EPIDEMIOLOGI
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dan Organisasi Federasi Jantung Sedunia
(World Heart Federation) memprediksi penyakit jantung akan menjadi penyebab utama
kematian di negara-negara Asia pada tahun 2010. Saat ini, sedikitnya 78% kematian global
akibat penyakit jantung terjadi pada kalangan masyarakat miskin dan menengah. Berdasarkan
kondisi itu, dalam keadaan ekonomi terpuruk maka upaya pencegahan merupakan hal
terpenting untuk menurunkan penyakit kardiovaskuler pada 2010 (WHO,2010).
Tingginya angka kematian di Indonesia akibat penyakit jantung koroner (PJK) mencapai
26%. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRTN), dalam 10
tahun terakhir angka tersebut cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 1991, angka
kematian akibat PJK adalah 16 %. kemudian di tahun 2001 angka tersebut melonjak menjadi
26,4 %. Angka kematian akibat PJK diperkirakan mencapai 53,5 per 100.000 penduduk di
negara kita (SKN,2010)
Gambar 2. Formasi plak fibrous yang terdiri atas tutup dan inti
3
Gambar 3.Timeline dari Aterosklerosis
4
Patofisiologi
KLASIFIKASI
Angina Pektoris Stabil
Definisi
Sindroma klinis berupa rasa tidak nyaman di dada, rahang, bahu, punggung, atau
lengan yang dipicu oleh aktifitas atau stress emosional yang berangsur menurun intensitas
dan kuantitasnya dengan atau tanpa pengobatan. (Sudoyo, 2009)
Anamnesis
Nyeri dada angina biasanya mempunyai karakteristik tertentu (Sudoyo, 2009):
Lokasinya biasanya di dada, substernal atau sedikit di kirinya, dengan penjalaran ke leher,
rahang, bahu kiri sampai dengan lengan dan jari-jari bagian ulnar, punggung/ pundak kiri.
Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri yang tumpul seperti rasa tertindih/berat di dada,
rasa desakan yang kuat dari dalam atau dari bawah diafragma, seperti diremas-remas atau
dada mau pecah dan biasanya pada keadaan yang berat disertai keringat dingin dan sesak
napas serta perasaan takut mati. Biasanya bukanlah nyeri yang tajam, seperti rasa ditusuk-
tusuk/ diiris sembilu, dan bukan pula mules. Tidak jarang pasien mengatakan bahwa ia
merasa tidak enak didadanya. Nyari berhubungan dengan aktivitas, hilang dengan
iistirahat; tapi tidak berhubungan dengan gerakan pernapasan atau gerakan dada ke kiri
dan ke kanan. Nyeri juga dapat dipresipitasi oleh stres fisik ataupun emosional.
Kuantitas: nyeri yang pertama kali timbul biasanya agaka nyata, dan beberapa menit
sampai kurang dari 20 menit. Bila lebih dari 20 menit dan berat maka harus
5
dipertimbangkan sebagai angina tak stabil. (unstable angina pectoris = UAP) sehingga
dimasukkan ke dalam sindrom koronera akut = acute coronary syndrom = ACS, yang
memerlukan perawatan khusus. Nyari dapat dihilangkan dengan nitrogliserin sublingual
dalam hitungan detik sampai beberapa menit. Nyeri tidak terus menerus, tapi hilang timbul
dengan intensitaas yang makin bertambah atau makin berkurang sampai tekontrol. Nyaeri
yang berlangsung terus menerus sepanjang hari bahkan sampai berhari-hari biasanya
bukanlah nyeri angina pektoris.
