Anda di halaman 1dari 34

BAB II

KERANGKA TEORITIS TENTANG PENYELESAIAN PEMBIAYAAN

MUDHARABAH PADA NASABAH YANG TERKENA OVERMACHT DI

BANK BRI SYARIAH KANTOR KAS LEMBANG

A. Pembiayaan

1. Pengertian Pembiayaan

Istilah pembiayaan pada intinya berarti I Believe, I Trust, “saya percaya”

atau “saya menaruh kepercayaan”. Perkataan pembiayaan yang artinya kepercayaan

(trust), berarti lembaga pembiayaan selaku shahibul mal menaruh kepercayaan

kepada seseorang untuk melaksanakan amanah yang diberikan.1 Pembiayaan atau

financing merupakan pendanaan yang disediakan oleh satu pihak untuk pihak lain

guna mendukung investasi, baik yang dilakukan oleh sendiri maupun lembaga.2

Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian

fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan

defisit unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua

hal berikut:3

1
Veithzal Rivai dkk, Islamic Financial Management, (Jakarta Utara: PT Raja Gafindo
Persada, 2008), h. 3.
2
Atang Abd Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), h.
219.
3
M Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h.
160.

19
20

a. Pembiayaan Produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk

memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan

usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.

b. Pembiayaan Komsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk

memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk

memenuhi kebutuhan.

Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau

tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk

mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan

imbalan atau bagi hasil.

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah, pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang

dipersamakan dengan itu berupa:4

a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

b. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam

bentuk ijarah muntahiya bittamlik;

c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan

istishna;

d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan

4
UU RI Nomor 21 Tahun 2008, tentang Perbankan Syariah.
21

e. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi

multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank

Syariah dan/ atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibakan

pihak yang dibiayai dan/ atau diberi fasilitas dana untuk

mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan

imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.

Dalam pembiayaan dibutuhkan kerjasama yang baik dan perlunya

kepercayaan dari kedua belah pihak. Dalam kerjasama harus didasari dengan:

a. Asas Tabaduli manafi, yaitu harus memberikan keuntungan dan manfaat

bersama.

b. Asas pemerataan, yaitu penerapan prinsip keadilan yang dapat

menghendaki agar harta itu tidak dikuasai oleh segelintir orang, sehingga

harta itu harus di distribusikan secara merata diantara masyarakat.

c. Asas antaradin, yaitu berbuat muamalah harus berdasarkan kerelaan

masing-masing.

d. Asas adam gharar, yaitu tidak adanya tipu daya atau sesuatu yang

menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan.

e. Asas al birr wa al taqwa, yaitu setiap bentuk bermuamalat yang

menitikberatkan pada suka sama suka, sepanjang bentuk bermuamalat

dalam pertukaran manfaat atau dalam rangka pelaksanaan saling tolong

menolong antar sesama manusia.

f. Asas musyarakah, yaitu setiap bentuk bermuamalat merupakan

musyarakah, dalam arti kerja sama antar pihak yang saling


22

menguntungkan bukan saja bagi pihak yang terlibat melainkan juga bagi

keseluruhan masyarakat.5

2. Tujuan Pembiayaan

Secara umun tujuan dari pembiayaan adalah sebagai berikut:6

a. Peningkatan ekonomi umat, artinya masyarakat yang tidak dapat akses

secara ekonomi, dengan adanya pembiayaan mereka dapat melakukan

akses ekonomi. Dengan demikian, dapat meningkatkan taraf

ekonominya.

b. Tersedianya dana bagi peningkatan usaha, artinya untuk pengembangaan

usaha membutuhkan dana tambahan. Dana tambahan ini dapat diperoleh

dengan melakukan aktivitas pembiayaan. Pihak yang surplus dana

menyalurkan kepada pihak yang minus dana, sehingga dapat tergulirkan.

c. Meningkatkan produktivitas, artinya adanya pembiayaan memberikan

peluang bagi masyarakat usaha agar mampu meningkatkan daya

produksinya. Sebab upaya produksi tidak dapat berjalan tanpa adanya

dana.

d. Membuka lapangan kerja baru, artinya dengan dibukanya sektor-sektor

usaha melalui penambahan dana pembiayaan, maka sektor usaha tersebut

akan menyerap tenaga kerja.

5
Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: PT Lathifah Press, 1995), h. 113-115.
6
Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking Sebuah Teori, Konsep, dan Aplikasi,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 681.
23

e. Terjadinya distribusi pendapatan, artinya masyarakat usaha produktif

mampu melakukan aktivitas kerja, berarti mereka akan memperoleh

pendapatan dari hasil usahanya.

Dari sisi pembiayaan sebagai sumber pendapatan bagi Bank Syariah,

pembiayaan yang dilakukan Bank bertujuan untuk memenuhi kepentingan sebagai

berikut:7

a. Pemilik dana, artinya ia mengharapkan keuntungan dari dana yang

ditanam di bank;

b. Pegawai, artinya ia memperoleh kesejahteraan;

c. Masyarakat, meliputi pemilik dana, debitur, dan masyarakat umum atau

konsumen;

d. Pemerintah, artinya ia terbantu dalam pembiayaan pembangunan negara

termasuk pendapatan dari sektor pajak; dan

e. Bank, artinya bank dapat mengembangkan bidang usahanya.

Adapun fungsi dari pembiayaan adalah sebagai berikut:8

a. Meningkatkan daya guna uang dan daya guna barang;

b. Meningkatkan peredaran uang;

c. Menimbulkan kegairahan berusaha;

d. Menciptakan stabilitas ekonomi; dan

e. Sebagai sarana untuk meningkatkan pendapatan nasional.

