Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Inflammatory bowel disease (IBD) terdiri dari dua jenis penyakit intestinal
idiopatik yaitu ulcerative colitis (UC) dan Crohn’s disease (CD). UC atau kolitis
ulseratif merupakan peradangan difus pada mukosa kolon. CD atau penyakit Crohn
dapat menyebabkan ulserasi transmural pada setiap traktus gastrointestinal, namun
paling sering mempengaruhi terminal ileum dan kolon.1-3

Insiden IBD di Amerika Utara adalah 2,2 hingga 19,2 kasus per 100.000
orang per tahun untuk UC dan 3,1 hingga 20,2 kasus per 200.000 orang per tahun
untuk CD.5

Patogenesis IBD dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, yaitu faktor


eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal antara lain adalah faktor mikrobiota
gastrointestinal dan diet. Faktor internal yang berpengaruh terhadap patogenesis
IBD adalah sruktur anatomi sel epitel dan faktor genetik.8

Diet sangat berpengaruh terhadap perkembangan IBD. Diet dapat menjadi


faktor etiologi dan juga dapat berperan sebagai penghambat kejadian eksaserbasi.
Pasien dengan IBD harus melakukan diet yang mensuplai sejumlah energi, zat besi,
kalsium, seng, asam folat, vitamin D, dan vitamin B12. Kekurangan vitamin D
dapat memperburuk kejadian IBD dan berisiko meningkatkan morbiditas.42

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai diet sebagai pelengkap


terapi baik dalam fase aktif maupun fase remisi, diantaranya adalah diet dengan
menggunakan karbohidrat simpleks, diet rendah laktosa, diet rendah oligosakarida
yang difermentasi, dan lain-lain.42

Suplementasi tambahan seperti probiotik atau asam lemak omega-3 tidak


jenuh juga dinilai dapat mempersingkat fase eksaserbasi atau memperpanjang fase
remisi.85 Oleh karena itu, disusun referat ini untuk menyajikan efek diet terhadap
IBD serta morbiditas yang menyertai. Diharapkan melalui referat ini dapat
membantu merencanakan manajemen diet pada pasien IBD.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Inflammatory Bowel Disease (IBD)

1. Definisi Inflammatory Bowel Disease (IBD)

Inflammatory bowel disease (IBD) terdiri dari dua jenis penyakit


intestinal idiopatik yang dibedakan oleh lokasi dan kedalaman pada dinding
usus. Ulcerative colitis (UC) atau kolitis ulseratif merupakan peradangan difus
pada mukosa kolon. UC paling sering terdapat pada rektum (proktitis), namun
dapat meluas ke sigmoid (proktosigmoiditis), di luar sigmoid (kolitis ulseratif
distal), atau seluruh bagian kolon (pankolitis). Crohn disease (CD) atau penyakit
Crohn dapat menyebabkan ulserasi transmural pada setiap traktus
gastrointestinal, namun paling sering mempengaruhi terminal ileum dan kolon.
UC dan CD diklasifikasikan berdasarkan luas (ringan, sedang, berat) dan lokasi.
CD juga diklasifikasikan berdasarkan inflamasi, struktur, dan tipe penetrasi.1-3

2. Etiologi Inflammatory Bowel Disease (IBD)

Sampai saat ini etiologi UC dan CD masih belum jelas, namun diduga
penyakit ini disebabkan oleh multifaktor, yang meliputi genetik, lingkungan,
integritas mukosa, dan faktor imunologis. Beberapa faktor pencetus seperti
infeksi, toksin dapat memicu proses inflamasi dan akan menyebabkan
disregulasi respon imunologi mukosa traktus gastrointestinal pada individu yang
rentan.4

3. Epidemiologi Inflammatory Bowel Disease (IBD)

Insiden IBD di Amerika Utara adalah 2,2 hingga 19,2 kasus per 100.000
orang per tahun untuk UC dan 3,1 hingga 20,2 kasus per 200.000 orang per tahun
untuk CD. Prevalensi UC pada orang dewasa adalah 238 per 100.000 populasi
di United States. Prevalensi IBD lebih banyak pada Amerika Utara dan Eropa
dibandingkan dengan Asia atau Afrika. Meskipun kebanyakan penderita IBD

2
berusia 15 hingga 30 tahun, lebih dari 25% pasien akan mengalami IBD pada
usia remaja. Distribusi bimodal juga menunjukkan terdapat oengembangan IBD
pada pasien diatas 60 tahun.5

4. Patofisiologi dan Patogenesis Inflammatory Bowel Disease (IBD)

Sistem imunitas intestinum merupakan kunci dari patogenesis IBD. Epitel


intestinum dapat mencegah masuknya bakteri atau antigen ke dalam sirkulasi
dengan cara memblokade intracellular junction. Pada IBD, jembatan ini rusak
karena kegagalan fungsi sawar primer atau akibat peradangan yang berlebihan.
Mekanisme perlindungan tambahan termasuk produksi mukus oleh sel-sel
Goblet dan sekresi sel Paneth dari a-defensin dengan aktivitas antimikroba
intrinsik. Reaksi inflamasi yang berlebihan menyebabkan kerusakan epitel yang
terus-menerus dan paparan mikroba pada intestinum dapat memperparah proses
inflamasi.6

UC dapat berpengaruh pada organ ekstraintestinal, yaitu pada kulit, mata,


dan tulang. UC paling umum dapat menyebabkan artropati yang diinduksi
inflamasi dan kolangitis sklerosis primer. CD tidak hanya menyerang ileum dan
kolon, namun dapat melibatkan esofagus, duodenum, atau gaster. Pada kasus CD
onset anak, melibatkan traktus gastrointestinal bagian atas yang lebih besar.7

Patogenesis IBD dapat melalui berbagai macam faktor, baik faktor eksternal
maupun faktor internal. Faktor eksternal yang berperan dalam patogenesis IBD
antara lain adalah gastrointestinal mikrobiota dan pola diet. Faktor internal yang
berpengaruh antara lain adalah anatomi sel mukosa intestinal serta faktor
genetik.8

a. Faktor Eksternal
1) Mikrobiota gastrointestinal

Beberapa penelitian menunjukkan peranan penting dari mikrobiota


instestinal dalam pembentukan hemostasis imun pada tingkat epitel
gastrointestinal.9 Mikroorganisme luminal usus dapat diklasifikasikan
menjadi mikroba yang menguntungkan dan mikroba yang bersifat

3
patogen. Saluran gastrointestinal merupakan habitat alami dari sejumlah
besar mikroorganisme yang terdiri dari 100 triliun mikroba dari lebih dari
1000 spesies.10,11 Mikrobiota ini memiliki peran penting dalam hemostasis
imun mukosa usus. Setiap kelainan dalam interaksi antara mukosa dan
mikrobiom usus dapat menyebabkan efek yang merugikan pada kesehatan
manusia.

Pada saat lahir, sebagian besar usus bebas dari organisme apapun,10
namun selama beberapa hari awal kehidupan, bayi mulai diinisiasi oleh
berbagai macam mikroorganisme. Pada persalinan konvensional, bayi
baru lahir mendapatkan flora gastrointestinal primer dari vagina dan tinja,
sementara bayi yang dilahirkan melalui operasi caesar mendapatkan
mikrobiota dari lingkungan rumah sakit.12,13 Tahun pertama kehidupan
merupakan waktu yang vital untuk membangun mikrobiota usus serta
pematangan hemostasis sistem imun usus.

2) Diet

Diet memiliki peran penting dalam membentuk status kekebalan


usus. Misalnya, ASI selain memberikan kebutuhan nutrisi dan kekebalan,
juga dapat menjadi sumber bakteri yang menguntungkan.14 Selain itu,
percobaan in-vitro telah menunjukkan bahwa beberapa bahan susu seperti
ASI oligosakarida bermanfaat bagi kesehatan usus.15 Sayuran cruciferous
seperti brokoli hijau dan brokoli putih dapat mengendalikan aktivitas
sistem imun. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa senyawa kimia dari
zat ini dapat berikatan dengan reseptor arilhidrokarbon (AhRs). Reseptor
ini terdapat dalam jumlah yang banyak dalam limfosit intraepitel (IEL),
terutama sel T CD8+. Ikatan AhRs dengan ligan IEL dapat mengaktivasi
sel T regulasi yang berperan dalam proses anti inflamasi.16-18

4
b. Faktor Internal
1) Struktur anatomi sel lapisan usus

Selain berperan dalam penyerapan nutrisi, sel-sel epitel usus


dibedakan menjadi sel goblet, sel paneth, dan sel mikrofold yang
mengisolasi lingkungan di bawah epitel dari isi luminal. Sel-sel ini juga
berperan mengatur hemostasis imun di sepanjang mukosa usus. Setiap
kelainan anatomi dan biologi sel dapat menyebabkan inflamasi.19

Sel goblet dapat menghasilkan lapisan musin yang berfungsi dalam


perlindungan terhadap invasi patogen, toksin, enzim, dan abrasi.19 Sruktur
mukus berbeda pada usus besar dan usus kecil. Struktur mukus pada kolon
memiliki struktur ganda. Struktur bagian dalam lebih padat dibandingkan
struktur bagian luar, sehingga dapat membatasi keterikatan mikroba ke sel-
sel lapisan epitel terutama pada kolon dengan komunitas mikroorganisme
yang lebih besar. Selain itu, lapisan ganda ini mencegah meluasnya respon
inflamasi ke flora komensal usus besar.20 Struktur musin pada bagian
kolon ini dapat membatasi gerak mikroorganisme komensal atau patogen
pada sel-sel lapisan usus. Oleh karena itu, mutasi yang menyebabkan
gangguan oada fungsi sel penghasil musin (sel goblet) menghasilkan
respon peradangan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa
penghilangan gen Muc2 (musin) pada tikus dapat menyebabkan kolitis
spontan.21

Sel paneth terletak pada bagian bawah kripte usus dan berperan
mengendalikan mikroba serta hemostasis imun mukosa. Sel paneth
mengeluarkan efektor penting termasuk lisozim dan fospolipase A2, HD5,
dan HD6 yang menginduksi lisis sel mikroba. Zat-zat ini diproduksi
sebagai respons terhadap pemicu eksogen seperti komponen bakteri,
diantaranya adalah lipopolisakarida (LPS), asam lipotheicoic (LTA), dan
muramyle dipeptide (MDP). Sekresi antimicrobial peptidess (AMPS)
dimediasi oleh reseptor TLR dan jalur persinyalan NOD2.22 Hal ini
menunjukkan bahwa setiap gangguan yang terdapat pada intestinal

5
epithelial cells (IELs) dapat berdampak patologis pada sel epitel. Untuk
membangun hemostasis imun mukosa, epitel usus harus dapat mengenali
konten luminal di bawah lembaran epitel. Proses ini penting dalam sistem
kekebalan dan toleransi terhadap aktivasi proses inflamasi. Sel yang
berperan dalam proses pengenalan antigen ini adalah sel APC (antigen
precenting cell).

