Anda di halaman 1dari 2

Nama : Alissa Nurul Haq

NPM : 194101082

Puasa dan Sistem Imun

Puasa Ramadan adalah salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan setiap muslim yang
mukallaf sebagai ibadah tahunan (Hasan, 2019). Dalam surat Al-Baqarah ayat 183, Allah
SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan bagimu ibadah puasa,
sebagaimana diwajibkan bagi orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang
yang bertaqwa." Rasulullah Muhammad SAW juga bersabda “Berpuasalah, maka kamu akan
sehat.” (HR Thabrani). Momen Puasa Ramadan tahun 2022 kali ini unik dan berbeda karena
dunia masih dilanda pandemi Covid-19. Perhatian para ahli dan peneliti bidang kesehatan
saat ini pun terpusat pada pertanyaan seputar dampak puasa bagi aspek kesehatan manusia di
masa pandemi. Khususnya tentang aktivitas sistem imun selama Ramadan dalam menghadapi
paparan mikroba termasuk virus corona.
Banyak literatur yang membahas secara ilmiah dampak sistem imun selama menjalankan
puasa Ramadan. Sebagian memberikan wacana kehati-hatian. Terutama pada kondisi-kondisi
spesifik tertentu yang mungkin bisa berdampak kurang menguntungkan bagi kesehatan.
Namun, sebaliknya banyak riset yang bisa mengungkap manfaat puasa bagi kesehatan
manusia. Khususnya performa sistem imun dalam menghadapi berbagai ancaman mikroba,
tidak terkecuali SARS-CoV-2 sebagai virus penyebab Covid-19. Beberapa elemen yang
menghubungkan aktivitas berpuasa dengan dampaknya bagi kesehatan adalah persoalan
mekanisme inflamasi, stres oksidatif, metabolisme, berat badan, serta perubahan komposisi
kompartemen susunan tubuh. Secara umum, pengaruh puasa terhadap sistem imun adalah
dapat meningkatkan aktivitas makrofag, menurunkan IgG namun masih dalam rentang
normal, menangkal mycobacterium T., proteksi terhadap virus Ebola dan lain-lain. Manfaat
puasa terhadap fisiologi manusia dapat menurunkan resiko diabetes, CVD (cardiovascular
disease), kanker dan penuaan (Ari Baskoro, 2021; Brandhosrt et.al, 2015; Adawi et.al, 2015).
Inflamasi atau peradangan sebenarnya merupakan respons pertahanan tubuh yang fisiologis
terhadap rangsangan mikroba ataupun cedera jaringan. Dalam derajat tertentu, memang
inflamasi diperlukan tubuh untuk mekanisme pemulihan. Namun, bila berlebihan dan tidak
terkendali (hiperinflamasi), hal itu justru sangat merugikan dan dapat menimbulkan berbagai
kerusakan jaringan. Belajar dari kasus-kasus yang fatal pada Covid-19, terjadinya mekanisme
hiperinflamasi menjadi biang penyebab kematian tertinggi pada penyakit yang disebabkan
virus ”cerdas” yang rajin mengalami mutasi tersebut.
Tidak semua individu akan mengalami kondisi buruk seperti itu. Hanya orang-orang tertentu
yang dikenal mempunyai komorbid dan potensi lebih berisiko mengalami keadaan yang
menjurus lebih berat. Dokter yang merawat pasien Covid-19 dengan komorbid tertentu
seperti kencing manis, hipertensi, lansia, kegemukan/obesitas, perokok, ataupun penyakit-
penyakit kronis lainnya akan bertindak lebih berhati-hati. Sebab, orang-orang dengan kondisi
seperti itu berada dalam keadaan low-grade inflammation. Meski demikian, riset tentang
peranan sel-sel imun selama puasa Ramadan dalam menangkal dampak Covid-19 masih terus
berlangsung.
Di sisi lain, puasa Ramadan dapat meningkatkan komponen-komponen yang bersifat anti-
inflamasi yang juga bisa memberikan manfaat proteksi terhadap susunan saraf pusat.
Khususnya memelihara fungsi kognitif dan membantu mencegah degenerasi ataupun
memperlambat penurunan fungsi imunitas yang disebabkan faktor usia (immunosenescence).
Dampak fisiologi yang menguntungkan dalam menjalankan puasa Ramadan adalah
perubahan berat badan dan komposisi kompartemen struktur tubuh. Berdasar data Riskesdas
Indonesia 2018, angka obesitas di negara kita mencapai 21,8 persen. Kecenderungannya
memang meningkat dari tahun ke tahun. Dalam dunia kedokteran, obesitas merupakan suatu
tanda dari sindrom metabolik yang dapat berakibat pada penurunan respons imunitas
terhadap timbulnya infeksi oleh mikroba.
Kompartemen tubuh yang menimbulkan akibat buruk pada kondisi demikian adalah lapisan
lemak di dinding perut yang disebut white adipose tissue (WAT) atau lemak visceral. WAT
tidak hanya bersifat sebagai ”gudang” penyimpanan energi yang dapat ”dibongkar” selama
berpuasa. WAT juga mengandung komponen-komponen yang bersifat memicu inflamasi
sehingga bisa berakibat pada peningkatan berbagai risiko penyakit. Misalnya, kencing manis,
tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, stroke, penuaan dini, kanker, perlemakan
hati, dan beberapa penyakit lainnya yang dilandasi proses low-grade inflammation yang
berlangsung kronis. Puasa Ramadan terbukti sukses menurunkan berat badan, khususnya
mengurangi lingkar perut yang merupakan ukuran standar WAT. Pada gilirannya,
berkurangnya kompartemen WAT dalam tubuh seseorang dapat meningkatkan performa
sistem imun.

Referensi :
Adawi, M., Watad, A., Brown, S., Aazza, K., Aazza, H., Zouhir, M., ... & Fiordoro, S.
(2017). Ramadan fasting exerts immunomodulatory effects: Insights from a systematic
review. Frontiers in immunology, 8, 1144.
Ari Baskoro. (2021). Status Imunitas pada Puasa Ramadan. Radar Bekasi: Jurnalisme
Warga.[Online]. Diakses pada 27 April 2022.
Brandhorst, S., Choi, I. Y., Wei, M., Cheng, C. W., Sedrakyan, S., Navarrete, G., ... & Di
Biase, S. (2015). A periodic diet that mimics fasting promotes multi-system regeneration,
enhanced cognitive performance, and healthspan. Cell metabolism, 22(1), 86-99.
Khairizka, dkk. (2020) Puasa Bergizi di Tengah Pandemi. Jurnal Abdimas Volume 6 Nomor
4. [Online]. Diakses pada 27 April 2022.
Hasan, M. A. (2019). Tuntunan Puasa dan Zakat.

Anda mungkin juga menyukai