Anda di halaman 1dari 12

GATOT KACA

TOKOH WAYANG KULIT

Kisah kelahiran Gatotkaca dikisahkan secara tersendiri dalam pewayangan Jawa. Namanya sewaktu
masih bayi adalah Jabang Tetuka (Kaelola dalam Widyokusumo, 2010:188- 189). Waktu dilahirkan
Tetuka berupa raksasa; karena sangat saktinya, tidak ada senjata yang dapat memotong tali
pusarnya. Kemudian tali pusar itu dapat juga dipotong oleh sarung senjata Karna yang bernama
Konta, tetapi sarung senjata itu masuk ke dalam perut Tetuka, dan menambah lagi kesaktiannya
(Kaelola dalam Saptodewo, 2013: 242). Versi pewayangan Jawa melanjutkan, waktu berjalan dari
hari berganti hari, bulan berganti bulan. Bambang Tetuka sekarang telah dapat berjalan dan sangat
lincah. Dan Batara Narada mengatakan bahwa sudah waktunya untuk Tetuka. Kata-kata itu
membuat Bimasena heran dan bertanya apa maksudnya. Dijelaskanlah oleh Batara Narada kalau
dirinya membawa tugas untuk meminjam Bambang Tetuka untuk membantu para dewa membasmi
keangkaramurkaan Prabu Kalapracona (Kaelola dalam Saptodewo, 2013: 242). Dengan kehendak
Dewa-Dewa, Tetuka itu dimasak sebagai bubur dan diisi dengan segala kesaktian; karena itu
nantinya Raden Gatotkaca berurat kawat, bertulang besi, berdarah gala-gala, dapat terbang diawan
dan duduk diatas awan yang melintang. Kecepatan Gatotkaca pada saat terbang diawan sebagai
kilat, liar sebagai halilintar (Hardjowirogo dalam Saptodewo, 2013: 242). Tetuka kemudian bertarung
dengan Patih Sekipu dan berhasil membunuhnya menggunakan gigitan taringnya. Kresna dan
Pandawa saat itu datang menyusul ke kahyangan. Kresna kemudian memotong taring Tetuka dan
menyuruhya berhenti menggunakan sifat-sifat kaum raksasa (Kaelola dalam Saptodewo, 2013: 242-
243). Batara Guru raja kahyangan menghadiahkan seperangkat pakaian pusaka, yaitu Caping
Basunanda, Kotang Antrakusuma, dan terompah Pandakacarma untuk dipakai Tetuka, yang sejak
saat itu diganti namanya menjadi Gatotkaca. Dengan menggunakan pakaian pusaka tersebut,
Gatotkaca mampu terbang secepat kilat menuju Kerajaan Trabelasuket dan membunuh Kalapracona
(Kaelola dalam Saptodewo, 2013: 243). Dalam bahasa Sansekerta, nama Gatotkaca secara harafiah
bermakna “memiliki kepala seperti kendi”. Nama ini terdiri dari dua kata, yaitu ghat(tt)am yang
berarti “buli-buli” atau kendi dan utkacha yang berarti “kepala”. Nama ini diberikan kepadanya
karena sewaktu lahir kepalanya konon mirip dengan bulibuli atau kendi (Kaelola dalam Saptodewo,
2013: 243). / Gambar 1. Sketsa transformasi Bambang Tetuka. (Sumber: F. Saptodewo, 2015) Bentuk
boneka wayang Gatotkaca dalam wayang kulit gaya Surakarta digambarkan sebagai berikut: /
Gambar 2. Boneka wayang Gatotkaca (Koleksi: Bambang Soewarno. Foto: Fidelia, 2018) Dari fisiknya
Gatotkaca bermata telengan (membelalak), berhidung dempak, berkumis dan berjenggot.
Berjamang tiga susun, bersunting waderan, bersanggul kadal menek, bergaruda membelakang,
berpraba, berkalung ulur-ulur, bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Berkain kerajaan lengkap,
(Hardjowirogo dalam Saptodewo, 2015: 24). Dalam bentuk tersebut terdapat simbol-simbol yang
juga menjelaskan status Gatotkaca yang merupakan seorang raja muda di Negeri Pringgadani.
Menggantikan sang ibu, Dewi Arimbi. Maka dari itu Gatotkaca menggenakan busana kerajaan
lengkap. Struktur bagian dari wayang kulit ini dibagi menjadi tiga yaitu, bagian kepala, bagian badan,
dan bagian kaki. Pada tiap bagian tersebut melekat berbagai busana dan atribut yang memiliki
makna sebagai simbol atau perlambang dari kekuasaan. Busana kerajaan yang digunakan oleh
Gatotkaca antara lain jamang 3 susun, garuda mungkur, praba, kalung ulur-ulur, gelang, kelat bahu,
kuncan yang merupakan busana bagian bawah seorang raja, uncal kencana, uncal wastra, dan juga
binggel atau yang biasa dikenal gelang kaki. Jamang amang Gatotkaca (Koleksi: Bambang Soewarno.
Foto: Fidelia, 2018) / Gambar 4. Sketsa Jamang (Foto: Fidelia, 2018) Gatotkaca menggunakan jamang
tiga susun, dengan susunan segitiga yang bersusun ke atas. Jamang merupakan ikatan kepala apabila
tokoh tidak menggunakan mahkota. Hanya kalangan raja yang menggunakan jamang bersusun tiga.
Tiga susun bermakna awal, tengah, dan akhirnya kehidupan yang menggambarkan tentang
