Anda di halaman 1dari 28

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI PENYAKIT JANTUNG KORONER


Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik adalah penyakit
jantung yang timbul akibat penyempitan pada arteri koronaria. Penyempitan tersebut dapat
disebabkan antara lain aterosklerosis, berbagai jenis arteritis, emboli koronaria, dan spasme.
Oleh karena aterosklerosis merupakan penyebab terbanyak (99%) maka pembahasan tentang
PJK pada umumnya terbatas penyebab tersebut (Majid, 2008).

EPIDEMIOLOGI
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dan Organisasi Federasi Jantung Sedunia
(World Heart Federation) memprediksi penyakit jantung akan menjadi penyebab utama
kematian di negara-negara Asia pada tahun 2010. Saat ini, sedikitnya 78% kematian global
akibat penyakit jantung terjadi pada kalangan masyarakat miskin dan menengah. Berdasarkan
kondisi itu, dalam keadaan ekonomi terpuruk maka upaya pencegahan merupakan hal
terpenting untuk menurunkan penyakit kardiovaskuler pada 2010 (WHO,2010).

Tingginya angka kematian di Indonesia akibat penyakit jantung koroner (PJK) mencapai
26%. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRTN), dalam 10
tahun terakhir angka tersebut cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 1991, angka
kematian akibat PJK adalah 16 %. kemudian di tahun 2001 angka tersebut melonjak menjadi
26,4 %. Angka kematian akibat PJK diperkirakan mencapai 53,5 per 100.000 penduduk di
negara kita (SKN,2010)

FAKTOR RESIKO (Price, 2008)


FAKTOR RESIKO ATEROSKLEROSIS KORONER
Tidak Dapat Diubah
- Usia (laki-laki > 45 tahun; perempuan >55 tahun atau menopause prematur tanpa terapi
pengganti esterogen)
- Riwayat CAD pada keluarga (MI pada ayah atau saudara laki-laki sebelum usia 55 tahun
atau pada ibu atau saudara perempuan sebelum usia 65 tahun)
Dapat Diubah
- Hiperlipidemia (LDL-C): batas atas, 130-159 mg/dL; tinggi > 160 mg/dL
- HDL-C rendah: <40 mg/dL
- Hipertensi (> 140/90 mmHg atau pada obat antihipertensi)
- Merokok sigaret
- Diabetes melitus (bergantung-insulin atau tidak bergantung-insulin)
- Obesitas, terutama abdominal
- Ketidakaktifan fisik
- Hiperhomosisteinemia (> 16 µmol/L
Faktor Resiko Negatif
- HDL-C tinggi

PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI


Patogenesis (Coughlin, 2006)
Pembentukan Aterosklerosis Ada beberapa hopotesis yang menerangkan tentang proses
terbentuknya aterosklerosis, seperti monoclonal hypothesis, lipogenic hypothesis dan
response to injure hypothesis. Namun yang banyak diperbincangkan adalah mengenai empat
stage respon to injure hypothesis sebagai berikut :
A. Stage A: Endothelial injure
Endotelial yang intake dan licin berfungsi sebagai barrier yang menjamin aliran darah
koroner lancar. Faktor resiko yang dimiliki pasien akan memudahkan masuknya lipoprotein
densitas rendah yang teroksidasi maupun makrofag ke dalam dinding arteri. Interaksi antara
endotelial injure dengan platelet, monosit dan jaringan ikat (collagen), menyebabkan
terjadinya penempelan platelet (platelet adherence) dan agregasi trombosit (trombosit
agregation).
B. Stage B: Fatty Streak Formation

Gambar 1. Pembentukan formasi lapisan lemak dalam ruang subendotel 2


C. Stage C: Fibrosis Plaque Formation
Formasi plak fibrosis terdiri atas inti atau central cholesterol dan tutup jaringan ikat (cap
fibrous). Formasi ini memberikan dua gambaran tipe yaitu:
1) Stable fibrous plaque dan
2) Unstable fibrous plaque

Gambar 2. Formasi plak fibrous yang terdiri atas tutup dan inti

D. Stage D: Unstable Plaque Formation


Formasi ini akan membentuk plak yang mudah ruptur (vulnarable plaque), sehingga
menyebabkan terbentuknya trombus dan oklusi pada arteri.

