Anda di halaman 1dari 13

Diabetes Melitus Tipe 1 dengan Ketoasidosis Metabolik

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat, 11510

Pendahuluan
Ketoasidosis diabetes merupakan komplikasi akut yang paling serius yang terjadi
pada anak-anak pada DM tipe 1, dan merupakan kondisi gawat darurat yang menimbulkan
morbiditas dan mortalitas, walaupun telah banyak kemajuan yang diketahui baik dari
patogenesisnya maupun dalam hal diagnosis dan tata laksananya. Diagnosis ketoasidosis
diabetes (KAD) didapatkan sekitar 16-80 % pada penderita anak baru dengan DM tipe 1.

KAD juga merupakan penyebab kematian tersering pada anak dan remaka dengan
DM tipe 1, yang diperkirakan setengah dari penyebab kematian penderita DM di bawah usia
24 tahun. Sementara itu di Indonesia belum didapatkan angka yang pasri mengenai hal ini.
Diagnosis dan tata laksana yang tepat sangat diperlukan dalam pengelolaan kasus-kasus KAD
untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.

Skenario

Seorang perempuan 7 tahun dibawa ibunya ke UGD RS dengan keluhan lemas sejak
beberapa jam yang lalu. Keluhan disertai nyeri perut dan kadang-kadang muntah. Menurut
ibunya, pasien BAK sedikit sekali. Menurut ibunya , pasien mengalami penurunan berat
badan 3 kg sejak 2 minggu yang lalu, semakin mudah lelah sejak 1 minggu yang lalu dan
terutama pasien merasa cepat haus, sering kencing dan ngompol pada saat tidur sejak 3 hari
yang lalu.

Pf: tampak somnolen, denyut jantung 120x/menit, TD80/50 mmhg, temperature 37 C,


pernafasan 40x/menit, cepat dan dalam, bau keton +, capillary refill 3 detik, serta turgor kulit
menurun.

Anamnesis

Pada skenario yang didapatkan, pasien akan dilakukan anamnesis terlebih dahulu.
Anamnesis akan dilakukan alloanamnesis dan autoanamnesis. Anamnesis akan dimulai dari
sapaan kepada pasien dan keluarganya untuk memulai komunikasi. Dikarenakan pasien

1
adalah seorang anak berumur 7 tahun, maka anamnesis dilakukan secara alloanamnesis
dengan bertanya kepada Ibu pasien, namun dibantu juga dengan autoanamnesis.

Alloanamnesis adalah tindakan anamnesis yang dilakukan pada keluarga atau orang
yang mengantar pasien datang kepada seorang dokter.1 Alloanamnesis dimulai dari identitas
pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang (RPS), riwayat penyakit dahulu (RPD), dan
riwayat penyakit keluarga (RPK). Identitas pasien akan ditanya dari, nama lengkap pasien,
tempat dan tanggal lahir, umur pasien, alamat, pendidikan terakhir, pekerjaan, status
perkawinan, suku bangsa, dan agama. Pada keluhan utama, ditanyakan kepada pasien dibantu
dengan keluarganya, masalah atau keluhan yang dialaminya sehingga mendorongnya datang
kepada dokter untuk berobat. RPS pada pasien ditanyakan berupa pertanyaan pertanyaan
seperti ini:

Apakah keluhan anak Ibu? Sejak kapan?

Apakah anak ibu ada gejala gejala dehidrasi seperti bibir dan mulutnya kering, tidak buang
air kecil selama lebih dari 6 12 jam, anak ibu menjadi lebih rewel karena haus, tidak ada air
mata saat menangis, mata anak menjadi cekung, turgor kulit menurun yang ditandai dengan
dicubit kulit anak di telapak tangan bagian luar dan kembali dalam bentuk elastis
memerlukan waktu yang lebih lama dari normal, dan anak menjadi lemah, tidak fokus, serta
tidak mampu berdiri?

Apakah ada gejala gejala asidosis metabolik seperti pernafasan cepat dan dalam? Atau apa
bau keton, apakah ibu menciumnya dari nafas atau mulut anak ibu?

Apakah ada nyeri perut, muntah, mual, dan demam?

Apakah ada mengkonsumsi obat obatan golongan steroid?

Apakah sering beraktifitas olahraga? Berapa kali dalam seminggu?

Apakah ada nyeri saat berolahraga atau sakit saat bergerak?

