Anda di halaman 1dari 9

Anggota Kelompok:

1. Alifa Maylarisa Artamevia / 120610210073 / S1 Kelas D


2. Amatul Kafi / 120610210044 / S1 Kelas D
3. Jenny Marpono / 120610210037 / S1 Kelas D
4. Tiara Sagita / 120610210016 / S1 Kelas D

UAS EKONOMI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

Ulasan mengenai Mengapa Penerapan ESG Tidak akan Menyelesaikan Masalah


Lingkungan dan Rekomendasi untuk Memperbaiki Kondisi Tersebut

Skor atau Peringkat ESG Fitch Berkelanjutan (salah satu output tersebut menjadi "Produk
ESG") adalah penilaian kualitas Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola ("E", "S" dan "G") dari
instrumen keuangan, kerangka kerja dan/atau entitas. Produk ESG bukanlah peringkat kredit.
Produk ESG disediakan oleh Sustainable Fitch, sebuah divisi terpisah dari Fitch Group.
Sustainable Fitch telah menetapkan kebijakan dan prosedur tertentu yang dimaksudkan untuk
menghindari terciptanya konflik kepentingan dan mengkompromikan independensi atau integritas
kegiatan pemeringkatan kredit Fitch Ratings dan kegiatan pembuatan Produk ESG Sustainable
Fitch.
Laporan mengenai Produk ESG bukanlah prospektus atau pengganti informasi yang
dikumpulkan, diverifikasi, dan disajikan kepada investor oleh penerbit dan agennya sehubungan
dengan penjualan instrumen keuangan dan sekuritas. Produk ESG tidak dianggap sebagai saran
investasi dan tidak boleh dianggap sebagai pengganti penilaian sendiri dari setiap orang terhadap
faktor ESG yang terkait dengan instrumen keuangan atau entitas. Sustainable Fitch tidak mewakili
atau menjamin bahwa Produk ESG akan memenuhi tujuan dan kebutuhan khusus masyarakat.
Sustainable Fitch tidak merekomendasikan pembelian dan penjualan instrumen keuangan atau
sekuritas, memberikan nasihat investasi, menyediakan layanan hukum, audit, akuntansi, penilaian
atau aktuaria. Sustainable Fitch juga tidak mengaudit atau memverifikasi keakuratan informasi
yang diberikan kepadanya oleh pihak ketiga mana pun untuk tujuan penerbitan Produk ESG,
termasuk emiten, perwakilan mereka, akuntan, penasihat hukum dan lainnya. Produk ESG bukan
merupakan opini mengenai nilai instrumen keuangan atau sekuritas. Sustainable Fitch tidak
mewakili, menjamin atau menjamin keakuratan, kebenaran, integritas, kelengkapan atau ketepatan
waktu dari setiap bagian Produk ESG.
Peran Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam bidang investasi dan tata
kelola perusahaan mengalami perkembangan secara terus-menerus. Dalam bahan bacaan
sustainable fitch mengenai tren pasar ESG 2023, terlihat pada tahun tersebut peran ESG semakin
berkembang dan cakupannya semakin luas. Topik yang dibahas dapat mencakup risiko fisik,
keamanan energi, modal alam, pembangunan ekonomi, dan dampak sosial. Perkembangan yang
dimunculkan dari ESG ini diperkirakan akan terus berlangsung walaupun memunculkan beberapa
permasalahan.
Permasalahan yang kerap terjadi pada saat ini diantaranya ada masalah inflasi, keamanan
energi, dan kemerosotan ekonomi. Menurut beberapa pihak, ESG dapat mempengaruhi ke dalam
sebagian sektor perekonomian, seperti dapat memperburuk biaya dan menghambat investasi.
Walaupun demikian, sustainable fitch meyakini bahwa permasalahan tersebut merupakan reaksi
jangka pendek saja. Sedangkan dalam jangka panjangnya nanti terdapat prospek mampu
meningkatkan alokasi modal publik dan modal swasta agar keberlanjutan tetap positif.
