Anda di halaman 1dari 26

Skenario 3 Hiperglikemia

Seorang pria 53 tahun pingsan dikantornya dan dilarikan ke klinik terdekat. Ia


terlihat berkeringat dingin, bibirnya kering dan nafasnya berbau keton. Dari
alloanamnesis diketahui OS menderita diabetes lama, tetapi tidak teratur dalam
pengobatan. Dokter pun menyiapkan rencana pemeriksaan laboratorium lanjutan bagi
pasien ini.

Step I
a. (identifikasi kata sukar)
1. Pada skenario tidak ditemukan adanya kata sukar
b. (Kata kunci)
1. Seorang pria 53 tahun
2. Pingsan
3. Berkeringat dingin
4. Bibirnya kering
5. Nafas berbau keton
6. Menderita diabetes lama

Step II (identifikasi masalah)


1. Apa yang menyebabkan pasien pingsan ?

2. Faktor faktor apa saja yang mengakibatkan pasien pingsan ?


3. Bagaimana hubungan nafas berbau keton dengan riwayat penyakit terdahulu
pasien ?
4. Apa saja pemeriksaan penunjang lain yang dapat dianjurkan pada pasien
diabetes melitus?
5. Jelaskan cara pemeriksaan tanda vital pada pasien tersebut!
6. Jelaskan perbedaan antara diabetes melitus tipe I dan II!
Step III (Menjawab indentifikasi masalah)
1. Penurunan kesadaran pada pasien bisa diakibatkan karena terjadinya
gangguan metabolisme yang menyebabkan hipoglikemia, KAD, SHH,
asidosis laktat, dan uremik ensefalopati.
2. Faktor faktor yang mengakibatkan pasien pingsan salah satunya adalah
gangguan metabolisme seperti dari hasil alloanamnesis bahwa paisen pernah
mengidap diabetes lama ada kemungkinan jika pasien pernah menjalani diet
diabetes dan mengakibatkan kadar gula yang tidak seimbang dalam darah dan
faktor kedua adalah terjadinya syok karena adanya ketidakmampuan untuk
memelihara keseimbangan antara pengadaan oksigen yang diakibatkan oleh
berbagai aktivitas yang dilakukan oleh pasien.
3. Nafas berbau keton atau ketoasidosis adalah suatu kondisi serius yang
mengakibatkan koma diabetikum. Ketika sel sel tidak mendapatkan glukosa
yang dibutuhkan untuk energi maka tubuh akan memulai membakar lemak
untuk energi yang menghasilkan keton.dan jika keton menumpuk dalam darah
dan akan muncul pula di air seni ketika tubuh tidak memiliki cukup insulin .
ketoasidosis dapat terjadi pada siapapun yang menderita diabetes.

4. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dianjurkan ialah tes toleransi glukosa
oral, pemeriksaan HbA1c, dan pemeriksaan fruktosamin. Selain itu, terdapat
pula pemeriksaan random glucose plasma (RGP) test. Semua pemeriksaan
penunjang tambahan ini berguna untuk mendukung penegakkan diagnosis
atau untuk mendapatkan diagnosis akhir dari diagnosis kerja dan banding.

5. Pemeriksaan tanda vital pada pasien suspek DM mungkin meliputi


pengukuran tingkat kesadaran, denyut nadi, tekanan darah, laju pernapasan,
suhu, dll. Pasien dengan diabetes melitus biasanya mengalami hipertensi
karena adanya kerusakan ginjal. Selain itu, suhu tubuhnya pun berubah
(abnormal) sehingga dapat mempengaruhi pemeriksaan tanda vital lain yang
mungkin mengalami perubahan pula.
6. Diabetes melitus merupakan keadaan patologik karena terganggunya
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Gangguan tersebut disebabkan
menurunnya sekresi insulin atau sensitivitas jaringan terhadap insulin
mengalami penurunan. Pada pasien dengan diabetes melitus tipe I, terjadi
kerusakan pada sel beta pankreas sehingga sekresi insulin menurun yang
berlanjut pada meningkatnya glukosa darah. Diabetes melitus tipe I sering
disebut sebagai diabetes melitus tergantung insulin (IDDM). Sementara itu,
pasien dengan diabetes melitus tipe II mengalami resistensi insulin, artinya
bahwa sel beta pankreas tetap menyekresi insulin tetapi jaringan mengalami
penurunan sensitivitas terhadap efek metabolik insulin. Diabetes melitus tipe
II sering disebut dengan diabetes melitus tidak tergantung insulin (NIDDM).

