Anda di halaman 1dari 57

DEPARTEMEN ILMU ANESTESI, PERAWATAN INTENSIF

DAN MANAJEMEN NYERI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

HASIL PENELITIAN
MARET 2022

PERBANDINGAN ANTARA PREGABALIN ORAL 50 MG DENGAN 75


MG KOMBINASI PARASETAMOL 1 GR INTRAVENA TERHADAP
DERAJAT NYERI DAN KADAR SUBSTANSI P PASCABEDAH
SEKSIO CAESAREA DENGAN ANESTESI SPINAL

Oleh:
dr. Muh. Wirawan Harahap
NIM: C135172005

Pembimbing Utama:
dr. Syafruddin Gaus, Ph.D, Sp.An-KMN-KNA

Pembimbing I:
Prof. Dr. dr. Muh. Ramli Ahmad, Sp.An-KMN- KAO

Pembimbing II:
Dr. dr. Burhanuddin Bahar, MS

DIBAWAKAN SEBAGAI TUGAS AKHIR


PADA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1
PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Nyeri pascabedah merupakan permasalahan sangat penting yang dihadapi
pada pasien pascabedah. Meskipun pengetahuan kita tentang mekanisme nyeri
pascabedah sudah mengalami banyak kemajuan, namun pengelolaan nyeri
pascabedah belum optimal dan masih sering terabaikan. Diperkirakan nyeri tidak
ditangani secara adekuat pada setengah dari semua prosedur pembedahan. Nyeri
pascabedah sebagian besar merupakan nyeri nosiseptif akut akibat cedera
jaringan. Tubuh rentan terhadap banyak perubahan fisiologis dan patologis, yang
mempengaruhi pemulihan pascabedah. Selain nyeri inflamasi lokal pada sayatan,
juga terdapat nyeri kontraksi pada rahim selama pemulihan. Analgesia preemptif
mengacu pada penggunaan tindakan terkait untuk mencegah nyeri, aferen sensorik
dan sensitisasi saraf pusat sebelum stimulasi nosiseptif, dan kemudian untuk
mengurangi efek nyeri.1,2,3
Nyeri pascabedah mempunyai karakteristik berupa sensitisasi perifer dan
sentral dari susunan saraf. Sekali terjadi sensitisasi sistem saraf, maka suatu
stimulus lemah yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan nyeri akan terasa
nyeri (allodynia), sedangkan stimulus kuat yang cukup untuk menimbulkan nyeri
terasa amat nyeri (hyperalgesia). Sensitisasi pascabedah akan mengakibatkan
penderitaan bagi pasien oleh karena itu pengelolaan nyeri pascabedah harus
ditujukan ke arah pencegahan dan juga meminimalkan terjadinya proses
sensitisasi.4 Belakangan ini, semakin banyak wanita memilih untuk menjalani
operasi seksio caesarea. Nyeri akibat sayatan dan kontraksi rahim menyebabkan
pengaruh pada kesembuhan ibu pascapersalinan. Adanya memori mengenai nyeri
pada beberapa ibu melahirkan dan puncak nyeri sebagian besar terjadi dalam 24
jam setelah operasi. Jika efek analgesia pascabedah tidak optimal dan karena takut
nyeri, ibu menolak untuk bangun dari tempat tidur secara dini dapat
memperpanjang masa pemulihan.2
Data klinis menunjukkan bahwa perbaikan luka pascabedah sangat erat
kaitannya dengan berbagai sitokin dan mediator inflamasi dengan melepaskan
sejumlah besar lisosom dan mikroorganisme toksik, yang mengakibatkan
kerusakan jaringan lokal. Tetapi laporan statistik mengatakan substansi P
memainkan peran kunci pada kerusakan jaringan. Ketika trauma terjadi, terminal
saraf sensorik primer terganggu, serat C dan Aδ melepaskan neurotransmitter
informasi nyeri yaitu substansi P. Neuropeptida ini telah lama dikaitkan dengan
pemrosesan nyeri karena terletak di aferen primer, berdiameter kecil, dan
dilepaskan setelah adanya kerusakan jaringan. Sejumlah besar substansi P di
sumsum tulang belakang mempengaruhi transmisi nosiseptif. Pada saat yang
sama, nosiseptor di sekitar luka diaktifkan dan kemudian melepaskan substansi P.
Sementara lebih banyak nosiseptor diaktifkan, membentuk lingkaran setan dan
mempengaruhi penyembuhan luka pascapersalinan. Juga dilaporkan bahwa
substansi P juga dapat meningkatkan metabolisme asam arakidonat.2,5

Pregabalin adalah analog gamma amino butyric acid (GABA) dengan sifat
antikonvulsan dan ansiolitik. Baru-baru ini, sejumlah besar uji klinis menunjukkan
bahwa pregabalin efektif pada nyeri pascabedah awal. Saat ini, pregabalin sangat
umum digunakan dalam mengurangi nyeri neuropatik, inflamasi, iritasi jaringan,
neuralgia fibromialgia, dan nyeri pascabedah.6 Pregabalin memiliki struktur yang
mirip dengan gamma amino butyric acid (GABA) tetapi bekerja melalui kanal
presinaptik Ca2+, menghambat Ca2+ masuk ke dalam sel. Kondisi ini akan menekan
produksi glutamat dan substansi P dari prasinaptik akan menurunkan sensitisasi
dan hiperalgesia. Antihiperalgesia dalam hal ini disebabkan oleh penghambatan
neurotransmitter glutamat dan substansi P oleh pregabalin. Hiperalgesia juga
ditemukan pada nyeri neuropatik dan pascabedah. Oleh karena itu, diharapkan
penggunaan pregabalin untuk mengurangi hiperalgesia pada perawatan
pascabedah, karena bersifat anti nosiseptif dan mengurangi persepsi nyeri
pascabedah.3

Parasetamol adalah analgetik nonopioid dan nonsalisilat yang sudah


digunakan lebih dari 40 tahun untuk mengatasi nyeri ringan sampai sedang.
Parasetamol bekerja dengan meningkatkan batas ambang nyeri dengan cara
menghambat N-metil-D-aspartate (NMDA) atau disebut substansi P serta
prostaglandin E di sentral. Parasetamol memiliki efek analgesia dan juga
antipiretik tanpa efek anti-inflamasi, aman digunakan, efek samping minimal, dan
ditoleransi dengan baik. Parasetamol juga memiliki efek opioid-sparing bila
digunakan bersama dengan opioid dosis yang rendah sehingga memberikan efek
analgesia yang baik dengan meminimalkan efek samping opioid seperti depresi
napas, bradikardia, dan hipoksia.7,8

Pemberian parasetamol terbukti menurunkan kebutuhan opioid


pascabedah. Dibandingkan dengan pemberian tramadol tunggal, kombinasi
parasetamol dan tramadol pada operasi abdomen menurunkan intensitas nyeri 24
jam pertama dan menurunkan kebutuhan tramadol pascabedah, serta aman dan
tidak menimbulkan efek samping yang serius. Dikombinasikan dengan obat
antiinflamasi non steroid (OAINS) lain, pemberian parasetamol kombinasi
OAINS juga menurunkan intensitas nyeri 24 jam pertama pascabedah, konsumsi
opioid, dan juga tidak menimbulkan efek samping yang serius.9

Beberapa tahun belakangan ini, banyak dilakukan penelitian mengenai


pemberian pregabalin perioperatif. Pada penelitian yang dilakukan Elvidiansyah
dkk tahun 2014, dinyatakan bahwa pregabalin 300 mg ternyata lebih baik bila
dibandingkan dengan pregabalin 150 mg dalam menurunkan nilai NRS
pascabedah histerektomi abdominal, tetapi pemberian pregabalin 300 mg tidak
lebih baik bila dibandingkan dengan pregabalin 150 mg dalam mengurangi
kebutuhan analgetik opioid pascabedah histerektomi abdominal.4 Penelitian yang
dilakukan Eun Ah Cho dkk tahun 2019, dinyatakan bahwa pemberian pregabalin
150 mg 1 jam sebelum operasi dan 12 jam setelah dosis inisial, menurunkan NRS
gerak pasif fleksi lutut pada 24 jam dan 36 jam pasca pembedahan rekonstruksi
ACL (Anterior Cruciate Ligament).10 Penelitian yang dilakukan B.M. Mishriky
dkk tahun 2015, dinyatakan bahwa pemberian perioperatif pregabalin
berhubungan dengan penurunan konsumsi opioid yang signifikan dan penurunan
nilai NRS pascabedah.11
Pada penelitian lain yang dilakukan Poljak dkk tahun 2020 yaitu
pemberian parasetamol pada pasien yang menjalani operasi seksio caesarea dapat
menurunkan derajat nyeri dan konsumsi opioid pascabedah.12 Penelitian yang
dilakukan Hassab dkk tahun 2020 mengevaluasi pemberian pregabalin dan
kombinasi pregabalin dengan paracetamol 1 gr intravena pada operasi pinggul
dengan anestesi spinal didapatkan kombinasi parasetamol dan pregabalin sebagai
multimodal analgesia pascabedah lebih baik daripada parasetamol saja yang
dilihat pada penurunan skor nyeri dan penggunaan opioid tanpa efek signifikan
pada hemodinamik.13 Penelitian oleh Lalenoh dkk tahun 2012 menilai efek
pregabalin pascabedah histerektomi didapatkan penurunan kadar nyeri, glutamat
dan substansi P yang dinilai 1 jam pascabedah. 3 Penelitian-penelitian tersebut di
atas merupakan dasar dari penelitian ini, yaitu mengenai perbandingan kombinasi
pregabalin oral 50 mg dan parasetamol 1 gr intravena dengan pregabalin oral 75
mg dan parasetamol 1 gr intravena terhadap derajat nyeri dan kadar substansi P
pascabedah seksio caesarea dengan anestesi spinal.

1.2. Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain:
1. Apakah ada perbedaan skor NRS pada pasien yang mendapatkan pregabalin
oral 50 mg dan parasetamol 1 gr intravena dengan pregabalin oral 75 mg
dan parasetamol 1 gr intravena pascabedah seksio caesarea dengan anestesi
spinal ?
2. Apakah ada perbedaan kadar substansi P pada pasien yang mendapatkan
pregabalin oral 50 mg dan parasetamol 1 gr intravena dengan pregabalin
oral 75 mg dan parasetamol 1 gr intravena pascabedah seksio caesarea
dengan anestesi spinal ?

1.3. Tujuan Penelitian


1. Tujuan Umum
Untuk membandingkan efek pemberian preventif pregabalin oral 50 mg
dan parasetamol 1 gr dengan pregabalin oral 75 mg dan parasetamol 1 gr
intravena terhadap skor NRS dan kadar susbtansi P pascabedah seksio
caesarea dengan anestesi spinal.

2. Tujuan Khusus
a. Menilai NRS istirahat pada pasien yang diberikan preventif pregabalin oral
50 mg dan parasetamol 1 gr intravena pascabedah seksio caesarea dengan
anestesi spinal.
b. Menilai NRS istirahat pada pasien yang diberikan preventif pregabalin oral
75 mg dan parasetamol 1 gr intravena pascabedah seksio caesarea dengan
anestesi spinal.
c. Membandingkan NRS istirahat pada pasien yang diberikan preventif
pregabalin oral 50 mg dan parasetamol 1 gr intravena dengan pregabalin
oral 75 mg dan parasetamol 1 gr intravena pascabedah seksio caesarea
dengan anestesi spinal.
d. Menilai NRS gerak pada pasien yang diberikan preventif pregabalin oral
50 mg dan parasetamol 1 gr intravena pascabedah seksio caesarea dengan
anestesi spinal.
e. Menilai NRS gerak pada pasien yang diberikan preventif pregabalin oral
75 mg dan parasetamol 1 gr intravena pascabedah seksio caesarea dengan
anestesi spinal.
f. Membandingkan NRS gerak pada pasien yang diberikan preventif
pregabalin oral 50 mg dan parasetamol 1 gr intravena dengan pregabalin
oral 75 mg dan parasetamol 1 gr intravena pascabedah seksio caesarea
dengan anestesi spinal.
g. Menilai kadar substansi P pada pasien yang diberikan preventif pregabalin
oral 50 mg dan parasetamol 1 gr intravena pascabedah seksio caesarea
dengan anestesi spinal.
h. Menilai kadar substansi P pada pasien yang diberikan preventif pregabalin
oral 75 mg dan parasetamol 1 gr intravena pascabedah seksio caesarea
dengan anestesi spinal.
i. Membandingkan kadar substansi P pada pasien yang diberikan preventif
pregabalin oral 50 mg dan parasetamol 1 gr intravena dengan pregabalin
oral 75 mg dan parasetamol 1 gr intravena pascabedah seksio caesarea
dengan anestesi spinal.
j. Menilai korelasi NRS dengan kadar substansi P pada 4 jam dan 6 jam
pascabedah seksio caesarea dengan anestesi spinal.