kesempurnaan hidup. Garuda mungkur / Gambar 5. Garuda Mungkur Gatotkaca (Koleksi: Bambang
Soewarno. Foto: Fidelia, 2018) / Gambar 6. Sketsa Garuda Mungkur (Foto: Fidelia, 2018) Gatotkaca
mengenakan hiasan garuda mungkur. Hiasan yang melekat pada bagian belakang gelung atau
mahkota, biasanya dikenakan oleh golongan raja, ksatria, para punggawa dan juga patih. Garuda
mungkur dapat menolak marabahaya yang berasal dari arah belakang. Praba / Gambar 7. Praba
Gatotkaca (Koleksi: Bambang Soewarno. Foto: Fidelia, 2018) / Gambar 8. Sketsa Praba (Foto: Fidelia,
2018) Praba merupakan hiasan yang terletak pada punggung wayang yang diikatkan pada bahu.
Praba merupakan lambang singgahsana, maka biasanya digunakan oleh raja atau patih yang besar.
Dan juga praba tersebut diikat oleh tali praba yang terletak pada dada boneka wayang. Kalung /
Gambar 9. Kalung Gatotkaca (Koleksi: Bambang Soewarno. Foto: Fidelia, 2018) / Gambar 10. Sketsa
Kalung (Foto: Fidelia, 2018) Kalung yang merupakan hiasan pada leher dapat meunjukkan tingkat
jabatan dari tokoh wayang, yang digunakan Gatotkaca berbentuk kalung ulur-ulur karangrang. Yang
merupakan lambang dari seorang raja. Gelang / Gambar 11. Gelang Gatotkaca (Koleksi: Bambang
Soewarno. Foto: Fidelia, 2018) / Gambar 12. Sketsa Gelang (Foto: Fidelia, 2018) Aksesoris gelang
hiasan yang berada ditangan pada wayang dapat menentukan kedudukan dan karakter tokoh
wayang tersebut. Gatotkaca menggunakan Gelang Kana Calumpringan, dikenakan tokoh pendeta,
raja dan juga ksatria. Kelat Bahu Gatotkaca / Gambar 13. Kelat Bahu Gatotkaca (Koleksi: Bambang
Soewarno. Foto: Fidelia, 2018) / Gambar 14. Sketsa Kelat Bahu (Foto: Fidelia, 2018) Kelat bahu
hiasan yang digunakan pada bagian lengan, menunjukkan juga status sosial dari pemakainya. Kelat
bahu yang dipakai Gatotkaca adalah Naga Memangsa atau Naga Rangsang adalah kelat bahu yang
biasa dipakai oleh raja-raja. Kuncan / Gambar 15. Kunca Gatotkaca (Koleksi: Bambang Soewarno.
Foto: Fidelia, 2018) / Gambar 16. Sketsa Kuncan Foto: Fidelia, 2018) Kuncan merupakan busana
bagian bawah untuk pakaian kerajaan. Kuncan terdapat beberapa elemen-elemen busana untuk
membedakan dengan tokoh wayang yang bukan seorang raja. Uncal kencan____a dan wastra /
Gambar 17. Uncal kencana dan wastra Gatotkaca (Koleksi: Bambang Soewarno. Foto: Fidelia, 2018) /
Gambar 18. Sketsa uncal kencana (Foto: Fidelia, 2018)/Gambar 19. Sketsa uncal wastra (Foto:
Fidelia, 2018) Uncal ada dua macam, yaitu uncal kencan dan uncal wastra. Uncal wastra atau
selendang dan uncal kencana berbentuk wajik memanjang dan menggantung di sekitar kaki.
Gatotkaca memakai uncal kencana dan wastra. Yang membedakan tokoh raja dengan lainnya ialah
terdapat pada uncal wastra. Pada tokoh biasa tidak menggunakan uncal wastra hanya menggunakan
uncal kencana. Binggel / Gambar 20. Binggel Gatotkaca (Koleksi: Bambang Soewarno. Foto: Fidelia,
2018) / Gambar 21. Sketsa Binggel (Foto: Fidelia, 2018) Binggel atau gelang kaki bisa menentukan
kedudukan dan karakter dari tokoh yang memakainya. Binggel yang digunakan Gatotkaca adalah
kroncong yang berbentuk dhapur nagaraja. Busana tidak tampak Gatotkaca Busana Gatotkaca secara
wujud tak hanya pada wujud yang terlihat atau tampak oleh mata tetapi terpadat pula busana yang
tak tampak. Busana yang tampak seperti yang sudah disebutkan. Sedangkan, yang tidak tampak
merupakan pakaian pusaka yang diberikan kepada Gatotkaca sebagai hadiah karena sudah
membantu para dewa. Ada tiga pakaian pusaka yang dimiliki oleh gatotkaca yaitu: Caping
Basunanda, merupakan penutup kepala yang membuat Gatotkaca mampu merasa kepanasan jika
terkena panas dan tidak basah ketika hujan. Kotang Antrakusuma, baju yang membuat Gatotkaca
mampu terbang dengan sangat cepat dan tampa tumpuan walau tanpa menggunakan sayap.
Terompah Padakacarma, sepasang alas kaki yang membuat Gatotkaca akan terlindungi dari
pengaruh jahat dari suatu tempat yang dia lewati, sehingga dia bebas melintasi tempat-tempat
angker atau bahaya. Dengan ketiga pakaian pusaka tersebut semakin menambah kesaktian dari
Gatotkaca yang sudah terkenal dengan julukan “otot kawat, tulang besi”. Membuat Gatotkaca
mampu melakukan serangan dari udara
ARIMBI
TOKOH WAYANG KULIT