Apakah kulitnya kering, namun tidak berkeringat?

Apakah pernah mengeluh penurunan atau kehilangan kemampuan penglihatan?

Apakah sering merasa gatal, ditandai dengan digaruknya area tubuh tertentu secara berulang
kali? Atau apakah anak ibu pernah terdiagnosa dengan suatu penyakit kulit?

2
Apakah berat badan anak Ibu sulit meningkat? Atau bahkan meningkat secara berlebihan?
Atau ada penurunan berat badan yang signifikan?

Apakah anak Ibu pernah Ibu lihat urinnya? Warna apa? Atau urinnya ada kelainan lainnya,
misalnya ada benda asing dan sebagainya?

Apakah di keluarga, ada yang pernah mengalami kelainan seperti ini juga?

Setelah menanyakan mengenai masalah yang dihadapi anak tersebut, dilanjutkan


dengan perkembangan atau perburukkan yang dialaminya dalam beberapa hari terakhir,
ditanyakan pula obat yang mungkin sudah dikonsumsi oleh anak tersebut dan hasilnya seperti
apa setelah meminum obat tersebut.

Ditanyakan pula apa ada keluhan keluhan lainnya dan keluhan berat lainnya yang
mungkin diderita pula oleh anak tersebut. Selanjutnya, setelah RPS selesai maka akan menuju
kepada RPD, RPK.

Pemeriksaan

Pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan keadaan umum pasien, Tanda-tanda


vital (TTV), kesadaran pasien, berat dan tinggi badan pasien, pemeriksaan khusus mata,
kelenjar tiroid, jantung, paru, dan ginjal.

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada pasien adalah pemeriksaan darah
rutin, hemoglobin A1c (HbA1c), glukosa darah sewaktu dan puasa, urin rutin, analisa gas
darah (AGD), dan pengecekan DNA (jika perlu). Pemeriksaan EKG menurut literatur
diperlukan untuk melihat hipokalemia atau hiperkalemia, namun pada keadaan berdasarkan
skenario, hasil elektrolit belum ada sehingga tidak diindikasikan untuk pemeriksaan EKG
karena pemeriksaan elektrolit yang dasar saja belum ada hasilnya.

Keadaan umum pasien saat datang sudah dalam kondisi sakit berat. Pada TTV
didapatkan nilai adalah sebagai berikut, tekanan darah adalah 80/50 mmHg, tampak
somnolen, denyut jantung 120x/menit, temperature 37 C, pernafasan 40x/menit, cepat dan
dalam, bau keton +, capillary refill 3 detik, serta turgor kulit menurun.3 pada hasil
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran menurun, yang merupakan tanda dari kesadaran jenis
somnolen. Berat dan panjang badan pasien juga diukur untuk mengetahui nilai Body Mass
Index (BMI), apakah anak tersebut dalam keadaan tumbuh normal atau tidak, hal ini yang
menjadi pertanda dari pada seorang anak kekurangan gizi atau bahkan kelebihan gizi, namun

3
dibantu juga dengan pemeriksaan lingkar kepala, lingkar lengan atas, lingkar dada, dan
kandungan lemak pada tubuh. Pada kasus yang dicurigai anak menderita DMT1 juga sangat
penting dilakukan pemeriksaan mata, karena sering kali gangguan penglihatan seperti katarak
timbul lebih awal pada penderita DMT1.

Pemeriksaan fisik yang sangat penting adalah pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi. Pada wajah anak tersebut akan diinspeksi dan dipalpasi, untuk mengetahui
kelainan yang terjadi pada anak tersebut. Pada saat pemeriksaan wajah juga pasien akan
diminta meniupkan nafas dari mulutnya, pada penderita DMT1 dengan ketoasidosis
metabolik akan tercium bau keton saat anak tersebut meniupkan nafasnya dari mulut, hal ini
merupakan ciri khas DMT1 dengan ketoasidosis metabolik. Pemeriksaan kelenjar tiroid juga
berfungsi untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran, karena pada penderita DMT1
berhubungan dengan hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Jika ditemukan kelainan, maka
pemeriksaan fungsi tiroid selanjutnya melalui pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan
dengan segera, karena hal ini akan berdampak pada manajemen pengobatan penyakit
Diabetes Melitus Tipe 1 itu sendiri. Selanjutnya juga dilakukan pemeriksaan fisik pada
jantung, paru, dan ginjal, hal ini lebih bertujuan untuk mencari adanya ketidaknormalan pada
anak tersebut, dikarenakan keadaan kedatangan anak yang kurang jelas sakitnya pada
bagian/organ apa dan dehidrasi berat, maka dari itu dilakukan pemeriksaan yang menyeluruh.

Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan penunjang, selalu dilakukan pemeriksaan darah rutin untuk melihat
apakah pasien terdapat kelainan hematologi yang mungkin menjadi penyebab dari keluhan
atau gejala pasien. Nilai normal pemeriksaan darah rutin adalah sebagai berikut, hemoglobin
11 15 g/dL, hematokrit 31 45%, leukosit 5.700 18.000 sel/mm3, trombosit 150.000
450.000 sel/mm3, laju endap darah (LED) <10 mm/jam pertama, dan eritrosit 3.6 4.8 juta
sel/mm3.4

Pemeriksaan HbA1c merupakan pemeriksaan yang menghitung persentase


hemoglobin yang diselimuti oleh gula. Semakin tinggi level dari HbA1c maka semakin tinggi
pula resiko komplikasi diabetes. Pemeriksaan ini menunjukkan nilai rata-rata gula darah
sekitar 2 sampai 3 bulan yang lalu. Nilai normal untuk pemeriksaan ini adalah lebih kecil dari
5.7% ( 4%-5,6%) dengan kadar gula darah rata rata 2 sampai 3 bulan yang lalu adalah 111
mg/dL. Pemeriksaan yang menjadi penentu sesuai di kasus adalah pemeriksaan glukosa darah
sewaktu dan puasa. Pemeriksaan glukosa darah bertujuan untuk mengukur kadar gula dalam

4
darah. Nilai normal glukosa darah sewaktu adalah 100 mg/dL, dan dikatakan diabetes ketika
sudah melebihi dari 200 mg/dL, umumnya pada anak yang menderita diabetes akan terdeteksi
di nilai 250 mg/dL. Pada glukosa darah puasa dikatakan diabetes ketika sudah melebihi 120
mg/dL.5

Pemeriksaan urin rutin juga sangat penting untuk dilakukan karena akan ditemukan
adanya glukosa dalam urin, keadaan ini disebut glukosuria. Normalnya tidak ditemukan
glukosa dalam urin karena glukosa dalam filtrat glomeruli akan direabsorpsi kembali secara
aktif di tubuli proksimal. Bagaimanapun, pemeriksaan glukosa dalam urin bukanlah suatu
pemeriksaan diagnostik dalam penyakit DMT1 ini, melainkan hanya pendukung, karena
glukosuria dapat ditemukan bukan hanya pada DM. Glukosuria dapat ditemukan pada
tirotoksikosis, feokromasitoma, sindrom Cushing, anestesi dengan eter, peningkatan tekanan
intrakranial, renal glukosuria, kehamilan, dan sindrom Fanconi. Pemeriksaan benda keton
juga dilakukan pada pemeriksaan urin rutin, pada penderita DMT1 dengan ketoasidosis
metabolik akan terdeteksi benda keton di urinnya, karena normalnya tidak ditemukan benda
keton dalam urin, keadaan ini disebut ketonuria. Ketonuria dapat juga ditemukan dalam
keadaan kelaparan, kakeksia, muntah muntah, anoreksia, dan lain lain.6

Analisa Gas Darah (AGD) adalah pemeriksaan yang menggunakan darah arteri untuk
memeriksa pH darah, tekanan parsial kelarutan oksigen di dalam darah, tekanan parsial
kelarutan karbondioksida dalam darah, dan saturasi oksigen pada hemoglobin. Nilai
normalnya adalah sebagai berikut, pH 7,35 7,45, PaO2 80 100 mmHg, PaCO2 35 45
mmHg, SaO2 95% atau lebih. Pada kasus ini, pasien datang dalam keadaan ketoasidosis
metabolik ditandai dengan gula darah sewaktu yang lebih dari 200 mg/dL, pH darah dalam
keadaan asidosis metabolik dengan nilai kurang dari 7,35 ditandai dengan pernafasan anak
yang cepat dan dalam (Kussmaul breathing), dan ketonuria/ketonemia.7

Analisa DNA sebaiknya dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita Maturity
Onset Diabetes of the Young (MODY) dengan gambaran klinis dan pemeriksaan sebelumnya
yang sudah dilakukan, mengingat pemeriksaan ini masih terbatas dan harganya pun sangat
mahal.

Test C-peptide, Pemeriksaan C-Peptide merupakan pengukuran kadar C-Peptide


dalam darah dan urin. Kadar C-Peptide dalam darah proporsional terhadap produksi insulin
endogen. Pemeriksaan ini dapat menggambarkan fungsi sel beta residual pada
individu dengan diabetes melitus (DM) yang tergantung insulin. Manfaat Pemeriksaan :

5
1) Diagnosis hipoglikemia;
2) Membantu dalam klasifikasi DM;
3) Penentuan fungsi sel beta dalam kondisi DM;
4) Evaluasi kelengkapan proses pankreatektomi.

C-peptide ini adalah fragmen melekat pada insulin (pro-insulin) saat diproduksi insulin dalam
pankreas. Kadar C-peptide biasanya berkorelasi dengan kadar insulin, kecuali bila orang
mendapat suntikan insulin. Ketika seorang pasien hypoglycemic (gula darah rendah), tes ini
mungkin berguna untuk menentukan apakah kadar insulin yang tinggi karena pancreas
berlebihan dalam melepas insulin, atau karena suntikan insulin.

Diagnosis Kerja

Diagnosis kerja pada pasien ini adalah Diabetes Melitus Tipe 1 (DMT1) dengan
ketoasidosis metabolik. Hal ini tergambar pada pemeriksaan fisik yang menunjukkan pasien
berada dalam keadaan diabetes melitus dengan gejala khasnya yaitu poliuria, polidipsi,
polifagia, pasien juga sering merasa haus, kehilangan berat badan dalam waktu singkat, dan
mudah lelah. Pasien juga berada dalam keadaan ketoasidosis metabolik karena berdasarkan
skenario, pasien bernafas secara cepat dan dalam, pernafasan ini merupakan khas pada
keadaan asidosis metabolik. Ketoasidosis metabolik merupakan komplikasi dari penyakit
DMT1.

Diagnosis diferensial

Diagnosis diferensial pada skenario ini adalah Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2),
Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY), dan sindrom hiperosmolar diabetik. Pada
dasarnya, ketiga penyakit ini memiliki gejala klinis yang hampir sama, namun dapat
dibedakan dari faktor usia dan pemeriksaan penunjangnya. Pada DMT2 dapat didiagnosa
dengan anak yang overweight menurut Body Mass Index (BMI), faktor keluarga yang sudah
menderita DMT2 terlebih dahulu dari 1 sampai 2 generasi diatasnya, dan anak tersebut
merupakan keturunan ras American Indian, African American, Hispanic, Asian/Pacific
Islander.

Namun yang tidak kalah penting adalah penderita DMT2 umumnya adalah orang
dewasa, bukan anak kecil seperti yang di skenario. MODY memang sulit dibedakan secara
klinis dengan DMT1 dan DMT2, namun umumnya MODY timbul pada anak yang berusia 9 -
25 tahun dengan faktor herediter dari orang tua yang memiliki DMT2 dan defek primer pada

6
sekresi insulin.5 Pemeriksaan pasti yang dapat menunjang MODY adalah dengan
pemeriksaan analisis DNA, namun pemeriksaan ini terbatas karena masih sedikit fasilitas
laboratorium yang dapat menjalankannya dan juga pemeriksaan ini di Eropa saja masih
tergolong mahal. Pemeriksaan ini hanya dapat dilaksanakan ketika gejala klinis sudah
dipastikan bahwa pasien adalah penderita DM dan bukan termasuk DMT1 atau DMT2 serta
biaya pemeriksaannya dapat ditanggung oleh pasien.

sindrom hiperosmolar diabetik adalah keadaan dimana kadar gula dalam darah
mencapai batas yang sangat tinggi sehingga darah menjadi kental seperti sirup, dan juga
glukosuria yang terjadi secara masif sehingga menarik cairan keluar dari tubuh dimana dapat
terjadi edema. Gejala gejala yang timbul pada sindrom hiperosmolar diabetik ini sama
seperti DMT1 dan DMT2 namun ditambah dengan halusinasi, kejang, koma, kelemahan pada
1 sisi tubuh, dan demam. Diagnosa sindrom hiperosmolar diabetik akan timbul ketika kadar
gula dalam darah mencapai 600 mg/dL.

Gastroenteritis

Inflamasi dari membran mukosa saluran pencernaan yaitu di lambung, usus halus dan
usus besar. Gastroenteritis ditandai dengan gejala utamanya yaitu diare, muntah, mual dan
kadang disertai demam dan nyeri abdomen. Bila tidak ditangani segera dapat mengakibatkan
kehilangan cairan (dehidrasi) dan gangguan keseimbangan elektrolit sehingga dapat
menyebabkan kematian terutamanya pada anak. Kebanyakan kasus gastroenteritis bersifat
infeksius, namun dapat juga terjadi akibat konsumsi obat-obatan dan bahan-bahan toksik
seperti plumbum. Penularan gastroenteritis dapat melalui rute fekal-oral dari orang ke orang
atau melalui air dan makanan yang terkontaminasi.

Gastroenteritis dapat disebabkan oleh banyak hal seperti virus, bakteri, parasit, obat-
obatan, alergi makanan dan bahan toksik. Namun, yang paling sering menjadi penyebab
adalah virus dan bakteri.

Gejala klinis umumnya, gejala yang timbul adalah dalam bentuk kombinasi dari
muntah, diare, nyeri abdomen, demam dan kurang nafsu makan. Namun, gejala utama dari
gastroenteritis adalah diare dengan atau tanpa muntah yang dapat disertai dengan gejala
sistemik seperti demam, letargi dan nyeri abdomen.

Etiologi

7
Penyebab pasti dari DMT1 dengan ketoasidosis metabolik sejauh ini belum diketahui.
Hal yang diketahui adalah pada DMT1 ini, terjadi sistem imun yang salah menyerang dan
menghancurkan sel islet (sel yang memproduksi insulin) di pankreas, hal ini bisa terjadi
karena genetik atau pemaparan dari virus tertentu melalui lingkungan. Gen HLA kelas II
molekul DR3 dan DR4 dikaitkan secara kuat dengan DMT1. Pemaparan virus yang dapat
menyebabkan DMT1 adalah rubella, enterovirus, dan mumps. Menurut penelitian terbaru,
negara negara yang anak anaknya mudah dan sering terinfeksi oleh penyakit memiliki
kecenderungan rendah dalam menderita DMT1 sedangkan negara maju yang anak anaknya
jarang terinfeksi oleh penyakit memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk menderita
DMT1. Faktor diet juga menjadi salah satu penyebab dari DMT1 seperti, ASI yang dapat
menurunkan resiko DMT1, alergi terhadap susu sapi dan gluten, dan defisiensi vitamin D.5

Epidemiologi

Secara keseluruhan insidens penderita DM di seluruh dunia adalah 24.3 kasus per
100.000 orang per tahunnya.8 DMT1 memiliki proporsi 10% dari total penderita DM di
dunia. Di Amerika sendiri penderita DMT1 sebanyak 1,4 juta dan lebih dari 15 juta di seluruh
dunia. Insidens DMT1 bervariasi di seluruh dunia dari 0.7/100.000 per tahun di Karachi
(Pakistan) sampai 40/100.000 per tahunnya di Finlandia. Data dari Western Europe Diabetes
Centers menunjukkan bahwa setiap tahunnya terdapat kenaikan 2 5% di Eropa dengan
Eropa Tengah dan Eropa Timur menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi, peningkatan ini
juga terbanyak terjadi di anak anak. Prevalensi penderita DMT1 di Amerika adalah
1.9/1.000 dengan kasus baru setiap tahunnya sekitar 14.9/100.000 yang diestimasikan sekitar
30.000 kasus baru muncul di setiap tahunnya. Prevalensi DMT1 tinggi di Eropa Barat dan
rendah di Asia dan Afrika. Namun kemunculan kasus baru, hampir sama antara Eropa dengan
Asia, karena populasi dunia banyak terdapat di Asia. Setiap tahunnya sekitar 400.000 kasus
baru DMT1 pada anak di bawah 14 tahun di seluruh dunia dengan setengahnya berada di
Asia, hal ini karena populasi lebih banyak di Asia. Pada laki laki dan perempuan,
insidensnya hampir sama, tidak ada perbedaan yang signifikan.5 Namun pada beberapa
penelitian menyebutkan, pada daerah insidens tinggi, laki laki lebih mudah terkena
khususnya usia tua dan pada daerah insidens rendah, wanita lebih mudah terkena. Ras orang
kulit putih memiliki insidens DMT1 yang paling tinggi dengan orang Chinese yang terendah.
DMT1 1,5 kali lebih mudah ditemukan pada orang kulit putih Amerika daripada orang kulit
hitam Amerika atau hispanik, dan juga pada imigran yang pindah dari daerah yang insidens
rendah ke daerah yang insidens tinggi, resiko DMT1 akan meningkat. Pada anak anak,

8
insidens DMT1 akan meningkat pada 2 kelompok umur yaitu umur 4 6 tahun dan 10 14
tahun.9,10 DMT1 dengan ketoasidosis metabolik sendiri mempunyai angka sekitar 25% dari
total DMT1 dengan perkiraan 4 kasus per 100.000 anak.11,12 Meningkatnya kasus DMT1
dengan ketoasidosis metabolik pada anak kecil dikarenakan sulitnya mendiagnosa secara
pasti sehingga terjadi keterlambatan diagnosa.13

Patofisiologi

Secara singkat, penyebab awal dari DMT1 adalah destruksi dari pada sel beta di
pankreas yang memproduksi insulin oleh sistem imun tubuh, sehingga insulin tidak
dihasilkan lagi dan tubuh bergantung pada insulin yang didapat dari injeksi dari luar.
Penyebab kenapa sistem imun tubuh dapat menyerang sel beta masih belum secara jelas
diketahui. Tahapan tahapan sistem imun bisa menyebabkan DMT1 adalah sebagai berikut:

Autoimunitas inisiasi. Tahap ini umumnya berjalan karena adanya gen HLA DR3 dan
DR4. Namun masih banyak faktor juga yang dapat menginisiasi seperti yang telah dijelaskan
di atas. Umumnya akan mulai terlihat tanda autoimunitas pada umur 2 tahun dan terdiagnosa
sebelum umur 10 tahun. Terdapat autoantibodi juga yang berperan seperti Insulin Associated
Antibodies (IAA) yang pertama muncul di anak kecil, diikuti oleh Glutamic Acid
Decarboxylase 65kd (GAD 65), dan Tyrosine Phospatase Insulinoma Associated-2 (IA-2).

Autoimunitas preklinis dengan penurunan progresif fungsi sel beta, Onset dari gejala
klinis, Remisi sementara, Gejala klinis yang menetap, Pembentukan komplikasi5

Gejala Klinis

Pada DMT1 dengan ketoasidosis metabolik terdapat gejala klinis seperti pada
penyakit diabetes lainnya yaitu, polifagia, polidipsi, poliuria, pasien juga sering merasa haus,
kehilangan berat badan dalam waktu singkat, dan mudah lelah. Pasien juga berada dalam
keadaan ketoasidosis metabolik karena berdasarkan skenario, pasien bernafas secara cepat
dan dalam, pernafasan ini merupakan khas pada keadaan asidosis metabolik. Umumnya juga
disertai gatal gatal pada daerah lipatan di tubuh sehingga menimbulkan hiperpigmentasi dan
ditemukannya juga kandidiasis, kalau berdasarkan skenario, dapat ditemukan pada lipatan
paha karena sering memakai popok.

Penatalaksanaan

9
Pengobatan medika mentosa pertama kali bertujuan untuk mengatasi keadaan
ketoasidosis metaboliknya, dengan memberikan cairan salin 0.9% untuk mengembalikan
sirkulasi perifer, dengan hitungan 10 ml/kg/jam selama 1 2 jam pertama dan boleh diulang
sampai pasien berada dalam keadaan stabil. Setelah pasien berada dalam keadaan stabil,
dapat diberikan selama setidaknya 4 6 jam berikutnya. Penghitungan ulang kebutuhan
cairan harus dilakukan dan dimonitor secara teratur khususnya selama 48 jam pertama sejak
dalam perawatan. Penghitungan dilakukan dengan cara maintenance volume ditambah 10%
defisit berdasarkan berat badan. Umumnya sulit menentukan derajat dehidrasi, maka
pemberian cairan dapat dilakukan sekitar 1.5 sampai 2 kali dari kebutuhan cairan normal.
Ketika pemberian oral sudah mulai dapat diterima, maka pemberian secara IV dapat
diberhentikan secara bertahap. Selanjutnya barulah diberikan terapi insulin. Terapi insulin
dapat diberikan secara infus/IV selama 1 2 jam setelah terapi penggantian cairan dengan
dosis 0.1 unit/kg/jam dengan catatan 1 unit sama dengan 1 ml. Terapi insulin dengan
pemberian yang telah dijelaskan tersebut dapat diberikan selama setidaknya menunggu pasien
berada dalam kondisi normal, sudah tidak asidosis metabolik (pH lebih dari 7,3, bikarbonat
lebih dari 15 mmol/L).

Pada keadaan tertentu dimana keadaan asidosis metabolik masih belum tertangani
dengan baik, dapat diberikan natrium bikarbonat secara hati hati dengan dosis 1 2
mmol/kg selama 1 jam. Setelah pasien semakin menujukkan perbaikan, pemberian insulin
dapat diganti menjadi injeksi subkutan. Terapi awal insulin injeksi subkutan untuk mencegah
hiperglikemia, dapat diberikan 15 30 menit (dengan insulin aksi cepat) atau 1 2 jam
(dengan insulin reguler) sebelum terapi insulin IV diberhentikan, agar memberikan waktu
untuk absorpsi insulin oleh tubuh.

Jenis insulin kerja cepat adalah insulin lispro dan insulin aspart yang mulai bekerja
dalam 5 15 menit dan berada di puncak pada 30 90 menit kemudian. Insulin kerja lambat
adalah human insulin yang mulai bekerja 30 60 menit setelah injeksi dan umumnya
memuncak dalam 2 4 jam kemudian. Insulin kerja panjang adalah insulin glargine dan
insulin detemir yang hampir tidak mempunyai puncak karena kerjanya yang stabil dalam 20
26 jam sehingga kadarnya hampir rata terus menerus. Insulin kerja sedang seperti insulin
NPH yang mulai bekerja 1 3 jam dan memuncak dalam 8 jam. Insulin NPH hampir sama
efektifitasnya dengan insulin kerja panjang namun lebih besar menyebabkan hipoglikemia.
Menggunakan insulin NPH akan membuat kurang fleksibel dengan waktu makan begitu juga
dengan kadar karbohidrat yang akan dimakan oleh pasien.

10
Pengobatan non medika mentosa yang penting juga adalah diet rendah kalori dan
lemak serta banyak mengkonsumsi buah, sayuran, dan biji - bijian. Diet rendah lemak
dikarenakan konsumsi lemak terutama lemak hewani akan menyebabkan melambatkan
sistem metabolisme sehingga kadar gula dalam darah dapat meningkat secara cepat, begitu
juga dengan konsumsi gula yang berlebih. Olahraga juga sangat diperlukan dalam membantu
meningkatkan kebugaran tubuh pasien, tidak ada olahraga yang dilarang dalam penyakit
DMT1 ini, namun perlu diingat bahwa aktifitas fisik dapat menurunkan kadar gula dalam
darah yang akan memiliki efek selama 12 jam ke depan setelah aktifitas, sehingga perlunya
kontrol yang lebih sering, disaat anak baru mulai mencoba suatu aktifitas fisik baru, agar
dapat dilihat reaksi tubuhnya sehingga hipoglikemia dapat dicegah, selain itu dapat dicegah
dengan diturunkannya dosis insulin sebelum berolahraga atau diberikan makanan ringan
sebelum berolahraga. Pada saat tidur pun kadar gula dalam darah dapat turun, sehingga dapat
diberikan dosis insulin yang lebih rendah saat mau tidur atau diberikan makanan ringan
sebelum tidur agar kadar gula dalam darah untuk anak 5 tahun yang baik adalah 110 200
mg/dL.5

Komplikasi

Pada DMT1 dengan ketoasidosis metabolik dapat menimbulkan berbagai komplikasi


seperti, gangguan jantung dan pembuluh darah, neuropati, nefropati, gagal ginjal akut, Adult
Respiratory Distress Syndrome (ARDS), kerusakan mata, kerusakan ekstremitas bawah,
gangguan kulit, osteoporosis, edem serebral, dan gangguan otak.5

Prognosis

Prognosis pada DMT1 dengan ketoasidosis metabolik sejak ditemukannya insulin


menurun drastis hanya menjadi 2 5% dari 100% kematian.14 Menurut penelitian, orang yang
menderita DM akan memiliki umur yang lebih pendek 10 tahun dibandingkan dengan orang
yang tidak menderita DM. Terapi yang memegang peranan penting adalah terapi penggantian
cairan tubuh yang hilang dan insulin. Jika kedua hal ini sudah ditangani dengan baik maka
hasilnya pun akan menjadi baik, khususnya untuk ketoasidosis metaboliknya sendiri harus
dapat terdiagnosa dengan cepat sehingga memiliki prognosis yang baik.

Pencegahan

DMT1 dengan ketoasidosis metabolik tidak dapat dicegah, namun pola hidup yang
sehat dapat membantu mengurangi kemungkinan menderita penyakit ini.

11
Kesimpulan

Anak tersebut menderita Diabetes Melitus Tipe 1 (DMT1) dengan ketoasidosis


metabolik. Penyebab Diabetes Melitus Tipe 1 (DMT1) dengan ketoasidosis metabolik masih
belum dapat dipastikan, namun faktor imun dan lingkungan memegang peranan penting
dalam rusaknya sel beta yang seharusnya memproduksi insulin dan pemeriksaan penunjang
melalui glukosa darah sewaktu dan puasa serta analisa gas darah sangatlah penting untuk
menentukan diagnosis kerja. Pengobatan yang spesifik untuk penyakit Diabetes Melitus Tipe
1 (DMT1) dengan ketoasidosis metabolik adalah penggantian cairan tubuh yang hilang dan
insulin. Prognosis akan menjadi baik ketika tindakan terapi berjalan dengan cepat dan tepat.
Tindakan pencegahan yang spesifik belum ada, namun pola hidup yang sehat dapat
mengurangi kemungkinan menderita Diabetes Melitus Tipe 1 (DMT1) dengan ketoasidosis
metabolik.

Daftar Pustaka

1. Hardjodisastro D. Menuju seni ilmu kedokteran bagaimana dokter berpikir, bekerja,


dan menampilkan diri. Edisi ke-1 Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2006.H.258.

2. Inzucchi S, et al. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes Care Jan
2010; 33 (1): 62-69.

3. Bickley LS. Approach to the patient: history and physical examination. 11th edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2011.P.118-27.

4. Chernecky CC, Berger BJ. Laboratory tests and diagnostics procedures. 5th edition.
Missouri: Saunders Elsevier; 2008. P. 400-512.

5. Alemzadeh R, Ali O. Diabetes Mellitus. In: Kliegman RM, Stanton BF, Geme III
JWSt, Schor NF, Behrman RE. Nelsons textbook of pediatrics. 19th edition.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. P. 1968-97.

6. Sudiono H, Iskandar I, Halim SL, Santoso R, Sinsanta. Patologi Klinik Urinalisis.


Edisi ke-3. Jakarta: Biro Publikasi Fakultas Kedokteran UKRIDA; 2009. H. 43-6.

7. Asmadi. Teknik prosedural keperawatan: konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien.
Edisi ke-1. Jakarta: Salemba Medika; 2008. H. 27.

12
8. Dabelea D, Bell RA, D'Agostino RB Jr, Imperatore G, Johansen JM. Incidence of
diabetes in youth in the united states. JAMA Jun 27 2007; 297 (24): 2716-24.

9. Felner EI, et al. Genetic interaction among three genomic regions creates distinct
contributions to early- and late-onset type 1 diabetes mellitus. Pediatr Diabetes Dec
2005; 6 (4): 213-20.

10. Danaei G, et al. National, regional, and global trends in fasting plasma glucose and
diabetes prevalence since 1980: systematic analysis of health examination surveys and
epidemiological studies with 370 country-years and 2.7 million participants. Lancet
378; 31-40.

11. Usher-Smith JA, Thompson MJ, Sharp SJ, Walter FM. Factors associated with the
presence of diabetic ketoacidosis at diagnosis of diabetes in children and young
adults: a systematic review. BMJ Jul 7 2011; 343: d4092.

12. Quinn M, et al. Characteristics at diagnosis of type 1 diabetes in children younger


than 6 years. J Pediatr Mar 2006; 148(3): 366-71.

13. Rewers A, et al. Presence of diabetic ketoacidosis at diagnosis of diabetes mellitus in


youth: the search for diabetes in youth study. Pediatrics May 2008; 121(5): 1258-66.

14. Neu A, et al. Ketoacidosis at onset of type 1 diabetes mellitus in children: frequency
and clinical presentation. Pediatr Diabetes Jun 2003; 4(2): 77-81.

13

Anda mungkin juga menyukai