3
Gambar 3.Timeline dari Aterosklerosis
4
Patofisiologi

KLASIFIKASI
 Angina Pektoris Stabil
Definisi
Sindroma klinis berupa rasa tidak nyaman di dada, rahang, bahu, punggung, atau
lengan yang dipicu oleh aktifitas atau stress emosional yang berangsur menurun intensitas
dan kuantitasnya dengan atau tanpa pengobatan. (Sudoyo, 2009)
Anamnesis
Nyeri dada angina biasanya mempunyai karakteristik tertentu (Sudoyo, 2009):
 Lokasinya biasanya di dada, substernal atau sedikit di kirinya, dengan penjalaran ke leher,
rahang, bahu kiri sampai dengan lengan dan jari-jari bagian ulnar, punggung/ pundak kiri.
 Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri yang tumpul seperti rasa tertindih/berat di dada,
rasa desakan yang kuat dari dalam atau dari bawah diafragma, seperti diremas-remas atau
dada mau pecah dan biasanya pada keadaan yang berat disertai keringat dingin dan sesak
napas serta perasaan takut mati. Biasanya bukanlah nyeri yang tajam, seperti rasa ditusuk-
tusuk/ diiris sembilu, dan bukan pula mules. Tidak jarang pasien mengatakan bahwa ia
merasa tidak enak didadanya. Nyari berhubungan dengan aktivitas, hilang dengan
iistirahat; tapi tidak berhubungan dengan gerakan pernapasan atau gerakan dada ke kiri
dan ke kanan. Nyeri juga dapat dipresipitasi oleh stres fisik ataupun emosional.
 Kuantitas: nyeri yang pertama kali timbul biasanya agaka nyata, dan beberapa menit
sampai kurang dari 20 menit. Bila lebih dari 20 menit dan berat maka harus

5
dipertimbangkan sebagai angina tak stabil. (unstable angina pectoris = UAP) sehingga
dimasukkan ke dalam sindrom koronera akut = acute coronary syndrom = ACS, yang
memerlukan perawatan khusus. Nyari dapat dihilangkan dengan nitrogliserin sublingual
dalam hitungan detik sampai beberapa menit. Nyeri tidak terus menerus, tapi hilang timbul
dengan intensitaas yang makin bertambah atau makin berkurang sampai tekontrol. Nyaeri
yang berlangsung terus menerus sepanjang hari bahkan sampai berhari-hari biasanya
bukanlah nyeri angina pektoris.

Gradasi beratnya nyeri dada telah dibuat oleh Canadian Cardiovascular Society sebagai
berikut (Sudoyo, 2009):
o Kelas I. Aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1-2 lantai dan lain-
lainnya tidak menimbulkaan nyeri dada. Neyri dada baru timbul pada latihan yang berat,
beeerjalan cepat serta terburu-buru waktu kerja atau bepergian.
o Kelas II. Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya AP timbul bila melakukan aktivitas
lebih berat dari biasanya, seperti jalan kaki 2 blok, naik tangga lebih dari 1 lantai atau
terburu-buru, berjalan menanjak atau melawan angina dan lain-lain.
o Kelas III. Aktivitas sehari-hari terbatas. AP timbul bila berjalan 1-2 blok, naik tangga 1
lantai dengan kecepatan biasa.
o Kelas IV. AP timbul pada waktu istirahat. Hampir semua aktivitas dapat menimbulkan
angina, termasuk mandi, manyapu dan lain-lain.

 Sindrom Koroner Akut (Acute Coronary Syndrome / ACS)


Definisi
SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari PJK akibat utama dari proses
aterotrombosis selain stroke iskemik serta peripheral arterial disease (PAD).
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang digunakan
untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi
angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA), infark miokard gelombang non-Q
atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/
NSTEMI), dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST
(ST elevation myocardial infarction/STEMI). APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis
dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui petanda
biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka

6
diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila petanda biokimia ini tidak meninggi, maka
diagnosis adalah APTS (Sudoyo, 2009).
Klasifikasi
Ketiga jenis kejadian koroner itu sesungguhnya merupakan suatu proses berjenjang:
dari fenomena yang ringan sampai yang terberat. Dan jenjang itu terutama dipengaruhi oleh
kolateralisasi, tingkat oklusinya, akut tidaknya dan lamanya iskemia miokard berlangsung
(Sudoyo, 2009).

Gambar 4. Sindrom Koroner Akut (ESC, 2011)

Patogonesis

NO MANIFESTASI KLINIK SKA PATOGENESIS

1 ANGINA PEKTORIS TIDAK Pada angina pektoris tidak stabil


STABIL terjadi erosi atau fisur pada plak
aterosklerosis yang relatif kecil (plak
stabil) dan menimbulkan oklusi
trombus yang transien . Trombus
biasanya labil dan menyebabkan
oklusi sementara yang berlangsung
antara 10-20 menit

2 NSTEMI Pada NSTEMI kerusakan pada plak


lebih berat (plak vulnarable) dan
menimbulkan oklusi yang lebih

7
persisten dan berlangsung sampai
(Non-ST Infarction) Elevation lebih dari 1 jam. Pada kurang lebih ¼
Myocardial pasien NSTEMI, terjadi oklusi
trombus yang berlangsung lebih dari 1
jam, tetapi distal dari penyumbatan
terdapat koleteral. Trombolisis
spontan, resolusi vasikonstriksi dan
koleteral memegang speranan penting
dalam mencegah terjadinya STEMI

3 STEMI Pada STEMI disrupsi plak terjadi pada


daerah yang lebih besar (plak
(ST Elevation Myocardial vulnarable) dan menyebabkan
Infarction) terbentuknya trombus yang fixed dan
persisten yang menyebabkan perfusi
miokard terhenti secara tiba-tiba yang
berlangsung lebih dari 1 (satu) jam
dan menyebabkan nekrosis miokard
transmural

Tabel. Patogenesis Pada Berbagai Manifestasi Klinik SKA (Majid, 2008)

Gambar 5. Rentang ACS dari APTS hingga IMA (Fox, 2004)

1. Angina Pektoris Tidak Stabil


1.1. Definisi
Angina pektoris tak stabil adalah suatu spektrum dari sindroma iskemik miokard akut
yang berada di antara angina pektoris stabil dan infark miokard akut. Yang dimasukan ke

8
dalam angina tak stabil yaitu: (1) Pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan,
dimana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali perhari; (2) Pasien
dengan angina yang bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu serangan angina timbul
lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan faktor presipitasi makin ringan; (3)
Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat (Sudoyo, 2009).

