Anda di halaman 1dari 16

Ketoasidosis diabetikum et causa Diabetes Melitus tipe 1 pada Anak

Angga Punggawa Koedoeboen


102015125
Kelompok B2
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510. Telephone : (021)5694 – 2061
Fax : (021) 563-1731
angga.2015fk125@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan keadaan dimana kompensasi metabolik akibat
defisiensi atau kurangnya insulin absolut atau relatif yang merupakan komplikasi akut diabetes.
Ketoasidosis diabetikum merupakan komplikasi akut yang serius pada DM tipe 1 terutama pada
pasien anak, dan merupakan kondisi gawat darurat yang menimbulkan morbiditas dan mortalitas.
Gejala khas dari pasien KAD adalah frekuensi buang air kecil meningkat, muncul rasa sangat haus
yang tidak menghilang walaupun sudah minum, dehidrasi, lemas dan lelah, otot terasa nyeri atau
kaku, sesak napas, napas berbau seperti buah-buahan (fruity odor), dan pernapasan Kussmaul.
Kata Kunci : KAD, insulin, diabetes, fruity odor, pernapasan Kussmaul.

Abstract :
Diabetic ketoacidosis is a condition in which metabolic compensation is due to deficiency or
lack of absolute or relative insulin which is an acute complication of diabetes. Diabetic ketoacidosis
is a serious acute complication in type 1 DM, especially in pediatric patients, and is an emergency
condition that causes morbidity and mortality. Typical symptoms of KAD patients are increased
frequency of urination, a feeling of extreme thirst that does not disappear even after drinking,
dehydration, weakness and fatigue, muscle pain or stiffness, shortness of breath, fruity odor, and
Kussmaul breathing.
Keywords: Diabetic Ketoasidosis, insulin, diabetic, fruity odor, Kussmaul breathing.

Pendahuluan

Diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan


karakteristik hiperglikemia dan terjadi akibat defek sekresi insulin. Ketoasidosis diabetik
(KAD) merupakan komplikasi akut diabetes yang sangat berhubungan dengan kualitas
edukasi yang diberikan kepada seorang dengan diabetes mellitus (DM) 2, sementara DM tipe
1, sering kali ketoasidosis merupakan pintu awal diagnosis. Ketoasidosis diabetikum terjadi
akibatdefisiensi insulin yang beredar dan kombinasi peningkatan hormon-hormon

1
kontraregulator yaitu katekolamin, glukagon, kortisol, dan hormon pertumbuhanPada anak
dengan DM tipe 1, risiko terjadinya KAD adalah 1-10% per pasien per tahun. Risiko
meningkat pada anak dengan kontrol metabolik yang jelek atau sebelumnya pernah
mengalami episode KAD, Di Negara maju sekalipun, 15-70% anak dengan DM datang
pertama kali ke fasilitas kesehatan dan didiagnosis sebagai DM setelah jatuh dalam kondisi
KAD. Diagnosis KAD pada anak lebih sulit dibandingkan pada orang dewasa, karena
sulitnya menggali keluhan dari anamnesis pada anak dengan usia muda. Dalam hal ini anak
yang mengalami KAD harus ditatalaksana secara menyeluruh di pusat kesehatan yang
memiliki protokol manajemen KAD dan memiliki pengalaman menangani kasus-kasus
serupa. Oleh karena itu, melalui makalah ini penulis ingin membahas kasus KAD pada anak,
penatalaksanaan yang dilakukan, serta telaah terhadap penatalaksanaan tersebut.1

Anamnesis
Anamnesis adalah wawancara yang dapat mengarahkan masalah pasien ke diagnosis
penyakit tertentu. Anamnesis memiliki tujuan untuk menentukan kemungkinan diagnosis
sehingga membantu menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, termasuk pemeriksaan
fisik dan penunjang. Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto anamnesis)
atau terhadap keluarga atau pengantar pasien (alo anamnesis).2
Anamnesis dimulai dengan menanyakan identitas pasien yang terdiri dari nama
pasien, umur, alamat, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, dan suku. Pada skenario
didapatkan data diri pasien sebagai berikut, seorang anak perempuan berumur 7 tahun.
Setelah mendapatkan data diri pasien, hal selanjutnya yang ditanyakan adalah keluhan utama
dari pasien tersebut. Pada skenario didapatkan keluhan utama pasien adalah nyeri perut yang
disertai muntah-muntah sejak 1 jam SMRS. Selain itu, ibu mengatakan bahwa anaknya
tampak mengantuk, lebih sering tidur sejak 1 hari SMRS.2
Untuk Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) dapat ditanyakan keluhan utama pasien
lebih dalam lagi, seperti sejak kapan keluhan terjadi? Apakah ada keluhan penyerta lain
seperti demam, batuk, dan pilek? Pada skenario didapatkan bahwa tidak ada demam dan tidak
ada batuk pilek.2
Pada Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) dapat ditanyakan apakah dulu pernah
mengalami sakit kronik, seperti DM? Apakah sering kontrol? Obat apa yang diminum? Pada
skenario didapatkan riwayat DMT1 sejak usia 5 tahun, kontrol tidak rutin, dan minum obat

