Anda di halaman 1dari 36

INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DAN KETIDAK NORMALAN

PADA GENETALIA

Tugas peper kelompok 3


Evikariani, Larasty f latongki, Nurul magfirah

I. INFEKSI MENULAR SEKSUAL


Infeksi menular seksual (IMS) adalah berbagai bakter yang dapat menular dari
satu orang ke orang yang lain melalui kontak seksual IMS merupakan satu diantara
penyebab penyakit utama di dunia dan telah memberikan dampak luas pada masalah
kesehatan, sosial, dan ekonomi di banyak negara. Menurut The Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) terdapat sekitar 20 juta kasus baru IMS dilaporkan
per-tahun. Kelompok remaja dan dewasa muda (15-24 tahun) adalah kelompok umur
yang memiliki risiko paling tinggi untuk tertular IMS, dimana 3 juta kasus baru tiap
tahun adalah dari kelompok ini. Meskipun ada peningkatan umur wanita kawin dan
umur pertama kali hamil, akan tetapi sebaliknya umur wanita untuk memulai kegiatan
seksualnya cenderung semakin muda dan semakin liberal. Dan hal ini akan
mengundang IMS dengan segala dampak ikutannya. (Kornia dkk, 2006) Kehamilan
sendiri dapat mengubah penampampakan klinik IMS dan akan mempersulit diagnosis
dan terapi. Pada wanita hamil terjadi perubahan anatomi, penurunan reaksi
imunologis, perubahan flora serviko-vaginal, yang semuanya akan berpengaruh pada
perjalanan dan manifestasi klinis IMS itu sendiri.
Penanggulangan penyakit menular seksual harus memperhatikan aspek medis,
epidemiologis, ekonomi, dan sosial-budaya. (Genuis et al, 2005) Secara medis,
penanganan penyakit menular seksual meliputi penegakan diagnosis yang tepat,
pengobatan yang efektif, konseling yang baik, dan penanganan pasangan penderita
yang berobat. (Daili, 2002) Diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai infeksi
menular seksual dalam kehamilan agar upaya dapat dilakukan pencegahan dan
penanganan yang tepat. Selain itu untuk penanganan dari aspek lainnya, diperlukan
kerjasama lintas sektoral, meliputi pemerintah setempat, tokoh agama dan budaya,
pendidikan, dan lainnya.
Macam –macam infesksi menular seksual :
1. Sifilis
Sifilis disebabkan oleh Treponema pallidum, yaitu sejenis bakteri yang
berbentuk spiral. Penularan bisa terjadi melalui tranfusi darah bila donor berada
dalam tahap awal infeksi tersebut. (Hutapea, 2005) Infeksi bisa ditularkan dari
seorang ibu yang terinfeksi kepada bayinya yang belum lahir.
Sifilis yang terkait dengan kehamilan adalah sifilis congenital merupakan
penyakit yang didapatkan janin dalam uterus dari ibu yang menderita sifilis. Infeksi
sifilis terhadap janin dapat terjadi pada setiap stadium sifilis dan setiap masa
kehamilan. infeksi tidak dapat terjadi sebelum janin berusia 18 minggu, karena
lapisan Langhans yang merupakan pertahanan janin terhadap infeksi masih belum
atrofi. Tetapi ternyata dengan mikroskop elektron dapat ditemukan Treponema
pallidum pada janin minggu. (Arifin, 2010) Sifilis kongenital dini merupakan gejala
sifilis yang muncul pada dua tahun pertama kehidupan anak, dan jika muncul setelah
dua tahun pertama kehidupan anak disebut dengan sifilis kongenital lanjut.
Sifilis dapat ditularkan oleh ibu pada waktu persalinan, namun sebagian besar
kasus sifilis kongenital merupakan akibat penularan in utero. Risiko sifilis kongenital
berhubungan langsung dengan stadium sifilis yang diderita ibu semasa kehamilan.
sifilis kongenital biasanya timbul setelah 4 bulan in uterus pada saat janin sudah
dalam keadaan imunokompeten. Penularan in utero terjadi transplasental, sehingga
dapat dijumpai Treponema pallidum pada plasenta, tali pusat, serta cairan amnion.
Treponema pallidum melalui plasenta masuk ke dalam peredaran darah janin dan
menyebar keseluruh jaringan. Kemudian berkembang biak dan menyebabkan respons
peradangan selular yang akan merusak janin. (Ahmad,2009).
Sifilis kongenital merupakan salah satu komplikasi sifilis yang berat. Akibat
langsung penyakit ini terhadap janin antara lain: kematian janin dalam kandungan,
partus prematurus, dan partus immaturus. Gejala yang ditemukan pada sifilis
kongenital adalah: (Ahmad, 2009; Hutapea, 2005)
a) Pertumbuhan intrauterine yang terlambat
b) Kelainan membrane mukosa: Mucous patch dapat ditemukan di bibir, mulut,
farings laring dan mukosa genital. Rinitis sifilitika (snuffles) dengan gambaran
yang khas berupa cairan hidung yang mula mula encer tetapi kemudian menjadi
pekat, purulen dan hemo menjadi tersumbat sehingga menyulitkan pemberian
makanan.
c) Kelainan kulit, rambut dan kuku: Dapat berupa makula eritem, papu
d) papuloskuamosa, dan bula. Bi sudah ada sejak lahir, tersebar secara
e) simetris terutama pada telapak tan dan telapak kaki. Makula, papula, atau
f) papulomatous tersebar secara generalisata dan simetris. Di daerah yang lembab,
papula menjadi erosif dan membasah atau menjadi hipertrofik (kondiloma lata).
Pada kasus yang berat tampak kulit menjadi keriput terut pada daerah muka
sehingga bayi tampak seperti orang tua. Rambut jarang dan kaku, alopesia areata
terutama pada sisi dan belakang kepala. Alopesia dapat juga mengenai alis dan
bulu mata. osifilitika disebabkan oleh papula yang timbul pada dasar kuku
menyebabkan kuku menjadi terlepas. Kuku baru yang tumbuh berwarna suram,
tidak teratur, dan menyempit pada bagian dasarnya.
g) Kelainan tulang: Pada 6 bulan pertama, osteokondritis, periostitis, dan osteitis
pada tulangtulang panjang merupakan gambaran yang khas. Perubahan yang
paling mencolok tampak pada daerah pertumbuhan tulang di dekat epifisis.
Epifisis membesar, garis epifisis melebar dan tidak teratur. Pada batas metafisis
dengan garis kartilago epifisis tampak daerah kalsifikasi yang densitasn
meningkat dan tidak teratur sehingga pemeriksaan sinar X memberikan gambaran
seperti gigi gergaji. Pseudoparalisis pada anggota gerak disebabkan oleh
pembengkakan periartikular dan nyeri pada ujung tulang sehingga gerakan
menjadi terbatas. berbagai tingkat kehidupan intrauterina Sifilis kongenital
merupakan salah satu komplikasi sifilis yang berat. Akibat langsung ini terhadap
janin antara lain: kematian janin dalam kandungan, partus prematurus, dan partus
immaturus. Gejala yang ditemukan pada sifilis kongenital adalah: (Ahmad, 2009;
Hutapea, 2005) Pertumbuhan intrauterine yang terlambat
h) Kelainan membrane mukosa: Mucous patch dapat ditemukan di bibir, mulut,
farings, laring dan mukosa genital. Rinitis sifilitika (snuffles) dengan gambaran
yang khas berupa cairan hidung yang mulamula encer tetapi kemudian menjadi
pekat, purulen dan hemoragik. Hidung menjadi tersumbat sehingga menyulitkan
Kelainan kulit, rambut dan kuku: Dapat berupa makula eritem, papula,
papuloskuamosa, dan bula. Bila dapat sudah ada sejak lahir, tersebar secara
simetris terutama pada telapak tangan dan telapak kaki. Makula, papula, atau
papulomatous tersebar secara generalisata dan simetris. Di daerah yang lembab,
papula menjadi erosif dan membasah atau menjadi hipertrofik (kondiloma lata).
Pada kasus yang berat tampak kulit menjadi keriput terutama pada daerah muka
sehingga bayi tampak seperti orang tua. Rambut jarang dan kaku, alopesia areata
terutama pada sisi dan belakang kepala. Alopesia dapat juga mengenai alis dan
bulu mata. Onikosifilitika disebabkan oleh papula yang timbul pada dasar kuku
dan menyebabkan kuku menjadi terlepas. Kuku baru yang tumbuh berwarna
suram, tidak teratur, dan menyempit pada bagian Kelainan tulang: Pada 6 bulan
pertama, osteokondritis, periostitis, dan osteitis pada tulangtulang panjang
merupakan an yang khas. Perubahan yang paling mencolok tampak pada daerah
pertumbuhan tulang di dekat epifisis. Epifisis membesar, garis epifisis melebar
dan tidak teratur. Pada batas metafisis dengan garis kartilago epifisis tampak
daerah kalsifikasi yang densitasnya meningkat dan tidak teratur sehingga
pemeriksaan sinar X memberikan gambaran seperti gigi gergaji. Pseudoparalisis
pada anggota gerak disebabkan oleh pembengkakan periartikular dan nyeri pada
ujung-ujungtulang sehingga gerakan menjadi terbatas.Osteokondritis dapat dilihat
pada pemeriksaan dengan sinar X setelah 5 minggu sedangkan periostitis setelah
16 minggu. Tanda-tanda osteokondritis menghilang setelah enam bulan tetapi
periostitis menetap dan menjadi lebih jelas.
i) Kelainan kelenjar getah bening limfadenopati generalisata
j) Kelainan alat-alat dalam: hepatomegali, splenomegali, nefritis, nefrosis,
pneumonia.
k) Kelainan mata: korioretinitis, glaukoma, dan uveitis
l) Kelainan hematologi: anemia, eritroblastemia, retikulositosis, trombositopenia.
m) Kelainan susunan saraf pusat : meningitis sifilitika akut yang bila tidak diobati
secara adekuat akan menimbulkan hidrosefalus, kejang, dan mengganggu
perkembangan intelektual.
Apabila infeksi terjadi pada kehamilan maka luka primer di daerah genital
mungkin tidak dapat dikenal karena tempatnya atau kecilnya. Sebaliknya luka ini
dapat lebih besar dari biasanya bila vaskularisasi alat genital lebih banyak pada saat
hamil. Infeksi primer dapat menimbulkan chancre, tergantung pada besarnya imunitas
penderita. Pada kelainan sifilis sekunder, kelainan yang dapat ditemukanadalah
limfadenopati dan rash.Dalam banyak kasus, tidak diketahui bahwa seorang ibu
menderita sifilis akibat penyakit yang dapat asimptomatik. Kelahiran mati atau
lahirnya bayi dengan sifilis kongenital merupakan petunjuk awal ke arah diagnosis
sifilis pada ibu. (Ahmad, 2009) Karena itu, perlu dilakukan anamnesis tentang
kemungkinan adanya kontak sedengan penderita sifilis. Sifilis harus diobati segera
sediagnosis ditegakkan, tanpa memandang tuanya kehamilan. Semakin dini
pengobatan diberikan, maka semakin baik prognosisnya bagi janin.
Sifilis primer yang tidak diobati secara adekuat, 25% akan menjadi sifilis
sekunder dalam waktu 4 tahun. Tanpa pengobatan, sifilis primer maupun sekunder
10% akan berkembang menjadi sifilis kardiovaskular dan 16% menjadi neurosifilis.
Sekitar 10% dari penderita yang tidak diobati akan meninggal akibat langsung dari
penyakit. Saat ini, pengobatan sifilis untuk ibu hamil adalah dengan pemberian
penisilin dan bagi penderita yang alergi terhadap penisilin maka pemberian dilakukan
secara desensitisasi. Eritromisin tidak dianjurkankarena tidak bermanfaat mengobati
sifilis pada janin. Untuk sifilis primer, sekunder, dan laten dini (kurang dari 1 tahun)
dapat diberikan benzatin penisilin G dengan dosis 2,4 juta IU secara intramuskular
dalam satu dosis. Untuk sifilis stadium laten lanjut dosis yang diberikan lebih tinggi
yaitu 7,2 juta IU penisilin G yang dibagi dalam 3 dosis, 1 2,4 juta IU per minggu
selama 3 minggu berturut-turut. (Ahmad, 2009; Mullick et al, 2005)
Dosis tunggal penisilin tersebut secara umum sudah melindungi janin dari
sifilis. Abortus atau matinya janin dalam kandungan pada saat atau setelah
pengobatan disebabkan karena gagalnya pengobatan tetapi karena pengobatan
terlambat diberikan. Follow up bulanan melalui pemeriksaan serologi perlu dilakukan
sehingga pengobatan ulang dapat diberikan bila perlu. Untuk sifilis kongenital pada
neonatus dapat diberikan aquaeous crystallin penicilin 100.000-150.000 IU per KgBB
per hari atau prokain penisilin 50.000 IU per KgBB per hari selama 10-14 hari dibagi
2dosis.
2. Gonorhea
Gonorea atau di kalangan masyarakat umum dikenal dengan nama GO adalah
penyakit menular seksual yang disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhea. (Daili,
2005) Pada wanita, GO sering tidak menimbulkan gejala apapun sehingga sering
luput dari diagnosis dokter. Hal ini menyebabkan seorang wanita pengidap GO tidak
menyadari dirinya terinf menularkannya ke orang lain. (Ahmad, 2009)
Gonore dalam kehamilan biasanya dijumpai dalam bentuk menahun dan 60
kasus adalah asimptomatik sehingga penderita tidak menyadari penyakitnya. Namun,
dapat pula terjadi peningkatan gejala selama kehamilan misalnya kolpitis dan
vulvitis. Dapat pula disertai oftalmia neonatorum yang menjadi petunjuk awal bahwa
ibu menderita gonorea. (Ahmad, 2009; Daili, 2005) Adanya poliartritis pada trimester
II atau III harus dipikirkan adanya artritis gonoroika.Apabila terjadi infeksi dalam
kehamilan lebih dari 4 minggu, perjalanan penyakit tidak berbeda dengan infeksi
gonorea di luar kehamilan.
Diagnosis gonorea akut dalam kehamilan tidak sulit bila ditemukan adanya
gejala-gejala klinis seperti disuria, uretritis, servisitis, fluor albus seperti nanah
enceragak kuning atau kuning-hijau, dan kadang kadang bartholinitis akut atau
vulvokolpitis. Petunjuk lain adalah hasil pemeriksaan laboratorium dengan sediaan
apus getah urethra atau serviks dengan pewarnaan methylene blue atau Gram,
menunjukkan banyak diplokokus intra dan ekstraselular. (Ahmad, 2008) Apabila
hasilnya meragukan, sebaiknya dilakukan kultur.
Konjungtivitis gonoroika neonatorum (gonoblen neonatorum) bukan
merupakan penyakit kongenital, tetapi infeksi yang terjadi selama persalinan, saat
kepala janin melewati jalan lahir dan mata bayi bersentuhan dengan bagian-bagian
yang terinfeksi gonokokus.Pengobatan dengan penisilin biasanya memberikan hasil
yang memuaskan, kecuali dalam kasus-kasus yang resisten.
Pemberian prokain penisilin G dalam aquadest sebanyak 4,8 juta IU
intramuskular, diberikan dalam dosis tunggal. Dapat pula diberikan ampisilin per oral
3,5 gram dosis tunggal. Apabila penderita tidak tahan penisilin, dapat diberikan
eritromisin 4 kali sehari 0,5 gram selama 5-10 hari; atau kanamisin 2 gram im dalam
dosis tunggal. Setiap pengobatan harus memperhatikan adanya infeksi genital lain
seperti sifilis dan klamidia. (Daili dkk, 2010) Pemeriksaan klinis dan laboratorium
perlu diulang 3 hari atau lebih setelah pengobatan selesai. Apabila terjadi
kekambuhan maka penderita harus diobati lagi dengan dosis 2 kali lipat. Untuk
mencegah gonoblenorea pada neonatus, maka semua neonatus kedua matanya diberi
salep eritromisin atau kloromisetin. Seorang ibu dengan gonorea tetap dapat
menyusui bayinya.
3. Chlamydia Trachomatis
Infeksi Chlamidya Trachomatis (C. trachomatis) pada banyak negara
merupakan penyebab utama infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual.
Laporan WHO tahun 1995 menunjukkan bahwa infeksi oleh C. trachomatis
diperkirakan 89 juta orang. Di Indonesia sendiri sampai saat ini belum ada angka
yang pasti mengenai infeksi C. trachomatis. (Ahmad, 2009) Dalam bidang infeksi
menular seksual C. trachomatis dapat merupakan penyebab uretritis, servisitis,
endometritis, salpingitis, perihepatitis,epididimitis, limfogranuloma venerium dan
seterusnya.
Infeksi C. trachomatis sampai saat ini masih merupakan problematik karena
keluhan ringan, kesukaran fasilitas diagnostik, mudah menjadi kronis dan residif,
serta mungkin menyebabkan komplikasi yang serius, seperti infertilitas dan
kehamilan ektopik. Selain itu bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi mempunyai
resiko untuk menderita konjungtivitis dan atau pneumonia. Frekuensi infeksi
klamidia pada wanita hamil berkisar antara 3-14%. (Aziz, et al, 2007) Beberapa
penelitian menunjukkan berbagai kontroversi meningkatnya risiko kehamilan dan
persalinan pada ibu dengan infeksi klamidia, misalnya dapat menimbulkan abortus,
kematian janin, persalinan preterm, pertumbuhan janin terhambat, ketuban pecah
dini, serta endometritis paska aborsi.
Bayi yang lahir per vaginam dari ibu dengan infeksi Chlamydia 20-50% dapat
mengalami konjungtivitis inklusi dalam 2 minggu pertama kehidupannya. Pneumonia
dapat terjadi pada usia 3-4 bulan dengan prevalensi 10(Ahmad, 2007) Selain itu,
dapat pula terjadi otitis media, obstruksi nasal, dan bronkiolitis. Risiko infeksi
perinatal tidak terjadi bila persalinan berlangsung per kecuali bila telah terjadi
ketuban pecah sebelumnya.Diagnosis infeksi klamidia dapat ditegakkan bila sekret
mukopurulen dari ostium uteri eksternum atau apusan serviks pada biakan
menemukan mikroorganisme ini. Selain itu, dapat pula dilakukan pemeriksaan
sitologi yang memperlihatkan adanya badan inklusi intrasel, pemeriksaan secara
serologik yang menunjukkan adanya kenaikan titer antibodi, misalnya dengan
ELISA, fiksasi komplemen, dan mikroimunofluoresensi.
Doxycycline dan ofloxacin, yang merupakan first-line treatment pada infeksi
chlamydia adalah kontraindikasi pada kehamilan. Obat yang direkomendasikan
adalah azitrhromycin 1 gram per oral dosis tunggal atau amoksisilin 500 mg 3 ka
secara oral selama 7 hari. (Aziz, et al, 2007) Pengobatan infeksi Chlamydia
dalamkehamilan perlu juga memperhatikan infeksi campuran dengan gonore. Bila
sarana diagnostik tidak ada, kasus dengan risiko tinggi perlu mendapat pengobatan
dengan eritromisin 500 mg secara oral 4 kali sehari selama 7 hari atau eritromisin 250
mg secara oral 4 kali sehari selama 14 hari. Pencegahan terhadap ophthalmia
neonatorum perlu dilakukan dengan memberikan salep mata eritromisin (0,5%), atau
tetrasiklin (1%) segera setelah bayi lahir.
4. Bakterial Vaginosis
Bakterial vaginosis adalah keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang
disebabkan bertambahnya pertumbuhan flora vagina bakteri anaerob menggantikan
Lactobacillus yang mempunyai konsentrasi tinggi sebagai flora normal vagina.
Secara klinik, untuk menegakkan diagnosis bakterial vaginosis harus ada tiga dari
empat kriteria sebagai berikut, yaitu: (1) adanya sel clue pada pemeriksaan
mikroskopik sediaan basah, (2) adanya bau amis setelah penetesan KOH 10% pada
caduh yang homogen, kental, tipis, dan berwarna seperti susu, (4) pH vagina lebih
dari 4.5 dengan menggunakan nipaper. (Ahmad, 2009) Awalnya infeksi pada vagina
hanya disebut dengan istilah vaginitis, di dalamnya termasuk vaginitis akibat
Trichomonas vaginalis dan akibat bakteri anaerob lain berupa Peptococcus dan
Bacteroides, sehingga disebut vaginitis nonspesifik. Setelah Gardner menemukan
adanya spesies baru yang akhirnya disebut Gardnerella vaginalis, istilah vaginitis
nonspesifik pun mulai ditinggalkan.
Berbagai penelitian dilakukan dan hasilnya disimpulkan bahwa Gardnerella
melakukan simbiosis dengan berbagai bakteri anaerob sehingga menyebabkan
manifestasi klinis vaginitis, di antaranya termasuk dari golongan Mobiluncus,
Bacteroides, Fusobacterium, Veilonella, dan golongan Eubacterium, misalnya
Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum, dan Streptococcus viridans.Dalam
kehamilan, penelitian membuktikan bahwa bakterial vaginosis merupakan salah satu
faktor penyebab pecahnya ketuban pada kehamilan dan persalinan prematur. Dengan
demikian, pemeriksaan terhadap kemungkinan infeksi perlu diperhatikan. Pengobatan
yang dianjurkan metronidazol 250 mg per oral diberikan 3 hari selama 7 hari.
Pendapat lama mengenai metronidazol yang tidak dianjurkan untuk diberikan
pada trimester pertama kehamilan ternyata dari beberapa penelitian besar yang
melibatkan 150200.000 sampel tidak menunjukkan efek teratogenik sama sekali.
Pada saat ini metronidazol boleh dipakai pada seluruh masa kehamilan. Dapat juga
diberikan klindamisin 300 mg secara oral 2 kali sehari selama 7 hari. (Ahmad, 2009;
Daili dkk, 2010)
5. Trikomoniasis
Trikomoniasis merupakan penyakit protozoa persisten yang umum menyerang
saluran urogenital pada wanita ditandai dengan timbulnya vaginitis dengan
bercakbercak berwarna merah seperti “strawberry”, disertai dengan discharge
berwarna hijau dan berbau. (Ahmad, 2009) Pemenimbulkan uretritis atau cystitis dan
umumnya tanpa gejala, serta dapat menyebabkan terjadi komplikasi obstetrik dan
memfasilitasi terjadinya infeksi HIVBiasanya trichomoniasis berdampingan dengan
gonorrhea; pada suatu studi ditemukan sekitar 40%. Oleh karena itu, jika ditemukan
trichomoniasis maka perlu dilakukan penilaian menyeluruh terhadap semua patogen
penyebab “STD” (“STD Check”). Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya
parasit yang bergerak pada pemeriksaan mikroskopis atau dari kultur discharge.
Penyebab penyakit ini adalah Trichomonas vaginalis, salah satu protozoa
dengan flagella. Trichomonas vaginalis ditularkan khususnya melalui kontak seksual
secara langsung. Penyakit ini juga dapat ditularkan melalui mutual masturbation dan
berbagai sex toys (alat bantu seks). (Daili, 2002; Kornia dkk, 2006) Distribusi
penyakit tersebar luas; penyakit yang sering terjadi hampir di seluruh benua dan
menyerang semua ras bangsa, terutama menyerang orang dewasa dengan insidensi
yang tinggi pada wanita usia 16-35 tahun. Secara keseluruhan sekitar 20% wanita
terkena infeksi pada masa usia subur.Perempuan yang terinfeksi parasit Trichomonas
akan mengeluarkan cairan dari vagina berwarna kuning kehijauan atau abuabu serta
berbusa dalam jumlah banyak, kadangkala disertai pendarahan dan bau tidak sedap,
gatal pada vulva sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman. (Daili, 2010) Sering
buang air kecil dan terasa sakit, pembengkakan vulva, rasa tidak nyaman selama
berhubungan seksual dan sakit di wilayah perut. pendarahan di serviks mungkin
terjadi, namun ini bukan gejala umum dan bayi lahir dengan berat badan rendah.
Pengobatan trikomoniasis dalam kehamilan adalah dengan meronidazol yang saat ini
diyatakan boleh dipakai padkehamilan. Sebaiknya diberikan dosis tunggal (2 gram)
dibandingkan dengan dosis terbagi. (Daili dkk, 2010)
6. Human Papiloma Virus (HPV)
Infeksi HPV pada daerah genital tidak jarang terjadi pada wanita hamil
dengan atau tanpa keluhan. Pada kasus prematuritas banyak ditemukan hasil
seropositif terhadap HPV tipe 16. Akibat yang bisa terjadi kemungkinan munculnya
neoplasia pada daerah serviks. Beberapa tipe dari HPV dapat menimbulkan kutil,
kondiloma akuminata, yang biasanya disebabkan oleh HPV tipe 6 dan 11. Neoplasia
intraepitel pada serviks lebih disebabkan oleh HPV tipe 16,18, 45, dan 56. HPV tipe
6 dan 11 dapat menyebabkan laring papilomatosis pada bayi yang dilahirkan yang
menghisap bahan infeksius saat kehamilan. (Kornia dkk, 2006)
Masa inkubasi antara 1-8 bulan. Virus masuk ke dalam tubuh melalui
mikrolesi pada kulit sehingga sering timbul pada daerah yang mudah mengalami
trauma pada saat berhubungan seksual. Pertumbuhan kutil dapat dibagi dalam 3
bentuk yaitu: bentuk akuminata (jengger), bentuk papul dan bentuk datar. Selain
bentuk itu bila berkembang dapat menjadi sangat besar yaitu Giant Condyloma,
sering dihubungkan dengan kemungkiinan adanya keganasan. (Aziz et al, 2007;
Kornia dkk, 2006)infeksi HPV Seringkali tanpa sebab yang diketahui pada saat
kehamilan kondiloma akuminata akan membesar dan meluas sampai memenuhi dan
menutupi vagina dan perineum yang menyebabkan kesulitan persalinan pervaginam.
Kemungkinan keadaan basah pada daerah vulva pada saat kehamilan merupakan
kondisi yang untuk pertumbuhan virus.
Pengobatan saat hamil sangat mengganggu penderita dan bagusnya lesi ini
biasanya menghilang setelah persalinan. Saat kehamilan dianjurkan untuk sering
mencuci dan membersihkan daerah vulva ditambah membersihkan vagina dengan
irigasi dan menjaga daerah itu tetap kering dan hal ini akan menghambat proliferasi
kutil itu dan mengurangi ketidaknyamanan yang ada. Pemilihan cara pengobatan
tergapada besar, lokalisasi, jenis, dan jumlah lesi serta fasilitas pelayanan yang
tersedia. Pada wanita hamil pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian asam
trikloroasetat 50% seminggu sekali dengan cara berhati karena dapat menimbulkan
ulkus yang dalam. (Kornia dkk, 2006; Mullick et al, 2005)
7. Kandidiasis
Penyakit ini disebabkan oleh jamur Candida albicans. Kandidiasis terjadi
akibat reaksi radang yang akibat infeksi jamur di dalam liang vagina dan vulva.
Penderita mengeluhkan kemaluan sangat kadang-kadang sukar tidur dan terdapat
banyak bekas garukan. Sekresi seperti susu kental dan warna putih kekuningan sekret
tidak berbau. Seringkali ditemukan adanya faktor predisposisi seperti diabetes
melitus, pemakaian antibiotika yang lama, defivitamin, pemakaian hormon
kortikosterid dan kontrasepsi oral. (Daili, 2002; Kornia dkk, 2006) Diagnosis dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan usapan mukosa dan kulit yang terkena, kemudian
diperiksa dengan larutan KOH 10% atau dengan pewarnaan Gram. Pada mikroskop
akan ditemukan selblastospora, atau pseudohifa dari Candida albicans.
Infeksi kandida di daerah orofaring neonatus yang lahir dari ibu dengan
kandidiasis vulvovagina memiliki angka penularan hingga 50%. Pengobatan terhadap
kandida lahir dilakukan sebelum persalinan berlangsung, yaitu dengan pemberian
antifungan secara topikal. Walaupun sekarang diketahui beberapa macam obat yang
cukup efektif dengan pemberian per oral dosis tunggal, namun belum jelas apakah
cara ini cukup efektif dan aman untuk diberikan. Hanya derivat-azol topikal yang
dianjurkan untuk digunakan pada wanita hamil. (Ahmad, 2006; Daili dkk, 2010)
II. KETIDAKNORMALAN PADA GENETALIA
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi
yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsisel telur. Kelainan kongenital dapat
merupakan sebab penting terjadinyaabortus, lahir mati atau kematian segera setelah
lahir. Kematian bayi dalambulan-bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan
oleh kelainankongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan merupakan suatu seleksialam
terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan.
Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenital besar, umumnya
akandilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai bayikecil
untuk masa kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan kelainankongenital berat,
kira-kira 20% meninggal dalam minggu pertamakehidupannya.
Kelainan pada genitalia eksternal sangat menggangu bagi penderitaterutama
untuk orang tua penderita, yang secara tak sadar telah mengganguemosional mereka,
baik dari segi struktur alat reproduktif ini dan mungkin juga akibat yang akan
ditimbulkan pada generasi masa depan mereka.
A. Anatomi Genitalia Pria
Struktur luar dari sistem reproduksi pria terdiri dari penis, skrotum(kantung
zakar) dan testis (buah zakar). Struktur dalamnya terdiri dari vasdeferens, uretra,
kelenjar prostat dan vesikula seminalis. Penis terdiri dari:
1. Akar (menempel pada dinding perut)
2. Badan (merupakan bagian tengah dari penis)
Badan penis terdiri dari 3 rongga silindris (sinus) jaringan erektil:
a. Dua rongga yang berukuran lebih besar disebut korpus kavernosus,terletak
bersebelahan.
b. Rongga yang ketiga disebut korpus spongiosum, mengelilingi uretra.
c. Glans penis (ujung penis yang berbentuk seperti kerucut)
3. Lubang uretra (saluran tempat keluarnya semen dan air kemih)terdapat di ujung
glans penis. Dasar glans penis disebut korona. Pada priayang tidak disunat
(sirkumsisi), kulit depan (preputium) membentangmulai dari korona menutupi
glans penis.
4. Skrotum merupakan kantung berkulit tipis yang mengelilingi danmelindungi
testis. Skrotum juga bertindak sebagai sistem pengontrol suhuuntuk testis, karena
agar sperma terbentuk secara normal, testis harusmemiliki suhu yang sedikit lebih
rendah dibandingkan dengan suhu tubuh. Otot kremaster pada dinding skrotum
akan mengendur atau mengencangsehinnga testis menggantung lebih jauh dari
tubuh (dan suhunya menjadilebih dingin) atau lebih dekat ke tubuh (dan suhunya
menjadi lebih hangat).Testis berbentuk lonjong dengan ukuran sebesar buah
zaitun danterletak di dalam skrotum. Biasanya testis kiri agak lebih rendah dari
testis kanan. Testis memiliki 2 fungsi, yaitu menghasilkan sperma dan membuat
testosteron (hormon seks pria yang utama).
B. Anatomi Genitalia Wanita
1. Vulva
Vulva adalah nama yang diberikan untuk genetalia eksterna wanita.
terdiri dari:
a. Labia Mayora: dua lipatan besar berambut yang membentang dari minspubis
(batalan lemak di bagian simfiasis pubis) sampai perineum di garistengah
bagian belakang.
b. Labia Minora: dua bibir tipis dari kulit lunak yang berpigmen terletak
didalam labia mayora, membelah di bagian depan membungkus klitoris
danbertemu di bagian belakang pada fourchette, lipatan transversal pendek.
c. Klitoris: organ erektil kecil pada garis tengah di bagian depan.
d. Vestibulum: Daerah yang dibungkus oleh labia minora dan
mengandungmuara uretra (tepat di belakang klitoris) dan muara vagina. 
e. Kelenjar bartholini: sepasang kelenjar oval penyekresi mucus yangterletak di
dalam bagian posterior labia mayora dan bermuara padasaluran di bagian
samping labia minora.
2. Vagina
Vagina adalah tabung yang membentang dari serviks uteri
sampaivestibulum vulvae. Bentuknya lebih pendek di bagian depan daripada
bagianbelakang, dinding arteriornya memiliki panjang sekitar 7,5 cm dan
dindingposteriornya sekitar 9 cm. Serviks uteri menonjol ke dalam bagian
atasvagina. Fornix anterior, lateral dan posterior merupakan bagian vagina yang
masing- masing berada di bagian depan, samping dan belakang
serviks.Hymenadalah lipatan mukosa tipis pada mulut vagina.
Tipe Hymen berdasarkan bentuk :
a. Annular hymen; selaput melingkari lubang vagina.
b. Septate hymen; selaput yang ditandai dengan beberapa lubang yang terbuka
c. Cibriform hymen; selaput ini juga ditandai beberapa lubang yangterbuka, tapi
lebih kecil clan jumlahnya lebih banyak.d.
d. Introitus : Pada perempuan yang sangat berpengalaman dalam berhubungan
seksual, bisa saja lubang selaputnya membesar. Namun masih menyisakan
jaringan selaput dara.
Vagina tetap lembab oleh sekresi dari serviks uteri dan oleh transudasi cairan
jaringan melalui dinding vagina. Sekresi dibuat asam oleh kerja bakteri.
C. Etiologi
Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar
diketahui.Pertumbuhan embrional dan fetal dipengaruhi oleh berbagai faktor
sepertifaktor genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor secara bersamaan.
Faktoretiologi penyebab kelainan kongenital diantaranya :

1. Kelainan genetik dan kromosom


Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas
kejadian kelainan kongenital pada anaknya. Diantara kelainan-kelainan ini ada yang
mengikuti hukum mendel biasa tetapi dapatpula diwarisi oleh bayi yang bersangkutan
sebagai unsur dominan atau kadang-kadang sebagai unsur resesif. Penyelidikan
dalam hal ini sukar tetapi adanya kelainan kongenital yang sama dalam satu keturunan dapat
membantu langkah-langkah selanjutnya.
2. Faktor Mekanik 
Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat
menyebabkan kelainan bentuk organ tersebut. Faktor predisposisi dalampertumbuhan
organ itu sendiri akan mempermudah terjadinya deformitas suatu organ.
3. Faktor Infeksi
Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yangterjadi
pada periode organogenesis yakni dalam trimester pertamakehamilan. Adanya infeksi
tertentu dalam periode organogensis ini dapatmenimbulkan gangguan dalam
pertumbuhan suatu organ tubuh. Infeksi padatrimester pertama disamping dapat
menimbulkan kelainan kongenital dapatpula meningkatkan kemungkinan terjadi
abortus
4. Faktor Obat
Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester
pertama kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan terjadinya kelainan
kongenital pada bayinya. Salah satu jenis obat yang dapat mengakibatkan terjadinya
fokomelia atau mikromelia. Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita hamil
muda dengan tujuan yang kurang baik diduga erat pula hubungannya dengan
terjadinya kelainan kongenital. Walaupun hal ini secara laboratorik belum banyak
diketahui secara pasti. Sebaiknya selama kehamilan, khususnya trimester pertama
dihindari pemakaian obat-obatan yang tidak perlu sama sekali. Walaupun hal ini
kadang-kadang sukar dihindari karena calon ibu memang terpaksa harus minum obat.
Hal ini misalnya pada pemakaian fraskuilaiser untuk penyakit tertentu.
Pemakaian sitostatik atau preparat hormon yang tidak dapat dihindarkan, keadaan ini
perlu dipertimbangkan sebaik-baiknya sebelum kehamilan dan akibatnya terhadap
bayi.
5. Faktor Umum Ibu
Telah diketahui bahwa mongolisme lebih sering ditemukan pada bayi-bayi
yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause. Di bangsal bayi baru lahir
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 1975-1979, secara klinis
ditemukan angka kejadian mongolisme 1,08 per 100 kelahiran hidup dan ditemukan
risiko relatif sebesra 26,93 untuk kelompok ibu umur 35 tahun atau lebih.
6. Faktor Hormonal
Faktor ini diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian kelainan
kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes
melitus kemungkinan untuk mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar
dibandingkan dengan bayi yang normal.
7. Faktor Radiasi
Radiasi pada permulaan kehamilan mungkin sekali akan dapat menimbulkan
kelainan kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi yang cukup besar pada orang
tua dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan mutasi pada gene yang mungkin sekali
dapat menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkannya. Radiasi untuk
keperluan diagnostik atau terapeutik sebaiknya dihindarkan dalam masa kehamilan,
khususnya pada hamil muda.
8. Faktor Gizi
Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa kehamilan dapat
menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia, pada penyelidikan-penyelidikan
menunjukkan bahwa frekuensi kelainan kongenital, pada bayi-bayi yang dilahirkan
oleh ibu yang kekurangan makanan lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi-bayi
yang lahir dari ibu yang baik gizinya. Pada binatang percobaan adanya defisiensi
protein, vitamin A, riboflarin, folic acid, thiamin yang dapat menaikkan kejadian
kelainan kongenital.
9. Faktor-Faktor Lain
Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor
janinnya sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi faktor
penyebabnya. Sering sekali penyebab kelainan kongenital tidak diketahui.
C. Kelainan Kongenital
1. Genitalia Pria
a. Fimosis
Fimosis adalah prepusium penis yang tidak dapat diretraksi (ditarik) ke
proksimal sampai ke korona glandis. Fimosis merupakan suatu keadaan normal yang
sering ditemukan pada bayi baru lahir atau anak kecil, karena terdapat adesi alamiah
antara prepusium dengan glans penis. dan biasanya pada masa pubertas akan
menghilang dengan sendirinya. Pada pria yang lebih tua, fimosis bisa terjadi akibat
iritasi menahun. Fimosis bisa mempengaruhi proses berkemih dan aktivitas seksual.
Biasanya keadaan ini diatasi dengan melakukan penyunatan (sirkumsisi).
Hingga usia 3-4 tahun penis tumbuh dan berkembang, dan debris yang
dihasilkan oleh epitel prepusium (smegma) mengumpul di dalam prepusium dan
perlahan-lahan memisahkan prepusium dari glans penis. Ereksi penis yang terjadi
secara berkala membuat prepusium terdilatasi perlahan-lahan sehingga prepusium
menjadi retraktil dan dapat ditarik ke proksimal. Pada saat usia 3 tahun, 90%
prepusium sudah apat diretraksi.
Fimosis menyebabkan gangguan aliran urine berupa sulit kencing, pancaran
urine mengecil, menggelembungnya ujung prepusium penis pada saat miksi, dan
menimbulkan retensi urine. Higiene lokal yang kurang bersih menyebabkan
terjadinya infeksi pada prepusium (postitis), infeksi pada glans penis (balanitis) atau
infeksi pada glans dan prepusium penis (balanopostitis).
Kadang kala pasien dibawa berobat oleh orang tuanya karena ada benjolan
lunak di ujung penis yang tak lain timbunan smegma di dalam sakus prepusium
penis. Smegma terjadi dari sel-sel mukosa prepusium dan glans penis yang
mengalami deskuamasi oleh bakteri yang ada di dalamnya.
 Penatalakasanaan
tidak dianjurkan melakukan dilatasi atau retraksi yang dipaksakan pada
fimosis, karena menimbulkan luka dan terbentuk sikatriks pada ujung prepusium
sebagai fimosis sekunder. Fimosis yang disertai balanitis xerotika obliterans dapat
dicoba diberikan salep Deksametasone 0,1% yang dioleskan 3 atau 4 kali.
Diharapkan setelah pemberian selama 6 minggu, prepusium dapat diretraksi spontan.
Pada fimosis yang menimbulkan keluhan miksi, menggelembungnya ujung
prepusium pada saat miksi, atau fimosis yang disertai dengan infeksi postitis
merupakan indikasi untuk dilakukan sirkumsisi. Tentunya pada balanitis atau prostitis
harus diberi antibiotika dahulu sebelum sirkumsisi.
b. Parafimosis
Parafimosis adalah prepusium penis yang diretraksi sampai di sulkus
koronarius tidak dapat dikembalikan pada keadaan semula dan timbul jeratan pada
penis dibelakang sulkus koronarius. Menarik (retraksi) prepusium ke proksimal
biasanya dilakukan pada saat bersanggama/masturbasi atau sehabis pemasangan
kateter.

Gambar 6. Parafimosis

Jika prepusium tidak secepatnya dikembalikan ke tempat semula,


menyebabkan gangguan aliran balik vena superfisial sedangkan aliran arteri tetap
berjalan normal. hal ini menyehabkan edema glans penis dan dirasakan nyeri. jika
dibiarkan badan penis di sebelah distal jeratan makin membengkak yang akhirnya
bisa mengalami nekrosis glans penis.
 Penatalaksanaan
Perawatan paraphimosis melibatkan mengurangi penile edema dan
mengembalikan prepusium ke posisi asli nya. Beberapa metoda digunakan untuk
mengurangi penile bengkak. Oleh karena sakit ekstrim, boleh digunakan anestetik
blok. Prepusium diusahakan untuk dikembalikan secara manual dengan teknik
memijat glans selama 3-5 menit diharapkan edema berkurang dan secara perlahan-
lahan prepusium dikembalikan pada tempatnya.
Suntikan hyaluronidase ke dalam edematous prepusium zakar adalah efektif
dalam mengurangi edema dan membiarkan kulit luar untuk di tarik. Hyaluronidase
meningkatkan difusi cairan yang terjerat antara jaringan/tisu dan mengurangi
bengkak pada preputium. Hyaluronidase cocok untuk penggunaan pada anak-anak
dan bayi. Jika usaha ini tidak berhasil, dilakukan dorsum insisi pada jeratan sehingga
prepusium dapat dkembalikan pada tempatnya. Setelah edema dan proses inflamasi
menghilang pasien dianjurkan untuk menjalani sirkumsisi.
c. Hipospadia
Hypospadia berasal dari bahasa Yunani, secara terminologi memiliki dua arti
kata yaitu “hypo” yang berarti “di bawah” dan “spadon“ yang berarti “lubang”.
Secara anatomi hypospadia adalah salah satu kelainan kelamin akibat penyatuan
lipatan uretra yang tidak sempurna dengan gambaran letak Ostium Urethra Externa di
sepanjang permukaan anterior penis semenjak masa pertumbuhan janin (congenital).
Kelainan ini dapat ditemukan ketika pemeriksaan setelah dilahirkan.
 Epidemiologi
Insidensi kasus hipospadia terbanyak adalah Eropa dilaporkan dari Amerika
Serikat, Inggris, Hungaria telah menunjukkan peningkatan. BDMP menyatakan
bahwa insdensi hypospadia meningkat dari 20,2 per 10.000 kelahiran hidup pada
1.970 menjadi 39,7 per 10.000 kelahiran hidup pada tahun 1993. Kajian populasi
yang dilakukan di empat kota Denmark tahun 1989-2003 (North Jutland, Aarhus,
Viborg dan Ringkoebing) tercatat 65.383 angka kelahiran bayi laki-laki dengan
jumlah kelainan alat kelamin (hypospadia) sebanyak 319 bayi.
 Klasifikasi
Klasifikasi hipospadia yang sering digunakan yaitu berdasarkan lokasi meatus
yaitu :

Gambar 7. Klasifikasi Hipospadia

Browne 1936 membagi hypospadia tiga bagian yang memiliki makna secara
klinis untuk mengetahui panjang uretra dan untuk mengetahui seberapa besar tingkat
kesulitan dalam penatalaksanaan rekonstruksi bedah:
 Derajat I : OUE (Ostium/Orifisum Uretra Externa) letak pada permukaan
ventral glans penis & korona glandis.
 Derajat II : OUE (Ostium/Orifisum Uretra Externa) terletak pada permukaan
ventral korpus penis.
 Derajat III: OUE (Ostium/Orifisum Uretra Externa) terletak pada permukaan
ventral skrotum atau perineum.
Secara teori derajat II dan derajat III yang biasanya pada bagian anterior
phallus (penis) disertai dengan adanya chordee (pita jaringan fibrosa) yang
menyebabkan kurvatura (melengkung) pada saat ereksi. Hypospadia derajat ini akan
mengganggu aliran normal urin dan fungsi reproduksi, oleh karena itu perlu
dilakukan terapi dengan tindakan operasi bedah.

Gambar 8. Jenis-Jenis Hipospadia

 Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul pada kebanyakan penderita hypospadia biasanya
dating dengan keluhan kesulitan dalam mengatur aliran air kencing (ketika
berkemih). Hypospadia tipe perineal dan penoscrotal menyebabkan penderita
harus miksi dalam posisi duduk dan pada orang dewasa akan mengalami
gangguan hubungan seksual. Tanda-tanda klinis hypospadia :
1. Lubang Osteum/orifisium Uretra Externa (OUE) tidak berada di ujung glands
penis.
2. Preputium tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung
penis (dorsal hood).
3. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang membentang hingga ke glans
penis. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glands
penis.
 Diagnosis
1) Pemeriksaan Fisik
Kelainan hypospadia dapat diketahui segera setelah kelahiran dengan
pemeriksaan inspeksi genital pada bayi baru lahir. Selain pada bayi baru lahir
diagnosis hypospadia sering dijumpai pada usia anak yang akan disirkumsisi (7-9
tahun). Jika pasien diketahui memiliki kelainan kelamin (hypospadia) maka
tindakan sirkumsisi tersebut tidak boleh dilakukan karena hal tersebut merupakan
kontra-indikasi tindakan sirkumsisi.3,11,12
2) Pemeriksaan Penunjang
Untuk mengetahui hypospadia pada masa kehamilan sangat sulit.
Berbagai sumber menyatakan bahwa hypospadia dapat diketahui segera setelah
kelahiran dengan inspeksi genital pada bayi baru lahir.
 Penatalaksanaan
Rekonstruksi phallus (penis) pada hypospadia dapat dilakukan sebelum usia
belajar (±1,5 bulan - 2 tahun). Terdapat beberapa cara penatalaksanan penbedahan
untuk merekonstruksi phallus pada hypospadia.3,9,14
Tujuan penatalaksanaan hypospadia yaitu untuk memperbaiki kelainan
anatomi phallus, dengan keadaan bentuk phallus yang melengkung (kurvatura) karena
pengaruh adanya chordee.
Tindakan rekonstruksi hypospadia:
a) Chordectomi : melepas chordae untuk memperbaiki fungsi dan memperbaiki
penampilan phallus (penis).
b) Urethroplasty : membuat Osteum Urethra Externa diujung gland penis
sehingga pancaran urin dan semen bisa lurus ke depan.
Chordectomi dan urethroplasty dilakukan dalam satu waktu operasi yang
sama disebut satu tahap, bila dilakukan dalam waktu berbeda disebut dua tahap. Hal
yang perlu dipertimbangkan dalam mencapai keberhasilan tindakan operasi bedah
hypospadia :
(1) Usia ideal untuk repair hypospadia yaitu usia 1,5 bulan – 2 tahun (sampai usia
belum sekolah) karena mempertimbangkan faktor psikologis anak terhadap
tindakan operasi dan kelainannya itu sendiri, sehingga tahapan repair
hypospadia sudah tercapai sebelum anak sekolah.
(2) Tipe hypospadia dan besarnya penis dan ada tidaknya chorde.
(3) Tiga tipe hypospadia dan besar phallus sangat berpengaruh terhadap-tahapan
dan teknik operasi. Hal ini akan berpengaruh terhadap keberhasilan operasi,
Semakin kecil phallus dan semakin ke proksimal tipe hypospadia semakin
sukar tehnik operasinya.
Pada semua tindakan operasi bedah hypospadia dilakukan dengan tahapan
sebagai berikut :
 Eksisi chordee. Tekhnik untuk tindakan penutupan luka dilakukan dengan
menggunakan preputium yang diambil dari bagian dorsal kulit penis. Tahap
pertama ini dilakukan pada usia 1,5 – 2 tahun. eksisi chordee bertujuan untuk
meluruskan phallus (penis), akan tetapi meatus masih pada tempatnya yang
abnormal.
 Uretroplasty yang dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama. Tekhnik reparasi
ini dilakukan oleh dokter bedah plastik adalah tekhnik modifikasi uretra.
Kelebihan jaringan preputium ditransfer dari dorsum penis ke permukaan
ventral yang berfungsi menutupi uretra baru.
Beberapa metode operasi yang digunakan dalam menangani hipospadia adalah :
a. Hipospadia Anterior
Teknik yang dilipih untuk hipospadia anterior tergantung pada posisi anatomi
dari penis yang hipospadia. Teknik yang paling sering digunakan adalah MAGPI
(meatal advance glansplasty), GAP (glans approximation procedure), metode
Mathieu atau disebut flip-flap dan incise pipa uretroplasti.
1) Teknik MAGPI (meatal advance glansplasty)
Teknik MAGPI dirancang oleh Duckett pada tahun 1981. Teknik ini akan
memberikan hasil yang maksimal jika pasien mengikuti dengan tepat.

Gambar 9. Teknik MAGPI (meatal advance glansplasty)

Penis dengan hipospadia yang cocok untuk dilakukan MAGPI adalah dengan
jaringan pada punggung dalam glands yang mengalirkan urin baik dari koronal atau
sedikit ke meatus subcoronal. Setelah pasien tertidur, uretra itu sendiri harus memiliki
dinding ventral yang normal, tanpa ada bagian yang tipis atau atresia uretra
spongiosum. Uretra juga harus menjadi mobile sehingga dapat maju ke glands.
2) Teknik GAP (glans approximation procedure)
Prosedur GAP berlaku pada pasien dengan hipospadia anterior kecil yang
memiliki alur glands luas dan mendalam.

Gambar 10. Teknik GAP (glans approximation procedure)

Pada pasien ini tidak memiliki jembatan jaringan kelenjar yang biasanya
mngalirkan aliran kemih, seperti yang terlihat pada pasien yang akan lebih tepat
diobati dengan teknik MAGPI. Dalam teknik GAP, uretra yang berlubang lebar akan
dilakukan tubularisasi primer dengan menggunakan stent.
3) Incisi Tubularirasi Urethroplasty

Gambar 11. Incisi Tubularirasi Urethroplasty

Secara historis, jika alur uretra tidak cukup lebar untuk tubularisasi in situ,
seperti pada teknik GAP atau prosedur Thiersch Duplay, kemudian pendekatan
alternatif seperti Mathieu atau untuk penanganan hipospadia yang lebih parah, flap
pedikel dengan vascularisasi bias dilakukan.
Baru-baru ini konsep sayatan di kulit uretra dan dilakukannya tubularisasi dan
penyembuhan sekunder telah diperkenalkan oleh Snodgrass. Hasil jangka pendek
sangat baik dan prosedur ini memiliki popularitas yang luas. Salah satu aspek yang
menarik adalah adanya celah yang menyerupai meatus, yang dibuat dengan sayatan
pertengahan garis punggung. Baru-baru ini, teknik ini telah diterapkan untuk bentuk-
bentuk hipospadia posterior.
Secara teoritis, ada kekhawatiran tentang kemungkinan stenosis meatus dari
jaringan parut, dimana sering terjadi striktur uretra pada pasien dengan urethrotomy
internal yang sering menyebabkan striktur berulang. Pada hipospadia, pada jaringan
dengan suplai darah yang sangat baik dan aliran pembuluh darah yang besar,
tampaknya dapat merespon baik terhadap sayatan primer dan sekunder pada
penyembuhan tanpa meninggalkan bekas luka. Pada perbaikan hipospadia distal,
meskipun tingkat morbiditas relative rendah, hasil kosmetik yang mungkin sulit
untuk menilai dan memuaskan dalam proporsi yang signifikan, terutama setelah
perbaikan Mathieu.
b. Hipospadia Posterior.
Kita sudah cukup puas dengan teknik onlay island flap untuk hipospadia
untuk kasus pada hipospadia pada batang penis dan kasus-kasus yang lebih parah dari
hipospadia. Onlay island flap telah berhasil diuji dengan hasil jangka panjang yang
sangat baik. Tidak membuang kulit uretra pada teknik onlay island flap telah
menyingkirkan striktur anastomosis bagian proksimal dan telah mengurangi kejadian
formasi fistula. Ketika kelengkungan penis diperlukan, dapat dikoreksi dengan
lipatan punggung.
Laporan terbaru telah memperkenalkan teknik standar dan variasi yang lebih
halus. Kadang-kadang operasi yang luas diperlukan dan dalam beberapa kasus,
beberapa operasi menyebabkan hasil yang kurang optimal pada beberapa anak, pasien
kemudian diklasifikasikan sebagai " cacat hipospadia ". Untuk hipospadia yang
sangat parah, kulit preputium yang dapat dirancang sebagai gaya tapal kuda untuk
menjembatani jarak yang luasOperasi hipospadia merupakan salah satu masalah yang
paling sering dibicarakan bagi ahli bedah rekonstruktif, dan ahli bedah urolog, dan
pediatric karena tingkat komplikasi yang tinggi.
Faktanya ada sekitar 250 operasi yang berbeda untuk mengelola masalah
rumit, yang menunjukkan bahwa tidak ada operasi tunggal yang disukai oleh semua
ahli bedah di dunia karena tidak ada teknik tunggal memberikan hasil baik yang
seragam. Satu tahap perbaikan secara alami disukai karena trauma post operasi
berkurang, tidak ada bekas luka pada kulit, menurunkan jumlah rawat inap dan lebih
ekonomis. Tapi ahli bedah tertentu tetap yakin ada keterbatasan dan kelemahan dari
operasi satu langkah dan terus berlatih operasi dua tahap.
Hormon yang terlibat dalam fungsi testis (gonadotropin, androgen) umumnya
tidak terpengaruh baik pada anak-anak atau orang dewasa. Namun, data menunjukkan
faktor epidemiologis, klinis, dan biologis dapat merupakan factor risiko untuk
kesuburan: insiden tinggi gangguan migrasi testis, kelainan histologis hasil tes seperti
hypospermatogenesis, dan insidensi konsentrasi spermatozoa rendah yang tinggi.
Terakhir, belum ada evaluasi kejadian infertilitas pada populasi pasien dengan
hipospadia yang baik dioperasikan pada anak-anak atau yang tidak menjalani bedah
perbaikan.
Komplikasi
a. Fistula
Fistula uretrokutan merupakan masalah utama yang sering muncul pada
operasi hipospadia. Fistula jarang menutup spontan dan dapat diperbaiki
dengna penutupan berlapis dari flap kulit lokal. Dilakukan fistuloraphy.
Pembentukan fistula sebagian besar di persimpangan neourethra dengan uretra
asli, dan frekuensi tinggi di kasus hipospadia proksimal.
b. Stenosis meatus
Stenosis atau menyempitnya meatus uretra dapat terjadi. Adanya aliran air
seni yang mengecil dapat menimbulkan kewaspadaan atas adanya stenosis
meatus. Masalah teknis seperti pembuatan meatus lumen yang sempit atau
terlalu ketat glanuloplasty dapat menjadi penyebab stenosis meatus.
c. Striktur
Keadaan ini dapat berkembang sebagai komplikasi jangka panjang dari
operasi hipospadia. Keadaan ini dapat diatasi dengan pembedahan, dan dapat
membutuhkan insisi, eksisi atau reanastomosis.
d. Divertikula
Divertikula uretra dapat juga terbentuk ditandai dengan adanya
pengembangan uretra saat berkemih. Striktur pada distal dapat mengakibatkan
obstruksi aliran dan berakhir pada divertikula uretra. Divertikula dapat
terbentuk walaupun tidak terdapat obstruksi pada bagian distal. Hal ini dapat
terjadi berhubungan dengan adanya graft atau flap pada operasi hipospadia,
yang disangga dari otot maupun subkutan dari jaringan uretra asal.
e. Terdapatnya rambut pada uretra
Kulit yang mengandung folikel rambut dihindari digunakan dalam
rekonstruksi hipospadia. Bila kulit ini berhubungan dngan uretra, hal ini dapat
menimbulkan masalah berupa infeksi saluran kemih dan pembentukan batu
saat pubertas. Biasanya untuk mengatasinya digunakan laser atau kauter,
bahkan bila cukup banyak dilakukan eksisi pada kulit yang mengandung
folikel rambut lalu kemudian diulang perbaikan hipospadia.
4. EPISPADIA
Pada epispadia, suatu kelainan tak lazim dengan frekwensi 1 per 120.000 pria,
meatus urethra terbuka pada sisi dorsal penis. Epispadia sering disertai dengan
ekstrofi dan kombinasi epispadia, dan ekstrofi timbul dalam 1 dari 30.000
kelahiran.

Gambar 12. Epispadia


Epispadia dapat glandular, penil atau penopubis. Inkontinensia sering
disertai dengan ekstrofi dan terlihat dengan keterlibatan proksimal penis atau
pubis. Keadaan kongenital ini lebih sering dialami ras kulit putih dibanding
yang lainnya. Tidak ada agen penyebab atau faktor resiko yang diketahui.
Perbaikan bedah paling sering dilakukan sebagai tindakan multitahap,
tujuannya untuk mencapai kontinensia, fungsi seks yang normal dan hasil
kosmetik yang memuaskan.
5. BURRIED PENIS
Burried penis adalah suatu kelainan sejak lahir di mana suatu jaringan
atau lipatan scrotal kulit mengaburkan sudut penoscrotal. Jika dokter yang
melakukan khitanan tidak mengenali kondisi ini, penis menjadi terkubur di
dalam suatu lipatan kulit. Khitanan ulang untuk memindahkan kulit kelebihan
membuat situasi menjadi lebih buruk dengan kulit scrotal ke penis itu. Pada
penis tersembunyi, penile batang terkuburkan di bawah permukaan dari kulit
prepubic. Ini terjadi pada anak-anak dengan kegendutan sebab lemak prepubic
yang sangat banyak dan menyembunyikan penis itu. Kondisi juga bisa terjadi
manakala batang dari penis adalah terperangkap di dalam kulit prepubic
akibat khitanan ekstrim atau trauma lain.
Gambar 13. Burried Penis
Literatur menguraikan banyak teknik untuk koreksi. Yang pada
umumnya, perawatan didasarkan pada reseksi bagian adherent bands dan
anchorage yang dalam pada shaft pada bagian basis dari penis. Beberapa juga
mendukung penghilangan kulit yang berlebihan, berbagai z-plasties,
liposuction, atau preputial island pedicle flap.
6. MIKROPENIS
Mikropenis jarang terjadi. Penis memiliki ukuran yang jauh di bawah
ukuran rata-rata. Adakalanya, anak-anak dewasa dibawa ke dokter untuk
evaluasi oleh karena genitalia yang kecil. Anak-Anak lelaki ini pada
umumnya adalah prepubertal dan gemuk sekali. Hampir semua individu ini
mempunyai ukuran penis normal ( 5-7 cm). Kenyataan adalah sebab penis
terkubur di lemak prepubic yang besar karena kebiasan makan yang tidak
terkontrol. Bagaimanapun, jika penis diukur dan kurang dari 4 cm, maka
evaluasi lebih lanjut mungkin perlukan. Mikropenis seringkali ditemukan
pada anak yang menderita hipospadia ini mungkin disebabkan karena
mikropenis merupakan kelainan yang menyertai hipospadia.
Patofisiologi
Janin memproduksi androgens, terutama testosterone, sangat penting bagi
perkembangan pria normal. Awal kehamilan, placental manusia gonadotropin
chorionic ( hCG) merangsang testis untuk menghasilkan testosterone.
Kemudian dalam kehamilan setelah organogenesis terjadi, pituitary
mengambil kendali produksi luteinizing hormon ( LH) dan follicle-
stimulating hormon ( FSH). Kegagalan dari rang sangan gonadotropin atau
produksi testosterone, atau kedua-duanya, ke arah akhir kehamilan dapat
mengakibatkan pertumbuhan penis tidak cukup.
Perawatan medik Testosterone therapy dalam berbagai format misalnya,
suntikan, krim, tambalan digunakan untuk meningkat/kan ukuran penis pada
anak-anak dan bayi. 1 -3 suntikan testosterone ( 25-50 mg) dengan interval 4
minggu masa kanak-kanak mengakibatkan peningkatan cukup pada ukuran
penis normal untuk acuan digunakan umur.
Penatalaksanaan
Pembedahan kebanyakan anak-anak lelaki dengan mikropenis sensitif
pada testosterone therapy, sehingga genitoplasty hanya pada situasi ekstrim di
mana testosterone terapi tidak efekif. Tetapi tindakan ini masih menjadi pro
dan kontra. Khitanan harus dihindarkan, atau sedikitnya ditunda, sampai
evaluasi sesuai, fungsi jenis kelamin jelas, dan therapy diselesaikan.
7. PENILE AGENESIS
Tidak adanya Penis Sejak lahir atau aphallia, adalah suatu keganjilan
jarang yang disebabkan oleh kegagalan pengembangan tuberkel genital.
Dengan kemungkinan timbul 1 dalam 30 juta populasi. Phallus tidak ada
sepenuhnya, mencakup corpora cavernosa dan corpus spongiosum. Pada
umumnya, kantung buah pelir adalah normal dan testis tidak turun. Saluran
kencing bisa terletak dimana saja pada titik dari perineal midline sampai atas
pubis, frekwensi paling sering, pada anus atau dinding anterior dari rektum.
Lebih dari 50% pasien dengan penile agenesis mempunyai kelainan pada
genitourinary, dengan frekwensi paling sering adalah cryptorchidis, ginjal
agenesis dan dysplasia juga terjadi. Beberapa laporan menunjukkan bahwa
aphallia mungkin berhubungan dengan kehamilan dengan komplikasi kencing
manis yang tidak terkontrol.
Penatalaksanaan penile agenesis adalah dengan rekonstruksi penis
dengan flap dari abdomen kemudian diisi dengan implant.
B. KELAINAN KONGENITAL PADA GENITALIA WANITA
1. HIMEN IMPERFORATUS
Himen merupakan pertemuan antara sinus urogenitalis dan ductus muller
yang bersatu membentuk vagina. Vaginal plate menembus sel sinus
urogenitalis sehingga dapat dikemukakan bahwa “himen” seluruhnya berasal
dari sinus urogenitalis.

Gambar 14. Himen Imperforatus


Himen imperforata adalah selaput dara yang tidak menunjukkan lubang
(hiatus himenalis) sama sekali, Kelainan himen imperforata jarang dijumpai,
tetapi cukup banyak dibandingkan dengan kelainan kongenital lainnya.
Selama hampir 31 tahun di Bali, baru dijumpai 2 kasus. John Hopskin (USA)
sejak tahun 1945- 1981 hanya menjumpai 22 kasus. Kemungkinan besar
kelainan ini tidak dikenal sebelum menarche. Sesudah itu molimina
menstrualis (rasa sakit saat waktunya menstruasi tanpa diikuti pengeluaran
darah) terjadi setiap bulan. Karena pada kelainan ini tidak terbentuknya
lubang hymen ( hiatus himenalis) sehingga tidak mungkin terjadi aliran darah
pada saat menstruasi, sehingga menyebabkan hematokolpos. Bila keadaan ini
dibiarkan , makadapat menyebabkan hematometra. Selanjutnya akan timbul
hematosalpinks yang dapat diraba dari luar sebagai tumor kistik di kanan dan
kiri atas simfisis. Bila kelainan ini dijumpai sebelum menarche, tidak
memerlukan pengobatan apapun dan pengobatan dilakukan setelah
menstruasi. Biasanya diagnosis ditegakkan setelah usia dewasa.
Manifestasi Klinik
Sebelum mencapai timbunan darah yang cukup, gejala klinik himen
imperforata adalah dismenore , tetapi tidak dijumpai darah menstruasi dan
mungkin terasa tidak nyaman dalam vagina, tanpa diketahui sebabnya.
Sebagian besar datang setelah terjadi timbunan yang cukup besar dengan
gejala klinis tetap terdapat dismenore, rasa tidak nyaman di perut bagian
bawah, dan terasa penuh dalam vagina.Hymen imferforata merupakan
manifestasi dari tidak tersalurnya darah menstruasi sehingga terjadi timbunan
yang dapat mencapai ruangan abdomen. Gambaran klinik yang dapat
dijumpai sebagai berikut :
1. Hematokolpos. Terjadi timbunan darah di vagina. Himen berwarna
kebiruan dan menonjol karena timbunan darah
2. Hematometra (timbunan darah di dalam rahim). Terasa sesak di bagian
bawah, nyeri terutama saat menstruasi. Dapat diraba di atas simfisis berupa
tumor padat, dan teraba nyeri
3. Hematosalpinks. Timbunan darah pada tuba fallopii. Darah ini dapat
mencapai ruangan abdomen.
Pada pemeriksaan akan dijumpai:
1. Mungkin perut bagian bawah tampak membesar.
2. Terasa tumor kisteus perut bagian bawah.
3. Himen dijumpai berwarna kebiruan dan menonjol.
Pemeriksaan rektum akan dapat diraba:
1. Vagina dan uterus membesar, mungkin nyeri.
2. Adneksa, mungkin sudah ada timbunan darah sehingga terasa nyeri.
3. Ultrasonografi akan tampak uterus dan tuba penuh dengan cairan
darah dan membesar.
Penatalaksanaan
Apabila hymen imperforate dijumpai sebelum pubertas, membrane
hymen dilakukan inisi/hymenotomi dengan cara sederhana
dengan ,melakukan insisi silang atau dilakukan pada posisi 2,4,8,dan 10 arah
jarum jam disebut insisi stellate
Gambar 15 . Insisi Stellate dilakukan pada posisi arah jam 2,4,8 dan 10. Tiap
Kuadran dieksisi kea rah lateral, tepi dari mukosa hymen dijahit dengan
benang delayed absorbale.
Pada insisi silang tidak dilakukan eksisi membrane hymen, sementara pada
insisi stellate setelah insisi dilakukan eksisi pada kuadran hymen dan pinggir
mukosa hymen di aproksimasi denga jahitan mempergunakan benang delayed
absorbable. Tindakan insisi saja tanpa disertai eksisi dapat mengakibatkan
membrane hymen menyatu kembali dan obstruksi membran hymen terjadi
kembali. Darah tua kental kehitam-hitaman keluar yang disertai dengan
pengecilan tumor-tumor dibiarkan mengalir dengan sendirinya selama 2-3
minggu tanpa pemberian utero tonika.Sesudah tindakan penderita dibaringkan
dalam letak fowler.

Gambar 16. Teknik operasi hymenektomi


Evaluasi vagina dan uterus perlu dilakukan sampai 4-6 minggu pasca
pembedahan, bila uterus tidak mengecil, perlu dilakukan pemeriksaan
inspeksi dan dilatasi serviks untuk memastikan drainase uterus berjalan
dengan lancar. Diperlukan perlindungan antibiotik ringan, untuk menghindari
infeksi. Penderita dapat rawat inap selama 2-3 hari dan pulang dengan berobat
jalan.
2. ATRESIA KEDUA LABIUM MINUS
Kelainan kongenital ini disebabkan oleh membrana urogenitalis yang tidak
menghilang di bagian depan vulva dibelakang klitorus ada lubang untuk
pengeluaran air kencing dan darah haid. Koitus walaupun sukar masih dapat
dilaksanakan malahan dapat terjadi kehamilan. Pada partus hanya diperlukan
sayatan digaris tengah yang cukup panjang untuk melahirkan janin. Kelainan
tersebut dapat terjadi pula sesudah partus dalam hal itu radang menyebabkan
kedua labium minus melekat dengan masih ada kemungkinan penderita dapat
berkencing. Pengobatan terdiri atas melepaskan perlekatan dan menjahit luka-
luka yang timbul.

3. HIPERTROFI LABIUM MINUS KANAN/KIRI


Hipertrofi labium berarti pembesaran pada labium. Keadaan ini bukan kondisi
yang serius, bisa normal, tetapi juga dapat menyebabkan ketidaknyamanan.

Gambar 17. Hipertropi labium minus


Hipertrofi labium biasanya mempengaruhi labium bagian dalam yang disebut
labium minora tetapi juga dapat mempengaruhi labium bagian luar atau
disebut labium mayor. Labium dapat membesar pada satu sisi atau kedua sisi.
Kebanyakan wanita muda memiliki kondisi seperti ini, memiliki labium
dengan ukuran yang lebih besar. Hipertrofi labium adalah ukuran yang tidak
proporsional dari labia minora relatif terhadap labia majora. Labia minora
hipertrofik dapat menjadi masalah fungsional dan psikoseksual. Pembesaran
labium biasanya terjadi karena bawaan, namun dapat meningkat karena
perubahan hormonal, limfatik stasis, iritasi kronis dan peradangan dari
dermatitis atau inkontinensia, serta setelah melahirkan.
Adanya iritasi lokal, masalah kebersihan, kesulitan selama hubungan seksual
serta penampilan estetis umumnya diterima sebagai indikasi untuk koreksi
bedah. Banyak wanita melaporkan bahwa labia minora mencuat melebihi
labia majora sementara di posisi berdiri, yang mengarah ke kesadaran diri dan
kesulitan dengan keintiman. Laporan lain yang umum adalah asimetri labia
minora.
Penatalaksanaan
Labioplasty, dikenal sebagai pengurangan labium, adalah prosedur yang
dirancang untuk meningkatkan penampilan alat kelamin eksternal perempuan.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan penampilan yang lebih estetis pada alat
kelamin tanpa menambahkan bekas luka. Operasi harus dilakukan bila pasien
tidak aktif menstruasi untuk mengurangi efek hormonal potensial pada
anatomi dan peningkatan risiko infeksi pasca operasi.
Teknik pengurangan labium atau reduksi labium. Prosedur ini dilakukan
dengan mengurangi ukuran atau panjang labia minora. dilakukan dengan
"metode trim" atau "metode strip". Kemudian, pada 1990-an, "Wedge"
metode (juga disebut "V" Metode) Akibatnya, sekarang ini dikenal dua jenis
teknik labiaplasty untuk mengurangi ukuran labia minora.
1. Metode Trim Labiaplasty

Gambar 18. Metode Trim Labiaplasty


Jenis pengurangan labium untuk labium minora yang paling sederhana
dilakukan dengan menghilangkan bagian yang tidak diinginkan itu. Tepi
dipotong lalu kemudian dijahit sehingga akan sembuh dengan cepat dan akan
membentuk bekas luka minimal. Dengan menggunakan teknik ini dapat
menyelesaikan dua perubahan yang signifikan bagi pasien yaitu mencapai
pengurangan labia, menghilangkan margin, tepi labial pinker lebih halus.
2. Metode Wedge Labioplasty

Gambar 19. Metode Wedge Labiaplasty


Teknik operasi ini berfungsi untuk mengurangi ukuran dan panjang
labium minora dengan menghapus "V" berbentuk baji labium yang tidak
diinginkan. Tepi ini ruang terbuka (yang dihasilkan setelah penghapusan
daerah yang tidak diinginkan dari labium) kemudian dijahit bersama-sama,
membentuk garis lurus (atau "I" bentuk) dengan tidak ada bekas luka yang
terlihat di sepanjang tepi labial. Ini tidak hanya mengurangi ukuran labial,
tetapi juga tidak merusak margin alami labium, sehingga menjaga penampilan
normal dari struktur genital perempuan.

Anda mungkin juga menyukai