1.2. Klasifikasi
Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat klasifikasi agar ada keseragaman.
Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik (Sudoyo, 2009).
Beratnya angina:
 Kelas I: Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya nyeri dada.
 Kelas II: Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi tidak ada
serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.
 Kelas III: adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara subakut baik sekali
atau lebih, dalam jangka waktu 48 jam terakhir.
Keadaan klinis:
 Kelas A: Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain atau febris.
 Kelas B: Agina tak stabil yang primer, tak ada faktor ekstrakardiak.
 Kelas C: Angina yang timbul setelah serangan infark jantung.
Intensitas pengobatan:
 Tak ada pengobatan atau hanya mendapat pengobatan minimal.
 Timbul keluhan walaupun telah dapat terapi yang standar.
 Masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan pengobatan yang maksimum,
dengan penyekat beta, nitrat dan antagonis kalsium.

NO PATOGENESIS PENAMPILAN KLINIS UMUM

Angina saat Angina terjadi saat istirahat dan terus menerus,


1
istirahat biasanya lebih dari 20 menit

2 Angina pertama Angina yang pertama kali terjadi, setidaknya CCS

9
kali Kelas III*

Angina yang Angina semakin lama makin sering, semakin lama


3
meningkat waktunya atau lebih mudah tercetus

Tabel. Tampilan klinis umum UAP/STEMI (Sudoyo, 2009)

2. Infark Miokard Akut Non ST-Elevasi (NSTEMI)


2.1. Definisi
Angina pektoris tak stabil dan infark miokard akut tanpa ST elevasi diketahui
merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologis dan gambaran klinis
sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI
ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukkan bukati adanya nekrosis
miokard berupa peningkatan biomarker jantung (Sudoyo, 2009).
Skor Resiko TIMI
Skor resiko merupakan suatu metode untuk stratifikasi resiko, dan angka faktor resiko.
Insidens outcome yang buruk (kematian, (re) infark miokard, atau iskemia berat rekuren)
pada 14 hari sekitar antara 5% dengan skor resiko 0-1, sampai 41% dengan skor resiko 6-
7.skor resiko ini berasal dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI 11B dan telah
divalidasi pada empat penelitian tambahan dan satu registry. Dengan meningkatnya skor
resiko, telah diobservasi manfaat yang lebih besar secara progresif pada terapi dengan
LMWH versus UFH, dengan platelet GP IIb/IIIa receptor blocker tirofiban versus placebo,
dan strategi invasif versus konservatif (Sudoyo, 2009).
Pada pasien untuk semua level skor resiko TIMI, penggunaan clopidogrel menunjukkan
penurunan outcome yang buruk relatif sama. Skor resiko juga efektif dalam memprediksi
outcome yang buruk pada pasien setelah pulang (Sudoyo, 2009).

Tabel 8. Skor Resiko TIMI untuk UAP/NSTEMI

- Usia > 65 tahun

- > 3 faktor risiko PJK

10
- Stenosis sebelumnya > 50%

- Deviasi ST

- > 2 kejadian angina < 24 jam

- Aspirin dalam 7 hari terakhir

- Peningkatan petanda jantung

Tabel 8.1. Skor resiko TIMI (Sudoyo, 2009)


3. Infark Miokard Akut ST-Elevasi (STEMI)
3.1. Definisi
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi
sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di
sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau
alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan
mengalami infark.
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarct)
merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri atas angina
pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST(Sudoyo, 2009).

DIAGNOSIS
No Diagnostik Penyakit Jantung Koroner
1 Anamnesis: Nyeri dada iskemik, identifikasi faktor pencetus dan atau
faktor resiko. Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut:
a. Lokasi: substermal, retrostermal dan prekordial.
b. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
c. Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi,
punggung/interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.
d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.
e. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan
sesudah makan
f. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin.
g. Hati-hati pada pasien diabetes mellitus, kerap pasien tidak mengeluh

11
nyeri dada akibat neuropati diabetik.
Berikut perbedaan nyeri dada jantung dan non-jantung

