Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN ILMU RESEP

“KASUS I”

Oleh :

Nama : Samsibar

Nim : F201902016

Kelas : C5NR

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

UNIVERSITAS MANDALA WALUYA

KENDARI

2020
A. Teori Umum
1. Definisi Penyakit
a. Diabetes Militus
Diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan
dalam satu jawaban yang jelas dan singkat, tapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi
yang merupakan akibat dari sejumlah faktor. Pada diabetes mellitus
didapatkan defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi
insulin. Diabetes melitus diklasifikasikan atas DM tipe 1, DM tipe 2,
DM tipe lain, dan DM pada kehamilan. Diabetes melitus tipe 2
(DMT2) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia, terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya (Eva Decroli, 2019:1).
Diabetes melitus tipe 2 adalah suatu penyakit dengan karakteristik
hiperglikemia dengan dasar penyebab adalah peningkatan resistensi
insulin dan atau peningkatan disfungsi sel beta pankreas. Setidaknya
telah diketahui delapan hal yang mendasari terjadinya hiperglikemia
pada DMT2 yang disebut omnious octet. Berbagai permasalahan
dihadapi mulai dari peningkatan prevalensi, persoalan ketersediaan
obat yang sesuai dengan keadaan penyakitnya, serta komplikasi yang
mengancam dikemudian hari (Eva Decroli, 2019:3).
Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat
insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin
sedikitmenurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin
tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe
II dianggap sebagai non insulin dependent diabetes mellitus (Restyana
Noor Fatimah, 2015:94)
b. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Infeksi Saluran Kemih merupakan salah satu jenis infeksi yang
sering ditemukan dirumah sakit dan komunitas, khususnya pada wanita
penderita yangmenggunakan kateter (Suhendra, dkk, (2014:132)
Infeksi Saluran Kemih merupakan istilah umum yang
menunjukkan keberadaan mikroorganisme dalam urin.Adanya bakteri
dalam urin disebut baktteriuria.Bakteriuria bermakna menunjukkan
pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari 105 colony forming
units (CFU) pada biakan urin. ISK complicated (rumit) adalah infeksi
saluran kemih yang terjadi pada pasien yang menderita kelainan
anatomik/struktur saluran kemih, atau adanya penyakit sistemik.
Kelainan ini akan menyulitkan pemberantasan kuman oleh antibiotika
( Yuriani dan Devi, 2019:130).
c. Dispepsia
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah
satu atau beberapa gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar
di epigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa
kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa. Untuk
dispepsia fungsional, keluhan tersebut di atas harus berlangsung
setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan
sebelum diagnosis ditegakkan (Marcellus, dkk, 2014:1).
Dispepsia merupakan keluhan yang umum ditemui dalam praktik
sehari-hari dan telah dikenal sejak lama dengan definisi yang terus
berkembang, mulai dari semua gejala yang berasal dari saluran cerna
bagian atas, sampai dieksklusinya gejala refluks hingga ke definisi
terkini yang mengacu kepada kriteria Roma III (Marcellus, dkk,
2014:1).
Dispepsia merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala/keluhan
berupa nyeri atau rasa tidak nyaman pada ulu hati, mual, kembung,
muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, dan perut merasa penuh (Lili
dan Dewa, 2019:111).
2. Patofisiologi
a. Diabetes Millitus
1) Patofisiologi DM tipe 1
Terjadinya DM tipe 1 utamanya disebabkan oleh defisiensi
insulin. Defisiensi insulin dapat menyebabkan gangguan
metabolisme lipid, protein, dan glukosa (Raju dan Raju, 2010
dalam Ozougwu et al., 2013). Gangguan metabolisme lipid
terjadi karena meningkatnya asam lemak bebas dan benda keton
sehingga penggunaan glukosa berkurang dan menyebabkan
hiperglikemia. Gangguan metabolisme protein terjadi karena
meningkatnya kecepatan proteolisis yang menyebabkan asam
amino dalam plasma tinggi dan peningkatan proses katabolisme
protein. Gangguan metabolisme glukosa terjadi karena
peningkatan proses glukoneogenesis sehingga glukosa hepatik
meningkat.