2
tidak teratur. Tanyakan juga Riwayat Penyakit Keluarga (RPK), apakah ada anggota keluarga
yang mengalami penyakit seperti ini sebelumnya? Jika ada sudah sejak kapan?.2

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien adalah pemeriksaan inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi mulai dari head to toe. Pada pemeriksaan fisik, hal pertama yang perlu
dilakukan adalah pemeriksaan keadaan umum pasien, kesadaran, serta tanda-tanda vital. Pada
pemeriksaan fisik awal ini didapati pasien datang dengan keadaan umum tampak sakit berat
dan kesadaran somnolen. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital didapati tekanan darah pasien
80/50 mmHg, frekuensi nadi 120x/menit, frekuensi napas 40x/menit, dan suhu 37ºC.2

Dari pemeriksaan fisik head to toe tidak didapati adanya mata cekung, namun
didapati mukosa bibir dan mulut tampak kering. Pemeriksaan fisik thorax perlu dilakukan
pada pasien karena pasien datang dengan keluhan sesak. Pada pemeriksaan fisik thorax
didapati bunyi jantung I-II regular, tidak ada gallop, dan tidak ada murmur. Pada paru-paru
tidak ada retraksi, suara napas vesikuler, tidak ada ronkhi, dan tidak mengi. Pemeriksaan fisik
abdomen perlu dilakukan juga karena keluhan penyerta pasien, yaitu adanya nyeri perut dan
muntah-muntah. Pada pemeriksaan abdomen didapati adanya penurunan turgor kulit
(melambat). Sementara pada pemeriksaan ekstremitas didapati akral dingin, dan kutis
marmorata.2

Pemeriksaan Penunjang
Kadar Glukosa Darah
Untuk glukosa darah puasa, (GDP) pasien harus berpuasa 6-12 jam sebelum pasien
diambil darahnya, setelah darah pasien diambil darahnya, pasien diberikan makanan seperti
makanan yang biasanya dimakan, dua jam kemudian diambil darahnya untuk pemeriksaan
glukosa darah dua jam PP. Darah sentrifugasi untuk mendapatkan serumnya, kemudian
diperiksa kadar glukosa darahnya. Glukosa darah sewaktu (GDS), darah pasien diambil dan
diperiksa darahnya pada waktu kapan pun. Nilai rujukan GDP <110mg/dl, GDS <110mg/dl
dan 2 jam PP < 140mg/dl.3
Analisa Gas Darah
Analisa gas darah adalah salah satu tindakan pemeriksaan laboratorium yang
ditujukan ketika dibutuhkan informasi yang berhubungan dengan keseimbangan asam basa
pasien. Hal ini berhubungan untuk mengetahui keseimbangan asam basa tubuh yang

3
dikontrol melalui tiga mekanisme, yaitu system buffer, sistem respiratori, dan sistem renal.
PH normal adalah 7,35-7,45, oksigen (O2) 80-100 mEq/L, karbon dioksida (CO2) 35-
45mmHg, bikarbonat (HCO3) 22-26 mEq/L.3
Urinalisa
Pemeriksaan urin atau biasa disebut analisa urin (urinalisis) merupakan pemeriksaan
penyaring yang dipakai untuk mengetahui adanya kelainan di dalam saluran kemih yaitu dari
ginjal dengan salurannya, kelainan yang terjadi di luar ginjal, untuk mendeteksi adanya
metabolit obat. Pemeriksaan urin meliputi pemeriksaan makroskopik, mikroskopik/sedimen
dan kimia urin. Salah satunya adalah benda keton. Terutama dilakukan pada pasien DM tipe
2 yang terkendali buruk,koma dengan penyulit akut,dengan gejala KAD, pasien hamil. Nilai
rujukan < 0,6 mmol/L darah, ketosis > 1 mmol/L darah. Indikasi KAD > 3 mmol/L darah.3
Elektrolit
Pemeriksaan elektrolit adalah pemeriksaan untuk memantau keseimbangan cairan di
dalam tubuh. Air/ cairan elektrolit ini berperan penting dalam fungsi kerja saraf dan otot.
Tujuannya adalah untuk mendiagnosa dan mengukur manajemen ginjal, endokrin, asam-basa,
keseimbangan air, dan kondisi lainnya. Biasanya pemeriksaan ini dilakukan bersamaan
dengan pemeriksaan elektrolit darah yang lain seperti natrium (Na), klorida (Cl), kalsium
(Ca), dan magnesium (Mg). Kadar normal Na+ darah 135-145 mEq/L, K+ 3,5-5,0 mEq/L,
Cl- 98-110 mEq/L, Mg2+ 1,5-2,5 mEq/L.3
Hasil pemeriksaan penunjang pada kasus adalah GDS didapatkan di atas 500 mg/dL
AGD didapatkan PH 7,1 dan HCO3 8 mEq/L SaO2 93%. Urinalisis didapatkan glukosa +4,
benda keton +++, BJ 1.030. Elektrolit didapatkan Na 138 mEq/L, K;5 mEq/L, Cl ; 85
mEq/L.