Sel enterosit melewati luminal dengan cara pinositosis yang


dimediasi oleh reseptor. Pertama, bahan eksogen ditelan dan diekspresikan
dalam bentuk MHC (major histocompatibility complex). Dalam kondisi
normal, zat-zat usus diekspresikan tanpa molekul ko-stimulator seperti B7-
1 atau B7-2, penyajian ini menginduksi anergi sel T CD4+ ke antigen
spesifik. Sel dendritik (DC) merupakan salah satu tipe APC. DC tersebar
di seluruh usus termasuk lamina propria dimana CD103+ dan CD103-
berada. Penelitian menunjukkan bahwa CD103+ DC memiliki peran
penting dalam respon tolerogenik.23 Perbedaan barier mukosa pada UC
dan CD dijelaskan dalam gambar 2.1.

Gambar 2.1 Barier mukosa pada kondisi sehat, Penyakit Crohn, dan
Kolitis Ulseratif.31

6
2) Faktor genetik

Berdasarkan bukti epidemiologis, kecenderungan etnis, dan riwayat


keluarga menunjukkan bahwa komponen genetik memiliki peranan
penting dalam IBD. Penelitian menunjukkan bahwa kelompok etnis/ras
yang berbeda memiliki prevalensi yang berbeda. IBD lebih sering terjadi
pada orang kulit putih dan memiliki prevalensi tinggi di Amerika Utara,
Eropa Utara, dan Inggris.24 Selain itu, berdasarkan penelitian, populasi
kembar monozigot memiliki populasi yang lebih tinggi. IBD juga terjadi
pada imigran yang berpindah ke negara dengan prevalensi tinggi akibat
industrialisasi dan westernisasi, hal ini menunjukkan bahwa lingkungan
juga memiliki peran yang signifikan dalam memicu IBD.25

Genome wide association studies (GWAS) telah mendeteksi banyak


lokus sebagai faktor penyebab IBD. Penelitian menyebutkan bahwa dari
163 lokus, 30 lokus berperan dalam pembentukan CD dan 23 lokus untuk
UC. Selain itu, analisis yang dilakukan di negara Eropa menunjukkan
bahwa terdapat 38 lokus baru yang berperan dalam IBD.26,27

5. Patologi Inflammatory Bowel Disease (IBD)

Studi mikroskopis pada pasien IBD aktif menunjukkan infiltrasi lamina


propria dengan neutrofil, makrofag, sel dendritik, dan sel T natural killer (NK).
Peningkatan jumlah dan aktivasi sel-sel ini meningkatkan tingkat tumor necrosis
factor-a (TNF-a), interleukin-1b, interferon gamma, dan sitokin dari jalur
interleukin-23-Th17.4

7
Biopsi kolon dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pada CD
menunjukkan pola peradangan transmural yang dapat menjangkau seluruh
kedalaman dinding usus. Analisis histopatologi menunjukkan kerusakan mukosa
yang ditandai dengan infiltrasi fokal leukosit ke dalam epitel.28 Granuloma yang
merupakan agregasi dari sel-sel makrofag juga dapat ditemukan dalam CD atau
penyakit Crohn. Hal ini ditunjukkan dalam gambar 2.2.

Gambar 2.2 Granuloma pada Penyakit Crohn.29

Histopatologi pada UC biasanya melibatkan perdarahan atau sel-sel


inflamasi dalam lamina propria dan distorsi struktur anatomi dari kripte usus,
serta terdapat abses kripte sebagai respon dari kerusakan pada epitel kripte.29
Perbedaan dari UC dan DC secara histologi ditunjukkan dalam tabel 2.1.

Tabel 2.1 Gambaran histologi dan endoskopi dari penyakit crohn dan kolitis
ulseratif29

Karakteristik Penyakit Crohn Kolitis Ulseratif


Histologi Inflamasi transmural, Inflamasi mukosal dan
Granuloma submukosal,
Agregasi sel
polimorfonuklear
Endoskopi Lesi diskontinyu, Lesi kontinyu,

8
Striktur, Kripte,
Ulserasi linear Residu jaringan mukosa

6. Manifestasi Klinis Inflammatory Bowel Disease (IBD)

Kolitis ulseratif (UC) memiliki manifestasi klinis berupa diare berdarah


dengan atau tanpa lendir. Pasien biasanya mengeluhkan tenesmus, sensasi buang
air besar tidak lampias, dan nyeri perut. Pada saat pemeriksaan fisik didapatkan
nyeri perut lebih dominan pada regio kiri bawah atau kiri.4

Manifestasi klinis penyakit Crohn (CD) sangat bervariasi tergantung pada


traktur gastrointestinal yang terlibat. Manifestasi bervariasi berdasarkan etiologi
yang mendasari peradangan, pembentukan fistula, atau pembentukan striktur.
Eksaserbasi CD ditandai oleh gejala nyeri pada kuadran kanan bawah,
penurunan berat badan, dan diare tidak berdarah. Pembentukan fistula dapat
menyebabkan fecaluria, penumaturia, dan fistula rektovaginal. Massa yang
berlokasi di kuadran kanan bawah menunjukkan terdapat abses. Selain gejala
intestinal, IBD juga dapat bermanifestasi klinis pada ekstraintestinal, antara lain
eritema nodosum, uveitis, episcleritis, serta seronegatif pondyloarthropathy
(arthritis, enthesitis).4 Perbandingan antara manifestasi klinis UC dan CD
ditunjukkan dalam tabel 2.2.

Tabel 2.2 Perbandingan manifestasi klinis penyakit crohn dan kolitis ulseratif
29,30

Klinis Penyakit Crohn Kolitis Ulseratif


Lokasi
Traktus GIT Jarang Tidak Pernah
atas
Distal Ileum Sangat sering Tidak Pernah
Kolon Sering Selalu
Rektum Jarang Tidak Pernah

9
Tanda dan Gejala Nyeri abdomen kuadran Nyeri abdomen kuadran
kanan bawah, bengkak, kiri bawah, diare,
penebalan dinding usus, kehilangan berat badan,
fistulasi, striktur perdaran rektum, kadang
terjadi megakolon toksik

7. Komplikasi

Inflamasi transmural pada lapisan mukosa hingga serosa dapat


menyebabkan komplikasi intestinal pada CD. Inflamasi transmural yang terus-
menerus dapat menyebabkan adhesi, striktur, dan abses yang meningkatkan
risiko obstruksi. Disamping itu juga dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri
yang berlebihan. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah keganasan yang
disebabkan oleh mutasi sel-sel epitel intestinum akibat proses inflamasi kronis.
Malnutrisi dan gagal tumbuh juga merupakan komplikasi akibat adanya
disfungsi absorbsi akibat kerusakan sel. Fistula dapat terjadi enterokutan,
enteroenteral, enterokolika, perirektal, labial, enterivaginal, dan enterovesikal.31

Komplikasi UC yang mengancam jiwa adakah megakolon toksik.


Megakolon toksik merupakan kasus kegawatan medis dan bedah. Anak dengan
megakolon toksik berisiko perforasi kolon, sepsis akibat bakteri gram negatif,
dan perdarahan masif.31

Komplikasi ekstraintestinal yang dapat terjadi pada IBD adalah


osteoporosis, deep vein thrombosis (DVT), anemia, batu empedu, kolangitis,
arthritis, iritis, serta pyoderma gangrenosum.4

8. Diagnosis

Mendiagnosis IBD membutuhkan kombinasi baik melalui temuan klinis,


laboratorium marker inflamasi, pemeriksaan pencitraan, dan biopsi endoskopi.
Temuan hematologi antara lain anemia mikrositik, leukositosis, dan
trombositosis. Marker inflamasi seperti laju endap darah, protein C-reaktif
sensitivitas tinggi (hsCRP) yang meningkat.32,33

10
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis yang lengkap tentang gejala gastrointestinal, gejala
sistemik, riwayat keluarga, gagal tumbuh, adanya keterlambatan
perkembangan dan kematangan seksual serta manifestasi ekstraintestinal.
Pemeriksaan fisik tanda-tanda dehidrasi, status nutrisi dan gejala
ekstraintestinal. Adanya hipotensi ortostatik, takikardia, distensi abdomen
dan adanya massa merupakan indikasi parahnya penyakit dan memerlukan
perawatan.6
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat membantu dalam menilai
keberhasilan pengobatan, petanda inflamasi, petanda gejala klinis
ekstraintestinal dan status nutrisi. Pemeriksaan feses rutin dan biakan
mikroorganisme feses dilakukan untuk eksklusi penyakit infeksi.
Dua petanda antibodi spesifik IBD telah diketahui antibodi tersebut
adalah perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody (pANCA) dan
antibodi anti saccharomyces cerevisiae (ASCA). Antibodi pANCA
ditemukan pada 80% Kolitis Ulserativa dan 45% pada Penyakit Crohn.
Sedangkan antibodi ASCA ditemukan pada 60-70% Penyakit Crohn dan
14% pada Kolitis Ulserativa. Pada 2 penelitian seroepidemiologi
menunjukkan bahwa kombinasi pANCA positif dan ASCA negatif
mempunyai prediksi positif Kolitis Ulserativa sebesar 88-92%. Sedangkan
kombinasi pANCA negatif dan ASCA positif mempunyai nilai prediksi
positif Penyakit Crohn 95-96%.1,6
c. Pemeriksaan Radiologi
Ultrasonografi, computed tomography (CT) dan magnetic resonance
imaging (MRI) telah digunakan dalam diagnosis IBD dan menilai
komplikasi. Penggunaan ultrasonografi pada individu yang terlatih dapat
mengevaluasi kuadran kanan bawah untuk penyakit ileum. MRI dapat
mengevaluasi fistula pada rektum. CT dapat digunakan untuk mengevaluasi
perforasi atau obstruksi usus. Entero CT dapat membantu menilai
penyempitan atau perencanaan operasi.4