Gradasi beratnya nyeri dada telah dibuat oleh Canadian Cardiovascular Society sebagai
berikut (Sudoyo, 2009):
o Kelas I. Aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1-2 lantai dan lain-
lainnya tidak menimbulkaan nyeri dada. Neyri dada baru timbul pada latihan yang berat,
beeerjalan cepat serta terburu-buru waktu kerja atau bepergian.
o Kelas II. Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya AP timbul bila melakukan aktivitas
lebih berat dari biasanya, seperti jalan kaki 2 blok, naik tangga lebih dari 1 lantai atau
terburu-buru, berjalan menanjak atau melawan angina dan lain-lain.
o Kelas III. Aktivitas sehari-hari terbatas. AP timbul bila berjalan 1-2 blok, naik tangga 1
lantai dengan kecepatan biasa.
o Kelas IV. AP timbul pada waktu istirahat. Hampir semua aktivitas dapat menimbulkan
angina, termasuk mandi, manyapu dan lain-lain.
6
diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila petanda biokimia ini tidak meninggi, maka
diagnosis adalah APTS (Sudoyo, 2009).
Klasifikasi
Ketiga jenis kejadian koroner itu sesungguhnya merupakan suatu proses berjenjang:
dari fenomena yang ringan sampai yang terberat. Dan jenjang itu terutama dipengaruhi oleh
kolateralisasi, tingkat oklusinya, akut tidaknya dan lamanya iskemia miokard berlangsung
(Sudoyo, 2009).
Patogonesis
7
persisten dan berlangsung sampai
(Non-ST Infarction) Elevation lebih dari 1 jam. Pada kurang lebih ¼
Myocardial pasien NSTEMI, terjadi oklusi
trombus yang berlangsung lebih dari 1
jam, tetapi distal dari penyumbatan
terdapat koleteral. Trombolisis
spontan, resolusi vasikonstriksi dan
koleteral memegang speranan penting
dalam mencegah terjadinya STEMI
8
dalam angina tak stabil yaitu: (1) Pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan,
dimana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali perhari; (2) Pasien
dengan angina yang bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu serangan angina timbul
lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan faktor presipitasi makin ringan; (3)
Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat (Sudoyo, 2009).
1.2. Klasifikasi
Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat klasifikasi agar ada keseragaman.
Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik (Sudoyo, 2009).
Beratnya angina:
Kelas I: Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya nyeri dada.
Kelas II: Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi tidak ada
serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.
Kelas III: adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara subakut baik sekali
atau lebih, dalam jangka waktu 48 jam terakhir.
Keadaan klinis:
Kelas A: Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain atau febris.
Kelas B: Agina tak stabil yang primer, tak ada faktor ekstrakardiak.
Kelas C: Angina yang timbul setelah serangan infark jantung.
Intensitas pengobatan:
Tak ada pengobatan atau hanya mendapat pengobatan minimal.
Timbul keluhan walaupun telah dapat terapi yang standar.
Masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan pengobatan yang maksimum,
dengan penyekat beta, nitrat dan antagonis kalsium.
9
kali Kelas III*
10
- Stenosis sebelumnya > 50%
- Deviasi ST
DIAGNOSIS
No Diagnostik Penyakit Jantung Koroner
1 Anamnesis: Nyeri dada iskemik, identifikasi faktor pencetus dan atau
faktor resiko. Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut:
a. Lokasi: substermal, retrostermal dan prekordial.
b. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
c. Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi,
punggung/interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.
d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.
e. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan
sesudah makan
f. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin.
g. Hati-hati pada pasien diabetes mellitus, kerap pasien tidak mengeluh
11
nyeri dada akibat neuropati diabetik.
Berikut perbedaan nyeri dada jantung dan non-jantung
12
4 Foto Dada: Kardiomegali, aortosklerosis, edema paru
5 Pemeriksaan Jantung Non-invasif
a. EKG
Akut Koroner Sindrom:
- STEMI ST elevasi > 2mm minimal pada 2 sandapan prekordial
yang berdampingan atau > 1mm pada 2 sandapan ekstremitas,
LBBB baru atau diduga baru; ada evolusi EKG
- NSTEMI Normal, ST depresi > 0,05mV, T inverted simetris;
ada evolusi EKG
- UAP Normal atau transient
Angina Pektoris Stabil iskemia, dapat kembali normal waktu nyeri
hilang.
13
Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada
atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit
sejak kedatangan IGD. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI tetapi
pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-
10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk
mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. pada pasien dengan STEMI inferior.
EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q.
sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus
tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak
ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil
atau Non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan
gelombang Q disebut infark non Q. sbelumnya istilah infark miokard transmural digunakan
jika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard non
transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T,
namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologisi EKG dengan lokasi infark
(mural/ transmural) sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA
mural/ nontransmural (Sudoyo, 2009).
14
Gambar. Evolusi segmen ST
http://www.medicinesia.content/uploads/2013/11/Perubahan-EKG-pada-NSTEMI-dan-UAP.png
Kontra indikasi :
Infark miokard akut < 5 hari.
Unstable angina pectoris
Hipertensi berat
Aritmia yang berarti
Sesak
Vertigo
Komplikasi :
Hipotensi
Disritmia yang berat
Infark myocard acute
Syncope dan stroke
Trauma fisik (jatuh saat test)
Henti jantung (cardiac arrest)
Kematian
1. Keluhan subjektif
Timbul nyeri dada yang hebat
15
Sesak nafas
Vertigo / pusing
Nyeri pada persendian kaki
Kelelahan/cape sekali
Pasien minta agar test dihentikan
2. Objektif
Respon hipertensi/hipotensi
Timbul aritmia yang berarti
ST depresi/ST elevasi >3 mm
Timbul tanda- tanda perfusi yang buruk (pucat,sianotik,ekstremitas dingin).
Target HR maximal tercapai
2. Persiapan Alat
Satu set alat treadmill
Kertas printer teradmill
Emergencytroly lengkap dan defibilator
Plester
Elektrode
Oksigen
Tensimeter dan stetoscpoe
jelly
Alkohol 70 % dan kassa non steril
Tissue/Handuk kecil
Celana, baju dan sepatu yang layak dipakai untuk treadmill.
Cara kerja
1. Pasien di anamnesa dan menjelaskan tentang tata cara,maksud, manfaat dan
resiko dari treadmill.
2. Menentukan target HR submaximal dan maximal (target HR max : 220 dikurang
umur dan submaximal adalah 85 % dari target HR max)
3. Pasien menandatangani formulir informed consent.
4. Pasien dipersilahkan ganti pakaian, celana dan sepatu treadmill yang telah
disediakan.
16
5. Pasien berbaring denagn tenang di tempat tidur
6. Bersihkan tubuh pasien pada lokasi pemasangan electrode dengan menggunakan
kassa alkohol.
7. Tempelkan electrode sesuai dengan tempat yang sudah ditentukan.
8. Sambungkan dengan kabel treadmill
9. Fiksasi electrode dengan sempurna
10. Masukkan data pasien ke alat treadmill
11. Ukur tekanan darah
12. Rekam EKG 12 leads
13. Jalankan alat treadmill dengan kecepatan sesuai dengan prosedur.
14. Setiap tiga menit speed dan elevation akan bertambah sesuai dengan prosedur
yang sudah ditentukan.
15. Pantau terus perubahan EKG dan keluhan pasien selama tets.
16. Rekam EKG 12 leads dan BP setiap tiga menit.
17. Hentikan test sesuai dengan prosedur.
Recovery
1. Rekam EKG 12 leads dan ukur tekanan darah setelah test dihentikan.
2. Persilahkan pasien untuk duduk/berbaring.
3. Pantau terus gambaran EKG selama pemulihan.
4. Rekam EKG 12 leads dan ukur tekanan darah setiap tiga menit.
5. Pemulihan biasanya selama enam menit/sembilan menit (hingga gambaran EKG
HR, dan tekanan darah kembali seperti semula)
6. Menberitahukan pada pasien bahwa test sudah selesai.
7. Lepaskan elektrode dan manset BP.
8. Bersihkan jelly yang menempel di dada pasien .
9. Merapihkan kembali alat–alat pada tempatnya.
10. Sebaiknya selama 15 menit pasca treadmill test pasien masih berada dalam
pengawasan petugas.
Laboratorium
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific
troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini
juga akan diikuto peningkatan CKMB, pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. 9
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis
jantung (infark miokard).