7
Atang Abd Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, h.220.
8
Ibid, h. 221 .
24

3. Jenis-jenis Pembiayaan

a. Jenis pembiayaan dilihat dari tujuan

1) Pembiayaan konsumtif

Pembiayaan konsumtif bertujuan untuk memperoleh barang-barang

atau kebutuhan-kebutuhan lainnya guna memenuhi keputusan dalam

konsumsi. Pembiayaan konsumtif dibagi dalam dua bagian:

a) Pembiayaan konsumtif untuk umum

b) Pembiayaan konsumtif untuk pemerintah9

2) Pembiayaan produktif

Pembiayaan produktif bertujuan untuk memungkinkan penerima

pembiayaan dapat mencapai tujuannya yang apabila tanpa pembiayaan

tersebut tidak mungkin dapat diwujudkan. Pembiayaan produktif adalah

bentuk pembiayaan yang bertujuan untuk memperlancar jalannya proses

produksi, mulai dari saat pengumpulan bahan mentah, pengolahan, dan

sampai kepada proses penjualan barang-barang yang sudah jadi.

Penggunaan pembiayaan produktif dalam proses produksi

mengalami perputaran yang tidak sama. Terhadap alat-alat produksi yang

berupamodal tetap seperti mesin-mesin, maka perputaran modal itu akan

berakhir setelah proses produksi selesai, sedangkan terhadap bahan-bahan

pembantu dan tenaga kerja, hanya dalam satu proses produksi saja.10

9
Veithzal dkk, Islamic Financial Management, h. 9.
10
Ibid, h.10.
25

b. Jenis pembiayaan dilihat dari jangka waktu

1) Short term (pembiayaan jangka pendek) ialah salah satu bentuk

pembiayaan yang berjangka waktu maksimum satu tahu. Dalam

pembiayaan jangka pendek termasuk pembiayaan untk tanaman

musiman yang berjangka waktu lebih dari satu tahun.

2) Intermediate term (pembiayaan jangka menengah), ialah suatu

bentuk pembiayaan yang berjangka waktu lebih dari satu tahun

sampaui tiga tahun.

3) Long term (pembiayaan jangka panjang), ialah suatu bentuk

pembiayaan yang berjangka waktu lebih dari tiga tahun.

4) Demand loan atau call loan ialah suatu bentuk pembiayaan yang

setiap waktu dapat diminta kembali.11

c. Jenis pembiayaan menurut bentuk

1) Cash loan, adalah pinjaman uang tunai yang diberikan kepada

customer-nya sehingga dalam pemberian fasilitas cash loan ini, bank

telah menyediakan dana (fresh money) yang dapat digunakan oleh

customer berdasarkan ketentuan yang ada akad pembiayaannya.

2) Non cash loan, adalah fasilitas yang diberkan kepada customer-nya,

tetapi bank belum mengeluarkan uang tunai atas fasilitas tersebut.

Dalam fasilitas yang diberikan ini bank baru menyatakan

kesanggupan untuk menjamin pembayaran kewajiban customer

11
Ibid, h. 11.
26

kepada pihak lain/ pihak ketiga, sesuai dengan persyaratan yang

ditetapkan dalam surat perjanjian.

d. Jenis pembiayaan menurut keperluannya

1) Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi

kebutuhan peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu

jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan

kualitas atau mutu hasil produksi, dan untuk keperluan perdagangan

atau peningkatan utility of place dari suatu barang.

2) Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-

barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat

kaitannya dengan itu.

Jadi secara umum, jenis jenis pembiayaan dapat digambarkan sebagai

berikut.12

Skema 2.2
Jenis-jenis Pembiayaan dalam Aplikasi Perbankan Syariah

PEMBIAYAAN
KONSUMTIF PRODUKTIF

MODAL KERJA INVESTASI

Sumber : M Syafi’i Antonio, 2001

12
M Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, h. 161.
27

B. Pembiayaan bermasalah

1. Pengertian Pembiayaan Bermasalah

Pada jangka waktu (masa) pembiayaan tidak mustahil terjadi suatu kondisi

pembiayaan, yaitu adanya suatu penyimpangan utama dalam hal pembayaran yang

menyebabkan keterlambatan dalam pembayaran atau diperlukan tindakan yuridis

dalam pengembalian atau kemungkinan potensial loss. Kondisi ini disebut dengan

pembiayaan bermasalah, keadaan turunnya mutu pembiayaan tidak terjadi secara

tiba-tiba, tetapi selalu memberikan “warning sign” atau faktor-faktor penyebab

terlebih dahulu dalam masa pembiayaan.13

Pembiayaan bermasalah adalah suatu penyaluran dana yang dilakukan oleh

lembaga pembiayaan seperti bank syariah yang dalam pelaksanaan pembayaran

pembiayaan oleh nasabah itu terjdi hal-hal seperti pembiayaan yang tidak lancar,

pembiayaan yang debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang dijanjikan, serta

pembiayaan tersebut tidak menepati jadwal angsuran. Sehingga hal-hal tersebut

memberikan dampak negative bagi kedua belah pihak (debitur dan kreditur).

2. Faktor-faktor penyebab pembiayaan bermasalah sebagai berikut:14

a. Faktor Intern (berasal dari pihak bank)

1) Kurang baiknya pemahaman atas bisnis nasabah.

2) Kurang dilakukan evaluasi keuangan nasabah.

13
Trisadini P Usanti, Abd Somad, Transaksi Bank Syariah, (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2013), h. 102.
14
Ibid, h. 102.
28

3) Kesalahan setting fasilitas pembiayaan (berpeluang melakukan side

streaming).

4) Perhitungan modal kerja tidak didasarkan kepada bisnis usaha

nasabah.

5) Proyeksi penjualan terlalu optimis.

6) Proyeksi penjualan tidak memperhitungkan kebiasaan bisnis dan

kurang memperhitungakan aspek kompetitor.

7) Aspek jaminan tidak diperhitungkan aspek marketable.

8) Lemahnya supervisi dan monitoring.

9) Terjadinya erosi mental: kondisi ini dipengaruhi timbal balik antara

nasabah dengan pejabat bank sehingga mengakibatkan proses

pemberian pembiayaan tidak didasarkan pada paraktik perbankan

yang sehat.

b. Faktor Ekstern (berasal dari pihak luar)

1) Karakter nasabah tidak amanah (tidak jujur dalam memberikan

informasi dan laporan tentang kegiatannya).

2) Melakukan sidestreaming penggunaan dana.

3) Kemampuan pengelolaan nasabah tidak memadai sehingga kalah

dalam persaingan usaha.