1.4. Hipotesis Penelitian


1. Skor NRS pada pasien yang mendapatkan preventif pregabalin oral 75 mg
dan parasetamol 1 gr intravena lebih rendah dibandingkan pregabalin oral
50 mg dan parasetamol 1 gr intravena pascabedah seksio caesarea dengan
anestesi spinal.
2. Kadar substansi P pada pasien yang mendapatkan preventif kombinasi
pregabalin oral 75 mg dan parasetamol 1 gr intravena lebih rendah
dibandingkan pregabalin oral 50 mg dan parasetamol 1 gr intravena
pascabedah seksio caesarea dengan anestesi spinal.

1.5. Manfaat Penelitian


1. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam pemilihan
agen multimodal analgesia agar dapat menurunkan derajat nyeri dan
penggunaan opioid pascabedah pada seksio caesarea sehingga dapat
mempercepat mobilisasi, mengurangi masa perawatan, dan mengurangi
biaya perawatan di rumah sakit.
2. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian
lebih lanjut mengenai pengaruh penggunaan preventif kombinasi
pregabalin oral dan parasetamol terhadap derajat nyeri dan kadar substansi
P pascabedah pada prosedur pembedahan yang lain.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan secara klinis untuk
penanganan nyeri akut pascabedah dengan efek samping yang minimal.
4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan
terutama ilmu anestesi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Nyeri Pascabedah


Lebih dari 230 juta orang menjalani operasi setiap tahun di seluruh dunia
dan jumlahnya meningkat setiap tahun. Operasi menyebabkan nyeri pascabedah
yang perlu ditangani secara cepat dan efektif untuk mengurangi penderitaan
pasien, mempercepat penyembuhan dan pemulihan pasien serta mencegah
komplikasi.1 Nyeri pascabedah sering kali memiliki karakteristik nosiseptif,
dimana selama pembedahan berlangsung, terjadi kerusakan jaringan tubuh yang
menghasilkan suatu stimulus noksius, belum lagi adanya peranan respon inflamasi
pascabedah. Pada saat yang bersamaan dapat pula terjadi regangan ataupun
kompresi saraf yang menyebabkan dapat pula timbul nyeri neuropatik.14

International Association for Study of Pain (IASP), mendefinisikan nyeri


sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan, atau menyerupai yang berhubungan dengan, cedera jaringan
baik aktual maupun potensial. Nyeri juga dapat dibedakan atas dua komponen
utama, yaitu komponen emosional (psikogenik) dan sensorik (fisik). Nyeri juga
dapat divariasikan berdasarkan: waktu dan lamanya berlangsung (transien,
intermitten, atau persisten), intensitas (ringan, sedang dan berat), kualitas (tajam,
tumpul, dan terbakar), penjalarannya (superfisial, dalam, lokal atau difus).
Disamping itu nyeri pada umumnya memiliki komponen kognitif dan emosional
yang digambarkan sebagai penderitaan. Selain itu nyeri juga dihubungkan dengan
refleks motorik menghindar dan gangguan otonom yang disebut sebagai
pengalaman nyeri. Meskipun pengetahuan kita tentang mekanisme nyeri
pascabedah sudah mengalami kemajuan, namun pengelolaan nyeri masih belum
optimal dan sering diabaikan. Diperkirakan setengah dari prosedur pembedahan,
nyeri tidak ditangani secara adekuat. Nyeri hebat setelah operasi tetap menjadi
masalah utama, terjadi pada 20-40% pasien. Studi menunjukkan bahwa meskipun
ada perbaikan saat ini dalam pengobatan nyeri, banyak pasien masih menderita
nyeri pascabedah sedang hingga berat. Nyeri yang berat dikaitkan dengan
penurunan kepuasan pasien, lama rawat inap pascabedah, nyeri kronik
pascabedah, peningkatan insiden komplikasi paru dan jantung, dan peningkatan
morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu, prosedur pembedahan yang
menghasilkan nyeri hebat dan strategi analgesik yang optimal untuk prosedur ini
dapat diidentifikasi.1,15,16,17

Saat ini, operasi seksio caesarea merupakan operasi paling umum pada
wanita usia subur. Perkiraan menunjukkan tingkat kejadian nyeri pascabedah
segera setelah operasi caesar sebesar 77,4% hingga 100%, dengan intensitas nyeri
tinggi, sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Selain itu, prosedur ini
berlangsung pada kondisi yang melibatkan perubahan hormonal dan emosional
yang cukup besar terkait dengan kehamilan dan kehadiran bayi, yang secara
negatif dapat mempengaruhi rasa sakit pasca operasi, mengingat sifat
multidimensi dari pengalaman nyeri ini.14
Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai penelitian telah menemukan
bahwa nyeri akut setelah operasi memiliki patofisiologi yang berbeda yang
memperlihatkan keterlibatan sensitisasi perifer dan sentral serta faktor humoral
yang berkontribusi terhadap nyeri yang terjadi. Jejas jaringan akibat pembedahan
menyebabkan aktivasi dan sensitisasi nosiseptor. Akibatnya, individu menderita
nyeri berkelanjutan meskipun dalam kondisi istirahat dan mengalami peningkatan
respons terhadap rangsangan di tempat cedera (hiperalgesia primer). Hal ini dapat
mengganggu fungsionalitas dan seringkali berujung pada lambatnya pemulihan.
Pelepasan mediator baik secara lokal maupun sistemik selama dan setelah operasi
yang berkontribusi terhadap sensitisasi nosiseptor meliputi: prostaglandin,
interleukin, sitokin, dan neurotropin (misalnya faktor pertumbuhan saraf (NGF),
glial-derived neurotrophic factor (GDNF), neurotropin (NT)-3, NT-5, dan brain-
derived neurotrophic factor (BDNF). Neuropeptida seperti substansi P sebagai
mediator penting ketika terjadi kerusakan jaringan. 18 Ketika trauma terjadi,
terminal saraf sensorik primer terganggu, serat C dan Aδ melepaskan
neurotransmitter informasi nyeri yaitu substansi P. Neuropeptida ini telah lama
dikaitkan dengan pemrosesan nyeri karena terletak di aferen primer, berdiameter
kecil, dan dilepaskan setelah adanya kerusakan jaringan. Sejumlah besar substansi
P di sumsum tulang belakang mempengaruhi transmisi nosiseptif. Pada saat yang
sama, nosiseptor di sekitar luka diaktifkan dan kemudian melepaskan substansi P.2

Nyeri pascabedah mempunyai karakteristik berupa sensitisasi di perifer


dan sentral dari susunan saraf, yang lebih dikenal sebagai nyeri klinis. Sekali
terjadi sensitisasi sistem saraf, maka suatu stimulus lemah yang dalam keadaan
normal tidak menimbulkan nyeri akan terasa nyeri (alodinia), sedangkan stimulus
kuat yang cukup untuk menimbulkan nyeri terasa amat nyeri (hiperalgesia).
Sensitisasi pascabedah akan mengakibatkan penderitaan bagi pasien sehingga
pada akhirnya dapat meningkatkan angka morbiditas serta mortalitas pascabedah,
oleh karena itu pengelolaan nyeri pascabedah harus ditujukan ke arah pencegahan
dan juga meminimalkan terjadi proses sensitisasi antara lain gabapentinoid seperti
gabapentin dan pregabalin.4

Nyeri pascabedah adalah nyeri yang terjadi akibat adanya kerusakan


jaringan yang nyata (actual tissue damage) yang diikuti proses inflamasi.
Prototipe nyeri akut adalah nyeri pascabedah. Antara kerusakan jaringan sampai
dirasakan sebagai persepsi nyeri, terdapat suatu rangkaian proses elektrofisiologis
yang disebut “nociception”. Terdapat 4 proses yang terjadi pada suatu
“nociception”:19,20

1. Proses transduksi, merupakan proses pengubahan rangsang nyeri menjadi


suatu aktifitas listrik yang akan diterima di ujung saraf. Rangsang ini dapat
berupa rangsang fisik (tekanan), suhu, atau kimia. Awal kerusakan dan
inflamasi menyebabkan serabut C dan Aδ mengalami perubahan yang
disebut sensitisasi, peningkatan aktivitas nosiseptor yang normalnya tenang
dan perubahan aktivitas kanal ion dan reseptor membran. Proses transduksi
ini dapat dihambat oleh OAINS. Nosiseptor juga memiliki susunan saluran
kalsium yang terlibat dalam memodulasi dan menghantarkan sinyal listrik
dan dalam melepaskan transmitter, saluran kalsium dibentuk oleh tetramer
dari empat subunit α1, masing-masing analog dengan salah satu subunit.
Empat subunit yang dikodekan oleh protein saluran natrium, serta subunit
α2δ, β, dan γ. Gabapentinoid, gabapentin dan pregabalin, diperkirakan
bekerja dengan memblokir saluran kalsium yang mengandung subunit α2δ.
2. Proses transmisi, merupakan penyaluran aksi potensial dari ujung nosisepsi
perifer melalui serabut saraf bermielin dan tidak bermielin hingga ujung
presinaps. Ujung presinaps kemudian berhadapan dengan interneuron dan
neuron urutan kedua. Interneuron dapat memudahkan atau menghambat
transmisi sinyal ke neuron urutan kedua. Proses ini dapat dihambat oleh obat
anestesi lokal.
3. Proses modulasi, adalah proses interaksi antara sistem analgesik endogen
yang dihasilkan oleh otak dengan rangsang noksius yang masuk di kornu
posterior medulla spinalis. Analgesik endogen (enkefalin, endorfin,
serotonin, noradrenalin) dapat memblok rangsang noksius pada kornu
posterior medulla spinalis. Artinya kornu posterior sebagai pintu dapat
terbuka dan tertutup untuk menyalurkan rangsang noksius ke neuron kedua
tergantung dari peran dari analgesik endogen tersebut. Proses modulasi ini
dipengaruhi oleh pendidikan, motivasi, status emosional dan kultur
seseorang. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi
sangat subyektif orang per orang dan sangat ditentukan oleh makna atau arti
suatu rangsang noksius. Proses modulasi ini dapat dipengaruhi oleh
pemberian opioid eksogen dan gabapentinoid.
4. Persepsi adalah hasil akhir dari interaksi yang kompleks dari proses
transduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya menghasilkan suatu
proses subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.
Gambar 1. Jalur nyeri.
Dikutip dari: Vrooman BM, Rosenquist RW. Chronic pain management. In: Butterworth JF,
Mackey DC, Wasnick JD, eds. Morgan & Mikhail’s clinical anesthesiology, 6 th Ed. New York:
McGraw-Hill; 2018. p. 1047-110.

Sensitisasi perifer

Kerusakan jaringan akibat pembedahan menyebabkan peningkatan enzim,


siklooksigenase-2 (COX-2), sel inflamasi (misalnya, neutrofil dan sel mast) dan
menyebabkan produksi dan pelepasan mediator inflamasi seperti histamin,
bradikinin, serotonin, dan prostaglandin mengakibatkan saraf serabut Aδ dan C
lebih peka dan sensitivitas di ujung saraf meningkat. Ini disebut sebagai
“sensitisasi perifer”, berbeda dengan sensitisasi sentral, yang terjadi di kornu
dorsalis. Substansi nyeri ini akan merangsang dilepaskannya substansi P dari
ujung saraf serabut Aδ dan C yang disebut sebagai nosiseptor. Antara substansi
nyeri dengan nosiseptor terjadi reaksi positif feedback artinya makin banyak
nosiseptor yang dibangkitkan, diikuti peningkatan sensitivitas nosiseptor itu.
Substansi P yang dilepaskan secara perifer mengakibatkan vasodilatasi perifer dan
sensitisasi lebih lanjut dari perifer saraf serabut Aδ dan C. Mediator kimia lainnya,
seperti ATP dan proton, dapat secara langsung mengaktifkan ujung nosiseptor
perifer, menandakan adanya jaringan yang meradang dan menghasilkan rasa sakit.
Sitokin inflamasi yang dilepaskan dari jaringan yang rusak, seperti Tumor
Necroting Factor-A (TNF-α), dapat berkontribusi pada sensitisasi perifer dengan
aktivasi langsung serat nosiseptif.21

Sensitisasi sentral

Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat


pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla
spinalis. Setelah lesi saraf perifer, aktivasi berkelanjutan yang kuat dari aferen
nosiseptif, terutama nosiseptor serat-C, dapat menyebabkan sensitisasi neuron
kornu dorsalis yaitu sensitisasi sentral. Hal ini dapat mengakibatkan perubahan
sifat fisiologis neuron kornu dorsalis yaitu ambang batas yang lebih rendah,
neuron mulai tereksitasi sebagai respons terhadap input aferen ambang rendah
yang sebelumnya terlalu lemah untuk membangkitkan pelepasan potensial aksi,
peningkatan besarnya pelepasan potensial aksi sebagai respons terhadap input
nosiseptif dan peningkatan aktivitas impuls spontan. Perubahan ini dianggap
secara signifikan berkontribusi pada hiperalgesia, alodinia, dan nyeri spontan yang
diakibatkan oleh cedera saraf perifer.21