Cinta adalah urusan hati. karena itu tidak mengenal kelas tinggi rendahnya derajat, kaya
miskin, suku bahkan yang berlainan bangsa. Bila cinta telah bersemi dalam dua hati sulit
untuk dipisahkan. Walaupun demikian bukan berarti tidak ada batas kewajaran ketentuan
yang hak dan non hak, baik menurut ketentuan adat istiadat maupun azas peradaban manusia.

Tetapi yang namanya cinta terkadang melanggar peradaban hak azasi seperti makhluk
raksesa jatuh cinta kepada bangsa manusia. Tentu saja itu hanya terjadi dalam cerita seperti
cerita pewayangan raksesi Arimbi jatuh cinta kepada Bima sebagai simbol manusia. Tetapi
itu pun hanya merupakan lambang semata.
Awal terjadinya cinta itu ketika kaum Pandawa sedang menjalani hukum buang akibat kalah
main judi dengan Kurawa hingga harus menderita merana di hutan belantara. Ketika itu
Pandawa bersama ibunya sedang meneduh di bawah sebuah pohon yang daunnya amat
rindang. Karena kelelahan yang amat sangat, mereka tertidur dengan lelap hanya Bima yang
menjaga menolak bahaya yang mungkin datang. Ternyata mereka berada di daerah kekuasaan
raja raseksa yang ganas beranma Arimba penguasa kerajaan Pringgandani.

Si raja itu mengetahui bahwa ada beberapa orang sedang meneduh di daerah kekuasaannya.
Segera diperintahkan adiknya raseksi Arimbi untuk membunuh orang-orang itu. Berangkatlah
si raseksi yang sama ganasnya itu menuju tempat para Pandawa sedang beristirahat.
Tetapi apa yang terjadi? Begitu si raseksi melihat Bima yang gagah dan tampan rupawan,
mendadak dalam hatinya timbul rasa cinta terhadap sang pengawal itu. Buyarlah niat ingin
membantai dan tanpa sadar terlepas kata-kata: “Duh, biang, biang, cukup banyak laki-laki
yang telah kutemui, tapi tak setampan dan segagah dia. Tubuhnya yang jantan bertenaga
rahasia, gerak-gerikanya menarik menyeret hati. Duhai Dewa Asmara lepaskan anak
panahmu agar mengenai jantungnya, bakarlah naluri kejantanannya.”
Maklum adat raseksi yang tidak tahu malu, didatangilah Bima dan dirayunya bahkan
mengajak kawin. Tentu saja Bima menjadi marah dan Arimbi hendak dibunuhnya, tapi
secepat kilat si raseksi menjatuhkan diri dan sujud di hadapan Dewi Kunti seraya mohon
tolong. Seketika Kunti pun terbangun serta mencegah niat sang Bima hendak membunuh
raseksi itu.

