam perkuliahan (Ahmad, 2008).
Konflik peran ganda ini terjadi ketika kehidupan rumah tangga seseorang berbenturan dengan
tanggung jawabnya di tempat kuliah, seperti masuk kuliah tepat waktu, menyelesaikan tugas harian,
atau lembur. Demikian juga tuntutan kehidupan rumah yang menghalangi seseorang untuk
meluangkan waktu untuk pekerjaannya atau kegiatan yang berkenaan dengan kariernya.
Jurnal Penelitian Kualitatif Ilmu Perilaku, Vol. 2, No. 1, Juni 2021, hlm. 28–36 | 31

Jenis-Jenis Konflik Peran Ganda


Konflik peran ganda muncul apabila wanita merasakan ketegangan antara peran studi dengan peran
keluarga. Greenhaus & Beutell (1985) mengidentifikasikan tiga jenis konflik peran ganda, yaitu:
1. Konflik Berdasarkan Waktu (Time-Based Conflict): Konflik peran berdasarkan waktu
didefiniskan sebagai konflik yang muncul ketika waktu yang dimiliki oleh seseorang lebih banyak
dicurahkan untuk salah satu peran dan membuatnya kesulitan untuk menjalankan peran yang
lainnya. Waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan (keluarga atau
pendidikan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya (pendidikan atau
keluarga). Bentuk konflik Ini secara positif berkaitan dengan: jumlah jam kuliah, tugas kuliah,
tingkat kehadiran, serta ketidakteraturan jadwal kuliah.
2. Konflik Berdasarkan Tekanan (Strain-Based Conflict): Konflik berdasarkan tekanan terjadi
apabila dari salah satu peran mempengaruhi kinerja peran lainnya, di mana gejala tekanan yang
muncul seperti ketegangan, kecemasan, kelelahan, karakter peran dalam perkuliahan, kehadiran
anak baru, serta ketersediaan dukungan sosial dari anggota keluarga.
3. Konflik Berdasarkan Perilaku (Behavior-Based Conflict): Bentuk terakhir dari konflik pekerjaan-
keluarga adalah behavior-based conflict, di mana pola-pola tertentu dalam peran-perilaku yang
tidak sesuai dengan harapan mengenai perilaku dalam peran lainnya. Misalnya, stereotip
manajerial menekankan agresivitas, kepercayaan diri, kestabilan emosi, dan objektivitas. Hal ini
kontras dengan harapan citra dan perilaku seorang istri dalam keluarga, yang seharusnya menjadi
pemberi perhatian, simpatik, nurturant, dan emosional. Dengan demikian, seseorang dapat
mengharapkan bahwa para perempuan lebih mungkin untuk mengalami bentuk konflik daripada
laki-laki, sebagai perempuan harus berusaha keras untuk memenuhi harapan peran yang berbeda
di tempat kerja maupun dalam keluarga.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Peran Ganda
Bellavia & Frone (2005) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi mendefinisikan konflik peran
ganda menjadi tiga faktor, yaitu:
1. Dalam Diri Individu: Ciri demografis (jenis kelamin, status keluarga, usia anak terkecil) dapat
menjadi faktor resiko maupun kepribadian dapat membentengi dari potensi konflik peran.
Contohnya adalah, wanita lebih berpotensi mengalami konflik peran karena tugas-tugas dalam
rumah lebih dipandang sebagai tanggung jawab terbesar wanita dari pada laki-laki.
2. Peran Keluarga: Pembagian waktu untuk pekerjaan di keluarga (pengasuhan dan tugas rumah
tangga), stresor dari keluarga (dikritik, terbebani oleh anggota keluarga, konflik peran dalam
keluarga, ambiguitas peran dalam keluarga).
3. Peran Pekerjaan: Pembagian waktu, terkena stresor dalam perkuliahan (tuntutan tugas atau
overload, ambiguitas peran dalam perkuliahan, atau ketidakpuasan), dan dukungan sosial dari
rekan kuliah, karakteristik tempat perkuliahan. Jumlah tugas yang terlalu banyak akan membuat
mahasiswi harus kerja lembur, atau banyaknya tugas turun lapangan membuat mahasiswi akan
menghabiskan lebih banyak waktunya untuk tuasg tersebut dan berada di luar rumah.