11
Pemeriksaan radiologi abdomen posisi tegak dan terlentang untuk
mengevaluasi dilatasi kolon dan eksklusi obstruksi yang berhubungan
dengan ileus, obstruksi, pneumoperitonium karena perforasi. Barium enema
dapat menilai karakteristik dan luas kelainan kolon, akan tetapi tidak boleh
dilakukan pada penyakit akut (active disease), yaitu kolitis aktif karena
dapat menyebabkan dilatasi toksik. Pada kolitis ringan dan sedang tanpa
distensi abdomen, barium enema dengan double contrast dapat mendeteksi
kelainan mukosa berupa karakteristik lesi, deformitas sekum, kelainan
segmental/seluruh kolon. Pemeriksaan barium enema dapat menentukan
adanya pemendekan vili, hilangnya haustrae, pseudopoli, striktur dan
spasme pada IBD. Pemeriksaan radiologi traktus gastrointestinal atas
dengan follow trough sampai dengan usus halus dapat menentukan
ada/tidaknya kelainan pada usus halus. Pada Penyakit Crohn, ileum terminal
tampak rigid, konstriksi, dan nodular dengan deformitas akibat proses
inflamasi transmural. Pada Kolitis Ulserativa dapat ditemukan backwash-
ileitis, berupa gambaran mukosa yang menghilang dan ileum terminal
dilatasi tanpa disertai penebalan dinding. Selain itu, tidak ditemukan
kelainan lain dari usus halus pada Kolitis Ulserativa.
Kelainan yang dapat dilihat pada pemeriksaan barium enema dengan
double contrast kolon penderita IBD adalah gambaran stove-pipe, rectal
sparing, thumbprinting, skip lesion, string sign, dan collar button.6,8
d. Pemeriksaan Endoskopi
Evaluasi endoskopi dengan esofagogastroduodenoskopi,
kolonoskopi, atau keduanya penting untuk mendapatkan biopsi untuk
memastikan diagnosis IBD.4
Kolonoskopi secara visual langsung mukosa dengan biopsi mukosa
pada kolon dan ileum termminal merupakan pemeriksaan yang paling
sensitif dan spesifik pada IBD. Kontraindikasi kolonoskopi pada kolitis
yang berat, karena resiko perforasi, perdarahan dan menginduksi megakolon
toksik.

12
Kelainan mukosa pada Penyakit Crohn berupa lesi diskret atau
aphthae pada mukosa dengan eksudat sentral dan eritema dan gambaran
cobblestone-like appearance. Diantara daerah lesi terdapat daerah mukosa
yang normal (skip area). Pada Kolitis Ulserativa, kelainan mukosa difus dan
kontinyu dengan edema, eritema, dan erosi mukosa serta pseudopolyp.
Kolonoskopi pada penderita IBD dapat digunakan untuk tindakan
terapi. Tindakan yang sering dilakukan berupa dilatasi striktur pada
Penyakit Crohn dan injeksi intralesi kortikosteroid (triamnisolon 5 mg pada
4 kuadran) dapat membantu untuk mencegah pembentukan striktur
berulang.8

9. Diagnosis Banding

Pada pasien dengan diare yang disebabkan oleh parasit Escherichia coli
0157:H7 dan Clostridium difficile, parasit harus disingkirkan terlebih dahulu.
Etiologi kolitis lain harus dipertimbangkan baik secara mikroskopis, limfositik,
dan kolagen. Pasien dengan nyeri abdomen harus dipertimbangkan pada
apendisitis dan nyeri perut fungsional.4

Beberapa kelainan yang menyerupai IBD adalah Chronic inflamatory-


like intestinal disorder seperti enterokolitis karena infeksi (bakteri dan parasit,
kelainan sistem imunitas (seperti gastroenteritis eosinofilik), kelainan vaskular
(seperti vaskulitis sistemik, Henoch-Scholein Purpura, sindrom hemolitik-
uremik) dan kolitis Hisrchsprung serta limfoma intestinal, serta keganasan.4

10. Penatalaksanaan
Pengobatan IBD disesuaikan berdasarkan tingkat keparahan penyakit,
yaitu ringan, sedang, berat. Pengobatan UC sangat tergantung pada luas
intestinum yang terkena dan adanya manifestasi ekstraintestinal. Pada IBD
derajat ringan, yang hanya terbatas pada rektum, diberikan tatalaksana berupa
aminosalisiat seperti mesalamine. Mesalamin dapat diberikan secara
rektalnamun dapat dikombinasikan dengan terapi oral untuk menginduksi atau

13
mempertahankan remisi. Pada IBD derajat sedang yang refrakter terhadap
mescaline, diberikan tatalaksana berupa glukokortikoid oral atau
imnumodulator antibodi monoklonal TNF-a (infliximab). 25% dari semua
pasien UC yang tidak terkontrol akan membutuhkan kolektomi total.36,37,38
Tatalaksana CD bergantung pada luas traktus gastrointestinal yang
terlibat, tingkat fistulasi, dan komplikasi ekstraintestinal. Tatalaksan CD yang
hanya mengenai ileocecal ringan dimulai dengan mesalamine dan selanjutnya
dapat ditambah dengan penggunaan budesonide oral dan steroid untuk
membatasi efek samping sistemik. Pada pasien dengan CD sedang sampai
berat, dimulai dengan pemberian anti-TNF. Tindakan pembedahan diperlukan
apabila terdapat fistulasi yang parah.1,39,40
a. Penatalaksanaan Kolitis Ulseratif
1) Penatalaksanaan Non-bedah
Tatalaksana medikamentosa pada UC bertujuan untuk
mengurangi inflamasi dan meringankan gejala. Terapi medikamentosa
ditujukan pada pasien dengan gejala ringan hingga sedang. Untuk
pasien dengan gejala berat diperlukan perawatan rumah sakit.41
Lini pertama yang digunakan UC adalah salisilat yaitu
sulasalazine atau asam salisilat 5-asetil. Kandungan salisilat
mengurangi inflamasi dengan menginhibisi siklooksigenase dan 5-
lipoksigenase pada mukosa usus. Antibiotik digunakan untuk
menurunkan bakteri intralumen. Antibiotik yang biasa digunakan
adalah metronidazole dan florokuinolon.41

Kortikosteroid sering digunakan pada kasus akut eksaserbasi


karena 75-90% pasien yang menggunakan kotikosteroid mengalami
pebaikan klinis. Tetapi penggunaan kortikosteroid dibatasi karena efek
samping yang serius. Penggunaan kortikosteroid harus hati-hati pada
anak-anak karena berpotensi mengganggu pertumbuhan anak. Gagal
terapi menggunakan kortikosteroid merupakan indikasi relatif untuk
intervensi bedah. Penggunaan kortikosteroid enema lebih dianjurkan

14
karena efek lokal yang lebih baik dan efek samping yang lebih sedikit
daripada kortikosteroid sistemik.41

Antimetabolit yaitu azathioprine dan 6-mercatopurine digunakan


untuk mengganggu sintesis asam nukleat sehingga menurunkan
proliferasi sel-sel inflamasi. Penggunaan imunomodulator baik
digunakkan pada pasien yang gagal terapi menggunakan salisilat, atau
pasien yang bergantung pada penggunaan kortikosteroid. Tetapi onset
kerja antimetabolit tersebut membutuhkan waktu 6-12 minggu dan
kortikosteroid selalu dibutuhkan sebagai pendamping terapi.
Siklosporin adalah imuosupresif yang dapat digunakan untuk
menangani kasus ulseratif kolitis akut yang sedang memuncak, dengan
cara kerja mengganggu fungsi limfosit T. Perbaikan akan tampak
setelah penggunaan siklisporin selama 2 minggu namun penggunaan
jangka panjang siklosporin dapat berefek nefrotoksik.41

Penggunaan monoklonal antibodi sistemik seperti infliximab


dapat menunjukkan perbaikan gejala dengan cara menginhibisi TNF-α,
tetapi rekurensi sering terjadi maka terapi biasa dilakukan dengan infus
setiap 2 minggu sekali.41

Gejala nyeri abdomen dan obstruksi dapat mengurangi


intake oral dan diare dapat menyebabkan kekurangan protein. Keadaan
inflamasi menyebabkan fisiologis tubuh bekerja katabolik. Kondisi-
kondisi tersebut dapat menyebabkan pasien mengalami malnutrisi dan
dianjurkan untuk menerima nutrisi secara parenteral. Keseimbangan
nutrisi dibutuhkan untuk perencanaan intervensi bedah, parameter yang
digunakan antara lain serum albumin, prealbumin dan transferin. Pada
pasien yang mengalami malnutrisi berat terutama jika sedang menjalani
terapi kortikosteroid lebih baik dibuatkan stoma daripada anastomosis
primer.41

15
2) Intervensi Bedah

Indikasi bedah terbagi menjadi 2 yaitu emergensi dan elektif.


Indikasi bedah emergensi antara lain adanya perdarahan masif yang
mengancam nyawa, toksik megakolon, atau kolitis fulminan yang gagal
diterapi secara medikamentosa. Pasien dengan gejala kolitis fulminan
harus segera dipuasakan, hidrasi, diberikan antibiotik spektrum luas dan
kortikosteroid parenteral. Jika terapi dalam 24-48 jam tidak ada
perbaikan maka harus segera dilakukan intervensi bedah.41

Indikasi bedah elektif antara lain adanya resiko tinggi terjadinya


komplikasi berat pada terapi medikamentosa termasuk resiko
timbulnya keganasan kolon-rektum. Resiko timbulnya keganasan pada
kolon-rektum meningkat berdasarkan durasi simptomatik penyakit
pancolonic yaitu 2% setelah 10 tahun, 8% setelah 20 thaun dan 18%
setelah 30 tahun. Sel keganasan menyebar dari area flat dysplasia
sehingga sulit untuk ditemukan pada stage awal. Pasien dengan riwayat
kolitis ulseratif lama disarankan untuk melakukan observasi
kolonoskopi secara rutin dan biopsi random untuk mengindentifikasi
adanya displasia sebelum terbentuk keganasan yang bersifat invasif.
Cara yang biasa digunakan saat ini untuk menentukan daerah yang akan
dibiopsi adalah magnifying chromoendoscopy, memberikan pewarnaan
topikal seperti lugol, metilen blue dan indigo carmine yang akan
memberi warna berbeda pada epitel normal dan epitel displasia.
Observasi tahunan dianjurkan pada pasien yang mengalami pancolitis
selama 8 tahun dan pasien yang mengalami colitis bagian kiri selama
15 tahun. Dari hasil studi menunjukkan 20% pasien dengan displasia
epitel mengalami keganasan invasif meskipun displasia epitel hanya
grade rendah. Pasien yang ditemukan mengalami displasia epitel
disarankan untuk dilakukan proctocolectomy.41