Tiba-tiba muncul raseksa Arimba serta mengetahui apa yang sedang terjadi dengan adiknya.
Tentu saja raseksa itu dengan amat murkanya hendak membantai para Pandawa. Tetapi
dengan sigap pula Bima menghadang dan terjadilah pertarungan dahsyat antara Bima dengan
Arimba yang berakhir dengan terbunuhnya raja Pringgandani itu. Belum puas membunuh
Arimba, Bima berbalik hendak menjambak Arimbi tetapi dengan sigap pula si raseksi
merangkul Dewi Kunti untuk minta dilindungi dan menyatakan cintanya kepada sang Bima.
Sang Dewi seperti digerakkan hatinya seketika timbul rasa kasihnya. Sambil memelai-belai
rambut gimbalnya bagai kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya, serta dengan kata-kata
memuji kecantikan si raseksi, agaknya kata-kata pujian itu sudah dikehendaki Dewata, karena
tiba-tiba wujud raseksi yang menjijikkan itu seketika berubah menjadi seorang putri yang
benar-benar cantik jelita. Sang ibu yang bjak dan manusiawi itu minta agar Bima mau
mengawini raseksi yang telah berubah menjadi seorang putri yang cantik itu. Demikianlah
keadilan dan kasih sayang Tuhan terhadap umatnya tanpa membedakan golongan, maka hal
yang tidak masuk akal pun atas kehendaknya dapat terwujud. Bagi Pandawa persitiwa ini
merupakan nilai tambah di tengah derita yang dialami masih sempat berbuat amal menolong
makhluk raseksi yang dengan kejujuran dan keikhlasannya, ingin menjadi makhluk yang baik
dan berbudi luhur.

Secara rohaniah perkawinan Bima dengan raseksi Arimbi merupakan lambang, bahwa Bima
mampu mengendalikan nafsu angkaranya untuk tidak membunuh Arimbi. Dari hasil
perkawinan itu lahirlah seorang putra diberi nama Gatotkaca yang kelak akan menjadi
seorang pahlawan pembela keadilan dan kebenaran. Sedangkan Arimbi akhirnya menjadi ratu
negara Pringgandani menggantikan kedudukan Braja Arimba.
ARJUNA
TOKOH WAYANG KULIT