Diagnosis Kerja (g)


Ketoasidosis Diabetikum et causa Diabetes Melitus Tipe 1
Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan suatu komplikasi lanjutan dari penyakit
diabetes melitus (DM) tipe 1 apabila tidak ataupun lama ditangani. KAD merupakan keadaan
pada pasien DM tipe 1 akibat defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon
kontra regulator, yang mengakibatkan lipolisis berlebihan dengan akibat terbentuknya benda-
benda keton dan segala konsekuensinya. KAD perlu ditangani secara cepat karena menjadi
suatu tanda kegawatdaruratan DM untuk menurunkan angka morbiditas maupun mortalitas
pasien. Diagnosis ketoasidosis diabetik (KAD) ditegakkan jika terdapat: hiperglikemia yaitu

4
kadar glukosa darah > 200 mg/dL (>11 mmol/L), Asidosis yaitu pH <7,3 dan/atau HCO3 -
<15 meq/L, asidemia serta ketonuria. KAD diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya
asidosis dan dibagi menjadi: KAD ringan : pH < 7,3 atau HCO3 < 15 mEq/L, KAD sedang :
pH < 7,2 atau HCO3 < 10 mEq/L, KAD berat : pH < 7,1 atau HCO3 < 5 mEq/L.4,5

Diagnosis Banding
Diabetes Mellitus Tipe II
Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya
hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang dihubungkan
dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja dan atau sekresi insulin. DM tipe II
disebabkan karena resistensi insulin dimana insulin tidak bekerja secara maksimal. Gejala
yang dikeluhkan pada penderita DM yaitu polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan berat
badan, kesemutan, penglihatan kabur, dan sulit sembuh ketika memiliki luka. Klasifikasi DM
tipe II bervariasi, mulai dari yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif
sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.6
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan glukometer.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.6
Kriteria diagnosis DM adalah sebagai berikut (1) Pemeriksaan glukosa plasma puasa
≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi dimana tidak ada asupan kalori minimal 8 jam atau. (2)
Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
dengan beban glukosa 75 gr atau. (3) Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL
dengan keluhan klasik atau. (4) Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode
yang terstandarisasi oleh National Glycohemoglobin Standarization Program (NGSP).6
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas membran
alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus,
dan akumulasi cairan yang mengandung protein dalam parenkim paru.4
ARDS muncul sebagai respon terhadap berbagai trauma dan penyakit yang
mempengaruhi paru secara langsung (seperti aspirasi isi lambung, pneumonia berat, dan
kontusio paru) atau secara tidak langsung (sepsis sistemik, trauma berat, pankreatitis). Dalam
12-48 jam setelah kejadian awal pasien mengalami distress pernapasan dengan perburukan

5
sesak nafas dengan takipnea. Pemeriksaan gas darah arteri menunjukkan hipoksemia yang
tidak respon terhadap oksigen melalui nasal. Infiltrat difus bilateral terlihat pada rontgen
tanpa disertai gambaran edema paru kardiogenik. ARDS merupakan bentuk acute lung injury
yang paling berat dan dicirikan oleh: riwayat trauma atau suatu penyakit yang menjadi
inisiator, hipoksemia refrakter terhadap terapi oksigen, infiltrat difus bilateral pada rontgen
toraks, tidak ada bukti suatu edema paru kardiogenik. 4
Meskipun telah banyak penelitian mekanisme inflamasi pada ARDS dan teknik
ventilasi dan kontrol hemodinamik, namun mortalitas pasien ARDS masih sangat tinggi >
50%. Pasien yang masih hidup mungkin dengan fibrosis paru dan gangguan difusi oksigen
namun beberapa pasien sembuh sempurna walaupun telah melewati masa kritis dengan
trauma paru yang berat yang membutuhkan perawatan yang lama.4
Gastroenteritis
Gastroenteritis adalah infeksi saluran pencernaan yang disebabkan oleh berbagai
enterogen termasuk, bakteri, virus, dan parasit, tidak toleran terhadap makanan tertentu atau
mencerna toksin yang ditandai dngan muntah-muntah dan diare yang berakibat hilangnya
cairan dan elektrolit yang dapat menimbulkan dehidrasi dan gangguan keseimbangan
elektrolit.7
Gejala awal pasien biasanya cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat. Nafsu
makan berkurang atau tidak ada, kemungkinan timbul diare. Tinja cair dan mungkin disertai
lendir dan atau darah. Warna tinja makin lama berubah kehijau-hijauan karena bercampur
dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya timbul lecet karena sering defekasi dan terjadi
makin lama makin asam sebagai akibat dari semakin banyaknya asam laktat yang berasal dari
laktosa yang tidak diabsorbsi oleh usus selama diare.7
Gejala muntah dapat timbul sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan karena
lambung ikut meradang atau akibat dari gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit,
gejala dehidrasi mulai tampak yaitu berat badan menurun, turgor kulit berkurang, mata
cekung dan ubun-ubun besar (pada bayi). Mukosa bibir dan mulut serta kulit tampak kering.7
Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik
Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik adalah suatu komplikasi akut dari
diabetes melitus di mana penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan
kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma. Ini terjadi pada
penderita diabetes tipe II.4