17
o CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-
24 jam dan kembali normal dalam 2- 4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi
elektrik dapat meningkatkan CKMB.
o cTn (cardiac spesific troponin): ada 2 jenis cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah
2jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10- 24 jam dan cTn T masih
dapat dideteksi setelah 5- 14 hari, sedangkan cTnI setelah 5- 10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
o Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4- 8 jam.
o Creatinine kinasi (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10- 36 jam dan kembali normal dalam 3- 4 hari.
o Latic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24- 48 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8- 14 hari (Sudoyo, 2009).
Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding ventrikuler
dan konfigurasi atau fungsi katup. Dapat pula digunakan untuk melihat luasnya iskemia bila
dilakukan waktu dada sedang berlangsung (Sudoyo, 2009).
Angiografi Koroner
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar x pada jantung dan
pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk menemukan letak sumbatan pada
arteri koroner (Sudoyo, 2009).
DIAGNOSIS BANDING
18
Tabel 10.1. Kondisi cardiac dan non cardiac sebagai diagnosis banding SKA (ESC, 2011)
TATALAKSANA
Bagan 11.1. Algoritma Untuk Triase dan Tata Laksana SKA (Majid, 2008).
19
jari (finger pulse oximetry) atau evaluasi gas darah berkala untuk menetapkan apakah
oksigenisasi kurang (SaO2 <90%). Morfin sulfat diberikan bila keluhan pasien tidak segera
hilang dengan nitrat, bila terjadi endema paru dan atau bila pasien gelisah. Penghambat ACE
diberikan bila hipertensi menetap walaupun telah diberikan nitrat dan penyekat-β pada pasien
dengan disfungsi sistolik faal ventrikel kiri atau gagal jantung dan pada pasien dengan
diabetes. Dapat diperlukan intra-aortic ballon pump bila ditemukan iskemia berat yang
menetap atau berulang walaupun telah diberikan terapi medik atau bila terdapat instabilitas
hemodinamik berat (Majid, 2008).
20
Isosorbid dinitrat : Isobit 5-10 mg tablet sublingual
Isodil 5-10 mg tablet sublingual
Cedocard 5-10 mg tablet sublingual
21
Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload memberikan keutungan pada
golongan nondihidropiridin pada sindrom koroner akut dengan faal jantung normal
(Contoh : verapamil dan diltiazem).
2. Morfin
Morfin adalah analgetik dan anxiolitik poten yang mempunyai efek hemodinamik.
Diperlukan monitoring tekanan darah yang seksama. Obat ini direkomendasikan pada pasien
dengan keluhan menetap atau berulang setelah pemberian terapi anti-iskemik.
Efek samping seperti hipotensi terutama pada pasien dengan kekurangan cairan, mual,
muntah dan depresi pernafasan kadang-kadang terjadi. Naloxone (0.4 – 2 mg IV) dapat
diberikan sebagai antidotum bila terjadi overdosis morfin dengan depresi pernafasan dan/
atau sirkulasi (Depkes, 2006).
22
seumur hidup dengan dosis awal 160mg/ hari dan dosis selanjutnya 80 sampai 325
mg/hari.
b) Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang merupakan obat kedua
dalam pengobatan angina tidak stabil bila pasien tidak tahan aspirin. Dalam pemberian
tiklopidin harus diperhatikan efek samping granulositopenia.
c) Klopidogrel : obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang dapat menghambat
agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin . Klopidogrel terbukti juga
dapat mengurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular. Dosis klopidogrel dimulai
300 mg/hari dan selanjutnya75 mg/hari.
d) Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir pada
proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka
ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi.
Pada saat ini ada 3 macam obat golongan ini yang telah disetujui :
- Absiksimab suatu antibodi mooklonal
- Eptifibatid suatu siklik heptapeptid
- Tirofiban suatu nonpeptid mimetik
4. Obat anti-trombin (Depkes, 2006).
a) Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi rantai polisakarida yang
berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III,
bila terikat dengan heparin akan bekerja menghambat trombin dan dan faktor Xa.