Arjuna lantas berpamitan dan berjalan menuju Gunung Indrakila. Perjalanan ke sana
membutuhkan waktu berbulan-bulan. Namun, Arjuna rela berkorban demi saudara-
saudaranya. Setelah sekitar beberapa bulan, udara dingin pegunungan sudah mulai
terasa, tanda perjalanan hampir sampai ke tujuan. Akhirnya, beberapa minggu kemudian,
sampailah ia di lereng Gunung Indrakila. Ia mencari goa untuk bertapa, akhirnya
ditemuilah sebuah goa yang dianggapnya nyaman.  Sebelumnya, ia mandi dulu di sungai,
supaya dalam melaksanakan tugas suci ini berada dalam keadaan suci. Lantas,
bertapalah ia dengan khusu. Seiring berjalannya waktu, Arjuna dikenal oleh penduduk
setempat dengan Begawan Ciptaning Mintaraga.
            Kita beralih ke suatu kerajaan bernama Imantaka. Rajanya bernama Prabu
Niwatakawaca, seorang yang sakti mandraguna, sehingga banyak disegani raja-raja.
Tubuhnya kebal, tidak mempan oleh senjata apapun, karena ia mempunyai Aji Soka
Wedha. Dahulu, Batara Guru pernah memberinya hadiah atas ketekunannya dalam
bertapa,diberilah ia Aji Soka Wedha. Namun, kekuasaan dan harta yang ia miliki rasanya
belum lengkap bila ia belum mampu memiliki Batari Supraba, bidadari paling cantik di
kahyangan, putri Batara Indra.
            Suatu hari, ia memanggil patihnya yang bernama Mamangmurka. “Mamangmurka,
kau pun telah tahu tidak ada raja di dunia ini yang sesakti aku,“
            “Iya, Gusti. Gusti adalah raja yang tiada bandingannya,“
            “Namun, kesaktian dan kekuasaan itu sepertinya belum membuatku puas,
Mamangmurka.“
            “Lalu, apa yang akan membuat Gusti puas?“
            “Aku kini sedang dilanda rindu asmara kepada Batari Supraba. Maka dari itu, aku
beri engkau tugas untuk melamar Batari Supraba ke Suralaya,“
            “Bagaimana kalau ditolak, gusti?“
            “Kita akan gempur Suralaya sampat rata dengan tanah. Sudah, ayo berangkat,
Mamangmurka!“
“Baik, Gusti. Mohon pamit, Gusti“. Patih Mamangmurka segera melesat ke angkasa
menuju kahyangan. Gunung-gunung yang menjulang tinggi itu dilewatinya secepat kilat.
            Beberapa jam kemudian, sampailah Mamangmurka di pintu gerbang
Selamatangkap. Di sana ia dihadang oleh Sanghyang Cingkarabala dan Sanghyang
Balaupata.
“Siapa sampeyan? Apa maksud sampeyan kemari?“, tanya Cingkarabala.
Mamangmurka  menjawab, “Saya Mamangmurka, utusan Prabu Niwatakawaca, ingin
bertemu Pukulun Batara Indra,“
“Untuk apa bertemu Pukulun Batara Indra?“
“Saya hendak menyampaikan lamaran rajaku kepada putrinya, Batari Supraba,“
“Tidak bisa, sampean tidak saya izinkan. Lebih baik kembali kenegaramu!“ Pada
saat itu, Batara Indra datang menhampiri mereka. “Hahaha, akhirnya Batara Indra keluar
juga.“
“Aku sudah tahu maksudmu,“
“Ya, ya, lalu bagaimana lamaran rajaku, apakah diterima, Pukulun?“
“Lamaran rajamu akan diterima jika dapat memberikan maskawin berupa Bunga
Sumarsana Wilis.“
“Kira-kira dimana tumbuh bunga itu, Pukulun?“
“Cukup sulit menemukannya. Bunga itu hanya tumbuh sekali dan hanya satu
sepanjang masa. Kini telah dimiliki oleh Arjuna, ksatria Pandawa. Kau bisa meminjamnya
untuk keperluan,”
“Baik, Pukulun. Terimakasih, Pukulun.“ Mamangmurka lantas langsung pergi
meninggalkan Batara Indra. Ia kembali ke negaranya, untuk memberi tahu hasil
lamarannya kepada rajanya. Dengan rasa bangga, ia kembali melewati rangkaian gunung-
gunung tinggi tersebut, menuju negaranya, Imantaka.
“Gusti Prabu Niwatakawaca, saya membawa kabar gembira, Gusti,“
“Eittt, ya, ya, berhasilkah lamaranku? Tapi… mana Supraba, Mang?“
“Begini, Gusti. Lamaran Gusti belum diterima, namun Pukulun Batara Indra
menyarankan Gusti mencari Bunga Sumarsana Wilis, mungkin sebagai maskawin, Gusti,“
“Bunga Sumarsana Wilis? Apa itu, Mang? Dimana kita dapat mencarinya?“
“Saya tahu, Gusti, diberi tahu Pukulun Batara Indra. Bunga itu hanya ada satu di
dunia ini. Namun, bunga itu sudah dimiliki, Gusti,“
“Siapa yang memilikinya, Mang?“
“Menurut keterangan Batara Indra, yang memilikinya ialah Raden Arjuna, Gusti“
“Arjuna? Arjuna penengah Pandawa?“
“Benar, Gusti,“
“Hmm, yo wis, sekarang juga pergilah mencari Arjuna dan bawa Bunga Sumarsana
Wilis!“
“Sekarang, Gusti? Tetapi saya tidak tahu dimana keberadaan Arjuna,“
“Para Pandawa sedang diasingkan di Rimba Kamyaka. Carilah dia sampai dapat!“
Sungguh pekerjaan melelahkan, Mamangmurka belum istirahat dan sudah ditugaskan lagi