Terdapat lima tren kredit ESG utama Sustainable Fitch tahun 2023, yaitu:
1. Tantangan ekonomi dan politik untuk menguji daya tahan ESG
2. Peningkatan fokus pada tindak lanjut janji iklim dan implementasi
3. Risiko fisik yang berkembang untuk mendorong strategi mitigasi jangka pendek
4. Pasar negara berkembang akan mendapat manfaat dari fokus keadilan alam dan iklim
5. Investor swasta dan ritel membawa prioritas ESG baru ke pasar modal
Tren kredit ESG pada tahun 2022 yang telah dibuat dan telah diterapkan sebelumnya
mampu mengembangkan data mengenai ESG dalam tahapan menentukan keputusan suatu entitas
para investor, emiten, dan regulator. Dengan dorongan yang datang dari beberapa pihak yang ada,
di tahun 2023 hal tersebut akan kembali diterapkan dan diatur. Banyak pihak memperkirakan
bahwa di tahun 2023 akan terjadi resesi. Adanya dugaan tersebut, para investor sebaiknya
memperkirakan apakah ESG akan menjadi prinsip yang akan selalu digunakan ketika hendak
mengalokasikan modal atau menyesuaikan keadaan agar keuntungan perusahaan tetap ada.
Menurut survei yang telah dilakukan oleh KPMG, dalam tulisan sustainable fitch, beberapa
pemimpin perusahaan memang telah merencanakan untuk tidak terlebih dahulu menggunakan atau
meninjau ulang proyek-proyek ESG karena adanya isu resesi 2023. Sudah ada sekitar 34% yang
melakukan hal tersebut dari 1.325 pemimpin perusahaan dengan penghasilan kurang lebih sebesar
500 juta USD per tahunnya.
Bagi perusahaan yang tidak mempunyai pilihan selain menggunakan ESG, kemungkinan
akan merasa lebih kesulitan dibandingkan dengan mereka yang memiliki pendekatan lain.
Pembiayaan yang mereka dapatkan akan mengalami kendala dikarenakan lembaga keuangan harus
meningkatkan pangsa kegiatan berkelanjutan. Maka dari itu, banyak persyaratan dan peraturan
yang harus mereka patuhi. Kesulitan ini pada akhirnya meningkatkan tantangan dalam bidang
peningkatan modal, pendapatan asuransi, dan lainnya.
Berbagai kekhawatiran yang terjadi karena adanya ancaman resesi saat ini membuat
sustainable fitch menghimbau kepada para pemimpin perusahaan agar lebih memperhatikan dan
mempertimbangkan lagi mengenai tren ESG di tahun 2023. Keputusan perusahaan untuk menunda
jadwal proyek dan/atau melakukan pembatalan langsung inisiatif berkelanjutan tidak dilarang dan
dapat dilakukan karena perusahaan tentunya akan berusaha untuk menanggung pembiayaan dan
kebutuhan yang lebih mendesak. Hal lainnya, seperti aspek sosial mungkin akan memiliki risiko
yang lebih tinggi karena terdapat permasalahan seperti keragaman, kesetaraan upah, dan
keterlibatan karyawan.
Munculnya konflik antara Rusia dan Ukraina yang terjadi pada tahun 2022, telah
mempengaruhi pasokan dan harga pada sektor energi. Meningkatnya harga energi dikarenakan
terjadinya kelangkaan, memicu beberapa negara untuk mempertimbangkan kembali penggunaan
batu bara sebagai pembangkit listrik. Beralihnya beberapa negara ke penggunaan batu bara dalam
jangka pendek dapat memicu dampak negatif terhadap ESG dan menghambat proses transisi.