2) Patofisiologi DM tipe 2
Terjadinya DM tipe 2 utamanya disebabkan oleh resistensi
insulin (Raju dan Raju, 2010 dalam Ozougwu et al., 2013).
Selain itu, terjadinya DM tipe 2 bisa terjadi karena resistensi
insulin dan defisiensi insulin (Holt, 2004 dalam Ozougwu et al.,
2013). Umumnya patofisiologi DM tipe 2 dipengaruhi oleh
beberapa keadaan yaitu:
a) Resistensi insulin dikarenakan obesitas dan penuaan (Lemos
et al., 2011 dalam Fatimah, 2015).
b) Disfungsi sel β pankreas sehingga menyebabkan defisiensi
insulin yang terjadi melalui 3 jalur yaitu (Hakim et al., 2010
dalam Fatimah, 2015) :
 Pengaruh luar yang menyebabkan rusaknya sel β
pankreas seperti virus dan zat kimia.
 Penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas.
 Kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
c) Terjadinya peningkatan glukosa hepatik yang tidak disertai
kerusakan sel β pankreas. Resistensi insulin dan defisiensi
insulin merupakan penyebab utama DM tipe 2. Terjadinya
lipolisis dan peningkatan glukosa hepatik merupakan
karakteristik dari resistensi insulin (Dipiro et al., 2015).
b. Infeksi Saluraan Kemih (ISK)
Pada individu normal, biasanya laki-laki maupun perempuan urin
selalu steril karena jumlah dan frekuensi kencing dipertahankan.
Utero distal merupakan tempat kolonisasi mikroorganisme
nonpathogen Gram-positif dan Gram-negatif (Sukandar, 2004). Ada
beberapa jalur masuknya mikroorganisme ke dalam saluran kemih
yaitu melalui ascending, hematogen, limfogen, atau langsung dari
organ sekitar yang sebelumnya sudah terinfeksi atau eksogen sebagai
akibat dari pemakaian intrumen. Hampir semua ISK disebabkan
invasi mikroorganisme asending dari uretra ke dalam kandung kemih.
Infeksi secara ascending dapat terjadi melalui 4 tahapan, yaitu
kolonisasi mikroorganisme pada uretra dan daerah introitus vagina,
lalu masuk ke dalam buli-buli, multiplikasi dan penempelan
mikroorganisme dalam kandung kemih, lalu naik ke ginjal. Proses
ini, dipermudah refluk vesikoureter. Proses invasi mikroorganisme
lainnya yaitu hematogen yang sangat jarang ditemukan di klinik,
mengungkit akibat lanjut dari bakteriema. Infeksi hematogen
kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh yang
rendah, karena menderita sesuatu penyakit kronis, atau pada pasien
yang mendapatkan pengobatan imunosupresif. Penyebaran
hematogen bisa juga timbul akibat adanya fokus infeksi di tempat
lain, misalnya infeksi Staphylococcus aureus pada ginjal bisa terjadi
akibat penyebaran hematogen dari fokus infeksi di tulang, kulit,
endotel, atau tempat lain. Bakteri lain yang menyebar melalui
hematogen, yaitu M. Tuberculosis, Salmonella, pseudomonas,
Candida, dan Proteus sp. Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi
sebagai akibat lanjut septikemi atau endokarditis akibat S. aureus.
Kelainan ginjal yang terkait dengan endokarditis (S. aureus) dikenal
Nephritis Lohein. Beberapa penelitian melaporkan pielonefritis akut
(PNA) sebagai akibat lanjut invasi hematogen (Israr, 2009;Sukandar,
2004).
c. Dispepsia
Peningkatan asam lambung atau sensitivitas mukosa lambung
terhadap asam lambung bertanggung jawab untuk terjadinya
gangguan lambung (Sanusi, 2011). Asam yang dihasilkan karena
infeksi H. pylori dan penggunaan OAINS merupakan faktor
independen yang berkontribusi terhadap gangguan integritas mukosa
(Berardi and Welage, 2008). Penggunaan OAINS dapat
mengakibatkan pembentukan HCO₃- menurun yang berarti proteksi
terhadap mukosa juga menurun serta menghambat efek inhibisi
sekresi asam. Selain itu, OAINS dapat menyebabkan kerusakan
mukosa secara lokal dengan aksi difusi non ionik pada sel mukosa. H.
pylori mampu bertahan dalam suasana asam. Hal tersebut
dimungkinkan karena H. pylori mempunyai kemampuan membentuk
senyawa urease khusus yang membantdalam pembentukan CO₂, NH₃
dan HCO₃ serta NH₄⁺ sehingga mampu menjadi dapar terhadap ion
H⁺ (Sanusi, 2011).