Greenhaus & Powell (2006) juga menyebutkan bahwa munculnya konflik peran ganda
dipengatuhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Dukungan Sosial: Dukungan sosial dapat melindungi individu dari pengaruh negatif akibat
menjalankan peran ganda.
2. Peran Tambahan: Peran tambahan yang dimiliki oleh seseorang dapat memberikan kelebihan dan
kekurangan. Peran tambahan dapat menambah beban bagi seseorang yang telah memiliki peran
32 | Kurnia et al. - Konflik Peran Ganda...

sebelumnya serta menjadi sumber konflik. Di sisi lain, peran tambahan dapat semakin
memperkaya pengalaman seseorang serta membuat hidupnya menjadi lebih bermakna.
3. Karakteristik Peran: Perbedaan karakteristik peran yang dijalankan oleh seseorang akan
menimbulkan perbedaan jumlah dan jenis tugas dari peran tersebut. Seseorang yang menjalankan
peran dengan jumah tugas lebih banyak dan lebih berat lebih rawan untuk mengalami konflik
peran ganda daripada sebaliknya.
4. Karakterisktik Personal: Karakter pribadi seseorang akan mempengaruhinya dalam merespon
setiap stimulus yang diterimanya dari lingkungan. Dua orang yang sama-sama menjalani peran
ganda belum tentu mengamali konflik peran yang sama dikarenakan perbedaan karakter yang
mempengaruhinya dalam merespon setiap tugas maupun tekanan dari kedua peran tersebut.
5. Boundary-Crossing Perspective: Batas di antara kedua peran juga menjadi salah satu faktor
penentu konflik peran ganda yang dialami oleh seseorang. Batas yang fleksibel di antara kedua
peran akan membuatnya terintegrasi sehingga lebih mudah untuk dijalani, sedangkan
menjalankan dua peran yang sangat berbeda dapat menjadi pemicu seseorang untuk mengalami
konflik peran ganda.
Manajemen Konflik
Menurut para ahli, individu yang mengalami konflik antara peran yang berkepanjangan akan bersaing
mencari metode untuk mengurangi konflik atau mengurangi ketegangan dirasakan antara peran. Allen
et al. (dalam Bruening & Dixon, 2007) mengemukakan bahwa metode tersebut mencakup:
1. Penyesuaian waktu atau usaha yang terlibat dalam peran sehingga mereka yang berada dalam
konflik langsung kurang antara konflik satu dengan konflik lainnya. Sebagai contoh, seseorang
mungkin berhenti bekerja untuk mencurahkan lebih banyak waktu untuk keluarga dan dapat
mengurangi ketegangan.
2. Metode lain yaitu mengubah sikap seseorang terhadap konflik dari pada mengurangi konflik itu
sendiri. Misalnya, memutuskan untuk merasa kurang bersalah dengan kurangnya waktu yang
dihabiskan untuk anak-anak.
3. Mencari dan mengandalkan dukungan organisasi juga merupakan metode untuk mengatasi dan
mengurangi konflik peran. Misalnya, organisasi memberikan tunjangan keluarga seperti cuti
keluarga.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan model studi kasus. Pada penelitian ini, peneliti
akan mengungkap dan memahami dinamika konflik peran ganda yang dialami oleh mahasiswi S1
yang telah menikah. Creswell (dalam Herdiansyah, 2015) menyatakan bahwa studi kasus adalah suatu
model yang menekankan pada eksplorasi dari suatu sistem yang saling terkait satu sama lain pada
beberapa hal dalam satu kasus secara mendetail, disertai dengan penggalian data secara mendalam
yang melibatkan berbagai sumber informasi yang kaya akan konteks. Penelitian ini dilakukan di Kota
Malang, di mana Malang merupakan kota pendidikan yang memiliki banyak populasi mahasiswa dari
berbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Pernikahan di kalangan mahasiswa juga
bukanlah sesuatu yang asing lagi dan telah menjadi sebuah fenomena yang diketahui oleh masyarakat
umum.
Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari empat orang partisipan penelitian, yakni
mahasiswi S1 yang telah menikah. Karakteristik partisipan secara spesifik adalah: (1) perempuan; (2)
mahasiswa aktif S1; dan (3) menikah saat masih kuliah.
Jurnal Penelitian Kualitatif Ilmu Perilaku, Vol. 2, No. 1, Juni 2021, hlm. 28–36 | 33

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Wawancara
yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk memeroleh informasi mengenai dinamika peran
ganda yang dijalani oleh mahasiswi S1 yang telah menikah. Dinamika tersebut meliputi konflik peran
ganda, sumber-sumber konflik peran ganda, faktor-faktor yang mempengaruhi koflik peran ganda,
dan strategi yang digunakan untuk mengatasi konflik peran ganda yang dialami oleh mahasiswi S1
yang telah menikah.
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik manual model interaktif Miles &
Huberman (dalam Herdiansyah 2015) yang meliputi tahap: (1) pengumpulan data; (2) reduksi data;
(3) display data; dan (4) penarikan kesimpulan. Pegecekan keabsahan data dalam penelitian ini
menggunakan teknik triangulasi sumber. Triangulasi sumber yang dimaksud adalah dengan
melakukan wawancara pada orang lain yang menjadi informan bagi partisipan.
HASIL
Sebagai perempuan yang sedang melanjutkan kuliah dan sudah menikah, menjalankan peran ganda
sebagai istri sekaligus mahasiswi tidak secara otomatis mengakibatkannya mengalami konflik peran
ganda. Konflik peran ganda yang dialami oleh mahasiswi S1 yang telah menikah disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu kepribadian, dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan. Mahasiswi S1
yang telah menikah juga mengalami konflik peran ganda yang berbeda-beda berdasarkan jenisnya,
yaitu konflik peran berdasarkan waktu, konflik peran berdasarkan tekanan, dan konflik peran
berdasarkan perilaku.
Konflik Peran Berdasarkan Waktu
Konflik peran ganda berdasarkan waktu dialami oleh mahasisiwi S1 yang telah menikah .Konflik ini
dialami oleh partisipan ketika ia tidak bisa membagi waktu untuk menyelesaikan tugas dari kedua
peran yang dijalaninya. Partisipan merasa kewalahan dengan tugas-tugas dari kedua peran yang harus
diselesaiakannya. Partisipan merasa kewalahan karena jumlah waktu yang dimilikinya tidak
seimbang dengan jumlah tugas yan harus diselesaikannya. Adanya peran tambahan juga semakin
menambah frekuensi konflik peran ganda dikarenakan jumlah tugas yang harus diselesaikan oleh
partisipan semakin banyak, sedangkan waktu dan tenaga yang dimilikinya terbatas.
Konflik Peran Berdasarkan Tekanan
Banyaknya jumlah tugas yang harus diselesaikan dari dua peran sekaligus membuat mahasiswi
sekaligus istri merasa tertekan. Tekanan tersebut dirasakan dalam bentuk beban pikiran yang
mengganggu aktivitas sehari-hari. Banyaknya tekanan yang diperoleh dari lingkungan juga semakin
menambah konflik peran yang dirasakan oleh perempuan yang menjalankan peran ganda sebagai istri
dan mahasiswi.
Konflik Peran Berdasarkan Perilaku
Perbedaan perilaku yang drastis dari kedua peran dapat menimbulkan konflik peran. Adanya tuntutan
untuk menunjukkan perilaku tertentu di salah satu peran dapat membuat partisipan merasa bingung,
tidak sesuai, bahkan merasa terganggu dengan tuntutan perilaku dari peran lainnya yang begitu
berbeda.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Peran Ganda
Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya konflik peran ganda adalah kepribadian, adanya peran
tambahan, dukungan suami, dukungan orang tua, dukungan teman, tuntutan mertua, dan tuntutan dari
masyarakat setempat. Kepribadian menjadi faktor yang berpengaruh terhadap munculnya konflik
peran ganda karena berkaitan dengan cara partisipan merespon setiap tugas yang didapatnya dari
34 | Kurnia et al. - Konflik Peran Ganda...

