Anda di halaman 1dari 3

Kembang Api

Andai saat itu aku percaya akan perkataan kakakku, apa aku akan tetap hidup?

Suatu sore di rumah yang hanya ditinggali olehku dan kakak laki-lakiku terjadi
perdebatan. Kami bertengkar karena aku mengotot untuk menonton pertunjukan
kembang api di pasar malam. Dia tak mau kalah agar aku jangan kesana.
Berbahaya katanya. Mana mungkin aku percaya, pasar malam dan kembang api
apa bahayanya?
Dia menghela nafas, mengalah. Lelah, “Terserahmu saja.”
Aku berbalik ke kamar. Menyiapkan baju yang akan kupakai dan merogoh
celenganku.
Aku menyukai kembang api. Warna-warni percikan api yang berasal dari reaksi
kimia membuatku takjub ketika melihatnya.
Malamnya aku pergi menyelinap ke pasar malam sendirian. Bakiak yang
kupakai membuat bunyi tuk tuk tuk sepanjang aku melangkah.
Saat berada di gerbang depan pasar malam, aku mendengar bunyi bip bip dari
semak semak. Ah palingan hanya mainan.
Aku terus melangkah ke pasar malam. Membeli beberapa camilan dan
menunggu di bangku yang kosong.
Bip bip bip
Bunyi itu lagi. Siapa sih yang malam malam bermain di semak semak?
Aku tak menghiraukan suara itu dan lanjut makan roti sembari menunggu
pertunjukan kembang api. Tersisa tiga menit sebelum kembang api diluncurkan.
Tersisa dua menit sebelum pertunjukan dimulai. Tanganku ditarik paksa unuk
menjauh dari kerumunan dan meninggalkan tempat itu.
“Bodoh! Apa-apaan ini!? Kau gila ya? Aku hanya ingin menonton kembang
api!” aku mencaci-maki kakakku yang sedang menarik tanganku.
Dia tak peduli dengan ucapanku, “Lari! Lari! Jangan tengok ke belakang!”
“Apa maksudmu hei!?” Aku mengernyitkan dahi. Menengok belakang. Mataku
membelalak.
Saat kembang api diluncurkan, ada ledakan-ledakan lain yang berasal dari
semak semak. Jeritan orang-orang memekakkan telinga. Apa yang terjadi?
Pasar malam terlahap jago merah. Dibalik itu ada beberapa orang berpakaian
aneh. Teroris!
“Tolong! Tolong!”
Lolongan dan jeritan menusuk telingaku.
“Sudah tahu kan kenapa kau kularang untuk pergi?” dia tetap berlari dan aku
mengikutinya. Aku lupa dia pernah menjadi agen negara. Aku lupa. Aku
langsung berterimakasih kepada Tuhan.
Nahas. Ada bom di balik semak-semak. Kami terkena bom. Kakakku terpental
terlempar jauh. Aku merangkak susah payah mendekatinya.
“Kak? Kakak?” berderai air mataku menatap wajahnya yang melepuh.
“La ri,” ucapnya berat. Aku semakin menangis. Menggeleng.
“Ayo lari bersama,” aku menangis kencang menggoyang-goyang tubuhnya.
“Aku tak bisa. Larilah sendiri, uhuk,” dia terbatuk lalu menghembuskan nafas
panjang. Setelah itu. Tergolek tak bernyawa.
Aku berdiri dan menggeret tubuh kakakku, terseok-seok menuju rumah. Pipiku
kotor karena tanah dan abu. Ditambah dengan air mata yang terus mengalir. Uh,
ingusku juga ikut keluar.
Malam itu aku tak bisa tidur dan hanya menangis di ambang pintu melihat pasar
malam meriah. Meriah karena jeritan dan lolongan meminta tolong.
Disamping rumah terdapat tubuh yang kuselimuti dengan kain putih. Aku tak
mau melihatnya.
Hampa. Hatiku kosong. Aku benar-benar tak punya apa apa sekarang. Aku
hanya tulang dan seonggok daging yang tak punya kehidupan. Separuh jiwaku
sudah pergi dibawa kakakku.
Tetangga kami membantu pemakaman kakakku. Dan aku hanya melamun
menatap fotonya yang ada di ruang keluarga.
Kak, aku ikut mati bersamamu.

End
Kerangka cerita :
Tema : Pertunjukan kembang api
Judul : Kembang Api
Tokoh : Aku (protagonis)
Kakak (protagonis)
Alur : maju
Latar tempat : rumah, pasar malam
Latar waktu : sore, malam
Latar suasana : menegangkan
Amanat : jangan pergi kalau tak dapat izin. Nanti jadi petaka.

Anda mungkin juga menyukai