1 DEFINISI
Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup
keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari luar paru (metastasis tumor
di paru). Namun dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan kanker paru adalah kanker paru
primer, yaitu tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus
(bronchogenic carcinoma).
2 EPIDEMIOLOGI
Kanker paru masih menjadi salah satu keganasan yang paling sering,berkisar 20%
dari seluruh kasus kanker pada laki-laki dengan risiko terkena 1 dari 13 orang dan 12% dari
semua kasus kanker pada perempuan dengan risiko terkena 1 dari 23 orang. Di Inggris rata-
rata 40.000 kasus baru dilaporkan setiap tahun. Perkiraan insidensi kanker paru pada laki-laki
tahun 2005 di Amerika Serikat adalah 92.305 dengan rata-rata 91.537 orang meninggal
karena kanker.19 American Cancer Society mengestimasikan kanker paru di Amerika Serikat
pada tahun 2010 sebagai berikut :20- Sekitar 222.520 kasus baru kanker paru akan
terdiagnosa (116.750 oranglaki-laki dan 105.770 orang perempuan).
Estimasi kematian karena kanker paru sekitar 157.300 kasus (86.220 pada laki-laki
dan 71.080 pada perempuan), berkisar 28% dari semua kasus kematian karena kanker. Risiko
terjadinya kanker paru sekitar 4 kali lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan dan
risiko meningkat sesuai dengan usia: di Eropa insidensi kanker paru 7 dari 100.000 laki-laki
dan 3 dari 100.000 perempuan pada usia 35 tahun, tetapi pada pasien >75 tahun, insidensi
440 pada laki-laki dan 72 pada perempuan. Variasi insidensi kanker paru secara geografik
yang luas juga dilaporkan dan hal ini terutama berhubungan dengan kebiasaan merokok yang
bervariasi di seluruh dunia.19 Di Indonesia data epidemiologi belum ada. Di Rumah Sakit
Persahabatan jumlah kasus tumor ganas intratoraks cukup sering ditemukan. Kekerapan
kanker paru di rumah sakit itu merupakan 0.06% dari jumlah seluruh penderita rawat jalan
dan 1.6% dari seluruh penderita rawat inap.
1
3. FAKTOR RISIKO DAN ETIOLOGI KANKER PARU
Banyak penelitian menyatakan bahwa merokok merupakan penyebab utama kanker
paru, dengan periode laten antara dimulainya merokok dengan terjadinya kanker paru adalah
15-50 tahun. Selain itu, jumlah pack rokok dalam 1 tahun yang dihabiskan dan usia
dimulainya merokok, sangat erat dihubungkan dengan risiko terjadinya kanker paru. Variasi
geografik dan pola dari insidensi kanker paru baik pada laki-laki maupun perempuan
berhubungan dengan kebiasaan merokok. Di Asia kebiasaan merokok masih tinggi, tetapi
angka kebiasaan merokok pada laki-laki berkurang. Angka kebiasaan merokok pada
perempuan Asia masih rendah, tetapi sekarang semakin meningkat pada perempuan-
perempuan usia muda.21 Penyebab lain dari kanker paru adalah polusi udara, paparan
terhadap arsen, asbestos, radon, chloromethyl ethers, chromium, mustard gas, penghalusan
nikel, hidrokarbon polisiklik, beryllium, cadmium, dan vinyl chloride. Insidensi kanker paru
yang lebih tinggi juga ditemukan pada industri-industri gas-batu bara, proses penghalusan
logam. Predisposisi genetik juga memegang peranan dalam etiologi kanker paru.
a. Merokok
Menurut Van Houtte, merokok merupakan faktor yang berperan paling penting, yaitu
85% dari seluruh kasus ( Wilson, 2005). Rokok mengandung lebih dari 4000 bahan kimia,
diantaranya telah diidentifikasi dapat menyebabkan kanker. Kejadian kanker paru pada
perokok dipengaruhi oleh usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang diisap setiap hari,
lamanya kebiasaan merokok, dan lamanya berhenti merokok (Stoppler,2010).
b. Perokok pasif
Semakin banyak orang yang tertarik dengan hubungan antara perokok pasif, atau
mengisap asap rokok yang ditemukan oleh orang lain di dalam ruang tertutup, dengan risiko
terjadinya kanker paru. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pada orang-orang
yang tidak merokok, tetapi mengisap asap dari orang lain, risiko mendapat kanker paru
meningkat dua kali (Wilson, 2005). Diduga ada 3.000 kematian akibat kanker paru tiap tahun
di Amerika Serikat terjadi pada perokok pasif (Stoppler,2010).