6
Suatu keadaan metabolik yang ekstrim yang terjadi akibat kombinasi beberapa
penyakit, dehidrasi, dan ketidakmampuan untuk mendapat terapi diabetik karena efek
penyakit (misal pada penderita GGK yang punya riwayat DM lama, mendapat pengobatan
diuretik, yang menyebabkan interaksi antara obat DM dengan diuretik yang berakibat obat
diabetes tidak bisa bekerja). Keadaan ini berpotensi sebagai keadaan kegawatdaruratan.
Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik dikarakterisasi sebagai Hiperglikemia berat dengan
ditandai Hiperosmolaritas serum tanpa bukti dari ketosis yang signifikan.4
Hiperglikemia menyebabkan osmosis diuretik dengan hiperosmolaritas yang menuju
kepada perpindahan air secara osmosis ke dalam kompartemen intravaskular, yang
menyebabkan dehidrasi intrasel. Ketosis tidak terjadi karena kehadiran basal sekresi insulin
cukup untuk mencegah terjadinya ketogenesis, tapi tidak cukup untuk menurunkan kadar gula
darah.4
Etiologi berupa (1) Insufisiensi insulin, yaitu DM, pankreatitis, pancreatectomy dan
gen pharmakologic (phenitoin, thiazid). (2) Increase exogenous glucose, yaitu
hiperalimentation (tpn) dan high calorie enteral feeding. (3) Increase endogenous glucose,
yaitu acute stress (ami, infeksi) dan pharmakologic (glukokortikoid, steroid, thiroid). (4)
Infeksi: pneumonia, sepsis, gastroenteritis. (5) penyakit akut: perdarahan gastrointestinal,
pankreatitits dan gangguan kardiovaskular. (6) Pembedahan/operasi.(7) Pemberian cairan
hipertonik. (8) Luka bakar.4
Faktor risiko berupa kelompok usia dewasa tua (>45 tahun), kegemukan (BB(kg)
>120BB idaman, atau IMT>27 (kg/m2), tekanan darah tinggi (TD > 140/90 mmHg), riwayat
keluarga DM, riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram, riwayat DM pada
kehamilan, dislipidemia (HDL<35 mg/dl dan/atau trigliserida>250 mg/dl), pernah TGT
(Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu).4
Tanda dan gejala umum HHNK adalah haus, kulit terasa hangat dan kering, mual dan
muntah, nafsu makan menurun, nyeri abdomen, pusing, pandangan kabur, banyak kencing,
mudah lelah. Gejala-gejala, meliputi (1) Mengantuk, insiden stupor atau sering koma. (2)
Poliuria selama 1 -3 hari sebelum gejala klinis timbul. (3) Tidak ada hiperventilasi dan tidak
ada bau napas. (4) Penipisan volume sangat berlebihan (dehidrasi, hipovolemia). (5) Glukosa
serum mencapai 600 mg/dl sampai 2400 mg/dl. (6) Kadang-kadang terdapat gejala-gejala
gastrointestinal. (7) Hipernatremia. (8) Kegagalan mekanisme haus yang mengakibatkan
pencernaan air tidak adekuat. (9) Osmolaritas serum tinggi dengan gejala SSP minimal
(disorientasi, kejang setempat). (10) Kerusakan fungsi ginjal. (11) Kadar HCO3 kurang dari

7
10 mEq/L. (12) Kadar CO2 normal. (13) Celah anion kurang dari 7 mEq/L. (14) Kalium
serum biasanya normal. (15) Tidak ada ketonemia, dan (16) Asidosis ringan.4

Etiologi
Ada sekitar 80% pasien KAD diketahui menderita diabetes mellitus (DM), sedangkan
20% baru mengetahui menderita DM. KAD sering terkena pada penderita DM tipe 1 dimana
kadar insulin tidak cukup sesuai dengan kebutuhan metabolic tubuh. Menghentikan atau
mengurangi dosis insulin pada terapi DM merupakan salah satu pencetus KAD. Faktor
pencetus lain berupa (1) Infeksi, seperti pneumonia, infeksi traktus urinarius, dan sepsis.
Diketahui bahwa jumlah sel darah putih mungkin meningkat tanpa indikasi yang mendasari
infeksi. (2) Ketidakpatuhan karena ketidakpatuhan dalam dosis. (3) Pengobatan karena onset
baru diabetes atau dosis insulin tidak adekuat.4,8