3. Terapi Farmakologi dan Nonfarmakologi
a. Diabetes Militus
1) Terapi Non – Farmakologis
a) Edukasi
Persepsi yang baik dengan cara memberikan pendidikan atau
edukasi yang baik tentang kesehatan pasien, upaya tersebut
merupakan pencegahan agar tidak terjadinya komplikasi.
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu
dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan
merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM
secara holistik (PERKENI, 2015). DM merupakan suatu
penyakit kronis yang memerlukan perilaku manajemen diri
khusus seumur hidup. Perawat memainkan peran penting
dalam mengidentifikasi pasien yang menderita diabetes,
mengkaji keterampilan perawatan diri pasien DM,
memberikan pendidikan kesehatan dasar kepada pasien DM,
mendukung penyuluhan yang diberikan oleh spesialis dan
merujuk pasien untuk menjalani perawatan tindak lanjut
setelah pulang (Bruner & Sudarth, 2016).
b) Terapi Nutrisi
Tujuan terapi nutrisi untuk orang dewasa dengan diabetes
adalah untuk mempromosikan dan mendukung pola makan
sehat dalam mencapai dan mempertahankan berat badan,
glikemik, tekanan darah, dan tujuan lipid sambil mengatasi
masalah individu, termasuk akses ke makanan sehat,
preferensi pribadi dan budaya, dan faktor lainnya (ADA,
2018). Tujuan nutrisi adalah untuk mencapai dan
mempertahankan kadar glukosa darah dan tekanan darah
dalam kisaran normal (atau seaman mungkin mendekati
normal) dan profil lipid dan lipoprotein yang menurunkan
risiko penyakit vaskuler, mencegah, atau setidaknya
memperlambat, munculnya komplikasi kronik; memenuhi
kebutuhan nutrisi individu; dan menjaga kepuasan untuk
makan hanya pilihan makanan yang terbatas ketika bukti
ilmiah yang ada mengindikasikan demikian (Bruner &
Sudarth, 2016). Rencana makan harus mempertimbangkan
pilihan makan pasien, gaya hidup, waktu biasanya pasien
makan, dan latar belakang etnis serta budaya pasien (Bruner
& Sudarth, 2016). Serta, bagi pasien yang membutuhkan
insulin untuk membantu mengontrol kadar gula darah,
diperlukan konsistensi dalam mempertahankan jumlah kalori
dan karbohidrat yang dikonsumsi pada setiap sesi makan
(Bruner & Sudarth, 2016).
c) Latihan jasmani
Mafaat olahraga sama bagi setiap orang, dengan atau tanpa
DM: meningkatkan kebugaran fisik, memperbaiki keadaan
emosional, pengendalian berat badan, dan meningkatkan
kapasitas kerja. Pada penyandang DM, olahraga
meningkatkan ambilan glikosa oleh sel otot, yang
kemungkinan mengurangi kebutuhan akan insulin. Olahraga
juga mengurangi kolestrol dan trigliserida, yang mengurangi
risiko penyakit kardiovaskular. Penyandang DM harus
berkonsultai dengan tenaga kesehatan primer sebelumnya
memulai atau menganti program olahraga. Kemampuan untuk
mempertahankan program olahraga dipengaruhi oleh banyak
faktor yang berbeda, termasuk keletihan dan kadar glukosa
(LeMone, 2016). Program olahraga untuk penyandang DM
tipe 2 amat penting. Manfaat olahraga teratur meliputi:
menurunkan berat badan pada mereka yang kelebihan berat
badan, memperbaiki kontrol glikemik, meningkatkan
kesejahteraan, bersosialisasi dengan orang lain, dan
mengurangi faktor risiko kardiovaskular. Kombinasi diet,
olahraga, dan penurunan berat badan sering kali menurunkan
kebutuhan akan agens hipoglikemik oral. Penurunan ini
disebabkan oleh peningkatan sensivitas terhadpa insulin,
peningkatan pengeluaran kkal, dan peningkatan harga diri.