Sensitisasi sentral adalah stimulasi berulang dari nosiseptor menyebabkan


penguatan informasi nosiseptif, yang menyebabkan rangsangan pada neuron
proyeksi kornu dorsalis medulla spinalis, biasanya merespons intensitas
rangsangan yang rendah. Ketika potensial aksi mencapai terminal presinaptik,
neurotransmitter dilepaskan dari terminal aferen untuk menghasilkan eksitasi,
termasuk substansi P dan glutamat. Sebaliknya, efek penghambatan dimodulasi
oleh asam gamma-aminobutirat (GABA), glisin, adenosin, cannabinoid endogen
dan peptida opioid.22

Multimodal Analgesia

Multimodal analgesia didefinisikan sebagai penggunaan beberapa agen


analgesik secara bersamaan yang berbeda golongan atau berbeda cara kerja pada
jalur dan reseptor nyeri dengan tujuan memberikan kontrol nyeri yang lebih
unggul. Multimodal analgesia memiliki beberapa jenis manfaat terhadap pasien
pascabedah. Pertama, penggunaan obat dengan mekanisme analgesik yang
berbeda dapat menghasilkan efek sinergis dan dengan demikian menghasilkan
keberhasilan yang lebih besar. Kedua, sinergisme antara obat–obat ini
memungkinkan penggunaan dosis yang lebih rendah dari masing–masing obat
yang digunakan sehingga membatasi efek samping yang berhubungan dengan
dosis, terutama ketika kombinasi ini memungkinkan untuk menurunkan dosis dari
opioid yang dipakai. Tindakan ini dapat memfasilitasi mobilisasi dan rehabilitasi
lebih cepat pascabedah, transisi lebih cepat pada pasien rawat jalan dan
menurunkan biaya perawatan.17

Analgesia multimodal, sebuah konsep yang pertama kali dikemukakan


oleh Kehlet dan Dahl, sekarang menjadi dasar untuk manajemen nyeri akut pasca
operasi. Elemen farmakologis prinsip analgesia multimodal dapat mencakup
kombinasi anestesi regional (termasuk blok saraf perifer atau neuraksial sentral
atau terus menerus dan/atau analgesia infiltrasi lokal), analgesik opioid, dan
analgesik sistemik nonopioid (asetaminofen, dan OAINS). Selain itu, adjuvant
farmakologis dapat ditambahkan seperti gabapentinoid (misalnya, gabapentin dan
pregabalin), antagonis reseptor N-metil D-aspartat (NMDA) (ketamin,
memantidin, dekstrometorfan, dan magnesium), agen adrenergik alfa-2 (klonidin),
glukokortikoid (dexamethasone), dan lain-lain (antidepresan, kalsitonin, nikotin,
capsaicin, cannabinoid, dan lidokain). Tujuan analgesia multimodal adalah
sinergitas antara agen dalam menghambat jalur nyeri di beberapa jalur penghantar
nyeri dan secara farmakologis mengurangi efek samping yang timbul dan
penggunaan opioid yang minimal.23

Gambar 2. Perbandingan derajat nyeri akut berdasarkan jenis operasi.


Dikutip dari: Gerbershagen HJ, Aduckathil S, Wijck AJM, Peelen LM, Kalkman CJ, Meissner
W. Pain intensity on the first day after surgery. Anesthesiology. 2013;118(4):934-44.

2.2. Pregabalin

Pregabalin (3-isobutil gamma) merupakan molekul sintetik baru yang


merupakan analog γ-amino butyric acid (GABA), suatu inhibitor neurotransmiter,
seperti halnya gabapentin yang dapat berperan sebagai penghambat
hipereksitabilitas neuron. Pregabalin berperan dengan memodulasi aktivitas
saluran kalsium. Walaupun strukturnya berkaitan erat dengan GABA, pregabalin
tidak bekerja langsung pada reseptor GABA melainkan dengan cara memodifikasi
pelepasan GABA sinaptik atau non-sinaptik.24,25

Pregabalin berikatan sangat erat dengan saluran kalsium subunit α2-δ


tempat pregabalin bertindak sebagai ligan α2-δ dan memiliki aktivitas sebagai
analgetik, antikejang, dan anticemas. Pregabalin juga dapat bekerja pada presinaps
untuk menurunkan pelepasan glutamat, efek ini mungkin bergantung terhadap
penurunan masuknya kalsium presinaps melalui saluran kalsium.24

Mekanisme kerja pasti pregabalin masih belum diketahui dengan baik,


namun pregabalin diketahui memiliki interaksi yang mirip dengan binding site
gabapentin dan profil farmakologisnya juga serupa. Pregabalin berperan pada
saluran kalsium subunit α2-δ presinaps dengan afinitas pengikatan dan potensi 6
kali lebih kuat daripada gabapentin. Kanal ini tersebar secara luas pada sistem
saraf sentral ataupun perifer presinaptik. Saluran kalsium dibagi menjadi 6 kelas,
yaitu P-, Q-, N-, L-, T- dan R-. Pembagian ini berdasarkan ketergantungan
voltase, kinetik, dan sensitivitasnya terhadap obat. Kelas N diketahui berperan
dalam proses sensitisasi nyeri. Kanal ini juga dibagi menjadi 5 subunit; peranan
pregabalin terhadap subunit α2-δ memodulasi masuknya kalsium pada saraf
terminal dan menurunkan pelepasan beberapa neurotransmiter seperti glutamat,
noradrenalin, serotonin, dopamin, dan substansi P. 24

Pregabalin memiliki efek target terhadap kanal kelas L-, T- dan N-.
Pregabalin tidak memiliki efek terhadap tekanan darah atau fungsi jantung karena
tidak selektif untuk kanal kalsium kelas L-. Berdasarkan uji coba hewan yang
dimutasi berupa substitusi arginin terhadap alanin pada subunit α2-δnya,
ditemukan adanya penurunan pengikatan pregabalin dan efek analgesiknya,
sehingga dihipotesiskan bahwa pregabalin memiliki efek analgesik melalui
pengikatannya pada subunit ini. Pada uji coba ini juga ditemukan respons
analgesik yang menurun dengan pemberian amitriptilin dan morfin. Peningkatan
regulasi subunit α2-δ pada saluran kalsium berperan penting dalam
hipersensitisasi. Melalui proses pengikatan pada saluran kalsium, pregabalin
berperan menginhibisi eksitabilitas neuron dan menurunkan sensitisasi sentral.
Proses inhibisi ini terjadi, khususnya pada area-area di sistem saraf pusat yang
padat sinaps, seperti neokorteks, amigdala, dan hipokampus. Aktivitas ektopik ini
akan diturunkan, sementara fungsi normalnya tidak dipengaruhi. Pregabalin juga
tidak aktif pada reseptor GABAA dan GABAB, tidak dikonversi menjadi GABA
atau antagonis GABA dan tidak mengganggu uptake dan degradasi GABA.24

Selain itu, pregabalin juga bekerja menghambat pelepasan glutamat pre-


sinaps dan post-sinaps pada sistem saraf pusat. Glutamat merupakan asam amino
eksitatorik yang dilepaskan jika ada stimulus nyeri. Glutamat akan berinteraksi
dengan reseptor subtipe (orde kedua) termasuk reseptor inotropik, seperti AMPA
(α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid), NMDA (N-methyl-D-
aspartate), kainite, dan reseptor glutamat metabotropik. Dengan adanya stimulus
berulang, glutamat akan mengikat reseptor AMPA menyebabkan terbukanya kanal
natrium dan kalsium, masuknya kedua ion ini menghasilkan potensial aksi.24

Pelepasan glutamat terus-menerus karena stimulus nyeri, akan


menyebabkan akumulasi pada reseptor ini sehingga melepaskan ion Mg2+
(penstabil reseptor NMDA) dari reseptor NMDA dan memperlama durasi
terbukanya NMDA receptor-coupled ion channel. Aktivasi NMDA receptor-
coupled ion channel menyebabkan depolarisasi sel dan menginduksi masuknya
kalsium. Stimulasi reseptor NMDA ini akan memproduksi sensitisasi sentral,
sehingga stimulus yang sedikit saja akan dapat mengaktivasi neuron orde kedua di
medulla spinalis. Sensitisasi sentral ini akan bermanifestasi sebagai amplifikasi
respons terhadap stimulus (hiperalgesia), penyebaran sensitivitas nyeri pada lokasi
cedera (hiperalgesia sekunder) dan penurunan ambang nyeri, sehingga dapat
timbul nyeri spontan. Mekanisme inilah yang dihambat melalui penghambatan
glutamat, sehingga impuls nyeri akan dihambat. Dengan tertekannya sensitisasi
sentral, transisi dari nyeri akut menjadi nyeri kronis pascabedah dapat dicegah.24
Tabel 1. Perbandingan farmakologi gabapentin & pregabalin.

Aspek yang dibandingkan Gabapentin Pregabalin

Bioavailabilitas 27-60% 90%

Tmax (jam) 2-3 1

Pengikatan dengan protein plasma <3% 0

Potensi + ++++++

T1/2 (jam) 5-7 5,5-6,7

Metabolisme Tidak Tidak

Ginjal (100% Ginjal (92-99% tidak


Eliminasi
tidak diubah) diubah)

Jadwal dosis 3x sehari 2 atau 3x sehari

Dosis 1.800-3.600 150-600 mg/hari


mg/hari

Waktu mencapai dosis efektif 9 hari 1 hari

Dikutip dari: Widyadharma IPE. Efektivitas pregabalin untuk terapi nyeri kronis: evidence-based review.
CDK-226. 2015;42(3):204-7.

Pregabalin memberikan efek antinosiseptif pada respons nosiseptif pada


kondisi neuropatik atau inflamasi dengan memodulasi respons reseptor neurokin-1
(NK1/reseptor SP) yang dimediasi substansi P. Pada penelitian yang mengevaluasi
efek pregabalin menunjukkan bahwa pregabalin dapat menekan produksi IL-6
yang diinduksi substansi P dan IL-8. Pregabalin juga menghambat fosforilasi yang
diinduksi SP dari p38 mitogen-activated protein kinase (MAPK) dan faktor nuklir
(NF)-κB.26
IL-6 dan IL-8 dilepaskan selama trauma menyebabkan inflamasi dan nyeri.
Pregabalin, yang diberikan preoperatif dapat meningkatkan efek analgesik dan
menurunkan pelepasan IL-6 dan IL-8 (inflamasi). Beberapa penulis telah
menunjukkan bahwa penggunaan pregabalin menyebabkan penurunan sitokin
inflamasi sebelum stimulus nyeri diberikan.27

Sistem
Korteks limbik
sensoris

Gabapentin/pregabalin

α2δ subunit

Peningkatan aktivasi Kalsium Neuron


lokus ceruleus nosiseptif
Peningkatan Kanal
inhibisi kalsium Neuron
noradrenergik voltage noradrenergik
desenden gate tipe inhibitorik
P/Q
Stimulus
nyeri
Neuron
nosiseptif

Gambar 3. Mekanisme kerja gabapentinoid.


Dikutip dari: Schmidt PC, Ruchelli G, Mackey SC, Carrol IR. Perioperative gabapentinoids: choice of agent,
dose, timing, and effects on chronic postsurgical pain. Anesthesiology. 2013;119(5):1215-21.

Pregabalin diberikan 1-2 jam prabedah sebagai analgesia preventif maupun


diberikan pascabedah sebagai adjuvant. Rasionalitas dibalik analgesia preventif
adalah pemberian antinosiseptif sebelum pembedahan lebih efektif menurunkan
nyeri pascabedah dibanding pemberian pada awal pascabedah. Intensitas paling
tinggi nyeri akut pascabedah terjadi saat awal timbulnya trauma. Pemberian
pregabalin 1-2 jam prabedah akan menyebabkan terjadinya waktu kadar puncak
plasma obat (p-peak) tercapai saat stimulus pertama pembedahan sehingga
kemampuan untuk menghambat pengeluaran neurotransmitter eksitatori dan
mencegah sensitisasi neuron kornu dorsalis medulla spinalis dan otak semakin
besar dibandingkan pemberian pada awal pascabedah.25

Pregabalin yang diberikan secara oral diserap lebih cepat, dengan


konsentrasi plasma maksimum dicapai dalam waktu 1-2 jam. Sebagian besar
penelitian pemberian gabapentinoid pra operasi telah memberikan dosis pra
operasi antara 1 dan 2 jam sebelum operasi. Telah dilaporkan bahwa waktu
puncak kadar plasma setelah pemberian oral pregabalin adalah sekitar 1 jam.
Namun, juga telah dilaporkan bahwa waktu untuk mencapai puncak kadar cairan
serebrospinal mungkin lebih lama. Di antara pasien yang menjalani operasi
penggantian lutut, kadar cairan serebrospinal puncak pregabalin terjadi pada
waktu rata-rata 8 jam setelah pemberian.28 Penelitian pada pasien dengan operasi
gigi, onset analgesia pregabalin dicapai 24 menit setelah pemberian. Pregabalin
diekskresikan melalui ginjal, dengan waktu paruh eliminasi sekitar 4,6 hingga 6,8
jam. Keadaan stabil dicapai dalam waktu 24 sampai 48 jam setelah dimulainya
pemberian dosis berulang.29