Step VI (Mind mapping)


Anamnesis
Melakukan
anamnesis
terpimpin
(perkenalan,
informed consent,
keluhan
utama, keluhan
penyerta,
riwayat dahulu,
kebiasaan,
dan riwayat
keluarga).
Untuk pasien
suspek DM
perlu ditanyakan 3

Pemeriksaan
Laoratorium:
1. Pemeriksaan
Darah dan
urin
2. Pemeriksaan
glukosa darah

Riwayat pasien :
Pria 35 thn, berkeringat
dingin,bibir kering,
nafas berbau
keton,diabetes lama

HIPERGLIKEMIA

Diagnosis
Deferensial :
DM tipe 1
DM tipe 2

Step V (Learning objective)


1. Mahasiswa/i mampu menjelaskan tentang Anamnesis terkait Diabetes Melitus
(DM)
2. Mahasiswa/i mampu menjelaskan tentang Diangnosis deferensial terkait dengan
skenario.
3. Mahasiswa/i mampu menjelaskan tentang Penatalaksanaan Diabetes Melitus (DM)
4. Mahasiswa/i mampu menjelaskan tentang Pemeriksaan penunjang Diabetes
Melitus (DM)
Step VI (Belajar mandiri)
Step VII (Presentasi)

1. Mahasiswa/i mampu menjelaskan tentang Anamnesis terkait Diabetes


Melitus (DM)
Dalam menegakkan diagnosis terhadap seseorang penderita diabetes melitus
harus berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan.
Anamnesis yang dilakukan terhadap seseorang yang dicurigai diabetes melitus, baik
diabetes melitus tipe I dan II terdapat sedikit perbedaan dikarenakan ciri dari diabetes
tipe I dan II itu sendiri.

1,2,3

Seperti yang dilakukan biasanya, ketika anamnesis pada awalnya perkenalkan


diri dan harus dapat meyakinkan pasien bahwa rahasia mengenai penyakit yang
dideritanya tak akan diketahui oleh orang lain. Setelah itu, tanyakan mengenai
identitasnya, meliputi nama lengkap, umur, alamat, status, agama, suku bangsa, dll.
Dalam poin ini yang penting dalam membedakan seseorang penderita DM tipe I atau
II ialah umur. Karena pada umumnya Diabetes Melitus tipe I, penderita berusia <30
tahun sedangkan tipe II akan lebih cenderung >40 tahun. 1,2 Setelah itu, tanyakan
keluhan utama yang dirasakan pasien yang mengganggu aktivitasnya sehingga pasien
tersebut datang untuk diperiksa. Pada kasus diabetes melitus dapat ditanyakan:
Apakah ibu sering merasa lemas?
Akhir-akhir ini, bagaimana nafsu makan Bpk/Ibu?
Apakah Ibu sering kehausan?
Apakah Ibu sering kencing?
Jika pasien menjawab nafsu makannya akhir-akhir ini meningkat, pasien pun
lebih merasa sering kencing dan haus maka kemungkinan pasien tersebut terkena
diabetes melitus. Setelah menanyakan hal tersebut, dokter dapat meminta agar pasien
menceritakan atau menjelaskan sejak kapan merasakan hal tersebut, seberapa sering

kencing, atau singkatnya dokter meminta agar pasien menjelaskan perjalanan keluhan
yang dirasakan.

1,2,3

Hiperglikemia 12 Setelah menanyakan keluhan utama, dokter juga harus

menanyakan keluhan lainnya yang dirasakan. Mungkin terdapat keluhan-keluhan lain


yang dirasakan oleh pasien bersamaan dengan keluhan utama.

1,2,3

Setelah itu, ditanyakan mengenai riwayat penyakit dahulu. Artinya, apakah


pasien tersebut sudah pernah merasakan hal ini sebelumnya atau tidak. Jika ya,
apakah sudah pernah diobati atau belum.