Olahraga teratur dapat mencegah DM tipe 2 pada individu
berisiko tinggi (ADA, 2009 dalam Le Mone, 2016).
2) Terapi farmakologis
Untuk mengetahui persepsi pasien terhadap terapi farmakologis
maka yang dilakukan seorang perawat dengan cara mengedukasi
tentang obat dengan 7 benar pada obat yaitu: benar pasien, benar
obat, benar dosis, benar waktu, benar pemberian, benar
dokumentasi dan benar informasi. Ketika pasien mengetahui
tentang 7 benar obat, maka tidak akan terjadinya komplikasi
sehingga kualitas hidup pasien DM akan meningkat.
a) Obat – Obat Diabetes Melitus
Menurut (Perkeni, 2015) Terapi farmakologis terdiri dari obat
oral dan bentuk suntikan. Berdasarkan cara kerja, Obat
Antihiperglikemia Oral dibagi menjadi 5 golongan, yaitu: 1)
Pemacu sekresi insulin (Insulin Seretagogue), yang termasuk,
yaitu: Sulfonilurea dan Gilinid. 2) Peningkatan Sensivitas
terhadap insulin, yang termasuk obat : Metfotrmin dan
Tiazolidindion (TZD). 3) Penghambat Absorpsi Glukosa di
saaluran pencernaan. 4) Penghambat DPP – IV (Dipeptidly
Peptidose –IV. dan 5) Penghambat SGLT – 2 (Sodium
Glucose Contransporter. Dan Obat Antihiperglikemia Suntik,
seperti: Insulin, jenis – jenis insulin menurut (Black, 2014)
yaitu Kerja cepat (Rapid – acting insulin), Insulin kerja
pendek (Short –acting insulin), Insulin kerja menengah
(Intermediate –acting insulin), dan Insulin kerja panjang
(Long – acting insulin).
b) Monitoring Farmakologis
Monitoring DM menurut (Perkeni, 2015), yaitu: Pemeriksaan
Kadar Glukosa Darah, pemeriksaan HbA1c, peemantauan
Glukosa Darah Mandiri (PGDM) Untuk memantau dan
mencapai kontrol metabolik dan mengurangi bahaya
hipoglikemia (Le Mone, 2016), Glycated Albumin (GA)
digunakan untuk menilai indeks kontrol glikemik yang tidak
dipengaruhi oleh gangguan metabolisme hemoglobin dan
masa hidup eritrosit seperti HbA1c merupakan indeks kontro
glikemik jangka panjang (2-3 bulan). Sedangkan proses
metabolik albumin terjadi lebih cepat daripada hemoglobin
dengan perkira 15 – 20 hari sehingga GA merupakan indeks
kontrol glikemik jangka pendek. Beberapa gangguan seperti
sindrom nefrotik, pengobatan steroid, severe obesitas dan
gangguan fungsi tiroid dapat mempengaruhi albumin yang
berpotensi mempengaruhi nilai pengukuran GA (Perkeni,
2015).
b. Infeksi Saluran Kemih
1) Terapi Farmakologi
Pengobatan ISK secara klinis umumnya menggunakan antibiotik
dan dibedakan berdasarkan klasifikasi ISK. Klasifikasi ISK
berdasarkan gejalanya dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
a) ISK ringan tanpa komplikasi (sistitis)
b) Pielonefritis tanpa komplikasi, yaitu infeksi yang melibatkan
ginjal dan merupakan infeksi saluran atas
c) Komplikasi ISK dengan atau tanpa pielonefritis
d) Urosepsis
e) Uretritis
f) Prostratis, epididimitis, orsitis.