oleh rajanya. Mau tidak mau dia harus taat.
Mamangmurka terbang menuju Rimba Kamyaka, mencari para Pandawa, khusunya
Arjuna. Namun, ia belum tahu kalau Arjuna sedang bertapa di Gunung Indrakila. Ia cari
saja para Pandawa dan akhirnya ketemulah mereka. Mamangmurka sangat waspada. Ia
takut keberadaannya diketahui mereka, khususnya Bima yang badannya tinggi besar.
Maka, ia mengambil langkah dengan merapal Aji Panglimunan. Tubuhnya bagaikan
menghilang, tidak akan ada orang yang melihatnya, walaupun ia disampingnya. Namun,
kagetlah ia ketika melihat tidak ada Arjuna diantara orang-orang itu. Hanya ada empat
ksatria dan satu orang wanita. Maka, ia menguping pembicaraan para Pandawa, siapa
tahu bisa dapat informasi tentang Arjuna.
“Kanda Yudhistira, lebih baik kita pindah dari tempat ini. Pasti si Duryudhana
sudah mengirim mata-mata untuk mencari kita. Jangan sampai para Kurawa mengetahui
keberadaan kita, Kanda,“ Bima sepertinya sangat waspada apa yang bakal dilakukan para
Kurawa.
“Jangan dulu, Yayi. Nanti bagaimana jika Yayi Arjuna pulang dari Gunung
Indrakila, dia pasti mencari kita di tempat ini. Tunggulah sampai Yayi Arjuna pulang.“
Berhasil juga siasat Mamangmurka. Dia akhirnya bisa mengetahui dimana keberadaan
Arjuna. Ia lantas pergi ke Gunung Indrakila mencari Arjuna.
Sesampainya di lereng Gunung Indrakila, ia mencari goa yang ditempati Arjuna.
Setelah beberapa goa dilewati dan diperiksa,akhirnya ditemuilah satu goa, didalamnya
terlihat seorang pemuda tampan berpakaian seorang begawan. Ialah Arjuna, atau biasa
dikenal penduduk setempat dengan nama Begawan Ciptaning Mintaraga. Kelihatannya
sungguh khusyuk tapanya itu. Mamangmurka sampai kagum melihatnya. Namun, di balik
kekagumannya, ia bingung, bagaimana cara membangunkan sang petapa.
Tiba-tiba di kepalanya muncullah sebersik ide. Ia akan menyamar menjadi seorang
pengemis tua, yang hendak meminta sedekah dari sang Begawan.
Lalu, berubahlah Patih Mamangmurka menjadi seorang kakek tua dengan pakaian
baju lusuh. Mukanya dibuat semelas mungkin, agar dapat menggoyahkan tapa sang
Begawan. Dengan suara memelas, ia merintih kepada Begawan Mintaraga, “Oh, sang
Begawan, tolonglah hamba yang belum makan dua hari. Sedekahkanlah sedikit saja harta
panjenengan kepada saya, hanya untuk sesuap nasi, Raden,” Namun, sang petapa tahan
godaan ini tak bergeming sedikit pun. Mamangmurka merasa tidak puas. Ia kembali
mencoba, “Raden, kasihanilah hamba, Den bagus,” Sang Begawan tetap tidak bergerak
dari tempatnya duduk.
Akhirnya, Mamangmurka mencari akal lain. Ia mencari cara agar ada sesuatu yang
dapat membuat tapanya terganggu, sehingga bangun. Kembali ia mendapat harapan. Ia
dapat berubah menjadi seekor celeng raksasa, yang merusak lingkungan sekitar. Hal itu
dapat membuat Arjuna terganggu dengan suara tidak sedap, dan bangun dari tapanya.
Mamangmurka langsung menjauh dari goa, merapal ajian, lalu jadilah
Mamangmurka menjadi wujud seekor celeng raksasa. Kakinya mulai bersiap untuk
berjalan. Kepalanya telah siaga untuk menghajar apa pun yang dilewatinya. Tiba-tiba, si
celeng berlari, menabrak pohon. Seketika itu juga, pohon itu tumbang. Si celeng tak henti-
hentinya menyeruduk lingkungan sekitarnya, hingga sang Begawan terbangun daru tapa
khusyuknya.
Begawan Ciptaning Mintaraga atau Arjuna, dapat mendengar suara binatang
mengaum dan grusak-grusuk pohon tumbang. Merasa tak nyaman, ia terpaksa membuka
matanya. Dilihatnya pohon-pohon pada tumbang semua, hutan jadi berantakan. Ternyata
itu ulah seekor celeng raksasa. Rumah-rumah penduduk juga menjadi korban amukannya.
Ia menjadi tercengang melihatnya.
Tiba-tiba, dari arah kanan muncul seseorang berperawakan seorang resi.
“Sampurasun, Begawan Ciptaning Mintaraga,” Resi tersebut menyapa duluan.
“Panjenengan resi siapa? Telah tahu namaku?”
“Saya Resi Padya,”
“Ada apa panjenengan kemari?”
“Sampeyan bertapa tetapi mengapa masih membawa senjata? Dalam bertapa,
seharusnya telah dijauhkan dari pikiran duniawi.”
“Saya ini seorang ksatria. Saya membawa ini untuk menolong orang yang
membutuhkan,”
“Baiklah, kalau begitu, kau lihat celeng raksasa itu?”
“Iya, Resi,”
“Kalau kau ingin menolong orang yang membutuhkan, hambatlah celeng
tersebut,”
“Baik, Resi. Saya akan segera ke sana,”
“Untuk bekal, gunakan ini,” Tiba-tiba resi tersebut berubah menjadi Batara Indra,