1,2,3

Setelah menanyakan mengenai riwayat pengobatan, ditanyakan mengenai


riwayat kebiasaan. Poin ini menjadi salah satu poin penting juga dalam mendiagnosis
seorang penderita diabetes melitus. Jika dilihat dari kebiasaan dapat ditanyakan:
Bagaimana pola makan Bpk/Ibu sehari-hari?
Apakah Bpk/Ibu sering berolahraga?
Pola kebiasaan ini sangat berpengaruh terhadap seorang penderita diabetes
melitus, karena jika seseorang yang memiliki riwayat keturunan penderita DM, maka
orang tersebut harus menjaga pola makan dan pola hidup (berolahraga). Karena
seperti yang diketahui, diabetes melitus tipe II dapat timbul karena lifestyle yang
kurang baik.

1,2,3

Setelah itu, riwayat keluarga. Poin ini pun salah satu yang sangat penting, karena
yang diketahui bahwa diabetes melitus adalah salah satu penyakit keturunan. Jadi
apabila di dalam keluarga juga menderita penyakit seperti ini maka orang tersebut
harus sangat berwaspada dalam menjaga pola makan dan pola hidup yang baik dan
benar.

1,2,3

2. Mahasiswa/i mampu menjelaskan tentang Diangnosis deferensial terkait


dengan skenario.
a. Diabetes mellitus tipe 1

Gambar 6. Patofisiologi diabetes melitus tipe I


(sumber: Despopoulos A, Silbernagl S. Color atlas of pathopysiology)

Diabetes melitus merupakan sindroma kronik gangguan metabolism karbohidrat,


protein, lemak atau resistensi insulin pada jaringan yang dituju. Terdapat dalam dua
bentuk utama: diabetes melitus tipe I dan II yang berbeda etiologi, patologi, genetik,
usia onset, dan terapinya.
Etiologi
Dibetes melitus tipe I adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetic
dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap perusakan
imunologik sel-sel yang meproduksi insulin. Individu yang peka secaraa genetic
memberikan respons terhadap kejadian-kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi

virus, dengan memproduksi autoantibodi terhadapt sel-sel , yang akan


mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa.
Manifestasi klinis diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel menjadi
rusak. Bukti untuk determinan genetik diabetes melitus tipe II adalah adanya kaitan
dengan tipe-tipe histokompatibilitas (human leukocyte antigen [HLA]) spesifik. Tipe
dari gen histokompatibilitas yang berkaitan dengan diabetes mellitus tipe I (DW3 dan
DW4) adalah yang memberi kode kepada protein-protein yang berperan penting
dalam interaksi limfosit-monosit. Protein-protein ini mengatur respons sel T yang
merupakan bagian normal dari respons imun. Jika terjadi kelainan, fungsi limfosit
yang terganggu akan berperan penting dalam pathogenesis kerusakan sel-sel pulau
langerhans dan juga terdapat bukti adanya peningkatan antibodi-antibodi terhadap
sel-sel langerhans yang ditujukan terhadap komponen antigen tertentu dari sel .
Diabetes melitus ditandai dengan onset gejala yang mendadak, insulinopenia, dan
ketergantungan pada insulin eksogen untuk memperpanjang hidup; puncak usia onset
adalah 12 tahun, meskipun onsetnya dapat terjadi pada setiap usia.
Manifestasi klinis
Manisfestasi diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi
insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar
glukosa plasma puasa normal atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika
hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul
glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotic yang meningkatkan
pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsi). Karena glukosa hilang
bersama urin, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan
berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagi) mungkin timbul akibat
kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.

Pasien dengan diabetes melitus tipe I sering memperlihatkan gejala-gejala seperti


polidipsi, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen (mengantuk),
dan juga koma ketoasidosis metabolik. Pasien dengan diabetes tipe II memiliki onset
bertahap