Intervensi bedah emergensi yang dilakukan pada pasien kolitis


fulminan dan toksik megakolon adalah total abdominal colectomy with

16
end ileostomy. Jika pasien tidak stabil dan tidak bisa dilakukan
colectomy, maka tindakan yang dilakukan adalah loop ileostomy dan
decompressing colostomy. Pada pasien dengan perdarahan masif dari
rektum diperlukan proctectomy dan pembuatan ileostomi permanen
atau anastomosis ileal pouch-anal. Bedah definitif dilakukan setelah
pasien stabil.41

Pada intervensi bedah elektif digunakan total abdominal


colectomy with end ileostomy sebagai gold standard untuk pasien kolitis
ulseratif kronik. Operasi dilakukan dengan melepaskan seluruh usus
yang terpapar dan mencegah gangguan fungsi dengan rekonstruksi ileal
pouch-anal.41

b. Penatalaksanaan Penyakit Crohn


1) Penatalaksanaan Non-bedah
Terapi yang non-bedah yang diberikan pada penyakit Crohn
sama dengan terapi yang diberikan pada kolitis ulseratif.41
2) Intervensi Bedah
Pada Kolitis Ulseratif intervensi bedah yang dilakukan adalah
mengeksisi segmen usus yang terganggu, tetapi pada Penyakit Crohn
tidak memungkinkan untuk melakukan intervensi yang sama karena
resiko yang tinggi terjadi gangguan fisiologi dari saluran pencernaan.
Intervensi bedah Penyakit Crohn ditujukan untuk mencegah komplikasi
dari penyakit. Sebelum dilakukan intervensi bedah, pasien harus dalam
kondisi stabil, gizi yang optimal dan keadaan inflamasi yang sedang
mereda.41
Penyakit Crohn dapat timbul pada fase akut inflamasi dan
kronik fibrotik. Pada fase akut inflamasi keadaan pasien dapat
memburuk jika terdapat fistula dan abses intra-abdominal. Abses intra-
abdominal dapat didrainase perkutan dengan bantuan CT scan. Fistula
pada segmen usus yang mengalami inflamasi aktif Penyakit Crohn

17
harus direseksi, sedangkan fistula pada segmen lain (fistula sekunder)
hanya perlu ditutup.41
Pada fase kronik fibrotik terjadi striktur pada saluran
pencernaan oleh jaringan fibrotik, striktur terjadi secara perlahan. Fase
ini hampir tidak pernah berhasil untuk diterapi secara medikamentosa
sehingga diperlukan intervensi bedah. Striktur ditangani dengan reseksi
atau strikturoplasti sedangkan striktur khusus pada distal ileum dapat
dilakukan dilatasi dengan balon kolonoskopi.41
Laparotomi untuk Penyakit Crohn dilakukan dengan insisi
mediana karena kemungkinan dibutuhkan pembuatan stoma dalam
penanganan. Prosedur laparotomi mulai digantikan dengan laparoskopi
karena pada Penyakit Crohn sering membutuhkan operasi berulang.
Reseksi yang dilakukan harus seminimal mungkin yaitu tepat pada
batas jaringan normal dan jaringan yang terganggu.41
Penyembuhan anastomosis primer dapat dilakukan jika pasien
stabil, gizi cukup dan sedang tidak diterapi dengan imunosupresan.
Pembuatan stoma diperlukan pada pasien dengan hemodinamik tidak
stabil, sepsis, malnutrisi, dan sedang diterapi dengan imunosupresan
dosis tinggi.41
Pada pasien dengan Penyakit Crohn yang mengenai ileum dan
caecum diperlukan intervensi bedah jika ditemukan internal fistula atau
abses dan obstruksi. Sepsis harus dicegah dengan drainase abses dan
antibiotik. Nutrisi parenteral dibutuhkan pada pasien yang mengalami
obstruksi kronis. Striktur kronis yang timbul harus direseksi dan
dilakukan strikturoplasti. Striktur pendek dilakukan strikturoplasti
transversa, sedangkan pada striktur panjang dilakukan anastomosis
usus sisi ke sisi.41
Pada pasien dengan Penyakit Crohn yang mengenai kolon
dapat ditemukan kolitis fulminan dan toksik megakolon. Resusitasi dan
terapi medikamentosa dilakukan dengan puasa, antibiotik spektrum
luas dan kortikosteroid parenteral. Jika pasien gagal terapi maka harus

18
segera dilakukan “total abdominal colectomy with end ileostomy”.
Proctectomy elektif perlu dilakukan jika pasien mengalami proktitis
refraktori Crohn. Indikasi bedah lainnya pada kolitis Crohn adalah
komplikasi terapi medikamentosa dan resiko terbentuknya keganasan,
intervensi bedah yang dilakukan adalah segmental kolektomi jika
sebagian dari colon atau rectum masih tampak normal. Pada pasien
yang mengalami kolitis Crohn lebih dari 7 tahun disarankan untuk
melakukan kolonoskopi dengan multiple biopsi setiap tahun karena
mempunyai resiko untuk mengalami karsinoma colorectal.41
Pada 35% pasien dengan Penyakit Crohn mengalami
manifestasi pada daerah anal dan perianal. Manifestasi yang sering
ditemukan adalah polip fibroepitelial dan fisura. Fisura yang timbul
pada Penyakit Crohn memiliki ciri khas pada letaknya yaitu pada sisi
lateral berbeda dengan fisura ani yang biasa timbul pada anterior atau
posterior midline. Tindakan eksisi polip fibroepitelial tidak disarankan
karena beresiko menjadi luka yang tidak mudah sembuh.
Sphincterectomy juga kontraindikasi relatif karena meningkatkan
resiko inkontinensia pada pasien yang mengalami diare. Fistula dan
abses perianal juga merupakan manifestasi klinis yang dapat timbul
pada Penyakit Crohn. Abses yang timbul ditangani dengan drainase
lokal, sedangkan untuk fistula digunakan seton. Tatalaksana definitif
dari fistula adalah "endoanal advance flaps." Tatalaksana manifestasi
Penyakit Crohn pada daerah anal dan perianal ditujukan untuk
mengurangi gejala yang timbul.41

11. Prognosis

Prognosis untuk UC dan CD tergantung pada respon pengobatan dan


derajat penyakit. Marker tinja berupa laktoferin dan calprotectin berperan dalam
menentukan kekambuhan CD pasca operasi. Pengawasan berkelanjutan
terhadap displasia sangat penting untuk pasien dengan UC yang lama. Risiko
kumulatif kanker kolorektal diperkirakan sebesar 30% pada pasien yang

19
menderita IBD lebih dari 30 tahun. Manifestasi ekstraintestinal kolangtis
sklerosis primer dapat menyebabkan gagal hati.34,35

B. Manajemen Nutrisi pada Inflammatory Bowel Disease (IBD)

1. Faktor Nutrisi sebagai Etiologi IBD


Terdapat banyak penelitian yang membuktikan kaitan IBD dengan
diet yang berlebihan atau bahkan defisit, contohnya adalah asupan tinggi lemak
jenuh, tinggi monosakarida, dan asupan rendah serat dapat meningkatkan risiko
berkembangnya CD.42
a. Monosakarida
Sejumlah penelitian telah menyebutkan bahwa konsumsi
monosakarida yang berlebihan dapat berpengaruh terhadap perkembangan
IBD. Berdasarkan studi retrospektif, pasien dengan CD menunjukkan
peningkatakn konsumsi monosakarida sebelum merasakan sakit.43 Russel et
al juga menyebutkan bahwa mengkonsumsi minuman bersoda dan cokelat
dapat meningkatkan kejadian IBD.44 Penelitian serupa dilakukan oleh
Sakamoto et al yang menyebutkan terdapat pengaruh negatif dari permen
dengan pemanis buatan pada risiko pengembangan UC dan CD.45 Namun,
pada tahun 2014, Chan et al mempresentasikan hasil studi prospektif besar
lebih dari 400.000 pria dan wanita yang menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara asupan karbohidrat, gula atau pati dengan kejadian UC
atau CD.46 Sehingga, perlu ditekankan bahwa konsumsi laktosa tidak
menigkatkan risiko IBD.43
b. Protein dan Lemak
Menurut Reif et al, peningkatan konsumsi protein hewani dapat
menyebabkan tingkat peningkatan risiko pekembangan IBD yang rendah.
Penulis yang sama juga meneyebutkan bahwa diet tinggi lemak, khususnya
yang kaya kolesterol dan lemak hewani dapat meningkatkan kejadian
IBD.47 Ananthakrisnan et al mengkonfirmasi bahwa peningkatan konsumsi
asam lemak trans dapat berisiko terhadap pengembanagn UC. Konsumsi

20
asam linoleat, asam lemak omega 6 tidak jenuh juga berpengaruh terhadap
pengembangan UC. Asam linoleat merupakan prekursor asam arakidonat
(AA), yaitu metabolit proinflamasi.48 Konsumsi AA juga dapat
meningkatkan risiko UC, sementara peningkatan konsumsi asam oleat dan
asam lemak tidak jenuh tunggal merupakan faktor pencegahan
perkembangan UC.49 Berdasarkan penelitian yang dilakuakn oleh John et al
menunjukkan bahwa konsumsi asam lemak omega-3 tidak jenuh khususnya
asam docosahexaenoic memiliki efek protektif terhadap kejadian UC.50
c. Serat
Konsumsi serat dapat memberikan efek protektif terhadap
perkembangan IBD dan mengurangi risiko pengembangan IBD.47 Menurut
Ananthakrisnan et al, diet dengan kandungan serat 24,3g/hari dapat
menurunkan risiko pengembangan CD sebesar 40%. Efek yang sangat
bermakna secara statistik ditunjukkan dari serat yang berasal dari buah.51
Amre et al juga mengemukakan bahwa konsumsi serat dapat mencegah
kejadian CD.52
d. Vitamin dan Mineral
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa defisiensi vitamin D
berpengaruh terhadap perkemabnagan IBD.53 Reif et al juga menunjukkan
bahwa terdapat efek protektif dari diet yang kaya akan cairan, magnesium,
dan vitamin C terhadap risiko IBD. Namun, konsumsi retinol yang
berlebihan dapat mengembangkan IBD. Konsumsi buah yang kaya akan
serat dan vitamin C dapat mengurangi risiko perkembangan IBD.47,51,52 Jus
buah juga memiliki aktivitas antiinflamasi dan anti oksidatif.54
e. Alkohol
Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi alkohol memiliki efek
protektif terhadap perkembangan UC. Namun, efek ini didapatkan apabila
tidak dikombinasi dengan rokok.55 Penelitian lain menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada individu yang mengkonsumsi
alkohol dengan perkembangan CD.56