Heparin juga mengikat protein plasma, sel darah, sel endotel yang mempengaruhi
bioavaibilitas. Pada penggunaan obat ini juga diperlukan pemeriksaan trombosit untuk
mendeteksi adanya kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai plisakarida heparin.
Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH mempuyai ikatan terhadap
protein plasma kurang, bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada di Indonesia ialah
dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Keuntungan pemberian LMWH
karena cara pemberian mudah yaitu dapat disuntikkan secara subkutan dan tidak
membutuhkan pemeriksaan laboratorium.
23
Tabel 11.5. Rekomendasi dosis UFH dan LMWH
24
plak dan meregangkan arteri. Dengan bedah pintas, potongan arteri koroner yang sakit
diikat, dan diambil arteri atau vena dari tempat lain untuk dihubungkan ke bagian yang
tidak sakit. Aliran darah dipulihkan melalui pembuluh baru ini. Pembuluh yang paling
sering ditransplantasikan adalah vena safena atau arteri mamaria interna. Pemasangan
selang artificial atau stent ke dalam arteri agar tatap terbuka kadang-kadang dilakukan
dengan keberhasilan yang bervariasi. Bedah pintas koroner menghilangkan nyeri angina
tetapi tampaknya tidak mempengaruhi mortalitas jangka-panjang (Depkes, 2006).
25
3.4. Tata Laksana di Rumah Sakit
Instalasi Gawat Darurat
Pasien-pasien yang tiba di UGD, harus segera dievaluasi karena kita berpacu dengan
waktu dan bila makin cepat tindakan reperfusi dilakukan hasilnya akan lebih baik. Tujuannya
adalah mencegah terjadinya infark miokard ataupun membatasi luasnya infark dan
mempertahankan fungsi jantung. Manajemen yang dilakukan adalah sebagai berikut :
Dalam 10 menit pertama harus selesai dilaksanakan adalah: 3
a) pemeriksaan klinis dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan,
b) periksa enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT,
c) berikan segera: 02, infus NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%,
d) pasang monitoring EKG secara kontiniu,
e) pemberian obat:
f) nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi bila TD sistolik
< 90 mmHg), bradikardia (< 50 kali/menit), takikardia,
g) aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak responsif diganti dengan dipiridamol, tiklopidin atau
klopidogrel, dan
h) mengatasi nyeri: morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5 menit sampai
dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg intravena.
26
c. EKG normal atau nondiagnostik, maka pemantauan dilanjutkan di UGD. Perhatikan
monitoring EKG dan ulang secara serial dalam pemantauan 12 jam pemeriksaan enzim
jantung dari mulai nyeri dada dan bila pada evaluasi selama 12 jam, bila:
o EKG normal dan enzim jantung normal, pasien berobat jalan untuk evaluasi
stress test atau rawat inap di ruangan (bukan di ICCU), dan
o EKG ada perubahan bermakna atau enzim jantung meningkat, pasien di rawat
di ICCU. 3
Pencegahan
a. Perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain), penurunan BB,
penyesuaian diet, olahraga teratur dan lain-lain.
b. Mengobati faktor predisposisi dan faktor pencetus : stress, emosi, hipertensi,
penyakit DM, hiperlipidemia, obesitas, anemia.
c. Menghindari bekerja pada keadaan dingin atau stres lain yang diketahui
mencetuskan serangan angina klasik pada seseorang.
d. Memberikan penjelasan perlunya melatih aktivitas sehari-hari sehingga untuk
meningkatkan kemampuan jantung agar dapat mengurangi serangan jantung.3
27
DAFTAR PUSTAKA
5. Price, SA. 2008. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: ECG.
Hal: 576-581
6. Raden, Inmar. 2010. Anatomi Kedokteran: Sistem Kardiovaskular. Jakarta: Bagian
Anatomi FKUY
7. Snell, Richard. S. 2006. Anatomi Klinis untuk Mahasiswa Edisi 6. EGC. Jakarta. hal.
101 – 111
8. Sudoyo AW, et al.2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing
28