kedua peran. Tipe kepribadian yang santai dapat mengurangi risiko munculnya konflik peran ganda,
dan sebaliknya. Adanya peran tambahan juga menjadi faktor pemicu munculnya konflik peran ganda
dalam diri seseorang. Hal ini dikarenakan peran tambahan akan memberikan tambahan tugas yang
harus diseselsaikan oleh partisipan.
Dukungan suami dan orang tua juga berpengaruh terhadap konflik peran ganda yang dialami oleh
partisipan. Partisipan yang mendapatkan dukungan sosial dari suami dan orang tuanya akan dapat
mengatasi konflik peran ganda yang dialaminya dengan lebih baik daripada partisipan yang tidak
mendapatkan dukungan sosial dari keluarganya. Begitu pula dengan tuntutan dari mertua dan
masyarakat sekitar. Adanya tuntutan tersebut akan membuat partisipan berusaha lebih keras untuk
memenuhinya sehingga lebih berpotensi mengalami konflik peran ganda.
Manajemen Konflik Peran Ganda
Untuk mengurangi dampak dari konflik peran ganda, strategi yang dapat dilakukan adalah dengan
beribadah, atur siasat, bagi fokus, mengurangi kegiatan di organisasi intra kampus, menganggap tugas
dari kedua peran bukan sebagai beban, dan memanfaatkan kebijakan dalam perkulaihan terkait
dengan ijin tidak mesuk kuliah.
PEMBAHASAN
Konflik Peran Ganda Berdasarkan Waktu pada Mahasiswi S1 yang Telah Menikah
Seseorang dianggap mengalami konflik peran ganda ketika ia merasa ada ketidakseimbangan di
antara kedua peran yang dijalankannya, sehingga dalam pelaksanaannya peran yang satu akan
terganggu oleh peran yang lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Katz & Kahn (dalam Liberman 2012)
yang mendefinisikan peran ganda sebagai ketidakseimbangan yang terjadi ketika kinerja peran yang
satu mengganggu peran yang lain. Ketika seseorang menjalankan dua peran sekaligus, tidak dapat
dipungkiri bahwa ia akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk salah satu peran yag memiliki
tuntutan lebih banyak dibanding peran lainnya.
Secara spesifik, Liberman (2012) menyebutkan bahwa semakin banyak waktu yang digunakan
seseorang untuk mengerjakan tugas dalam pekerjaanya, semakin besar kemungkinan pekerjaannya
menginterupsi keluarganya, begitu pula sebaliknya. Ibaratnya tugas-tugas dari dua peran yang
berbeda saling berkompetisi menuntut untuk diselesaikan dengan waktu dan tenaga yang terbatas
(Kopelman et al. dalam Liberman, 2012). Jumlah tugas yang tidak seimbang antara kedua peran serta
keterbatasan kemampuan fisik dan psikologis yang dimiliki seseorang semakin memungkinkan
seseorang untuk mengalami konflik peran ganda.
Konflik Peran Ganda Berdasarkan Tekanan pada Mahasiswi S1 yang Telah Menikah
Duxbury (dalam Liberman, 2012) mengungkapkan bahwa konflik peran muncul karena banyak tugas
yang harus diselesaikan tetapi kekurangan waktu untuk melakukannya. Keterbatasan energi yang
dimiliki oleh seseorang dalam menjalankan peran ganda ini pada akhirnya membuat seseorang
merasa lelah, jenuh, bahkan stress. Ciri-ciri lain dari seseorang yang mengalami konflik peran ganda
adalah adanya tekanan yang dirasakan dari kedua peran yang tidak seimbang. Tuntutan dari salah
satu peran terlalu banyak hingga mempengaruhi tuntutan peran lainnya. Tuntutan yang tidak
seimbang ini membuat seseorang harus berusaha lebih keras agar antara peran yang satu dengan yang
lainnya dapat tetap berjalan dengan baik.