21
2. Manajemen Nutrisi IBD pada Fase Akut
Pada saat kondisi IBD akut atau eksaserbasi akut yang disertai dengan
diare dan nyeri abdomen, diet yang direkomendasikan adalah diet rendah
serat.57 Namun, diet ini tidak diberikan pada pasien dengan UC yang berlokasi
di rektum dan mengalami konstipasi. Pasien dengan konstipasi disarankan
untuk mengkonsumsi diet tinggi serat, sesuai dengan rekomendasi World
Gastroenterology Organization.57 Menurut rekomendasi dari European
Crohn’s and Colitis Organization (ECCO), pasien anak dengan UC yang
mengalami eksaserbasi intensitas ringan hingga sedang, disarankan untuk
melakukan diet normal.58 Pasien dengan suplai nutrisi yang tidak adekuat dapat
direkomendasiakn untuk menggunakan exclusive enteral nutrition (EEN)
dengan preparat cair yang mengandung semua nutrisi yang diperlukan.58,59
Berdasarkan rekomendasi ECCO dalam kasus UC, EEN tidak memiliki efek
terapi, namun dapat menyebabkan remisi atau kestabilan CD.58 Penelitian
menyebutkan bahwa peran EEN pada anak-anak, efektivitas dalam mencapai
kondisi remisi atau stabil adalah sama dengan terapi glukokortikosteroid.59
Namun, menurut Zachos et al terapi dengan menggunakan glukokortikosteroid
lebih berefek dibandingkan EEN dalam mencapai remisi CD.60 EEN juga
terbukti dapat mempercepat penyembuhan mukosa pada anak dengan CD.61
Setelah pemberian EEN selama 8 minggu, penting untuk dilakukan pengenalan
terhadap diet normal. Pengenalan diet normal harus berkisar anatara 7-10 hari,
dengan satu makanan diperkenalkan setiap 3-4 hari.59

3. Manajemen Nutrisi IBD pada Fase Remisi


Menurut penelitian dari Akobeng et al, nutrisi enteral berperan dalam
memperpanjang periode remisi pada pasien CD. Efek yang menguntungkan
dicapai dengan menyediakan 35%-50% dari kebutuhan kelori melalui nutrisi
enteral dibandingkan dengan diet normal.62
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa sulfur atau belerang
memberikan efek negatif terhadap UC.63 Belerang dan senyawanya dapat
memberikan efek negatif pada kolonosit dengan meningkatakan konsentrasi

22
hidrogen sulfida dalam usus. Sumber sulfur adalah makanan tinggi protein,
karena asam amino mengandung sulfur, termasuk diantaranya adalah daging
merah, keju, telur, dan kacang-kacangan. Makanan yang kaya akan sulfur
anorganik adalah sayuran seperti brokolo, kol, dan makanan yang diawetkan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jowett et al, membatasi asupan daging
merah dapat memperpanjang periode remisi. Jowett juga menyebutkan bahwa
tidak terdapat efek negatif dari konsumsi produk susu pada perkembangan IBD
atau efek protektif dari diet tinggi serat.63 Penelitian yang dilakukan oleh
Fernandez-Banarez et al menyebutkan bahwa diet tinggi serat dapat mencegah
UC berulang dengan cara yang sebanding dengan mesalazine.64 Wedlake et al
juga menyebutkan bahwa serat sedikit menguntungkan bagi pasien UC namun
tidak menunjukkan peran yang positif terhadap CD.65
Germinated barley foodstuff (GBF) atau bahan makanan gandum
adalah sumber serat da protein yang kaya akan glutamin. GBF adalah produk
prebiotik yang meningkatkan produksi butirat oelh bakteri usus. Senyawa-
senyawa ini dapat mempengaruhi perbaikan dan pemulihan fungsi kolonosit.
Penelitian juga telah membuktikan bahwa GBF berperan dalam perpanjangan
periode remisi pada IBD.66
Beberapa penelitian juga telah mengimplementasikan manajemen diet
sebagai suplemen terapi IBD, diantaranya adalah diet karbohidrat spesifik, diet
bebas laktosa, diet anti inflamasi, dan diet rendah FODMAP.

a. Diet karbohidrat spesifik


Dalam manajemen diet dengan karbohidrat spesifik, karbohidrat
yang digunakan adalah monosakarida (glukosa, fruktosa, dan galaktosa),
karbohidrat kompleks tidak termasuk dalam manajemen diet ini.67 Madu,
buah-buahan segar, dan sayuran (kecuali kentang dan ubi) diperbolehkan.
Yogurt buatan juga diperbolehkan dalam manajemen nutrisi IBD. Legum
seperti lentil dan kacang polong diperbolehkan, namun tidak dengan buncis
dan kedelai. Biji-bijian, buah-buahan kaleng, dan sayuran tidak
diperbolehkan. Susu tidak diperbolehkan, namun keju bebas laktosa

23
diperbolehkan.67 Daging asap dan daging kalengan juga tidak diperbolehkan
karena adanya kemungkinan kontaminasi dengan gula dan zat aditif pati.67
Karbohidrat kompleks tidak diperbolehkan karena zat ini kurang
diserap dalam saluran perncernaan dan mengakibatkan fermentasi bakteri.
Fermentasi bakteri yang berlebihan kemudian akan memperpanjang proses
inflamasi dan mengakibatkan kerusakan epitel usus.67,68 Specific
carbohydrate diet (SCD) atau diet karbohidrat spesifik ini telah
menunjukkan bukti perbaikan gejala knlinis dan peningkatan perbaikan
mukosa dalam 12 minggu inisiasi serta juga menunjukkan bukti
peningkatan keanekaragaman bakteri. Penelitian systematic review juga
menunjukkan bahwa SCD memberikan hasil yang menguntungkan bagi
pasien IBD.69 Rangkuman SCD dijelaskan dalam tabel 2.3.

Tabel 2.3 Diet Karbohidrat Spesifik

Diet Karbohidrat Spesifik atau Specific Carbohydrate Diet (SCD)


Prinsip : Disakarida dan polisakarida kurang diserap dalam traktus
digestivus manusia, sehingga menyebabkan pertumbuhan yang
berlebihan baik bakteri maupun jamur, serta terjadi produksi berlebihan
dari mukus.
Kelompok Diperbolehkan Tidak diperbolehkan
makanan
Buah Semua buah segar Buah-buahan kaleng
Sayur Sayuran segar Sayuran kaleng dan sayuran
yang diawetkan, kentang, ubi,
polong-polongan, jagung
Gandum Tidak diperbolehkan Hindari semua sereal gandum
Protein Daging segar, lentil, Daging kalengan, daging asap
kacang polong atau daging olahan, polong-
polongan (buncis, kedelai)

24
Susu Susu bebas laktosa Semua produk susu, susu
kedelai, teh instan, kopi
Minuman Wine Beer
Lain-lain Madu, mentega Sirup jagung, margarin,
cokelat

b. Diet bebas laktosa


Malarbsorbsi laktosa adalah gangguan kemampuan mencerna
laktosa oleh karena pengurangan enzim laktase. Malabsorbsi laktosa sering
terjadi pada pasien CD, dengan prevalensi tertinggi di Asia dan penduduk
asli Amerika. Meskipun pasien IBD mungkin mengalami intoleransi
laktosa, masih mungkin untuk pasien mengkonsumsi produk susu dengan
kandungan laktosa yang lebih rendah, seperti keju cottage dan mentega,
serta yoghurt.68

c. Diet anti inflamasi


IBD-anti-inflammatory diet (AID) atau diet anti inflamasi pada
pasien IBD merupakan suatu manajemen nutrisi yang berdasar pada SCD
dengan premis bahwa karbohidrat tertentu bertindak sebagai substrat untuk
bakteri patogen yang menginduksi disbiosis dalam lumen usus dan
pembatasan asupan gula olahan, biji-bijian yang mengandung gluten, dan
karbohidrat kompleks memberikan efek proinflamasi pada usus.70 AID
mendorong asupan prebiotik dan probiotik (misalnya daun bawang, legum,
dan makanan fermentasi) untuk memulihkan flora usus, mengurangi asupan
lemak jenuh, dan meningkatkan asupan makanan yang kaya akan ω-3.70
Pembatasan makanan proinflamasi diharapkan dapat memperpanjang masa
stabil pasien IBD dan mencegah terjadinya eksaserbasi.

25
d. Diet rendah FODMAP (Fermentable oligosaccharides, disaccharides,
monosaccharides, and polyols)
Peningkatan konsumsi karbohidrat seperti glukosa, fruktosa,
sukrosa, dan laktosa, atau poliol dapat menyebabkan peningkatan beban
osmosis dan meningkatkan kandungan gula luminal.71 Hal ini dapat
menyebabkan peningkatan permeabilitas usus yang merupakan faktor
predisposisi IBD pada individu yang berisiko.71,72 Gejala umum yang
disebabkan oleh asupan FODMAP (Fermentable oligosaccharides,
disaccharides, monosaccharides, and polyols) yang tinggi adalah perut
kembung, distensi, nyeri kram, dan diare.71 Penelitian telah menunjukkan
terdapat efek positif diet rendah FODMAP pada pasien IBD periode
remisi.72 Diet rendah FODMAP disajikan dalam tabel 2.4.