Sustainable fitch memiliki pandangan mengenai ketidakstabilan harga energi yang harus
menjadi urgensi bagi pihak pemerintah supaya memenuhi tujuan transisi iklim. Kemunculan
energi terbarukan sebagai upaya pengurangan impor bahan bakar fosil yang harganya mulai naik
akan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil tersebut. Munculnya energi
terbarukan di dalam negeri dapat menjadi potensi ketahanan energi negara, tetapi untuk mencapai
titik efektivitas tertentu, diperlukan teknologi yang memadai dalam proses pencapaiannya. Oleh
karena itu, jika perusahaan memilih untuk memperketat anggaran, proses transisi energi dapat
menjadi tidak efektif. Hal tersebut menimbulkan potensi keterlambatan proses pencapaian target
net-zero global 2050 karena mampu mendorong gradualisme dalam proses pencapaian netralisasi
karbon.
Para pemangku kepentingan politik telah melakukan penolakan terhadap ESG dikarenakan
kurangnya aturan dan deskripsi yang jelas mengenai sustainable sehingga menimbulkan
kesalahpahaman mengenai apa yang harus dicapai oleh investasi ESG. Pembuat kebijakan, pemilik
perusahaan, dan para pelaku pasar keuangan menurut sustainable fitch akan mengalami berbagai
tekanan dalam proses peningkatan pengurangan karbon. Pemilik perusahaan dan investor
memberikan informasi untuk menyelenggarakan aktivitas bisnis dengan cara mengembalikan AS
ke posisi kepemimpinan dalam pembuatan kebijakan iklim.
Sumber Daya Manusia perlu dikembangkan atau dialihkan untuk menghindari tanggung
jawab mengingat ekspektasi ESG semakin ketat. Meskipun banyak perusahaan mengalihkan
tanggung jawab untuk mengumpulkan dan melaporkan data ESG ke fungsi keberlanjutan yang
terpisah, lingkungan peraturan yang berubah membutuhkan integrasi ESG yang lebih luas ke
dalam berbagai fungsi perusahaan memasukkan pertimbangan ESG ke dalam aktivitas seperti
proses dan kontrol audit, pemantauan kepatuhan dan uji tuntas serta tinjauan undang-undang. Hal
ini menempatkan tuntutan penambahan staf pada perusahaan melalui pelatihan, perekrutan atau
pemindahan pekerja yang semuanya melibatkan biaya lebih tinggi. Dalam jangka pendek,
perusahaan dapat mengkompensasi kurangnya kemampuan keberlanjutan internal dengan bantuan
konsultan eksternal.
ESG biasanya mencakup elemen strategi, risiko dan penciptaan nilai. Dewan direksi
memainkan peran penting dalam kaitannya dengan pengembangan perusahaan yang berkelanjutan.
Dalam survei tahun 2022, PwC menemukan bahwa 86% direktur yakin bahwa dewan mereka
memahami ESG pada tingkat strategis. Kepercayaan pada pemahaman pemerintah tentang isu-isu
terkait iklim seperti risiko serta strategi iklim (63%) dan emisi karbon (56%) telah menurun. Hal
ini terjadi walaupun semakin banyak eksekutif dan dewan direksi yang menerima komitmen nol,
yang menunjukkan keterputusan antara niat perusahaan dan kenyataan. Pemahaman pemerintah
yang lebih baik tentang perubahan iklim akan membantu menumbuhkan komitmen yang lebih
kredibel dan terinformasi untuk tindakan iklim, meskipun realisasinya sangat bergantung pada
faktor lain seperti investasi dalam teknologi, kapasitas keuangan, dan lingkungan operasi yang
menguntungkan.
Pada COP 26 (2021), pemerintah setuju untuk "meninjau dan memperkuat" kontribusi
mereka yang ditentukan secara nasional (NDC) pada tahun 2022. Menurut pelacak aksi iklim,
hanya 29 negara yang telah mengajukan NDC terbaru, mencakup 18% dari emisi global. Banyak
target net-zero nasional dan sektoral bergantung pada keberhasilan pengembangan dan penerapan
teknologi baru rendah karbon, tetapi komitmen tingkat tinggi masih kurang. IEA telah menilai
bagian utama dari sistem energi yang sangat penting untuk mencapai net-zero pada tahun 2030-
2050. Lebih dari 50 komponen, hanya dua yang dianggap tepat yaitu pertumbuhan penjualan
kendaraan listrik dan penyebaran dioda pemancar cahaya serta peningkatan efisiensi
pencahayaan.