4) Usaha yang dijalankan relatif baru.

5) Bidang usaha nasabah telah jenuh.

6) Tidak mampu menanggulangi masalah/ kurang menguasai bisnis.

7) Meninggalnya key person.


29

8) Perseslisihan sesama direksi.

9) Terjadi bencana alam.

10) Adanya kebijakan pemerintah: peraturan suatu produk atau sektor

ekonomi atau industri dapat berdampak positif maupun negatif bagi

perusahaan yang berkaitan dengan industri tersebut.

3. Kualitas pembiayaan

Ketidak lancaran nasabah membayar angsuran pokok maupun bagi

hasil/ profit margin pembiayaan mengakibatkan adanya kolektabilitas

pembiayaan. Secara umum kolektabilitas pembiayaan dikategorikan menjadi

empat macam, yaitu:

a. Lancar atau kolektabilitas 1

1) Pembayaran tepat waktu, perkembangan rekening baik, tidak

ada tunggakan, serta sesuai dengan persaratan pembiayaan.

2) Hubungan debitur dengan bank baik dan debitur selalu

menyampaikan informasi keuangan secara teratur dan akurat.

3) Dokumentasi pembiayaan lengkap dan pengikatan agunan kuat.

b. Kurang lancer atau kolektabilitas 2

1) Terdapat tunggakan bayaran pokok dan atau bagi hasil yang

telah melampaui 90 hari sampai dengan 180 hari.

2) Terdapat cerukan/ overdraft yang berulang kali hususnya

untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas

3) Hubungan debitur dan bank memburuk dan informasi keuangan

debitur tidak dapat dipercaya


30

4) Dokumentasi pembiayaan kurang lengkap dan pengikatan

agunan yang lemah

5) Pelanggaran terhadap persaratan pokok pembiayaan

6) Perpanjangan pembiayaan untuk menyembunyikan kesulitan

keuangan

c. Diragukan atau kolektabilitas 3

1) Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bagi hasil

yang telah melampaui 180 hari sampai dengan 270 hari

2) Terjadi cerukan/ overdraft yang bersifat permanen hususnya

untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas

3) Hungan debitur dan bank memburuk dan informasi keuangan

debitur tidak tersedia atau tidak dapat dipercaya

4) Dokumentasi pembiayaan tidak lengkap dan pengikatan agunan

yang lemah

5) Pelanggaran yang principal terhadap persaratan pokok

perjanjian pembiayaan

d. Macet atau kolektabilitas 4

1) Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bagi hasil

yang telah melampaui 270 hari

2) Dokumentasi pembiayaan dan atau pengikatan agunan tidak ada.

4. Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah

Setiap terjadi pembiayaan bermasalah maka bank syariah akan berupaya

untuk menyelamatkan pembiayaan berdasarkan PBI No. 13/9/PBI/2011 tentang


31

perubahan atas PBI No. 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi

Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah maka bank syariah, yaitu:15

a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal

pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya.

b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau

seluruh persyaratan pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban

nasabah yang harus dibayarkan kepada bank, antara lain meliputi:

1) Pengurangan jadwal pembayaran,

2) Perubahan jumlah angsuran,

3) Perubahan jangka waktu,

4) Perubahan nisbah dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah,

5) Perubahan proyeksi bagi hasil dalam pembiayaan mudharabah atau

musyarakah, dan

6) Pemberian potongan.

c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan

pembiayaan yang antara lain meliputi:

1) Penambahan dana fasilitas pembiayaan bank,

2) Konversi akad pembiayaan,

3) Konversi pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka

waktu,

15
Ibid, h. 109.
32

4) Konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada

perusahaan nasabah yang dapat disertai dengan rescheduling atau

reconditioning.

Bank hanya dapat melakukan restrukturisasi pembiayaan terhadap nasabah

yang memenuhi kriteria sebagai berikut:16

a. Nasabah telah atau diperkirakan mengalami penurunan atau kesulitan

kemampuan dalam pembayaran dan/ atau pemenuhan kewajibannya.

b. Nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi

kewajiban setelah di restrukturisasi.

Adapun landasan syariah yang mendukung upaya restrukturisasi

pembiayaan, yaitu dalam:

Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 280 :

َ َ َ ُ ُ ُ َ َ ْ ُ َ َ َ َ َ ُ َ َ
٠٨٢ ‫نت ۡم ت ۡعل ُمون‬ ‫ر لك ۡم إِن ك‬ٞ ‫ِإَون كان ذو ُع ۡس َرة ٖ ف َن ِظ َر ٌة إِل ٰى َم ۡي َس َرة ٖٖۚ َوأن ت َصدقوا خ ۡي‬

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah

tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua

utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.17

16
Ibid, h. 110.
17
Dadang Soliha Dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Parongpong: Tasdiqiya Publisher,
2015), h. 47.
33

Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 286:

َٓ ۡ َُ َ َََ ۡ َ َ َ ۡ َ َ ۡ َ َ َ َ ََ َ َ ۡ ُ َ ً َۡ َُ ُ َ َ
‫ت َوعل ۡي َها َما ٱكتسبت ربنا لا تؤاخِذنا‬ ‫لا يُكل ِف ٱلل نفسا إِلا وسعها ۚ لها ما كسب‬

َۡ َ ۡ َ َۡ َٓ َ
ۚ ‫إِن نسِينا أو أخطأنا‬

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan

kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia

mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”.18

Hadist Nabi riwayat Bukhari No.1277:

َ ََ َ ََ ُ َ ُ ََ ََ َ ُ َ َ
‫الل عليْهِ َو َسل َم ( َم ْن نف َس ع ْن ُم ْسل ِم‬ ‫ قل َر ُس ْول اللِ َصلى‬:‫ع ْن ابِى ه َريْ َرة قل‬
ََ َ َ ‫الل َعنْ ُه ُك ْر َب ًة م ِْن ُك َرب يَ ْو ِم الْق َي‬
‫امةِ َو َم ْن يَس َر على‬ ُ َ ‫الدنْ َيا َن َف َس‬
ُ
‫ب‬ َُ ْ ًَُْ
ِ ِ ِ ‫كربة مِن كر‬
ْ ُ ُ َ ‫الدنْ َيا َوالآخ َِرة ِ َو َم ْن َس َت َر ُم ْسل ًِما َس َت َر ُه‬
ُ َ َ َُ َ ََ ْ
‫الل ف ِى الدن َيا‬ ‫الل عليْهِ ف ِى‬ ِ ‫ُمع‬
‫سر يسر‬