Pada UAP  Crescendo angina, Angina Pektoris Stabil  Decrescendo


Angina pada wanita dan pria:
a. Wanita: Paling sering angina (terkadang pasien hanya bilang sesak
padahal maksudnya nyeri dada)
b. Pria: Paling sering langsung miocard infark  banyak yang sudden
death
2 Pemeriksaan Fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor
pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari PJK. Hipertensi tak
terkontrol, takikardi, anemis, tirotoksikosis, stenosis aorta berat (bising
sistolik), dan kondisi lain, seperti penyakit paru. Dapat juga ditemukan
retinopati hipertensi/diabetik.
Keadaan disfungsi ventrikel kiri/tanda-tanda gagal jantung (hipotensi,
murmur dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya
bruit di karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien
memiliki kemungkinan juga penderita penyakit jantung koroner (PJK).
3 Laboratorium: leukositosis/normal, anemia, gula darah tinggi/normal,
dislipidemia, SGOT meningkat, jika cek enzim jantung maka meningkat
Enzim Jantung Penanda Infark Miokardium (Gambar 8)
Enzim Meningkat Puncak Normal
CK-MB 6 jam 24 jam 36-48 jam
GOT 6-8 jam 36-48 jam 48-96 jam
LDH 24 jam 48-72 jam 7-10 hari
Troponin T 3 jam 12-24 jam 7-10 hari
Troponin I 3 jam 12-24 jam 7-14 hari

12
4 Foto Dada: Kardiomegali, aortosklerosis, edema paru
5 Pemeriksaan Jantung Non-invasif
a. EKG
Akut Koroner Sindrom:
- STEMI  ST elevasi > 2mm minimal pada 2 sandapan prekordial
yang berdampingan atau > 1mm pada 2 sandapan ekstremitas,
LBBB baru atau diduga baru; ada evolusi EKG
- NSTEMI  Normal, ST depresi > 0,05mV, T inverted simetris;
ada evolusi EKG
- UAP  Normal atau transient
Angina Pektoris Stabil  iskemia, dapat kembali normal waktu nyeri
hilang.

Iskemia Injury Infark


ST depresi ST elevasi Q patologis
T inverted simetris AMI
OMI
b. Uji Latihan Jasmani (Treadmill)
b. 85% hr sesuai usia
a. Uji Latihan Jasmani Kombinasi Pencitraan:
- Uji Latih Jasmani Ekokardiografi (Stress Eko)
- Uji Latih Jasmani Scintigrafi Perfusi Miokard
- Uji Latih Jasmani Farmakologik Kombinasi Teknik Imaging
b. Ekokardiografi Istirahat
c. Monitoring EKG Ambulatoar
d. Teknik Non-invasif Penentuan Klasifikasi Koroner dan Anatomi
Koroner:
- Computed Tomografi
- Magnetic Resonance Arteriography
6 Pemeriksaan Invasif Menentukan Anatomi Koroner
- Arteriografi Koroner
- Ultrasound Intra Vaskular (IVUS)

13
Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada
atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit
sejak kedatangan IGD. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI tetapi
pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-
10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk
mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. pada pasien dengan STEMI inferior.
EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q.
sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus
tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak
ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil
atau Non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan
gelombang Q disebut infark non Q. sbelumnya istilah infark miokard transmural digunakan
jika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard non
transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T,
namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologisi EKG dengan lokasi infark
(mural/ transmural) sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA
mural/ nontransmural (Sudoyo, 2009).

14
Gambar. Evolusi segmen ST
http://www.medicinesia.content/uploads/2013/11/Perubahan-EKG-pada-NSTEMI-dan-UAP.png

Uji latih beban jantung/treadmill test


Treadmill test adalah uji latih jantung beban dengan cara memberikan stress fisiologi yang
dapat menyebabkan abnormalitas kardiovaskuler yang tidak ditemukan pada saat istirahat.
Indikasi   
 Untuk menegakkan diagnosa PJK.
 Untuk mengevaluasi keluhan : nyeri dada , sesak nafas  dll.
 Untuk mengevaluasi kapasitas kemampuan fungsional
 Untuk mengevaluasi adanya disritmia.
 Untuk mengevaluasi hasil pengobatan.
 Untuk menentukan prognosa dari kelainan kardiovaskuler

Kontra indikasi :
 Infark miokard akut  < 5 hari.
 Unstable angina pectoris
 Hipertensi berat
 Aritmia yang berarti
 Sesak
 Vertigo

Komplikasi :
 Hipotensi
 Disritmia yang berat
 Infark myocard acute
 Syncope dan stroke
 Trauma fisik (jatuh saat test)
 Henti jantung (cardiac arrest)
 Kematian

Indikasi penghentian test.

1. Keluhan subjektif
 Timbul nyeri dada yang hebat

15
 Sesak nafas
 Vertigo / pusing
 Nyeri pada persendian kaki
 Kelelahan/cape sekali
 Pasien minta agar test dihentikan

2. Objektif
 Respon hipertensi/hipotensi
 Timbul aritmia yang berarti
 ST depresi/ST elevasi >3 mm
 Timbul tanda- tanda perfusi yang buruk (pucat,sianotik,ekstremitas dingin).
 Target HR maximal tercapai

Persiapan Tindakan Treadmill test ada 2 :


1. Persiapan untuk pasien
 Malamnya tidur cukup
 Sebaiknya dua jam sebelum dilakukan tindakan tidak boleh makan
 Pada pagi harinya sebaiknya jangan olahraga dulu.
 Untuk diagnostic sebaiknya obat-obatan kardiovaskuler (beta blocker) dihentikan sesuai
dengan perintah dokter.
 Harus bawa surat consult dari dokter.