(Ariwijaya dan Suwitra, 2007;Naber et al., 2001)
Pengobatan pasien ISK tanpa komplikasi akut sistitis pada
wanita premenopous menggunakan fosfomisin trometamol,
nitrofurantoin, dan pivmesilinam. Sebagai alternatif diberikan
siprofloksasin, levofloksasin, norfloksasin, ofloksasin. Jika
diketahui terjadi local resisten E. coli kurang dari 20%, maka
diberikan trimetoprim dan sulfametoksazol. Penggunaan yang
tepat diberikan pada dosis dan lama pemberian seperti yang
ditunjukan tabel 2.1 (Grabe et al,, 2014).
2) Terapi non-farmakologi
Asupan jus cranberry dalam volume besar telah dikaitkan dengan
penurunan jumlah ISK selama periode satu tahun pada pasien
dengan rekuren ISK dalam uji coba randomized control. Efikasi
tidak pasti pada populasi umum dan dengan volume asupan yang
lebih kecil. Probiotik seperti Lactobacillus spp. telah digunakan
untuk menurunkan pH vagina pada wanita dan berpotensi
mengurangi pertumbuhan bakteri patogen. Terapi penggantian
estrogen topikal secara signifikan menurunkan kejadian ISK pada
wanita pascamenopause dibandingkan dengan placebo (Rose dan
Matthias, 2013).
c. Dispepsia
1) Terapi non farmakologi
a) Istirahat yang cukup dan meminimalisir stress
b) Mengurangi penggunaan OAINS dan rokok
c) Menghindari makanan dan minuman yang memperparah
gejala tukak dan merangsang sekresi asam seperti makanan
pedas, asam, mengandung alkohol, kafein. (Priyanto, 2009)
2) Terapi farmakologi
Obat-obat anti sekretori dan pelindung mukosa dapat
mempercepat penyembuhan gangguan lambung. Beberapa jenis
obat yang dapat digunakan untuk menyembuhkan gangguan
lambung :
a) Proton pump inhibitors (PPIs)
PPIs bekerja hampir sepenuhnya menghambat sekresi asam
lambung dengan berikatan kovalen dengan H⁺-K⁺-ATPase
atau proton pump dalam aspek lumen dari membran sel
parietal. Penyembuhan tukak biasanya membutuhkan waktu 2
minggu dan paling lama 4 minggu. PPIs merupakan obat
pilihan untuk terapi tukak peptik karena aman, memiliki
sedikit efek samping, dan memberikan kesembuhan yang
lebih cepat pada tukak peptik dibanding H₂ antagonis
(Avunduk, 2008). Semua jenis PPIs dimetabolisme di hati.
PPIs meningkatkan pH lambung dan mungkin dapat
menurunkan bioavailabilitas obat yang memerlukan asam
lambung untuk absorbsinya (Wecker et al., 2010).
b) H₂ reseptor antagonis
H₂ reseptor antagonis adalah agen yang memblok reseptor
histamin pada sel parietal. Histamin merupakan stimulan yang
poten dari sekresi asam lambung sehingga H₂ reseptor
antagonis dapat secara efektif menghambat sekresi asam
lambung. H₂ antagonis tidak hanya menghambat stimulasi
histamin dalam sekresi asam, namun juga menghambat
stimulasi asam oleh saraf vagus (asetilkolin) dan lambung
(Avunduk, 2008). Obat jenis H₂ antagonis terutama
diekskresikan lewat urin sehingga perlu pengurangan dosis
untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Semua obat jenis
H₂ antagonis dapat meringankan gejala tukak peptik seperti
nyeri epigastrum dan memberikan kesembuhan pada tukak
(Wecker et al., 2010).
c) Sukralfat
Penguat mukosa seperti sukralfat melindungi tukak dari asam
lambung. Sukralfat juga menghambat pepsin, mengikat garam
empedu, dan menstimulasi produksi prostaglandin untuk
pelindung mukosa. Efektivitas sukralfat dalam
menyembuhkan tukak peptik sama dengan H₂ reseptor
antagonis dengan sedikit efek samping (Wecker et al., 2010).