dengan

beberapa

gejala

gangguan

metabolik

(glukosuria

dan

konsekuensinya), biasanya pasien dengan diabetes melitus tipe II tidak mengalami


ketoasidosis karena pasien ini tidak mengalami defisiensi insulin secara absolut
namun hanya relatif. Keadaan ketoasidosis ini terjadi apabila penderita tidak
memperhatikan pola makan, sehingga kadar glukosa menjadi berlebihan dalam darah.
b. Diabetes tipe II
Diabetes Melitus (DM) atau yang sering dikenal dengan penyakit kencing manis
adalah kondisi dimana tubuh seseorang mengalami gangguan dalam mengendalikan
kadar glukosa darah. Akibatnya, kadar glukosa darah meningkat (hiperglikemia)
secara berkepanjangan (kronik). Diabetes melitus juga dapat diartikan sebagai suatu
kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya
peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut
maupun relatif.
Diabetes melitus menurut WHO bahwa telah dirumuskan bahwa DM merupakan
sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat, tetapi
secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problem anatomic dan kimiawi
akibat sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin yang absolut atau relatif dan
gangguan fungsi insulin.
Patomekanisme
DM dicirikan dengan peningkatan sirkulasi konsentrasi glukosa akibat metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak yang abnormal dan berbagai komplikasi
mikrovaskuler dan makrovaskuler. Semua keadaan diabetes merupakan akibat suplai
insulin atau respon jaringan terhadap insulin yang tidak adekuat, ada bukti yang
menunjukkan bahwa etiologi DM bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dan

jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi
determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita
DM. Manifestasi klinis DM terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta telah rusak. Pada
DM yang lebih berat, sel-sel beta telah rusak semuanya, sehingga terjadi
insulinopenia dan semua kelainan metabolik yang berkaitan dengan defisiensi insulin.
DM tipe II (tak tergantung insulin), adalah DM yang lebih umum, penderitanya lebih
banyak dibandingkan DM tipe I. Penderita DM tipe II mencapai 90% dari
keseluruhan populasi penderita diabetes. DM tipe II sering terjadi pada usia di atas 45
tahun, tetapi akhir-akhir ini di kalangan remaja dan anak-anak populasi penderita DM
tipe II meningkat. Berbeda dengan DM tipe I, pada DM tipe II terutama penderita
DM tipe II pada tahap awal umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di
dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. DM tipe II bukan
disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal
atau tak mampu merespons insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut
resistensi insulin. Obesitas atau kegemukan sering dikaitkan dengan penderita DM
tipe II. secara normal. Keadaan ini lazim disebut resistensi insulin

Gambar 8. Patomekanisme DM Tipe II


(sumber: Despopoulos A, Silbernagl S. Color atlas of pathopysiology

3. Mahasiswa/i mampu menjelaskan tentang Penatalaksanaan Diabetes Melitus


(DM)
Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM dan sebagian besar
mengenai organ vital yang dapat fatal, maka tatalaksana DM memerlukan terapi
agresif untuk mencapai kendali glikemik dan kendali faktor risiko kardiovaskular.
Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM di Indonesia 2011,
penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan
DM, yaitu:
1. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang
memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi
dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien
untuk memiliki perilaku sehat. Tujuan dari edukasi diabetes adalah
mendukung usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan
alami

penyakitnya

dan

pengelolaannya,

mengenali

masalah

kesehatan/komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat masih reversible,


ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan
perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan.

Edukasi pada

penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki,


ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas
fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.
2. Terapi gizi medis,
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang
seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan
memperhatikan keteraturan jadwal al makan, jenis dan jumlah makanan.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%,
lemak 20%-25%, protein 10%-20% Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup
serat sekitar 25g/hari.
3. Latihan jasmani

Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama


kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik
seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani
selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
meningkatkan sensitifitas insulin.
4. Intervensi farmakologis.
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan
pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri
I.

dari obat oral dan bentuk suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain
Obat hiperglikemik oral (OHO)
Pemicu sekresi insulin:
a. Sulfonilurea
Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang.
Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua,
gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi3
b. Glinid
Terdiri dari repaglinid dan nateglinid. Cara kerja sama dengan
sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada sekresi insulin fase
pertama. Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial.

Peningkat sensitivitas insulin: 3


a. Biguanid

Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah


Metformin.

Metformin

menurunkan

glukosa

darah

melalui

pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal


reseptor insulin, dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin
merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk, disertai
dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.
b. Tiazolidindion
Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa
perifer.Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung
karena meningkatkan retensi cairan.
Penghambat glukoneogenesis:
Biguanid (Metformin)
Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi
produksi glukosa hati. Metformin dikontraindikasikan pada
gangguan fungsi ginjal dengan kreatinin serum > 1,5 mg/dL,
gangguan fungsi hati, serta pasien dengan kecenderungan
hipoksemia seperti pada sepsis. Metformin tidak mempunyai efek
samping hipoglikemia seperti golongan sulfonylurea. Metformin
mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual) namun bisa
diatasi dengan pemberian sesudah makan.

Penghambat glukosidase alfa:


a. Acarbose

Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.


Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti
golongan sulfonilurea. Acarbose mempunyai efek samping pada
saluran cerna yaitu kembung dan flatulens.
b. Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4)
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone
peptide yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini
disekresi bila ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan
perangsang kuat bagi insulin dan penghambat glukagon. Namun
GLP-1 secara cepat diubah menjadi metabolit yang tidak aktif oleh
enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat meningkatkan penglepasan
insulin dan menghambat penglepasan glukagon.
II. Obat Suntikan
a. Insulin
a. Insulin kerja cepat
b. Insulin kerja pendek
c. Insulin kerja menengah
d. Insulin kerja panjang
e. Insulin campuran tetap

b. Agonis GLP-1/incretin mimetik

Bekerja

sebagai

menimbulkan

perangsang

hipoglikemia,

penglepasan
dan

insulin

menghambat

tanpa

penglepasan

glukagon. Tidak meningkatkan berat badan seperti insulindan


sulfonilurea. Efek samping antara lain gangguan saluran cerna
seperti mual dan muntah.
Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM maka dapat dipahami bahwa yang
menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat (GHS). Semua pengobatan DM diawali
dengan GHS yang terdiri dari edukasi yang terus menerus, mengikuti petunjuk
pengaturan makan secara konsisten, dan melakukan latihan jasmani secara teratur.
Sebagian penderita DM dapat terkendali kadar glukosa darahnya dengan menjalankan
GHS ini. Bila dengan GHS glukosa darah belum terkendali, maka diberikan
monoterapi OHO. Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan
secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Pemberian OHO
berbeda-beda tergantung jenisnya. Sulfonilurea diberikan 15-30 menit sebelum
makan. Glinid diberikan sesaat sebelum makan. Metformin bisa diberikan
sebelum/sesaat/sesudah makan. Acarbose diberikan bersama makan suapan pertama.
Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal makan, DPP-4 inhibitor dapat diberikan
saat makan atau sebelum makan.

Gambar. Algoritma pengelolahan DM tanpa kompensasi 1


Sumber: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes
melitus tipe 2 di Indonesia 2011. hlm.4-10, 15-29

Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah belum terkendali maka
diberikan kombinasi 2 OHO. Untuk terapi kombinasi harus dipilih 2 OHO yang cara
kerja berbeda, misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila dengan GHS dan
kombinasi terapi 2 OHO glukosa darah belum terkendali maka ada 2 pilihan yaitu
yang pertama GHS dan kombinasi terapi 3 OHO atau GHS dan kombinasi terapi 2
OHO bersama insulin basal. Yang dimaksud dengan insulin basal adalah insulin kerja
menengah atau kerja panjang, yang diberikan malam hari menjelang tidur. Bila
dengan cara diatas glukosa darah terap tidak terkendali maka pemberian OHO
dihentikan,

dan terapi beralih kepada insulin intensif. Pada terapi insulin ini

diberikan kombinasi insulin basal untuk mengendalikan glukosa darah puasa, dan
insulin kerja cepat atau kerja pendek untuk mengendalikan glukosa darah prandial.
Kombinasi insulin basal dan prandial ini berbentuk basal bolus yang terdiri dari 1 x
basal dan 3 x prandial.

Gambar. Algoritma pengelolahan DM berdasarkan hasil A1c1


Sumber: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes
melitus tipe 2 di Indonesia 2011. hlm.4-10, 15-29

Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat A1c), merupakan cara yang digunakan untuk
menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Pemeriksaan ini dianjurkan
setiap 3 bulan, atau minimal 2 kali setahun. Panduan tatalaksana berdasarkan hasil
A1c.
Kriteria pengendalian DM
Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yang
merupakan sasaran terapi. Diabetes dinyatakan terkendali baik bila kadar glukosa
darah, A1c dan lipid mencapai target sasaran.