2. Persiapan  Alat
 Satu set alat treadmill
 Kertas printer teradmill
 Emergencytroly lengkap dan defibilator
 Plester
 Elektrode
 Oksigen
 Tensimeter dan stetoscpoe
 jelly
 Alkohol 70 % dan kassa  non steril
 Tissue/Handuk kecil
 Celana, baju dan sepatu  yang layak dipakai untuk treadmill.

Cara kerja
1. Pasien di anamnesa dan menjelaskan tentang tata cara,maksud, manfaat dan
resiko dari treadmill.
2. Menentukan  target HR submaximal dan maximal (target HR max : 220 dikurang
umur dan submaximal adalah 85 % dari target HR max)
3. Pasien menandatangani formulir informed consent.
4. Pasien dipersilahkan ganti pakaian, celana dan sepatu treadmill yang telah
disediakan.

16
5. Pasien berbaring denagn tenang di tempat tidur
6. Bersihkan tubuh pasien pada lokasi pemasangan electrode dengan menggunakan
kassa alkohol.
7. Tempelkan electrode sesuai dengan tempat yang sudah ditentukan.
8. Sambungkan dengan kabel treadmill
9. Fiksasi electrode dengan sempurna
10. Masukkan data pasien ke alat treadmill
11. Ukur tekanan darah
12. Rekam EKG 12 leads
13. Jalankan alat treadmill dengan kecepatan sesuai dengan prosedur.
14. Setiap tiga menit speed dan elevation akan bertambah sesuai dengan prosedur
yang sudah ditentukan.
15. Pantau terus perubahan EKG dan keluhan pasien selama tets.
16. Rekam EKG 12 leads dan BP setiap tiga menit.
17. Hentikan test sesuai dengan prosedur.

Recovery 
1. Rekam EKG 12 leads dan ukur tekanan darah setelah test dihentikan.
2. Persilahkan pasien untuk duduk/berbaring.
3. Pantau terus gambaran EKG selama pemulihan.
4. Rekam EKG 12 leads dan ukur tekanan darah setiap tiga menit.
5. Pemulihan biasanya selama enam menit/sembilan menit (hingga gambaran EKG
HR, dan tekanan darah kembali seperti semula)
6. Menberitahukan pada pasien bahwa test sudah selesai.
7. Lepaskan elektrode dan manset BP.
8. Bersihkan jelly yang menempel di dada pasien .
9. Merapihkan kembali alat–alat pada tempatnya.
10. Sebaiknya selama 15 menit pasca treadmill test pasien masih berada dalam
pengawasan petugas.

Laboratorium
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific
troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini
juga akan diikuto peningkatan CKMB, pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. 9
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis
jantung (infark miokard).

17
o CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-
24 jam dan kembali normal dalam 2- 4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi
elektrik dapat meningkatkan CKMB.
o cTn (cardiac spesific troponin): ada 2 jenis cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah
2jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10- 24 jam dan cTn T masih
dapat dideteksi setelah 5- 14 hari, sedangkan cTnI setelah 5- 10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
o Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4- 8 jam.
o Creatinine kinasi (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10- 36 jam dan kembali normal dalam 3- 4 hari.
o Latic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24- 48 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8- 14 hari (Sudoyo, 2009).
Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding ventrikuler
dan konfigurasi atau fungsi katup. Dapat pula digunakan untuk melihat luasnya iskemia bila
dilakukan waktu dada sedang berlangsung (Sudoyo, 2009).
Angiografi Koroner
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar x pada jantung dan
pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk menemukan letak sumbatan pada
arteri koroner (Sudoyo, 2009).

DIAGNOSIS BANDING

18
Tabel 10.1. Kondisi cardiac dan non cardiac sebagai diagnosis banding SKA (ESC, 2011)
TATALAKSANA

Bagan 11.1. Algoritma Untuk Triase dan Tata Laksana SKA (Majid, 2008).

3.2. Tatalaksana secara umum


Prinsip penatalaksanaan SKA adalah mengembalikan aliran darah koroner dengan
trombolitik/ PTCA primer untuk menyelamatkan jantung dari infark miokard, membatasi
luasnya infark miokard, dan mempertahankan fungsi jantung. Penderita SKA perlu
penanganan segera mulai sejak di luar rumah sakit sampai di rumah sakit. Pengenalan SKA
dalam keadaan dini merupakan kemampuan yang harus dimiliki dokter/tenaga medis karena
akan memperbaiki prognosis pasien. Tenggang waktu antara mulai keluhan-diagnosis dini
sampai dengan mulai terapi reperfusi akan sangat mempengaruhi prognosis. Terapi IMA
harus dimulai sedini mungkin, reperfusi/rekanalisasi sudah harus terlaksana sebelum 4-6 jam
(Majid, 2008).
Pasien yang telah ditetapkan sebagai penderita APTS/NSTEMI harus istirahat di ICCU
dengan pemantauan EKG kontiniu untuk mendeteksi iskemia dan aritmia. Oksigen diberikan
pada pasien dengan sianosis atau distres pernapasan. Perlu dilakukan pemasangan oksimetri