d) Analog prostaglandin
Misoprostol meningkatkan mukus, sekresi bikarbonat, dan
aliran darah mukosa serta menghambat pergantian sel mukosa
yang dapat meningkatkan pertahanan mukosa. Misoprostol
memiliki efek sebagai anti sekretori dan efek pertahanan
mukosa lambung dan duodenum. Namun efek terapi
prostaglandin utamanya sebagai stimulasi mekanisme
pertahanan mukosa (Wecker et al., 2010).
e) Bismuth
f) Bismuth memiliki aktivitas anti bakteri secara langsung
terhadap H. pylori dan dapat digunakan untuk eradikasi
bersamaan dengan antibiotik lain(Sanusi, 2011). Sukralfat dan
bismuth harus digunakan dalam keadaan lambung kosong
karena dapat membentuk kompleks dengan protein makanan
(Neal, 2007).
g) Antasida
Antasida efektif untuk meringankan gejala tukak (Avunduk,
2008). Antasida dapat meningkatkan pH lumen lambung yang
berakibat pada peningkatan kecepatan pengosongan lambung
sehingga efek dari antasida menjadi lebih singkat (Neal,
2007).
B. Paparan Kasus
SUBJEK
Nama Pasie : Mr. Dj
Umur : 64 Tahun, 4 Bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
OBJEK
Keluhan utama :
Demam sejak kemarin sore, nyeri perut bawah, menggigil, BAK anyang-anyangen.
Keluhan selama perawatan :
Lemas, demam, pusing, diare, ngliyer,
menggigil, Mual, muntah, dada agak sakit
Batuk
Riwayayat penyakit :
DM tipe 2, GEA, ISK, Dispepsia
Riwayat pengobatan :
NOVOrapid 3x8 iU, Ulsafat 3x10cc, Lansoprazol 0-0-1, Ranitidin 2x1
Tanda vital :
Sinus takikardia, RBBB, Prewave abnormal,
konsisten dengan anterolateral iskemia.
Hasil Pemeriksaan :
Assessment Drug Related Problem

No
Masalah Medik S O A
.
RBBB (Righ Hasil EKG Komfirmasi RBBB apakah tidak memerlukan terapi? Kasus RBB
1. bundle brunch abnormal memang tidak semuanya memerlukan terapi hanya yang simtomatik
block) dan mengganggu saja
GDS 229 Insulin 3x8 IU belum akurat dimana setelah pemberian dosis GDA
2. DM setelah fixed masih 229 mg/dl, target GDA <180 mg/dl pada DM dengan infeksi
dosis 3x8 IU (pasien diagnose ISK)
Nyeri perut Leukosit, Durasi terapi ceftriaxon masuk hari ke 3 (durasi minimal 7 hari)
3. ISK bagian bawah, urinase kemudian tidak mendapat swech terapi oral untuk obat di bawah
anyang-anyangan pulang
Obat digunakan dan ditakar sendiri oleh pasien atau keluarga
4. Sukralfat
Edukasi cara penggunaan dan menakar sirup
Mual Terapi: ulsafat, ranitidine, omeprazol
Pasien mengalami yspepsia, diare menyebabkan dispepesia
5. Dispepsia
semakin parah karena asam lambung semakin banyak diproduksi
saat peristaltic usus.
BAB 10x Terapi sudah tepat, pasien GA mengeluh diare pada awal masuk,
6. Diare
namun membaik dengan terapi arcapec 2x2 tablet.
Rencana Asuhan Kefarmasian
No Masalah Medik Assesment Plan
Belum mendapat terapi Komfirmasi kepada dokter DPJP apakah perlu konsultasi
1. RBB
kepada dokter SP jantung
Terapi insulin belum adekuat target Rekomendasikan peningkatan dosis insulin menjadi 3x20 IU
2. DM 140-180 mg/dl Merekomdeasikan monitoring GDS, GDP, GD2PP untuk
mengetahui kebutuhan regimen yang sesuai untuk pasien
Durasi terapi seftrikson masuk hari Merokemdasikan penambahan obat pulang cefixim 2x1 tablet
ketiga (durasi minimal 5 hari) untk 4 hari
3. ISK kemudian tidak mendapat switch
terapi oral untuk obat dibawah
pulang
Kombinasi H2 antagonis dan PPI Merekomendasikan pemberian omeprazol tunggal tanpa
merupakan kombinasi yang bagus, ranitidin jika dispepsia sudah membaik.