c. Polusi udara
2
Kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara, tetapi pengaruhnya
kecil bila dibandingkan dengan merokok kretek. Kematian akibat kanker paru jumlahnya dua
kali lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Bukti statistik
juga menyatakan bahwa penyakit ini lebih sering ditemukan pada masyarakat dengan kelas
tingkat sosial ekonomi yang paling rendah dan berkurang pada mereka dengan kelas yang
lebih tinggi. Hal ini,sebagian dapat dijelaskan dari kenyataan bahwa kelompok sosial
ekonomi yang lebih rendah cenderung hidup lebih dekat dengan tempat pekerjaan mereka,
tempat udara kemungkinan besar lebih tercemar oleh polusi. Suatu karsinogen yang
ditemukan dalam udara polusi (juga ditemukan pada asap rokok) adalah 3,4 benzpiren
(Wilson, 2005).
e. Diet
Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi terhadap betakarotene,
selenium, dan vitamin A menyebabkan tingginya risiko terkena kanker paru (Amin, 2006).
f. Genetik
Terdapat bukti bahwa anggota keluarga pasien kanker paru berisiko lebih besar
terkena penyakit ini. Penelitian sitogenik dan genetik molekuler memperlihatkan bahwa
mutasi pada protoonkogen dan gen-gen penekan tumor memiliki arti penting dalam timbul
dan berkembangnya kanker paru. Tujuan khususnya adalah pengaktifan onkogen (termasuk
juga gen-gen K-ras dan myc) dan menonaktifkan gen-gen penekan tumor (termasuk gen rb,
p53, dan CDKN2) (Wilson, 2005). g. Penyakit paru Penyakit paru seperti tuberkulosis dan
penyakit paru obstruktif kronik juga dapat menjadi risiko kanker paru. Seseorang dengan
penyakit paru obstruktif kronik berisiko empat sampai enam kali lebih besar terkena kanker
paru ketika efek dari merokok dihilangkan (Stoppler, 2010).
4. MANIFESTASI KLINIS
3
Manifestasi klinis baik tanda maupun gejala kanker paru sangat bervariasi. Faktor-
faktor seperti lokasi tumor, keterlibatan kelenjar getah bening di berbagai lokasi, dan
keterlibatan berbagai organ jauh dapat mempengaruhi manifestasi klinis kanker paru.22
Manifestasi klinis kanker paru dapat dikategorikan menjadi :
4
Kira-kira 10-20% pasien kanker paru mengalami sindroma paraneoplastik. Biasanya
hal ini terjadi bukan disebabkan oleh tumor, melainkan karena zat hormon/peptida yang
dihasilkan oleh tumor itu sendiri. Pasien dapat menunjukkan gejala-gejala seperti mudah
lelah, mual, nyeri abdomen, confusion, atau gejala yang lebih spesifik seperti galaktorea
(galactorrhea). Produksi hormon lebih sering terjadi pada karsinoma sel kecil dan beberapa
sel menunjukkan karakteristik neuro-endokrin. Peptida yang disekresi berupa
adrenocorticotrophic hormone (ACTH), antidiuretic hormone (ADH), kalsitonin, oksitosin
dan hormon paratiroid. Walaupun kadar peptide-peptida ini tinggi pada pasien-pasien kanker
paru, namun hanya
sekitar 5% pasien yang menunjukkan sindroma klinisnya. Jari tabuh (clubbing finger) dan
hypertrophic pulmonary osteo-arthropathy (HPOA) juga termasuk manifestasi non metastasis
dari kanker paru. Neuropati perifer dan sindroma neurologi seperti sindroma miastenia
Lambert-Eaton juga dihubungkan dengan kanker paru.
5
5. GAMBARAN KLINIS KANKER PARU
Pada fase awal kebanyakan kaner paru tidak menunjukkan gejala-gejala klinis. Bila
sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut :
Gejala-gejala dapat bersifat :
Lokal (tumor tumbuh setempat ):
- Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis.