Gabapentinoid dapat ditoleransi dengan baik. Meskipun pregabalin secara


umum hanya sedikit saja memiliki interaksi dengan beberapa obat, pregabalin
terkadang dapat menyebabkan sakit kepala, pusing, mulut kering dan sedasi yang
dapat dikurangi dengan memberikan dosis yang lebih kecil dan titrasi secara
perlahan-lahan. Dapat juga dijumpai efek samping berupa mulut kering, gangguan
kognitif, dan cara berjalan pada pasien-pasien usia tua. Obat ini juga harus
dikurangi dosisnya pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Dalam hal
ini penyesuaian dosis dapat diatur sesuai dengan creatinine clearance.30

2.3. Parasetamol

Acetaminophen adalah analgesik dan antipiretik yang umum digunakan


dan sudah tersedia dalam bentuk tablet sebagai obat yang dijual bebas di toko.
Acetaminophen juga dikenal sebagai parasetamol atau N- asetil-para-aminofenol
(APAP), dan tersedia dalam bentuk per oral, suposituria, dan bentuk parenteral.31,32
Acetaminophen bersifat menghambat lemah dari sintesis prostaglandin
perifer jika dibandingkan OAINS. Mekanisme kerjanya saat ini belum jelas
diketahui tetapi acetaminophen ini melibatkan penghambatan sentral dari
cyclooxygenase. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa OAINS tampaknya
menjadi lebih efektif analgesik dari pada asetaminofen, tetapi juga tergantung
pada jenis operasi yang dilakukan. Apapun, acetaminophen adalah obat yang
berguna untuk manajemen monoterapi dari nyeri ringan sampai sedang
perioperatif, dan sebagai tambahan analgesik lainnya untuk pengelolaan nyeri
sedang sampai peioperatif berat.33,34
Meskipun acetaminophen memiliki indeks terapeutik yang sempit, bila
digunakan dalam dosis yang dianjurkan telah terbukti memiliki insiden efek
samping yang sangat rendah. Acetaminophen ini juga dapat digunakan sebagai
tambahan pada OAINS untuk mengurangi kejadian efek samping terkait OAINS,
dan juga sebagai tambahan pada opioid untuk mengurangi kejadian efek samping
dari obat opioid tersebut.33,34
Dosis acetaminophen untuk dewasa (oral/suposituria) 325-650 mg setiap
4-6 jam atau 1000 mg 3-4 kali per hari dengan dosis maksimum 4 g/hari.
Sedangkan dosis untuk anak-anak<12 tahun (oral/suposituria) 10- 15 mg/kg/dosis
setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan dengan maksimum 5 dosis dalam sehari. Pada
orang dewasa dengan gangguan ginjal pada Clearance Creatinine 10-15 mL/menit
dapat diberikan setiap 6 jam dan pada Clearance Creatinine <10 mL/menit dapat
diberikan setiap 8 jam.31,32
Kadar plasma puncak terjadi antara 10 dan 60 menit setelah dosis oral.
Waktu paruh eliminasi adalah 1-3 jam pada orang dewasa dan 2-5 jam pada
neonatus. Diekskresikan terutama melalui urin (2-5% tidak berubah, 55% sebagai
metabolit glukuronat, 30% sebagai metabolit sulfat).31,32
Acetaminophen oral digunakan sebagai analgesik non-opioid untuk
mengobati nyeri ringan sampai sedang pascabedah daerah nonvisceral, terutama
setelah operasi rawat jalan. Dalam kombinasi dengan OAINS atau opioid,
acetaminophen juga digunakan dalam manajemen nyeri sedang sampai berat
pascabedah dan nyeri kanker.31,32
Kontraindikasi mutlak yaitu hipersensitivitas terhadap acetaminophen atau
komponen lain yang terkandung dalam formulasi. Kontraindikasi relatif yaitu
pada pasien yang mengkonsumsi minuman beralkohol lebih dari tiga botol per
hari, acetaminophen dapat meningkatkan risiko kerusakan hati. Pada pasien
dengan defisiensi G6PD, acetaminophen dapat menyebabkan hemolisis. 31,32
Metaanalisis yang dilakukan pemberian parasetamol intravena prabedah seksio
caesarea menunjukkan penurunan skor nyeri yang signifikan, efek hemat opioid
dan aman untuk digunakan pada saat persalinan.35
Efek samping dari acetaminophen adalah toksisitas obat baik secara
disengaja atau tidak disengaja overdosis acetaminophen (7,5-10 g pada orang
dewasa atau >150 mg/kg pada anak-anak) dapat menyebabkan hepatotoksisitas,
yang merupakan penyebab paling umum dari gagal hati akut di Amerika Serikat.
Toksisitas dari acetaminophen bukan karena obatnya tetapi disebabkan oleh salah
satu metabolitnya yaitu NAPQI. Biasanya metabolit ini mengalami konjugasi
dengan glutathione, tetapi pada dosis toksik (overdosis) akan menghabiskan
glutathione sehingga metabolit NAPQI beredar bebas dalam sirkulasi. Ketika
terjadi cedera seluler langsung oleh NAPQI dapat menyebabkan nekrosis sel hati,
hal ini biasanya asimtomatis. Gejala yang terkait dengan hepatotoksisitas dapat
berkembang lebih 1-5 hari antara lain anoreksia, mual, muntah, nyeri kuadran
kanan atas, diaphoresis, ikterus, hipoglikemia, defek koagulasi, ensefalopati, dan
gagal ginjal.31,32
Pengobatan overdosis acetaminophen yaitu dengan pemberian oral
activated charcoal untuk mengurangi penyerapan acetaminophen dan N-
acetylcysteine dan sebagai antidotum yang bertindak sebagai prekursor
untukglutathione. Jika kerusakan pada hati menjadi parah, transplantasi hati
kadang diperlukan.31,32
Selain itu acetaminophen juga berinteraksi dengan obat yang lain yaitu
antikonvulsan (fenitoin, barbiturat, karbamazepin) dapat meningkatkan risiko
hepatotoksisitas dengan meningkatkan konversi acetaminophen menjadi metabolit
beracun. Isoniasid juga meningkatkan risiko hepatotoksisitas dari acetaminophen.
Acetaminophen sendiri dapat meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin
dengan dosis harian >1,3 g untuk pemberian lebih dari 1 minggu. Fenotiazin dapat
meningkatkan risiko hipotermia berat dengan acetaminophen. Resin
cholestyramine dapat menurunkan penyerapan acetaminophen. Pada pasien
dengan defisiensi G6PD, acetaminophen dapat menyebabkan hemolisis.31,32
Efek samping acetaminophen lainnya yang jarang terjadi antara lain ruam,
anemia, neutropenia, pansitopenia; peningkatan bilirubin, alkaline fosfatase,
ammonia, klorida, asamurat, glukosa, penurunan natrium, bikarbonat dan
kalsium.31,32
Acetaminophen selektif menghambat siklooksigenase jaringan saraf in
vitro. Terlepas dari penghambatan sentral generasi prostaglandin, mekanisme lain
yang mungkin telah diusulkan. Hunskaar dkk melaporkan bahwa acetaminophen
menghambat hiperalgesia yang dimediasi substansi P (SP) spinal, menunjukkan
bahwa analgesia yang diinduksi acetaminophen mungkin terkait dengan modulasi
transmisi nosiseptif di jalur spinal dan supraspinal. Pengamatan ini sangat menarik
mengingat bukti terbaru yang menunjukkan bahwa struktur postsinaptik di SSP
menghasilkan oksida nitrat (NO) dari L-arginin melalui proses enzimatik sebagai
respons terhadap aktivasi SP serta eksitasi reseptor asam amino.36

2.4. Substansi P

Substansi P (SP) adalah neuropeptida sepanjang asam amino 11, yang


diproduksi oleh sel neuronal dan nonneuronal, termasuk sel imun. SP dengan
aktivitas biologisnya melalui reseptor neurokinin berpasangan protein G (NKRs)
bernama reseptor neurokinin 1 (NK1R), NK2R, dan NK3R. Di antara ketiganya,
NK1R memiliki afinitas tertinggi terhadap SP. Interaksi SP-NK1R dilaporkan
secara luas mengatur fungsi sel imun dan kekebalan terhadap infeksi mikroba.37,38

Substansi P (SP) disekresikan oleh saraf dan sel inflamasi seperti


makrofag, eosinofil, limfosit, dan sel dendritik yang bekerja dengan mengikat
reseptor neurokinin-1 (NK-1R). SP memiliki efek proinflamasi pada sel imun dan
sel epitel yang berperan dalam penyakit inflamasi pada sistem pernapasan,
gastrointestinal, dan muskuloskeletal. Banyak zat menginduksi pelepasan
neuropeptida dari saraf sensorik di paru-paru, termasuk alergen, histamin,
prostaglandin, dan leukotrien.39

Substansi P (SP) merupakan turunan dari senyawa tachykinin dan kemudian


dicirikan sebagai neurotransmitter. Peningkatan SP serum atau plasma dan/atau
reseptornya (NK-1R) dapat diamati pada berbagai gangguan, termasuk penyakit
inflamasi usus, krisis sel sabit, depresi dan kecemasan, penyakit rematik, dan
penyakit infeksi, seperti AIDS dan infeksi syncytial virus, serta kanker. Baru-baru
ini, peran SP sebagai neurotransmitter telah diperluas karena diketahui juga
berperan dalam regulasi respon imun. Bahkan saat ini SP, reseptornya NK-1R,
dan sejumlah antagonis NK-1R telah mendapat perhatian yang cukup besar
sebagai agen terapi potensial untuk depresi, nyeri, dan emesis.40

Substansi P adalah peptida asam amino 11 yang disintesis dan dilepaskan


oleh neuron tingkat pertama baik di perifer maupun di kornu dorsalis. Juga
ditemukan di bagian lain dari sistem saraf dan usus, itu memfasilitasi transmisi di
jalur nyeri melalui aktivasi reseptor neurokinin-1. Di perifer, neuron substansi P
mengirimkan kolateral yang berhubungan erat dengan pembuluh darah, kelenjar
keringat, folikel rambut, dan sel mast di dermis. Substansi P mensensitisasi
nosiseptor, mendegranulasi histamin dari sel mast dan 5-HT dari trombosit, dan
merupakan vasodilator kuat dan kemoatraktan untuk leukosit. Neuron substansi P
juga menginervasi viseral dan mengirimkan serat kolateral ke ganglia simpatis
paravertebral. Oleh karena itu, stimulasi yang intens pada viseral dapat
menyebabkan pelepasan simpatis postganglionik secara langsung. 16

Adapaun jalur pensinyalan nyeri yang melibatkan SP merupakan jalur yang


memfasilitasi sensitisasi nosiseptif pada berbagai nyeri inflamasi dan dianggap
bahwa pensinyalan SP mungkin juga berkontribusi pada timbulnya hiperalgesia
pascabedah. SP adalah neuromodulator dengan peran yang dijelaskan dengan baik
dalam sinyal nyeri, memiliki fitur unik hanya dilepaskan pada nosiseptif dengan
stimulasi yang kuat. Misalnya, internalisasi sumsum tulang belakang dari reseptor
NK-1, indeks pelepasan SP, hanya terjadi pada tingkat kecil di neuron lamina I
selama stimulasi panas tingkat ambang normal hewan. Namun, tingkat stimulasi
panas yang sama menyebabkan persentase yang lebih besar dari internalisasi NK-
1 di neuron lamina I dan internalisasi reseptor di lamina sumsum tulang belakang
yang lebih dalam setelah peradangan. Menariknya, SP tampaknya tidak diperlukan
untuk pengkodean intensitas panas normal atau penembakan puncak neuron ini di
berbagai suhu, melainkan tampaknya memperpanjang respons rangsangan panas.
42

Bukti yang mendukung keterlibatan SP pada patofisiologi penyakit


inflamasi melalui pengamatan kadar SP dan serabut saraf SP, ekspresi NK-1R
pada jaringan yang sakit, dan efek menguntungkan dari antagonis NK-1R pada
model hewan. Tachykinin secara biologis aktif pada konsentrasi yang sangat
rendah meskipun SP telah digambarkan sebagai neuropeptida, penelitian pada
hewan telah menunjukkan produksinya oleh sel inflamasi seperti makrofag,
eosinofil, limfosit, dan sel dendritik SP meningkatkan proliferasi limfosit dan
produksi imunoglobulin, dan meningkatkan sekresi sitokin dari limfosit, monosit,
makrofag, dan sel mast. Pelepasan mediator inflamasi yang diinduksi SP seperti
sitokin, radikal oksigen, turunan asam arakidonat, histamin yang berpotensi pada
cedera jaringan, dan merangsang rekrutmen leukosit lebih lanjut, sehingga
memperkuat respons inflamasi.42

SP menimbulkan vasodilatasi lokal dan mengubah permeabilitas pembuluh


darah, sehingga meningkatkan pengiriman dan akumulasi leukosit ke jaringan
untuk ekspresi respons imun lokal SP secara spesifik dapat merangsang
kemotaksis limfosit, monosit, neutrofil, dan fibroblas SP telah dilaporkan
menginduksi ekspresi endothelial-leukocyte adhesion molecule-1 pada endotel
mikrovaskuler manusia, untuk meningkatkan ekspresi integrin leukosit CD11b
pada neutrofil manusia, untuk meningkatkan ekspresi molekul-1 adhesi
interseluler dan terkait fungsi leukosit. Sehingga terjadi vasodilatasi, kemotaksis
leukosit, adhesi sel leukosit/endotel dan akhirnya menyebabkan ekstravasasi,
migrasi, serta akumulasi leukosit selanjutnya di lokasi cedera.42