Epidemiologi
Kekerapan KAD berkisar antara 4-8 kasus pada setiap 1000 pengidap diabetes dan
masih menjadi problem yang merepotkan di rumah sakit dengan fasilitas minimal. Angka
kematian berkisar 0,5-7 % tergantung dari kualitas pusat pelayanan yang mengelola KAD
tersebut. Di negara barat yang banyak mengidap diabetes tipe 1, kematian banyak diakibatkan
oleh edema serebri, sedangkan di negara yang sebagian besar pengidap adalah diabetes 2,
penyakit penyerta dan pencetus KAD sering menjadi penyebab kematian.4

Patofisiologi
Pada ketoasidosis diabetik terjadi gangguan metabolisme protein, lemak, dan
karbohidrat. Kombinasi dari keadaan defisiensi insulin mutlak atau relatif disertai
peningkatan berlebihan hormon stres atau pengimbang. Meningkatnya hormon pengimbang
seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone dengan kompensatorik insulin
yang tidak meningkat, menyebabkan meningkatnya lipolisis dan ketogenesis. Defisiensi
insulin dan peningkatan hormon kontra regulator terutama epinefrin juga mengaktivasi
hormon lipase sensitif pada jaringan lemak yang mengakibatkan peningkatan lipolisis.
Peningkatan lipolisis dan ketogenesis akan memicu ketonemia dan asidosis metabolik. Asam
lemak bebas diserap hati, tempat asam tersebut diesterifikasi menjadi trigliserida dan
dioksidasi menjadi asam asetoasetat dan hidroksibutirat (keton) secara berlebihan, sehingga
menyebabkan terjadinya asidosis metabolik. Walaupun sudah dibentuk banyak benda keton
8
untuk sumber energi, sel-sel tubuh tetap masih lapar dan terus membentuk glukosa.
Hiperglikemia dan hiperketonemia mengakibatkan diuresis osmotik, dehidrasi dan
kehilangan elektrolit. Perubahan tersebut akan memicu lebih lanjut hormon stres sehingga
akan terjadi perburukan hiperglikemia dan hiperketonemia. Jika lingkaran tersebut tidak
diinterupsi dengan pemberian insulin dan cairan, maka akan terjadi dehidrasi berat dan
asidosis laktat akibat perfusi jaringan yang buruk. Defisiensi insulin relatif terjadi akibat
konsentrasi hormon kontra regulator yang meningkat sebagai respon terhadap kondisi stres
seperti sepsis, trauma, penyakit gastrointestinal yang berat, infark miokard akut, stroke, dan
lain-lain. Dengan adanya kondisi stres metabolik tertentu, keberadaan insulin yang biasanya
cukup untuk menekan lipolisis menjadi tidak cukup secara relatif karena dibutuhkan lebih
banyak insulin untuk metabolisme dan untuk menekan lipolisis.4,9

Gambar 1. Patofisiologi Ketoasidosis Diabetik.9

Gejala Klinis dan Faktor Risiko

Penegakkan diagnosis KAD salah satunya dapat dilihat dari gejala klinis KAD. Gejala
klinis KAD pada anak yang dapat ditemukan adalah poliuria, polidipsia, dan polifagia yang
khas sebagai bagian dari DM serta adanya penurunan berat badan, dehidrasi, takikardi, mual,

9
muntah, nyeri perut seperti akut abdomen, penurunan kesadaran progresif. Gejala tidak khas
yang menyerupai penyakit lain yaitu gastroenteritis, akut abdomen, keracunan, gangguan
SSP, sindrom uremik, dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik didapatkan penurunan kesadaran
bahkan sampai koma, pernafasan kussmaul dan meningkat, gejala asidosis, tanda-tanda
dehidrasi yaitu turgor kulit menurun, mukosa mulut kering, kelopak mata cekung, ubun-ubun
cekung, nadi meningkat/tak teraba, tekanan darah menurun serta oliguria, dengan atau tanpa
disertai syok. Bisa juga ditemukan nafas berbau aseton atau buah-buahan.9

Faktor risiko KAD, yaitu risiko terjadinya KAD pada kelompok ini meningkat pada
anak dengan kontrol metabolik buruk, keterlambatan diagnosis, anak yang tidak
menggunakan insulin, gadis remaja atau peripubertal, anak dengan gangguan makan (eating
disorders), sosial ekonomi rendah, dan anak dari keluarga yang tidak memiliki asuransi
kesehatan. Alvi dkk menyatakan bahwa anak keturunan Asia usia <5 tahun memiliki risiko
8x lebih tinggi untuk mengalami KAD dibandingkan anak non-Asia pada usia yang sama.10