ْ َ َ َْ ْ َ َ ْ ُ َ ‫َوالآخ َِرة ِ َو‬


.‫ اخرجه مسل ِم‬.)ِ‫الل ف ِى ع ْو ِن ال َعبْ ِد َما كان ال َعبْ ُد ف ِى عو ِن أخِيه‬
ْ ُ ُ َ َ

Dari Abu Hurairah. Ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw. :


Barangsiapa lepaskan dari seorang Muslim satu kesusahan daripada kesusahan-
kesusahan dunia, niscaya Allah lepaskan-dia satu kesusahan daripada kesusahan-
kesusahan akhirat; dan barang siapa memberikan kelonggaran kepada seorang yang
susah, niscaya Allah memberikan kelonggaran baginya di dunia dan akhirat; dan
barang siapa menutup seorang muslim niscaya Allah tutup-dia di dunia dan akhirat;
dan Allah menolong seseorang selama ia menolong saudaranya.19

18
Ibid, h. 49.
19
Al-hafidz Bin Hajar Al-asqolani, Bulughul Maram (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-
islamiyah), h. 275.
34

C. Hakikat Mudharabah

Akad mudharabah menurut UU No. 21 Tahun 2008 merupakan akad yang

dipergunakan oleh Bank Syariah, UUS, dan BPRS tidak hanya untuk kegiatan

menghimpun dana dalam bentuk investasi berupa deposito, tabungan atau bentuk

lain yang dipersamakan dengan itu, tetapi juga untuk kegiatan menyalurkan

pembiayaan bagi hasil, proses membeli dan menjual atau menjamin atas risiko

sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata.20

1. Pengertian Mudharabah

Kata “al-mudharabat” bersepadan dengan dua kata bahasa Arab lainnya,

yaitu al-qiradh atau al-muqaradat, dan al-muamalat. Ketiga kata ini tidak memiliki

perbedaan makna yang essensial, tetapi yang paling banyak disebut dalam literatur

fiqih muamalah adalah al-mudharabat dan al-qiradh. Perbedaan penyebutan ketiga

kata ini karena faktor geografis. Term “al-mudharabat dipergunakan oleh ahli ilmu

fiqih di wilayah provinsi Irak, sementara term “al-qiradh dan al-muqradat

diperkenalkan oleh ulama fiqih yang berdomisili di daerah semenanjung Arabia,

khususnya di Hijaz.21

Al-qiradh atau al-muqaradat maknanya al-qath’ (potongan atau bagian).

Disebut demikian karena pemilik harta menyerahkan sebagian hartanya kepada

pihak lain untuk diperdagangkan dan keuntungan dibagi bersama sesuai

kesepakatan. Kebiasaan ini mengacu kepada praktik ‘Utsman bin Affan yang

20
Atang abd hakim, Fiqih Perbankan Syariah, h. 212.
21
Ibid, h.212.
35

pernah menyerahkan modal kepada seseorang untuk diperdagangkan. Adapun

makna al-muamalat dalam pengertian ini ialah transaksi antara dua pihak; pihak

pertama menyerahkan modal secara tunai kepada pihak kedua untuk

diperdagangkan dan keuntungan dibagi sesuai kesepakatan.22

Mudharabah berasal dari kata al-dharab, yang berarti al-safar (perjalanan),

al-mitsl (seimbang), dan al-shinf (bagian), yang berarti secara harfiah adalah

bepergian atau berjalan. Sebagaimana firman Allah:

َ ۡ َ َ ََُۡ َۡ َ ۡ َ َ
ِ ‫َو َءاخ ُرون يَض ِر ُبون ف ِى ٱلأ‬
ِ‫ۡرض يبتغون مِن فض ِل ٱلل‬

“...Dan yang lainnya, bepergian di muka bumi mencari karunia Allah...”(

Al-Muzamil: 20).23

Al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana

pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan

pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi

menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi

ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si

pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian

si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.24

22
Ibid, h.212.
23
Dadang Soliha Dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 575.
24
M Syafi’i antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, h. 95.
36

Sedangkan menurut istilah, dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut:25

a. Menurut para fuqaha, mudharabah adalah akad antara dua pihak (orang)

saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak

lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan, seperti

setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.

b. Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang

berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan

kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu. Maka

mudharabah adalah:

َ ْ َ َ ْ‫الش ْر َك ِة ف ِى الر ب ْحِ ب َمال ِم ْن ا َ َح ِدال‬ ََ ٌ ْ ُ


‫جا ن ِبَيْ ِن َو ع َمل ِم َن الاخ ِر‬ ِ ِ ِ ‫ى‬ ‫عقد عل‬

“Akad syirkah dan laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik

jasa”.

c. Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah adalah

َْ ُ ََ َْ ََ َْ َ َ ْ َْ ُ ْ ُ
‫ج َر ب ِخ ُص ْو ِص النق َدي ْ ِن‬ َ
ِ ‫ب الما ِل ل ِغي ِره ِ على ان يت‬
ِ
َ ‫اد َر ِم ْن‬
‫ر‬ ‫عقد تو كِيل ص‬
َ ْ َ ََ
)ِ‫ب َوال ِفضة‬
ِ ‫(الذ‬
‫ه‬

“Akad perwakilan, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada

yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (emas

dan perak)”.