SP juga telah terlibat pada resolusi peradangan. Bukti peran SP pada


perbaikan jaringan dijelaskan pada penelitian yang mengamati efek proliferatifnya
pada berbagai sel. SP bertindak sebagai mitogen untuk sel otot polos, fibroblas, sel
endotel, dan sinoviosit. Peran SP dalam reaksi inflamasi dari jaringan yang
beragam seperti paru-paru, usus, sendi, kulit dan mata.42

Tabel 2. Efek proinflamasi SP pada berbagai sel imun

Jenis sel Efek

Limfosit Kemoatraktan ampuh


Kofaktor diferensiasi limfosit B
Meningkatkan sekresi imunoglobulin
Merangsang pelepasan sitokin
proinflamasi limfosit T Merangsang
aktivitas pembunuh alami limfosit T
Merangsang proliferasi limfosit T
Limfosit dapat menghasilkan SP

Monosit/makrofag Kemoatraktan ampuh


Merangsang pelepasan sitokin
proinflamasi
Menginduksi pelepasan oksidatif
Merangsang sintesis dan pelepasan
metabolit asam arakidonat, makrofag
mengekspresikan NK-1R dan mensekresi
SP

Neutrofil Kemoatraktan
Merangsang degranulasi
Merangsang pelepasan sitokin
proinflamasi

Sel mast Kontak erat antara sel mast dan saraf


Menginduksi degranulasi
Menginduksi pelepasan histamin dan
serotonin
Merangsang pelepasan sitokin
proinflamasi

Eosinofil Kemoatraktan
Merangsang aktivasi, degranulasi,
pelepasan O2, dan tromboksan
Eosinofil dapat mensekresi SP

Dikutip dari: O’connor TM, O’connell J, O’brien D, Goode T, Bredin CP, Shanahan F. The role of substance
p in inflammatory disease. J Cell Physiol. 2004; 201:167–80.

Substansi P memiliki peran utama dalam mekanisme nyeri melalui mediasi


sensitisasi sentral. Rangsangan neuron tulang belakang meningkat setelah aktivitas
aferen meningkat yang berimplikasi pada nosiseptif. Substansi P juga memiliki
peran penting dalam transisi dari nyeri akut ke kronis dan mekanisme nyeri
neuropatik. Ini melibatkan serat saraf yang mensekresi substansi P. Biasanya
substansi P hanya diekskresikan oleh serat C, tetapi pada nyeri kronis serat Aβ
juga dapat mengekskresikan substansi P. Oleh karena itu, tinjauan tentang
mekanisme yang mempengaruhi pelepasan SP dapat menunjukkan informasi
penting mengenai perubahan patologis dalam persepsi nyeri.2

Data klinis menunjukkan bahwa perbaikan luka pascabedah terkait erat


dengan berbagai sitokin, mediator inflamasi, melepaskan sejumlah besar lisosom
dan mikroorganisme toksik, yang mengakibatkan kerusakan jaringan lokal.
Namun laporan statistik mengatakan, susbtansi P telah dilaporkan memainkan
peran kunci pada kerusakan jaringan. Ketika organisme dalam keadaan fisiologis,
faktor antiinflamasi dan proinflamasi dipertahankan dalam lingkungan
keseimbangan yang relatif rapuh. Ketika trauma terjadi, itu merusak
keseimbangan dan meningkatkan proliferasi inflamasi sel. Oleh karena itu,
stimulasi cedera dan faktor proinflamasi sangat berhubungan satu sama lain.
Banyak data menunjukkan bahwa IL-6 dan TNF-α diekspresikan pada tahap awal
trauma yang merupakan penanda kerusakan jaringan yang paling sensitif. Ketika
trauma terjadi, terminal saraf sensorik primer terganggu, serat C dan Aδ
melepaskan neurotransmitter informasi nyeri yaitu substansi P. Sejumlah besar
substansi P di sumsum tulang belakang mempengaruhi transmisi nosiseptif. Pada
saat yang sama, nosiseptor di sekitar luka diaktifkan kemudian melepaskan
substansi P. Sementara banyak nosiseptor yang diaktifkan, membentuk lingkaran
setan dan mempengaruhi penyembuhan luka dapat menghambat pemulihan
pascapersalinan. Dilaporkan juga bahwa substansi P juga dapat meningkatkan
metabolisme asam arakidonat. Pada penelitian yang mengevaluasi kadar substansi
P pascabedah seksio sesarea yang menunjukkan bahwa susbtansi P mulai
meningkat pada 30 menit setelah operasi dan mencapai puncak yang tinggi setelah
4 jam dan 8 jam kemudian menurun secara bertahap pascabedah.2

BAB III

KERANGKA TEORI

Trauma Pembedahan

PARASETAMOL
Bekerja pada jalur peroksidase
Kerusakan jaringan saraf perifer,
Inhibisi prostaglandin
merangsang nosiseptor

Inhibisi NMDA/ Substansi P serta


PGE di sentral
TRANSDUKSI

Menurunkan hipersensitivitas
X Sensitisasi perifer
Pelepasan mediator inflamasi

(hambat hiperalgesia)

X
KONDUKSI
Penyaluran aksi potensial
melalui serabut bermielin dan
tidak bermielin

TRANSMISI
Hantaran serabut saraf Aδ dan C
SUBSTANSI P

MODULASI
Sensitisasi sentral
PREGABALIN

Berikatan dengan saluran kalsium


subunit α2δ

Kalsium tidak dapat masuk ke sel X


sehingga depolarisasi terhambat

Meningkatkan sintesis GABA


Mengurangi pelepasan glutamat, PERSEPSI
noradrenalin, serotonin, dopamin, dan
Integrasi input di korteks dan
substansi P
limbik

Menurunkan hipersensitivitas nyeri &


sensitisasi sentral

Nyeri Pascabedah

BAB IV
KERANGKA KONSEP
Seksio Caesarea Umur
dengan anestesi BB
spinal TB
IMT
ASA PS
Pregabalin oral 50
mg + Parasetamol 1 Kerusakan jaringan
gr intravena

Transduksi

Pregabalin oral 75 Transmisi


mg + Parasetamol 1
gr intravena
Modulasi

Persepsi

Nyeri pascabedah (NRS)


Kadar substansi P

Keterangan:

Variabel bebas Variabel kendali

Variabel antara Variabel tergantung

BAB V
METODOLOGI PENELITIAN
5.1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian uji acak tersamar ganda.

5.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di RSIA Sitti Khadijah I dan Laboratorium Penelitian
RSPTN Unhas lantai 6, mulai bulan November 2021 sampai Februari 2022.

5.3. Populasi
Populasi yang termasuk dalam penelitian ini adalah pasien yang akan
menjalani prosedur pembedahan elektif seksio caesarea di ruangan bedah sentral
RSIA Sitti Khadijah I Makassar.

5.4. Sampel Penelitian dan Cara Pengambilan Sampel


Sampel diseleksi secara acak konsekutif dari semua populasi yang
memenuhi kriteria inklusi, eksklusi dan setuju ikut serta dalam penelitian ini.

5.5. Perkiraan Besaran Sampel


Perhitungan besar sampel pada penelitian ini berdasarkan skala data dari
variabel tergantung (intensitas nyeri dan kadar substansi P) yaitu numerik.
Sehingga rumus perhitungan besar sampel yang digunakan yaitu uji hipotesis
terhadap rerata 2 populasi untuk dua kelompok independen. Adapun rumus
tersebut adalah:
n1 = n2 = 2[ (Zα + Zβ) S ]2
(x1- x2)2

n1 = n2 = 2 [(1,96 + 0,842) 2]2


(2,05)2

n1 = n2 = 14,95 = 15 (besar sampel masing – masing kelompok)

Keterangan:
n1 = n2 : perkiraan besar sampel
S = Simpang baku kedua kelompok (dari Pustaka)
(x1-x2) = perbedaan klinis yang diharapkan (clinical Judgement)
Za= Kesalahan tipe 1(ditetapkan) = 1,96
Zb= Kesalahan tipe II (ditetapkan)= 0,842
Jadi besar sampel yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah 15 pasien
setiap kelompok sehingga total sampel berjumlah 30 sampel.

5.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


5.6.1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
a. Umur 20-40 tahun
b. BB: 50-70 kg
c. TB: 150-170 cm
d. IMT: 18,5-29,9 kg/m2
e. ASA PS II
f. Operasi seksio caesarea dengan prosedur elektif
5.6.2. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :
a. Adanya kontraindikasi dilakukan SAB
b. Penderita dengan riwayat penyakit asma
c. Penderita dengan riwayat hipertensi, penyakit jantung, dan
kardiovaskuler
d. Penderita dengan riwayat epilepsi atau sedang menggunakan obat
antiepilepsi
e. Penderita dengan riwayat nyeri kronik
f. Penderita dengan gangguan kejiwaan
g. Penderita dengan riwayat DM
h. Penderita dengan gangguan fungsi ginjal atau hati
i. Penderita dengan pengguna alkohol
j. Mendapat terapi opioid, obat analgesik neuropatik, dan obat
antiinflamasi sebelumnya
k. Pasien yang mendapatkan kemoterapi
l. Adanya riwayat alergi terhadap bahan penelitian

5.7. Kriteria Drop Out


Kriteria drop out dalam penelitian ini adalah :
a. Terjadi komplikasi anestesi atau pembedahan.
b. Konversi ke anestesi umum selama operasi.
c. Pasien mengundurkan diri dari penelitian.

5.8. Ijin Penelitian dan Kelayakan Etik


Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti meminta keterangan kelayakan
etik (ethical clearance) dari Komisi Etik Penelitian Biomedis pada manusia
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Semua pasien yang memenuhi
kriteria inklusi diberi penjelasan secara lisan dan menandatangani lembar
persetujuan untuk ikut dalam penelitian secara sukarela. Bila karena suatu alasan,
penderita berhak mengundurkan diri dari penelitian ini.

5.9. Metode Kerja


5.9.1. Alokasi sampel
Alokasi sampel penelitian terdiri dari:
a. Kelompok P1 adalah kelompok perlakuan yang mendapatkan
pregabalin 50 mg/oral dan parasetamol 1 gr intravena 1 jam prabedah.
b. Kelompok P2 adalah kelompok perlakuan yang mendapatkan
pregabalin 75 mg/oral dan parasetamol 1 gr intravena 1 jam prabedah.

5.9.2. Cara kerja


a. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dialokasikan ke dalam
kelompok P1 dan P2 menjalani prosedur persiapan operasi elektif
yang berlaku.
b. Dilakukan pengukuran kadar substansi P (SP 0) 2 jam sebelum seksio
caesarea.
c. Obat penelitian diberikan melalui mulut dengan seteguk air satu jam
sebelum waktu yang diharapkan dari sayatan bedah.
d. Tidak ada premedikasi lain yang diberikan saat ini.
e. Sebelum dilakukan anestesi spinal dilakukan loading cairan koloid
dengan HES 6% 250 cc.
f. Anestesi spinal dilakukan dengan posisi dekubitus lateral kiri pada
celah sendi vertebra L3-L4.
g. Kedua kelompok dilakukan anestesi spinal dengan jarum spinal
Spinocan 25G, bupivakain hiperbarik 0,5% (Regivell) 10 mg dengan
adjuvan fentanyl 25 g dengan kecepatan penyuntikan 3 detik/cc.
h. Pasien diposisikan supine. Dilakukan pemeriksaan ketinggian blok
otonom dengan cold test, blok sensorik dengan pin prick test, dan blok
motorik dengan skor Bromage. Pembedahan dimulai jika blok
sensorik setinggi Th.6.
i. Pemeliharaan dengan O2 2-4 liter/menit.
j. Bila TAR < 25% nilai basal, diberikan efedrin 5–10 mg/intravena.
k. Manajemen nyeri pascabedah diberikan pregabalin oral 50 mg dan 75
mg masing-masing kelompok 12 jam setelah pemberian dosis inisial,
ketorolak 30 mg/8 jam/intravena, dan parasetamol 1 gr/6
jam/intravena.
l. Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke PACU.
m. Dilakukan pemeriksaan kadar substansi P pada jam ke-4 (SP 1) dan
jam ke-6 (SP 2) pascabedah.
n. Penilaian derajat nyeri dengan menggunakan NRS dilakukan pada 2
jam, 4 jam, 6 jam, 12 jam, dan 24 jam pascabedah.
o. Apabila terdapat keluhan nyeri dengan nilai NRS lebih atau sama
dengan 4, maka diberikan analgetik tambahan (rescue) berupa fentanyl
0,5-1 mcg/kgBB/intravena. Selama observasi dilakukan pencatatan
rescue analgetik, total kebutuhan opioid selama 24 jam pascabedah.
p. Apabila efek samping obat mual dan muntah terjadi, maka dapat
diberikan obat ondansentron 4 mg/intravena.
5.10. Identifikasi Variabel dan Klasifikasi Variabel
5.10.1. Identifikasi variabel
a. Kelompok P1
b. Kelompok P2
c. Seksio caesarea dengan anestesi spinal
d. Umur
e. Berat badan
f. Tinggi bedan
g. IMT
h. ASA PS
i. NRS
j. Kadar substansi P
5.10.2. Klasifikasi variabel
1. Variabel bebas