Tatalaksana
Kesuksesan pengelolaan KAD membutuhkan koreksi terhadap dehidrasi,
hiperglikemia, gangguan elektrolit, komorbiditas, dan monitoring selama perawatan. Tujuan
utama adalah menghentikan proses asidosis bukan hanya menurunkan kadar glukosa. Prinsip
tatalaksana KAD meliputi terapi cairan untuk mengoreksi dehidrasi dan menstabilkan fungsi
sirkulasi, pemberian insulin untuk menghentikan produksi badan keton yang berlebihan,
mengatasi gangguan keseimbangan elektrolit, mengatasi penyakit yang mendasari KAD serta
monitor komplikasi terapi. Anak dengan KAD harus dirawat di tempat yang memiliki
perawat terlatih dalam menangani KAD, memiliki panduan tata laksana KAD, memiliki
laboratorium yang memungkinkan evaluasi pasien secara ketat. Indikasi perawatan di Ruang
Rawat Intensif adalah: KAD berat, risiko edema serebri, usia sangat muda (< 5 tahun),
aritmia.4,10
Tatalaksana awal berupa (1) Dengan cara amankan airway, breathing, circulation. (2)
Nilai kesadaran menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale). (3) Timbang berat badan pasien.
(4) Nilai derajat dehidrasi. Dehidrasi dianggap sedang jika dehidrasinya mencapai 5%-9%,
tanda-tanda dehidrasi meliputi: capillary refill memanjang, turgor menurun, hiperpnea, serta
adanya tanda-tanda dehidrasi seperti membran mukus yang kering, mata cekung, dan tidak
ada air mata. Dehidrasi dianggap lebih dari 10% atau berat jika terdapat nadi yang lemah,

10
hipotensi, dan oliguria. Mengingat derajat dehidrasi dari klinis sangat subyektif dan
seringkali tidak akurat maka direkomendasikan bahwa pada KAD sedang dehidrasinya adalah
5-7% sedangkan pada KAD berat derajat dehidrasinya adalah 7-10%.10

Cairan

Terapi cairan ditujukan untuk ekspansi cairan intraseluler, intravascular, interstitial,


dan restorasi perfusi ginjal. Apabila terjadi renjatan, berikan NaCl 0,9% atau RL 20 ml/kgBB
dan dapat diulangi sampai renjatan teratasi. Bila renjatan sudah membaik tetapi sirkulasi
belum stabil, cairan dapat diberikan dengan kecepatan 10 ml/kgBB dalam waktu 1-2 jam.
Rehidrasi harus segera dimulai dengan cairan isotonik (NaCl 0,9% atau cairan yang hampir
isotonik misalnya Ringer Laktat/RL atau Ringer Asetat). Rehidrasi awal harus menggunakan
NaCl 0,9% atau ringer asetat paling tidak selama 4-6 jam. Rehidrasi selanjutnya dilakukan
dalam kurun waktu 48 jam dengan memperhitungkan sisa defisit cairan ditambah kebutuhan
cairan rumatan untuk 48 jam. 4,10

Insulin

Insulin diberikan mulai 1-2 jam setelah pemberian cairan karena jika kurang dari 1
jam bisa menyebabkan edema serebri. Pemberian insulin sejak awal tatalaksana
meningkatkan risiko hypokalemia. Jenis insulin yang boleh diberikan adalah short acting dan
rapid acting. Insulin dapat diberikan melalui IV dengan dosis sekitar 0,05-0,1 unit/KgBB/jam
dan insulin bolus tidak boleh diberikan pada pasien KAD. Dengan pemberian insulin IV dosis
rendah diharapkan terjadi penurunan glukosa plasma dengan kecepatan 50-100 mg/dl, lalu
kecepatan insulin diturunkan menjadi 0,02-0,05 unit/KgBB/jam. Jika glukosa sudah berada
sekitar 120-200 mg/dl maka pemberian infus dekstrosa dianjurkan untuk mencegah
hipoglikemia.4,10

Kalium

Hal yang harus diperhatikan adalah (1) Pada pemeriksaan darah, kadar kalium plasma
dapat normal, meningkat, atau menurun meskipun kadar total kalium tubuh menurun. (2)
Pada semua pasien KAD perlu koreksi kalium, kecuali jika terdapat gagal ginjal. (3) Jika