Konflik Peran Ganda Berdasarkan Perilaku pada Mahasiswi S1 yang Telah Menikah
Jenis lain dari konflik peran yang dirasakan oleh seseorang adalah konflik peran berdasarkan perilaku.
Menurut Greenhaus & Beutell (1985), konflik peran berdasarkan perilaku terjadi ketika tuntutan atau
Jurnal Penelitian Kualitatif Ilmu Perilaku, Vol. 2, No. 1, Juni 2021, hlm. 28–36 | 35

harapan yang dimiliki oleh satu peran berbeda dengan peran lainnya. Seseorang harus memenuhi
harapan tersebut dan memperlihatkan perilaku yang sama sekali berbeda pada kedua peran. Hal
tersebut tentu menimbulkan pertentangan, kebingungan, maupun ketegangan dalam diri seseorang.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Peran Ganda pada Mahasiswi S1 yang Telah
Menikah
Mahasiswi S1 yang telah menikah tidak selalu mengalami konflik peran ganda. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi munculnya konflik peran tersebut, antara lain kepribadian, dukungan keluarga,
serta dukungan dalam organisasi (Bellavia & Frone, 2005). Adanya peran tambahan yang disandang
oleh seseorang juga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi munculnya konflik peran ganda.
Seseorang dengan tipe kepribadian pemikir cenderung mengalami konflik peran lebih banyak
daripada orang dengan tipe kepribadian yang santai. Dukungan sosial juga menjadi salah satu faktor
yang sangat penting terhadap munculnya konflik peran ganda pada seseorang. Seorang istri yang
mendapatkan dukungan dari suami dan orang tuanya akan lebih mampu untuk mengatasi konflik
peran ganda yang dialaminya dengan lebih baik. Sementara itu, orang tua yang banyak menuntut akan
semakin menambah konflik peran ganda yang dialami oleh seseorang. Hal ini dikarenakan, dukungan
sosial dapat membuat seseorang lebih bersemangat dan mampu menyesuaikan diri secara lebih cepat.
Misalnya, ketika seorang istri pulang dari kampus dalam keadaan lelah, sambutan hangat dari suami
maupun orang tua dapat mengurangi rasa lelah seorang istri. Berbeda dengan seorang istri yang ketika
pulang dari kampus dalam keadaan lelah, sesampinya di rumah, suami maupun orang tua masih
menuntutnya untuk mengerjakan hal-hal lain sebagai seorang istri.
Adanya tambahan peran juga menjadi faktor yang mempengaruhi konflik peran ganda yang
dialami oleh seseorang. Peran tambahan tersebut didapatkan setelah menjalani pernikahan. Misalnya,
peran sebagai pengusaha atau anggota organisasi seperti persatuan istri tentara (Persit) maupun
persatuan istri polisi (Bhayangkari). Sieber (dalam Greenhaus & Powell, 2006) menyatakan bahwa
adanya peran tambahan yang dimiliki oleh seseorang dapat memberikan keuntungan dan kerugian.
Peran tambahan dapat menambah beban bagi orang yang menjalankannya. Di sisi lain, tambahan
peran dapat menambah pengalaman seseorang dan membuat hidupnya menjadi lebih bermakna.
Manajemen Konflik Peran Ganda pada Mahasiswi S1 yang Telah Menikah
Konflik peran ganda yang dialami oleh mahasiswi S1 yang sudah menikah tidak selalu membawa
dampak yang negatif. Konflik tersebut dapat membawa dampak positif jika dapat dilalui dengan baik.
Berbagai macam strategi yang dilakukan oleh partisipan dalam penelitian ini merupakan upaya untuk
mengurangi dampak negatif dari konflik peran ganda yang dirasakannya. Bentuk manajemen konflik
tersebut antara lain menggunakan coping religius dengan cara beribadah, mengubah sikap terhadap
konflik peran, penyesuaian waktu dan usaha, hingga mengandalkan dukungan organisasi (Bruening
& Dixon, 2007).