- Pregabalin 50 mg per oral + parasetamol 1 gr intravena


- Pregabalin 75 mg per oral+ parasetamol 1 gr intravena
2. Variabel tergantung
- NRS
- Kadar substansi P
3. Variabel kendali
- Umur
- Berat badan
- Tinggi badan
- IMT
- ASA PS
4. Variabel antara
Seksio caesarea dengan anestesi spinal

5.11. Definisi Operasional


1. Kelompok P1 adalah kelompok perlakuan yang mendapatkan pregabalin 50
mg /oral dan parasetamol 1 gr intravena 1 jam prabedah.
2. Kelompok P2 adalah kelompok perlakuan yang mendapatkan pregabalin 75
mg/oral dan parasetamol 1 gr intravena 1 jam prabedah.
3. Seksio sesarea adalah melahirkan bayi melalui insisi abdominal dan dinding
uterus dengan insisi Pfanennstiel pada pembedahan elektif.
4. Anestesi spinal adalah cara untuk menghasilkan analgesia/hilangnya sensasi
dengan jalan memberikan obat anastesi lokal ke dalam ruang subarakhnoid
menggunakan spinocan 25G.
5. Umur dihitung berdasarkan tahun kelahiran yang tercantum dalam status
penderita dan dikonfirmasi kembali pada pasien, dengan satuan tahun.
6. Berat badan ditimbang dengan timbangan injak, dengan satuan kg.
7. Tinggi badan diukur dengan pengukur tinggi badan, dengan satuan cm.
8. IMT adalah indeks massa tubuh yang dihitung dengan membagi berat badan
dalam satuan kg dengan tinggi badan kuadrat dalam satuan m2.
9. ASA PS adalah penilaian status fisik pasien untuk menilai risiko anestesi dan
pembedahan berdasarkan kriteria American Society of Anesthesia Physical
Status.
10. NRS adalah penilaian skala nyeri berdasarkan angka dengan menanyakan
kepada pasien berapa nilai rasa nyeri yang dialami. Diberikan nilai 0-10, di
mana 0 berarti tidak nyeri sama sekali sampai angka 10 yang berarti nyeri
sangat berat.
11. Kadar substansi P adalah kadar susbtansi P dalam darah yang diperiksa dengan
menggunakan metode ELISA dengan satuan pg/dl.

5.12. Kriteria Objektif


1. ASA PS 2 : Pasien dengan gangguan sistemik ringan. Penyakit ringan
dengan tanpa gangguan fungsional yang substantif. Contohnya,
perokok, peminum alkohol ringan, wanita hamil, obesitas (30 < BMI <
40), diabetes melitus / hipertensi terkontrol, penyakit paru ringan.
2. IMT dinyatakan dalam kg/m2.
 < 18,5 kg/m2 : Gizi kurang
 18,5 – 25 kg/m2 : Normal
 >25 - <30 kg/m2 : Lebih
 >30 - <35 kg/m2 : Obesitas grade I
 >35 - <39,9 kg/m2 : Obesitas grade II
 >40 kg/m2 : Morbid Obese
3. Skala nyeri berdasarkan nilai NRS:
 0 = tidak nyeri
 1-3 = nyeri ringan
 4-6 = nyeri sedang
 7 - 10 = nyeri berat
4. Rescue analgetik : analgetik tambahan berupa fentanyl 0,5-1
mcg/kgBB via intravena diberikan pada semua pasien bila mereka
mengeluh nyeri sedang sampai berat (NRS ≥ 4). Jumlah rescue
analgetik dan total konsumsi fentanyl yang diberikan selama 24 jam
dihitung pada masing-masing kelompok, yang lebih besar
menunjukkan kualitas analgetik yang lebih rendah, dinyatakan dalam
dosis total yang diberikan.

5.13. Pengolahan dan Analisa Data


Data yang diperoleh diolah dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk
narasi, tabel, grafik berupa rata-rata, standar deviasi, frekuensi, dan
persentase, dengan menggunakan SPSS 25.0 untuk Windows. Data
ditunjukkan dengan rata-rata dan frekuensi dari umur, BB, TB, IMT,
intensitas nyeri, dan kadar substansi P pada masing-masing kelompok.

Berdasarkan jenis dan bentuk data yang didapatkan kemudian


ditentukan metode uji statistik yang sesuai. Uji normalitas data
menggunakan Shapiro-Wilk dengan nilai kemaknaan p>0,05
mengindikasikan data terdistribusi normal. Jika didapatkan distribusi
normal (p > 0,05) digunakan uji repeated anova, jika didapatkan distribusi
tidak normal (p ≤ 0,05) digunakan uji friedman untuk membandingkan
kadar substansi P sebelum dan sesudah pemberian pregabalin dan
parasetamol pada masing-masing kelompok. Uji statistik dilanjutkan untuk
menguji perbedaan kadar substansi P pada kedua kelompok. Jika
didapatkan data berdistribusi normal (p > 0,05) digunakan uji hipotesis
general linear model dan jika didapatkan distribusi tidak normal (p < 0,05)
digunakan uji mann-whitney untuk membandingkan kadar substansi P
antara kedua kelompok. Sedangkan untuk membandingkan NRS antara
kedua kelompok digunakan uji mann-whitney.

5.14. Jadwal Penelitian


1. Persiapan
Penyusunan proposal 4 minggu
2. Pelaksanaan
a. Pengumpulan data : 2 minggu
b. Pelaksanaan : 12 minggu
c. Analisa dan penyusunan data : 1 minggu
d. Pelaporan : 1 minggu
3. Perencanaan waktu
a. Seminar proposal : Oktober 2021
b. Pengumpulan data : November 2021 – Desember 2021
c. Analisa dan penyusunan data : Januari 2022
d. Pelaporan : Februari 2022

5.15. Alur Penelitian


Pasien yang memenuhi kriteria penelitian

Consecutive sampling

Pemeriksaan substansi P (SP 0) 2 jam prabedah

Kelompok P1 Kelompok P2
Pregabalin 50 mg /oral + Pregabalin 75 mg /oral +
Parasetamol 1 gr intravena 1 jam Parasetamol 1 gr intravena 1
prabedah jam prabedah

Anestesi spinal

Seksio sesarea

Operasi selesai, pencatatan NRS 2 jam pascabedah

Pemeriksaan NRS, kadar substansi P (SP 1) 4 jam pascabedah

Pencatatan NRS, kadar substansi P (SP 2) 6 jam pascabedah

Pencatatan NRS 12 jam pascabedah

 Pencatatan NRS 24 jam pascabedah


 Pencatatan rescue analgetik & total kebutuhan opioid selama 24 jam pascabedah

Pengumpulan data dan analisis data

Pelaporan

5.16. Personalia Penelitian


Pelaksana : dr.Muh. Wirawan Harahap
Pembimbing materi : dr. Syafruddin Gaus, Ph.D, Sp.An-KMN-KNA
Prof. Dr. dr. Muh. Ramli Ahmad, Sp.An-KMN-KAO
Dr. dr. Burhanuddin Bahar, MS
Pembantu pelaksana : Peserta PPDS Anestesiologi UNHAS

BAB VI
HASIL PENELITIAN
6.1. Karakteristik Sampel

Karakteristik sampel penelitian kedua kelompok dapat dilihat pada Tabel 3.


Tabel 3. Karakteristik sampel
Karakteristik Pregabalin 50 mg Pregabalin 75 mg p
Mean ± SD Mean ± SD
Umur (tahun) 31,20 ± 6,51 29,73 ± 5,39 0,507ns
BB (kg) 63,60 ± 7,68 63,67 ± 6,70 0,980ns
TB (cm) 159,07 ± 7,17 158,73 ± 6,15 0,967ns
IMT (kg/m2) 25,05 ± 1,58 25,22 ± 1,66 0,776ns
Lama Pembedahan (menit) 61,13 ± 20,63 59,00 ± 12,13 0,838ns
Data ditampilkan dengan mean±standar deviasi. Data dianalisa dengan uji T tidak berpasangan. ns: not
significant different

Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang


bermakna umur, berat badan, tinggi badan, IMT, dan lama pembedahan (p>0,05)
antara kelompok pregabalin 50 dan 75 mg yang menjalani pembedahan SC
sehingga data dapat dikatakan homogen.

6.2. Skor Nyeri (NRS)

Hasil pengukuran perbandingan NRS antara kelompok pregabalin 50 dan 75


mg yang menjalani pembedahan SC dapat dilihat pada Tabel 4.
Dari rangkuman hasil analisis pada Tabel 4 menunjukkan bahwa ditemukan
perbedaan yang bermakna NRS diam dan gerak antara kelompok pregabalin 50
mg dengan pregabalin 75 mg (p<0,05) pada jam ke 2, 4, 6 dan 12 pascabedah SC.
Namun pada jam ke 24 tidak ditemukan perbedaan yang bermakna NRS diam dan
gerak antara kedua kelompok.

Tabel 4. Perbandingan NRS antar kelompok pregabalin 50 dan 75 mg.

Waktu
NRS Kelompok Mean ± SD p
Pengukuran
Pregabalin 50 mg 2,13 ± 0,35
2 jam 0,023*
Pregabalin 75 mg 1,60 ± 0,51
Pregabalin 50 mg 3,27 ± 0,96
4 jam 0,000*
Pregabalin 75 mg 1,47 ± 0,83
Pregabalin 50 mg 2,47 ± 0,64
Diam 6 jam 0,000*
Pregabalin 75 mg 1,40 ± 0,74
Pregabalin 50 mg 1,53 ± 0,52
12 jam 0,000*
Pregabalin 75 mg 0,33 ± 0,72
Pregabalin 50 mg 0,40 ± 0,51
24 jam 0,367ns
Pregabalin 75 mg 0,20 ± 0,41
Pregabalin 50 mg 2,87 ± 0,35
2 jam 0,011*
Pregabalin 75 mg 2,33 ± 0,49
Pregabalin 50 mg 4,47 ± 1,13
4 jam 0,000*
Pregabalin 75 mg 2,40 ± 0,74
Pregabalin 50 mg 3,47 ± 0,83
Gerak 6 jam 0,000*
Pregabalin 75 mg 2,20 ± 0,41
Pregabalin 50 mg 2,20 ± 0,56
12 jam 0,000*
Pregabalin 75 mg 1,33 ± 0,35
Pregabalin 50 mg 1,33 ± 0,49
24 jam 0,217ns
Pregabalin 75 mg 1,07 ± 0,26
Data ditampilkan dengan mean±standar deviasi. Data dianalisa dengan uji Mann Whitney. *: p<0,05, berbeda
secara bermakna; ns: not significant different.

5
4.5
4
3.5
3
2.5
2
NRS Diam

1.5
Kelompok Pregabalin 50
1 Kelompok Pregabalin 75
0.5
0
4 Jam Pas c ab edah

6 Jam Pas c ab edah


2 Jam Pas c ab edah

1 2 Jam Pas c ab ed ah

24 Jam Pas c ab edah

W ak t u Penguk ur an
Gambar 4. NRS diam kelompok pregabalin 50 dan 75 mg.

3
NRS Gerak

2 Kelompok Pregabalin 50
1 Kelompok Pregabalin 75

0
2 Jam Pas c ab edah

6 Jam Pas c ab edah


4 Jam Pas c ab edah

12 Jam Pas c ab edah

2 4 Jam Pas c ab ed ah

W ak t u Penguk ur an

Gambar 5. NRS gerak kelompok pregabalin 50 dan 75 mg.

Hasil pengukuran perbandingan rescue fentanyl antara kelompok pregabalin


50 dan 75 mg yang menjalani pembedahan seksio caesarea dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Perbandingan rescue fentanyl antar kelompok pregabalin 50 dengan 75 mg.
Kelompok
Variabel Pregabalin 50 mg Pregabalin 75 mg p
(n:15) (n:15)
Rescue analgesia
Ya 10 (66,67 %) 2 (13,33 %) 0,009*
Tidak 5 (33,33 %) 13 (86,67 %)
Data ditampilkan dengan jumlah (n) dan persentase (%). Data dianalisa dengan uji Chi square. *: p<0,05,
berbeda secara bermakna.