25
Hendi suhendi, Fiqh Muamalah, h.137
37

d. Imam Hanabilah berpendapat bahwa mudharabah adalah

ََ ْ َ َ َ ‫ب ال ْ َمال قَ ْد ًرا ُم َعيَ َنا ِم ْن‬ َ َ َْ ْ َ ٌَ َ


‫ج ُر فِيْهِ ب ِ ُج ْزء‬
ِ ‫ت‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ى‬ ‫ل‬ِ ‫إ‬ ِ ‫ه‬ِ ‫ل‬ ‫ا‬‫م‬ ِ
ُ ‫ح‬
ِ ‫ا‬‫ص‬ َ
‫ع‬ ‫ف‬ ‫عِبارة أن يد‬

ْ ُْ َ َ ُ
ِ ‫مشاع معل ْوم ِم ْن رِ ب‬
ِ‫حه‬

“Ibarat pemilik harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada

orang yang berdagang dengan bagian dari ketentuan yang diketahui”.

e. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah adalah

ََ ً َ َ َ ْ َ َ َ َْ َْ َْ ٌ ْ ُ
‫ج َرفِيْه‬
ِ ‫ت‬ ‫ي‬ِ ‫ل‬ ‫الا‬‫م‬ ‫ر‬ ‫خ‬ِ ‫ا‬‫ل‬ ‫ص‬ٌ ‫خ‬ ِ ‫عقد َيقت‬
‫ضى أن يد فع ش‬

“Akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain

untuk ditijarahkan”

Dari beberapa pengertian yang dijelaskan oleh para ulama di atas, dapat

dipahami bahwa mudharabah adalah suatu kontrak kemitraan (partnership) yang

berlandaskan pada prinsip pembagian hasil dengan cara seseorang memberikan

modalnya kepada yang lain untuk melakukan bisnis dan kedua belah pihak

membagi keuntungan atau memikul beban kerugian berdasarkan isi perjanjian

bersama.

2. Dasar Hukum Mudharabah

Hukum Mudharabah adalah boleh, yang berlandaskan kepada dalil naqli

maupun dalil aqli.


38

a. Al-Qur’an

Firman Allah SWT yang sering dijadikan landasan mudharabah adalah

sebagai berikut, Al-Qur’an Surat Al-Jumu’ah ayat 10:

َ َ ‫ۡرض َوٱ ۡب َت ُغوا ْ مِن فَ ۡضل ٱ َللِ َوٱ ۡذ ُك ُروا ْ ٱ‬


ٗ ِ ‫لل َكث‬ َۡ ْ ُ َ َ َُٰ َ ُ َ َ
‫يرا‬ ِ ِ ‫أ‬‫ل‬ ‫ٱ‬ ‫ِى‬ ‫ف‬ ِ ‫ض َي‬
‫ت ٱلصلوة فٱنتشِ روا‬ ِ ‫فإِذا ق‬

َ ُ ُۡ ۡ ُ َََ
٠٢ ‫لعلكم تفل ِحون‬

“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di

muka bumi; carilah karunia Allah SWT”.26

Surat Al-Baqarah ayat 198, yang berbunyi:

ُ َ
ۡ‫كم‬ ٗ ۡ َ ْ ََُۡ َ ٌ َ ُ ۡ ُ َۡ َ َ َۡ
ۚ ِ ‫ليس عليكم جناح أن تبتغوا فضلا مِن رب‬

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil

perniagaan) dari Tuhanmu”.27

b. Hadist

Hadits yang sering dijadikan landasan hukum mudharabah adalah

sebagai berikut:

َُ ْ َ ٌ َ َ َ َ ْ َ َ ُ َ َ َ َ َ
‫ ثلاث فِي ِهن ال َب َركة‬: ‫وسل َم‬ ِ‫ قال َر ُسول الل ِ َصلى الل عليه‬: ‫ع ْن ُص َهيْب قال‬

ِْ‫ت لا َ ل ِلْ َبيع‬ ْ َ ْ َ ُ ْ َُ ْ ََ ُ َ َ َ ُْ َ َ َ َ ُ َْْ


ِ ‫ير ل ِلبي‬
ِ ِ‫البيع إِلى أجل والمقارضة وأخلاط الب ِر بِالشع‬

26
Dedang Soliha Dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 554.
27
Ibid, h. 31.
39

Dari Shuhaib, bahwasannya Nabi saw telah bersabda: “Tiga perkara

ada berkat padanya; jual-beli bertempo, berqiradl (mudharabah) dan

campur bur dengan sya’ir buat dirumah, bukan buat jualan”. (HR Ibnu

Majah No. 778).28

c. Ijma’

Diantara ijma dalam mudharabah ada riwayat yang menyatakan

bahwa jama’ah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk

mudharabah. Perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.

d. Qiyas

Mudharabah diqiyaskan kepada musaqah (menyuruh seseorang

untuk mengelola kebun). Sebab diantara manusia, ada yang miskin dan ada

pula yang kaya. Pada satu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat

mengusahakan hartanya. Pada sisi lain, tidak sedikit orang yang miskin

yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya

mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua

golongan tadi, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi

kebutuhan mereka.29

Hal ini juga dipertegas kaidah usul fikih yang menyatakan:

ْ َ َ َ ْ ُْ َ َ ُْ َ َْ َُ َ َ ُ َ
ْ‫حريم‬ َ َ َ ُْ َ ْ ُ ُْ ُ ْ َْ
ِ ‫ان والت‬ ِ ِ‫الأصل ف ِى العقو ِد والمعاملة‬
ِ ‫الصحة حتى يقوم الدل ِيل على البطل‬

28
Al-hafidz Bin Hajar Al-asqolani, Bulughul Maram (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-
islamiyah), h. 167.
29
Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 226.
40

“Asal atau pokok dalam masalah transaksi dan muamalah adalah

sah, sampai ada dalil yang membatalkan dan mengharamkannya”.30

3. Rukun dan Syarat Mudharabah

Menurut ulama mazhab Hanafi rukun mudharabah hanya ijab (dari

pemilik modal) dan kabul (dari pedagang/pelaksana). Adapun pendapat lain,

bahwa rukun mudharabah adalah:

a. Pemilik dana (shahibul maal)

b. Pengelola (mudharib)

c. Ucapan serah terima (shighat ijab wa qabul)

d. Pekerjaan, dan

e. keuntungan31

Adapun syarat-syarat sah mudharabah berhubungan dengan rukun-

rukun mudharabah itu sendiri adalah sebagai berikut:

a. Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai, maka bila

barang itu berbentuk mas atau perak batangan (tabar), mas hiasan atau

barang dagangan lainnya, mudharabah tersebut batal.

b. Bagi yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf,

maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila dan orang-

orang yang berada dibawah pengampunan.