Sebagian besar diskusi saat ini tentang pendanaan iklim yang difokuskan di sekitar risiko
transisi iklim merupakan risiko bisnis dan keuangan yang timbul sebagai akibat dari transisi
menuju ekonomi rendah karbon dan kebijakan terkait pergeseran sosial teknologi dan ekonomi.
Data dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menunjukkan bahwa suhu
permukaan global meningkat sebesar 1.090°C antara tahun 2011 dan 2020 dibandingkan dengan
masa pra-industri dan kemungkinan suhu tersebut akan mencapai atau melebihi 150°C pada tahun
2040. Terdapat 3 laporan kesenjangan emisi PBB untuk Oktober 2022 yang menekankan bahwa
lintasan kebijakan saat ini akan mengarah pada peningkatan 280° C di akhir abad ini.
Analisis yang dilakukan oleh Fitch Ratings menunjukkan bahwa peningkatan risiko fisik
dengan dampak negatif ditemukan semakin banyak pada area sektor utilitas, minyak dan gas,
industri, infrastruktur, perumahan, logam serta pertambangan lebih rentan karena umur panjang
aset fisik mereka bersamaan dengan proyeksi peningkatan risiko fisik. Hal ini dapat
mengakibatkan gangguan bisnis atau rantai pasokan, kehilangan atau kerusakan aset yang pada
akhirnya mengakibatkan hilangnya penjualan, biaya rekonstruksi yang lebih tinggi, biaya modal
dan operasi yang lebih tinggi, dan biaya bahan baku yang lebih tinggi.
Risiko iklim fisik semakin dipertimbangkan dalam analisis kredit karena gangguan
terhadap aset fisik dan infrastruktur terus berlanjut. Sebuah pertanyaan yang sering muncul dalam
ESG Relevance Score (ESG.RS) Fitch Ratings, "Paparan terhadap Efek Lingkungan", menjelaskan
keterpaparan emiten terhadap peristiwa cuaca ekstrem dan kemungkinan bahwa peristiwa ini akan
menjadi pendorong pemeringkatan yang penting dalam waktu dekat. Emiten dengan peringkat
eksposur lingkungan 4 atau 5 menunjukkan bahwa risiko fisik dapat mempengaruhi profil kredit.
Pada tahun 2022, Bank Sentral Amerika membuat latihan berbasis berbagai skenario yang
berisi tentang kerentanan bank terhadap risiko transisi dan fisik. Hal yang menjadi fokus pada
latihan ini adalah bank akan kembali mepertimbangkan resiko fisik dalam manajemen resiko
kredit karena adanya masalah iklim.
Sejak tahun lalu, beberapa bank seperti ECB, Bank of England, Hong Kong Monetary
Authority, dan Bank of Canada telah mengikuti jejak Bank Sentral Amerika dengan
mempublikasikan dari uji percobaan mereka. Selain itu, beberapa negara seperti Australia, Brazil,
Singapura, dan Taiwan berencana untuk melakukan uji percobaan tersebut. Dalam temuannya,
ECB menyatakan bahwa bank-bank masih belum siap untuk mengembangkan dan
mengimplementasi kerangka kerja risiko iklim. Hal ini dikarenakan terbatasnya penilaian jaminan,
klasifikasi risiko, dan penetapan harga pinjaman. Selain itu, ECB juga menyatakan bahwa banyak
sekali lembaga-lembaga yang kurang mempertimbangkan potensi bencana saat membangun
perumahan.