19
jari (finger pulse oximetry) atau evaluasi gas darah berkala untuk menetapkan apakah
oksigenisasi kurang (SaO2 <90%). Morfin sulfat diberikan bila keluhan pasien tidak segera
hilang dengan nitrat, bila terjadi endema paru dan atau bila pasien gelisah. Penghambat ACE
diberikan bila hipertensi menetap walaupun telah diberikan nitrat dan penyekat-β pada pasien
dengan disfungsi sistolik faal ventrikel kiri atau gagal jantung dan pada pasien dengan
diabetes. Dapat diperlukan intra-aortic ballon pump bila ditemukan iskemia berat yang
menetap atau berulang walaupun telah diberikan terapi medik atau bila terdapat instabilitas
hemodinamik berat (Majid, 2008).

Terapi Non Medika Mentosa (Majid, 2008).


 Istirahat memungkinkan jantung memompa lebih sedikit darah (penurunan volume
sekuncup) dengan kecepatan yang lambat (penurunan kecepatan denyut jantung). Hal ini
menurukan kerja jantung sehingga kebutuhan oksigen juga berkurang. Posisi duduk adalah
postur yang dianjurkan sewaktu beristirahat. Sebaliknya berbaring, meningkatkan aliran
balik darah ke jantung sehingga terjadi peningkatan volume diastolik akhir, volume
sekuncup dan curah jantung.
 Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan oksigen jantung.

Terapi Medika Mentosa


1. Obat anti-iskemia (Depkes, 2006).
a) Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, dengan
efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress dan
kebutuhan oksigen (Oxygen demand). Nitrat juga menambah oksigen suplay dengan
vasodilatsai pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Dalam keadaan
akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat diberikan secara sublingual atau infus
intravena.
Dosis pemberian intravena: 1-4 mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali maka dapat
diganti dengan per oral.
Preparat :
Nitrogliserin : Nitromock 2,5 - 5 mg tablet sublingual
Nitrodisc 5- 10 mg tempelkan di kulit
Nitroderm 5-10 mg tempelkan di kulit

20
Isosorbid dinitrat : Isobit 5-10 mg tablet sublingual
Isodil 5-10 mg tablet sublingual
Cedocard 5-10 mg tablet sublingual

Tabel 11.1. Rekomendasi dosis golongan nitrat

b) β-blocker : dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan


denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Berbagai macam beta-blocker seperti
propanolol, metoprolol, dan atenolol. Kontra indikasi pemberian penyekat beta antra
lain dengan asma bronkial, bradiaritmia (Depkes, 2006).

Tabel 11.2. Rekomendasi dosis golongan β-blocker

c) Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan tekanan


darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis kalsium (Depkes, 2006):
- Golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat dan penghambatan
nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit dan efek inotropik negatif juga kecil
(Contoh: nifedipin).
- Golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki survival dan
mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal.

21
Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload memberikan keutungan pada
golongan nondihidropiridin pada sindrom koroner akut dengan faal jantung normal
(Contoh : verapamil dan diltiazem).

Tabel 11.3. Rekomendasi dosis golongan antegonis kalsium3

2. Morfin
Morfin adalah analgetik dan anxiolitik poten yang mempunyai efek hemodinamik.
Diperlukan monitoring tekanan darah yang seksama. Obat ini direkomendasikan pada pasien
dengan keluhan menetap atau berulang setelah pemberian terapi anti-iskemik.
Efek samping seperti hipotensi terutama pada pasien dengan kekurangan cairan, mual,
muntah dan depresi pernafasan kadang-kadang terjadi. Naloxone (0.4 – 2 mg IV) dapat
diberikan sebagai antidotum bila terjadi overdosis morfin dengan depresi pernafasan dan/
atau sirkulasi (Depkes, 2006).

Tabel 11.4. Rekomendasi dosis morfin

3. Obat anti-agregasi trombosit (Depkes, 2006).


Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina tidak stabil
maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga gologan obat anti platelet yang terbukti
bermanfaat seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP Iib/IIIa.
a) Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi kematian
jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51% sampai 72% pada
pasien dengan angina tidak stabil. Oleh karena itu aspirin dianjurkan untuk diberikan