memberi panah Ganapaksi.
“Oh, Rama Batara,”
“Arjuna, ini panah Ganapaksi. Jumlahnya tak terbatas, tak akan habis. Gunakanlah
ini untuk membunuh celeng tersebut, anakku.”
“Terimakasih, Rama.” Arjuna segera mohon pamit kepada Batara Indra dan
melesat untuk menghadang celeng raksasa tersebut.
Tak lama, ia telah berada di tempat celeng tersebut sedang mengamuk. Melihat
Arjuna, si celeng langsung membalikkan badan dan langsung berlari hendak menyeruduk
Arjuna. Arjuna dengan mudah mengelak ke samping. Pertarungan berlangsung sengit.
Celeng raksasa tersebut ternyata sangat sakti. Arjuna akhirnya mencoba keampuhan
panah Ganapaksi dari Batara Indra. Diambilnya panah Ganapaksi, lalu direntangkanlah
busur, dan dilepas tepat mengenai perut si celeng. Namun, pada saat yang sama, sepucuk
panah jugameluncur kea rah perut celeng tersebut. Arjuna mengalihkan pandangan,
dilihatnya seorang ksatria yang sangat tampan. “Siapa sampean?” Tanya ksatria tersebut.
“Saya Begawan Ciptaning Mintaraga, sampeyan siapa?”
“Sampeyan tak perlu tahu namaku. Yang jelas celeng ini milikku,”
“Jangan ngawur, ksatria. Aku memanahnya baru saja,”
“Coba, kita periksa,” Dilihatlah oleh kedua ksatria tersebut. Ternyata, hanya ada
satu anak panah di perut si celeng. Arjuna terheran-heran. “Ini anak panahku, pemberian
Batara Indra. Sampean tidak bisa mengelak lagi.”
“Tidak, itu panahku. Jangan mengklaim yang tidak-tidak sampeyan!”
“Sampeyan ini sebenarnya siapa? Datang-datang membuat keributan, lebih baik
kita lihat siapa yang lebih sakti.” Arjuna terpancing emosi. Ia menantang si ksatria untuk
mengadu kesaktian.
Lalu, mulailah mereka bertarung. Ternyata, Arjuna lebih sering menangkis
daripada menyerang. Arjuna sangat heran, tidak pernah ada lawan setangguh ini, ia tak
diberi kesempatan oleh si ksatria. Arjuna tampak kewalahan. “Baiklah, saya mengaku
kalah. Tetapi bolehkah saya tahu sampeyan ini siapa, ksatria?” Si ksatria berubah menjadi
Batara Guru. Arjuna terduduk member hormat. “ Maafkan saya, Pukulun.”
“Tak apa-apa, Arjuna. Tapamu telah lulus. Kuberi kau panah Pasopati. Tetapi, kau
masih mempunyai tugas, yaitu membunuh Prabu Niwatakawaca yang sedang membabi
buta di kahyangan.”
“Baiklah, saya bersedia, Pukulun,” Arjuna langsung diantar Batara Guru ke
Jonggringsaloka.
Sesampainya di sana, balatentara Imantaka telah menunggu di depan gerbang
Suralaya. Sedangkan Arjuna bertemu Batari Supraba. Arjuna mengatur siasat untuk
mengalahkan Prabu Niwatakawaca yang kebal. Batari Supraba disuruh pergi ke Imantaka
untuk merayu Prabu Niwatakawaca agar memberi tahu kelemahannya, sementara Arjuna
mengikuti dalam Aji Panglimunan. Setelah beberapa lama akhirnya diketahui bahwa
kelemahan sang prabu adalah langit-langit mulutnya. Arjuna mengarahkan Pasopati
kearah langit-langit mulutnya. Namun Prabu Niwatakawaca mendengar desingan panah
Arjuna. Ia segera menghindar, sehingga tidak mengenainya. Melihat kejadian tersebut,
Arjuna segera melarikan Batari Supraba. Prabu Niwatakawaca marah besar. Ia langsung
menyerang ke Suralaya.
            Di Suralaya, balatentara Imantaka telah siap perang. Tiba-tiba dihadang balatentara
Dewata yang dipimpin oleh Arjuna, yang telah sampai pula di Suralaya. Terjadi
pertarungan yang seru. Tampak Arjuna bertarung melawan Prabu Niwatakawaca. Ternyata
Arjuna cukup kewalahan menghadapi raja raksasa yang amat sakti tersebut. Pada suatu
kesempatan ketika Arjuna makin terdesak, tiba-tiba datanglah Batari Supraba. Ia
mengalihkan perhatian. Ia pura-pura menyerahkan diri kepada Prabu Niwatakawaca. Lalu
Prabu Niwatakawaca menangkap Batari Supraba sambil tertawa terbahak-bahak, pada
saat itulah Arjuna dengan gesit melepaskan Pasopati ke langit-langit mulut Prabu
Niwatakawaca. Akhirnya matilah Prabu Niwatakawaca.
            Berkat jasanya kepada Dewata, Arjuna diperkenankan menetap di Swargaloka
untuk sementara waktu dan dinikahkan dengan Batari Supraba. Setelah itu, Arjuna harus
kembali ke Rimba Kamyaka untuk menemui saudaranya. Dengan membawa kabar
gembira, panah Pasopati telah menjadi senjata andalannya. Suatu hal  yang sangat
istimewa, karena merupakan pemberian langsung Batara Guru, penguasa jagat raya.
Sedangkan Batari Supraba di kemudian hari melahirkan seorang putra yang diberi nama
Raden Prabakusumah.
BASUPATI
TOKOH WAYANG KULIT