11
pasien hipokalemia: mulai pemberian kalium saat resusitasi cairan awal sebelum pemberian
insulin atau berikan setelah cairan resusitasi bersamaan dengan mulai pemberian insulin. (4)
Jika hiperkalemia (K+ >6 mEq/L): tunda pemberian kalium sampai diuresis normal.
Pemeriksaan EKG dapat membantu menentukan hiperkalemia atau hipokalemia. (5) Kalium
dapat diberikan dengan konsentrasi 40 mEq/L. Selanjutnya disesuaikan dengan hasil
pemeriksaan kadar kalium plasma. (6) Jenis preparat kalium yang digunakan sebaiknya
adalah kalium fosfat bersama-sama dengan kalium klorida atau asetat untuk mencegah
terjadinya asidosis hiperkloremia dan hipokalsemia. Contoh: kalium fosfat diberikan 20
mEq/L sedangkan kalium klorida juga 20 mEq/L. (7) Pemberian kalium harus dilakukan
secara terus menerus selama pasien mendapatkan cairan intravena. (8) Kecepatan
penggantian kalium tidak boleh melebihi 0,5 mEq/kgBB/jam. (9) Jika hipokalemia menetap
meskipun penggantian kalium sudah pada kecepatan maksimal maka dosis insulin dapat
diturunkan.10

Asidosis

Teratasi dengan pemberian cairan dan insulin. Terapi bikarbonat dapat menyebabkan
asidosis SSP paradoksikal dan meningkatkan risiko terjadinya hipokalemia. Bikarbonat dapat
digunakan pada kondisi hiperkalemia berat atau jika pH darah < 6,8 dosisnya adalah 1-2
mEq/kgBB diberikan IV selama lebih dari 60 menit.10

Pemantauan

Pemantauan pada pasien KAD meliputi (1) Tanda vital (kesadaran, frekuensi nadi,
frekuensi nafas, tekanan darah, suhu) tiap jam. (2) Balans cairan tiap jam (jika terdapat
penurunan kesadaran maka perlu dipasang kateter urin). (3) Pada KAD berat, monitoring
dengan EKG membantu untuk mendeteksi adanya hiperkalemia atau hipokalemia. (4)
Pemeriksaan kadar glukosa darah kapiler tiap jam. (5) Pemeriksaan laboratorium: elektrolit,
ureum, hematokrit, glukosa darah dan analisis gas darah harus diulang tiap 4-6 jam (pada
kasus yang berat elektrolit harus diperiksa tiap jam). Peningkatan leukosit dapat disebabkan
oleh stres dan belum tentu merupakan tanda infeksi. (6) Observasi tanda-tanda edema serebri,
meliputi tiba-tiba sakit kepala hebat, perubahan tanda-tanda vital (bradikardi, hipertensi,
apnea), muntah, kejang, perubahan status neurologis (iritabilitas, mengantuk, inkontinensia)
atau tanda neurologis spesifik (parese saraf kranial-ophthalmoplegia, pelebaran pupil dan
respon pupil terganggu), menurunnya saturasi oksigen. (7) Pemantauan keton urin tidak

12
menggambarkan intervensi untuk perbaikan metabolik asidosis. Dengan perbaikan metabolik
asidosis, keton urin tampak seolah-olah meningkat.10

Transisi ke insulin subkutan dan mulai asupan peroral

Cairan oral mulai diberikan jika sudah terdapat perbaikan klinis nyata. Jika sudah
mulai diberikan cairan per oral maka jumlah cairan per oral ini harus dimasukkan dalam
perhitungan cairan total. Jika KAD sudah teratasi dan asupan per oral sudah ditoleransi
dengan baik maka waktu paling baik untuk mengganti insulin menjadi insulin subkutan
adalah saat sebelum makan. Untuk mencegah terjadinya hiperglikemia rebound maka insulin
subkutan pertama harus diberikan 15-30 menit (insulin kerja cepat) atau 1-2 jam (insulin
kerja pendek) sebelum insulin intravena dihentikan.10

Komplikasi
Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah kondisi dimana kadar glukosa darah dibawah nilai normal (< 50
mg/dL). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2
kali per minggu, kadar gula darah yang terlalu rendah ini menyebabkan sel-sel otak tidak
mendapatkan pasokan oksigen dan energi sehingga tidak berfungsi atau bahkan mengalami
kerusakan.11
Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tcepat, dapat
berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain, ketoasidosis
diabetik, KHNK, dan kemolakto asidosis.11
Edema serebri
Edema serebri dapat terjadi jika kasus KAD tidak ditangani dengan segera. Selain itu,
edema serebri juga dapat terjadi jika pasien diberikan cairan dengan volume yang besar
dalam 4 jam pertama. Pasien KAD dengan komplikasi edema serebri dapat didiagnosis
dengan beberapa kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor diagnosis edema serebri antara
lain; derajat kesadaran yang berfluktuasi atau gangguan mental, penurunan denyut jantung,
dan inkontinensia yang sesuai dengan usia. Sementara kriteria minornya antara lain; muntah,
sakit kepala, letargis atau sulit dibangunkan, tekanan darah diastolik > 90 mmHg, dan usia
kurang dari 5 tahun.10