22
seumur hidup dengan dosis awal 160mg/ hari dan dosis selanjutnya 80 sampai 325
mg/hari.
b) Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang merupakan obat kedua
dalam pengobatan angina tidak stabil bila pasien tidak tahan aspirin. Dalam pemberian
tiklopidin harus diperhatikan efek samping granulositopenia.
c) Klopidogrel : obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang dapat menghambat
agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin . Klopidogrel terbukti juga
dapat mengurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular. Dosis klopidogrel dimulai
300 mg/hari dan selanjutnya75 mg/hari.
d) Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir pada
proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka
ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi.
Pada saat ini ada 3 macam obat golongan ini yang telah disetujui :
- Absiksimab suatu antibodi mooklonal
- Eptifibatid suatu siklik heptapeptid
- Tirofiban suatu nonpeptid mimetik
4. Obat anti-trombin (Depkes, 2006).
a) Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi rantai polisakarida yang
berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III,
bila terikat dengan heparin akan bekerja menghambat trombin dan dan faktor Xa.
Heparin juga mengikat protein plasma, sel darah, sel endotel yang mempengaruhi
bioavaibilitas. Pada penggunaan obat ini juga diperlukan pemeriksaan trombosit untuk
mendeteksi adanya kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai plisakarida heparin.
Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH mempuyai ikatan terhadap
protein plasma kurang, bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada di Indonesia ialah
dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Keuntungan pemberian LMWH
karena cara pemberian mudah yaitu dapat disuntikkan secara subkutan dan tidak
membutuhkan pemeriksaan laboratorium.

23
Tabel 11.5. Rekomendasi dosis UFH dan LMWH

c) Direct Thrombin Inhibitors (Depkes, 2006).


Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis mempunyai kelebihan karena bekerja
langsung mencegah pembentukan bekuan darah, tanpa dihambat oleh plasma protein
maupun platelet factor 4. Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan infark
miokard, tetapi komplikasi perdarahan bertambah.
Bivalirudin telah disetujui untuk menggantikan heparin pada pasien angina tak stabil
yang menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan heparin bila ada
efek samping trombositopenia akibat heparin (HIT)

5. Tindakan revaskularisasi pembuluh koroner


Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan iskemi berat dan
refakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan penyempitan di left main atau
penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila disertai faal ventrikel kiri yang kurang tindakan
operasi bypass (CABG) mengurangi masuknya kembali ke rumah sakit. Pada pasien
dengan faal jantung yang masih baik dengan penyempitan pada satu pembuluh darah atau
dua pembuluh darah atau bila ada kontraindikasi tindakan pembedahan PCI merupakan
pilihan utama.
Teknik-teknik invasif misalnya percutaneous transluminal coronary angioplasty
(PTCA) dan bedah pintas arteri koroner dapat menurunkan serangan angina klasik.
Dengan PTCA,lesi aterosklerotik didilatasi oleh sebuah kateter yang dimasukkan melalui
kulit ke dalam arteri femoralis atau brakialis dan di dorong ke jantung. Setelah berada di
pembuluh yag sakit, balon yang ada di kateter digembungkan. Hal ini akan memecahkan

24
plak dan meregangkan arteri. Dengan bedah pintas, potongan arteri koroner yang sakit
diikat, dan diambil arteri atau vena dari tempat lain untuk dihubungkan ke bagian yang
tidak sakit. Aliran darah dipulihkan melalui pembuluh baru ini. Pembuluh yang paling
sering ditransplantasikan adalah vena safena atau arteri mamaria interna. Pemasangan
selang artificial atau stent ke dalam arteri agar tatap terbuka kadang-kadang dilakukan
dengan keberhasilan yang bervariasi. Bedah pintas koroner menghilangkan nyeri angina
tetapi tampaknya tidak mempengaruhi mortalitas jangka-panjang (Depkes, 2006).

3.3. Tata Laksana Sebelum Ke Rumah Sakit (RS)


Prinsip penatalaksanaan adalah membuat diagnosis yang cepat dan tepat, menentukan
apakah ada indikasi reperfusi segera dengan trombolitik dan teknis transportasi pasien ke
rumah sakit yang dirujuk. 3
Pasien dengan nyeri dada dapat diduga menderita infark miokard atau angina pektoris
tak stabil dari anamnesis nyeri dada yang teliti. Dalam menghadapi pasien-pasien nyeri dada
dengan kemungkinan penyebabnya kelainan jantung, langkah yang diambil atau tingkatan
dari tata laksana pasien sebelum masuk rumah sakit tergantung ketepatan diagnosis,
kemampuan dan fasilitas pelayanan kesehatan maupun ambulan yang ada. 3
Berdasarkan triase dari pasien dengan kemungkinan SKA, langkah yang diambil pada
prinsipnya sebagai berikut : 3
a. Jika riwayat dan anamnesa curiga adanya SKA
 Berikan asetil salisilat (ASA) 300 mg dikunyah
 Berikan nitrat sublingual
 Rekam EKG 12 sadapan atau kirim ke fasilitas yang memungkinkan
 Jika mungkin periksa petanda biokimia
b. Jika EKG dan petanda biokimia curiga adanya SKA
Kirim pasien ke fasilitas kesehatan terdekat dimana terapi defenitif dapat diberikan
c. Jika EKG dan petanda biokimia tidak pasti akan SKA
 Pasien risiko rendah ; dapat dirujuk ke fasilitas rawat jalan
 Pasien risiko tinggi : pasien harus dirawat
Semua pasien dengan kecurigaan atau diagnosis pasti SKA harus dikirim dengan
ambulan dan fasilitas monitoring dari tanda vital. Pasien harus diberikan penghilang rasa
sakit, nitrat dan oksigen nasal. Pasien harus ditandu dengan posisi yang menyenangkan,
dianjurkan elevasi kepala 40 derajat dan harus terpasang akses intravena. Sebaiknya
digunakan ambulan/ambulan khusus. 3