Melalui coping religius, seseorang akan mendapatkan ketenangan batin ketika menghadapi
persoalan. Hal tersebut dapat mengurangi beban pikiran yang dimiliki oleh seseorang akibat dari
konflik peran ganda. Selain itu, seseorang juga akan mengubah sikapnya dalam menghadapi konflik
peran yang dialaminya, dari yang semula terlalu memikirkan tuntutan-tuntutan yang ada menjadi
lebih santai dalam menghadapi tuntutan-tuntutan dari kedua peran tersebut.
36 | Kurnia et al. - Konflik Peran Ganda...

KESIMPULAN
Hasil dari penelitian yang telah dipaparkan di atas dapat diringkas menjadi beberapa poin sebagai
berikut:
1. Konflik peran berdasarkan waktu pada mahasiswi S1 yang telah menikah terjadi karena jumlah
tugas sebagai mahasiwi tidak seimbang dengan jumlah tugas sebagai istri, sehingga tugas dari
salah satu peran mengganggu penyelesaian tugas dari peran lainnya.
2. Konflik peran berdasarkan tekanan pada mahasiswi S1 yang telah menikah terjadi karena tugas-
tugas dari kedua peran menimbulkan beban pikiran yang akhirnya menimbulkan stres.
3. Konflik peran berdasarkan perilaku pada mahasiswi S1 yang telah menikah muncul karena
tuntutan dari lingkungan maupun mertua yang menuntut subjek menjadi menantu ideal.
4. Terjadinya konflik peran ganda dipengaruhi oleh: (a) kepribadian; (b) dukungan suami; (c)
dukungan orang tua; (d) tuntutan suami; (e) tuntutan mertua; (f) jumlah tugas dalam perkuliahan;
dan (g) adanya peran tambahan.
5. Strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak dari konflik peran ganda adalah: (a)
coping religius; (b) mengubah sikap terhadap peran ganda; (c) penyesuaian waktu terhadap tugas-
tugas peran ganda; serta (d) mengandalkan keringanan yang diberikan dari tempat perkuliahan.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmad, A. (2008). Job, Family and Individual Factors as Predictors of Work-Family Conflict. The
Journal of Human Resource and Adult Learning, 4(1), 55–65.
http://www.hraljournal.com/Page/ 8%20Aminah%20Ahmad1.pdf
Dixon, M. A & Bruening, J. E. (2007).Work-Family Conflict in Coaching I: A Top-Down
Perspective. Journal of Sport Management, 21(3), 377–406.
https://doi.org/10.1123/jsm.21.3.377
Bellavia, G. M. & Frone, M. R. (2005). Handbook of Work Stress. Newbury Park, CA: SAGE
Publication.
Greenhaus, J. H. & Beutell, J. N. (1985). Source of Conflict Between Work and Family Roles. The
Academy of Management Review, 10(1), 76–88. https://doi.org/10.2307/258214
Greenhaus, J. H., & Powell, G. N. 2006. When work and family are allies: A theory of work-family
enrichment. Academy of Management Review, 31(1), 72–92. https://doi.org/10.2307/20159186
Greenhaus, J. H., & Singh, R. (2004). Work-Family Relationships. In C. D. Spielberger (Ed).
Encyclopedia of Applied Psychology. San Diego, CA: Elsevier.
Herdiansyah, H. (2015). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu Psikologi. Jakarta: Salemba
Humanika.
Hurlock, E. B. (2004). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.
Jakarta: Erlangga.
Liberman, B., E. (2012). The Mediating Role Of Family-Work Conflict On The Relationship Between
Family And Work Domain Variables And Employment Trade-Offs. New York, NY: Columbia
University.
Nurhayati, E. (2012). Psikologi Perempuan Dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Triaryati, N. (2003). Pengaruh Adaptasi Kebijakan Mengenai Work Family Issue Terhadap Absen
Dan Turnover. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 5(1). https://doi.org/10.9744/jmk.5.1.
pp.%2085-96
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974. https://peraturan.bpk.go.id/Home/
Download/36382/UU%20Nomor%201%20Tahun%201974.pdf

Anda mungkin juga menyukai