6
- Hemoptisis
- Mengi (wheezing,stridor) karena ada obstruksi saluran napas
- Kadang terdapat kavitas seperti abses paru
- Atelektasis
Invasi local :
- Nyeri dada
- Dispnea karena efusi pleura
- Invasi ke pericardium terjadi tamponade atau aritmia
- Sindrom vena cava superior
- Sindrom Horner (Facial anhidrosis,ptosis,miosis)
- Suara serak, karena penekanan pada nervus laryneal recurrent
- Sindrom pancoast, karena ivasi pada pleksus brakialis dan saraf simpatis servikalis
Gejala Penyakit Metastasis:
- Pada otak, tulang, hati, adrenal
- Limfadenopati servikal dan supraklavikula (sering menyertai metastasis)
Sindrom Paaneoplastik : Terdapat pada 10% kanker paru, dengan gejala :
- Sistemik : penurunan Berat Badan, anoreksia, demam
- Hematologi : Leukositosis, anemia, hiperkoagulasi
- Hipertrofi osteoartropati
- Neurologik : demam, ataksia, tremor, neuropati perifer
- Neuromiopati
- Endokrik : Sekresi berebihan hormon paratiroid (hiperkalsemia)
- Dermatologik : eritema multiform, hiperkeratosis, jari tabuh
- Renal : Syndrome of Inappropriate andiuretic hormone (SIADH)
6. DIAGNOSIS
Langkah pertama adalah secara radiologis dengan menentukan apakah lesi intra
torakal tersebut sebagai tumor jinak atau ganas. Bila fasilitas ada dengan teknik Positron
Emission Tomography (PET) dapat dibedakan antara tumor jinak dan ganas serta untuk
menentukan staging penyakit. Kemudian tentukan apakah letak lesi sentral atau perifer , yang
bertujuan untuk menentukan bagaimana cara pengambilam jaringan tumor. Untuk lesi yang
letaknya perifer, kombinasi bronkoskopi dengan biopsy, sikatan, bilasan, transtorakal
biopsy/aspirasi dan tuntnan USG atau CT scan akan memberikan hasil yang lebih baik.
Sedangkan untuk lesi sentral, langkah pertama sebaiknya dengan pemeriksaan sitologi
7
sputum diikuti bronkoskopi fleksibel. Secara radiologis dapat ditentukan ukuran tumor (T),
kelenjar getah bening torakal (N) dan metastasis ke organ lain (M).
8
tumor yang banyak bermetastasis ke paru-paru berturut-turut adalah, Chorio Carcinoma
(80%), Osteo Sarcoma (75%); kanker ginjal (70%), kanker tiroid (50%)
Sedangkan gambaran yang ditimbulkannya bisa sebagai nodul soliter yang ditimbulkannya
bisa sebagai nodul soliter yang sering terdapat pada kolon, kanker ginjal, kanker testis,
kanker payu dara, sarkoma dan melanoma. Tetapi gambaan terbanyak (75%) adalh lesi
multiple. Metastasis ke paru jarang memberikan keluhan atau gejala, misalnya btauk atau
hemoptisis, karena lesi metastasis jarang menginvasi bronkus. Keluhan yang sering terjadi
adalah sesak.
Masalah bisa timbul bila didapatkan nodul soliter pada pasien yang diketahui menderita
kanker pada tempat lain. Biasanya nodul soliter tersebut dianggap kanker paru primer,
apalagi bila pasien berusia lebih dari 35 tahun dan faktornya risikonya tinggi.
8. PENGOBATAN
TUJUAN PENGOBATAN KANKER
- KURATIF : Menyembuhkan atau memperpanjang masa bebas penyakit dan
meningkatkan angka harapan hidup pasien.
- PALIATIF : Mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup
- Rawat Rumah (Hospice Care) pada kasus terminal: Mengurangi dampak fisik
maupun psikologiskanker baik pada pasien maupun keluarga.
- SUPORTIF : Menunjang pengobatan kuratif paliatif dan terminal seperti
pemberian nutrisi, transfusi darah dan komponen darah, growth factors obat anti
nyeri dan obat anti infeksi.
Terdapat beda fundamental perangkai biologis Non Small Cell Lung Cancer
(NSCLC) dengan Small Cell Lung Cancer (SCLC) sehingga pengobatan harus
dibedakan
NSCLC
Staging TNM yang didasarkan ukuran Tumor (T) kelenjar getah bening yang terlibat
(N) dan ada tidaknya metastasis bermanfaat sekali dalam menentukan tatalaksana NSCLC
ini. Staging dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dengan perhatian
khusus kepada keadaan sistemik, kardio pulmonal, neurologi dan seletal. Hitung jenis sel
darah tepi dan pemeriksaan kimia darah diperlukan untuk mencari kemungkinan adanya
metastase ke SST, hati, dan tengkorak.