Tabel 2.4 Diet rendah FODMAP72

Diet Rendah FODMAP


Prinsip : Makanan yang mengandung oligosakarida yang difermentasi,
disakarida, monosakarida, dan poliol sulit untuk diserap, sehingga
menyebabkan peningkatan osmosis dan secara cepat difermentasi oleh
bakteri di usus dan menyebabkan timbulnya gejala IBD (Inflammatory
bowel disease) serta IBS (Irritable bowel syndrome)
Kelompok Diperbolehkan Tidak diperbolehkan
makanan
Buah Pisang, strawberi, raspberi, Apel, saus apel, aprikot,
bluberi, jeruk mandarin, blackberry, ceri, nektarin,
blewah, anggur, melon, pir, persik, prem, semangka,
lemon, jeruk nipis, kiwi, jeruk, buah kering
markisa
Sayuran Wortel, seledri, jagung, Asparagus, alpukat, kol, bit,
tauge, paprika, brokoli (<1/2 kembang kol, bawang putih,

26
cangkir), mentimun, terong, daun bawang bagian putih,
kacang hijau, kale, selada, jamur, bawang merah,
kentang, bayam, daun kacang polong, jagung
bawang, labu, tomat, lobak, manis, ubi jalar
zucchini
Biji-bijian Beras, oat Gandum, gandum hitam
Protein semua Tidak ada
Susu Yogurt dan susu tanpa Susus sapi, susu kambing,
laktosa, almond, kelapa, susu domba, susu butter,
susu beras, keju rendah susu kedelai, krim keju, es
laktosa krim
Minuman Jus buah dan jus sayuran Minuman bersoda, minuman
yang diperbolehkan, wine, energi, teh putih, teh hiaju,
vodka, gin air kelapa
Lain-lain Sirup mapel Madu dan pemanis buatan

4. Nutrien yang Berperan Penting dalam Diet Pasien dengan IBD


Rekomendasi diet pada pasien IBD, harus mencakup suplai kalori yang
memadai serta terdapat kandungan zat besi, kalsium, vitamin D, B12, dan A,
serta asam folat dan seng.73
a. Energi
Malnutrisi dapat terjadi pada 20%-85% pasien CD, oleh karena itu
penting untuk merencanakan diet yang tepat. Pasokan energi, vitamin, dan
minal diperlukan karena selama perkemabangan penyakit dapat terjadi
defisiensi nutrien tersebut. Kehilangan nafsu makan juga dapat mengurangi
jumlah nutrisi yang memadai. European Society for Clinical Nutrition and
Metabolism merekomendasiakn asupan hingga 600 kkal/hari dalam bentuk
suplementasi oral. Konsekuensi kekurangan gizi bisa meliputi anemia,
osteomalacia, osteoporosis, dan gangguan penglihatan.74

27
b. Zat besi
Anemia sering terjadi pada pasien IBD, yaitu sebanyak 21%-88%.
Penyebab utama anemia adalah defisiensi besi (sekitar 57%), tetapi juga
dapat disebabkan oleh keadaan inflamasi kronis atau karena defisiensi
vitamin B12.74,75 Menurut WHO, konsentrasi Hb yang terlalu rendah terjadi
ketika Hb turun dibawah 11-13 g/dL (tergantung jenis kelamin dan
kelompok usia). Konsentrasi protein juga berkurang pada kondisi anemia
defisiensi besi, sementara pada keadaan inflamasi, konsentrasi ferritin
meningkat. Pasien dengan IBD memiliki toleransi yang buruk terhadap
preparat besi oral dan risiko eksaserbasi inflamasi gastrointestinak, sehingga
persiapan intravena diberika untuk pengobatan anemia pada pasien dengan
IBD.75,76

c. Kalsium
Pasien dengan IBD berisiko terkena osteoporosis. Hal ini terkait
dengan malnutrisi yang diakibatkan oleh gangguan penyerapan nutrisi dan
pemberian glukokortikosteroid. Oleh karena itu, perlu diberikan kalsium
sebanyak 1000-1500 mg/hari. Pasien dengan IBD juga sering tidak
mengkonsumsi susu akibat intoleransi laktosa, sehingga suplementasi
kalsium perlu dipertimbangkan.77

d. Vitamin D
Vitamin D merupakan vitamin yang larut dalam lemak dan
berpengaruh terhadap perkembangan penyakit IBD. Kekurangan vitamin D
dapat memperburuk kondisi CD dan UC. Penelitian yang dilakukan oleh
Pappa et al dalam memberikan asupan vitamin D sebanyak 400 IU per hari
dan 1000 IU per hari pada kelompok yang berbeda, hasil penelitian
menunjukkan terdapat penurunan CRP dan IL-6 yang lebih besar pada
kelompok yang menerima dosis lebih besar. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D memberikan efek positif
terhadap proses inflamasi.78

28
Penelitian lain menunjukkan bahwa terdapat peningkatan risiko
infeksi Clostridium difficile dan pengembangan kanker (terutama kanker
usus besar) pada pasien IBD dengan defisiensi vitamin D.79,80

e. Vitamin B
Pasien dengan CD sering mengalami defisiensi Vitamin B (B12:
28%-48% dan asam folat 4,3%-54%).81,82 Gangguan saluran pencernaan
bagian distal dapat menghambat penyerapan cyanocobalamin. Risiko
kekurangan asam folat juga meningkat pada pasien yang diobati dengan
sulphasalazine.81 Kekurangan vitamin B dapat meningkatkan risiko
pengembangan anemia makrositik dan hyperchromocysteinemia. Oleh
karena itu, tingkat cyanocobalamin harus dipantau dan persiapan vitamin
B12 parenteral harus diberikan jika terjadi defisiensi. Pasien yang berisiko
defisiensi asam folat diberi asupan asam folat bila perlu.81,82

f. Defisiensi vitamin dan mineral lainnya


Pasien dengan CD dapat mengalami defisiensi zinc (70% laki-laki)
dan magnesium.81 Selain itu, kekurangan vitamin A juga dapat terjadi
selama fase aktif.81 Diet yang diberikan harus mencakup makanan yang
kaya akan komponen ini, seperti sayuran yang mengandung beta karoten
(wortel, apprika merah), kacang-kacangan, dan menir.68

5. Suplementasi Tambahan IBD


Banyak penelitian telah dilakukan untuk dapat mengetahui suplemen
tambahan yang dapat mempersingkat durasi fase aktif atau eksaserbasi dan
memperpanjang fase remisi. Suplemen tambahan tersebut diantaranya adalah
sediaan yang mengandung probiotik dan asam lemak omega 3 tidak jenuh.
a. Probiotik
Morbiditas IBD berhubungan dengan kelainan flora bakteri saluran
pencernaan dan respon imun abnormal terhadap flora fisiologis.82
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jonker et al menyebutkan

29
bahwa probiotik tidak terlalu berpengaruh terhadap pasien CD. Namun
VSL#3 yang mengandung Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus
plantarum, Lactobacillus casei, Lactobacillus bulgaricus, Bifidobacterium
breve, Bifidobacterium longum, Bifidobacterium fantis dan Streptococcus
thermophilus dapat mencegah terjadinya eksaserbasi UC baik pada fase
aktif maupun inaktif.83 Penelian lain juga dilakukan dengan memberikan
Lactobascillus GG dan Saccharomyces boulardii pada pasien CD.
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa tidak terdapat pengaruh
yang bermakna pada pasien CD setelah diberi probiotik tersebut.84

b. Asam lemak omega 3 tidak jenuh


Komponen nutrisi lain yang berpengaruh terhadap IBD adalah asam
lemak omega 3 tidak jenuh ganda (n-3 PUFA). Berdasarkan penelitian,
asam lemak ini memiliki aktivitas anti inflamasi. Penelitian yang dilakukan
oleh Farrukh dan Mayberry menyebutkan bahwa terdapat efek
menguntungkan dari suplementasi PUFA selama IBD fase aktif. Penelitian
lain juga menyebutkan terdapatnya perncapaian fase remisi yang lebih
cepat dan kemungkinan pengurangan dosis glukokortikosteroid dengan
suplementasi n-3 PUFA. Berdasarkan hasil penelitian n-3 PUFA tidak
memiliki efek yang bermakna pada CD. Namun, beberapa penelirian
mencapai hasil yang positif.85

30
BAB III
KESIMPULAN

Faktor diet berpengaruh terhadap etiopatogenesis dan perjalanan IBD.


Nutrien yang dapat meningkatkan morbiditas IBD antara lain adalah kolesterol,
lemak hewani, asam arakidonat, dan asam linoleat.

Makanan dan zat gizi yang memiliki faktor protektif terhadap IBD antara
lain adalah ASI, serat, vitamin D, suplai cairan, vitamin C, buah-buahan segar, serta
magnesium. Pola manajemen nutrisi yang berperan memperpanjang fase remisi
antara lain diet dengan menggunakan monosakarida, diet rendah laktosa, diet
rendah FODMAP, serta diet yang mengandung nutrien anti inflamasi. Suplementasi
tambahan berupa probiotik dan n-3 PUFA juga berpengaruh positif dalam
memperpanjang fase remisi, khususnya pada UC.

Tidak terdapat diet tunggal yang cocok untuk semua pasien IBD, sehingga
rekomendasi diet yang unik perlu dikembangkan untuk semua pasien, tergantung
pada perjalanan penyakit dan jenis farmakoterapi yang digunakan. Oleh karena itu,
rekomendasi diet diberikan sebagai suplementasi farmakoterapi IBD.

31
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Maaser C, Sturm A, Vavricka SR, Kucharzik T, Fiorino G, Annese V,


Calabrese E, Baumgart DC, Bettenworth D, Borralho Nunes P, Burisch J,
Castiglione F, Eliakim R, Ellul P, González-Lama Y, Gordon H, Halligan S,
Katsanos K, Kopylov U, Kotze PG, Krustinš E, Laghi A, Limdi JK, Rieder F,
Rimola J, Taylor SA, Tolan D, van Rheenen P, Verstockt B, Stoker J.,
European Crohn’s and Colitis Organisation [ECCO] European Society of
Gastrointestinal and Abdominal Radiology [ESGAR] ECCO-ESGAR
Guideline for Diagnostic Assessment in Inflammatory Bowel Disease. J
Crohns Colitis. 2018
2. Dmochowska N, Wardill HR, Hughes PA. Advances in Imaging Specific
Mediators of Inflammatory Bowel Disease. Int J Mol Sci. 2018;19(9)
3. Colombel JF, Shin A, Gibson PR. Functional Gastrointestinal Symptoms in
Patients With Inflammatory Bowel Disease. Clin. Gastroenterol.
Hepatol. 2018
4. McDowell C, Haseeb M. Bowel, Inflammatory Disease (IBD) [Updated 2018
Dec 8]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2018. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470312/
Diakses pada: 22 Januari 2019.
5. Su HJ, Chiu YT, Chiu CT, Lin YC, Wang CY, Hsieh JY, Wei SC.
Inflammatory bowel disease and its treatment in 2018: Global and Taiwanese
status updates. J. Formos. Med. Assoc. 2018
6. Sturm A, Maaser C, Calabrese E, Annese V, Fiorino G, Kucharzik T, Vavricka
SR, Verstockt B, van Rheenen P, Tolan D, Taylor SA, Rimola J, Rieder F,
Limdi JK, Laghi A, Krustinš E, Kotze PG, Kopylov U, Katsanos K, Halligan
S, Gordon H, González Lama Y, Ellul P, Eliakim R, Castiglione F, Burisch J,
Borralho Nunes P, Bettenworth D, Baumgart DC, Stoker J., European Crohn’s
and Colitis Organisation [ECCO] European Society of Gastrointestinal and
Abdominal Radiology [ESGAR] ECCO-ESGAR Guideline for Diagnostic
Assessment in Inflammatory Bowel Disease. J Crohns Colitis. 2018
7. Trivedi PJ, Adams DH. Chemokines and Chemokine Receptors as Therapeutic
Targets in Inflammatory Bowel Disease; Pitfalls and Promise. J Crohns
Colitis. 2018;12(suppl_2):S641-S652
8. Nemati Shahram, Teimourian Shahram. An Overview of Inflammatory Bowel
Disease: General Consideration and Genetic Screening Approach in Diagnosis
of Early Onset Subsets. Middle East Journal of Digestive Diseases. 2017; 9(2):
69-80
9. Evrard B, Dosgilbert A, Charbonnel N, Alamé J, Tridon A, Forestier C. et al.
Dose-dependent immunomodulation of human dendritic cells by the probiotic
Lactobacillus rhamnosus Lcr35. PLoS One. 2011;6:e18735.
10. Ley RE, Peterson DA, Gordon Jl. Ecological and evolutionary forces shaping
microbial diversity in the human intestine. Cell. 2006