4. Dispepsia pemakaian tergantung klinis pasien Monitoring tanda-tanda dispepsia : mual, muntah, rasa tidak
jika klinis dipepsia ringan bisa nyaman diperut atau ulu hati
menggunakan PPI saja Edukasi obat pulang
C. Pembahasan
Pada pesien ini ditemukan beberapa faktor resiko sebagai pencetus DM
diantara adalah usia >40 tahun, IMT sebelum adanya riwayat DM. >23 kg/m 2.
Hipertensi, dan adanya riwayat DM pada garis keturunan.
Pada pasien ditemukan gejala klasik atau khas DM seperti glukosa darah
sewaktu ≥200 mg/dl maka itu sudah cukup untukmenegakkan diagnosis DM.
Penatalaksanaan DM dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani
selama bebrapa waktu (2-4 minggu) apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran dilakukan interfensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan suntikan insulin. Pada keadaan tertentu OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi sesuai indikasi. Dalam
keadaan dekompensasi metabolic berat, misalnya ketoasidosis, stress berat,
berat badan menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan.
Pentalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini yang pertama adalah
edukasi, dimana pasien diberitahukan tentang bagaimana pengendalian dan
pemantauan DM, penyulit DM, latihan jasmani secara teratur serta edukasi
diet yang seimbang yang kedua adalah terapi gizi medic sesuai kebutuhan
dilihat berdasarkan status gizi pasien. Yang ketiga adalah latihan jasmani.
Latihan jasmani yang dilakukan pasien ini adalah jalan kaki, selama 30 menit
dengan frekuensi 3 kali seminggu dan penatalaksanaan terakhir yang
dilakukan pasien ini adalah dengan interfenis farmakologis. Diberikan
noporavid untuk menurunkan gula darah pada pasien ini. Masalah yang
ditemukan pada pasien ini selain DM adalah dispepsia dan ISK.
Dispepsia lebih banyak diderita perempuan daripada laki-laki dikarenakan
dispepsia sangat berhubungan dengan pola makan, gaya hidup, stres, obat
penghilang nyeri maupun akibat infeksi oleh Helycobacter pylori. Stres dapat
mempengaruhi fungsi hormon yaitu hormon adrenalin, kortisol dan
norepinephrine yang dapat meningkatkan sekresi asam lambung,
meningkatkan gerakan peristaltik saluran pencernaan sehingga dapat
menyebabkan keluhan dispepsia pada akhirnya. Nyeri epigastrium merupakan
gejala klinik yang paling banyak ditemukan. Hal ini disebabkan oleh kelainan
organ dalam rongga abdomen kelainan yang muncul akibat dari
mengkonsumsi makanan yang pedas ataupun berminyak sediaan yang paling
banyak digunakan adalah tablet. Pada umumnya penggunaan obat secara oral
lebih banyak digunakan dibandingkan dengan sediaan topikal, karena
penggunaan obat melalui oral yang paling menyenangkan, murah,
penggunaannya mudah dan paling aman
Bentuk sediaan tablet paling sering digunakan karena lebih 50% bentuk
sediaan tablet yang paling banyak beredar di pasaran. Pada tablet untuk
dispepsia mengandung bahan aktif lansoprazole,omeprazole. Berdasarkan sifat
fisikokimia dari bahan aktif tersebut, bentuk sediaan tablet yang merupakan
pilihan terbaik bagi formulator. Hal ini disebabkan karena tablet dapat
digunakan untuk semua bahan yang memiliki kelarutan kurang, lebih aman
dan stabil pada penyimpanan, dan untuk penggunaan pada pasien lebih
beragam, bisa langsung ditelan atau dikunyah terlebih dahulu. Obat-obat yang
paling sering digunakan golongan Pump Proton Inhibitor yaitu lansoprazole
dan omeprazole karena efektivitasnya sangat berasa dalam menghambat
sekresi asam lambung. Pada kasus ini gejala yang paling banyak dirasakan
oleh pasien yaitu nyeri epigastrium, pemberian lansoprazole dan omeprazole
digunakan untukmengurangi gejala yang dirasakan. Lansoprazole, omeprazole
digunakan sebagai terapi pemeliharaan dalam waktu yang pendek, karena jika
digunakan dalam waktu yang lama akan menambah jumlah bakteri yang dapat
hidup didalam lambung tersebut. Untuk penggunaan obat ranitidin dan
antasida sering dijadikan terapi kombinasi pada pengobatan gastritis,
dikarenakan kombinasi ranitidin dan antasida berperan dalam menetralkan
asam lambung sehingga dapat mengurangi keluhan nyeri yang dialami pasien
Antasida bekerja dengan cara menetralkan asam dan mematikan pepsin.