30
Hendi suhendi, Fiqh Muamalah, h. 18.
31
Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2012), h. 142.
41

c. Modal harus diketahui dengan jelas, agar dapat dibedakan antara modal

yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan

tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan

perjanjian yang telah disepakati.

d. Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus

jelas prestasinya, umpamanya setengah, sepertiga atau seperempat.

e. Melafadzhkan ijab dari yang punya modal, seperti aku serahkan uang ini

kepadamu untuk dagang, jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul

dari pengelola.

f. Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola

harta untuk berdagang di Negara tertentu. Memperdagangkan barang-

barang tertentu, pada waktu-waktu tertentu, sementara di waktu lain

tidak, karena persyaratannya yang mengikat sering menyimpang dari

tujuan akad mudharabah, yaitu keuntungan. Bila dalam mudharabah ada

persyaratan-persyaratan, maka mudharabah tersebut menjadi rusak

(fasid) menurut pendapat Al-Syafi’i dan Malik. Sedangkan menurut Abu

Hanifah dan Ahmad Ibn Hanbal, mudharabah tersebut adalah sah.32

4. Hukum mudharabah

Akad mudharabah dibolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling

membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang.

Banyak diantara mereka pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan

memproduktifkan uangnya, sementara banyak pula para pakar di bidang

32
Hendi Suhendi, op.cit, h. 140.
42

perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar saling tolong

menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk

saling bekerjasama antara pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam

mengelola dan memproduktifkan modal itu.33

5. Jenis-jenis mudharabah

Secara umum, mudharabah dibagi menjadi dua jenis, yaitu:34

a. Mudharabah Mutlaqah, bentuk kerja sama antara shahibul maal dan

mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh

spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.

b. Mudharabah Muqayyadah (restricted mudharabah/ specified

mudharabah), si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu,

atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan

kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia

usaha.

6. Bagi Hasil Mudharabah

Dalam mudharabah, pemilik modal tidak mendapat peran dalam

manajemen tetapi kontrak yang akan memberi pemodal suatu bagian tertentu dari

keuntungan/kerugian.

Mudharib menjadi pengawas (amin) untuk modal yang dipercayakan

kepadanya. Mudharib harus menggunakan dana dengan cara yang telah disepakati

33
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 176.
34
M Syafi’i Antonio, BANK SYARIAH Dari Teori Ke Praktik, h. 97.
43

dan kemudian mengembalikan kepada rabb al-maal modal dan bagian keuntungan

yang telah disepakati. Mudharib menerima untuk dirinya sendiri sisa dari

keuntungan tersebut. Berikut ini beberapa poin penting berkenaan dengan

mudharabah:

a. Pembagian keuntungan antara dua pihak harus ditetapkan secara

proporsional. Pemodal tidak secara otomatis mendapat keuntungan atau

bagian yang telah dipastikan sebelumnya.

b. Pemodal tidak bertanggung jawab atas kerugian di luar modal yang telah

diberikannya.

c. Mudharib tidak turut menanggung kerugian kecuali kerugian waktu dan

tenaga.

Sebagai suatu bentuk kontrak, mudharabah merupakan akad bagi hasil

ketika pemilik dana/modal (pemodal), biasa disebut shahib al-maal, menyediakan

modal (100%) kepada pengusaha sebagai pengelola, biasa disebut mudharib, untuk

melakukan aktifitas produktif dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan

akan dibagi diantara mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya

dalam akad (yang besarnya juga dipengaruhi oleh kekuatan pasar). Shahibul maal

adalah pihak yang memiliki modal, tetapi tidak bisa berbisnis, dan mudharib adalah

pihak yang pandai berbisnis, tetapi tidak memiliki modal.35

Apabila terjadi kerugian karena proses normal dari usaha, dan bukan karena

kelalaian atau kecurangan pengelola, kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pemilik

35
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 60-
61.
44

modal, sedangkan pengelola kehilangan tenaga dan keahlian yang telah

dicurahkannya. Apabila terjadi kerugian karena kelalaian dan kecurangan

pengelola, maka pengelola bertanggung jawab sepenuhnya. Pengelola tidak ikut

menyertakan modal, tetapi menyertakan tenaga dan keahliannya, dan juga tidak

meminta gaji atau upah dalam menjalankan usahanya. Pemilik dana hanya

menyediakan modal dan tidak dibenarkan untuk ikut campur dalam manajemen

usaha yang dibiayainya. Kesediaan pemilik dana untuk menanggung risiko apabila

terjadi kerugian menjadi dasar untuk mendapat bagian dari keuntungan.36

Skema 2.3
Skema Mudharabah

PEMODAL PENGUSAHA
Akad
Mudharabah
SHAHIBUL MALL MUDHARIB

MODAL 100% SKILL

KEGIATAN USAHA

Bagian Bagian
keuntungan keuntungan
X KEUNTUNGAN Y

Modal 100%
MODAL

Sumber : Ascarya, 2007

36
Ibid, h. 61.
45

7. Pembatalan Mudharabah

Mudharabah menjadi batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut:37

a. Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah. Jika

salah satu syarat mudharabah tidak terpenuhi, sedangkan modal sudah

dipegang oleh pengelola dan sudah diperdagangkan, maka pengelola

mendapatkan sebagian keuntungannya sebagai upah, karena

tindakannya atas izin pemilik modal dan ia melakukan tugas berhak

menerima upah. Jika terdapat keuntungan, maka keuntungan tersebut

untuk pemilik modal. Jika ada kerugian, kerugian tersebut menjadi

tanggung jawab pemilik modal karena pengelola adalah sebagai buruh

yang hanya berhak menerima upah dan tidak bertanggung jawab

sesuatu apa pun, kecuali atas kelalaiannya.

b. Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola

modal atau pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan

tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini pengelola modal bertanggung

jawab jika terjadi kerugian karena dialah penyebab kerugian.

c. Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia atau salah

seorang pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal.