9
Pengobatan NSCLC. Terapi bedah adalah pilihan utama pada stadium I atau II pada
pasien dengan sisa cadangan parenkim parunya yang adekuat. Reseksi paru biasanya di
toleransi baik bila prediktif “post reseksi FEV” yang didapatkan dari pemeriksaan spirometri
preoperatif dan kuantitaif ventilasi perfusi scanning melebihi 1000 ml. Luasnya penyebaran
intra torakal yang ditemui saat operasi menjadi pegangan luas saat prosedur operasi yang
dilaksanakan. Survival pasien yang dioperasi pada stadium I mendekati 60%, pada stadium II
26-37% dari II a 17-36,3%. Pada stadium III A masih ada kontrovesi mengenai keberhasilan
operasi bila kelenjar mediastinum ipsilateral atau dinding torak terdapat metastasis.
Pasien stadium III b dan IV tidak dioperasi Combined Modality Therapy yaitu
gabungan radiasi, kemoterapi dengan operasi (dua atau tiga modalitas) dilaporkan
memperpanjang survival dari studi-studi yang masih berlangsung.
RADIOTERAPI
Pada beberapa kasus yang inoperable, radio terapi dilakukan sebagai pengobatan
kuratif dan bisa juga sebagai terapi adjuvan/paliatif pada tumor dengan komplikasi seperti
adjuvan/paliatif pada tumor dengan komplikasi seperti mengurangi efek obstruksi/penekanan
terhadap pembuluh darah/bronkus.
Efek samping yang sering adalah disfagia karena esofagitis post radiasi, sedangkan
pneumonitis post radiasi jarang terjadi(<10%). Radiasi dengan dosis paruh yang bertujuan
kuratif secara teoritis bermanfaat pada kasus yang inoperabel tapi belum disokong data
percobaan klinis yang sahih. Keberhasilan memperpanjang survival sampai sapai 20%
dengan cara radiasi dosis paruh ini didapat dari kasus-kasus stadium I usia lanjut, kasus
dengan penyakit penyerta sebagai penyulit operasi atau pasien yang menolak dioperasi.
Pasien dengan metastasis sebatas N1-2 atau saat operasi terlihat setelah tumor sudah
merambat sebatas sayatanoperasi maka radiasi post operasi dianjurkan untuk diberikasn.
Radiasi preoperasi untuk mengecilkan tumor agar misalnya pada reseksi pada reseksi lebih
komplit pada pancoast tumor agar atau stadium III b di laporkan bermanfaat dari beberapa
sentra kanker. Radiasi paliatif, pada kasus sindrom vena cava superior atau kasus dengan
komplikasi dalam rongga dada akibat kanker seperti hemoptisis, batuk refrakter, atelektasis,
mengurangi nyeri akibat metastasis kranium dan tulang, juga amat bergana.
KEMOTERAPI
Prinsip Kemoterapi. Sel kanker memuliki sifat perputaran daur sel lebih tinggi
dibandingkan sel normal. Dengan demikian tingkat mitosis dan proloferasi tinggi. Sitostatika
kebanyakan efektif terhadap sel bermitosis. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi
10
kegagalan pencapaian target pengobatan antara lain. A) resistensi terhadap sitostatika; b)
Penurunan dosis sitostatika dimana penurunan dosis sebesar 20% akan menurunkan angka
harapan sembuh sekitar 50% c) Penurunan intensitas obat dimana jumlah obat yang diterima
selama kurun waktu tertentu kurang. Untuk mengatasi hal tersebut diatas, dosis obat harus
diberikan secara oprimal dam sesuai jadwal pemberian. Kecuali terjadi hal-hal yang jika
diberikan sitostatika akan lebih membahayakan jiwa.
Penggunaan resimen kemoterapi agresif (dosis tinggi) harus didampingi dengan
rescue sel induk darah yang berasal dari sumsum tulang atau darah tepi yang akan
menggantikan sel induk darah akibat mieloblatif. Penilaian respon pengobatan kanker dapat
dibagi menjadi lima golongan seperti : a) remisi komplit, tidak tampak seluruh tumor terukur
atau lesi terdeteksi selama lebih dari 4 minggu b) remisi parsial, tumor mengecil >50% tumor
terukur atau >50% jumlah lesi terdeteksi menghilang c) stable disease pengecilan 50% atau
<25% membesar d) progresif tampak beberapa lesi baru atau >25% membesar
e)Lokoprogresif tumor membesar di dalam radius tumor (lokal)
Kemoterapi digunakan untuk terapi baku untuk pasien mulai dari stadium III A dan
untuk pengobatan paliatif.