Gambar. Target pengendalian DM


Sumber: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes
melitus tipe 2 di Indonesia 2011. hlm.4-10, 15-29

4. Mahasiswa/i mampu menjelaskan tentang Pemeriksaan penunjang Diabetes


Melitus (DM)
Dalam masalah klinis, terkait dengan penyakit DM atau diabetes melitus, yang
merupakan

permasalahan

yang

paling

sering

dijumpai

dalam

kehidupan

sekarang.baik dalam kalangan pemuda maupun dewasa. Ada beberapa metode yang
dapat dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan kesehatan juga untuk
penengakan diagnosis dari penyakit ini. Begitu juga dengan pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan, diantaranya pemeriksaan insulin, HbA1c, Fruktosamin dan
masih banyak lagi. Berikut merupakan proses-proses yang akan dilakukan dalam
proses pemeriksaan.
a. Pemeriksaan glikohemoglobin (HbA1c) dan fruktosamin
Pemeriksaan glikohemoglobin berguna sebagai indikator dalam memonitor kadar
gula darah jangka panjang, diagnosis dan juga penentuan prognosis serta pengelolaan
pada penderita diabetes melitus. Pengukuran glikohemoglobin akan memperlihatkan
berapa jumlah presentase zat warna merah sel darah merah (hemoglobin) yang
mengandung gula.
Glikohemoglobin adalah hasil reaksi antara sel darah merah A yang terakumulasi
dalam sel darah merah dengan glukosa yang terjadi selama masa hidup sel kirakira
120 hari. Sebesar 90% total hemoglobin yang ditemukan dalam eritrosit orang
dewasa dan bayi diatas umur 6 bulan merupakan HbA. Kadar hemoglobin tersebut
tergantung pada kadar glukosa darah yang biasa ditemukan pada penderita diabetes
melitus. HbA1c dalam darah bersifat stabil dan menggambarkan keadaan kadar
glukosa darah rata-rata secara komulatif 6-8 minggu pertama.
Dalam keadaan normal HbA1c bernilai lebih kecil dari 4-6% dari Hb total. Jika
kadar Hb lebih dari 8-9% dari total HbA maka sudah dalam taraf tak normal. Jika
angkanya melebihi 20% maka terjadi peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi
dalam jangka waktu yang lama. Pengukuran HbA1c membuat kualitas kontrol

penyakit diabetes melitus jangka panjang 6-8 minggu sebelum dapat Hiperglikemia
24 diketahui ketaatan seseorang dalam menjalani perencanaan makan dan terapiobat.

Hal-hal yang turut mempengaruhi hasil pemeriksaan ialah anemia berat,


kehamilan, gagal ginjal dan hemoglobinopati seperti perdarahan atau kurang darah
akibat pecahnya sel darah merah. Hal itu disebabkan karena eritrosit muda yang
memiliki waktu paruh pendek tidak mengandung HbA1c yang jumlahnya lebih
rendah dari pada HbA1c eritrosit tua. Pemeriksaan ini tidak mengupdate perubahan
kadar glukosa per minggu. Namun pemeriksaan HbA1c ini memberikan gambaran
yang jelas menganai kadar glukosa darah selang waktu lampau sehingga dapat
dijadikan informasi tambahan yang berguna. Sebagai contoh HbA1c tidak terlalu
tinggi namun kadar glukosa darah lebih tinggi. Hal ini menunjukan kenaikan kadar
glukosa darah baru saja terjadi. Dan apabila kadar HbA1c tinggi dan kadar glukosa
darah tidak tinggi berarti baru saja terjadi penurunan glukosa darah. Dan berarti
kontrol darah kurang baik.
Cara lain melakukan pemeriksaan ataupun pemantauan kadar glukosa dengan
cara fruktosamin. Pemeriksaan ini berguna untuk menilai penyakit DM dalam jangka
waktu 3-6 minggu sebelumnya. Kadar fruktosamin pada tingakatan normal berkisar
1,5-1,8 mMol/L. Apabila hasil pengukuran >1,8 mMol/L maka artinya kadar glukosa
darah meningkat atau tinggi.12,13 Beberapa pemeriksaan inilah yang biasanya turut
dilakukan dalam proses identifikasi masalah klinis, diabetes melitus. Dengan
menggunakan pemeriksaan ini, tenaga medis dapat terbantu untuk mengetahui dan
juga memantau kadar glukosa darah pasien. Sehingga dapat melakukan penatalaksaan
dalam masalah klinis yang dialami, terkait dengan diabetes melitus, apakah penderita
DM I atau DM II.
b. Pemeriksaan insulin
Insulin merupakan hormon yang dihasilkan oleh pankreas pada sel beta pulau
langerhans. Berkurangnya aktivitas insulin akan menyebabkan terjadinya diabetes
melitus. Pemeriksaan insulin dapat dilakukan dengan cara radio immuno assay (RIA).