Dalam wiracarita Mahabharata, Prabu Basupati alias Prabu Basuparicara adalah putera Bathara


Srinada atau Prabu Basurata, raja negara Wirata yang pertama dengan permaisuri Dewi Bramaniyuta,
Putri Batara Brahma. Prabu Basupati benar saudara kandung yang lebih muda kandung bernama
Bramananeki yang menikah dengan Bambang Parikenan, putra Bathara Bremani atau Brahmanaresi
dengan Dewi Srihuna alias Srihunon.

Karena ketekunannya bertapa, Prabu Basupati menjadi sangat sakti, juga kenal segala bahasa binatang.
Dia mendapat anugerah Batara Indra berwujud sebuah kereta sakti bernama "Amarajaya" lengkap
dengan bendera perangnya yang membuatnya kebal terhadap segala jenis senjata. Dengan kereta sakti
Amarajaya, Prabu Basupati menaklukkan tujuh negara, masuk ke dalam wilayah kekuasaan
negara Wirata.

Prabu Basupati menikah dengan Dewi Angati atau Dewi Girika, putri Bagawan Kolagiri dengan Dewi
Suktimati. Dari perkawinan tersebut, dia mendapat tiga orang putra masing-masing bernama Arya
Basunada, Arya Basukesti dan Arya Bamurti.

Prabu Basupati memerintah negara Wirata sampai berusia lanjut. Dia menyerahkan tahta Kerajaan Wirata
untuk Arya Basunada, kemudian hidup sebagai brahmana sampai meninggal dalam kondisi bermudra.
KUNTIBONJA
TOKOH WAYANG KULIT

 Kuntiboja adalah ayah angkat Kunti, ibu para Pandawa. Dia


adalah penguasa Kerajaan Kunti. Dia adalah saudara
sepupu Surasena, seorang bangsawan Yadawa, yang juga
adalah kakek Kresna. Hubungan antara Kuntiboja dan
Surasena sangat dekat, layaknya saudara[1]
Menurut Adiparwa, pada mulanya Kuntiboja tidak memiliki
anak. Kuntiboja bingung memikirkan masalah ini. Karena
rasa sayangnya terhadap Kuntiboja, akhirnya Surasena
memberikan putri sulungnya[2] yang bernama Perta untuk
diangkat sebagai anak.[1] Kuntiboja mengangkat Perta seperti
putrinya sendiri. Kemudian Perta menikah dengan Pandu,
raja Kerajaan Kuru, di mana ia dipanggil Kunti oleh para
anggota keraton Hastinapura.
Kuntiboja ambil bagian dalam Perang di Kurukshetra,
memihak Pandawa.[3]
PANCAWALA
TOKOH WAYANG KULIT

PANCAWALA dalam cerita pedalangan Jawa dikenal sebagai putra


tunggal Prabu Yudhistira/Puntadewa raja negara Amarta dengan Dewi
Drupadi, putri sulung Prabu Drupada dengan Dewi Gandawati dari
negara Pancala. Sebagai putra mahkota negara Amarta, ia sangat
dimanja oleh orang tuanya. Pancawala mempunyai perwatakan ; halus
, tenang, pemberani, baik tingkah lakunya dan sangat berbakti.

Pancala menikah dengan Endang Pregiwati, adik kembar Endang


Pregiwa, istri Gatotkaca. Mereka masih bersaudara sepupu karena
Endang Pregiwati adalah putra Arjuna, adik Prabu Puntadewa, dengan
Dewi Manuhara, putri Bagawan Sidik Wacana dari pertapaan Andong
Sumiwi.

Pada waktu berlangsungnya perang Bharatayuda, Pancawala ikut pula


terjun ke medan peperangan. Ia meninggal setelah berakhirnya perang
Bharatayuda, tewas dibunuh oleh Aswatama, putra Resi Drona
dengan Dewi Krepi, yang menyeludup masuk ke dalam Istana Astina
dalam upaya membunuh bayi Parikesit, putra Abimanyu dengan Dewi
Utari.

Anda mungkin juga menyukai