Dari rangkuman hasil analisis pada Tabel 5 menunjukkan bahwa ditemukan


perbedaan yang bermakna pemberian rescue fentanyl antar kelompok pregabalin
50 mg dengan pregabalin 75 mg (p<0,05). Pada kelompok pregabalin 50 mg lebih
banyak mendapatkan rescue analgesia dibandingkan kelompok pregabalin 75 mg.
6.3. Kadar Substansi P

Hasil pengukuran perbandingan kadar substansi P antara kelompok


pregabalin 50 dan 75 mg yang menjalani pembedahan SC dapat dilihat pada Tabel
6.
Tabel 6. Perbandingan kadar substansi P antar dua kelompok.
Waktu Kelompok Kadar Substansi P p
Pengukuran (Mean ± SD )
P0 Pregabalin 50 mg 382,14 ± 296,94 0,300ns
Pregabalin 75 mg 368,59 ± 196,63
P1 Pregabalin 50 mg 397,73 ± 216,23 0,384ns
Pregabalin 75 mg 350,99 ± 206,39
P2 Pregabalin 50 mg 469,32 ± 287,41 0,010*
Pregabalin 75 mg 306,21 ± 151,87
Data ditampilkan dengan mean±standar deviasi. Data dianalisa dengan uji Mann-Whitney. *: p<0,05, berbeda
secara bermakna, ns: not significant different.

Tabel 7. Perbandingan perubahan kadar substansi P berdasarkan waktu


pengukuran antar dua kelompok.

Velocity
Δ Kadar
Waktu Kadar
Kelompok Substansi P p
Pengukuran Substansi P
(Mean ± SD ) (%)
P0-P1 Pregabalin 50 mg ↑ 15,58 ± 105,07 ↑ 13,99 0,021*
Pregabalin 75 mg ↓ 17,06 ± 50,26 ↓ 7,58
P1-P2 Pregabalin 50 mg ↑ 70,59 ± 105,88 ↑ 19,40 0,019*
Pregabalin 75 mg ↓ 44,78 ± 176,32 ↓ 10,34
P0-P2 Pregabalin 50 mg ↑ 86,17 ± 55,05 ↑ 32,87 0,000*
Pregabalin 75 mg ↓ 62,39 ± 151,49 ↓ 16,02
Data ditampilkan dengan mean±standar deviasi. Data dianalisa dengan uji Mann-Whitney. *: p<0,05, berbeda

secara bermakna

Dari rangkuman hasil analisis pada Tabel 6 dan 7 menunjukkan bahwa


ditemukan perbedaan yang bermakna kadar substansi P antara kelompok
pregabalin 50 mg dan 75 mg (p<0,05). Kadar substansi P pada kelompok
pregabalin 50 mg terdapat peningkatan pada 4 jam dan 6 jam pascabedah
sedangkan pada kelompok pregabalin 75 mg cenderung menurun pada 4 jam dan
6 jam pascabedah.
Hasil pengukuran perbandingan perubahan kadar substansi P pada masing-
masing kelompok pregabalin 50 dan 75 mg yang menjalani pembedahan SC dapat
dilihat pada Tabel 8.
Berdasarkan tabel 8, didapatkan hasil pada kelompok pregabalin 50 mg terdapat
peningkatan bermakna kadar substansi P dari pengukuran P1 ke P2 dan P1 ke P2
(p<0,05), sedangkan pada kelompok pregabalin 75 mg terdapat penurunan kadar
substansi P namun tidak bermakna (p<0,05) dari pengukuran P0 ke P1, P1 ke P2, dan P0
ke P2.

Tabel 8. Perbandingan kadar substansi P pada masing-masing kelompok.

Waktu Kadar Substansi P


Kelompok p
Pengukuran (ng/ml)
P0 382,14 ± 296,94
0,125 ns
P1 397,73 ± 216,23
P1 397,73 ± 216,23
Pregabalin 50 mg 0,027*
P2 469,32 ± 287,41
P0 382,14 ± 296,94
0,001*
P2 469,32 ± 287,41
P0 368,59 ± 196,63
0,112ns
P1 350,99 ± 206,39
P1 350,99 ± 206,39
Pregabalin 75 mg 0,955ns
P2 306,21 ± 151,87
P0 368,59 ± 196,63
0,125ns
P2 306,21 ± 151,87
Data ditampilkan dengan mean±standar deviasi. Data dianalisa dengan uji wilcoxone. *: p<0,05, berbeda
secara bermakna, ns: not significant different.
500

450
Kadar Substansi P (NG/ML)

400

350

300

250

200
Kelompok Pregabalin 50
150 Kelompok Pregabalin 75
100

50

0
2 Jam Pr ab ed ah 4 Jam Pas c ab edah 6 Jam Pas c ab edah
W ak t u Pen gu k u r an

Gambar 6. Grafik perubahan kadar substansi P berdasarkan waktu pengukuran

Hasil pengukuran korelasi skor NRS dan kadar substansi P 4 jam dan 6 jam
pascabedah pada pasien yang menjalani pembedahan SC dapat dilihat pada Tabel
9.
Tabel 9. Korelasi Kadar Substansi P dan Skor NRS.

Variabel r p
Substansi P vs NRS Diam 4 jam pascabedah 0,640 0,000*
Substansi P vs NRS Gerak 4 jam pascabedah 0,647 0,000*
Substansi P vs NRS Diam 6 jam pascabedah 0,867 0,000*
Substansi P vs NRS Gerak 6 jam pascabedah 0,805 0,000*
Data ditampilkan dengan r : koefisien korelasi. Data dianalisa dengan uji korelasi Spearmen. *: p<0,05,
berbeda secara bermakna
Berdasarkan analisis pada Tabel 9, didapatkan nilai p < 0,001 yang menunjukkan
bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara kadar substansi P dan skor NRS diam
maupun gerak pada 4 jam dan 6 jam pascabedah. Nilai koefisien korelasi pada kadar
substansi P dan NRS diam maupun gerak pada 4 jam pascabedah 0,640 menunjukkan
kekuatan korelasi yang kuat sedangkan koefisien korelasi pada kadar substansi P dan
NRS diam maupun gerak pada 6 jam pascabedah masing-masing 0,867 dan 0,805
menunjukkan kekuatan korelasi yang sangat kuat.
BAB VII
PEMBAHASAN

Pengelolaan nyeri pascabedah bertujuan menghasilkan analgesia yang


optimal dan menghambat respon stres akibat pembedahan. Pada proses transduksi
menggunakan OAINS, proses transmisi dengan anestesi lokal, dan proses
modulasi menggunakan opioid dan gabapentinoid. Dengan teknik pendekatan
multimodal ini, maka dosis setiap obat menjadi lebih rendah, dengan efek
analgesia yang lebih optimal.

7.1. Karakteristik sampel


Karakteristik sampel penelitian yang diukur pada penelitian ini
meliputi umur, berat badan, tinggi badan, IMT, dan lama pembedahan yang
telah ditampilkan pada Tabel 3. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan
tidak ada perbedaan yang bermakna karakteristik sampel penelitian antar
kelompok pregabalin 50 dan 75 mg kombinasi parasetamol 1 gr intravena
yang menjalani pembedahan SC dengan anestesi spinal. Hal ini berarti
subjek yang diteliti adalah homogen dan layak untuk dibandingkan.

7.2. Skor nyeri


Hasil penelitian ini didapatkan ada perbedaan yang bermakna skor
NRS dan rescue analgesia antar kelompok pregabalin 50 mg dengan
pregabalin 75 mg (p<0,05). Pada kelompok pregabalin 75 mg skor NRS dan
rescue analgesia lebih rendah dibandingkan dengan pregabalin 50 mg pada
pasien yang menjalani pembedahan SC dengan anestesi spinal.
Hal ini sesuai dengan penelitian Hassab dkk tahun 2020, dimana
didapatkan pemberian pregabalin 300 mg prabedah dilanjutkan 12 jam
kemudian kombinasi parasetamol 1 gr intravena sebagai analgesia
multimodal lebih baik daripada parasetamol saja dengan menurunkan skor
VAS dan konsumsi opioid pascabedah pinggul dengan anestesi spinal. 13
Penelitian lainnya yang dilakukan Eun Ah Cho dkk tahun 2019, dinyatakan
bahwa pemberian pregabalin 150 mg 1 jam sebelum operasi dan 12 jam
setelah dosis inisial, menurunkan NRS gerak pasif fleksi lutut pada 24 jam
dan 36 jam pasca pembedahan rekonstruksi ACL (Anterior Cruciate
Ligament).10
Penelitian lainnya oleh Kenany dkk tahun 2016 didapatkan
pemberian pregabalin 300 mg oral 1 jam prabedah dibandingkan 150 mg
pada operasi seksio caesarea didapatkan penurunan skor nyeri pascabedah
dan menurunkan kebutuhan morfin pascabedah.43
Penelitian lainnya oleh Lalenoh dkk tahun 2014 didapatkan
pemberian pregabalin 150 mg oral 1 jam prabedah dibandingkan plasebo
pada operasi histerektomi dengan anetesi umum didapatkan penurunan skor
nyeri pascabedah dan menurunkan kebutuhan opioid pascabedah.3
Penelitian-penelitian tersebut menggunakan dosis 150 dan 300 mg,
sedangkan penelitian kami menggunakan dosis 50 dan 75 mg, dimana
didapatkan skor NRS dan tindakan rescue analgesia lebih rendah pada dosis
75 mg. Hal ini membuktikan bahwa pregabalin memiliki efek opioid
sparring dan pemberian dosis pregabalin yang lebih besar dapat
meningkatkan efikasinya tanpa efek samping yang timbul akibat pemakaian
dosis yang lebih besar yaitu pada dosis 75 mg. Mekanisme kerja pregabalin
dengan menekan terlepasnya neurotransmitter eksitatori dan mencegah
terjadinya sensitisasi sentral.24

7.3. Kadar substansi P


Hasil penelitian ini didapatkan perbedaan yang bermakna kadar
substansi P antara kelompok pregabalin 50 mg dan 75 mg (p<0,05). Kadar
substansi P pada kelompok pregabalin 50 mg terdapat peningkatan pada 4
jam dan 6 jam pascabedah sedangkan pada kelompok pregabalin 75 mg
cenderung menurun pada 4 jam dan 6 jam pascabedah.
Hasil ini sesuai oleh penelitian yang dilakukan Lalenoh dkk tahun
2012, dimana pemberian pregabalin 150 mg oral 1 jam prabedah didapatkan
penurunan kadar substansi P pascabedah dibandingkan plasebo pada operasi
histerektomi dengan anetesi umum.3 Penelitian lainnya oleh Yu M dkk tahun
2017, didapatkan pemberian parecoxib 30 menit sebelum induksi dengan
peningkatan kadar substansi P yang lebih rendah pada 30 menit, 4 jam, 8 jam
pascabedah dan penurunan substansi P yang lebih tinggi pada 12 jam
pascabedah dibandingkan dengan plasebo pada operasi seksio caesarea.2
Cedera jaringan dan reaksi inflamasi akibat prosedur pembedahan
akan menyebabkan sensitisasi perifer. Tahap selanjutnya, melalui transmisi
impuls noksius dari nosiseptor perifer akan diteruskan ke neuron tingkat
pertama (neuron presinaptik). Pada neuron prasinaps ini, impuls akan
menginduksi Ca2+ ke dalam sel melalui kanal Ca2+. Kondisi ini akan
menyebabkan pelepasan beberapa neurotransmiter (glutamat & substansi-P)
dari ujung neuron presinaptik ke neuron urutan kedua (postsinaptik) yang
akan menimbulkan sensasi nyeri. Oleh karena itu, nyeri pascabedah sangat
berkaitan dengan peningkatan kadar glutamat dan substansi-P dalam darah.3
Dalam penelitian ini, kadar substansi-P pascabedah meningkat pada
kelompok pregabalin 50 mg dibandingkan dengan kelompok pregabalin 75
mg yang cenderung menurun pada 4 jam dan 6 jam pascabedah. Studi
statistik juga menunjukkan perbedaan substansi P yang signifikan (p<0,05)
pada kedua kelompok.
Mekanisme kerja pregabalin berikatan dengan saluran kalsium
subunit α2-δ, sehingga memodulasi masuknya kalsium pada saraf terminal
dan menurunkan pelepasan beberapa neurotransmiter eksitatori seperti
glutamat, noradrenalin, serotonin, dopamin, dan substansi P. Penurunan
pelepasan glutamat menyebabkan reseptor NMDA tidak teraktifasi. Hal ini
akan menginhibisi eksitabilitas neuron dan menurunkan sensitisasi sentral.
Proses inhibisi ini terjadi, khususnya pada area-area di sistem saraf pusat
yang padat sinaps, seperti neokorteks, amigdala, dan hipokampus.24
Banyak data menunjukkan bahwa IL-6 dan TNF-α diekspresikan
pada tahap awal trauma yang merupakan penanda kerusakan jaringan yang
paling sensitif. Ketika trauma terjadi, terminal saraf sensorik primer
terganggu, serat C dan Aδ melepaskan neurotransmitter informasi nyeri yaitu
substansi P. Sejumlah besar substansi P di sumsum tulang belakang
mempengaruhi transmisi nosiseptif. Pada saat yang sama, nosiseptor di
sekitar luka diaktifkan kemudian melepaskan substansi P. Sementara banyak
nosiseptor yang diaktifkan, membentuk lingkaran setan dan mempengaruhi
penyembuhan luka dapat menghambat pemulihan pascapersalinan.
Dilaporkan juga bahwa substansi P juga dapat meningkatkan metabolisme
asam arakidonat. 2
IL-6 dan IL-8 dilepaskan selama trauma menyebabkan inflamasi
dan nyeri. Pregabalin, yang diberikan preoperatif dapat meningkatkan efek
analgesik dan menurunkan pelepasan IL-6 dan IL-8 (inflamasi). Beberapa
penulis telah menunjukkan bahwa penggunaan pregabalin menyebabkan
penurunan sitokin inflamasi sebelum stimulus nyeri diberikan.27
Acetaminophen selektif menghambat siklooksigenase jaringan
saraf in vitro. Terlepas dari penghambatan sentral generasi prostaglandin,
mekanisme lain yang mungkin telah diusulkan. Hunskaar dkk melaporkan
bahwa acetaminophen menghambat hiperalgesia yang dimediasi substansi P
(SP) spinal, menunjukkan bahwa analgesia yang diinduksi acetaminophen
mungkin terkait dengan modulasi transmisi nosiseptif di jalur spinal dan
supraspinal. Pengamatan ini sangat menarik mengingat bukti terbaru yang
menunjukkan bahwa struktur postsinaptik di SSP menghasilkan oksida nitrat
(NO) dari L-arginin melalui proses enzimatik sebagai respons terhadap
aktivasi SP serta eksitasi reseptor asam amino.36
Pada tabel 9 menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna
antara kadar substansi P dan skor NRS diam maupun gerak pada 4 jam dan 6
jam pascabedah. Nilai koefisien korelasi pada kadar substansi P dan NRS
diam maupun gerak pada 4 jam pascabedah masing-masing 0,640 dan 0,728
menunjukkan kekuatan korelasi yang kuat sedangkan koefisien korelasi pada
kadar substansi P dan NRS diam maupun gerak pada 6 jam pascabedah
masing-masing 0,889 dan 0,925 menunjukkan kekuatan korelasi yang sangat
kuat.
Hasil ini didukung oleh penelitian Lalenoh dkk tahun 2014, dimana
terdapat hubungan yang signifikan (p<0,05) antara tingkat nyeri (VAS)
dengan kadar susbtansi P pada preemtif pregabalin oral 1 jam prabedah pada
operasi histerektomi. Terdapat perbedaan yang bermakna pada peningkatan
kadar substansi P dalam darah pascabedah pada kelompok kontrol
dibandingkan dengan kelompok pregabalin dengan kesimpulan bahwa
preemptif pregabalin akan mengurangi tingkat nyeri dari pasien yang
berkorelasi dengan penurunan kadar substansi P. 3
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN

8.1. Kesimpulan
8.1.1. Skor NRS diam dan gerak pada kelompok pregabalin 75 mg lebih
rendah dibandingkan kelompok pregabalin 50 mg kombinasi
parasetamol 1 gr intravena pascabedah SC
8.1.2. Rescue analgesia pada kelompok pregabalin 75 mg lebih rendah
dibandingkan kelompok pregabalin 50 mg kombinasi parasetamol 1 gr
intravena pascabedah SC
8.1.3. Kadar substansi P pada kelompok pregabalin 75 mg mengalami
penurunan dibandingkan kelompok pregabalin 50 mg kombinasi
parasetamol 1 gr intravena yang mengalami peningkatan pascabedah SC
8.1.4. Terdapat korelasi antara skor NRS diam maupun gerak dengan kadar
substansi P pascabedah SC

8.2. Saran
8.2.1. Lebih disarankan untuk digunakan preventif pregabalin 75 mg pada
pembedahan SC karena dapat menurunkan skor NRS dan tindakan
rescue fentanyl tanpa efek samping.
8.2.2. Perlu penelitian lainnya untuk mengetahui efek pemberian preventif
pregabalin untuk jenis pembedahan yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pogatzki-Zahn EM, Segelcke D, Schug SA. Postoperative pain-from


mechanisms to treatment. Pain. 2017;2(2):1-16.
2. Yu M, Zhao LF, Fang L, Lei Y. Clinical analysis of the effect of
preemptive analgesia with parecoxib sodium on the corresponding index in
cesarean section. J Hainan Med Univ. 2017 ; 23(17):75–8.
3. Lalenoh H, Tanra A, Yusuf I. The antinociceptive effects of pregabalin on
post-operative hysterectomy patient. J Anesth Clin Res. 2014; 5(11): 1-6
4. Elvidiansyah, Fuadi I, Sitanggang RH. Perbandingan efek pregabalin 150
mg dengan pregabalin 300 mg dosis tunggal terhadap nilai numeric rating
scale dan kebutuhan analgetik pascabedah pada pasien histerektomi
abdominal. J Anest Periop. 2014;2(2):145-52.
5. Gold MS. Peripheral pain mechanisms and nociceptor sensitization. In:
Ballantyne JC, Fisman SM, Rathmell JP, eds Bonica’s management of
Pain, 5th Ed. Wolters Kluwer; 2019. p. 330-1
6. Kumari A, Mahajan L, Singh G, Serangal P, Gupta R. To study the effect
of oral pregabalin as premedicant on post-operative analgesia in patients
undergoing hysterectomy after spinal anaesthesia. Ind J Clin Anaesth.
2017; 4(1):16–20.
7. Bertolini A, Ferrari A, Ottani A, Guerzoni S, Tacchi R, Leone S.
Paracetamol: new vistas of an old drug. CNS Drgu Rev. 2006; 12 (3-4):
250-75
8. Lee SY, Lee WH, Lee EH, Han KC, Ko YK. The effects of paracetamol,
ketorolac, and paracetamol plus morphine on pain control after
thyroidectomy. Korean J Pain. 2010; 23(2): 124-30.
9. Ali S, Sofi K, Dar AQ. Comparison of intravenous infusion of tramadol
alone with combination of tramadol and paracetamol for postoperative
pain after major abdominal surgery in children. 2017;11(2):472-6.
10. Cho EA, Kim N, Lee B, Song J, Choi YS. The effect of perioperative
pregabalin on pain after arthroscopic anterior cruciate ligament
reconstruction: a randomized controlled trial. J Clin Med. 2019;8(9):1-11.
11. Mishriky BM, Waldron NH, Habib AS. Impact of pregabalin on acute and
persistent postoperative pain: a systematic review and meta-analysis. Br J
Anaesth. 2015;114(1):10-31.
12. Poljak D, Chappelle J. The effect of a scheduled regimen of
acetaminophen and ibuprofen on opioid use following cesarean delivery. J.
Perinat. Med. 2020; 48(2): 153–6
13. Hassab AR, Fawzy HM, Elfawal SM, Kamaleldin DM. Comparative study
between paracetamol versus paracetamol and pregabalin combination for
postoperative analgesia in hip surgeries. An Int J Med. 2020;113(1):117-8

14. Borges NC, Silva BC, Pedroso CF, Silva TC, Tatagiba BS, Pereira LV.
Postoperative pain in women undergoing caesarean section. Enferm Glob.
2017; 48: 374–83.
15. Raja SN, Carr DB, Cohen M, Finnerup NB, Flor H, Gibson S, et al. The
revised international association for the study of pain definition of pain:
concepts, challenges and compromises. Pain. 2020;161(9): 1-7.
16. Vrooman BM, Rosenquist RW. Chronic pain management. In: Butterworth
JF, Mackey DC, Wasnick JD, eds. Morgan & Mikhail’s clinical
anesthesiology, 6th Ed. New York: McGraw-Hill; 2018. p. 1771-92
17. Gerbershagen HJ, Aduckathil S, Wijck AJM, Peelen LM, Kalkman CJ,
Meissner W. Pain intensity on the first day after surgery. Anesthesiology.
2013;118(4):934-44.
18. Brennan TJ, Pogatzki-Zahn EM. Pathophysiology of acute postoperative
pain. 2017;3: 3–6.
19. Macres SM, Moore PG, Fishman SM. Acute pain management In : Paul
G. Barash, eds. Clinical anesthesia, 8th Ed. Philadelphia : Wolters Kluwer
Health p.3923-4
20. Wainger BJ, Brenner GJ. Mechanisms of chronic pain. in: David E.
Longnecker, eds. Anesthesiology, 3rd ed. New York: McGraw-Hill. 2018.
p. 1446-7
21. Zhang J. The anatomy of postoperative pain in: Elliott JA, Smith HS, eds.
Handbook of acute pain management. Informa Healthcare.USA. 2016. p.1-
8.
22. Yam M, Loh Y, Tan C, Khadijah Adam S, Abdul Manan N, Basir R.
General pathways of pain sensation and the major neurotransmitters
involved in pain regulation. Int J Mol Sci. 2018 ;19(8):1-23
23. Helander EM, Menard BL, Harmon CM, Homra BK, Allain AV, Bordelon
GJ, Kaye AD. Multimodal analgesia, current concepts, and acute pain
considerations. Curr Pain Headache Rep. 2017; 21(3):1-10
24. Widyadharma IPE. Efektivitas pregabalin untuk terapi nyeri kronis:
evidence-based review. CDK-226. 2015;42(3):204-7.
25. Schmidt PC, Ruchelli G, Mackey SC, Carrol IR. Perioperative
gabapentinoids: choice of agent, dose, timing, and effects on chronic
postsurgical pain. Anesthesiology. 2013;119(5):1215-21.
26. Yamaguchi K, Kumakura S, Someya A, Iseki M, Inada E, Nagaoka I.
Anti‐inflammatory actions of gabapentin and pregabalin on the substance
P‐induced mitogen‐activated protein kinase activation in U373 MG human
glioblastoma astrocytoma cells. Mol Med. 2017;16: 6109-15
27. Santiago AQ, leal PD, Moura EC, Salomao R, Colo MK, Brunialti, Sakata
RK. Effect of preoperative pregabalin on analgesia and interleukins after
lumbotomy: prospective, randomized, comparative, double-blind study. J
Pain. 2019;12:339–44
28. Bockbrader HN, Wesche D, Miller R, Chapel S, Janiczek N, Burger P. A
comparison of the pharmacokinetics and pharmacodynamics of pregabalin
and gabapentin. Clin Pharmacokinet. 2010; 49 (10): 661-9
29. Bockbrader HN, Radulovic LL, Posvar EL, Strand JC, Alvey CW, Busch
JA, Randinitis EJ. Clinical pharmacokinetics of pregabalin in healthy
volunteers. J Clin Pharmacol. 2010;50:941-950
30. Flood P, Burbridge M. Antiepileptic and other nerologically active drugs.
In: Flood P, Rathmell JP, Shafer S, eds. Stoelting's pharmacology and
physiology in anesthetic practice, 5th Ed. Philadelphia: Wolters Kluwer
Health; 2015. p. 345-63.
31. Graham GG, Davies MJ, Day RO, Mohamudally A, Scott KF. .The
modern pharmacology of paracetamol: therapeutic actions, mechanism of
action, metabolism, toxicity and recent pharmacological
findings. Inflammo pharmacol. 2013;21(3):201-32.
32. Bonnefont J, Courade JP, Alloui A, Eschalier A. Antinociceptive
mechanism of action of paracetamol. Drugs. 2003;63(2):1-4.
33. Tekieh E, Manaheji H, Zaringhalam J, Maghsoudi N, Alani A, Zardoof H.
Increased serum interleukin-6 level time-dependently regulates
hyperalgesia and spinal mu opioid reseptor expression during CFA-
induced arthritis. ECLI J 2011;10: 23-33
34. Jun-hua Z, Yu-guang H. Immune system: a new look at pain. Chin Med J
2006;119:930-8.
35. Xiang Q, Loke W, Yeo WS, Yan KY, Tan CH. A Meta-Analysis of the
Utility of Preoperative Intravenous Paracetamol forPost-Caesarean
Analgesia. Medicina. 2019;55(424): 1-9
36. Choi SS, Lee JK, Suh HW. Antinociceptive profiles of aspirin and
acetaminophen in formalin, substance P and glutamate pain models. Brain
Research.2001; 921: 233–9
37. Suvas S. Role of substance P neuropeptide in inflammation, wound
healing, and tissue homeostasis. J Immunol 2017; 199:1543-52
38. Vink R, Gabrielian L, Thornton E. The role of substance P in secondary
pathophysiology after traumatic brain injury. Fneur.2017; 8(304): 1-8
39. Rachmawati Y, Hidayati H. The role of substance P in chronic low back
pain. J Islamic Pharm. 2019; 4(2): 9-14
40. Campbell DE, Raftery N, Tustin R, Tustin NB, DeSilvio ML, Cnaan A,
Aye PP, et al. Measurement of plasma-derived substance P : biological,
methodological, and statistical considerations. Clin Vaccine Imunol. 2006;
13 (11): 1197–203
41. Sahbaie P, Shi X, Guo T, Qiao Y, Yeomans D, Kingery W, Clark J. Role
of substance P signaling in enhanced nociceptive sensitization and local
cytokine production after incision. Pain. 2009;145:341–9
42. O’connor TM, O’connell J, O’brien D, Goode T, Bredin CP, Shanahan F.
The role of substance P in inflammatory disease. J Cell Physiol. 2004;
201:167–80.
43. Kenany SE, Tahan MR. Effect of preoperative pregabalin on post-
caesarean delivery analgesia: a dose- response study. IJOA. 2016; 26:24-
31

Anda mungkin juga menyukai