Cara ini dahulu digunakan sebagai penentu fungsi sel beta pulau langerhans yang
tersisa. Namun kini pemeriksaan insulin lebih banyak untuk pengamatan pada
hipoglikemia, diagnosis insulinoma, dan resistensi insulin. Pemeriksaan dengan cara
radio immuno assay tidak dapat membedakan antara insulin endogen (insulin dari
dalam tubuh) dengan insulin yang berasal dari pengobatan (insulin eksogen). Kadar
insulin serum puasa normal adalah 8 sampai 5 U/mL (0,3 sampai 0,6 mg/mL).
c. Pemeriksaan C-peptida
C-Peptida merupakan fragmen tak aktif yang terlepas dari proinsulin,
menghasilkan molekul insulin aktif. Pengukuran c-peptida dapat membantu
menegakkan kemampuan pembuatan insulin pada sel beta. Jadi merupakan uji yang
dapat membedakan diabetes tipe I dan tipe II. Individu penderita diabetes tipe II
umumnya memiliki kadar c-peptida normal atau meningkat. Peptida C terdapat pada
pasien DM tipe II dan rendah atau tidak ada pada pasien dengan DM tipe I. Jika kadar
peptida C di perbatasan, pemeriksaan peptida C setelah beban glukosa dapat
bermanfaat. Pada pasien DM tipe II, peptida C akan meningkat secara bermakna
setelah beban glukosa, respons ini tidak ada pada pasien DM tipe I.
d. Pemeriksaan asam laktat
Nilai-nilai rujukan
Dewasa : Darah arteri : 0,5 2,0 mEq/L, 11,3 mg/dL
Darah vena : 0,5 1,5 mEq/L; 8,1 15,3 mg/dL
Rentang panik : 5 mEq/L; 45 mg/dL
Peningkatan asam laktat terjadi setelah latihan berat dan hipoksemia yang lama
(hipoksemia jaringan). Penyebab utama asidosis metabolik adalah sirkulasi asam
laktat yang berlebihan. Bila gap anion 18 mEq/L; pH <7,25 dan PaCO2 dalam batasbatas normal (35-45 mmHg), nilai asam laktat darah sebaiknya diperiksa untuk
menentukan bila terjadi asidosis laktat. Peningkatan kadar asam laktat dapat
menyebabkan ketoasidosis.

Prosedur:
1. Tampung 5 10 ml darah vena dan masukkan dalam tabung bertutup hijau atau
abu-abu.
2. Anjurkan pasien untuk menghindari mengepalkan tangan karena dapat
menimbulkan meningkatnya asam laktat yang disebabkan oleh pelepasan asam
laktat dari otot tangan yang dikepal.
3. Bila mungkin, hindari penggunaan torniket karena dapat meningkatkan nilaiasam
laktat darah.
4. Segera kirim spesimen darah dalam es ke laboratorium.
e. Pemeriksaan glukosa
Untuk DM: pemeriksaan glukosa darah (puasa, 2 jam setelah makan/post
prandial/PP) dan setelah pemberian glukosa per-oral (TTGO). Antibodi untuk petanda
(marker) adanya proses autoimun pada sel beta adalah islet cell cytoplasmic
antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan antibody terhadap glutamic acid
decarboxylase (anti-GAD). ICA bereaksi dengan antigen yang ada di sitoplasma selsel endokrin pada pulau-pulau pankreas. ICA ini menunjukkan adanya kerusakan sel.
Adanya ICA dan IAA menunjukkan risiko tinggi berkembangnya penyakit ke arah
diabetes tipe I. GAD adalah enzim yang dibutuhkan untuk memproduksi
neurotransmiter g-aminobutyric acid (GABA). Anti GAD ini bisa teridentifikasi 10
tahun sebelum onset klinis terjadi. Jadi, 3 petanda ini bisa digunakan sebagai uji
saring sebelum gejala DM muncul. Untuk membedakan tipe I dengan tipe II
digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi C-peptide merupakan indikator yang
baik untuk fungsi sel beta, juga bisa digunakan untuk memonitor respons individual
setelah operasi pankreas. Konsentrasi C-peptida akan meningkat pada transplantasi
pankreas atau transplantasi sel-sel pulau Langerhans.
Sampling untuk pemeriksaan kadar gula darah Untuk glukosa darah puasa, pasien
harus berpuasa 612 jam sebelum diambil darahnya. Setelah diambil darahnya,
penderita diminta mengonsumsi makanan seperti yang biasa dia makan atau minum