Kemoterapi neoadjuvan diberikan mulai dari stadium II dengan sasaran lokoregional
tumor dapat direseksi lengkap. Cara pemberian diberikan setelah terapi lokal. Terapi definitif
dengan pembedahan ,radioterapi, atau keduanya diberikan diantara siklus pemberiaan
kemoterapi.
Kemodioterapi konkomitan, bertujuan untuk meningkatkan kontrol lokoregional,
radioterapi mulai dari stage III (unresectable locoregional). Pemberian kemoterapi bersama-
sama radioterapi.
Pemilihan Obat
Kebanyakan obat sitostatik mempunya aktivitas cukup baik pada NSCLC dengan
tingkat respon antara 15-33% walaupun demikian penggunaan obat tunggal tidak mencapai
remisi komplit. Kombinasi beberapa sitostatik telahbanyak diteliti untuk meningkatkan ingkat
respons yang akan berdampak pada harapan hidup.
Mula mua resimen CAMPS yang terdiri dari siklofosfamid,doksorubisin,metotreksat,
dan prokarbasin, tingkat respons regimen ini 26%. Beberapa protokol resimen lainnya
kemudian dikembangkan dan diperbandingkan dengan CAMPS, seperti CAP memberikan
tingkat respons 26%.
11
Obat Lain
Obat obat baru saat ini telah banyak dihasilkan dan dicobakan sebagai obat tunggal
seperti paclitaxel, docetaxsel, vinorelbine,gemcitabine, dan irenotecan dengan hasil yang
cukup menjanjikan, begitu juga bila dimasukkan ke regimen lama membentuk regimen baru.
Kemoradioterapi konkomitan
Mula mula protokol yang digunakan adalah protokol dengan basis cisplatin misalnya
FP (5-Fluorouracil dan cisplatin), selanjutnya dikembangkan dengan memasukan etoposide
menjadi protokol EFP. Hasilnya dengan FP 68% menjadi komplit resectable sedangkan
dengan EFP komplit resctable menjadi 76% sementara pada EP 65% menjadi komplit
resectable.
Terapi Biologis
BCG,levabisole,interferon, dan interleukin penggunaannya dengan kombinasi
modalitas kainnya hasilnya masih kontroversial.
Terapi Gen
Akhir-akhir ini dikembangkan penyelasaran gen (Chimeric) dengan cara transplantasi
stem sel dari darah tepi maupun sumsum tulang alogenik.
12
9 PROGNOSIS
Small Cell Lung Cancer (SCLC)
• Dengan adanya perubahan terapi dalam 15-20 tahun belakangan ini kemungkinan
hidup rata-rata (median survival time) yang tadinya <3bln meningkat menjadi 1 tahun.
• Pada kelompok Limited Disease keungkinan hidup rata-rata naik menjadi 1-2 tahun,
sedangkan 20% daripadanya tetap hidup dalam 2 tahun.
• 30% meninggal karena komplikasi lokal dari tumor
• 70% meninggal karena karsinomatosis
• 50% bermetastasis ke otak (Autopsi)
10. PENCEGAHAN
Pencegahan yang terpenting adalah tidak merokok sejak usia muda. Berhenti merokok
dapat mengurangi risiko terkena kanker paru. Penelitian dari kelompok perokok yang
berudaha berhenti merokok, hanya 30% yang berhasil.
Chemoprevention banyak dilakukan yakni dengan memakai derivat asam retinoid,
carotenoid, vitamin C, selenium, dan lain-lain. Jika seseorang berrisiko terkena kanker paru
maka penggunaan beta karotek, retinol, isotretinoin ataupun N-acetyl-cystein dapat
meningkatkan risiko terkena kanker paru pada perokok. Untuk itu, penggunaan
kemopreventif ini masih perlu penelitian lebih lanjut.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Amin, Z., 2006. Kanker Paru. Dalam: Sudoyo, A.W., Setryohadi, B., Alwi, I.,
2. Simadibrata, M.K., Setiati, S. Ilmu Penyakit Dalam.Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1005-
1010.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Panduan Pelayanan Medik.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006.
4. American College of Chest Physician. Lung Cancer Guideline Consensus 2003.
5. Reif MS et al : Evidence based medicine in the treatment of Non small cell lung
cancer. Clin chest med 2000;21:107
14