25
3.4. Tata Laksana di Rumah Sakit
Instalasi Gawat Darurat
Pasien-pasien yang tiba di UGD, harus segera dievaluasi karena kita berpacu dengan
waktu dan bila makin cepat tindakan reperfusi dilakukan hasilnya akan lebih baik. Tujuannya
adalah mencegah terjadinya infark miokard ataupun membatasi luasnya infark dan
mempertahankan fungsi jantung. Manajemen yang dilakukan adalah sebagai berikut :
Dalam 10 menit pertama harus selesai dilaksanakan adalah: 3
a) pemeriksaan klinis dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan,
b) periksa enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT,
c) berikan segera: 02, infus NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%,
d) pasang monitoring EKG secara kontiniu,
e) pemberian obat:
f) nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi bila TD sistolik
< 90 mmHg), bradikardia (< 50 kali/menit), takikardia,
g) aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak responsif diganti dengan dipiridamol, tiklopidin atau
klopidogrel, dan
h) mengatasi nyeri: morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5 menit sampai
dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg intravena.

3.5. Hasil penilaian EKG, bila:


a. Elevasi segmen ST > 0,1 mV pada 2 atau lebih sadapan ekstremitas berdampingan atau >
0,2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial berdampingan atau blok berkas (BBB)
dan anamnesis dicurigai adanya IMA maka sikap yang diambil adalah dilakukan reperfusi
dengan:
o terapi trombolitik bila waktu mulai nyeri dada sampai terapi < 12 jam, usia < 75
tahun dan tidak ada kontraindikasi.
o angioplasti koroner (PTCA) primer bila fasilitas alat dan tenaga memungkinkan.
PTCA primer sebagai terapi alternatif trombolitik atau bila syok kardiogenik atau
bila ada kontraindikasi terapi trombolitik
b. Bila sangat mencurigai ada iskemia (depresi segmen ST, insersi T), diberi terapi anti-
iskemia, maka segera dirawat di ICCU;

26
c. EKG normal atau nondiagnostik, maka pemantauan dilanjutkan di UGD. Perhatikan
monitoring EKG dan ulang secara serial dalam pemantauan 12 jam pemeriksaan enzim
jantung dari mulai nyeri dada dan bila pada evaluasi selama 12 jam, bila:
o EKG normal dan enzim jantung normal, pasien berobat jalan untuk evaluasi
stress test atau rawat inap di ruangan (bukan di ICCU), dan
o EKG ada perubahan bermakna atau enzim jantung meningkat, pasien di rawat
di ICCU. 3

Pencegahan
a. Perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain), penurunan BB,
penyesuaian diet, olahraga teratur dan lain-lain.
b. Mengobati faktor predisposisi dan faktor pencetus : stress, emosi, hipertensi,
penyakit DM, hiperlipidemia, obesitas, anemia.
c. Menghindari bekerja pada keadaan dingin atau stres lain yang diketahui
mencetuskan serangan angina klasik pada seseorang.
d. Memberikan penjelasan perlunya melatih aktivitas sehari-hari sehingga untuk
meningkatkan kemampuan jantung agar dapat mengurangi serangan jantung.3

Komplikasi Infark Miokard


Komplikasi tergantung bagian yang rusak.
1. Komplikasi langsung yaitu
a. Aritmia Jantung
b. Gagal jantung akut
c. Syok kardiogenik

2. komplisi STEMI tidak langsung yaitu


a. Dressler syndrome
b. Gagal jantung kronik

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Coughlin, DeBeasi. (2006). Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Patofisiologi Konsep


Klinis Proses-proses Penyakit (6th ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Departemen Kesehatan. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung
Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas
Dan Klinik
3. Europen Society of Cardiology. 2012. ESC Guidelines For The Management Of
Acute Coronary Syndromes In Patient Presenting Without Persistent ST-Segment
Elevation Majid A. Penyakit Jantung Koroner : Patofisiologi, Pencegahan, dan
Pengobatan Terkini. 2008.

4. Nerrida S. Karakteristik penderita Penyakit Jantung Koroner Rawat Inap di RSUP H.


Adam Malik. 2009.

5. Price, SA. 2008. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: ECG.
Hal: 576-581
6. Raden, Inmar. 2010. Anatomi Kedokteran: Sistem Kardiovaskular. Jakarta: Bagian
Anatomi FKUY

7. Snell, Richard. S. 2006. Anatomi Klinis untuk Mahasiswa Edisi 6. EGC. Jakarta.  hal.
101 – 111

8. Sudoyo AW, et al.2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing

28

Anda mungkin juga menyukai