glukosa per oral (75 gr ) untuk TTGO, dan harus dihabiskan dalam waktu 1520
menit. Dua jam kemudian diambil arahnya untuk pemeriksaan glukosa 2 jam PP.
Darah disentrifugasi untuk mendapatkan serumnya, kemudian diperiksa kadar
glukosanya. Bila pemeriksaan tidak langsung dilakukan (ada penundaan waktu),
darah dari penderita bias ditambah dengan antiglikolitik (gliseraldehida, fluoride, dan
iodoasetat) untuk menghindari terjadinya glukosa darah yang rendah palsu. Ini sangat
penting untuk diketahui karena kesalahan pada fase ini dapat menyebabkan hasil
pemeriksaan gula darah tidak sesuai dengan sebenarnya, dan akan menyebabkan
kesalahan dalam penatalaksanaan penderita DM.
Metode pemeriksaan kadar glukosa Metode pemeriksaan gula darah meliputi
metode reduksi, enzimatik, dan lainnya. Yang paling sering dilakukan adalah metode
enzimatik, yaitu metode glukosa oksidase (GOD) dan metode heksokinase. Metode
GOD banyak digunakan saat ini. Akurasi dan presisi yang baik (karena enzim GOD
spesifik untuk reaksi pertama), tapi reaksi kedua rawan interferen (tak spesifik).
Interferen yang bias mengganggu antara lain bilirubin, asam urat, dan asam askorbat.
Metode heksokinase juga banyak digunakan. Metode ini memiliki akurasi dan presisi
yang sangat baik dan merupakan metode referens, karena enzim yang digunakan
spesifik untuk glukosa. Untuk mendiagosa DM, digunakan kriteria dari consensus
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia tahun 1998 (PERKENI 1998).

DAFTAR PUSTAKA
1.

Definition and diagnosis of diabetes mellitus [Internet]. 2014 [dikutip pada


bulan Oktober 2014]. Diambil dari:
www.who.int/diabetes/.../Definition%20and%20diagnosis%20of%20diabete
s_new.pdf

2.

Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus [Internet]. 2014. [dikutip


pada

bulan

Oktober

2014].

Diambil

dari:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29265/4/Chapter%20II.pd
3.

World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
Jakarta: WHO Indonesia. 2008
4.

Despopoulos A, Silbernagl S. Color atlas of pathopysiology. New York:


Thieme; 2003

5.

Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Ed


6. Vol 1. Pendit BU, Hartanto H, Wulansari P, Mahanani DA, penerjemah;

6.

Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editor. Jakarta: EGC; 2005


Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. Biokimia Harper. Ed. 27. Pendit BU,

7.

penerjemah; Wulandari N, editor. Jakarta: EGC; 2009


Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Ed 6. Pendit BU,

8.

Penerjemah. Yesdelita N, editor. Jakarta : EGC, 2012


Diabetes Melitus II [Internet]. c2014. [dikutip pada bulan Oktober 2014;
diterbitkan

9.

pada

tahun

2010].

Diambil

dari:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16364562/Chapter%20II.pdf.
Purnamasari D. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Diagnosis dan Klasifikasi
Diabetes Melitus. Ed. 5. Jil. 3. Sudoyo AW, et al, editor. Jakarta: Interna

10.

Publishing; 2009
Silbernagl S, Lang F. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Setiawan I,
Mochtar I, penerjemah; Resmisari T, Liena, editor. Jakarta: EGC; 2013

11. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan


diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2011. hlm.4-10, 15-29

12. J Piette. Effectiveness of Self-management Education. Dalam: Gan D, Allgot B,


King H, Lefbvre P, Mbanya JC, Silink M, penyunting. Diabetes Atlas. Edisi 2.
Belgium: International Diabetes Federation; 2003:h.15-207
13. Sugondo S. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes melitus tipe 2.
Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI; 2006.hlm.5-1882.
14.Sutedjo. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Ed. 3. Yogyakarta: EGC; 2009
15.Bustan MN. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Ed. 2. Jakarta: EGC; 2007
16.Tobing A. Diabetes Melitus. Ed. 3. Jakarta: EGC; 2005
17.Joyce L. Buku Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik. Ed. 6.Jakarta:
EGC; 2007

Anda mungkin juga menyukai