8. Hikmah Mudharabah.

Islam mensyariatkan dan membolehkan untuk memberi keringanan kepada

manusia. Terkadang sebagian orang memiliki harta, tetapi tidak berkemampuan

37
Hendi suhendi, Fiqh Muamalah, h. 143.
46

memproduktifkannya, dan terkadang ada pula orang yang tidak memiliki harta

tetapi ia mempunyai kemampuan memproduktifkannya. Karena itu, syariat

membolehkan muamalah ini supaya kedua belah pihak dapat mengambil

manfaatnya. Pemilik harta mendapatkan manfaat dengan pengalaman mudharib

(orang yang diberi modal) sedangkan mudharib dapat memperoleh manfaat dengan

harta (sebagai modal). Dengan demikian terciptalah kerjasama antara modal dan

kerja. Dan Allah tidak menetapkan segala bentuk akad, melainkan demi terciptanya

kemaslahatan dan terbendungnya kesulitan.38

D. Overmacht

1. Pengertian Overmacht

Overmacht berasal dari bahasa Belanda yang berarti suatu keadaan yang

menyebabkan orang tidak dapat menjalankan tugasnya. Overmacht atau keadaan

memaksa, yaitu suatu keadaan yang dialami oleh debitur yang berada diluar

kekuasaan dan kekuatannya sehingga ia tidak mampu melaksanakan prestasinya,

misalnya karena terjadi gempa bumi, banjir, kebakaran dahsyat. Karena peristiwa

yang dialami oleh debitur, prestasinya tidak dapat dipenuhi.39

Selain istilah overmacht atau force majeure terdapat juga istilah lain yang

pada hakikatnya sama, yaitu touval artinya kejadian tiba-tiba yang tidak dapat

diperhitungkan sebelumnya. Baik pada overmacht (keadaan memaksa) maupun

pada touval (kejadian tiba-tiba), kedua istilah tersebut sama-sama mempunyai

makna menghalangi atau merintangi debitur melakukan kewajiban yang

38
Sayid Sabiq, Fiqh Sunah, (Bandung: Al Maarif, jilid 13, 1987), h. 37
39
Wawan Muhwan, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 106.
47

diperjanjikan. Sedemikian rupa rintangan atau halangan itu, sehingga debitur tidak

mungkin (onmogelij) melakukan pemenuhan prestasi. Dengan demikian overmacht

maupun touval merupakan suatu keadaan atau peristiwa yang menempatkan debitur

berada dalam keadaan tidak mungkin melakukan prestasi. Jadi pada overmacht ini

tidak ada kesalahan dari pihak nasabah (debitur) yang tidak dapat memenuhi

prestasinya, sehingga menyebabkan suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu

perhubungan hukum tidak dapat dilaksanakan.

Ketentuan umum mengenai overmacht terletak pada pasal 1244 dan 1245

KUHPerdata.40 Kedua pasal tersebut merupakan pengecualian dari pasal 1239

KUHPerdata tetang wanprestasi yakni setiap wanprestasi yang menyebabkan

kerugian mewajibkan debitur membayar ganti rugi (scadevergoeding). Selain pasal

1244 dan 1245 KUHPerdata, masalah overmacht juga diatur dalam pasal-pasal pada

persetujuan-persetujuan tertentu.

Selain dalam KUHPerdata istilah overmacht juga terdapat pada kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti yang disebutkan dalam pasal 48

dan 49 KUHP bahwa seorang tertuduh tidak boleh dihukum jika tindak pidana yang

dilakukannya itu dalam keadaan overmacht. Jadi dalam hukum pidanapun suatu

perbuatan yang onrechtmatige (perbuatan melawan hukum), tetapi perbuatan itu

dilakukan di bawah tekanan atau pengaruh overmacht melepaskan si pelanggar dari

tuntutan.

40
R Subekti, R Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta Timur: PT
Balai Pustaka, 2014), h. 324-325.
48

Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata tersebut sebagai dasar hukum bagi

overmacht sebagai alasan hukum yang membebaskan debitur dari kewajiban

melaksanakan pemenuhan (nakoming) dan ganti rugi (schadevergoeding) sekalipun

debitur telah melakukan perbuatan melawan hukum. Itulah sebabnya overmacht

disebut sebagai dasar hukum yang memaafkan atau rechtsvaardigingsground.

2. Teori Tentang Overmacht

Overmacht ialah keadaan yang memaksa dan menjadi landasan hukum

untuk memaafkan kesalahan debitur. Masalah mengenai peristiwa atau keadaan

yang bagaimana sehingga dapat dikatakan sebagai keadaan overmacht, hal ini telah

menimbulkan beberapa ajaran mengenai overmacht.

Ajaran mengenai keadaan memaksa (overmavhtsleer) sudah dikenal sejak

hukum Romawi, yang berkembang dari janji (beding) pada perikatan untuk

memberikan suatu benda tertentu. Apabila benda tersebut musnah karena adanya

keadaan yang memaksa, maka tidak hanya kewajiban untuk menyerahkan, tetapi

seluruh perikatan menjadi hapus, dengan syarat pastinya harus benar-benar tidak

mungkin dilaksanakan. Jadi dahulu hanya dikenal fikiran tentang keadaan memaksa

yang objektif (objective overmachtisdee).41

Dalam keadaan overmacht, debitur dibebaskan dari kewajiban pemenuhan

prestasi dan membayar ganti rugi. Untuk menjelaskan hal tersebut sekarang telah

berkembang beberapa teori mengenai overmacht, antara lain:42

41
J Satrio, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Alumni, Cet ke-2,
1999), h. 254.
42
Wawan Muhwan, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam h. 108.
49

a. Teori ketidak-mungkinan (onmogelizkeheid). Menurut ajaran ini

overmacht adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur berada

dalam keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi yang

diperjanjikan.

b. Ajaran penghapusan atau peniadaan kesalahan (afwezigheid van schuld)

yang artinya dengan adanya overmacht meniadakan kesalahan, sehingga

akibat kesalahan yang telah ditiadakan tadi tidak boleh atau tidak bisa

dipertanggungjawabkan kepada debitur.