32
11. Turnbaugh PJ, Yatsunenko T, Cantarel BL, Duncan A, Ley RE, Sogin ML. et
al. A core gut microbiome in obese and lean twins. Nature. 2009;457:480–4.
12. Penders J, Vink C, Stelma FF, Snijders B, Kummeling I, van den Brandt PA.
et al. Factors influencing the composition of the intestinal microbiota in early
infancy. Pediatrics. 2006;118:511–21.
13. Biasucci G, Benenati B, Morelli L, Bessi E, Boehm G. Cesarean delivery may
affect the early biodiversity of intestinal bacteria. J Nutr. 2008;138:1796S–
1800S.
14. Albesharat R, Ehrmann MA, Korakli M, Yazaji S, Vogel RF. Phenotypic and
genotypic analyses of lactic acid bacteria in local fermented food, breast milk
and faeces of mothers and their babies. Syst Appl Microbiol. 2011;34:148–55.
15. Yu ZT, Kling DE, Liu B, McCoy JM, Merighi M, Heidtman M. et al. The
principal fucosylated oligosaccharides of human milk exhibit prebiotic
properties on cultured infant microbiota. Glycobiology. 2013;23:169–77.
16. Kiss EA, Vonarbourg C, Kopfmann S, Hobeika E, Finke D, Esser C. et al.
Natural aryl hydrocarbon receptor ligands control organogenesis of intestinal
lymphoid follicles. Science. 2011;334:1561–5.
17. Li Y, Withers DR, Roberts NA, Gallagher AR, Grigorieva EF, Wilhelm C. et
al. Exogenous stimuli maintain intraepithelial lymphocytes via aryl
hydrocarbon receptor activation. Cell. 2011;147:629–40.
18. Schulz VJ, Willemsen KJ, Fiechter D, Hassing I, Bleumink R, Boon L. et al.
Activation of the aryl hydrocarbon receptor suppresses sensitization in a mouse
peanut allergy model. Toxicol Sci. 2011;123:491–500.
19. Khor B, Gardet A, Xavier RJ. Genetics and pathogenesis of inflammatory
bowel disease. Nature. 2011 Jun 15; 474(7351): 307-17
20. Johansson ME, Hansson GC. The two mucus layers of colon are organized by
the MUC2 mucin, whereas the outer layer is a legislator of host-microbial
interactions. Proc Natl Acad Sci U S A. 2011;15(108 Suppl 1):4659–65.
21. Van der Sluis M, De Koning BA, De Bruijn AC, Velcich A, Meijerink JP, Van
Goudoever JB. et al. Muc2-deficient mice spontaneously develop colitis,
indicating that MUC2 is critical for colonic
protection. Gastroenterology. 2006;131:117–29.
22. Ayabe T, Pesendorfer P, Tanabe H, Wilson CL, Hagen SJ, Ouellette AJ.
Activation of Paneth cell alpha-defensins in mouse small intestine. J Biol
Chem. 2002;277:5219–28
23. Ruane DT, Lavelle EC. The Role of CD103+ Dendritic Cells in the Intestinal
Mucosal Immune System. Front Immunol. 2011
24. Loftus EV Jr. Clinical epidemiology of inflammatory bowel disease: Incidence,
prevalence, and environmental influences. Gastroenterology. 2004;126:1504–
17
25. Ng SC, Vatn MH, Lakatos PL, Loftus EV Jr, Tysk C, O’Morain C. et al.
Epidemiology and Natural History Task Force of the International
Organization of Inflammatory Bowel Disease (IOIBD) Geographical
variability and environmental risk factors in inflammatory bowel
disease. Gut. 2013;62:630–649

33
26. Loddo I, Romano C. Inflammatory Bowel Disease: Genetics, Epigenetics, and
Pathogenesis. Front Immunol. 2015;6:551
27. Liu JZ, van Sommeren S, Huang H, Ng SC, Alberts R, Takahashi A. et al. :
Association analyses identify 38 susceptibility loci for inflammatory bowel
disease and highlight shared genetic risk across populations. Nature
Genetics. 2015;47:979–86
28. Fakhoury M, Coussa-Charley M, Al-Salami H, Kahouli I, Prakash S. Use of
artificial cell microcapsule containing thalidomide for treating TNBS-induced
Crohn’s disease in mice. Curr Drug Deliv. 2014;11:146–153
29. Fakhoury M., Negrulj R., Mooranian A., Al-Salami H. Inflammatory bowel
disease: clinical aspects and treatments. Journal of Inflammation Research.
2014 Jun 23.
30. Firmansyah, Mohammad Adi. Perkembangan terkini diagnosis dan
penatalaksanaan inflammatory bowel disease. RSUPN Cipto Mangunkusumo.
2017 Dec 15
31. Wehkamp J., Gotz M., Herrlinger K., Steurer W., Stange EF. Inflammatory
bowel disease: Crohn’s disease and ulcerative colitis. 2016 Feb 5.
32. Lee JS, Kim ES, Moon W. Chronological Review of Endoscopic Indices in
Inflammatory Bowel Disease. Clin Endosc. 2018 Aug 21
33. Dai C, Jiang M, Sun MJ. Fecal markers in the management of inflammatory
bowel disease. Postgrad Med. 2018 Sep;130(7):597-606.
34. Yang SK. How Does the Epidemiology of Inflammatory Bowel Disease Differ
between East and West? A Korean Perspective. Inflamm Intest Dis. 2017
Nov;2(2):95-101
35. Kobayashi T, Hisamatsu T, Suzuki Y, Ogata H, Andoh A, Araki T, Hokari R,
Iijima H, Ikeuchi H, Ishiguro Y, Kato S, Kunisaki R, Matsumoto T, Motoya S,
Nagahori M, Nakamura S, Nakase H, Tsujikawa T, Sasaki M, Yokoyama K,
Yoshimura N, Watanabe K, Katafuchi M, Watanabe M, Hibi T. Predicting
outcomes to optimize disease management in inflammatory bowel disease in
Japan: their differences and similarities to Western countries. Intest Res. 2018
Apr;16(2):168-177
36. Feuerstein JD, Papamichael K, Popejoy S, Nadelson A, Lewandowski JJ,
Geissler K, Martinez-Vazquez M, Leffler DA, Ariyabuddhiphongs K, Thukral
C, Cheifetz AS. Targeted Physician Education and Standardizing
Documentation Improves Documented Reporting with Inflammatory Bowel
Disease Quality Measures in a Large Academic and Private Practice. Dig. Dis.
Sci. 2018;63(1):36-45
37. Nguyen VQ, Mays JL, Lang M, Wu Y, Dassopoulos T, Regueiro M, Moss A,
Proctor DD, Sorrentino D. Knowledge Gaps in the Management of
Postoperative Crohn's Disease: A US National Survey. Dig. Dis. Sci. 2018
;63(1):53-60
38. Mitrev N, Vande Casteele N, Seow CH, Andrews JM, Connor SJ, Moore GT,
Barclay M, Begun J, Bryant R, Chan W, Corte C, Ghaly S, Lemberg DA,
Kariyawasam V, Lewindon P, Martin J, Mountifield R, Radford-Smith G,
Slobodian P, Sparrow M, Toong C, van Langenberg D, Ward MG, Leong RW.,
IBD Sydney Organisation and the Australian Inflammatory Bowel Diseases