Di sisi lain, karena banyaknya kekurangan dan ketidakpastian dalam metodologi ini, maka
para regulator tidak bisa menggabungkan temuan mereka ke dalam pengawasan atau biaya modal
yang meluas. Walaupun begitu, bank sentral dapat menilai bank mana yang cocok dalam
persyaratan mereka. Sebuah bank yang berencana untuk memasukkan resiko iklim ke dalam
manajemen resiko, akan mengalami kesulitan karena memakan waktu yang besar dalam
mempersiapkan resiko jangka panjang maupun pendek. Karena itu, pengumpulan data dan
keakuratan analisis iklim sangat berguna untuk menjalankan kerangka kerja risiko iklim.
Pada tahun 2023, kebijakan akan berfokus mengenai bagaimana cara meningkatkan biaya
untuk program berkelanjutan seperti mitigasi, adaptasi iklim, dan pelestarian alam. Hal ini terjadi
karena COP 27 melakukan pembiayaan untuk EM (emerging markets). Pada tahun 2020,
pembiayaan untuk EM kurang dari target yang diberikan karena pendanaan yang dilakukan dari
program-program tersebut masih kecil. Adanya dukungan pada COP 27 memberikan tanda
mengenai pembiayaan campuran dapat menimbulkan kemajuan namun menurun karena adanya
ketidakpastian pasar.
Menjelang UN Biodiversity Conference (COP 15), pemerintah dan pembuat regulator EM
memanfaatkan minat investor terhadap keanekaragaman lingkungan. Saat pertemuan Majelis
Umum PBB pada bulan September 2022, negara seperti Ekuador dan Gabon menyuarakan
mengenai biaya pembangunan yang besar dan langkah apa yang harus dilakukan untuk
mengembangkan produk keuangan yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati. Selain itu,
penerbitan obligasi (sovereign sustainability-linked bond/SLB) yang dilakukan oleh Uruguay juga
menjadi perbincangan pada konferensi ini, penerbitan obligasi ini digadang-gadang dapat
meningkatkan pelestarian hutan.
Dengan terbitnya obligasi hijau yang dibuat oleh Uruguay, diharapkan EM lainnya dapat
membuat program serupa dalam waktu dekat seperti Barbados yang melakukan transaksi senilai
150 juta USD yang dijamin oleh Inter-American Development Bank. Lembaga keuangan untuk
Biodiversity baru-baru ini membuat Sustainability-Linked Sovereign Debt Hub yang bertujuan
untuk meningkatkan pasar SLB yang berdaulat. Dengan terbentuknya departemen tersebut,
diharapkan EM mendapatkan manfaat dari bantuan ini.
Semakin besarnya minat para investor terhadap keanekaragaman hayati, maka negara
berkembang yang sangat bergantung kepada ekosistem akan diuntungkan. Pertumbuhan dan
pematangan pasar karbon merupakan salah satu keuntungan tersebut. Kredit karbon yang
dihasilkan dari solusi berbasis alam akan populer di tahun-tahun mendatang. Hal ini terjadi karena
adanya banyak proyek penghijauan dan pencegahan deforestasi.
Beberapa tahun yang akan datang nanti, skema tersebut akan sangat membantu negara
berkembang, namun kualitas kredit karbon akan dipertanyakan. Adanya kebijakan yang peduli
akan keanekaragaman hayati membuat penurunan pada beberapa sektor di EM. Terbukti dari
semakin banyaknya komoditas terkait deforestasi yang dilarang untuk diimpor oleh Uni Eropa.
Sebelumnya, larangan hanya berlaku pada kedelai dan minyak sawit, namun sekarang terdapat
penambahan seperti daging, unggas, dan jagung.
Bulan September tahun 2023, Taskforce on Nature-related Financial Disclosures akan
merilis pengungkapan terkait alam dan cara menanggulangi deforestasi yang merupakan langkah
sangat baik karena menunjukkan bahwa investor dan regulator semakin sadar akan kerusakan
lingkungan. Risiko iklim yang sangat rentan dan bergantung pada dana internasional membuktikan
bahwa EM membutuhkan instrumen keuangan yang baru. Solusi yang dapat diberikan adalah
diberlakukannya blended finance. Blended finance merupakan pendekatan yang menggunakan
modal katalis dari dana filantropis untuk menghilangkan risiko EM dan menarik dana investasi
swasta untuk mencapai SDGs.
Menurut IMF, negara-negara berkembang harus menyisihkan dana investasi untuk
infrastruktur energi setiap tahunnya. Namun, hal ini sulit untuk diterapkan karena adanya kenaikan
suku bunga, kenaikan pinjaman, dan dolar Amerika yang semakin kuat. Selain itu, para investor
meminta kejelasan dalam peraturan dan kerangka kerja ESG. Menurut investor, penetapan harga
karbon kurang efektif, standar ESG berkembang, dan kurangnya data mengenai EM membuat
berinvestasi di EM memiliki risiko yang sangat tinggi sehingga menjadi tantangan.
Fokus analisis utama pada laporan tersebut sebenarnya adalah pasar kredit publik, peran
ESG yang semakin meningkat dalam investasi swasta dan ekuitas kemungkinan akan memiliki
dampak penting di seluruh keuangan berkelanjutan. Di sektor-sektor dimana investasi swasta
memainkan peran yang lebih besar dalam struktur modal, prioritas ESG investor akan memiliki
efek yang signifikan.
Meskipun tata kelola selalu menjadi aspek inti dari uji tuntas investasi swasta, fokus pada
aspek lingkungan dan sosial jauh lebih terbatas selain dari perusahaan-perusahaan spesialis
dampak atau investasi tematik. Hal ini mulai berubah, karena investor ekuitas swasta besar, seperti
Carlyle Group, Blackstone dan EQT, semakin mengalokasikan sumber daya mereka untuk
mengintegrasikan ESG ke dalam praktik investasi dan manajemen portofolio.
Sifat model bisnis dalam ekuitas swasta memberikan keuntungan yang berbeda
dibandingkan investor ekuitas publik dalam hal mendorong dan menerapkan agenda
keberlanjutan. Pada model investasi ekuitas swasta yang khas, perusahaan biasanya memegang
kepemilikan dan kontrol dengan cakrawala dan pola pikir investasi jangka panjang.
Memungkinkan pengaruh yang cukup besar dalam membawa perubahan positif di perusahaan
investasinya.
Ketika keberlanjutan bergerak ke atas agenda, dana utang swasta dapat membantu
memobilisasi tindakan pada isu-isu ESG dari tingkat kelembagaan. Kelas aset ini menawarkan
diversifikasi lebih lanjut dalam rangka eksposur industri dan profil pengembalian risiko. Kelas aset
ini juga memberikan akses dan keterlibatan yang lebih besar dengan peminjam daripada pinjaman
arus utama atau investasi pendapatan tetap pasar publik.
Mengingat bahwa kredit swasta adalah kelas aset yang tidak likuid dengan periode
penguncian yang khas selama 3 hingga 5 tahun atau lebih, kredit swasta dapat menjadi sumber
pendanaan yang berguna bagi perusahaan yang membutuhkan lebih banyak waktu dan sumber
daya untuk transisi. Adanya kekhawatiran yang meningkat atas inflasi dan kenaikan suku bunga,
utang semacam itu juga menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi kepada investor institusional.
Sementara mengintegrasikan ESG dalam utang swasta akan menghadapi tantangan untuk
sementara waktu karena kurangnya pendorong struktural, seperti persyaratan peraturan, kami
melihat potensi untuk lebih banyak penerbitan utang swasta yang berfokus pada ESG karena
permintaan terus tumbuh. Pertumbuhan pinjaman terkait keberlanjutan dalam beberapa tahun
terakhir menunjukkan bahwa perusahaan juga semakin menghargai sifat utang swasta yang
dipesan lebih dahulu, serta kecepatan dan fleksibilitas yang dapat diberikan oleh pinjaman yang
dinegosiasikan secara pribadi.