Tidak semua overmacht dengan sendirinya menempatkan debitur dalam

keadaan tidak mungkin, karena kadang-kadang overmacht itu hanya sedemikian

rupa saja, atau tidak sampai betul-betul merintangi atau menghalangi seseorang

untuk melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan. Karena itu perlu diteliti apakah

hal itu benar-benar peristiwa overmacht atau rekayasa saja. Untuk itu overmacht

(keadaan memaksa) dibedakan menjadi dua:43

a. Keadaan memaksa absolut/ objektif/ mutlak

Keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan dimana debitur sama

sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena

adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Menurut ajaran

ini debitur baru bisa mengemukakan adanya keadaan memaksa, kalau

setiap orang dalam kedudukan debitur tidak mungkin untuk berprestasi

sebagaimana mestinya. Disini ketidak-mungkinan bersifat absolut,

43
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, Cetakan ketujuh 2010), h. 102.
50

siapapun tidak bisa. Misalnya seorang berjanji akan menjual sapi,

sebelum penyerahan sapi tersebut mati disambar petir. Atau seorang

tukang jasa angkut sayuran berjanji akan mengangkut sayuran-sayuran

milik petani, ditengah jalan terjadi hujan deras dan banjir bandang yang

menyebabkan mobil beserta isinya musnah atau pada intinya prestasi

atau barang hapus karena bencana alam. Teori ini didasarkan pada pasal

1444 KUHPerdata, disana ditentukan halangan-halangan apa saja yang

bisa membebaskan debitur dari kewajiban prestasinya, jadi tanpa ia harus

menanggung kerugian yang muncul pada pihak bank (kreditur) sebagai

akibat dari peristiwa itu.

b. Keadaan memaksa relatif / subjektif

Keadaan memaksa relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan

debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya.44 Menurut

ajaran ini suatu perjanjian masih dapat dilaksanakan oleh debitur tetapi

melalui pengorbanan yang sangat besar. Dalam keadaan seperti ini

debitur dapat mengemukakan adanya keadaan overmacht kalau

pemenuhan prestasi itu tidak dapat dilakukan oleh debitur itu sendiri.

Adanya keadaan memaksa yang relatif ini sangat tergantung pada isi

maksud dan tujuan dari perjanjian yang bersangkutan. Dan faktor-faktor

lain juga harus diperhatikan seperti kejujuran dan kepatutan

(redelijkheid). Misalnya: dalam suatu perjanjian pemborongan bangunan

44
Ibid, h. 102.
51

sebuah rumah, ditengah pelaksanaan prestasi segenap pekerja semuanya

mogok. Apakah karena hal ini keharusan menyelesaikan pembuatan

rumah lenyap? Dapat dikatakan bahwa pihak pemborong harus

mempekerjakan pekerja-pekerja baru yang menghabiskan banyak biaya,

maka dalam hal ini boleh dikatakan tidak ada keadaan memaksa. Akan

tetapi kalau dikaitkan dengan isi maksud dan tujuan dari persetujuan

kedua belah pihak, dapat dikatakan bahwa pengorbanan yang sedemikian

besar tidak patut dibebankan kepada pihak pemborong, maka kini dapat

dikatakan dalam keadaan memaksa.

Disamping adanya perbedaan ketidak-mungkinan objektif dan subyektif,

perlu kiranya dipertanyakan, apakah dalam overmacht yang menimbulkan ketidak-

mungkinan melaksanakan pemenuhan perjanjian terdapat peran pada diri debitur.

Jika ada peranan pada diri debitur rintangan yang terjadi bukan semata-mata karena

overmacht.

Alasan ketidak-mungkinan ini tidak memadai melepaskan debitur dari

kewajiban membayar ganti rugi. Jadi baik dalam ketidak-mungkinan objektif

maupun pada ketidak-mungkinan subjektif jika didalamnya terdapat unsur peranan

pada diri debitur, ketidak-mungkinan yang ditimbulkan overmacht tidak memadai

dijadikan alasan yang menghindari diri debitur dari kewajiban pembayaran ganti

rugi.45

45
JCT Simorangkir, Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet ke-2, 2000), h. 32.
52

Maka untuk ajaran yang subyektif dapat dikatakan juga dificultas (sangat

sulit). Sedang ajaran yang objektif dapat dikatakan imposibilitas. Dificultas atau

keadaan sangat sulit baik secara subjektif maupun objektif bisa dikategorikan

sebagai ketidak-mungkinan absolut yang dapat melepaskan debitur dari kewajiban

membayar ganti rugi. Sedangkan imposibilitas, jika dalam pemenuhan kewajiban

terlalu sangat dirugikan, bukan karena kesalahan perbuatan atau kelalaiannya, tetapi

semata-mata karena ditimbulkan oleh overmacht maka pelaksanaan pemenuhan

perjanjian demikian jelas menempatkan debitur berada dalam keadaan ketidak-

mungkinan absolut.

Dari uraian mengenai ajaran overmacht yang objektif dan overmacht yang

subyektif, untuk lebih memperjelas maka perlu dikemukakan mengenai ketidak-

mungkinan yang logis dan ketidak-mungkinan yang tidak logis. Secara teoritis sulit

untuk membedakan antara keduanya. Namun akan lebih mudah melihat secara

kongkret kasus per kasus. Ketidak-mungkinan yang logis benar-benar secara

praktis tidak mungkin, sehingga debitur benar-benar tidak pantas untuk dibebani

atas kewajiban ganti rugi. Sedangkan pada ketidak-mungkinan yang tidak logis

secara praktis masih bisa dilakukan, sehingga debitur harus bertanggung jawab atas

kewajiban ganti rugi. Jadi disinilah letak urgensi perbedaan ketidak-mungkinan

absolut dan ketidak-mungkinan yang logis pada pihak lain. Yakni kepentingan

dalam menentukan beban resiko kerugian yang terjadi. Pada ketidak-mungkinan

yang logis, resiko tak dapat dibebankan pada debitur, dan sebaliknya ketidak-

mungkinan yang tak logis resiko masih tetap menjadi kewajiban debitur.

Anda mungkin juga menyukai