13
Pencegahan
Dua faktor yang paling berperan dalam timbulnya KAD adalah terapi insulin yang
tidak adekuat dan infeksi. Dari pengalaman di negara maju keduanya dapat diatasi dengan
memberikan akses yang mudah bagi penderita untuk mencapai fasilitas kesehatan,
komunikasi yang efektif antara petugas kesehatan dan penderita dan keluarganya di saat
sakit, serta edukasi. Hal praktis yang dapat dilaksanakan adalah (1) Edukasi tentang diabetes
untuk pasien, keluarga dan lingkungan agar tercapai kontrol metabolik. (2) Melakukan
pemantauan gula darah teratur. (3) Pengaturan makan dan menghindari puasa yang
berkepanjangan. (4) Mencegah dehidrasi. (5) Mengobati infeksi secara adekuat. (6)
Menjamin agar jangan sampai terjadi defisiensi insulin (tidak menghentikan pemberian
insulin, manajemen insulin yang tepat di saat sakit).4,12

Prognosis
Umumnya pasien akan membaik setelah diberikan insulin dan terapi standar lainnya,
jika komorbid tidak terlalu berat. Biasanya kematian pada pasien KAD adalah karena
penyakit penyerta berat yang datang pada fase lanjut. Kematian meningkat seiring dengan
meningkatnya usia dan beratnya penyakit penyerta. Penyebab kematian tersering adalah
komplikasi dari edema serebral.4

Kesimpulan
Ketoasidosis Diabetikum (KAD) adalah suatu komplikasi dari penyakit diabetes
melitus (DM) tipe 1 apabila tidak ataupun lama ditangani. Kurangnya glukosa dalam sel
mengakibatkan proses glukoneogenesis dan terbentuknya benda-benda keton yang bersifat
asam sehingga menyebabkan kondisi asidosis. KAD memiliki gejala yang bisa timbul adalah
polidipsia, polifagia, poliuria, dan nafas berbau aseton. KAD dapat diatasi dengan rehidrasi
dan insulin serta dilakukan pemantauan terhadap kadar elektrolit, gula dan status pasien
untuk mencegah terjadinya komplikasi. Prognosis penyakit umumnya buruk jika tidak
ditangani segera dan tepat.

14
Daftar Pustaka
1. Dimas P, Abirianty PA, Antari RH, Toto SE, Eka N, Bambang T. Ketoasidosis
diabetik pada penderita diabetes melitus tipe 1. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran
Indonesia. 2013:2(1);60-5. Available at:
https://bapin-ismki.e-journal.id/jimki/issue/view/volume-2-edisi-1-2013/2
2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga. 2010. p.
42-3.
3. Adam JMF, editor. Skrining diabetes mellitus pada kehamilan dalam:Endokrinologi
praktis. Diabetes mellitus, tiroid, hiperlipidemi. Ujung Pandang; PT. Organon. 2014.
p.105-13.
4. Hisyam B, Budiono E pneumotoraks. Pneumotoraks. Dalam: Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata KM, Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 6th ed. Jilid II. Interna Publishing. 2017. p. 2375-85;4072-9.
5. Lilihata G, Syam AF. Dalam: Chris T, dkk, editor. Kapita selekta kedokteran. 4 th ed.
Jilid II. Jakarta: Salemba Raya. 2014. p. 796-8.
6. Soelistijo SA, Lindarto D, Decroli E. Pedoman pengelolaan dan pencegahan diabetes
melitus tipe 2 dewasa di indonesia. PB Perkeni. 2019. P. 7-16.
7. Adiwisastra GN, Arozal W, Utami H. Efektivitas implementasi clinical pathway pada
pasien anak gastroenteritis akut (GEA) dengan dehidrasi yang dirawat inap di rumah
sakit permata bekasi. [Internet]. Desember 2019. [cited 15 november 2020]. Available
from: http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/jmp/article/download/15256/11382.
8. Loriaux L. Diabetic ketoacidosis and hyperosmolar hyperglycemic syndrome. In:
endocrine emergencies. Portland: humana press; 2013. P. 23-30.

15
9. Wolfsdorf JI, Glaser N, Agus M, Fritsch M, Hanas R, Rewers A, Sperling MA,
Codner E. Diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic hyperosmolar state. Pediatric
Diabetes Journal. May 2018;19(27):155-177. Available at:
wileyonlinelibrary.com/journal/pedi
10. Yati NP, Tridjaja BAAP. Ketoasidosis diabetik dan edema serebri pada diabetes
mellitus tipe 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2017;2-12 p.
11. Fatimah RN. Diabetes mellitus tipe 2. Jurnal Majority. [Internet]. 26 Januari
2015;4(5). [cited 15 november 2020]. Available from:
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/viewFile/615/619
12. Batubara JRL, Tridjaja B, Pulungan AB. Buku ajar endokrinologi anak. Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2017. P. 124.

16

Anda mungkin juga menyukai