34
Consensus Working Group. Review article: consensus statements on
therapeutic drug monitoring of anti-tumour necrosis factor therapy in
inflammatory bowel diseases. Aliment. Pharmacol. Ther. 2017;46(11-
12):1037-1053
39. Gallo G, Kotze PG, Spinelli A. Surgery in ulcerative colitis: When? How? Best
Pract Res Clin Gastroenterol. 2018;32-33:71-78
40. Pariente B, Hu S, Bettenworth D, Speca S, Desreumaux P, Meuwis MA,
Danese S, Rieder F, Louis E. Treatments for Crohn's Disease-Associated
Bowel Damage: A Systematic Review. Clin. Gastroenterol. Hepatol. 2018
41. F. Charles Brunicardi, Dana K. Andersen, Timothy R. Billiar, David L. Dunn,
John G. Hunter, Jeffrey B. Matthews, Raphael E. Pollock. Schwartz's
Principles of Surgery. 10th edition. New York: The McGraw-Hill Companies;
2015.
42. Basson A. Nutrition management in the adult patient with Crohn’s disease. S
Afr J Clin Nutr. 2014;25:164–172.
43. Owczarek D, Rodacki T, Domagała-Rodacka R, Cibor D, Mach T. Diet and
nutritional factors in inflammatory bowel diseases. World J Gastroenterol.
2016;22(3):895-905.
44. Russel MG, Engels LG, Muris JW, Limonard CB, Volovics A, Brummer RJ,
Stockbrügger RW. Modern life’ in the epidemiology of inflammatory bowel
disease: a case-control study with special emphasis on nutritional factors. Eur
J Gastroenterol Hepatol. 1998;10:243–249
45. Sakamoto N, Kono S, Wakai K, Fukuda Y, Satomi M, Shimoyama T, Inaba Y,
Miyake Y, Sasaki S, Okamoto K, et al. Dietary risk factors for inflammatory
bowel disease: a multicenter case-control study in Japan. Inflamm Bowel
Dis. 2005;11:154–163.
46. Chan SS, Luben R, van Schaik F, Oldenburg B, Bueno-de-Mesquita HB,
Hallmans G, Karling P, Lindgren S, Grip O, Key T, et al. Carbohydrate intake
in the etiology of Crohn’s disease and ulcerative colitis. Inflamm Bowel
Dis. 2014;20:2013–2021.
47. Reif S, Klein I, Lubin F, Farbstein M, Hallak A, Gilat T. Pre-illness dietary
factors in inflammatory bowel disease. Gut. 1997;40:754–760.
48. Ananthakrishnan AN, Khalili H, Konijeti GG, Higuchi LM, de Silva P, Fuchs
CS, Willett WC, Richter JM, Chan AT. Long-term intake of dietary fat and risk
of ulcerative colitis and Crohn’s disease. Gut. 2014;63:776–784
49. de Silva PS, Luben R, Shrestha SS, Khaw KT, Hart AR. Dietary arachidonic
and oleic acid intake in ulcerative colitis etiology: a prospective cohort study
using 7-day food diaries. Eur J Gastroenterol Hepatol. 2014;26:11–18
50. John S, Luben R, Shrestha SS, Welch A, Khaw KT, Hart AR. Dietary n-3
polyunsaturated fatty acids and the aetiology of ulcerative colitis: a UK
prospective cohort study. Eur J Gastroenterol Hepatol. 2010;22:602–606
51. Ananthakrishnan AN, Khalili H, Konijeti GG, Higuchi LM, de Silva P,
Korzenik JR, Fuchs CS, Willett WC, Richter JM, Chan AT. A prospective
study of long-term intake of dietary fiber and risk of Crohn’s disease and
ulcerative colitis. Gastroenterology. 2013;145:970–977

35
52. Amre DK, D’Souza S, Morgan K, Seidman G, Lambrette P, Grimard G, Israel
D, Mack D, Ghadirian P, Deslandres C, et al. Imbalances in dietary
consumption of fatty acids, vegetables, and fruits are associated with risk for
Crohn’s disease in children. Am J Gastroenterol. 2007;102:2016–2025
53. Zhang YZ, Li YY. Inflammatory bowel disease: pathogenesis. World J
Gastroenterol. 2014;20:91–99
54. Rossi T, Gallo C, Bassani B, Canali S, Albini A, Bruno A. Drink your
prevention: beverages with cancer preventive phytochemicals. Pol Arch Med
Wewn. 2014;124:713–722
55. El-Tawil AM. Epidemiology and inflammatory bowel diseases. World J
Gastroenterol. 2013;19:1505–1507
56. Han DY, Fraser AG, Dryland P, Ferguson LR. Environmental factors in the
development of chronic inflammation: a case-control study on risk factors for
Crohn‘s disease within New Zealand. Mutat Res. 2010;690:116–122
57. Inflammatory bowel disease: a global perspective. World Gastroenterology
Organisation Global Guidelines. June. 2009. Available
from: http://www.medscape.com/index/list_7515_2. Diakses pada 24 Januari
2019.
58. Turner D, Levine A, Escher JC, Griffiths AM, Russell RK, Dignass A, Dias
JA, Bronsky J, Braegger CP, Cucchiara S, et al. Management of pediatric
ulcerative colitis: joint ECCO and ESPGHAN evidence-based consensus
guidelines. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2012;55:340–361
59. Bishop J, Lemberg DA, Day A. Managing inflammatory bowel disease in
adolescent patients. Adolesc Health Med Ther. 2014;5:1–13
60. Zachos M, Tondeur M, Griffiths AM. Enteral nutritional therapy for induction
of remission in Crohn‘s disease. Cochrane Database Syst
Rev. 2007;(1):CD000542
61. Borrelli O, Cordischi L, Cirulli M, Paganelli M, Labalestra V, Uccini S, Russo
PM, Cucchiara S. Polymeric diet alone versus corticosteroids in the treatment
of active pediatric Crohn’s disease: a randomized controlled open-label
trial. Clin Gastroenterol Hepatol. 2006;4:744–753
62. Akobeng AK, Thomas AG. Enteral nutrition for maintenance of remission in
Crohn’s disease. Cochrane Database Syst Rev. 2007;(3):CD005984
63. Jowett SL, Seal CJ, Pearce MS, Phillips E, Gregory W, Barton JR, Welfare
MR. Influence of dietary factors on the clinical course of ulcerative colitis: a
prospective cohort study. Gut. 2004;53:1479–1484
64. Fernández-Bañares F, Hinojosa J, Sánchez-Lombraña JL, Navarro E,
Martínez-Salmerón JF, García-Pugés A, González-Huix F, Riera J, González-
Lara V, Domínguez-Abascal F, et al. Randomized clinical trial of Plantago
ovata seeds (dietary fiber) as compared with mesalamine in maintaining
remission in ulcerative colitis. Spanish Group for the Study of Crohn’s Disease
and Ulcerative Colitis (GETECCU) Am J Gastroenterol. 1999;94:427–433
65. Wedlake L, Slack N, Andreyev HJ, Whelan K. Fiber in the treatment and
maintenance of inflammatory bowel disease: a systematic review of
randomized controlled trials. Inflamm Bowel Dis. 2014;20:576–586.

36
66. Kanauchi O, Iwanaga T, Andoh A, Araki Y, Nakamura T, Mitsuyama K,
Suzuki A, Hibi T, Bamba T. Dietary fiber fraction of germinated barley
foodstuff attenuated mucosal damage and diarrhea, and accelerated the repair
of the colonic mucosa in an experimental colitis. J Gastroenterol
Hepatol. 2001;16:160–168.
67. Hou JK, Lee D, Lewis J. Diet and inflammatory bowel disease: review of
patient-targeted recommendations. Clin Gastroenterol
Hepatol. 2014;12:1592–1600
68. Hwang C, Ross V, Mahadevan U. Popular exclusionary diets for inflammatory
bowel disease: the search for a dietary culprit. Inflamm Bowel
Dis. 2014;20:732–741
69. Charlebois A, Rosenfeld G, Bressler B. The impact of dietary interventions on
the symptoms of inflammatory bowel disease: a systematic review. Crit Rev
Food Sci Nutr. 2016;56:1370–1378
70. Olendzki BC, Silverstein TD, Persuitte GM, Ma Y, Baldwin KR, Cave D. An
anti-inflammatory diet as treatment for inflammatory bowel disease: a case
series report. Nutr J. 2014;13:5
71. Gibson PR, Shepherd SJ. Evidence-based dietary management of functional
gastrointestinal symptoms: the FODMAP approach. J Gastroenterol
Hepatol. 2010;25:252–258
72. Prince AC, Myers CE, Joyce T, Irving P, Lomer M, Whelan K. Fermentable
carbohydrate restriction (low FODMAP diet) in clinical practice improves
functional gastrointestinal symptoms in patients with inflammatory bowel
disease. Inflamm Bowel Dis. 2016;22:1129–1136
73. Silva AFD, Schieferdecker MEM, Amarante HMBDS. Food intake in patients
with inflammatory bowel disease. Arq Bras Cir Dig. 2011;24:204–209
74. Donnellan CF, Yann LH, Lal S. Nutritional management of Crohn’s
disease. Therap Adv Gastroenterol. 2013;6:231–242
75. Rogler G, Vavricka S. Anemia in inflammatory bowel disease: an under-
estimated problem? Front Med (Lausanne) 2014;1:58
76. Kaniewska M, Bartnik W, Gonciarz M, Kłopocka M, Linke K, Małecka-Panas
E, Radwan P, Reguła J, Rydzewska G. Iron deficiency anaemia in patients with
inflammatory bowel disease: National Consultant for Gastroenterology
Working Group Recommendations. Prz Gastroenterol. 2014;9:259–263
77. Gupta R, Makharia G, Khadgawat R, Yadav RK. Evaluation of lactose and
milk intolerance, and bone mineral density in Indian patients with
inflammatory bowel disease. Natl Med J India. 2012;25:327–331
78. Pappa HM, Mitchell PD, Jiang H, Kassiff S, Filip-Dhima R, DiFabio D, Quinn
N, Lawton RC, Bronzwaer ME, Koenen M, et al. Maintenance of optimal
vitamin D status in children and adolescents with inflammatory bowel disease:
a randomized clinical trial comparing two regimens. J Clin Endocrinol
Metab. 2014;99:3408–3417
79. Ananthakrishnan AN, Cagan A, Gainer VS, Cheng SC, Cai T, Szolovits P,
Shaw SY, Churchill S, Karlson EW, Murphy SN, et al. Higher plasma vitamin
D is associated with reduced risk of Clostridium difficile infection in patients

37
with inflammatory bowel diseases. Aliment Pharmacol Ther. 2014;39:1136–
1142
80. Ananthakrishnan AN, Cheng SC, Cai T, Cagan A, Gainer VS, Szolovits P,
Shaw SY, Churchill S, Karlson EW, Murphy SN, et al. Association between
reduced plasma 25-hydroxy vitamin D and increased risk of cancer in patients
with inflammatory bowel diseases. Clin Gastroenterol Hepatol. 2014;12:821–
827
81. Basson A. Nutrition management in the adult patient with Crohn’s disease. S
Afr J Clin Nutr. 2012;25:164–172
82. Donnellan CF, Yann LH, Lal S. Nutritional management of Crohn’s
disease. Therap Adv Gastroenterol. 2013;6:231–242
83. Jonkers D, Penders J, Masclee A, Pierik M. Probiotics in the management of
inflammatory bowel disease: a systematic review of intervention studies in
adult patients. Drugs. 2012;72:803–823
84. Bourreille A, Cadiot G, Le Dreau G, Laharie D, Beaugerie L, Dupas JL,
Marteau P, Rampal P, Moyse D, Saleh A, et al. Saccharomyces boulardii does
not prevent relapse of Crohn’s disease. Clin Gastroenterol
Hepatol. 2013;11:982–987
85. Farrukh A, Mayberry JF. Is there a role for fish oil in inflammatory bowel
disease? World J Clin Cases. 2014;2:250–252

38

Anda mungkin juga menyukai