Sikap tentang pentingnya ESG berbeda tajam antar generasi. Mayoritas investor Milenial
dan Generasi Z dalam survei Stanford Graduate School of Business tahun 2022 mengatakan,
mereka ingin manajer investasi mempengaruhi perusahaan dalam praktik lingkungan (85%) dan
sosial (80%), bahkan jika itu berarti penurunan nilai investasi mereka.
Tuntutan dari suara-suara anti-ESG mengarah ke produk investasi baru. Strive Asset
Management mulai menawarkan produk yang disebut ETF "anti-woke" pada tahun 2022 yang
memprioritaskan pengembalian di atas faktor-faktor lain, tetapi tetap memberi tahu investor bahwa
mereka akan menggunakan "suara dan suaranya sebagai pemegang saham untuk mendorong
perilaku positif".
Diperkirakan perusahaan akan menghadapi tekanan yang lebih besar setelah kontroversi
terkait ESG karena pandangan investor ritel cenderung lebih dipengaruhi oleh publisitas dan
pelaporan media di samping data keuangan. Isu-isu penting terkait greenwashing, keragaman, hak-
hak buruh dan kesejahteraan karyawan, serta hubungan masyarakat adalah beberapa di antara isu-
isu yang cenderung menghasilkan umpan balik negatif bagi perusahaan yang berhadapan dengan
konsumen. Karena konsumen semakin menjadi investor, kemampuan mereka untuk
mengekspresikan pandangan mereka tentang topik-topik ESG akan berkembang melampaui
keputusan pembelian hingga pengaruh potensial melalui alokasi aset dan pengaruh melalui
manajer investasi.
Penerapan ESG tidak akan menyelesaikan masalah lingkungan, khususnya di Indonesia
dikarenakan dalam jangka pendek, perusahaan dapat mengkompensasi kurangnya kemampuan
keberlanjutan internal dengan bantuan konsultan eksternal. Kemudian, beralihnya beberapa negara
ke penggunaan batu bara dalam jangka pendek dapat memicu dampak negatif terhadap ESG dan
menghambat proses transisi. Risiko fisik yang berkembang akan mendorong strategi mitigasi
jangka pendek. Investasi berkelanjutan juga membatasi para investor untuk mendapatkan
keuntungan sebanyak-banyaknya. Menurut investor, penetapan harga karbon kurang efektif,
standar ESG berkembang, dan kurangnya data mengenai EM membuat berinvestasi di EM
memiliki risiko yang sangat tinggi sehingga menjadi tantangan. Namun, penerapan ESG ini tidak
selalu berdampak negatif sebab dalam jangka panjang terdapat prospek yang mampu
meningkatkan alokasi modal publik dan modal swasta agar keberlanjutan tetap positif. Adanya isu
resesi di tahun 2023 membuat para pemilik perusahaan dibebaskan apakah ingin tetap mengikuti
prinsip-prinsip ESG agar dapat tetap mempertahankan profit di masa resesi atau sebaliknya untuk
memperbaiki kondisi tersebut.
REFERENSI

Atwell, W., Britsch, A., Cheok, M., Chike-Obi, N., Jia, J., Smith, J., Tisminetzky, T., &
Wartmann, K. (2022, December 12). ESG Market Trends 2023. ESG Investing Data
Research & Ratings. Retrieved January 2, 2023, from
https://www.sustainablefitch.com/infrastructure-project-finance/esg-credit-trends-2023-
12-12-2022?mkt_tok=NzMyLUNLSC03NjcAAAGIxt9Vw3AVJ8UuqApHahA-
WGk4WG9Wu60J0dpGKH-7y2wkcad3wq0jdVZuhxF-
WFyvs2V04qL160UkHM4K_joey91WsPn13P-MxfbOedckBA4viXLkpA

Anda mungkin juga menyukai