Antasida tersebut merupakan kombinasi magnesium hidroksida dan
alumunium hidroksida, perpaduan dari dua zat ini dapat menghindari efek
samping dari masing-masing zat aktif tersebut dimana efek laksatif atau
pencahar dari magnesium hidroksida akan mengurangi efek sembelit dari
alumunium hidroksida. Sukralfat merupakan jenis golongan obat sitoprotektif
yaitu dengan membentuk suatu kompleks yang berbentuk gel dan membran
mukus oleh pepsinogen. Tujuan penggunaan sukralfat untuk dapat
mengurangi atau mencegah kekambuhan jika digunakan dalam terapi dalam
waktu yang lama ( Restu Gusti Mulandari, dkk, 2020: 19-23).
Sedangkan pada ISK efek terapi tidak optimal karena ceftriaxone
merupakan obat antibiotik gol Sefalosforin yang merupakan antibiotika
betalaktam dengan struktur, khasiat dan sifat yang banyak mirip dengan
penisilin. Penggunaannya sebagian besar dari sefalosporin perlu diberikan
parenteral dan terutama digunakan di Rs. (Tjay, 2007). Penggunaan
Cftriaxone secara intavena dengan durasi 12 jam yaitu 2g (Bahrudin, 2019).
Indikasi : infeksi yang disebabkan oleh pathogen yang sensitif terhadap
ceftriaxon dalam kondisi sepsis, meningitis, infeksi abdomen, peritonitis,
infeksi kandung empedu, dan saluran pencernaan, infeksi tulang, persendian
dan jaringan lunak, pencegahan infeksi pra bedah, infejksi ginjal dan saluran
kemih, infeksi saluran pernapasan, terutama pnemonia, infeksi THT, infeksi
kelamin(gonorhea). Dosis isk : 1-2 gram perhari iv or im Lama terapi 4-14
hari (infeksi komplikasi) dan 10 hari untuk infek streptococus (drugs.com)
(basaic pharmacology and drug notes edisi 2017)
DAFTAR PUSTAKA
Decroli, Eva. 2019. Diabetes Militus Tipe 2. Padang : Pusat Penerbitan Bagian
Ilmu Penyakit Dalam
Suwarto, dkk. 2014. Annual Tropical disease Meeting (ATDM). Jakarta Pusat :
Pusat Penerbit Bagian Ilmu Penyakt Dalam
Simadibrata, dkk. 2014. Konsensus Nasional Panatalaksana Dispepsia dan
Infeksi Helicobacter Pylori. Jakarta
Restyana Noor F. 2015. Diabetes Milutus Tipe 2. Medical faculty. 4(5). 94
Yusriani Mangarengi, Devi Regina Octavia. 2019. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Komplikata Di Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar. UMI Medical Journal. 3(2).
130
Lili Musnelina, Dewa Gede Agung. 2019. Profil Kesesuaian Terapi Obat
Dispepsia Terhadap Formularium Pada Pasien Rawat Jalan Rumah Sakit T.. IV
Cijantung Jakarta, Jakarta Timur, Periode Januari – Desember 2016. Saintech
Farma.12(2). 111
Restu Gusti Mulandari, Armini Hardiyanti, Rahmadevi. 2020. Pola Penggunaan
Obat Pada Pasien Dispepsia Rawat Jalan Di RSUD H. Adul Manap Kota Jambi.
Jurnal Ilmiah Farmasi. 9(2). 19-23
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai