Step I
a. (identifikasi kata sukar)
1. Pada skenario tidak ditemukan adanya kata sukar
b. (Kata kunci)
1. Seorang pria 53 tahun
2. Pingsan
3. Berkeringat dingin
4. Bibirnya kering
5. Nafas berbau keton
6. Menderita diabetes lama
4. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dianjurkan ialah tes toleransi glukosa
oral, pemeriksaan HbA1c, dan pemeriksaan fruktosamin. Selain itu, terdapat
pula pemeriksaan random glucose plasma (RGP) test. Semua pemeriksaan
penunjang tambahan ini berguna untuk mendukung penegakkan diagnosis
atau untuk mendapatkan diagnosis akhir dari diagnosis kerja dan banding.
Pemeriksaan
Laoratorium:
1. Pemeriksaan
Darah dan
urin
2. Pemeriksaan
glukosa darah
Riwayat pasien :
Pria 35 thn, berkeringat
dingin,bibir kering,
nafas berbau
keton,diabetes lama
HIPERGLIKEMIA
Diagnosis
Deferensial :
DM tipe 1
DM tipe 2
1,2,3
kencing, atau singkatnya dokter meminta agar pasien menjelaskan perjalanan keluhan
yang dirasakan.
1,2,3
1,2,3
1,2,3
1,2,3
Setelah itu, riwayat keluarga. Poin ini pun salah satu yang sangat penting, karena
yang diketahui bahwa diabetes melitus adalah salah satu penyakit keturunan. Jadi
apabila di dalam keluarga juga menderita penyakit seperti ini maka orang tersebut
harus sangat berwaspada dalam menjaga pola makan dan pola hidup yang baik dan
benar.
1,2,3
dengan
beberapa
gejala
gangguan
metabolik
(glukosuria
dan
jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi
determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita
DM. Manifestasi klinis DM terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta telah rusak. Pada
DM yang lebih berat, sel-sel beta telah rusak semuanya, sehingga terjadi
insulinopenia dan semua kelainan metabolik yang berkaitan dengan defisiensi insulin.
DM tipe II (tak tergantung insulin), adalah DM yang lebih umum, penderitanya lebih
banyak dibandingkan DM tipe I. Penderita DM tipe II mencapai 90% dari
keseluruhan populasi penderita diabetes. DM tipe II sering terjadi pada usia di atas 45
tahun, tetapi akhir-akhir ini di kalangan remaja dan anak-anak populasi penderita DM
tipe II meningkat. Berbeda dengan DM tipe I, pada DM tipe II terutama penderita
DM tipe II pada tahap awal umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di
dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. DM tipe II bukan
disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal
atau tak mampu merespons insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut
resistensi insulin. Obesitas atau kegemukan sering dikaitkan dengan penderita DM
tipe II. secara normal. Keadaan ini lazim disebut resistensi insulin
penyakitnya
dan
pengelolaannya,
mengenali
masalah
Edukasi pada
dari obat oral dan bentuk suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain
Obat hiperglikemik oral (OHO)
Pemicu sekresi insulin:
a. Sulfonilurea
Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang.
Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua,
gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi3
b. Glinid
Terdiri dari repaglinid dan nateglinid. Cara kerja sama dengan
sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada sekresi insulin fase
pertama. Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial.
Metformin
menurunkan
glukosa
darah
melalui
Bekerja
sebagai
menimbulkan
perangsang
hipoglikemia,
penglepasan
dan
insulin
menghambat
tanpa
penglepasan
Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah belum terkendali maka
diberikan kombinasi 2 OHO. Untuk terapi kombinasi harus dipilih 2 OHO yang cara
kerja berbeda, misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila dengan GHS dan
kombinasi terapi 2 OHO glukosa darah belum terkendali maka ada 2 pilihan yaitu
yang pertama GHS dan kombinasi terapi 3 OHO atau GHS dan kombinasi terapi 2
OHO bersama insulin basal. Yang dimaksud dengan insulin basal adalah insulin kerja
menengah atau kerja panjang, yang diberikan malam hari menjelang tidur. Bila
dengan cara diatas glukosa darah terap tidak terkendali maka pemberian OHO
dihentikan,
dan terapi beralih kepada insulin intensif. Pada terapi insulin ini
diberikan kombinasi insulin basal untuk mengendalikan glukosa darah puasa, dan
insulin kerja cepat atau kerja pendek untuk mengendalikan glukosa darah prandial.
Kombinasi insulin basal dan prandial ini berbentuk basal bolus yang terdiri dari 1 x
basal dan 3 x prandial.
Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat A1c), merupakan cara yang digunakan untuk
menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Pemeriksaan ini dianjurkan
setiap 3 bulan, atau minimal 2 kali setahun. Panduan tatalaksana berdasarkan hasil
A1c.
Kriteria pengendalian DM
Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yang
merupakan sasaran terapi. Diabetes dinyatakan terkendali baik bila kadar glukosa
darah, A1c dan lipid mencapai target sasaran.
permasalahan
yang
paling
sering
dijumpai
dalam
kehidupan
sekarang.baik dalam kalangan pemuda maupun dewasa. Ada beberapa metode yang
dapat dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan kesehatan juga untuk
penengakan diagnosis dari penyakit ini. Begitu juga dengan pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan, diantaranya pemeriksaan insulin, HbA1c, Fruktosamin dan
masih banyak lagi. Berikut merupakan proses-proses yang akan dilakukan dalam
proses pemeriksaan.
a. Pemeriksaan glikohemoglobin (HbA1c) dan fruktosamin
Pemeriksaan glikohemoglobin berguna sebagai indikator dalam memonitor kadar
gula darah jangka panjang, diagnosis dan juga penentuan prognosis serta pengelolaan
pada penderita diabetes melitus. Pengukuran glikohemoglobin akan memperlihatkan
berapa jumlah presentase zat warna merah sel darah merah (hemoglobin) yang
mengandung gula.
Glikohemoglobin adalah hasil reaksi antara sel darah merah A yang terakumulasi
dalam sel darah merah dengan glukosa yang terjadi selama masa hidup sel kirakira
120 hari. Sebesar 90% total hemoglobin yang ditemukan dalam eritrosit orang
dewasa dan bayi diatas umur 6 bulan merupakan HbA. Kadar hemoglobin tersebut
tergantung pada kadar glukosa darah yang biasa ditemukan pada penderita diabetes
melitus. HbA1c dalam darah bersifat stabil dan menggambarkan keadaan kadar
glukosa darah rata-rata secara komulatif 6-8 minggu pertama.
Dalam keadaan normal HbA1c bernilai lebih kecil dari 4-6% dari Hb total. Jika
kadar Hb lebih dari 8-9% dari total HbA maka sudah dalam taraf tak normal. Jika
angkanya melebihi 20% maka terjadi peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi
dalam jangka waktu yang lama. Pengukuran HbA1c membuat kualitas kontrol
penyakit diabetes melitus jangka panjang 6-8 minggu sebelum dapat Hiperglikemia
24 diketahui ketaatan seseorang dalam menjalani perencanaan makan dan terapiobat.
Cara ini dahulu digunakan sebagai penentu fungsi sel beta pulau langerhans yang
tersisa. Namun kini pemeriksaan insulin lebih banyak untuk pengamatan pada
hipoglikemia, diagnosis insulinoma, dan resistensi insulin. Pemeriksaan dengan cara
radio immuno assay tidak dapat membedakan antara insulin endogen (insulin dari
dalam tubuh) dengan insulin yang berasal dari pengobatan (insulin eksogen). Kadar
insulin serum puasa normal adalah 8 sampai 5 U/mL (0,3 sampai 0,6 mg/mL).
c. Pemeriksaan C-peptida
C-Peptida merupakan fragmen tak aktif yang terlepas dari proinsulin,
menghasilkan molekul insulin aktif. Pengukuran c-peptida dapat membantu
menegakkan kemampuan pembuatan insulin pada sel beta. Jadi merupakan uji yang
dapat membedakan diabetes tipe I dan tipe II. Individu penderita diabetes tipe II
umumnya memiliki kadar c-peptida normal atau meningkat. Peptida C terdapat pada
pasien DM tipe II dan rendah atau tidak ada pada pasien dengan DM tipe I. Jika kadar
peptida C di perbatasan, pemeriksaan peptida C setelah beban glukosa dapat
bermanfaat. Pada pasien DM tipe II, peptida C akan meningkat secara bermakna
setelah beban glukosa, respons ini tidak ada pada pasien DM tipe I.
d. Pemeriksaan asam laktat
Nilai-nilai rujukan
Dewasa : Darah arteri : 0,5 2,0 mEq/L, 11,3 mg/dL
Darah vena : 0,5 1,5 mEq/L; 8,1 15,3 mg/dL
Rentang panik : 5 mEq/L; 45 mg/dL
Peningkatan asam laktat terjadi setelah latihan berat dan hipoksemia yang lama
(hipoksemia jaringan). Penyebab utama asidosis metabolik adalah sirkulasi asam
laktat yang berlebihan. Bila gap anion 18 mEq/L; pH <7,25 dan PaCO2 dalam batasbatas normal (35-45 mmHg), nilai asam laktat darah sebaiknya diperiksa untuk
menentukan bila terjadi asidosis laktat. Peningkatan kadar asam laktat dapat
menyebabkan ketoasidosis.
Prosedur:
1. Tampung 5 10 ml darah vena dan masukkan dalam tabung bertutup hijau atau
abu-abu.
2. Anjurkan pasien untuk menghindari mengepalkan tangan karena dapat
menimbulkan meningkatnya asam laktat yang disebabkan oleh pelepasan asam
laktat dari otot tangan yang dikepal.
3. Bila mungkin, hindari penggunaan torniket karena dapat meningkatkan nilaiasam
laktat darah.
4. Segera kirim spesimen darah dalam es ke laboratorium.
e. Pemeriksaan glukosa
Untuk DM: pemeriksaan glukosa darah (puasa, 2 jam setelah makan/post
prandial/PP) dan setelah pemberian glukosa per-oral (TTGO). Antibodi untuk petanda
(marker) adanya proses autoimun pada sel beta adalah islet cell cytoplasmic
antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan antibody terhadap glutamic acid
decarboxylase (anti-GAD). ICA bereaksi dengan antigen yang ada di sitoplasma selsel endokrin pada pulau-pulau pankreas. ICA ini menunjukkan adanya kerusakan sel.
Adanya ICA dan IAA menunjukkan risiko tinggi berkembangnya penyakit ke arah
diabetes tipe I. GAD adalah enzim yang dibutuhkan untuk memproduksi
neurotransmiter g-aminobutyric acid (GABA). Anti GAD ini bisa teridentifikasi 10
tahun sebelum onset klinis terjadi. Jadi, 3 petanda ini bisa digunakan sebagai uji
saring sebelum gejala DM muncul. Untuk membedakan tipe I dengan tipe II
digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi C-peptide merupakan indikator yang
baik untuk fungsi sel beta, juga bisa digunakan untuk memonitor respons individual
setelah operasi pankreas. Konsentrasi C-peptida akan meningkat pada transplantasi
pankreas atau transplantasi sel-sel pulau Langerhans.
Sampling untuk pemeriksaan kadar gula darah Untuk glukosa darah puasa, pasien
harus berpuasa 612 jam sebelum diambil darahnya. Setelah diambil darahnya,
penderita diminta mengonsumsi makanan seperti yang biasa dia makan atau minum
glukosa per oral (75 gr ) untuk TTGO, dan harus dihabiskan dalam waktu 1520
menit. Dua jam kemudian diambil arahnya untuk pemeriksaan glukosa 2 jam PP.
Darah disentrifugasi untuk mendapatkan serumnya, kemudian diperiksa kadar
glukosanya. Bila pemeriksaan tidak langsung dilakukan (ada penundaan waktu),
darah dari penderita bias ditambah dengan antiglikolitik (gliseraldehida, fluoride, dan
iodoasetat) untuk menghindari terjadinya glukosa darah yang rendah palsu. Ini sangat
penting untuk diketahui karena kesalahan pada fase ini dapat menyebabkan hasil
pemeriksaan gula darah tidak sesuai dengan sebenarnya, dan akan menyebabkan
kesalahan dalam penatalaksanaan penderita DM.
Metode pemeriksaan kadar glukosa Metode pemeriksaan gula darah meliputi
metode reduksi, enzimatik, dan lainnya. Yang paling sering dilakukan adalah metode
enzimatik, yaitu metode glukosa oksidase (GOD) dan metode heksokinase. Metode
GOD banyak digunakan saat ini. Akurasi dan presisi yang baik (karena enzim GOD
spesifik untuk reaksi pertama), tapi reaksi kedua rawan interferen (tak spesifik).
Interferen yang bias mengganggu antara lain bilirubin, asam urat, dan asam askorbat.
Metode heksokinase juga banyak digunakan. Metode ini memiliki akurasi dan presisi
yang sangat baik dan merupakan metode referens, karena enzim yang digunakan
spesifik untuk glukosa. Untuk mendiagosa DM, digunakan kriteria dari consensus
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia tahun 1998 (PERKENI 1998).
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
bulan
Oktober
2014].
Diambil
dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29265/4/Chapter%20II.pd
3.
World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
Jakarta: WHO Indonesia. 2008
4.
5.
6.
7.
8.
9.
pada
tahun
2010].
Diambil
dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16364562/Chapter%20II.pdf.
Purnamasari D. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Diagnosis dan Klasifikasi
Diabetes Melitus. Ed. 5. Jil. 3. Sudoyo AW, et al, editor. Jakarta: Interna
10.
Publishing; 2009
Silbernagl S, Lang F. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Setiawan I,
Mochtar I, penerjemah; Resmisari T, Liena, editor. Jakarta: EGC; 2013